14 0 197 KB
LAPORAN PENDAHULUAN SEPTIK ARTHRITIS
A. KONSEP DASAR TEORI 1. Definisi Berbagai definisi sepsis telah diajukan, namun definisi yang saat ini digunakan di klinik adalah definisi yang ditetapkan dalam consensus American College of Chest Physician dan Society of Critical Care Medicine pada tahun 1992 yang mendefinisikan sepsis, sindroma respon inflamasi sistemik (systemic inflammatory response syndrome / SIRS), sepsis berat, dan syok/renjatan septik (Chen et.al,2009). Arthritis atau radang sendi merupakan istilah dari reumatik artikuler (mengenai sendi), dikenal dalam berbagai bentuk, diantaranya yang paling umum yaitu Arthritis Reumatiod, Osteoarthritis, dan Gout (arthritis pirai). Arthritis septic adalah sendi yang mengalami infeksi akibat penyebaran dari infeksi ditempat tubuh lain (penyebaran hematogenesus) atau secara langsung akibat trauma atau intervensi bedah. Septik arthritis merupakan hasil dari invasi bakteri di celah sendi, di mana penyebaran terjadi secara hematogen, inokulasi langsung akibat trauma maupun pembedahan, atau penyebaran dari osteomileitis atau selulitis yang berdekatan dengan celah sendi. Artritis Septik (AS) merupakan salah satu penyakit yang merupakan kegawatdaruratan di bidang rematologi terutama bila kuman penyebabnya bakteri yang dihubungkan dengan kesakitan dan kematian yang signifikan. Keterlambatan dan terapi yang tidak adekuat terhadap SA dapat mengakibatkan kerusakan kartilago hyalin artikular dan kehilangan fungsi sendi yang ireversibel. Diagnosis awal yang diikuti dengan terapi yang tepat dapat menghindari terjadinya kerusakan dan kecacatan sendi ( Fitraneti, 2011).
Jadi dapat disimpulkan sepsis arthritis adalah suatu penyakit yang menyerang sendi, dimana terjadi infeksi pada sendi dimana penyebaran infeksinya bersifat hematogenesus atau secara langsung. 2. Etiologi Penyebab dari arthritis tergantung pada bentuk dari arthritis. Penyebabpenyebab termasuk: a. Luka (menjurus pada osteoarthritis), b. Kelainan-kelainan metabolisme (seperti gout dan pseudogout), c. Faktor-faktor keturunan, d. Infeksi dapat berasal dari bakteri (Staphylococcus aureus dan Haemophilus influenza, E. coli dan Pseudomonas spp, Neisseria gonorrhoeae, Salmonella spp, Mycobacterium tuberculosis dan spirochete bacterium), virus (hepatitis A, B, dan C, parvovirus B19, herpes viruses, HIV (AIDS virus), HTLV-1, adenovirus, coxsackie viruses, mumps, dan ebola), jamur (histoplasma, coccidiomyces, dan blastomyces) e. Sebab-sebab yang tidak jelas (seperti rheumatoid arthritis dan systemic lupus erythematosus). 3. Patofisiologi Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan atau daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis, diskus intervertebralis, dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan terjadinya kifosis. Kemudian eksudat ( yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis serta basil tuberkulosa ) menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis ligamen yang lemah. Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus.
Eksudat dapat mengalami protrusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esofagus, atau kavum pleura. Abses pada vertebra thorakalis biasanya tetap tinggal pada daerah thoraks setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medula spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis pada trigonum skarpei atau regio glutea. Kumar membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium, yaitu : a. Stadium Implantasi Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6 – 8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak – anak umumnya pada daerah sentral vertebra. b. Stadium Destruksi Awal Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra serta penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3 – 6 minggu. c. Stadium Destruksi Lanjut Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra dan terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses ( abses dingin ), yang terjadi 2 – 3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan ( wedging anterior ) akibat kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus.
d. Stadium gangguan neurologis Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra thorakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini. Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu : 1) Derajat I : Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktifitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris. 2) Derajat II : Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih dapat melakukan pekerjaannya. 3) Derajat III: Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak/aktivitas penderita serta hipestesi/anesthesia 4) Derajat IV: Terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan
defekasi
dan
miksi.
Tuberkulosis
paraplegia
atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya. e. Stadium Deformitas Residual Stadium ini terjadi kurang lebih 3 – 5 tahun setelah timbulnya stadium implantasi. Kifosis atau gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang masif di sebelah depan.
