Laporan Praktikum Farmakologi - Anestesi Umum - Kelompok 2bd [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI I OBAT-OBAT YANG BEKERJA TERHADAP SISTEM SARAF PUSAT ANASTETIKA UMUM



Dosen pengampu : Dr. Nurmeilis, M.Si, Apt. Dr. Delina Hasan, M.Kes, Apt. Dimas Agung Waskito W, S.Far. Marvel Chaidir, S.Far. Disusun oleh: Kelompok 2BD - Farmasi 2014



Riqo Sofyan



(11141020000038)



Maya Nur Amalia



(11141020000039)



Corry Priscilliana Putri



(11141020000041)



Deani Nurul Mubarika



(11141020000045)



Tasha Azizah Ulyanisa



(11141020000046)



Annisa Ulfa Mutiara



(11141020000055)



PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA JAKARTA APRIL/2016



BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sistem saraf pusat (SSP) merupakan sistem saraf yang dapat mengendalikan sistem saraf lainnya didalam tubuh dimana bekerja dibawah kesadaran atau kemauan. SSP biasa juga disebut sistem saraf sentral karena merupakan sentral atau pusat dari saraf lainnya. Sistem saraf pusat ini dibagi menjadi dua yaitu otak (ensevalon) dan sumsum tulang belakang (medula spinalis). Dalam percobaan ini mahasiswa farmasi diharapkan mampu untuk mengetahui dan memahami bagaimana efek farmakologi obat-obat yang bekerja terhadap sistem saraf pusat, dimana mahasiswa mengamati efek anastetik umum dan hipnotik sedativ yang diujikan pada hewan coba Tikus. Zat yang digunakan untuk anastetik umum yaitu eter, kloroform dan alkohol 96%, sedangkan untuk hipnotik sedativ digunakan diazepam. Anesthesia umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). Usaha –usaha yang dilakukan untuk mengulangi atau mengurangi rasa sakit dengan menggunakan obat dalam prosedur pembedahan sudah dilakukan sejak zaman kuno, termasuk dengan pemberian etanol dan opium (opiate) secara oral. Pembuktian ilmiah pertama dari pengguanaan obat anastetis (anastetika) untuk pembedahan dilakukan oleh Willam Morton di Boston pada tahun 1846 dengan menggunakan dietil eter. Satu tahun kemudian, James Simpson memperkenalkan kloroform di Scotlandia. Dua puluh tahun kemudian, hal ini diikuti dengan suksesnya demonstrasi obat – obat anastetis dengan nitride oxide yang pertama kali diajukan oleh Sir Humphry Davvy pada tahun 1790-an. Anastetika modern dimulai sejak tahun 930-an, saat diperkenalkannya thiopental suatu barbiturat intravena. Sepuluh tahun setelah itu curare dipergunakan dalam anastesi untuk mencapai relaksasi otot bergaris. Halothane, suatu karbon yang mengandung halogen yang pertama diperkenalkan pada 1956 sebagai anastetika inhalasi, segera menjadi standar perbandingan untuk anastetika inhalasi yang baru. Status anastesi umum pada dasarnya mencangkup analgesia, amnesia, hilangnya kesadaran, terhambatnya refleks sensorik dan otonomik, serta dalam banyak kasus relaksasi otot bergaris.



Sejauh mana suatu anastetika tertentu dapat menimbulka efek-efke di atas berbantung pada obatobat itu sendiri, dosisnya, dan kondisi klinis. Suatu anastetika yang ideal dapat menimbulkan anastesi dengan tenang dan cepat serta memungkinkan pemulihan segera setelah penanganan selesai. Obat tersebut juga harus memiliki batasan keamanan yang luas dan tidak menimbulkan dampak yang keras. Tetapi, tidak ada satupun anastetika yang mampu menghasilkan efek yang dihasilkan tanpa mempunyai kerugian jika digunakan tersendiri. Praktik modern pada anastesi umumnya menggunakan obat – obatan yang dikombinasikan agar dapat mengambil sifat – sifat yang menguntungkan dari tiap – tiap obat dan memperkecil kemungkinan timbulnya efek yang merugikan. 1.2. Tujuan Percobaan 1. Mahasiswa mengenal tahap-tahap manifestasi anastesi umum dan tahap-tahap pemulihan dari anastesi umum. 2. Mahasiswa mampu menganalisa perbedaan anastesi oleh berbagai bahan seperti eter, kloroform, dan eter dicampur pemberian diazepam



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1



Definisi Anestesi Anestesi adalah obat-obat yang bekerja pada Sistem Saraf Pusat (SSP). Obat-obat yang



mempengaruhi SSP secara selektif dapat meredakan nyeri, mengurangi demam, mensupresi gerakan yang tidak terkendali, meninduksi tidur atau bangun, mengurangi keinginan untuk makan, atau mengurangi kecenderungan muntah. Obat yang bekerja secara selektif dapat digunakan untuk menangani ansietas, mania, depresi atau skizofernia dan bekerja tanpa memengaruhi kesadaran . (Goodman&Gilman, 2014) Anastesi dibagi menjadi dua yaitu anestesi lokal dan anestesi umum. Anestetik lokal adalah obat yang menghasilkan blokade konduksi atau blokade lorong natrium pada dinding saraf secara sementara terhadap rangsang transmisi sepanjang saraf, jika digunakan pada saraf sentral atau perifer. Anestetik lokal setelah keluar dari saraf diikuti oleh pulihnya konduksi saraf secara spontandan lengkap tanpa diikuti oleh kerusakan struktur saraf. Obat anestesi umum adalah obat atau agen yang dapat menyebabkan terjadinya efek anestesia umum yang ditandai dengan penurunan kesadaran secara bertahap karenaadanya depresi susunan saraf pusat. Menurut rute pemberiannya, anestesi umum dibedakan menjadi anestesi inhalasi dan intravena. Tahap-tahap penurunan kesadaran dapat ditentukan dengan pengamatan yang cermat terhadap tandatanda yang terjadi, terutama yang berhubungan dengan koordinasi pusat saraf sirkulasi, respirasi, musculoskeletal dan fungsi-fungsi otonom yang lain pada waktu-waktu tertentu. Beberapa anestetik umum berbeda potensinya berdasarkan sifat farmakokinenik dan farmakodinamik yang berbeda pula. Selainitu sifat farmasetika obat juga mempengaruhi potensi anestesinya. Potensi anestetik yang kuat dapat disertai dengan potensi depresi sususan saraf pusat yang kuat,sehingga perlu dilakukan pemantauan yang ketat, untuk menghindari turunnya derajat kesadaran sampai derajat kematian. ( Ganiswara, 1995 ).



