Laporan Praktek GERD - B2 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PRAKTEK FARMAKOTERAPI SISTEM PERNAFASAN DAN PENCERNAAN (DEA62040) SEMESTER GENAP



DISUSUN OLEH KELOMPOK B2 ANGGOTA: Melsandi Nida’ Arifatul Insani Distyshinta Pasha A. M. Muhammad Afifuddin Nida Syarifatul L. Nur Laili Fitriani Laillia Nur Romadhini Melinda Violita Nadela Cintia Nurtyas Ishmatul Hamidah Naura Clariza Finanda Muhammad Amrin Hakim Milhan Aulia Putri Nisa Permatasari Wiyono



(155070507111006) (175070500111003) (185070500111002) (185070500111024) (185070500111028) (185070501111002) (185070501111006) (185070501111012) (185070501111024) (185070501111028) (185070501111030) (185070501111034) (185070507111009) (185070507111010)



PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA TA 2019/2020 GERD (Gastroesophageal Reflux Disease)



1. DEFINISI



2. EPIDEMIOLOGI 3. ETIOLOGI 4. PATOFISIOLOGI 5. TERAPI NON-FARMAKOLOGI 6. TERAPI FARMAKOLOGI 7. KASUS PRAKTEK FARMAKOTERAPI 8. PEMBAHASAN KASUS 9. DAFTAR PUSTAKA



1. DEFINISI



GERD didefinisikan dengan konsensus dan karena itu merupakan penyakit yang terdiri atas gejala, efek organ akhir dan komplikasi yang berkaitan dengan refluks isi lambung ke kerongkongan, rongga mulut, dan / atau paru-paru. GERD dapat diklasifikasikan lebih lanjut sebagai adanya gejala tanpa erosi pada pemeriksaan endoskopi (penyakit non-erosif atau NERD) atau gejala GERD dengan disertai erosi (ERD). Diagnosis GERD dibuat menggunakan beberapa kombinasi presentasi gejala, pengujian objektif dengan endoskopi, pemantauan refluks rawat jalan, dan respons terhadap terapi antisekresi (Katz. Et al., 2013)



2. EPIDEMIOLOGI Refluks gastroesofageal / gastroesophageal reflux disease (GERD) merupakan penyakit gastrointestinal yang paling umum terjadi walau data epidemiologi di Indonesia tidak tercatat secara jelas. Berdasarkan data epidemiologi prevalensi grade di Asia sekitar 2-5% secara umum lebih rendah dibandingkan dengan negara barat, namun data terakhir menunjukkan bahwa prevalensinya semakin meningkat Prevalensi GERD diperkirakan sektiar 18.1%-27.8% di Amerika Utara, 8.8%-25.9% di Eropa, 2.5%-7.8% di Asia Timur, 11.6% di Australia, dan 23% di Amerika Selatan. (Syam, et al. 2013). Meskipun data epidemiologi GERD di Indonesia tidak tercatat jelas, salah satu studi di Indonesia menyebutkan bahwa prevalensi GERD mengalami peningkatan. Data tersebut diperoleh dari laporan prevalensi GERD salah satu rumah sakit di Indonesia yaitu Rumah Sakit Dr. Ciptomangunkusumo dimana prevalensi GERD meningkat dari 5,7% pada tahun 1997 menjadi 25,18% pada tahun 2002 (Syam dkk., 2003)