5. Manifestasi Klinis Pasien dengan Artrits Septic Akut di tandai dengan adalah nyeri sendi hebat, bengkak sendi, kaku dan gangguan fungsi sendi, demam dan kelemahan umum (Sudoyo,dkk.2009). Gejala-gejala dari septic arthritis termasuk demam, kedinginan, begitu juga nyeri, pembengkakan, kemerahan, kekakuan, dan kehangatan sendi. Sendi-sendi yang paling umum dilibatkan adalah sendi-sendi besar, seperti lutut-lutut, pergelangan-pergelangan kaki, pinggul-pinggul, dan siku-siku tangan. Pada orang-orang dengan faktor-faktor risiko untuk infeksi sendi, sendi-sendi yang tidak umum dapat terinfeksi, termasuk sendi dimana collar bone (clavicle) bertemu tulang dada (sternum). Dengan mikroba-mikroba yang tidak umum, seperti Brucella spp., sendi-sendi yang tidak lazim dapat terinfeksi, seperti sendi-sendi sacroiliac. 6. Pemeriksaan Diagnostik a. Foto rontgen Misalnya pada tuberculosis tulang belakang akan dijumpai hilangnya sudut anterior superior atau inferior dari badan vertebra dan hilangnya rongga antar vertebra. b. Tes darah Tes darah terhadap titer anti- stafilococus dan anti – streptolisisn hemolisin, tifoid, paratifoid, dan bruselosis dapat membantu penegakan diagnosis pada kasus sulit dan pada pusat-pusat dengan pusat yang memadai. Leukosit kadang meningkat sampai 50.000/mm3 (nilai normal : 4.000-10.000/mm3). Pada pemeriksaan darah akan didapatkan laju endap darah yang meningkat. Pengecatan gram dan kultur juga merupakan pemeriksaan yang penting. Pada pewarnaan gram biasanya dapat diberikan antibiotik pertama sambil menunggu hasil sensitivitas kultur. c. Biopsi jarum Juga dapat bermanfaat pada kasus sulit, namun membutuhkan pengalaman serta pemeriksaan histology yang baik. d. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan ini terutama untuk melihat jaringan lunak yaitu diskus intervertebralis dan ligamentum flavum serta lesi dalam sum-sum tulang belakang. e. Pemeriksaan CT Scan Pemeriksaan CT Scan dengan mielografi. Pemeriksaan mielografi dilakukan bila terdapat gejala-gejala penekanan sum-sum tulang belakang. f. Analisa cairan sendi Pemeriksaan cairan sendi merupakan pemeriksaan yang rumit. Ketika gejala klinis telah tampak, maka pada cairan sendi akan tampak keruh atau purulen. g. USG Digunakan untuk mendeteksi cairan sendi yang terletak lebih dalam. Gambaran khas dari septik arthritis pada pemeriksaan USG berupa nonecho-free effusion yang berasal dari bekuan darah. USG dapat digunakan sebagai panduan dalam melakukan aspirasi dan drainase serta untuk memonitor status kompartmen intrartikuler, kapsul sendi, tidak mahal, dan mudah digunakan, tetapi pemeriksaan ini sangat tergantung dari operator yang mengerjakannya. 7. Penatalaksanaan Prinsip penatalaksanaan pada septik arthritis akut: a. Drainase sendi harus adekuat b. Antibiotik harus diberikan untuk mengurangi efek sistemik dari sepsis c. Sendi harus diistirahatkan dalam posisi stabil
1) Terapi Umum Analgetik dan dan pembidaian dari sendi yang terkena pada posisi maksimal dan senyaman mungkin untuk mengurangi nyeri. Adanya fokus infeksi dan kondisi medis harus diindetifikasi dan diterapi sesuai penyakit yang ditemukan. Penggantian cairan dan kecukupan nutrisi mungkin diperlukan.