2.2



Sifat-Sifat Anestesi Umum yang Ideal Sifat anestesi umum yang ideal adalah: (1) bekerja cepat, induksi dan pemilihan baik,



(2) cepat mencapai anestesi yang dalam, (3) batas keamanan lebar; (4) tidak bersifat toksis. Untuk anestesi yang dalam diperlukan obat yang secara langsung mencapai kadar yang tinggi di



SSP (obat intravena) atau tekanan parsial yang tinggi di SSP (obat ihalasi). Kecepatan induksi dan pemulihan bergantung pada kadar dan cepatnya perubahan kadar obat anastesi dalam SSP (Munaf, 2008).



2.3



Tahap-tahap Anestesi Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu; Stadium I (stadium induksi atau eksitasi volunter),



dimulai dari pemberian agen anestesi sampai menimbulkan hilangnya kesadaran. Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi dan defekasi. Stadium II (stadium eksitasi involunter), dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan stadium pembedahan. Pada stadium II terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pernafasan tidak teratur, inkontinensia urin, muntah, midriasis, hipertensi, dan takikardia. Stadium III (pembedahan/operasi), terbagi dalam 3 bagian yaitu; Plane I yang ditandai dengan pernafasan yang teratur dan terhentinya anggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal masih ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra, konjuctiva dan kornea terdepresi. Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola mata ventro medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut. Plane III, ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata kembali ke tengah dan otot perut relaksasi. Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau overdosis),ditandai dengan paralisis otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata menunjukkan gambaran seperti mata ikan karena terhentinya sekresi lakrimal (Munaf, 2008). Tabel Tahap Anestesi



2.4



Anestesi Inhalasi Anestesi inhalasi adalah anestesi dengan menggunakan gas dan cairan mudah menguap



yang dapat menghasilkan anestesia. Dalam penggunaan anestesi inhalasi kemanannya sangat rendah. Anestetik inhalasi memiliki indeks terapi (LD50/ED50) yang berkisar dari 2 sampai 4, sehingga termasuk obat yang paling berbahaya dalam penggunaan klinis. Toksisitas obat ini terutama merupakan fungsi efek-efek sampingnya, dan setiap anestetik inhalasi memiliki profil efek samping yang khas. Oleh karena itu, pemilihan suatu anestetik inhalasi sering didasarkan pada patofisiologi pasien dengan profil-profil efek samping obat. (Goodman&Gilman, 2014) Anestesi inhalasi pada manusia antara lain Halotan, Isofluran, Enfluran, Desfluran, Sevofluran, Dinitrogen Monoksidan dan Xenon, sedangkan pada hewan biasa digunakan Eter, Klororm dan alkohol. 1. Eter Nama resmi



: Aether Anaestheticus



Nama lain



: Eter anestesi/etoksietana.



RM/BM



:C4H1o0/74,12



Pemerian



: Cairan transparan; tidak berwarna; bau khas; rasa manis dan membakar. Sangat mudah menguap; sangat mudah terbakar; campuran uapnya dengan oksigen, udara atau dinitrogenoksida pada kadar tertentu dapat meledak.



Kelarutan



: Larut dalam 10 bagian air; dapat bercampur dengan etanol (95%) P, dengan kloroform P, dengan minyak lemak dan dengan minyak atsiri.



Farmakodinamik : Eter melakukan kontraksi pada otot jantung, terapi in vivo ini dilawan oleh meningginya aktivitas simpati sehingga curah jantung tidak berubah, eter menyebabkan dilatasi pembuluh darah kulit Farmakokinetik



: Eter diabsorpsi dan diekskresi melalui paru-paru, sebagian kecil diekskresi urin, air susu, dan keringat



Efek samping



: Iritasi saluran pernafasan, depresi nafas, mual, muntah, salivasi



Penyimpanan



: Dalam wadah kering tertutup rapat, terlindung dari cahaya; di tempat sejuk.



Khasiat



: Anastesi umum.



Mekanisme kerja : eter melakukan kontraksi pada otot jantung, terapi in vivo ini dilawan oleh meningginya aktivitas simpati sehingga curah jantung tidak berubah, eter



menyebabkan dilatasi pembuluh darah kulit. Eter diabsorpsi dan diekskresi melalui paru-paru, sebagian kecil diekskresi urin, air susu, dan keringat. 2. Kloroform Nama resmi



: CHLOROFORMUM



Nama lain



: kloroform



RM/BM



: CHCl3/119,38



Pemerian



: Cairan, mudah menguap; tidak berwarna; bau khas; rasa manis dan membakar.



Kelarutan



: Larut dalam lebih kurang 200 bagian air; mudah larut dalam etanol mutlak P, dalam eter P, dalam sebagian besar pelarut organik, dalam minyak atsiri dan dalam minyak lemah.



Farmakodinamik : Kloroform dapat menurunkan stabilitas kecepatan kontraksi obat, gelisah Farmakokinetik



: Diabsopsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna, konsentarasi tertinggi dalam plasma dicapai dalm waktu ½ jam dan masa paruh plasma antara 1-3 jam, obat ini tersebar keseluruh cairan tubuh. Metabolisme oleh enzim mikrosom hati. Sebagian parasetamol dikonjugasi dengan asam glukoronat dan sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat.



Efek samping



: Merusak hati dan bersifat karsinogenik



Penyimpanan



: Dalam wadah tertutup baik bersumbat kaca, terlindung dari cahaya.



Kegunaan



: Anastesi umum.



Mekanisme kerja : Merusak sel hati melalui metabolik reaktif yaitu radikal triklorometil. Radikal ini secara kovalen mengikat protein dan lipid jenuh sehingga terbentuk peroksidasi lipid pada membrane sel yang akan menyebabkan kerusakan yang dapat mengakibatkan pecahnya membrane sel peroksidasi lipid yang menyebabkan penekanan pompa Ca2+ mikrosom yang dapat menyebabkan gangguan awal hemostatik Ca2+ sel hati yang dapat menyebabkan kematian sel.



2.5



Diazepam



Sinonim: 7-klor 1-3 dihidro 1-metil 5-fenil 2H 1,4 benzoldiazepin 2-on. Rumus molekul: C16H13ClN2O Berat molekul: 284,74 Diazepam mengandung tidak kurang dari 99% dan tidak lebih dari 101% C16H13ClN2O dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.