3. ETIOLOGI Gastroesophangeal reflux diseae disebabkan oleh proses yang multifaktor. Pada orang dewasa faktor-faktor yang menurunkan tekanan sfingter esofagus bawah sehingga terjadi refluks gastroesofagus antara lain, obat-obatan (misalnya aspirin), alkohol, rokok, kehamilan. Faktor anatomi seperti tindakan bedah, obesitas, pengosongan lambung yang terlambar dapat



menyebabkan hipoensi sfingter esofagus bawah sehingga menimbulkan refluks gastroesofagus (Muttaqin, 2011). Pada sebagian orang, makanan dapat memicu terjadinya refluks gastroesofageal, seperti bawang, saos tomat, mint, minuman berkarbonasi, coklat, kafein, makanan pedas, makanan berlemak, alkohol, ataupun porsi makan yang terlalu besar. Beberapa obat dan suplemen diet pun dapat memperburuk gejala refluks gastroesofageal, dalam hal ini obat-obatan yang mengganggu kerja otot sfinter esofagus bagian bawah, seperti sedatif, penenang, antidepresan, calcium channel blockers, dan narkotika. Termasuk juga penggunaan rutin beberapa jenis antibiotika dan non steroidal antiinflammatory



drugs



(NSAIDs)



dapat



meningkatkan



kemungkinan



terjadinya inflamasi esofagus (Tarigan, 2019). Beberapa penelitian juga menyatakan bahwa penggunaan obat-obatan bronkodilator akan menyebabkan terjadinya penurunan kontraksi dari sfingter usofagus bagian bawah (LES). Pemberian obat teofilin dan beta 2 agonis secara sistemik menurunkan tonus LES dan menstimulasi atau merangsang pengeluaran sekresi asam hidroklorid (HCl) dilambung. Sedangkan pemberian beta 2 agonis secara inhalasi tidak mempengaruhi penurunan tonus otot sfingter usofagus bawah (LES) (Astarita, 2000).



4. PATOFISIOLOGI Faktor kunci dalam pengembangan GERD adalah refluks abnormal isi lambung dari lambung ke kerongkongan, rongga mulut, dan / atau paru-paru. Dalam beberapa kasus, refluks gastroesofageal berhubungan dengan tekanan sfingter esofagus bagian bawah yang lebih rendah (LES). Pasien mungkin mengalami penurunan tekanan sfingter gastroesofageal terkait dengan : 1. Relaksasi LES transien spontan 2. Peningkatan sementara tekanan intraabdomen, atau 3. LES atonik, yang semuanya dapat mengarah pada perkembangan refluks gastroesofagus.



Masalah dengan mekanisme pertahanan mukosa normal lainnya, seperti anatomi esofagus abnormal, pembersihan esofagus yang tidak tepat pada cairan lambung, berkurangnya resistensi mukosa terhadap asam, penundaan pengosongan lambung yang tidak efektif, produksi faktor pertumbuhan epidermal yang tidak memadai, dan berkurangnya buffering saliva asam, juga dapat berkontribusi untuk pengembangan GERD. Zat yang dapat menyebabkan kerusakan esofagus pada refluks ke dalam esofagus diantaranya adalah asam lambung, pepsin, asam empedu, dan enzim pankreas. Dengan demikian, komposisi dan volume refluks, serta durasi paparan, merupakan faktor agresif penting dalam menentukan konsekuensi refluks gastroesofagus. Kehadiran "kantong asam" telah mendapatkan perhatian sebagai penjelasan potensial untuk gejala refluks postprandial dan dapat mewakili target untuk pengobatan penyakit refluks. Sementara keasaman lambung dilindungi oleh makanan, pemantauan pH telah menunjukkan bahwa efek buffering ini dapat bervariasi di berbagai bagian lambung dan kerongkongan. Kantung asam dianggap sebagai area asam yang tidak dikompensasi dalam lambung proksimal yang menumpuk setelah makan dan dapat berkontribusi pada gejala GERD pascabencana. Diperkirakan terjadi karena asam yang terstimulasi menyeybabkan makanan tidak bercampur dengan baik dengan chyme di proksimal perut. Sekresi lambung membentuk lapisan berbeda di atas chyme. Pasien GERD cenderung mengalami migrasi asam dari kantung asam. Selain itu, kantong asam juga dapat diposisikan di atas diafragma pada pasien, terutama pada mereka dengan hiatal hernia, yang meningkatkan risiko refluks asam.