2) Terapi Khusus Terapi definitif yang diperlukan berupa drainase dari pus yang terdapat di sendi dan memberikan terapi antibiotik yang efektif. Teknik dari drainase tergantung dari sendi yang terkena, stadium infeksi, dan respon dari pasien. Walaupun sendi yang terinfeksi dapat didrainase dengan hasil yang memuaskan melalui aspirasi berulang, namun pada sendi panggul dan mungkin sendi yang lain yang sulit dilakukan drainase maka harus dilakukan artrotomi sesegera mungkin setelah teridentifikasi dari septik atritritis. Indikasi lain dari drainase dengan teknik pembedahan adalah septik arthritis dimana pusnya terlokalisir, gagal dalam terapi nonoperatif, infeksi yang telah berlangsung lama, dan infeksi sendi pasca pembedahan atau luka penetrasi. Antibiotik parenteral diindikasikan untuk septik arthritis. Jika kuman tidak tampak pada pewarnaan gram dan sebelumnya pasien adalah seorang dewasa sehat, maka diagnosa kerjanya adalah arthritis gonokokus, dan penisilin dapat menjadi pilihan terapi. Anak-anak di bawah 4 tahun mempunyai insiden yang signifikan terhadap arthritis akibat H. influenza. Pada orang dewasa, dimana pada pewarnaan gram ditemukan bakteri gram negatif, maka pilihan terapinya adalah sefalosporin atau penisilin beta laktamase dan aminoglikosida. Infeksi yang disebabkan oleh H.influenza, Streptococcus, Neisseria, memiliki respon terapi yang baik dan lebih cepat, sehingga pemberiannya dapat dipersingkat (< 2 minggu). Sedangkan, pada infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus dan bakteri basili gram negatif, respon terapi lebih lambat sehingga membutukan waktu yang lebih panjang yaitu sekitar 4-6 minggu. Pada infeksi sendi panggul dan bahu, pasien immunocompromise, pasien dengan respon terapi jelek akan membutuhkan pengobatan yang lebih lama pula. Ketika kuman telah teridentifikasi dari hasil kultur, maka pilihan antibiotik harus sesuai dengan hasil yang telah ditemukan. Hasil kultur dan respon klinis sesudah itu digunakan untuk memastikan regimen
antibiotik. Antibiotik parenteral diteruskan dengan dosis tinggi sampai inflamasi mereda secara signifikan. Tambahan antibiotik oral selama 3-4 minggu biasanya diperlukan setelah pemberian antibiotik parenteral. (1) Sebagian klinisi menyatakan bahwa pemberian antibiotik parenteal harus diteruskan setidaknya sampai suhu dan kadar CRP mencapai nilai mormal dengan terapi maintenance 4-6 minggu.(4) Injeksi penisilin G 10 juta unit per 24 jam diberikan pada arthritis gonokokus dan diteruskan sampai perbaikan klinis dicapai secara signifikan. Saat tanda lokal teratasi, antibiotik dapat diubah ke ampisilin oral, 4 kali 500 mg per hari selama 7 hari. 8. Komplikasi Komplikasi terdiri dari destruksi sendi, osteomielitis, dan penyebaran ke tempat lain baik secara langsung ataupun secara hematogen. Semakin cepat diagnosis
dan
diterapi
dilaksanakan,
maka
kemungkinan
terjadinya
komplikasi akan semakin kecil. Komplikasi yang dapat ditimbulkan termasuk kerusakan sendi berupa osteoarthritis. Pada anak-anak, keterlibatan dari growth plates dapat meningkatkan progresifitas dari deformitas dan pemendekan dari segment yang terkena. Selain itu, komplikasi lain seperti dislokasi sendi, epifisiolisis, ankilosis, dan osteomielitis. Dapat menimbulkan perubahan pada jaringan lain seperti adanya proses granulasi di bawah kulit yang disebut subcutan nodule, pada otot dapat terjadi myosis ( proses granulasi jaringan otot) , pada pembuluh darah terjadi tromboemboli, dan terjadi spenomegali. Komplikasi lanjutnya adalah penyakit degeneratif pada sendi, dislokasi permanen dan fibrous ankylosis. B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN 1. Anamesis a. Identitas klien meliputi nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, no.regist, asuransi kesehatan, dan diagnostik medis.
b.
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan adalah paraparesis, gejala paraplegia, keluhan gangguan pergerakan tulang belakang, dan adanya nyeri tulang belakang. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang nyeri klien, perawata dapat menggunakan metode PQRST. -
Provoking Insident : Hal yang menjadi factor presipitasi nyeri adalah adanya peradangan pada tulang belakang.