1. Profil Farmakokinetika a. Absorpsi Jika digunakan untuk mengobati ansietas atau gangguan tidur, hipnotik-sedatif biasanya diberikan peroral. Benzodiazepin merupakan obat-obat basa lemah dan diabsorpsi sangat efektif pada PH tinggi yang ditemukan dalam duodenum. Kecepatan absorpsi benzodiazepine yang diberikan per oral berbeda tergantung pada beberapa factor termasuk sifat kelarutannya dalam lemak. b. Distribusi Transpor hipnotik sedative didalam darah adalah proses dinamika dimana banyaknya molekul obat masuk dan meninggalkan jaringan tergantung pada aliran darah, tingginya konsentrasi, dan permeabilitas. Plasma (perbandingan dalam darah) Diazepam 1,8 dan DMDZ 1,7.Ikatan Protein : Diazepam 98 - 99% dan DMDZ 97%. Didistribusi secara luas. Menembus sawar darah otak. Menembus plasenta dan memasuki ASI. c. Biotransformasi



Metabolisme hati yang bertanggung jawab terhadap pembersihan atau eliminasi dari semua benzodiazepine. Beberapa produk metabolismenya bersifat aktif sebagai depresan SSP. Metabolit klinis yang signifikan : Desmetildiazepam (DMDZ) , temazepam & oksazepam. d. Ekskresi Metabolit benzodiazepine dan hipnotik-sedatif lain yang larut dalam air diekskresikan terutama melalui ginjal. Diazepam diabsorpsi dengan cepat secara lengkap setelah pemberian peroral dan puncak konsentrasi dalam plasmanya dicapai pada menit ke 15-90 pada dewasa dan menit ke-30 pada anak-anak. Perbedaan jenis kelamin juga harus dipertimbangkan. Bioavailabilitas obat dalam bentuk sediaan tablet adalah 100%. Range t1/2 diazepam antara 20-100 jam dengan rata-rata t1/2-nya adalah 30 jam. Metabolisme utama diazepam berada di hepar, menghasilkan tiga metabolit aktif. Enzim utama yang digunakan dalam metabolisme



diazepam



adalah



CYP2C19



dan



CYP3A4.



N-Desmetildiazepam



(nordiazepam) merupakan salah satu metabolit yang memiliki efek farmakologis yang sama dengan diazepam, dimana t1/2-nya lebih panjang yaitu antara 30-200 jam. Ketika diazepam dimetabolisme oleh enzim CYP2C19 menjadi nordiazepam, terjadilah proses N-dealkilasi. Pada fase eliminasi baik pada terapi dosis tunggal maupun multi dosis, konsentrasi N-Desmetildiazepam dalam plasma lebih tinggi dari diazepam sendiri. NDesmetildiazepam dengan bantuan enzim CYP3A4 diubah menjadi oxazepam, suatu metabolit aktif yang dieliminasi dari tubuh melalui proses glukuronidasi. Oxazepam memiliki estimasi t1/2 antara 5-15 jam. Metabolit yang ketiga adalah Temazepam dengan estimasi t1/2 antara 10-20 jam. Temazepam dimetabolisme dengan bantuan enzim CYP3A4 dan CYP 3A5 serta mengalami konjugasi dengan asam glukuronat sebelum dieliminasi dari tubuh. Diazepam secara cepat terdistribusi dalam tubuh karena bersifat lipid-soluble, volume distribusinya 1,1L/kg, dengan tingkat pengikatan pada albumin dalam plasma sebesar (98-99%). Diazepam diekskresikan melalui air susu dan dapat menembus barier plasenta, karena itu penggunaan untuk ibu hamil dan menyusui sebisa mungkin dihindari. Di dalam tubuh embrio bahan metabolit tersebut berpotensi menginhibisi neuron,



meningkatkan pH di dalam sel, dapat bersifat toksik. Dengan terinhibisinya neuron maka akan terganggu pula transfer neurotransmiter untuk hormon-hormon pertumbuhan, sehingga mengakibatkan pertumbuhan embrio yang lambat. Dengan pH yang tinggi mengakibatkan sel tidak dapat tereksitasi, sehingga kerja hormon pertumbuhan juga terganggu yang akhirnya pertumbuhan janin juga terganggu. Pada trimester pertama masa kehamilan merupakan periode kritis maka bahan teratogen yang bersifat toksik akan mempengaruhi pertumbuhan embrio, bahkan dapat mengakibatkan kematian janin.Efek samping ringan Diazepam dapat terjadi pada konsentrasi plasma mencapai 50-100μg/L, tetapi ini juga tergantung pada sensitivitas setiap individual. Efek anxiolitik terlihat pada penggunaan secara long-term dengan konsentrasi 300-400μg/L. Diazepam ini tidak boleh digunakan dalam jangka waktu yang panjang (tidak boleh lebih dari 3 bulan), karena berakibat buruk bagi tubuh penderita. Hal ini mungkin dapat disebabkan karena t1/2 diazepam yang cukup panjang, ditambah lagi t1/2 N-Desmetildiazepam yang lebih panjang yaitu, 2 kali t1/2 Diazepam. Hal ini berarti setelah konsentrasi diazepam dalam tubuh habis untuk menghasilkan efek, masih dapat dihasilkan efek bahkan sebesar 2 kalinya yang diperoleh dari N-Desmetildiazepam sebagai metabolit aktif diazepam. Ditambah lagi persentase metabolit yang terikat protein dalam plasma (97%), lebih sedikit daripada prosentase diazepam yang terikat protein plasma (98%-99%). Oleh karena itu penggunaan diazepam dalam terapi pengobatan harus ekstra berhati-hati, yaitu perlu dipertimbangkan adanya efek yang ditimbulkan oleh metabolit aktif Diazepam, untuk itu mungkin perlu dilakukan kontrol terhadap konsentrasi diazepam dan metabolitnya dalam plasma. 2. Farmakodinamik Mekanisme kerja Pengikatan GABA (asam gama aminobutirat) ke reseptornya pada membrane sel akan membuka salutan klorida, meningkatkan efek konduksi korida. Aliran ion klorida yang masuk menyebabkan hiperpolarisasi lemah menurunkan potensi postsinaptik dari ambang letup dan meniadakan pembentukan kerja potensial. Benzodiazepin terikat pada sisi spesifik dan berafinitas tinggi dari membrane sel, yang terpisah tetapi dekat reseptor GABA. Reseptor benzodiazepine terdapat hanya pada SSP dan lokasinya sejajar dengan