Perbandingan manometry reollusi tinggi esofagus normal yang menunjukkan sphincter esofagus normal dan sphincter esofagus bawah (LES) tekanan istirahat dan relaksasi dengan bolus air (A), dibandingkan dengan yang terlihat pada pasien dengan GERD dan LES istirahat yang lemah (B) .



5. TERAPI NON FARMAKOLOGI Terapi non-farmakologi yang dapat dilakukan untuk mengatasi GERD antara lain: 1. Penurunan berat badan Obesitas diduga menyebabkan GERD melalui berbagai faktor antara lain meningkatkan: perubahan (gradient) tekanan sfingter gastroesofagus, kejadian hiatal hernia, tekanan intra-abdomen, dan pengeluaran enzim pankreas dan empedu. Oleh karena itu, penurunan berat badan dapat mengurangi gejala GERD (Kaltenbach, 2006). 2. Menaikkan posisi kepala ketika tidur Posisi berbaring datar ketika tidur dapat meningkatkan risiko refluks esofagus. Dengan menaikkan posisi kepala ketika tidur dapat mengurangi gejala refluks, mengurangi durasi refluks, pembersihan asam lebih cepat, dan mengurangi paparan asam pada esofagus (Kaltenbach, 2006). 3. Makan sedikit namun bertahap dan menghindari tidur setelah makan karena dapat meningkatkan risiko refluks. 4. Menghindari tidur setelah makan. Jika sesudah makan, maka menunggu minimal 3 jam untuk menurunkan volume dari isi lambung.



5. Berhenti merokok dan mengonsumsi alkohol, karena dapat menaikkan amplitudo dari LES, gelombang peristaltik, dan frekuensi kontraksi. 6. Menghindari makanan yang dapat mengiritasi mukosa yang mana dapat menyebabkan mukosa lambung luka esophagus seperti makanan pedas, jus jeruk, kopi dan jus tomat. 7. Menghindari mengonsumsi makanan yang dapat memicu gejala GERD (contoh: coklat, asam, kopi, makanan berlemak, makanan pedas, minuman berkarbonasi, alkohol). 8. Menghindari obat-obatan yang dapat memicu refluks (seperti: Calsium Channel Blocker, ß-blocker, Nirates, Theophylline). 9. Jika terpaksa minum obat yang memiliki efek iritasi langsung ke mukosa esofagus (misalnya, bifosfonat (obat osteoporosis), tetrasiklin (antibiotik), quinidine (antimalaria), kalium klorida, garam besi, aspirin, NSAID, maka disarankan untuk minum dengan banyak air (DiPiro, et. al., 2009). 10. Menghindari memakai pakaian ketat, karena pakaian yang ketat dapat menekan abdomen (Ministry of Health Ghana, 2010).



6. TERAPI FARMAKOLOGI 1. Lansoprazole (Proton Pump Inhibitors) Lansoprazole adalah prodrug benzimidazole tersubstitusi dengan aktivitas inhibitor pompa proton selektif dan ireversibel. Lansoprazole prodrug dikonversi menjadi turunan sulfonamide aktif dalam lingkungan asam sel parietal lambung; turunan sulfonamida berikatan dengan pompa proton lambung H + / K + ATPase dan membentuk ikatan disulfida yang stabil dengan gugus sulfhidril di dekat situs pengikat kalium pada sisi luminal, yang mengakibatkan inaktivasi ATPase dan pengurangan sekresi asam lambung. (PubChem. 2020). Dosis Lansoprazole 30 mg 2x/hari untuk penyembuhan esofagitis erosif atau perawatan pasien dengan gejala atau komplikasi sedang hingga berat. (Well, et. al. 2015). Disarankan agar pasien minum PPI Oral di pagi hari 15-30 menit sebelum sarapan agar mencapai hasil yang maksimal. (Well, et. al. 2015). Efek samping obat yaitu sakit kepala, pusing,