-
Quality Ofpain : Nyeri yang dirasakan klien bersikap menusuk. Nyeri sering disertai dengan adanya parestesia. Factor yang mengurangi nyeri dikaji karena pada beberapa keadaan, kualitas dan kuantitas nyeri berkurang dengan manajemen nyeri keperawatan yang meliputi pengaturan posisi, relaksasi napas dalam, metode distraksi, manajemen sentuhan dengan masase ringan disekitar lokasi nyeri.
-
Region, Radiation, Relieft : Kaji apakah nyeri dapat reda, apakah nyeri menjalar atau menyebar karena pada beberapa kasus, nyeri sering menajalar dari tulang belakang ke pinggul dan menjalar ke tungkai. Selain itu, kaji dimana nyeri terjadi, apakah nyeri terlokasi, dan sebatas apa.
-
Severity (Scala) Ofpaint : Nyeri biasanya 1-3 pada penilaian skala nyeri 0-4
-
Time : Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah kondisi nyeri berlangsung terus menerus atau hilang timbul.
c. Riwayat penyakit sekarang. Keluhan yang didapat hamper sama dengan gejala tubercolosis pada umunya, yaitu badan lemah/ lesu, nafsu makan berkurang, BB menurun, suhu sedikit meningkat ( subfebril ) terutama pada malam hari, serta sakit punggung. Pada anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari ( night cries ). Pada tubercolosis vertebra servikalis, dapat ditemukan nyeri didaerah belakang kepala, gangguan menelan, dan gangguan pernapasan akibat adanya abses
retrofaring. Kadang kala klien dating dengan gejala abses pada daerah paravertebral, abdominal, inguinal, popliteal, atau bongkong d. Riwayat Penyakit Dahulu. Ada keluhan riwayat TB paru dan penggunaan obat anti tubercolosis ( OAT ). Penyakit lainnya seperti hipertensi, DM perlu juga di kaji untuk mengindetifikasi penyulit pada penatalaksanaan dan implementasi keperawatan. e. Pengkajian psikososiospiritual. Perawat mengkaji mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang di deritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat, serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Adanya perubahan berupa paralisis anggota gerak bawah memberikan manifestasi yang berbeda pada setiap klien yang mengalami spondilitis tuberkolosa. 2. Pemeriksaan fisik Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1-B6) dengan focus pemeriksaan B6 (bone) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan klien. a. Keadaan umum Klien umumnya tidak mengalami penurunan kesadaran. Adanya perubahan tanda-tanda vital yang meliputi bradikardia dan hipertensi sering berhubungan dengan penurunan aktivitas secara umum akibat adanya hambatan dalam melakukan mobilisasi ekstermitas. b. Pengkajian B6 1) B1 (Breathing) Hasil pemeriksaan fisik sistem ini pada klien spondilitis tuberculosa dengan fase penurunan aktivitas yang parah adalah pada infeksi didapatkan bahwa klien batuk, ada peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi
pernapasan. Pada palpasi, ditemukan taktil premitus seimang kanan dan kiri. Pada perkusi, ditemukan adanya resonan pada seluruh lapang paru. Pada auskultasi, didapatkan suara napas tambahan, seperti ronchi pada klien dengan peningkatan produksi secret, dan kemampuan batuk yang menurun yang sering ditemukan pada klien spondilitis tuberculosa dengan penurunan tingkat kesadaran koma. Pada klien spondilitis tuberculosa fase awal, biasanya tidak didapatkan kelainan pada sistem pernapasan. 2) B2 (Blood) Pada keadaaan spondilitis tuberculosa dengan komplikasi paraplegia yang lama diderita biasanya akan didapatkan adanya hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah sistolik ≤ 25 mmHg dan diastole ≤ 10 mmHg ketika klien bangun dari posisi beraring ke posisi duduk). Pada klien spondilitis tuberculosa tanpa paraplegia biasanya tidak didapatkan kelainan pada sistem kardiovaskuler. 3) B3 (Brain) Tingkat kesadaran biasanya compos mentis. Pemeriksaan fungsi serebral. Status mental: observasi penampilan dan tingkah laku klien, biasanya status mental klien tidak menglami perubahan. 4) B4 (Bladder) Pada spondidlitis tuberculosa daerah torakal dan servikal, tidak ada kelainan pada sistem ini. Pada spondilitis tuberculosa daerah lumbal, sering didapatkan keluhan inkontinensia urine, ketidakmampuan mengomunikasikan kebutuhan eliminasi urine. 5) B5 (Bowel) Inspeksi abdomen : bentuk datar, simetris, tidak ada hernia. Palpasi : turgor baik, tidak ada kejang otot abdomen akibat adanya abses pada lumbal, hepar tidak teraba. Perkusi : suara timpani, ada pantulan gelombang cairan. Auskultasi: peristaltic usus normal ± 20x / menit. Inguinal-genitalia-anus: tidak ada hernia, tidak ada pembesaran lomfe,
tidak ada kesulitan BAB. Pola nutrisi dan metabolisme: pada klien spondilitis tuberculosa, sering ditemukan penurunan nafsu makan dan gangguan menelan karena adanya stimulus nyeri menelan dari abses faring sehingga pemenuhan nutrisi menjadi berkurang. 6) B6 (Bone) -
Look. Kurvatura tulang belakang mengalami deformitas (kifosis) terutama pada spondilitis tuberculosa daerah torakal. Pada spndilitis tuberculosa daerah vertebra lumbalis, hampir tidak terlihat deformitas, tetapi terlihat adanya abses pada daerah bokong dan pinggang. Pada spondilitis tuberculossa daerah servikal, terdapat kekakuan leher.