neuron GABA. Peningkatan benzodiazepine memacu afinitas reseptor GABA untuk neurotransmitter yang bersangkutan, sehingga saluran klorida yang berdekatan lebih sering terbuka. Keadaan tersebut akan memacu hiperpolarisasi dan menghambat letupan neuron. (Mycek, 2001) Diazepam bekerja pada reseptor di otak yang disebut reseptor GABA. Hal ini menyebabkan pelepasan neurotransmitter yang disebut GABA di dalam otak. Neurotransmiter merupakan bahan kimia yang disimpan dalam sel-sel saraf di otak dan sistem saraf. Mereka yang terlibat dalam transmisi pesan antara sel saraf. GABA adalah neurotransmitter yang berfungsi sebagai alami 'saraf-menenangkan' agen. Ini membantu menjaga aktivitas saraf di otak seimbang, dan terlibat dalam mendorong kantuk, mengurangi kecemasan dan relaksasi otot. Sebagai diazepam meningkatkan aktivitas GABA dalam otak, meningkatkan efek menenangkan dan hasil dalam kantuk, penurunan kecemasan dan relaksasi otot. 3. Efek terhadap organ a. Sedasi Sedasi dapat didefinisikan sebagai penurunan respons terhadap tingkat stimulus yang tetap dengan penurunan dalam aktivitas dan ide spontan. Perubahan tingkah laku ini terjadi pada dosis efektif hipnotik sedative yang terendah. b. Hipnotis Berdasarkan definisi, semua hipnoik sedative akan menyebabkan tidur jika diberikan pada dosis yang cukup tinggi. c. Anastesi Benzodiazepin tertentu, termasuk diazepam dan midazolam telah digunakan secara intravena dala anastesi. Benzodiazepin yang digunakan dalam dosis tinggi sebagai pembantu untuk anastesi umum, bisa menyebabkan menetapnya depresi respirasi pasca anastesi. Hal ini mungkin berhubungan dengan waktu paruhnya yang relative lama dan pembentukan metabolit aktif. d. Efek antikonvulsi Kebanyakan hipnotik sedative sanggup menghambat perkembangan dan penyebaran aktivitas epileptiformis dalam susunan saraf pusat. Ada sejumlah selektivitas pada



obat tertentu yang dapat menimbulkan efek antikonvulsi tanpa depresi susunan saraf pusat yang jelas sehingga aktivitas fisik dan mental relative tidak dipengaruhi. Diazepam mempunyai kerja selektif yang berguna di klinik untuk menanggulangi keadaan bangkitan kejang. e. Relaksasi otot Benzodiazepin merelaksasi otot volunter yang berkontraksi pada penyakit sendi atau spasme otot. f. Efek pada fungsi respirasi dan kardiovaskular: Pada dosis terapeutik dapat menimbulkan depresi pernapasan pada penderita paru obstruksi.



BAB III METODOLOGI Praktikum farmakologi dengan judul praktikum Obat-Obatan yang Bekerja terhadap Sistem Saraf Pusat Anestetika Umum dilakukan pada 21 April 2016 pukul 08.00-10.00 WIB. Dan dilaksanakan di Laboratorium Darmakologi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 3.1. Bahan dan Alat 1. Tikus 1 Ekor 2. Obat Kelompok 1 : Eter 60 ml Kelompok 2 : Kloroform 100 ml Kelompok 3 : 0.6 ml Diazepam dan 50 ml Eter Kelompok 4 : 50 ml Eter Kelompok 5 : Kloroform 100 ml Kelompok 6 : 0,558 ml Diazepam dan Eter 20 ml 3. Timbangan Hewan 4. Alat suntik 5. Stopwatch 6. Toples kaca dengan penutup 7. Kapas



3.2. Prosedur Pengerjaan 1. Timbang masing-masing tikus 2. Amati kelakuan umum tikus (Suara, salivasi, dan gejala-gejala lain), ritme jantung, laju pernapasan, dan reflek-reflek. 3. Bagi kelompok yang menggunakan diazepam dan anestetik inhalasi, diazepam disuntikkan terlebih dahulu melalui intraperitoneal 4. Masukkan tikus ke dalam toples kaca yang di dalamnya diberi kapas yang sudah dijenuhkan dengan eter atau kloroform 5. Catat setiap perubahan yang terjadi pada masing-masing tikus 6. Setelah dicapai tingkat anestesi untuk pembedahan, pemberian anestesi dihentikan



7. Perhatikan dan catata tahap-tahap pemulihan kesadaran tikus.



BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pengamatan



Kel 1



BB Tikus



Jenis Kelamin Jantan



Perlakuan



Kontrol



Efek yang Timbul



WaktuHilangEfek



Diberikan larutan eter sebanyak 60 mL



Laju pernapasan: 44/30 detik Denyut Jantung: 50/30 detik



25 detik: pupil mengecil 28 detik: mulai hilang kesadaran 2 menit 8 detik: mulai sadar 4 menit 35 detik: belum peka terhadap rangasang 6 menit: nafas mulai teratur 19 menit 11 detik: mulai peka terhadap rangsang



20 menit 23 detik: Sudah kembali seperti semula



Memasuki fase 1 pada 42 detik (denyut jantung tidak diukur di karenakan masih berada dalam toples. Memasuki fase 2 pada 53 detik menunjukkan denyut 81/30detik 2



Betina



Diberikan kloroform sebanyak 100 mL



Laju pernapasan: normal Denyut jantung: 64/ 30 detik



20 detik: masuk stadium 3 (mata tidak bereaksi saat diberi rangsangan, tangan dan kaki kaku. Denyut jantung 50/30 detik. 2 menit 49 detik: mulai bergerak tetapi tidak ada respon pada telinga, mengeluarkan air liur. 3 menit: tangan mulai bergerak 3 menit 48 detik: mulai bergerak, masuk stadium 2. 4 menit 30 detik: mata normal 8 menit 7 detik: mulai bangun, meregangkan kaki 8 menit 55 detik: mulai jalan tetapi tidak stabil dan masih tidak member respon saat diberi rangsangan, napas



28 menit 9 detik: kembali normal sempurna.



mulai normal 9 menit 30 detik: masuk stadium 1 14 menit 55 detik: suara lemah 24 menit 55 detik: mulai bereaksi terhadap rangsang atau kembali seperti semula 3



Jantan



4



5



Tikus 1 dan tikus 2: jantan



Pemberian diazepam sebanyak 0.6 mL sebelum diberikan larutan eter 50 mL



Detakjantung: 65/ menit



Denyutjantung 14/ menit 4 menit 18 detik: mulai kehilangan keseimbangan 4 menit 30 detik: mulai tenang 8 menit 31 detik: tenang, nafas teratur 16 menit 28 detik: reflex kembali 20 menit 43 detik: kejang – kejang 24 menit 13 detik: mulai bergerak setelah kejang