mengantuk, diare, sembelit, dan mual. Efek samping jangka panjang yang potensial termasuk infeksi enterik, defisiensivitamin B12, hipomagnesemia, dan patah tulang. 2. Domperidone (Prokinetik) Mekanisme Kerja dengan bekerja melalui neurotransmisi dari CTZ (Chemo Reseptor Trigger Zone) dari pusat muntah dengan cara memblok reseptor dopamin D2Indikasi domperidone untuk meningkatkan fungsi LES atau kekuatan sfingter esofagus bagian bawah, meningkatkan peristaltis esofagus, dan mempercepat pengosongan lambung. Dosis obat 10 mg 3 kali sehari 1 tablet. Durasi Terapi yang dilakukan dapat selama 2 minggu. Efek samping obat yaitu mulut kering, pusing, sakit kepala. 3. Famotidin (H2RA) Mekanisme kerjanya dengan menghambat histamin pada reseptor H2 (di lambung), sehingga mengurangi produksi asam lambung. Ini akan membantu pemulihan apabila terjadi kerusakan pada dinding lambung. Efek samping obat yaitu sakit kepala, pusing. Dosis : 40 mg 1 dd 1 pada malam hari dan bisa dikombinasi dengan PPI.



7. KASUS PRAKTEK FARMAKOTERAPI MATERI: GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE (GERD) KASUS: Tn. HY (55 tahun) datang ke apotek Anda dengan keluhan dada terasa terbakar dan nyeri sepanjang hari dalam 10hari terakhir. Perut terasa perih dan regurgitasi sering terjadi setelah makan dan terkadang pada saat makan. Keluhan dada terasa terbakar dan nyeriyang seringkali muncul tiba-tiba membuat pasien terbangun pada saat tidur. Pasien tidak mengalami kesulitan dalam mengunyah dan menelan makanan atau minum. Pasien mencoba menggunakan Mylanta Suspensi dan Famotidine10 mg yang disarankan oleh rekan kerjanya untuk mengatasi keluhan pasien. Dengan kedua obat ini, keluhan pasien sedikit teratasi tetapi tidak sepenuhnya menghilangkan keluhannya.



Riwayat penyakit pasien: 



Hipertensi stage I selama 12 tahun







GGK (gagal ginjal kronik) selama 2 tahun







DM tipe 2 selama 5 tahun, sering kesemutan pada kedua kaki dalam 3 bulan terakhir (terjadi neuropati)



Riwayat sosial: 



Menikah dan mempunyai 2 orang anak







Bekerja sebagai karyawan bank







Minum bir 1-2 botol setelah selesai bekerja







Merokok selama 25 tahun sampai sekarang dengan frekuensi 1 pak per hari



Riwayat pengobatan: 



Amlodipine 5 mg 1 dd 1







Glimepiride 5 mg 2 dd 1







Aspirin 80 mg 1 dd 1







Ibuprofen 200–400 mg PRN untuk nyeri kepala



Alergi: 



Penicillin (bercak merah pada kulit)



Data klinik: 



TD: 130/90 mmHg; Nadi: 87x/min; RR 17x/min, T 36°C; BB 99 kg, TB 165 cm



Data lab: 



GDP: 200 mg/dL; TG 197 mg/dL, Hb 12 g/d



Permasalahan: Px (55 tahun) datang dengan gejala GERD tidak terkontrol dan menggunakan terapi OTC antasida dan H2RA TUGAS AWAL:



Mahasiswa mengidentifikasi dan menggolongkan pertanyaan-pertanyaan berikut ini sesuai klasifikasi SOAP (Subjective, Objective, Assessment, Plan)