-
Feel. Kaji adanya nyeri tekan pada daerah spondilitis.
-
Move. Terjadi kelemahan anggota gerak (paraparesis dan paraplegi) dan gangguan pergerakan tulang belakang. Pergerakan yang berkurang tidak dapat dideteksi didaerah toraks, tetapi mudah diamati pada tulang belakang ; punggung harus diperhtikan dengan teliti, sementara gerakan dicoba. Biasanya seluruh gerakan terbatas dn usaha tersebut menimbulkan spasme otot. Uji uang logam dapat menilai seorang anak yang mengalmi spasme lumbal. Bila anak mengambil uang dari lantai,ia cenderung membongkokkan pinggul dan lutut, bukan membungkukkan tulang belakang.
3. Diagnosa Keperawatan a. Nyeri berhubungan dengan penurunan fungsi tulang b. Hambatan mobilitas fisik yang berhubuungan dengan nyeri pada daerah fragmen tulang yang berubah, luka pada jaringan lunak c. Hipertermi berhubungan dengan proses peradangan pada sendi. 4. Intervensi Keperawatan a. Dx 1: Nyeri berhubungan dengan penurunan fungsi tulang Tujuan: Nyeri hilang, teratasi Kriteria Hasil : -
Memperlihatkan pengendalian nyeri
-
Menunjukkan tingkat nyeri berkurang
-
Melaporkan nyeri dapat dikendalikan
No. Intervensi
Rasional
Mandiri : 1.
Kaji keluhan nyeri, catat
Membantu
dalam
menentukan
lokasi dan intensitas (skala 0 – 10). kebutuhan managemen nyeri dan Catat
faktor-faktor
yang keefektifan program
mempercepat dan tanda-tanda rasa sakit non verbal
2.
Berikan matras atau kasur keras, Matras yang lembut/empuk, bantal bantal kecil. Tinggikan linen tempat yang
besar
tidur sesuai kebutuhan biarkan pasien pemeliharaan
akan
mencegah
kesejajaran
tubuh
mengambil posisi yang nyaman pada yang tepat, menempatkan setres waktu tidur atau duduk di kursi.
pada sendi yang sakit. Peninggian linen
tempat
tidur
menurunkan
tekanan pada sendi yang terinflamasi / nyeri
3.
Tingkatkan istirahat ditempat tidur Pada penyakit berat, tirah baring sesuai indikasi
mungkin
diperlukan
untuk
membatasi nyeri atau cedera sendi. Mencegah
terjadinya
kelelahan
umum dan kekakuan sendi.
4.
Dorong
untuk
sering
mengubah Panas meningkatkan relaksasi otot
posisi. Bantu pasien untuk bergerak dan mobilitas, menurunkan rasa di tempat tidur, sokong sendi yang sakit dan melepaskan kekakuan sakit di atas dan di bawah, hindari dipagi hari. Sensitifitas pada panas
gerakan yang menyentak
dapat dihilangkan dan luka dermal dapat disembuhkan
5.
Anjurkan pasien untuk mandi air Meningkatkan
relaksasi
atau
hangat atau mandi pancuran pada mengurangi tegangan otot., waktu
bangun.
Sediakan
waslap
hangat untuk mengompres sendisendi yang sakit beberapa kali sehari. Pantau suhu air kompres, air mandi Berikan massase yang lembut
Kolaborasi: Pemberian analgetik jika nyeri tidak Untuk membantu menghilangkan terkontrol
nyeri
b. Dx 2 : Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri pada daerah fragmen tulang yang berubah, luka pada jaringan lunak. Tujuan: Mampu melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri Kriteria Hasil : -
Melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri
-
Berjalan dengan menggunakan langkah-langkah yang benar
-
Memperlihatkan mobilitas
No. Intervensi
Rasioal
Mandiri : 1.
Kaji tingkat kemampuan ROM aktif ROM aktif dapat membantu dalam pasien
mempertahankan/ kekuatan
dan
mempertahankan
meningkatkan kelenturan
otot, fungsi
cardiorespirasi,
dan
mencegah
kontraktur dan kekakuan sendi 2. 2.
Anjurkan
pasien
melakukanbody
untuk Body
mechanic dan
mechanic dan merupakan
ambulasi
usaha
ambulasi
koordinasi
diri
muskuloskeletal dan sistem saraf untuk mempertahankan keseimbangan yang tepat
3.
Berikan sokongan (support) pada Memberikan ekstremitas yang luka
ekstremitas
sokongan yang
luka
pada dapat
mingkatkan kerja vena, menurunkan edema, dan mengurangi rasa nyeri 4. 4.
Ajarkan cara-cara yang benar dalam Agar pasien terhindar dari kerusakan melakukan macam-macam mobilisasi kembali pada ekstremitas yang luka seperti body
mechanic ROM
aktif,
dan ambulasi
Kolaborasi: Kolaborasi dengan fisioterapi dalam Penanganan penanganan
traksi
yang
yang
tepat
dapat
boleh mempercepat waktu penyembuhan
digerakkan dan yang belum boleh digerakkan
c. Dx 3 : Hipertermi berhubungan dengan proses peradangan pada sendi. Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selam 1x24 jam, diharapkan menunjukkan suhu tubuh pasien dalam batas normal Kriteria hasil :
-
Kulit pasien tidak kemerahan
-
Suhu tubuh dalam batas normal (36-37oC)
-
Kulit pasien tidak teraba hangat
No. Intervensi
Rasional
Mandiri: 1.
Pantau suhu pasien (derajat dan pola); Suhu 38,9o - 41,1oC menunjukkan perhatikan menggigil /diaphoresis
proses penyakit infeksius akut. Pola demam
dapat
membantu
dalam
diagnosis; mis, kurva demam lanjut berakhir
lebih
dari
24
jam
menunjukkan demam remitten ( bervariasi hanya beberapa derajat pada arah tertentu. Menggigil sering mendahului puncak suhu.
2.
Pantau
suhu
lingkungan, Suhu ruangan/ jumlah selimut harus
batasi/tambahan linen tempat tidur, diubah untuk mempertahankan suhu sesuai indikasi
3.
mendekati normal.
Berikan kompres hangat pada lipatan Dapat
membantu
mengurangi
paha dan aksila, hindari penggunaan demam. alcohol
Catatan: penggunaan air es/alcohol mungkin menyebabkan kedinginan, peningkatan Selain
itu
suhu
secara
alcohol
actual. dapat
mengeringkan kulit. 4.
Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
Adanya
peningkatan
menyebabkan
metabolism
kehilangan
banyak
energi.
Untuk
itu
diperlukan
peningkatan intake cairan dan nutrisi
5.
Kolaborasi dengan pemberian
Digunakan
antipiretik, misalnya ASA (aspirin),
demam dengan aksi sentral nya pada
asetaminofen(Tylenol)
hipotalamus, mungkin
untuk
mengurangi
meskipun
dapat
berguna
demam dalam
membatasi pertumbuhan organisme dan meningkatkan autodestruksi dari sel-sel yang terinfeksi.
DAFTAR PUSTAKA Luqmani, Raashid, James Robb, Daniel Porter, et al. Acute Septic Artritis, In: Textbook of Orthopaedics, Trauma and Rheumatology. Philadelphia: Mosby Elsevier. pp 89-90 Muttaqin, Arif.2008. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : EGC. Robbins and Cotran.(1944). Pathologic Basis of Desease. Philadelphia: Saunders. Sudoyo,aru W.,dkk. 2009. Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta: Internal Publishing