Pemberian larutan eter sebanyak 50 mL



Aktif bergerak Detak jantung 120/menit. Laju pernapasan: normal Otot normal Pada tikus 1 (mati): Detakjantung: 67/ menit



Detak jantung 60/15 detik (ketika masuk ke fase 2) Pada 16 detik: reflex mata menurun 25 detik: masuk ke fase 1 41 detik: masuk ke fase 2 Pada tikus 1 (mati): 15 detik: diam 37 detik: mulai kehilangan kesadaran



Pemberian larutan kloroform sebanyak 100 mL



Padatikus 2: Detak jantung: 32/ 30 detik



6



Pemberian diazepam 0,5 mL sebelum diberikan



Denyut nadi: 56/ menit Detak jantung: 75/



Pada tikus 2: Detak jantung: 25/ 30 detik 19 detik: masuk stadium 1 3 menit 30 detik: badan gemetar, mulai hilang kesadaran 8 menit 34 detik: masuk stadium 3 (detak jantung 21/ 30 detik. Setelah diberi diazepam: detak jantung lebih cepat dari semula.



Pada 25 menit tikus mulai kembali normal



eter sebanyak 20 mL



menit



Setelah diberi eter 20 mL: detak jantung 90/ menit dan denyut nadi 84/ menit 27 detik: mata berkedip 34 detik: mulai hilang kesadaran 45 detik: detak jantung cepat, mulai tertidur ( dikeluarkan dari toples) 10 menit: kelopak mata mulai mengecil, diam 15 menit: kelopak mata masih mengecil, denyut jantung 127/ menit, nadi 63/ menit 17 menit: mulai aktif 21 menit: diam, reflex kuping tidak bereaksi



4.2. Pembahasan Pada praktikum kali ini dilakukan pengamatan pengaruh pemberian anestesi berupa eter, kloroform dan diazepam + eter terhadap tikus dan dihitung onset serta durasi zat-zat anestesi. Onset adalah mula kerja obat, dihitung mulai waktu mencit diberi zat uji sampai mencit teranestesi, sedang durasi adalah lama bekerja obat, dihitung mulai mencit teranestesi sampai mencit sadar. Pada percobaan ini zat uji yang digunakan untuk anastesi umum didalam percobaan ini yaitu kloroform dan eter. Eter didapat dengan memanaskan (dehidrasi) etil alkohol dengan asam sulfur dibawah 130oC. Pada anestesi ringan, seperti halnya anestetik lain, eter menyebabkan dilatasi pembuluh darah kulit sehingga timbul kemerahan terutama di daerah muka, pada anastesi yang lebih dalam kulit menjadi lembek, pucat dingin dan basah.Terhadap pembuluh darah ginjal, eter menyebabkan vasokonstriksi sehingga terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus dan produksi urin secara reversible.Sebaliknya pada pembuluh darah otak menyebakan vasodilatasi. Eter merupakan anestesi yang sangat kuat , sifat analgesiknya kuat sekali, dengan kadar dalam darah arteri 10-15 mg% sudah terjadi analgesia tetapi pasien masih sadar. Eter pada kadar tinggi dan sedang menimbulkan relaksasi otot serta hambatan neuromuscular yang tidak dapat dilawan oleh neostigmin .



Eter menyebabkan iritasi saluran napas dan merangsang sekresi kelenjar bronkus. Pada induksi dan waktu pemulihan, eter menimbulkan salivasi, tetapi pada stadium yang lebih dalam, salivasi akan dihambat dan terjadi depresi napas. Eter menekan kontraktilitas otot jantung, tetapi in vivo efek ini dilawan oleh meningkatnya aktivitas simpatis sehingga curah jantung tidak berubah atau meninggi sedikit.Eter tidak menyebabkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin. Eter diabsorpsi dan diekskresi melalui paru sebagian kecil diekskresikan juga melalui air susu, keringat dan difusi melalui kulit utuh. Eter dapat digunakan dengan berbagai metode anastesi. Pada pengguanaan secara open drop uap eter akan turun ke bawah karena ± 6-10 kali lebih berat daripada udara. Penggunaan secara semi closed method dalam kombinasi dengan oksigen atau N2O tidak dianjurkan pada operasi dengan tindakan keuterisasi. Sebab, tetap ada bahaya timbulnya ledakan, dan bila api mencapai paru penderita akan mati karena jaringan terbakar atau paru-parunya pecah. Jumlah eter yang dibutuhkan tergantung dari berat badan dan kondisi penderita, kebutuhan dalamnya anastesi dan teknik yang digunakan.Untuk induksi, digunakan 10-20% volume uap eter dalam oksigen atau camppuran oksigen dan N2O.untuk dosis penunjang stadium III membutuhkan 5-15% volume uap eter. 1. Sifat Fisik Merupakan cairan tidak berwarna yang mudah menguap (volatile) yang berbau khas. Berat molekulnya 74 dengan titik didih 35oC. Tekanan uap jenuh pada 20oC adalah 245 mmHg, berat jenis uap eter 2,6, koefisien partisi darah atau gas 12,0, MAC 1,92, tidak bereaksi dengan pengikat CO2 (soda lime), sampai mudah terbakar atau meledak, dapat terurai oleh udara, cahaya dan panas menjadi peroksida eter dan asetaldehid karena itu harus disimpan pada tempat gelap dan dingin. 2. Farmakologi a. Sistem sirkulasi Denyut nadi akan meningkat karena pelepasan katekolamin yang merangsang simpatis dan depresi vagal. Pada stadium lebih dalam denyut nadi akan kembali normal. Aritmia jarang terjadi dan penggunaan adrenalin relatif aman pada anastesi dengan eter. Tekanan darah dapat menurun pada anestesi yang mencapai di bawah plana 2 stadium 3 dan terus progresif karena depresi otot rangka, otot pembuluh darah, otot jantung dan pusat vasomotor.