8. PEMBAHASAN KASUS Pertanyaan: 1. Jelaskan problem list (daftar masalah) yang terjadi pada pasien ini? (S & O)  Dada terasa terbakar dan nyeri sepanjang hari dalam 10 hari terakhir sehingga membuat pasien terbangun saat tidur.  Perut terasa perih dan regurgitasi sering terjadi setelah makan dan terkadang pada saat makan.  Riwayat hipertensi selama 12 tahun, GGK selama 2 tahun, dan DM tipe II selama 5 tahun. Pasien sering mengalami kesemuatan pada kedua kaki dalam 3 bulan terakhir.  Pasien mengalami obesitas berdasarkan data BB dan TB  Pasien mengalami hipertrigliseridemia yang ditunjukkan dengan data lab TG mencapai 197 mg/dL. 2. Jelaskan faktor yang berkontribusi menyebabkan terjadinya GERD pada pasien ini? (S & O) a. Faktor subjektif :  Kebiasaan pasien meminum bir 1-2 botol setelah selesai bekerja karena dapat menaikkan amplituda LES, gelombang peristaltic, dan frekuensi peristaltik  Merokok selama 25 tahun dengan frekuensi 1 pak per hari, dapat menurunkan kerja LES, menimbulkan kerusakan membrane mukosa dan meningkatkan sekresi asam lambung  Riwayat penyakit pasien yaitu diabetes mellitus, dimana terjadi penundaan pengosongan lambung karena penurunan fungsi motoric lambung yang dapat memicu kondisi GERD  Konsumsi amlodipine untuk pengobatan hipertensi pasien dapat memicu GERD dikarenakan amlodipine merupakan Calcium Channel Blocker (CCB). Mekanisme kerja dari CCB adalah dilatasi otot halus sehingga dapat menurunkan fungsi LES



 Konsumsi aspirin dan ibuprofen juga dapat memicu GERD dikarenakan keduanya merupakan golongan NSAID non selektif. Mekanisme kerja dari NSAID non selektif adalah menghambat enzyme



Cyclooxygenase



termasuk



COX-1



sehingga



produksi



prostaglandin sebagai proteksi lambung menurun atau tidak diproduksi b. Faktor Objektif :  Berat badan pasien yang obesitas dapat dilihat dari perhitungan BMI (Body Mass Index) dimana obesitas merupakan salah satu faktor resiko penyakit GERD. Berdasarkan perhitungan BMI, pasien berada pada obesitas level 2  Berdasarkan data lab GDP pasien sebesar 200 mg/dL dan TG sebesar 197 mg/dL yang menunjukkan bahwa kadar GDP serta TG pasien tinggi sehingga dapat memperburuk gejala penyebab GERD 3. Jelaskan target terapi untuk pasien ini? (Assesment)  Menghilangkan gejala yang diderita pasien seperti : a) rasa dada terbakar b) nyeri dada c) rasa perih di perut. d) regurgitasi  Mengurangi kebiasaan merokok dan minum-minuman beralkohol  Meminimalkan efek samping obat yang digunakan.  Mencegah kekambuhan  Memperbaiki kualitas hidup  Mencegah timbulnya komplikasi  Mengurangi produksi asam lambung.  Mengatasi kerusakan mukosa akibat tingginya asam lambung.  Mencegah terjadinya esophagitis  Mengatasi faktor-faktor yang memicu terjadinya GERD pada pasien, yaitu penyakit kronik seperti hipertensi, DM tipe 2, dan dislipidemia



 Edukasi pada pasien perlu dilakukan baik berupa terapi farmakologi ataupun non farmakologi untuk meningkatkan keberhasilan terapi 4. Jelaskan terapi non-farmakologi yang dapat diberikan pada pasien ini untuk meningkatkan keberhasilan terapinya? (Plan) 



Meninggikan kepala pada saat tidur (untuk meningkatkan clearence esofagus)







Menurunkan berat badan pasien karena berdasakan perhitungan BMI pasien berada pada obesitas level 2







Menginformasikan kepada pasien agar dapat



memanajemen stress



karena stress merupakan faktor resiko yang dapat meningkatkan produksi asam lambung. 



