Laporan PKL Uptd Ppa Provinsi Jambi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Program Penerimaan Diri (Self Acceptance) pada Remaja Korban Pelecehan Seksual Di UPTD PPA PROVINSI JAMBI



Dosen Pengampu : Dessy Pramudiani, S.Psi., M.Psi., Psikolog



Disusun Oleh : Prischa Deyta Claudia Zalukhu



( G1C117020 )



Dyas Bintang Citapita



( G1C117042 )



PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JAMBI TAHUN AJARAN 2020



BAB I PENDAHULUAN



1. 1.



Latar Belakang Kejahatan seksual adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang



lain yang menimbulkan kepuasan seksual bagi dirinya dan mengganggu kehormatan orang lain.1 Kejahatan seksual adalah sebuah bentuk pelanggaran atas kesusilaan yang bukan saja menjadi masalah hukum nasional suatu negara melainkan sudah menjadi masalah hukum semua negara di dunia atau masalah global. Kejahatan-kejahatan yang termasuk sebagai kejahatan kesusilaan yaitu kejahatan kesusilaan yang berhubungan dengan masalah seksual, diatur dalam Buku III KUHP mulai Pasal 281 sampai dengan Pasal 299 sebagai berikut: kejahatan dengan melanggar kesusilaan, kejahatan pornografi, kejahatan pornografi terhadap orang yang belum dewasa, kejahatan pornografi dalam melakukan pencahariannya, kejahatan perzinahan, kejahatan perkosaan untuk bersetubuh, kejahatan bersetubuh dengan perempuan di luar kawin yang umurnya belum 15 tahun, kejahatan bersetubuh dengan perempuan dalam perkawinana yang belum waktunya dikawin dan menimbulkan akibat luka-luka, kejahatan perkosaan berbuat cabul atau perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, kejahatan perbuatan cabul pada orang yang pingsan, pada orang yang umurnya belum 15 tahun atau belum waktunya untuk dikawin, kejahatan bersetubuh dengan perempuan di luar kawin yang dalam keadaan pingsan, yang umurnya belum 15 tahun, perkosaan berbuat cabul dan perbuatan cabul pada orang yang dalam keadaan pingsan atau umurnya belum 15 tahun, kejahatan perkosaan bersetubuh, kejahatan menggerakkan untuk berbuat cabul dengan orang yang belum dewasa, kejahatan berbuat cabul dengan anaknya, anak tirinya dan lain-lain yang belum dewasa, kejahatan permudahan berbuat cabul sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, kejahatan memperdagangkan wanita dan anak lakilaki yang belum dewasa dan kejahatan mengobati wanita dengan ditimbulkan harapan bahwa hamilnya dapat digugurkan. Data WHO (world health organization) bersama dengan London School of Hygiene and Tropical Medicine and the medical Research of Council mengenai kasus kejahatan seksual terhadap wanita yang terjadi di 80 negara menyatakan bahwa hampir 30 % dari semua perempuan pernah mengalami kekerasan baik kekerasan fisik maupun seksual. Prevalensi terjadinya tindak kekerasan ini menurut WHO (world health organization) sebesar 23,2% pada negara dengan pendapatan per kapita yang tinggi dan sebanyak 24,2 % terjadi pada negara pasifik timur dan sebanyak 37,7 % terjadi di Asia Tenggara. 3 Di Indonesia yang rawan menjadi korban kejahatan seksual adalah kaum perempuan dan anak dibawah umur. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan mengelompokkan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan berdasarkan ranah maupun bentuk. Berdasarkan ranah, kekerasan seksual terbagi menjadi 3 jenis yaitu ranah personal, ranah publik, dan ranah negara. Pengelompokan kekerasan seksual berdasarkan bentuk terdapat 15 jenis yaitu: (1) perkosaan; (2)



pelecehan seksual; (3) eksploitasi seksual; (4) penyiksaan seksual; (5) perbudakan seksual; (6) intimidasi/serangan bernuansa seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan; (7) prostitusi paksa; (8) pemaksaan kehamilan; (9) pemaksaan aborsi; (10) pemaksaan perkawinan; (11) perdagangan perempuan untuk tujuan seksual; (12) kontrol seksual termasuk pemaksaan busana dan kriminalisasi perempuan lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama; (13) penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual; (14) praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan; dan (15) pemaksaan kontrasepsi (Catahu, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, 2012, 2013). Pelecehan seksual merupakan salah satu dari bentuk kekerasan seksual berupa perilaku yang berkonotasi seksual dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran hingga menimbulkan reaksi negatif, seperti rasa malu, takut, marah, tersinggung, trauma, dan sebagainya (Astuti, 2015). Remaja merupakan masa perubahan atau pubertas mulai dari perubahan secara biologis, psikologis dan sosial. Hal inilah yang menyebabkan remaja pada umumnya selalu berkumpul dengan teman sejawatnya dan bahkan sering melakukan coba-coba karena rasa ingin taunya tinggi dan terkadang remaja terlibat pada perilaku penyimpangan dan pelecehan seksual. (Deni Nasir, 2017) Namun hal tersebut tetap tidak dapat dijadikan pembenaran atas perbuatan pelecehan seksual yang dilakukan oleh pelaku kepada korban. Sebuah kejadian traumatis memberikan dampak yang berbeda-beda bagi para penyintas. Salah satunya adalah bagaimana individu tersebut berproses untuk menerimanya dirinya kembali. Penerimaan diri dapat dicapai bila individu dapat menyeimbangkan keadaan yang sebenarnya dan keadaan yang diinginkan. Mereka bebas dari rasa bersalah, rasa malu, dan rendah diri karena keterbatasan diri serta kebebasan dari kecemasan akan adanya penilaian dari orang lain terhadap keadaan dirinya (Maslow dalam Hjelle dan Ziegler, 1992). Kekerasan seksual dapat menimbulkan berbagai dampak negatif pada korban, baik secara fisiologis, emosional, maupun psikologis. Dampak secara fisiologis berupa luka fisik, kesulitan tidur dan makan, kehamilan yang tidak diinginkan, tertular penyakit seksual, dan lain-lain. Selanjutnya, dampak secara emosional berupa perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri, perasaan malu, penyangkalan, dan lain-lain. Selanjutnya, dampak secara psikologis berupa posttraumatic stress disorder (PTSD), depresi, kecemasan, penurunan self-esteem, simtom obsesif-kompulsif, dan lain-lain (Stekee & Foa, 1987; Yeater & O’Donohue, 1999 dalam Mason, 2013; National Sexual Violence Resource Center, 2015). Peristiwa pelecehan seksual tidak hanya selesai begitu saja, namun terdapat efek yang ditimbulkan terutama pada diri korban itu sendiri. Tindakan pelecehan seksual akan menimbulkan pengalaman yang buruk dan trauma pada diri korban. Korban akan memiliki pengalaman traumatis dan perasaan buruk seperti anggapan 3 bahwa diri mereka tidak perawan untuk korban wanita, mencemarkan nama baik keluarga, dan sebagainya (Illenia & Handadari, 2011).



Wanita yang menjadi korban dari tindak pelecehan seksual akan memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan. Pengalaman wanita terhadap lingkungannya juga akan membentuk polapola kepribadian (Hurlock, 2010). Wanita yang mengalami pelecehan seksual berisiko memiliki konsep diri yang rendah. Hurlock (2010) menyatakan bahwa ada banyak hal yang menyebabkan perkembangan konsep diri rendah, beberapa diantaranya disebabkan oleh alasan pribadi dan alasan lingkungan. Lingkungan yang memberikan pengalaman buruk berupa pelecehan seksual, tidak jarang mengakibatkan wanita memiliki anggapan bahwa diri korban adalah seseorang yang tidak berharga ataupun dengan anggapan negatif lainnya. Anggapan tersebut dapat mengganggu proses adaptasi diri dan adaptasi sosial dari seseorang. Hurlock (1978) juga berpendapat bahwa individu yang menerima dirinya, menyenangi dirinya dan puas akan dirinya sehingga ia akan menganggap dirinya berharga, dapat menerima dirinya secara akurat dan lebih realistis.



Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan bahwa, kekerasan terhadap perempuan adalah tindakan atau sikap yang dilakukan dengan tujuan tertentu sehingga dapat merugikan perempuan baik secara fisik maupun secara psikologis. Remaja akan tumbuh dengan perspektifnya sendiri serta akan mengalami dinamika psikologis yang tidak teratur yang akan berdampak pula pada penerimaan dirinya. Dampak fisik yang dapat dialami oleh korban antara lain: (1) kerusakan organ tubuh seperti robeknya selaput dara, pingsan, meninggal; (2) korban sangat mungkin terkena penyakit menular seksual (PMS); (3) kehamilan tidak dikehendaki. Sementara itu, korban kekerasan seksual berpotensi untuk mengalami trauma yang cukup parah karena peristiwa kekerasan seksual tersebut merupakan suatu hal yang membuat shock bagi korban. Goncangan kejiwaan dapat dialami pada saat kekerasan seksual maupun sesudahnya. Goncangan kejiwaan dapat disertai dengan reaksi-reaksi fisik. Berdasarkan temuan penulis, korban kekerasan seksual dalam kategori pelecehan seksual yang berumur 16 Tahun yaitu MI mengalami masalah yang cenderung ke aspek penerimaan diri hal ini ditunjukkan dengan MI yang melamun, tidak terbuka, merasa tidak nayaman pada tubuhnya sendiri pada saat proses konseling. Hasil wawancara dengan ibu korban yang mengatakan bahwa sebelum kejadian tersebut MI merupakan sosok yang periang dan suka membantu orangtua namun setelah mengalami kejadian tersebut MI menjadi pendiam dan lebih sering melamun serta menunjukkan ketidak nyamanannya terhadap dirinya sendiri secara terus menerus. Dalam hal ini, perlu adanya intervensi terhadap remaja korban kekerasan seksual bagaimana supaya MI dapat mengembangkan serta menerapkan sikap penerimaan diri (self acceptance). Oleh karena itu, penulis tertarik untuk merancang sebuah program penerimaan diri (self acceptance) remaja korban kekerasan seksual. Adapun nama program intervensi yang akan diberikan adalah Program Program Penerimaan Diri (Self Acceptance) pada Remaja Korban Pelecehan Seksual Di UPTD PPA PROVINSI JAMBI.



1.2



Tujuan



1.2.1



Tujuan Umum Tujuan umum yang diharapkan dari penelitian ini adalah mengedukasi dan melatih kemampuan subjek dalam mengembangkan sikap “Penerimaan Diri” agar dapat menerapkan kemampuannya tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.



1.2.2



Tujuan Khusus Tujuan khusus di dalam pencapaian rangkaian intervensi ini adalah: 1. Subjek dapat memahami apa itu sikap “Penerimaan Diri” serta mengapa ia perlu menerapkan sikap tersebut dalam kehidupannya. 2. Subjek dapat lebih mengenal siapa dan bagaimana dirinya lebih baik lagi serta mengetahui potensi-potensi yang dapat ia kembangkan dari dalam dirinya 3. Subjek dapat lebih memahami seberapa penting mengapresiasi kebaikan serta belajar memaafkan kesalahan/kekurangan dalam dirinya 4. Subjek dapat mengembangkan kemampuan berinteraksi sosial dengan lingkungan sekitarnya. 5. Subjek dapat membiasakan sikap positif sehari-hari kepada diri maupun lingkungan sekitar.



BAB II PROFIL ORGANISASI DAN LANDASAN TEORI 2. 1.



Profil Organisasi



2.1.1



Sejarah dan Fungsi Organisasi UPTD PPA atau Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak



merupakan pusat kegiatan terpadu yang didirikan Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak dan Menyediakan Pelayanan bagi Masyarakat Indonesia terutama perempuan dan anak korban tindakan kekerasan. Dibentuknya UPTD PPA di Provinsi Jambi pada tahun 2011 yang bertujuan untuk melakukan pelayanan bagi tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam rangka terwujudnya Kesetaraan Gender, Bidang pemberdayaan perempuan dan anak yaitu Kegiatan berupa pemberdayaan, pendampingan, pelatihan, sosialisasi. Kemudian diantaranya lingkup dibawah itu ada UPTD PPA ada 3 seksi yaitu perlindungan perempuan seperti kekerasan pada anak. Dari UPTD PPA ini ada tim terpadu yaitu psikolog, masalah hukum yaitu pengacara, rumah sakit jiwa dan kepolisian. Peraturan berkaitan dengan anak UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan perempuan. UPTD PPA secara teknisi hanya menangani kasus-kasus perempuan dan anak-anak saja, antar daerah dan Provinsi Sedangkan organisasi yang terkait yaitu berupa kaum perempuan, misalnya dari PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga), DOW, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang di Jambi saling berkaitan dengan LPA (Lembaga Perlindungan Anak) dalam kerja pada anak dalam penyelidikan kasus itu dan SLM. Program yang dilakukan oleh UPTD PPA yaitu : 1. Berupa Koordinasi berkaitan dengan jejaring kerjanya misalnya kasus hukum pihak kepolisisan. Kemudian RSJ, ada kekerasan pada anak hasil visum dari kesehatan. 2. Fasilitasi mengadakan pelatihan, sosialisasi dan rapat koordinasi 3. Mediasi adalah kasus yang datang melapor secara tertulis maupun lisana disampaikan untuk mendapatkan informasi, mencari jalan keluar dan jalan tengah. Kemudian dibuat dalam berita acara misalnya perdamaian atau perebutan hak asuh anak. Misalnya ada kasus kekerasan pada anak maka meninjau langsung ke lokasi. Adapun susunan organisasi UPTD PPA Provinsi Jambi terdiri dari: a. Kepala UPTD PPA b. Sub Bagian Tata Usaha c. Seksi Pengaduan d. Seksi Tindak Lanjut e. Kelompok Jabatan Fungsional Kalau kekerasan seksual pada anak bantuan berupa motivasi dan bantuan dirumah aman. Misalnya anak yang teranam dari pihak luar seperti keluarga maka disediakan sebuah rumah aman untuk tempat perlindungan rumah bagi korban kekerasan, tetapi di kediaman rumah aman orang lain tidak tahu bahwa yang disana ada perempuan dan anak yang sedang bermasalah



dengan kasus hukum. Rumah aman ini dibiayai oleh dinas atau pemerintah, sebagian penghuni ada anak-anak dan pengasuhnya, sebagainnya lagi orang dewasa, biasanya anak-anak yang ditempatkan dirumah aman sekitar 4-5 hari, dan dirumah aman ada pengurus yang menjaga, sehingga terjamin kerahasian dan keamananya. Jenis kekerasan yang ditangani kekerasan pada anak yaitu beragam mulai dari kekerasan fisik, psikis, penelataran dan seksual. Pengelola UPTD PPA merupakan masyarakat, unsur pemerintah, LSM perempuan, pusat studi wanita, perguruan tinggi dan organisasi perempuan dan anak dengan faslitator badan pemberdayaan masyarakat di Provinsi Jambi. A. Tujuan Pembentukan UPTD PPA 1) Memfasilitasi kebutuhan perempuan dan anak korban kekerasan dalam memenuhi hak korban yaitu hak atas kebenaran, hak atas perlindungan, hak atas keadilan dan hak atas pemulihan/pemberdayaan 2) Mewujudkan kesejahteraan, keadilan dan kesetaraan gender diberbagai bidang kehidupan perempuan dan anak secara menyeluruh B. Sasaran 1) Perempuan dan anak korban kekerasan 2) Masyarakat 3) Pengambilan 4) Lembaga Pemberi Layanan 5) LPA dan LSM



C. Peran UPTD PPA 1) Sebagai pusat pelayanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan 2) Sebagai pusat data dan informasi tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak 3) Sebagai pusat koordinasi lintas sector terkait pemberian layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan VISI Mengedepankan pemberdayaan dan perlindungan perempuan dan anak korban tindakan kekerasan seksual dengan prinsip Hak Asasi Manusia dengan tujuan untuk mewujudkan keadilan dan kesehatan gender. Kekerasan dan keadilan dimaksudkan bagi perempuan dan anak melalui pengembangan berbagai kegiatan pelayanan terpadu bagi peningkatan kualitas hidup perempuan, kesejahteraan dan perlindungan anak. MISI 1) Membangun gerakan bersama untuk mencegah, menghapuskan kekerasan, dan trafickking terhadap perempuan dan anak



2) Memberikan pelayanan yang meliputi pelayanan fisik, pelayanan informasi, rujukan, konsultasi psikologis dan hukum, pendamping dan advokasi terhadap perempuan dan anak yang mengalami tindakan kekerasan. 3) Menjadikan UPTD PPA Provinsi Jambi sebagai basis pemberdayaan perempuan dan anak secara preventif, kuratif dan rehabilitatif.