b. Sistem pernafasan Pada permulaan frekuensi pernafasan bertambah, dan melambat pada stadium anestesi dalam. Sekresi kelenjar ludah meningkat (hipersekresi). Uap eter ini sangat iritatif menimbulkan batuk dan spasme jalan nafas. Karena itu induksi anestesianya harus bertahap dimulai dari konsentrasi rendah. Induksi sering tidak lancer, demikian pula masa pemulihan cukup lama. c. Susunan saraf pusat Stadium analgesia akan diikuti oleh eksitasi dan anastesi disebabkan depresi pada korteks dan medulla. Tekanan intracranial akan meningkat karena dilatasi pembuluh darah otak. Eter kadang menyebabkan kejang (klonus eter), yaitu stretch reflex yang berlebihan dan sering terlihat pada stadium dangkal. d. Susunan saraf otonom Rangsang sentral simpatis menimbulkan peningkatan katekolamin plasma yang berakibat peningkatan denyut jantung, produksi glikogen dan gula darah. Karena itu harus hati-hati pada pasien dengan diabetes, kontraksi limpa, dilatasi usus dan menghambat peristaltic, dilatasi bronkus, dilatasi arteri koroner, dilatasi pupil, peningkatan frekuensi nafas. Sebaliknya rangsang semtral parasimpatis eter menyebabkan depresi. e. Sistem pencernaan Mual dan muntah terjadi pada lebih dari 50% pasien dengan anastesi eter. Tonus gastrointestinal akan menurun terutama usus halus. Fungsi hati juga menurun tetapi akan kembali normal dalam 24 jam. Eter juga menekan sekresi empedu dan garam-garamnya. f. Sistem otot Relaksasi otot sangat baik. Jelas bahwa eter mempunyai efek-efek yang mempunyai triad anestesi yaitu analgesia, hypnosis dan relaksasi otot, sehingga anastesi dengan eter tidak memerlukan gabungan dengan obat lain. 3. Keuntungan a. Murah dan mudah didapat di Indonesia b. Tidak perlu digabung dengan obat-obat lain karena telah memenuhi triad anestesi. c. Zat anastesi yang cukup aman dengan batas keamanan yang lebar (margin of safety) sehingga petugas yang kurang pengalaman pun dapat menggunakan eter.



d. Alat yang digunakan cukup sederhana dan portable misalnya jenis EMO (Epstein, Macintosh dan Oxford) 4. Kekurangan a. Mudah meledak dan terbakar b. Bau tidak enak dan mengiritasi jalan nafas, sehingga induksi tidak lancar dan masa pemulihan lama. c. Menimbulkan hipersekresi kelenjar ludah d. Menyebabkan mual dan muntah e. Hiperglikemia 5. Efek fisiologi a. Sistem respirasi Eter mengiritasi membran mukosa traktus respiratorius, menstimulasi aliran mukus yang berlebihan, dan dapat menyebabkan batuk dan spasme laring. Penggunaan premedikasi seperti atropin dan scopalamin diperlukan untuk mengurangi aliran sekret. Pada fase awal anestesi, ater menyebabkan stimulasi respirasi yang bermakna. Walaupun volume tidal menurun, namun peningkatan laju pernafasan dapat mennyebabkan ventilasi permenit yang lebih tinggi dan PaCO2 yang normal atau menurun sedikit. Respirasi dipertahankan sampai konsentrasi eter dalam darah tinggi. Eter, seperti halotan, berguna pada pasien asma karena memiliki efek bronkodilasi (Collins, 1996). b. Sistem saraf pusat Terjadi depresi jaras descenden ireguler. Tanda klasik anestesi adalah efek dari eter. Pada neuron, yang memenuhi efek sentral seperti transeksi farmakologi berturut turut dari aksis serebrospinal (Collins, 1996). Investigasi dari mekanisme yang tepat dan dan tempat aksi mengungkapkan blokade dari sinaps pusat. Depresi pada multisinaps pada formasio retikularis otak tengah. Terjadi depresi pada pengaturan suhu dan pusat muntah, juga oksidasi jaringan dan pusat vasomotor (Collins, 1996). c. Sirkulasi Selama induksi, tekanan darah meningkat karena peningkatan volume sekuncup dan nadi, keduanya terjadi karena peningkatan katekolamin. Efek ini terjadi bahkan pada induksi lambat. Selama perawatan, tekanan darah turun ke tingkat sebelum di anastesi atau



di bawah itu, sementara nadi tetap meningkat. Bila waktu anestesi memanjang lebih dari satu jam, walaupun tidak ada perdarahan, tekanan darah tetap rendah dan stabil (Collins, 1996). d. Endokrin Selain stimulasi medulla glandula adrenal, korteks adrenal juga terpengaruh. Selama anestesi, terjadi sekitar 2/3 kali peningkatan 17-hydroxycorticosteroid. Selama induksi anestesi dan selama pembedahan, sejumlah besar ACTH dikeluarkan secara berkala, dengan dua sampai tiga puncak pada plasma. Sebaliknya, kadar kortisol bebas meningkat. Penelitian Oyama, dkk menunjukkan bahwa peningkatan kortisol bebas plasma adalah karena peningkatan aktivitas ACTH plasma (Collins, 1996; Oyama, dkk, 1968). 6. Indikasi Indikasi penggunaan eter termasuk pada kasus asma, penyakit bronkospastik, dan penyakit jantung koroner (Collins, 1996). 7. Kontra indikasi Eter tidak boleh digunakan dalam kasus asidosis, penyakit respirasi akut, peningkatan tekanan intracranial, diabetes, dan debil (Collins, 1996). Selain menggunakan eter, pada praktikum kali ini juga digunakan kloroform. Kloroform adalah nama umum untuk triklorometana (CHCl3). Kloroform dikenal karena sering digunakan sebagai bahan pembius, meskipun kebanyakan digunakan sebagai pelarut nonpolar di laboratorium atau industri. Wujudnya pada suhu ruang berupa cairan, namun mudah menguap. Senyawa kloroform adalah senyawa haloalkana yang mengikat tiga atom halogen klor (Cl) pada rantai C-nya. Senyawa kloroform dapat dibuat dengan bahan dasar berupa senyawa organik yang memiliki gugus metil (-CH3) yang terikat pada atom C karbonil atau atom C hidroksi yang direaksikan dengan pereaksi halogen (Cl2). Karakteristik Kloroform ( Anonim, 1995 ) Property