Menghindari makanan dan minuman yang dapat memicu penurunan tekanan LES (Lower Esophageal Spincter) seperti makanan yang berlemak, cokelat, alkohol, dan segala jenis peppermint







Dapat memakan makanan yang mengandung tinggi protein.Baik protein hewani muapun nabati. Hal tersebut karena protein dapat menambah tekanan LES







Menghindari makanan yang dapat mengiritasi mukosa yang mana dapat menyebabkan mukosa lambung luka esophagus seperti makanan pedas, jus jeruk, kopi dan jus tomat.







Porsi makan dikurangi / dalam porsi kecil namun sering.







Menghindari tidur setelah makan. Jika sesudah makan maka menunggu minimal 3 jam (waktu pengosongan lambung).







Pasien masih merokok hingga saat ini sehingga diinformasikan agar berhenti/mengurangi rokok.







Menghindari alcohol.







Menghindari penggunaan pakaian yang ketat pada bagian perut.







Hindari obat-obat yang dapat meningkatkan reflux gastroesofagus (Calcium Channel Blocker, bitrat, teofilin, beta-bloker). Berdasarkan riwayat pengobatan pasien aspirin dapat digantikan dengan clopidogrel dengan persetujuan/konsultasi dokter spesialis jantung terlebih dahulu.



Selain itu ibuprofen dapat diganti dengan parasetamol 500 mg (prn) diminum 3 kali sehari. Sedangkan obat amplodipine yang merupakan golongan CCB (Calcium Channel Blocker) dapat digantikan dengan golongan ARB seperti valsartan, jika ingin mengganti obat maka harus berkonsultasi dengan dokter terlbih dahulu. 



Jika terpaksa minum obat yang memiliki efek iritasi langsung ke mukosa esofagus



(misalnya,



bifosfonat



(obat



osteoporosis),



tetrasiklin



(antibiotik), quinidine (antimalaria), kalium klorida, garam besi, aspirin, NSAID, maka minum dengan banyak air. 5. Buatlah regimen terapi farmakologi untuk GERD pada pasien ini? (Plan) a. Proton Pump Inhibitors: 1. Lansoprazole 30 mg/hari  Lansoprazole adalah prodrug benzimidazole tersubstitusi dengan aktivitas



inhibitor



pompa



proton



selektif



dan



ireversibel.



Lansoprazole prodrug dikonversi menjadi turunan sulfonamide aktif dalam lingkungan asam sel parietal lambung; turunan sulfonamida berikatan dengan pompa proton lambung H + / K + ATPase dan membentuk ikatan disulfida yang stabil dengan gugus sulfhidril di dekat situs pengikat kalium pada sisi luminal, yang mengakibatkan inaktivasi ATPase dan pengurangan sekresi asam lambung. (PubChem. 2020)  Lansoprazole 30 mg 2x/hari untuk penyembuhan esofagitis erosif atau perawatan pasien dengan gejala atau komplikasi sedang hingga berat. (Well, et. al. 2015)  Disarankan agar pasien minum PPI Oral di pagi hari 15-30 menit sebelum sarapan agar mencapai hasil yang maksimal. (Well, et. al. 2015)  ESO : sakit kepala, pusing, mengantuk, diare, sembelit, dan mual. Efek samping jangka panjang yang potensial termasuk infeksi



enterik, defisiensi vitamin B12, hipomagnesemia, dan patah tulang. (Well, et. al. 2015) 2. Omeprazole 20 mg/sehari  Omeprazole adalah benzimidazole dengan aktivitas penghambatan pompa proton selektif dan ireversibel. Omeprazole membentuk ikatan disulfida yang stabil dengan gugus sulfhidril dari hidrogenkalium (H + - K +) ATPase yang ditemukan pada permukaan sekretori sel parietal, sehingga menghambat pengangkutan akhir ion hidrogen (melalui pertukaran dengan ion kalium) ke dalam lumen lambung dan menekan sekresi asam lambung. Agen ini tidak menunjukkan aktivitas antikolinergik dan tidak antagonis reseptor histamin H2 (PubChem,2020).  Omeprazole dapat diminum 1 jam sebelum makan selama 2-8 minggu. Omeprazole dapat diminum dengan metokloperamid 10 mg.  ESO: mual, muntah, sakit perut, sakit kepala, diare ringan b. Prokinetik 1. Domperidone (Drugbank, 2005)  Indikasi