Pada kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak di Provinsi Jambi yaitu biasanya rujukan dari PPA Polda, Kapolsek Muaro Jambi, dan Polsek Mestong. Di mana si klien sudah melaporkan ke pihak kepolisian dan menempuh jalur hukum barulah, pihak kepolisian membawa ke Sekretarian UPTD PPA bagian penanganan kasus untuk di tindak lanjuti. Pemeriksaan disini berupa konseling dan pemeriksaan psikologis yang biasanya dilakukan 2 kali sampai 3 kali, pertemuan ini dilakukan untuk mendapatkan hasil yang akurat. Setelah mendapatkan hasil barulah dibuat laporan hasil pemeriksaan psikologi atau visum, kemudian akan diberikan pada pihak yang berwajib seperti kepolisian dan pengadilan. Kegunaan dari hasil pemeriksaan ini untuk memperkuatkan pihak korban dalam persidangan.



UPTD PPA menyelenggarakan fungsi layanan, seperti: a. Pengaduan masyarakat b. Penjangkauan dan pendampingan korban c. Pengelolaan kasus d. Penampungan sementara e. Perlindungan khusus anak f. Mediasi g. Pelaksana fungsi lain sesuai bidang tugasnya.



2.1.2 Maklumat Pelayanan MAKLUMAT PELAYANAN nomor : 002.a.UPTD.PPA.-1.1/III/2019 DENGAN



INI



PELAYANAN



KAMI SESUAI



MENYATAKAN DENGAN



SANGGUP



STANDART



MENYELENGGARAKAN



PELAYANAN



YANG



TELAH



DITETAPKAN DAN APABILA TIDAK MENEPATI JANJI INI, KAMI SIAP MENERIMAN SANKSI SESUAI DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU.



2. 2.



Landasan Teori



2. 2. 1 Masa Remaja 2. 2.1. 1 Definisi Masa Remaja Menurut WHO, remaja adalah penduduk dalam rentang usia 10-19 tahun, menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 25 tahun 2014, remaja adalah penduduk dalam rentang usia 10-18 tahun dan menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) rentang usia remaja adalah 10-24 tahun dan belum menikah. Remaja atau adolescence berasal dari kata latin yaitu adolescene yang berarti tumbuh kearah kematangan fisik, sosial, dan psikologis (Sarwono, 2012). Pada umumnya remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa anak-anak menuju ke masa dewasa yang terjadi pada usia 12 tahun hingga 21 tahun (Dewi, 2012). Menurut Piaget, secara psikologis masa remaja merupakan masa individu tidak lagi merasa berada di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan masa remaja merupakan masa individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa dan berada pada tingkatan yang sama (Hanifah, 2013). Tahapan Remaja Menurut (Sarwono, 2012) ada tiga tahap perkembangan remaja dalam proses penyesuaian diri menuju dewasa, antara lain: a. Remaja awal (Early Adolescence) Masa remaja awal berada pada rentang usia 10-13 tahun ditandai dengan adanya peningkatan yang cepat dari pertumbuhan dan pematangan fisik, sehingga intelektual dan emosional pada masa remaja awal ini sebagian besar pada penilaian kembali dan restrukturisasi dari jati diri. Pada tahap remaja awal ini penerimaan kelompok sebaya sangatlah penting (Aryani, 2010). b. Remaja Madya (Middle Adolescence) Masa remaja madya berada pada rentang usia 14-16 tahun ditandai dengan hampir lengkapnya pertumbuhan pubertas, dimana timbulnya keterampilanketerampilan berpikir yang baru, adanya peningkatan terhadap persiapan datangnya masa dewasa, serta keinginan untuk memaksimalkan emosional dan psikologis dengan orang tua (Aryani, 2010). c. Remaja akhir (Late Adolescence) Masa remaja akhir berada pada rentang usia 16-19 tahun. Masa ini merupakan masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapain lima hal, yaitu: 1) Minat menunjukkan kematangan terhadap fungsi-fungsi intelek. 2) Ego lebih mengarah pada mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang lain dalam mencari pengalaman baru. 3) Terbentuk identitas seksual yang permanen atau tidak akan berubah lagi. 4) Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain. 12 5) Tumbuh pembatas yang memisahkan diri pribadinya (Private Self) dengan masyarakat umum (Sarwono, 2012).



2. 2. 1. 2 Tugas Perkembangan Remaja Menurut Hurlock (1990), seluruh tugas perkembangan pada masa remaja dipusatkan pada penanggulangan sikap dan pola perilaku yang kekanak-kanakan dan mengadakan persiapan untuk menghadapi masa dewasa. Adapun tugas perkembangan remaja adalah : 1) Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita 2) Mencapai peran sosial pria dan wanita 3) Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif 4) Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggungjawab 5) Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya 6) Mempersiapkan karir ekonomi untuk masa yang akan datang 7) Mempersiapkan perkawinan dan keluarga 8) Memperoleh nilai-nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku dan mengembangkan ideologi Tugas perkembangan tersebut berkaitan dengan domain identitas yang digunakan untuk melihat identitas diri remaja. Adapun domain identitas tersebut adalah pekerjaan, keyakinan idiologis dan keyakinan seksualitas.



2. 2. 2. Definisi Kekerasan Seksual Terhadap Remaja Remaja merupakan masa perubahan atau pubertas mulai dari perubahan secara biologis, psikologis dan sosial. Hal ini menyebabkan remaja pada umumnya selalu berkumpul dengan teman dan rasa ingin taunya tinggi dan terkadang remaja terlibat pada perilaku penyimpangan dan pelecehan seksual (WahyuSaputra, 2014) Remaja merupakan masa perubahan atau pubertas mulai dari perubahan secara biologis, psikologis dan sosial. Hal inilah yang menyebabkan remaja pada umumnya selalu berkumpul dengan teman sejawatnya dan bahkan sering melakukan coba-coba karena rasa ingin taunya tinggi dan terkadang remaja terlibat pada perilaku penyimpangan dan pelecehan seksual. (Deni Nasir, 2017) Kekerasan seksual didefenisikan sebagai setiap tindakan seksual, usaha melakukan tindakan seksual, komentar atau menyarankan untuk berperilaku seksual yang tidak disengaja ataupun sebaliknya, tindakan pelanggaran untuk melakukan hubungan seksual dengan paksaan kepada seseorang. (WHO, 2017) Pencabulan adalah istilah lain dari perkosaan yang dikenal dalam sistem hukum Indonesia. Istilah ini digunakan ketika perkosaan dilakukan di luar pemaksaan penetrasi penis ke vagina dan ketika terjadi hubungan seksual pada orang yang belum mampu memberikan persetujuan secara utuh, misalnya terhadap anak atau seseorang di bawah 18 tahun. Pelecehan seksual adalah tindakan lewat sentuhan fisik atau nonfisik, yang sengaja atau berulang-ulang, atau hubungan fisik yang bersifat seksual bukan suka sama suka. Namun pelecehan seksual mengacu pada perbuatan yang oleh korbannya dirasa tidak menyenangkan,



karena perbuatan tersebut bersifat intimidasi, menghinakan atau tidak menghargai dengan membuat seorang sebagai obyek pelampiasan seksual.



2. 2. 3. Penerimaan Diri 2. 2. 3. 1 Definisi Penerimaan Diri Self acceptance atau penerimaan diri merupakan suatu kondisi psikologis yang harus ada pada setiap individu. Self acceptance yang baik hanya akan terjadi bila individu yang bersangkutan bersedia dan mampu memahami keadaan dirinya sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yang diinginkannya. Selain itu ia juga harus memiliki harapan yang realistis, sesuai dengan kemampuannya. Dengan demikian bila seseorang individu memiliki konsep yang menyenangkan dan rasional mengenai dirinya, maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut (Hurlock)



Menurut Ananwong dkk (2013) mengutarakan bahwa penerimaan diri adalah “Self-acceptance is the self-consciousness of oneself by individual through the process of understanding their own life with reasonable reality, perceiving the pros and cons, and accepting the limitations and errors of their own judgment.” Maksudnya penerimaan diri merupakan kesadaran individu mengenai pemahaman hidupnya dalam menghadapi pro dan kontra serta menerima keterbatasannya. Menurut Bernard (2013) mengatakan bahwa : “Self-acceptance as character strength has been left on the sidelines by some in the field of positive psychology who have delimited positive character traits associated with happiness and well- being” maksudnya penerimaan diri sebagai kekuatan karakter yang ada dalam psikologi positif terkait dengan kebahagiaan dan kesejahteraan. Individu yang menerima dirinya adalah individu yang menerima dan mengakui keadaan diri sebagaimana adanya. Hal ini tidak berarti seseorang yang telah menerima dirinya, berarti orang tersebut mengenal dimana dan bagaimana dirinya saat ini, serta mempunyai keinginan terus mengembangkan dirinya (Naqiyaningrum, dalam Dwirosalia, 2015).



2. 2. 3. 2 Aspek Penerimaan Diri Menurut Jersild (dalam Melinda, 2013) mengemukakan beberapa aspek penerimaan diri, sebagai berikut : 1. Persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan Individu yang memiliki penerimaan diri berfikir lebih realistik tentang penampilan dan bagaimana dirinya terlihat dalam pandangan orang lain. Individu tersebut dapat melakukan sesuatu dan dapat berbicara dengan baik mengenai dirinya yang sebenarnya. 2. Sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang lain



Individu memiliki penerimaan diri memandang kelemahan dan kekuatan dalam dirinya lebih baik daripada individu yang tidak mempunyai penerimaan diri.



3. Perasaan inferioritas sebagai gejala penolakan diri Seorang individu yang biasanya merasakan infioritas adalah seseorang individu yang tidak memiliki sikap penerimaan diri dan hal tersebut akan mengganggu penilaian yang relistik atas dirinya. 4. Respon atas penolakan dan kritikan Individu yang memiliki penerimaan diri tidak menyukai kritikan, namun demikian individu mempunyai kemampuan untuk menerima kritikan atau bahkan mengambil hikmah dari kritikan tersebut. 5. Keseimbangan antara real self dengan ideal self Individu yang memiliki penerimaan diri adalah individu yang mempertahankan harapan dan tuntutan dari dalam dirinya denagn baik dalam batas-batas memungkinkan individu ini mungkin memiliki ambisi yang besar, namun tidak mungkin mencapainya walau dalam waktu yang lama dan menghabiskan energinya. Oleh karna itu dalam mencapai tujuannya individu mempersipkan dalam konteks yang mungkin dicapai untuk memastikan dirinya tidak akan kecewa saat nanti. 6. Penerimaan diri dan penerimaan orang lain Hal ini berarti apabila seseorang individu menyayangi dirinya maka akan lebih memungkinkan untuk menyayangi orang lain. 7. Penerimaan diri, menuruti kehendak, dan menonjolkan diri Menerima diri dan menuruti diri merupakan hal yang berbeda. Apabila seseorang individu menerima dirinya, hal tersebut bukan berarti individu memanjakan dirinya. Individu yang menerima dirinya akan menerima dan bahkan menuntut pembagian yang layak akan sesuatu yang baik dalam hidup dan tidak mengambil kesempatan yang tidak pantas untuk memiliki posisi yang baik atau menikmati sesuatu yang bagus. Semakin individu menerima dirinya dan diterima orang lain, semakin individu berbaik hati. 8. Penerimaan diri, spontanitas dan menikmati hidup Individu dengan penerimaan diri mempunyai lebih banyak leluasa untuk menikmati halhal dalam hidupnya. Individu tersebut tidak hanya leluasa menikmati sesuatu yang dilakukannya. Akan tetapi, juga leluasa untuk menolak atau menghindari sesuatu yang tidak ingin dilakukannya. 9. Aspek moral penerimaan diri Individu dengan penerimaan diri bukanlah individu yang berbudi baik dan bukan pula individu yang tidak mengenal moral, tetapi memiliki fleksibilitas dalam pengaturan hidupnya. Individu memiliki kejujuran untuk menerima dirinya sebagai apa dan untuk apa nantinya, dan tidak menyukai kepura- puraan. 10. Sikap terhadap penerimaan diri



Menerima diri merupakan hal penting dalam kehidupan seseorang. Individuindividu yang dapat menerima beberapa aspek hidupnya, mungkin dalam keraguan dan kesulitan dalam menghormati orang lain.



2. 2. 3. 3 Faktor Penerimaan Diri Hurlock (dalam Wibowo, 2013) mengemukakan sepuluh faktor yang mempengaruhi penerimaan diri individu, yaitu: 1.



Pemahaman tentang diri sendiri timbul dari kesempatan seseorang untuk mengenali kemampuan dan ketidakmampuannya serta mencoba menunjukan kemampuannya. Semakin individu memahami dirinya, maka semakin besar penerimaan individu terhadap dirinya.



2.



Harapan realistik timbul jika individu menentukan sendiri harapannya dengan disesuaikan dengan pemahaman kemampuannya, dan bukan diarahkan oleh orang lain. Dengan harapan realistik, akan semakin besar kesempatan tercapainya harapan tersebut sehingga menimbulkan kepuasan diri.



3.



Tidak adanya hambatan di lingkungan, harapan individu akan sulit tercapai bila lingkungan di sekitarnya tidak memberikan kesempatan atau bahkan menghalangi (walaupun harapan individu sudah realistik).



4.



Sikap-sikap Anggota Masyarakat yang Menyenangkan Tidak adanya prasangka, adanya penghargaan terhadap kemampuan sosial orang lain dan kesediaan individu mengikuti kebiasaan lingkungan.



5.



Tidak adanya gangguan emosional yang berat akan membuat individu dapat bekerja sebaik mungkin dan merasa bahagia.



6.



Pengaruh keberhasilan yang dialami dapat menimbulkan penerimaan diri (yang positif). Sebaliknya, kegagalan yang dialami mengakibatkan adanya penolakan diri.



7.



Individu yang mengidentifikasi diri dengan orang yang well adjusted, dapat membangun sikap-sikap yang positif terhadap diri sendiri dan bertingkah laku dengan baik, yang dapat menimbulkan penerimaan diri dan penilaian diri yang baik.



8.



Adanya perspektif diri yang luas yakni memperhatikan pandangan orang lain tentang diri. Perspektif diri yang luas ini diperoleh melalui pengalaman dan belajar.



9.



Pola asuh di masa kecil yang baik, anak yang diasuh secara demokratis akan cenderung berkembang sebagai orang yang dapat menghargai dirinya sendiri.



10.



Konsep diri yang stabil, individu yang tidak memiliki konsep diri yang stabil (misalnya, kadang menyukai diri dan kadang tidak menyukai diri), akan sulit menunjukan pada orang lain siapa ia sebenarnya, sebab ia sendiri ambivalen terhadap dirinya.