Value



Boiling point (oC) at 101,3 kPa



61,3



Vapour pressure (kPa) at 20oC



21,3



Water solubility (g/litre) at 25oC



7,2-9,3



Density (g/cm3) at 25oC



1,48



Henry law constant (Pa-m3/mol) at 304 20oC Log Kow



1,97



Log Koc



1,44-2,79



Pada suhu dan tekanan normal, kloroform sangat mudah menguap, tidak berwarna, dan tidak mudah terbakar. Kloroform merupakan anestesi yang efektif dibandingkan dengan nitrit oxide, eter dan alkohol bila digunakan secara inhalasi. Hal ini disebabkan karena induksi dari kloroform bekerja secara cepat dan lancar sehingga stadium dari anestesi lebih cepat terlampaui. Namun, praktek ini dihentikan karena menyebabkan kematian karena pernapasan, aritmia jantung, dan gagal jantung. Kloroform sangat baik dan cepat diabsorbsi, dimetabolisme, dan dieliminasi oleh hewan mamalia ataupun manusia baik melalui oral, inhalation, atau dermal exposure ( Anonim, 1995 ). Metabolisme kloroform di dalam tubuh tergantung pada dosis paparannya. Pada manusia dosis tunggal kloroform secara oral adalah 0,5 mg dan 50-52% dapat diserap oleh tubuh dan melalui proses metabolisme diubah menjadi karbondioksida. Level puncak dalam darah adalah hingga 1,5 jam dan memiliki waktu paruh 13 sampai dengan 90 menit. Kloroform dosis tunggal secara inhalasi adalah 5 mg dan terserap dalam tubuh hingga 80% (Anonim, 1997). Kloroform yang masuk ke dalam tubuh melalui inhalasi akan tetap berada di dalam tubuh dan akan di metabolisme oleh hati. Kloroform bersifat lipofilik yaitu larut dalam jaringan lemak sehingga menyebabkan transpor normal oksigen terganggu dan lama kelamaan akan menimbulkan efek anestesi. Metabolit dari kloroform yaitu phosgene, carbene and klorin yang mempunyai aktivitas sitotoksik. Sebenarnya, mekanisme kerja kloroform sebagai anestesi umum belum diketahui secara pasti. Tetapi, berdasarkan penelitian pada tahun 2008, kloroform bekerja untuk menghambat kerja dari kanal ion TRPC5 yang berfungsi untuk transmisi nyeri dan mengatur denyut jantung dan sebagian besar kanal tersebut berada di otak (Anonim, 1995). Penggunaan kloroform yang berkepanjangan dapat menyebabkan toksemia. Paparan akut kloroform menyebabkan sakit kepala, gangguan kesadaran, kejang, paralysis pernapasan dan gangguan sistem saraf otonom seperti mual dan muntah.Selain itu, kloroform juga dapat menyebabkan iritasi saluran pencernaan (Alexander, 2001).



Pada penggunaan kloroform secara kronik dapat menyebabkan kerusakan hati, jantung, ginjal dan ketidakteraturan denyut jantung. Bila dipakai sebagai anestesi, biasanya responnya dimulai ketika terjadinya eksitasi, dan diikuti oleh hilangnya refleks, berkurangnya sensasi, dan hilangnya kesadaran. Efek samping lain dari penggunaan kloroform, antara lain: a.



Ingesti Menyebabkan rasa terbakar pada mulut dan tenggorokan, nyeri dada dan muntah.



b.



Skincontact Menyebabkan iritasi pada kulit seperti kemerahan dan nyeri



c.



Mata Menyebabkan iritasi pada mata, dan dapat terjadi kerusakan mata (Anonim, 2005). Pada



saat



melakukan



anestesi



terdapat



gejala-gejala



dan



tahapan-tahapan



anestesi.Penjelasan tradisonal terhadap gejala – gejala dan tahapan – tahapan anastesi (gejala guedel) disimpulkan dari penelitian efek dietil eter, yang mempunyai mula kerja sentral sangat lambat, disebabkan karena daya larutnya sangat tinggi di dalam darah. Secara tradisional, efek anastetika dibagi dalam 4 tahap menurut kedalaman depresi sistem saraf pusat (SSP) : 1. Tahap Analgesia Pada awalnya penderita mengalami analgesia tanpa amnesia. Analgesia dan amnesia akan terjadi pada tahap pertama. 2. Tahap Eksitasi (Excitement) Pada tahap ini penderita akan mengigau dan tampak gelisah meskipun dalam kondisi amnesia. Kecepatan dan volume napas tidak beraturan.Penderita dapat meronta muntah dan kadang tidak dapat mengendalikan pengeluaran urin.Oleh karena itu alasan – alasan di atas, berbagai usaha telah dilakukan untuk membatasi lamanya tahap ini yang diakhiri dengan normalnya kembali nafas. 3. Tahap Pembedahan Tahap ini diawali dengan kembalinya nafas secara normal hingga berhentinya nafas secara mendadak.Empat tingkatan pada tahap ke tiga ditandai dengan perubahan gerakan



bola mata, refleks mata dan ukuran pupil, yang dalam kondisi tertentu gejala makin dalamnya anastesi. 4. Tahap Depresi Medula Tahap keempat diawali dengan berhenti totalnya nafas spontan.Tahap ini meliputi depresi berat pada pusat vasomotor dan pusat nafas di medula. Tanpa bantuan bantuan penuh dari alat bantu sirkulasi dan nafas maka kematian akan terjadi dengan cepat. Di dalam praktik anastesi modern tanda – tanda khusus pada tiap tiap tahapan di atas biasanya tidak jelas. Hal ini disebabkan karena mula kerja anastetika yang relatif cepat jika dibandingkan dengan dietil eter dan adanya kenyataan bahwa aktivitas nafas seringkali dikendalikan dengan bantuan ventilator mekanis. Dapat pula ditambahkan bahwa adanya obat – obatan yang lain yang diberikan, baik sebelum pembedahan ataupun selama pembedahan dapat juga mempengaruhi gejala – gejala anastetika. Dalam hal ini kami melakukan ujicoba anastesi umum dengan menggunakan 3 hewan percobaan tikus dimana tikus A diberi anestesi eter, tikus B diberi anestesi kloroform dan tikus C diberi diazepam terlebih dahulu sebelum diberikan anestesi eter. Pada tikus A yang kita masukan dalam ruang tertutup berisi gas eter (diethyl eter) dalam waktu 42 detik, tikus mulai teranastesi serta denyut jantung dan nafasnya mulai bergerak cepat. Pada waktu ini tikus mulai memasuki fase stadium 3.Setelah itu, pada waktu 2 menit 8 detik, tikus mulai bangun namun tikus ini masih sedikit kehilangan keseimbangan (oleng).Fase ini masuk ke dalam fase stadium 2. Kemudian pada menit 6 nafas tikus sudah mulai normal kembali.Saat ini tikus memasuki tahap fase 1. Dan untuk kembali ke kondisi normal (fase pemulihan), tikus membutuhkan waktu 6 menit 59 detik untuk beraktifitas normal. Sedangkan, Tikus B yang kita masukan dalam ruang tertutup yang berisi gas kloroform. Dalam jangka waktu 20 detik, tikus mulai memasuki fase pembedahan(stadium 3) disertai dengan gerak denyut jantung dan nafas yang semakin cepat. Pada saat ini juga ditandai dengan tikus yang tidak sadar karena ketika tikus diberi rangsangan tidak direspon. Juga tikus ini mngeluarkan saliva.Kemudian pada saat 3 menit 48 detik, tikus memasuki fase stadium 2. Fase ini disebut dengan fase exitement. Hal ini ditandai dengan mata mulai normal, keseimbangan tikus berkurang (jalan oleng). Tikus mengalami ataksia (kegagalan kontrol otot pada tangan dan