: Untuk meningkatkan fungsi LES atau kekuatan



sfingter esofagus bagian bawah, meningkatkan peristaltis esofagus, dan mempercepat pengosongan lambung.  Dosis



: 10 mg 3 dd 1



 Durasi Terapi



: Selama 2-8 minggu



 ESO



: Mulut kering, pusing, sakit kepala,



 Mekanisme Kerja :



Bekerja melalui neurotransmisi dari CTZ



(Chemo Reseptor Trigger Zone) dari pusat muntah dengan cara memblok reseptor dopamin D2.  Jika pasien tetap mengeluhkan dada nyeri dan terbakar maka dapat diberi metokloperamid secara rutin 10-15 mg 4 dd 1 30 menit sebelum makan dan saat tidur malam. Dapat juga diberikan domperidone 10-15 mg 3-4 dd 1 diminum 15-30 sebelum makan. c. Famotidin (H2RA) (Mayo clinic, 2020)



 Dosis : 40 mg 1 dd 1 pada malam hari. Bisa dikombinasi dengan PPI  Mekanisme kerja : menghambat histamin pada reseptor H2 (di lambung), sehingga mengurangi produksi asam lambung. Ini akan membantu pemulihan apabila terjadi kerusakan pada dinding lambung.  ESO : sakit kepala, pusing d. Sucralfate  Jika pasien tetap mengeluhkan perut tarasa perih maka dapat dilakukan tes endoskopi untuk memastikan pasien mengalami ulkus peptikum atau tidak.Jika hasil menunjukan bahwa pasien mengalami ulkus maka regimen yang dapa diberikan yaitu sucralfate.  Dosis: 1 g 4 dd 1 atau 2 g 2 dd 1 selama 4-8 minggu  Pemberian sucralfate harus dijeda dengan pemberian PPI karena sucralfate tidak aktif pada pH basa sehingga diminum dalam perut kosong. Solusinya yaitu diberi sucralfate terlebih dahulu kemudian dijeda 30-60 menit diberi PPI. 6. Parameter klinis & laboratoris apakah yang harus dievaluasi pada pasien ini untuk mengetahui keberhasilan terapi & untuk mendeteksi ESO? (Plan)  Dipantau gejala yang terjadi pada pasien sudah membaik / hilang seperti rasa nyeri, perut terasa perih  Dipantau bahwa pasien terhindar dari komplikasi  Dipantau gaya hidup pasien  Dipantau kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi yang diberikan  Dipantau efek samping yang terjadi pada pasien  Dipantau berat badan pasien agar tidak obesitas yang dapat memperburuk gejala GERD, waktu pengosongan lambung lama  Dipantau nilai GDP dan TG yang dapat memperburuk gejala GERD  Gejala heartburn reda atau hilang, tidak nyeri perut



 Cek gula darah untuk mengontrol kadar gula darah karena pasien memiliki riwayat penyakit Diabetes Mellitus tipe 2  Cek Tekanan darah karena pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi  Dapat dilakukan Endoscopy untuk keberhasilan terapi GERD untuk menegakkan diagnosis penderita dengan keluhan saluran cerna kronis atau berat dengan keluhan nyeri pada ulu hati, kembung, mual, muntah. Dapat juga untuk mengetahui pendarahan saluran cerna atas, menetukan sumber perdarahan, dan menghentikan perdarahannya serta untuk terapi pengobatan varices tenggorokan (esofagus)  Apabila tidak segera membaik maka pasien disarankan berrkonsultasi dengan dokter  Terapi GERD untuk 14 hari (2 minggu), berikan KIE untuk efek samping yang prevalensi terbesar  pH monitoring seama 24 jam dengan transnasal cateter untuk mengetahui komplikasi pada ginjal (asidosis/ alkalosis metabolik)  Cek kadar SGOT SGPT untuk mengetahui fungsi hepar → terkait DM pasien  Cek kadar serum kreatinin untuk mengetahui fungsi ginjal 7. Informasi apa yang harus Anda berikan pada pasien tentang terapi GERD yang diberikan untuk menjamin kepatuhan, mencegah efek samping, dan meningkatkan keberhasilan terapi? (plan)  Mengedukasi pasien agar mengonsumsi obat tepat waktu sesuai dengan dosis yang diberikan  Penggunaan Omeprazole harus sebelum makan karena omeprazole bekerja pada pH asam  Metoklorpamid diminum 30 menit sebelum makan dan waktu akan tidur  Metoklorpamid dapat menyebabkan drowsiness, sehingga setelah minum tidak boleh berkendara  Penggunaan dengan alkohol memperburuk drowsiness  Menghindari penggunaan NSAID, rokok, alkohol, makanan berlemak, kafein, coklat, makanan pedas yang menyebabkan memperburuk GERD  Tidak tidur setelah makan



 Jika mengonsumsi obat-obat pemicu GERD / mual muntah seperti aspirin dan ibuprofen, diminum dengan mengonsumsi banyak air  Posisi setelah makan, tidak terlalu membungkuk dan tidak terlentang karena memicu refluks  Melakukan hal-hal yang dapat menguatkan otot ower esophageal sphincter (LES) seperti mengonsumsi makanan tinggi protein  Mengonsumsi makanan sedikit-sedikit namun sering  Melakukan penurunan berat badan secara terkontrol karena pasien obesitas dengan olahraga ringan secara rutin dan mengatur pola makan  Tidak melakukan olahraga berat-berat untuk menghindari refluks asam lambung  Menghindari menggunakan pakaian terlalu ketat yang dapat menekan area lambung  Posisi tidur diupayakan sesuai, tidak tengkurap, posisikan kepala berada diatas diganjal dengan bantal, diusahakan posisi tidur miring posisi ke kiri karena letak lambung di sebelah kiri perut, sehingga lambung berada di posisi yang lebih rendah  Segera melaporkan apabila mengalami gejala yang ditimbulkan dari efek samping obat kepada tenaga medis terkait



9. DAFTAR PUSTAKA Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, A.G., Posey, L.M. 2015. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Apporach 9th edition. New York: McGraw-Hill Companies. Drugbank. 2005. Domperidone. Diakses pada 8 April 2020, pukul 21.31 . https://www.drugbank.ca/drugs/DB01184 Katz. Philip O. Gerson. Lauren B. Vela. Marcelo F. 2013. Guidelines for the Diagnosis and Management of Gastroesophageal Reflux Disease. American Journal of Gastroenterology. Volume: 108 - Issue 3 - p 308328



Mayo



clinic.



2020.



Famotidine.



Diakses



pada



8



April



2020.



https://www.mayoclinic.org/drugs-supplements/famotidine-oralroute/description/drg-20072972



Syam AF, Aulia C, Renaldi K. 2013 Revisi Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal Di Indonesia. Jakarta : Perkumpulan



Gastroenterologi Indonesia



Syam AF, Abdullah M, Rani AA. 2003. Prevalence of reflux esophagitis, Barret’s esophagus and esophageal cancer in Indonesian people evaluation by endoscopy. Canc Res Treat.5(83) Wells, B.G., Joseph T.D., Terry L.S. dan Cecily V.D. 2015. Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition. New York : McGraw-Hill Education.