BAB III ANALISA DAN INTERVENSI 3. 1



Uraian kasus



Nama Kasus



: Kasus Pelecehan Seksual



Identitas Subjek Nama Inisial



: MI



Tempat/Tanggal Lahir



: Jambi, 5 Agustus 2004



Umur



: 16 Tahun 1 Bulan



Pendidikan



: SMA (Kelas 2)



Status Perkawinan



: Belum Menikah



Pekerjaan



: (-) Pelajar



Anak Ke



: 1 Dari 3 Bersaudara



Agama



: Islam



Alamat



: Desa Semubuk



Uraian kasus : MI adalah korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh 2 orang yaitu pacarnya sendiri yang telah menjalin hubungan dengannya selama 1 bulan, dan abang angkat dari pacarnya. Awalnya MI tidak kembali kerumah selama 4 hari dikarenakan Hpnya hilang dan ia takut dimarahi oleh kedua orangtuanya atas kejadian tersebut. Selama 4 hari tersebut ia bersama temannya N menumpang dirumah temannya secara bergantian, pada hari pertama MI, N menumpang dirumah AW (pacarnya MI) pada saat itulah AW merayu subjek untuk melakukan hubungan tersebut hingga akhirnya subjek percaya dengan kata-kata yang diucapkan AW dan mengiyakan permintaan tersebut, selanjutnya karna AW telah pergi mencari Hp dan tak kunjung pulang pada akhirnya memasuki hari 3 MI diusulkan oleh S untuk tinggal dirumahnya dengan syarat menunggu orangtuanya S pergi bekerja barulah MI boleh memasuki rumah. Saat memasuki rumah MI, N melewati pintu belakang dan beristirahat dikamar S, saat N keluar kamar untuk pergi kerumah tetangga beberapa menit kemudian S memasuki kamar dan memaksa MI melakukan hubungan seks namun MI menolaknya, S terus memaksa dengan membuka celana MI. Pada saat itu MI terus melakukan perlawanan namun S selalu mengagalkan perlawanan tersebut hingga S melakukan persetubuhan terhadap MI, pada hari ke 4 MI & N ditemui oleh orangtuanya yang sedang mencari mereka di kos teman MI. Saat dirumah MI menceritakan kejadian yang dialaminya dan pada saat itu orangtuanya langsung melaporkan hal ke polisi.



Berdasarkan hasil dari wawacara terhadap ibu MI hal yang paling signifikan semenjak kejadian tersebut MI lebih sering melamun, dan merasa tidak suka dengan dirinya sendiri (tidak bisa menerima tubuhnya) dan berdasarkan hasil observasi serta wawancara yang dilakukan langsung terhadap MI, pada awalnya MI tidak mau menceritakan dan hanya menatap namun setelah akhirnya diyakinkan ia mau bercerita dan terus menggepal tangganyaa dan meletakkan tangganya dibawah begitu juga pada saat proses konseling MI kembali menggepal tangannya berulang kali dan pada saat ditanyakan ia merasa cemas, takut, dan tidak nyaman terhadap dirinya sendiri.



3. 2



Analisis Kasus Korban pelecehan seksual akan menunjukkan reaksi atau respon berupa penghindaran



(avoidance), kebingungan (diffusion), negosiasi dan konfrontasi (Kusumana, 2013). Reaksi penghindaran ditujukan baik terhadap pelaku maupun lingkungan sekitarnya. Korban pelecehan seksual biasanya akan menarik diri dari lingkungan pertemanan dan sosialnya. Selain itu, mereka akan mengalami kebingungan apakah harus menceritakan hal yang dialaminya ataukah tidak dan kepada siapa akan menceritakan pelecehan yang terjadi pada dirinya. Pelecehan seksual akan membawa dampak negatif bagi korban baik secara fisik maupun psikologis. Perempuan sebagai korban pelecehan seksual akan merasakan dampaknya terutama saat berinteraksi di lingkungan sosial. Sebuah penelitian yang dilakukan Wloddarczyk dkk. (2016) menegaskan dampak pelecehan seksual yang dialami individu setelah memasuki masa dewasa antara lain masalah emosional dan distorsi self image (depresi, perilaku merusak diri), gangguan somatis dan disosiatif (kecemasan dan ketegangan, mimpi buruk, gangguan tidur dan makan, serta berbagai bentuk gangguan disosiatif), masalah dengan self-esteem (perasaan terasingkan dan terisolasi, self-esteem yang sangat rendah), masalah interpersonal (kesulitan dalam menjalin hubungan dengan orang lain, kehilangan kepercayaan, merasa terkhianati, takut menjalin hubungan seksual, rentan kembali menjadi korban), masalah melaksanakan fungsi sosial (penyalahgunaan obat-obatan, prostitusi), dan masalah seksual berupa takut berhubungan seksual, jijik, kepuasan yang rendah, rendahnya hasrat seksual, rendahnya harga diri sebagai partner seksual, masalah orgasme, dorongan untuk menghindari atau mencari aktivitas seksual. Berdasarkan hasil dari wawacara terhadap ibu MI hal yang paling signifikan semenjak kejadian tersebut MI



lebih sering melamun, diam, mengurung diri dikamar dan tidak



bersosialisasi dan merasa tidak suka dengan dirinya sendiri (tidak bisa menerima tubuhnya), dan berdasarkan hasil observasi serta wawancara yang dilakukan langsung terhadap MI, pada awalnya MI tidak mau menceritakan dan hanya menatap namun setelah akhirnya diyakinkan ia mau bercerita dan terus menggepal tangganyaa dan meletakkan tangganya dibawah begitu juga pada saat proses konseling MI kembali menggepal tangannya berulang kali dan pada saat ditanyakan ia merasa cemas, takut, dan tidak nyaman terhadap dirinya sendiri.



Berdasarkan uraian kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa MI mengalami perubahan sikap yang menunjukkan perilaku traumatis (tidak menerima dirinya), menghindari dan menarik diri dari lingkungan sekitarnya.



3.3



Rancangan Program Kegiatan



No 1



Kegiatan MINGGU 1 ( KEGIATAN 1 & 2) 



Tools /



Membangun hubungan baik (raport) terlebih dahulu dengan berkenalan dan menanyakan kabar pada klien, mempekenalkan diri, dan menjelaskan tujuan dari diadakan kegiatan ini.







Menjelaskan secara singkat tentang apa itu “penerimaan diri” kepada klien







Mengadakan wawancara pada klien







Memberikan pre-test







Menayangkan



video



animasi



singkat



bertema



“penerimaan



diri”



(https://www.youtube.com/watch?V=wjqiu5fgsyc) 



Berdiskusi dengan klien tentang makna dari video yang baru diputar dan menuliskan makna dari video ke sticky notes







Berdiskusi dengan klien tentang bagaimana memandang diri sendiri bukan sebatas hal-hal buruk yang telah menimpa kita.







Meminta klien menulis 10 hal-hal yang klien suka dari diri klien ke sticky notes







Membaca dan mendiskusikan apa yang sudah klien tulis







Menempelkan sticky notes ke papan gabus







Mengakhiri sesi



Langkah pelaksanaan kegiatan 1 : 1. Fasilitator memulai sesi pertama dengan menanyakan kabar klien serta menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan agar bertujuan untuk membangun kedekatan. 2. Fasilitator memberikan penjelasan singkat mengenai definisi “Penerimaan Diri” 3. Fasilitator memberikan wawancara dengan klien 4. Fasilitator memberikan form pre-test dan meminta klien mengisinya. 5. Fasilitator menayangkan video animasi singkat bertema “Penerimaan Diri” 6. Fasilitator mengajak klien berdiskusi mengenai makna dari video yang baru diputar 7. Fasilitator meminta klien menuliskan makna video ke dalam kertas stick note lalu menempelkan di papan gabus 8. Fasilitator memberikan pengertian pada klien tentang mengapa sebagai seorang individu tak boleh menilai dirinya lebih rendah hanya karna kejadian buruk yang pernah menimpanya. 9. Fasilitator meminta klien menuliskan 10 hal-hal yang ia suka dari dirinya ke dalam kertas stick note dan memintanya menempelkan ke papan gabus 10. Fasilitator mengakhiri sesi kegiatan.







Lapto







Stick







Pena







Papan







Snack



2.



MINGGU 2 ( KEGIATAN 3 & 4) 



Membuka kegiatan dengan klien dengan menanyakan kabarnya,serta menanyakan secara singkat mengenai materi sesi 1 dengan maksud supaya ia lebih memahami dan menguasai serta dapat mengaplikasikannya secara baik.







Menayangkan video singkat (Https://Www.Youtube.Com/Watch?V=Svzmlqhgxqu)







Berdiskusi tentang makna dari video yang baru diputar







Berdiskusi dengan klien mengenai pengalaman tentang “kekurangan dan kelebihan dalam dirinya”, dan meminta klien menceritakan bagaimana ia menyikapi hal tersebut.







Menayangkan video motivasi pendek (Https://Www.Youtube.Com/Watch? V=Ikxryn4azjk)







Meminta klien untuk menuliskan kelebihan dan kekurangan yang ada dalam dirinya ke dalam kertas sticky notes







Berdiskusi tentang makna dari vidio dan memberikan motivasi kepada klien bahwa setiap orang memiliki kelebihan serta kekurangan didalam dirinya agar klien mampu memahami untuk menerima kelebihan serta kekurangan yang ada didalam dirinya, sehingga ia tidak terus merasa inferior atas apa yang telah terjadi







Menuliskan harapan-harapan klien di kertas sticker sticky notes lalu menempelkan di papan gabus







Menutup sesi



Langkah pelaksanaan kegiatan 2 : 1. Pertama, fasilitator akan membuka sesi kegiatan dengan menanyakan kabar, lalu selanjutnya menanyakan kepada klien beberapa hal mengenai sesi 1 yang telah dibahas sebelumnya (setiap pertanyaan yang berhasil dijawab subjek akan dimasukkan dalam perolehan poin) 2. Fasilitator menanyangkan vidio singkat dan berdiskusi dengan subjek mengenai makna dari vidio singkat yang telah ditonton berdasarkan pengalaman dirinya mengenai kelebihan dan kekurangan yang ada didalam dirinya dan meminta subjek untuk menceritakan bagaimana cara subjek dalam menyikapi hal tersebut didalam dirinya. 3. Selanjutnya fasilitator akan memutar vidio motivasi singkat, dan klien diminta untuk menuliskan kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya kedalam kertas sticky notes. 4. Fasilitator berdiskusi dengan subjek mengenai makna dari vidio dengan memberikan motivasi klien mengenai bagaimana seharusnya ia memahami dan menerima kekurangan, kelebihan yang ada pada dirinya.







Lapto







Stick







Pena







Papan







Snack



5. Fasilitator meminta subjek untuk menuliskan harapan-harapannya di kertas sticky notes serta menempelkannya dipapan gabus. 6. Fasilitator mengakhiri sesi kegiatan dengan menanyakan beberapa hal mengenai sesi yang telah dilaksanakan serta menanyakan kepada subjek jikalau ada hal yang belum ia pahami. MINGGU 3 ( KEGIATAN 5 & 6)



3. 



Membuka sesi dengan menanyakan kabar dan bagaimana perasaan klien hari itu







Menayangkan video animasi singkat (https://www.youtube.com/watch? V=Sa2xq0iy1JA)







Berdiskusi tentang makna dari video yang baru diputar







Berdiskusi dengan klien mengenai pengalaman akan “kritik/penolakan”, dan meminta klien menceritakan bagaimana ia menyikapi hal tersebut







Menayangkan video motivasi pendek (https://www.youtube.com/watch? V=ywd4mzgqqyo)







Berdiskusi tentang makna dari video, dan bercerita tentang cita-cita klien







Menuliskan harapan-harapan klien di kertas sticky notes lalu menempelkan di papan gabus







Memberikan motivasi pada klien bahwa pengalaman dan masa lalu tidak akan menentukan bagaimana masa depan akan terlihat







Menutup sesi



Langkah pelaksanaan kegiatan 3 : 1. Fasilitator memulai sesi pertama dengan menanyakan kabar klien serta menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan agar bertujuan untuk membangun kedekatan. 2. Fasilitator mengajak klien menonton video animasi singkat 3. Fasilitatro mengajak klien berdiskusi tentang makna dari video yang baru diputar 4. Fasilitator



mengajak



klien



berdiskusi



mengenai



“penolakan/kritikan” dan sharing dengan klien mengenai salah satu pengalaman klien akan penolakan/kritikan dan bagaimana sikap yang diambil 5. Fasilitator memutar video singkat mengenai motivasi semangat mencapai tujuan 6. Fasilitator mengajak klien berdiskusi mengenai makna dari video dan sharing tentang cita-cita klien 7. Fasilitator meminta klien menuliskan harapan-harapan klien di dalam kertas stick note lalu menempelkan ke papan gabus 8. Fasilitator memberikan pada klien pengertian bahwa apapun yang pernah terjadi di masa lalu tidak akan mempengaruhi bagaimana







Lapto







Stick







Pena







Papan







Snack



masa depan klien 9. Fasilitator mengakhiri sesi kegiatan.



4.







Membuka sesi kegiatan yang akan dilaksanakan dengan klien,dan







Lapto



menayakan beberapa hal mengenai kegiatan sebelumnya kepada klien hal







Stick



ini dimaksudkan untuk melihat sejauh mana klien memahami dan







Pena



mengaplikasikan materi kegiatan yang diberikan







Papan







Menayangkan video singkat







Snack







(https://www.youtube.com/watch?V=8_pqjno2wme)







Berdiskusi tentang makna dari video yang baru diputar







Menayangkan video motivasi pendek (Https://Www.Youtube.Com/Watch?V=Vtxgsjaqxjo)







Diskusi



bersama



dengan



klien



mengenai



bagaimana



sikap-sikap



penerimaan diri 



Melakukan Role Play yang diselipkan motivasi dalam setiap sesi bersama klien untuk mengubah persepsi klien mengenai dirinya sendiri agar lebih menyayangi dan menerima dirinya sendiri apa adanya tanpa merasa ragu.







Meminta klien untuk menuliskan cara-cara apa yang akan dilakukannya untuk menerima dan menyayangi dirinya sendiri di kertas sticky notes lalu menempelkan pada papan gabus







Menutup sesi



Langkah pelaksanaan kegiatan 4 : 1. Fasilitator membuka sesi kegiatan yang akan berlangsung dengan menanyakan beberapa hal mengenai sesi kegiatan sebelumnya (setiap pertanyaan yang berhasil dijawab subjek akan dimasukkan dalam perolehan poin) 2. Fasilitator menayangkan vidio singkat dengan tema sikap penerimaan diri, selanjutnya berdiskusi dengan subjek mengenai bagaimana sikap-sikap penerimaan diri tersebut. 3. Selanjutnya fasilitator kembali menanyangkan vidio motivasi singkat kepada subjek, setelah selesai maka fasilitator mengajak subjek untuk roleplay dengan menyelipkan motivasi dalam kegiatan diskusi tersebut. 4. Setelah selesai berdiskusi fasilitator meminta subjek untuk menuliskan cara apa saja yang akan dilakukan subjek untuk menerima dan menyayangi dirinya sendiri di kertas sticky notes lalu menempelkan dipapan gabus. 5. Fasilitator mengakhiri sesi kegiatan dengan menanyakan beberapa hal mengenai sesi yang telah dilaksanakan serta menanyakan kepada subjek jikalau ada hal yang belum ia pahami.



5.  







Tools



Membuka sesi dengan bertanya kabar dan bagaimana perasaan klien hari







Lapto



itu







Stick



Menayangkan video tentang bagaimana sebuah cermin tak mampu







Pena



mengatakan







Papan







Snack



kebaikan-kebaikan



hati



seseorang



(https://www.youtube.com/watch?V=d9ooxcu5xmg) 



Berdiskusi tentang makna dari video dengan klien







Memberi motivasi untuk klien bahwa bayangan diri yang tampak di cermin tak cukup menggambarkan seberapa berharga diri kita, bayangan diri di cermin tak mengatakan seberapa besar kebaikan-kebaikan yang telah kita beri untuk sekitar







Meminta klien menuliskan di kertas sticky notes pengalaman-pengalaman yang menurutnya adalah kebaikan yang telah ia beri untuk sekitar, sebagai pengingat bahwa dirinya telah memberi manfaat untuk sekitar







Meminta klien untuk membaca dan menceritakan pengalaman-pengalaman dan bagimana perasaannya saat kejadian itu terjadi







Menempelkan kertas sticky notes di papan gabus







Menayangkan video Merry Riana (https://www.youtube.com/watch? V=7spsc-kgrh4)







Meminta klien mencatat beberapa kutipan dari video tersebut dan menempelkan di papan gabus







Berdiskusi dengan klien tentang hal-hal apa yang klien sudah/akan lakukan untuk memberi apresiasi/hadiah untuk diri sendiri







Memberi pemahaman pada klien bahwa memberi apresiasi untuk diri sendiri adalah sebuah hal yang berdampak besar untuk kebaikan diri







Mengakhiri sesi



Langkah pelaksanaan kegiatan 5 : 1. Fasilitator membuka sesi dengan menanyakan kabar 2. Fasilitator menayangkan vidio singkat dan selanjutnya berdiskusi mengenai vidio tersebut 3. Fasilitator memberikan motivasi kpeada klien mengenai bayangan diri 4. Fasilitator menugaskan kepada klien untuk menuliskan pengalaman yang telah ia lakukan untuk sekitar di kertas sticky notes, selanjutnya klien diminta untuk membacakan serta memceritakan pengalamannya serta bagaimana perasaannya, lalu menempelkan kertas tersebut di papan gabus 5. Fasiltator menayangkan vidio Merry Riana dan memintanya untuk mencatat beberapa kutipan dari vidio tersebut di kertas sticky notes 6. Berdiskusi dengan klien dengan memberikan motivasi dan memberikan apresiasi atas pencapaian yang telah dilakukan klien 7. Fasilitator mengakhiri sesi



6.



 







Membuka sesi dengan bertanya kabar dan bagaimana perasaan klien pada







Lapto



hari itu







Stick



Menayangkan video mengenai sikap terhadap diri sendiri dengan menerima







Pena



apa yang telah terjadi dan tetap menjalani



proses kehidupan serta







Papan



menikmati setiap waktu dan memamfatkan kesempatan yang diberikan







Snack



dengan baik (Https://www.Youtube.Com/Watch?V=Fqebduyyh08)







Rewa



Menanyakan kepada klien makna yang dapat diambil dari vidio tersebut,selanjutnya klien ditugaskan untuk menulis kegiatan-kegiatan apa saja yang akan dilaksanakannya untuk memamfaatkan kesempatan yang diberikan dengan baik dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat positif dan bermanfat. Menempelkan kertas tulisan sticky notes di papan gabus







Berdiskusi dengan klien dan memberikan motivasi dengan tema : Banggalah dengan siapa dirimu, dan jangan malu dengan cara orang lain melihatmu,nikmati setiap proses yang terjadi dalam kehidupanmu dengan kegiatan yang bermamfaat







Melaksanakan Post-Test







Follow up sejauh mana klien memahami semua kegiatan yang diberikan dari awal sampai akhir kegiatan







Menghitung stiker dan memberikan hadiah sesuai jumlah stiker yang dikumpulkannya sesuai dengan yang dijanjikan di awal sebagai bentuk apreasiasi karena klien telah menyelesaikan semua kegiatan dengan baik sehingga klien semakin bersemangat.







Mengakhiri sesi dengan memberikan apresiasi kepada klien atas semua kegiatan yang dilaksanakan dari awal sampai akhir dan sekaligus berpamitan.



Langkah pelaksanaan kegiatan 6 : 1. Fasilitator membuka sesi dengan menanyakan kabar subjek 2. Fasilitator menanyangkan vidio singkat dengan tema menerima diri sendiri, selanjutnya berdiskusi kepada subjek mengenai makna apa yang dapat diambil dari vidio tersebut, dan meminta subjek untuk menuliskan rencana kegiatan-kegiatan yang bersifat positif dan bermanfaat dalam kesempatan yang masih diberikan dalam kehidupannya. 3. Fasilitator berdiskusi sambil memberikan motivasi kepada subjek 4. Selanjutnya fasilitator melaksanakan post test kepada subjek (wawancara, observasi, kuisioner)



5. Fasilitator melakukan evaluasi terhadap subjek untuk mengetahui sejauh mana subjek memahami kegiatan dari awal sampai berakhirnya kegiatan 6. Selanjutnya memberikan reward kepada subjek berdasarkan akumulasi poin yang rewardnya telah disepakati dari awal berdasarkan perolehan poin. 7. Fasilitator mengakhiri sesi sekaligus memberikan apresiasi terhadap subjek atas kegiatan yang telah terlaksana, selanjutnya fasilitator berpamitan.



Jadwal Tahapan Kegiatan NO



Hari / Tanggal



Kegiatan



1 2 3 4 5 6



Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4 Minggu 5 Minggu 6



Pre Test, Kegiatan 1 Kegiatan 2 Kegiatan 3 Kegiatan 4 Kegiatan 5 Post Test, Kegiatan 6



Rancangan Program Intervensi Tiap Pertemuan Intervensi ini akan dilakukan selama 3 minggu yang terdiri dari: 1. 2 kali pertemuan pada minggu pertama 2. 2 kali pertemuan pada minggu kedua 3. 2 kali pertemuan (2 pertemuan yang dilaksanakan intervensi namun untuk pertemuan ke 2 sekaligus dilakukan Post Test terdahap MI dan Follow Up terhadap keluarganya berdasarkan perkembangannya selama program intervensi).



Pada intervensi ini, Metode intervensi yang diberikan adalah metode token economy dengan ketentuan sebagai berikut : 



Dalam setiap pertemuan disediakan stiker post it yang akan digunakan selama pertemuan tersebut dengan berbagai kegiatan yang dilakukan







Dibuat perjanjian dengan MI akan diberikan reward (keinginannya) sesuai dengan poin yang dikumpulkannya







Dalam setiap kegaiatan MI akan ditugaskan menulis di sticky notes dengan berbagai kegiatan







Dalam setiap kegiatan akan diakumulasikan sudah berapa banyak ia menulis dan menguasai kegiatan yang telah dilaksanakan dengan baik,jika dapat memahami kegiatan maka akan diberikan bonus poin dengan ketentuan (yang dimana MI akan diberi 10 pertanyaan yang bernilai 1 poin setiap pertanyaan) : 10



benar-benar memahami



9-7



memahami



6



kurang



5-1



Tidak memahami



BAB IV KESIMPULAN 4. 1 Permasalahan yang dialami oleh MI pada kasus kekerasan seksual kategori pelecehan seksual berdasarkan proses wawancara, dan konseling yang menunjukkan sikap traumatis (merasa tidak nyaman atas tubuhnya sendiri) , penarikan diri dari lingkungan. Maka dari hal itu kami mengambil program Penerimaan Diri (Self Acceptance)



berdasarkan permasalahan yang



didapatkan pada kasus MI . Dengan diharapkan supaya MI dapat memandang secara positif setiap peristiwa atau permasalahan yang terjadi, menerima dirinya dengan segala kekurangan dan kelebihan yang dimiliki sehingga MI dapat menerapkan sikap pemerimaan diri serta dapat mengembangkan potensi yang MI miliki dalam kehidupannya.



BAB V REFLEKSI DIRI



Ilmu dan pelajaran yang telah kami dapat selama masa perkuliahan sangat bermanfaat pada saat Praktek Kerja Lapangan. Hal tersebut dapat terbukti pada saat sesi konseling, wawancara, maupun observasi terhadap klien. Kami dapat melihat dari bagaimana cara klien menyampaikan kronologi kejadian yang baru saja dialaminya, seperti bagaimana klien tampak takut dan masih menutup-nutupi kejadian atau beberapa klien masih terbawa emosi pada saat bercerita. Lalu kami juga sempat mendapat klien seorang anak perempuan korban pelecehan seksual berusia 6 tahun. Pada saat itu kami benar-benar berusaha bersikap netral dan tetap bersahabat pada klien yang masih di bawah umur. Kami bertugas mengobservasi anak tersebut dan bagaimana kami menggali data dari seorang anak bukanlah pekerjaan yang mudah. Di situ kami menyadari betapa bergunanya ilmu yang dipelajari pada saat kuliah, seperti bagaimana pendekatan yang tepat agar anak tersebut merasa aman dan nyaman berada di dekat kami. Pemilihan kata-kata yang tepat pada saat pendekatan pun perlu dipertimbangkan agar anak dapat mengerti dan mau bercerita. Banyak manfaat yang telah kami dapatkan selama Praktek Kerja Lapangan berlangsung. Terutama mengembangkan soft-skills kami seperti bagaimana kami melakukan pendekatan kepada klien yang rata-rata masih dalam keadaan emosi yang belum stabil. Kami juga lebih mengerti cara penerapan ilmu empati yang sesungguhnya yakni salah satunya pada saat kami mendengarkan klien bercerita serta berusaha memberikan dukungan moral pada klien. Di sana wawasan kami juga bertambah luas akan banyak hal, seperti pada saat pengambilan data, konseling, maupun saat observasi pada klien. Hari pertama kami menjalankan Praktek Kerja Lapangan di UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak Provinsi Jambi membuat kami merasa canggung, gugup, namun tetap antusias karena kami merasa ilmu yang telah kami pelajari selama kuliah akan diterapkan di lokasi tempat kami PKL. Kami juga merasa sedikit cemas karena takut tidak bisa beradaptasi pada lingkungan baru, ditambah lagi ini adalah lingkungan perkantoran dimana kami harus bersikap seolah-olah kami bukan lagi seorang mahasiswa, namun seorang pekerja yang sedang bekerja di UPTD PPA. Kebanyakan ilmu psikologi yang diterapkan dari PKL di PPA ini adalah psikologi klinis, sosial, perkembangan, kepribadian, dan bidang-bidang psikologi lainnya. Di hari pertama kami belum mendapatkan klien, maka kami memutuskan untuk membaca-baca kasus yang telah terjadi selama 2 tahun ke belakang sembari berdiskusi dari sisi Psikologi mengenai kasus-kasus tersebut. Di hari kedua PKL kami kedatangan beberapa klien kasus pencabulan pada anak laki-laki di bawah umur. Mereka hendak menjalankan konseling lanjutan. Salah satu dari kami ikut mengamati bagaimana proses konseling berlangsung yang diberikan oleh staff di sana. Di sana kami mengamati klien-klien tersebut yang terlihat kurang memahami akan pendidikan seksual. Kami merasa prihatin dan sedih karena ternyata masih sangat banyak anak-anak di luar sana yang tidak menyadari akan hal buruk yang ia alami akibat kurangnya pengetahuan tersebut. Selanjutnya kami banyak berdiskusi dengan staff di sana mengenai beberapa kasus dan menambah wawasan kami mengenai hal-hal yang belum kami ketahui sebelumnya.



Di minggu-minggu berikutnya kami lebih banyak mendapatkan klien remaja mulai dari kasus yang tidak dapat diproses karna umurnya yang telah lewat masa remaja sampai dengan remaja yang mengalami permasalahan didalam keluarganya, di dalam hal itu kami terus belajar untuk menyesuaikan diri dengan berbagai permasalahan yang muncul untuk itu kami terus belajar mengenai perkembangan-perkembangan remaja untuk bekal kami,setiap mendapatkan kasus kami berdua selalu berdiskusi mengenai kasus tersebut dalam memberikan pandangan dari berbagai sisi atas permasalahan yang dialami klien. Dalam beberapa kasus yang kami dapatkan kami diberi kesempatan untuk membuat 1 laporan psikologis dari klien, yaitu laporan psikologi SF karena SF merupakan remaja yang kasusnya yang pertama kali kami dapatkan. Awalnya kami membuat berdasarkan apa yang dicontohkan terhadap kami, Namun setelah bimbingan banyak hal yang masih perlu diperbaiki dari sana kami semakin belajar bahwa banyak hal yang masih perlu kami perbaiki untuk mengembangan kemampuan kami, serta harus lebih bersikap inisiatif karna apa yang dicontohkan belum tentu sesuai dengan keinginan mereka untuk itu sikap inisiatif sangat diperlukan dalam setiap hal, dan disana kami senang karena selalu diarahkan dan dibimbing dalam proses penyelesaian laporan psikologis tersebut. Pada saat minggu ke-6, kampus Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi menghimbau kepada seluruh instansi tempat kami PKL untuk menarik kembali semua mahasiswa agar tidak melanjutkan PKL mengingat kasus pandemi Covid-19 yang meningkat drastis. Meskipun kami belum sempat memberikan intervensi pada klien yang kami targetkan, kami tetap melanjutkan untuk membuat laporan Praktek Kerja Lapangan berisi intervensi yang telah kami rancang. Selama PKL berlangsung, kami mendapat banyak hal positif dan menjadikannya sebagai bekal untuk masa depan. Kami jadi mengetahui bagaimana cara beradaptasi dengan lingkungan baru terlebih lagi di kantor, belajar untuk percaya pada diri sendiri, melatih kedisiplinan, melatih berkomunikasi yang baik, serta penerapan sikap empati. Di sana kami banyak menerapkan ilmu psikologi yang telah dipelajari sebelumnya, seperti tugas perkembangan pada anak dan remaja, dan teori-teori lainnya. Kami juga menyadari bahwa suatu cerita memiliki banyak sisi. Maka dari itu kami belajar bahwa meng-cross check sebuah cerita adalah hal yang penting agar tidak salah dalam memberikan suatu kesimpulan. Praktek Kerja Lapangan ini pun membantu kami untuk lebih mengetahui gambaran profesi yang akan kami ambil nantinya.



DAFTAR PUSTAKA Anggun SU. Proses Penerimaan Diri Pada Penyintas Dewasa Awal yang Mengalami Pelecehan Seksual di Masa Anak-Anak (Doctoral dissertation, Universitas Andalas).



Annisa Hayuning Pratitis.2013. Proses Penerimaan Diri Perempuan Dewasa Awal Yang Mengalami Kekerasan Seksual Pada Masa Anak-Anak. Jurnal Kepribadian Dan Sosial .Vol. 2 No. 2



Dian Dkk.2017. Bibliotherapy: Self Help Book Meningkatkan Self Concept Pada Korban Sexual Harassment. Psikostudia: Jurnal Psikologi Vol 6, No 2, Hlm. 50-57 Issn: 2302-2582



Essah M & Hamidah.2018. Posttraumatic Growth Pada Wanita Dewasa Awal Korban Kekerasan Seksual.Jurnal Psikologi Klinis Dan Kesehatan Mental Vol.7 Pp.1-13 E-ISSN 2301- 7082



Izzaturrohmah I, Khaerani NM. Peningkatan Resiliensi Perempuan Korban Pelecehan Seksual Melalui Pelatihan Regulasi Emosi. Psikohumaniora: Jurnal Penelitian Psikologi. 2018 Aug 2;3(1):117-40.



Khoirul Bariyyah Hidayati M Farid.2016.Konsep Diri, Adversity Quotient Dan Penyesuaian Diri Pada Remaja.Jurnal Persona, Jurnal Psikologi Indonesia,Vol. 5, No. 02, Hal 137 – 144



Phebe Iilneia, Woelan.2011 . Pemulihan Diri Pada Korban Kekerasan Seksual. Jurnal Insan Vol.13 No,02 ISSN 1411-2671)



Pratitis AH, Hendriani W. Proses Penerimaan Diri Perempuan Dewasa Awal Yang mengalami kekerasan Seksual Pada Masa Anak-Anak. Jurnal Kepribadian dan Sosial. 2013;2(2):718.



Simajuntak, D. L., and Ade Rahmawati Siregar. "Hubungan penerimaan diri dengan kompetensi sosial pada remaja obesitas." Universitas Sumatera Utara, Medan. Retrieved from http://fpsi. mercubuana-yogya. ac. id/wp- content/uploads/2012/06/Devi-Lestari-AdeRahmawati-Remaja-Obesitas. ok_. pdf (2012).



Sumera M. Perbuatan Kekerasan/Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan. Lex et Societatis. 2013 May 10;1(2).



LAMPIRAN : Modul Kartu Bimbingan Jurnal Harian