kaki). Pada saat menit ke 9 lebih 30 detik, tikus tersebut memasuki stadium 1 dimana tikus tersebut mencoba untuk melakukan aktifitas kembali dan denyut jantung serta pernafasan dari tikus tersebut sudah mulai kembali normal. Dan akhirnya, saat menit ke 28 lebih 9 detik, tikus tersebut mengalami fase pemulihan dari pengaruh anastesi. Pada menit ini tikus sudah bisa beraktifitas seperti awalnya. Oleh karena itu, pada menit 28 ini dapat dikatakan bahwa tikus sudah kembali normal. Dari 2 pengamatan diatas dapat diketahui bahwa kloroform lebih cepat memberikan efek anastesi terhadap tikus daripada eter, dan range waktu dari fase anastesi ke fase pemulihan kloroform lebih lama dari eter. Dalam hal ini dosis tidak diperhitungkan karena pemberiannya tidak dilakukan secara oral maupun injeksi, melainkan dilakukan secara inhalasi. Sistem saraf pusat (SSP) merupakan sistem saraf yang dapat mengendalikan saraf lainnya didalam tubuh biasanya bekerja dibawah kesadaran atau kemauan. Dalam percobaan ini praktikan dapat memahami obat-obat apa saja yang merangsang atau bekerja pada sistem saraf pusat. Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat terbagi menjadi obat depresan saraf pusat, yaitu anastetik umum (memblokir rasa sakit), hipnotik-sedatif (menyebabkan tidur), psikotropik (menghilangkan rasa sakit), opioid. Analgetik – antipiretik dan perangsang susunan saraf pusat. Anastetik umum merupakan depresan SSP, dibedakan menjadi anastetik inhalasi yaitu anastesi gas, anastetik menguap dan anestetik parental. Pada percobaan yang dilakukan pada hewan dalam praktikum farmakologi kali ini yang digunakan hanya anastesi inhalasi. Anastetik umum ini digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri dan memblok reaksi serta menimbulkan relaksasi pada pembedahan. Adapun percobaan untuk obat hipnotik sedatif dengan menggunakan diazepam. Pemberian diazepam sebanyak 10 mg secara intra peritoneal menimbulkan gejala kehilangan keseimbangan dengan onset 4 menit 18 detik. Beberapa benzodiazepine menginduksi hipotonia otot tanpa mengganggu lokomosi (pergerakan atau kemampuan untuk berpindah tempat) yang normal dan dapat mengurangi kekakuan pada pasien yang menderita cerebral palsy. Pada percobaan kali ini, tikus yang diberi diazepam menunjukkan gejala seperti peningkatan frekuensi seizure. Hal ini tidak sesuai bisa dikarenakan ketidak telitian praktikan seperti saat memberikan sediaan ke hewan coba yang diberi dengan dosis berlebih ataupun malposisi jarum suntik. Menurut literatur efek yang ditimbulkan dari zat uji diazepam ini yaitu merangsang waktu tidur, depresi dan rasa nyeri.



BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan A. Anesthesia umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). B. Zat yang digunakan untuk anastetik umum yaitu eter, kloroform dan alkohol 96%, sedangkan untuk hipnotik sedativ digunakan diazepam. C. Tahap-tahap anestesi : - Stadium I (stadium induksi atau eksitasi volunter) - Stadium II (stadium eksitasi involunter), - Stadium III (pembedahan/operasi), - Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau overdosis) D. Tikus yang diberikan eter membutuhkan waktu 6 menit 59 detik untuk beraktifitas normal. E. Tikus yang diberika kloroform membutuhkan waktu menit 28 menit untuk beraktifitas normal. F. Pemberian diazepam kepada tikus sebanyak 10 mg secara intra peritoneal menimbulkan gejala kehilangan keseimbangan dengan onset 4 menit 18 detik.



5.2. Saran 1. Praktikan harus lebih berani serta telaten dalam member perlakuan terhadap tikus 2. Praktikan harus mengetahui cara menyuntik yang benar agar tidak terjadi kesalahan dalam praktikum. 3. Praktikan harus teliti dalam menyuntikkan sediaan obat dan pengambilan dosis, agar obat dapat menimbulkan efek farmakologis yang diinginkan.



DAFTAR PUSTAKA Anonim.



1995.



chloroform



Avaiable



from



:



http://www.general-



anaesthesia.com/images/chloroform.htm. Diakses pada tanggal 25 April 2016. Anonim. 1997. Chloroform Avaiable from :http://www.atsdr.cdc.gov/tfacts6.html. Diakses pada tanggal 25 April 2016. Anonim.



2005.



chloroform



Avaiable



from



:



www.odh.ohio.gov/ASSETS/IVEIVC506200F0IVE0AAA96D8IV6ABC09FIII5/Chlorofor m%2520Fact%2520Sheet.pdf. Diakses pada tanggal 25 April 2016. Anonim,



2009.chloroform



Avaiable



from



:



http://www.jtbaker.com/msds/englishhtml/C2915.htm. Diakses pada tanggal 25 April 2016. Anonim. 2011. http://repository.usu.ac.id. Diakses pada tanggal 26 April 2016. Alexander A, 2001. Chloroform Inhalation Exposure Conditions Necessary to Initiate Liver Toxicity



in



Female



B6C3F1



Mice



.



Avaiable



from



:http://toxsci.oxfordjournals.org/cgi/content/full/66/2/201. Diakses pada tanggal 25 April 2016. Katzung, Bertram. 1997. Alkohol. Dalam: Farmakologi Dasar dan Terapi. Edisi VI. Jakarta: EGC. Collins, Vincent J. 1996. Diethyl Ether and Chloroform. Dalam: Physiology and Pharmacologic Bases of Anesthesia. Pennsylvania: Williams & Wilkins. Oyama, Tsutomu, dkk. 1968. Plasma Levels of ACTH and Cortisol in Man during Diethyl Ether Anesthesia and Surgery. Anesthesiology 29, 559. Goodman dan Gilman. 2008. Anastetik Umum. Dasar Farmakologi Terapi. Jakarta:EGC Ganiswarna, Sulistia G. 1995. Anestesi Umum. Dalam: Farmakologi danTerapi. Edisi IV. Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI.