Laporan Praktikum Fitofarmaka Tugas 3 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PRAKTIKUM FITOFARMAKA TUGAS 3 Penetapan Kadar Senyawa Marker Pada Ekstrak Kaempferia galanga Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktikum Fitofarmaka



KELOMPOK : 9 KELAS: A LAILATUL BADRIATUN KH (201610410311042)



DOSEN PEMBIMBING: Siti Rofida, M.Farm., Apt. Amaliyah Dina A., M.Farm., Apt.



PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2019



BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Kencur (Kaempferia galangal L.) merupakan tanaman tropis yang banyak tumbuh di berbagai daerah di Indonesia sebagai tanaman yang dipelihara. Tanaman ini banyak digunakan sebagai ramuan obat tradisional dan sebagai bumbu dalam masakan sehingga para petani banyak yang membudidayakan tanaman kencur sebagai kencur



hasil



pertanian



yang



diperdagangkan.



Bagian



dari



yang diperdagangkan adalah buah akar yang ada di dalam tanah



yang disebut rimpang kencur atau rizoma (Barus 2009). Rimpang kencur sudah dikenal luas di masyarakat baik sebagai bumbu makanan atau untuk pengobatan, diantaranya adalah batuk, mual, bengkak, bisul dan jamur. Selain itu minuman beras kencur berkhasiat untuk menambah daya



tahan



tubuh, menghilangkan



masuk



angin,dan



kelelahan,



dengan



dicampur minyak kelapa atau alkohol digunakan untuk mengurut kaki keseleo atau mengencangkan urat kaki. Komponen yang terkandung di dalamnya antara lain saponin, flavonoid, polifenol dan minyak atsiri. Tanaman ini termasuk kelas monocotyledonae, bangsa Zingiberales, suku Zingiberaceae dan, marga Kaempferia (Winarto 2007). Senyawa marker dibutuhkan sebagai pembanding dalam konfirmasi keberadaan suatu ekstrak tanaman dalam produk obat bahan alam. Analisis senyawa marker secara kualitatif dankuantitatif dapat dijadikan indikator mutu suatu obat herbal. Studi tentang senyawa marker dapat pula diterapkan pada proses pemastian keaslian spesies, pencarian sumber baru atau pengganti bahan mentah, optimasi metode ekstraksi, purifikasi, elusidasi struktur dan penentuan kemurnian. Penelusuran yang sistematis menggunakan senyawa marker memungkinkannya menjadi acuan dalam penemuan dan pengembangan terhadap obat baru (Kushwaha, Kushwaha, Maurya, & Rai, 2010; Badan POM RI, 2011). Komposisi kandungan senyawa kimia yang beragam dalam suatu tanaman menyebabkan identifikasi senyawa kimia dalam tanaman menjadi sulit. Oleh karena itu, pada identifikasi tanaman obat herbal diperlukan suatu senyawa penanda yang dapat dijadikan identitas dari tanaman obat (Rasheed, 2012).



Senyawa EPMS yang terdapat pada setiap ekstrak dideteksi melalui pemeriksaan dengan kromatografi lapis tipis (KLT) dan dimurnikan dengan rekristalisasi menggunakan metode seeding secara berulang ulang. Selanjutnya untuk analisis uji kemurnian kristal ditentukan melalui Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Dari uraian diatas sehingga praktikum kali ini akan dilakukan penetapan kadar senyawa marker pada ekstrak rimpang Kaempferia galanga. 1.2. Tujuan Berdasarkan latar belakang di atas maka, tujuan dari praktikum ini antara lain : 1. Untuk mengetahui dan melakukan penetapan kadar senyawa marker pada ekstrak rimpang Kaempferia galanga



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kencur (Kaempferia galanga) 2.1.1



Klasifikasi Sistematika dan klasifikasi tanaman kencur (Rukmana, 1994) Kingdom



: Plantae



Subkingdom



: Viridiplantae



Infrakingdom



: Streptophyta



Superdivision



: Embryophyta



Divisio



: Spermatophyta



Subdivisio



: Angiospermae



Class



: Monocotyledonae



Superorder



: Lilianae



Ordo



: Zingiberales



Famili



: Zingiberaceae



Genus



: Kaempferia



Spesies



: Kaemferia galanga L.



Gambar 2.1 Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.) 2.1.2



Morfologi Tanaman Kaempferia galanga L. Kencur merupakan terna tahunan, berbatang basal tidak begitu tinggi, lebih kurang 20 cm dan tumbuh dalam rumpun. Daun tunggal,



berwarna



hijau



dengan



pinggir



merah



kecoklatan bergelombang.



Bentuk daun jorong lebar sampai bundar, panjang 7-15 cm, lebar 2-8 cm, ujung runcing, pangkai berlekuk, dan tepinya rata. Permukaan daun bagian atas tidak berbulu, sedangkan bagian bawah berbulu halus. Tangkai daun pendek, berukuran 3-10 cm, pelepah terbenam dalam tanah, panjang 1,5-3,5 cm, berwarna putih. Jumlah daun tidak lebih dari 2-3 lembar dengan susunan berhadapan (Damayanti, 2008). Tanaman kencur berbeda dengan famili Zingiberaceae lainnya, yaitu daunnya merapat ke permukaan tanah, batangnya



pendek,



akar



serabut berwarna coklat kekuningan, rimpang pendek berwarna coklat, berbentuk jari dan tumpul, bagian luarnya atau kulit rimpangnya berwarna coklat mengkilat, memiliki aroma



yang



spesifik, bagian



dalamnya



berwarna putih dengan daging lunak, dan tidak berserat (Damayanti, 2008).



Gambar 2.2 Daun dan Bunga Kaempferia galanga L. 2.1.3



Habitat dan Distribusi Geografis Kencur adaptif di daerah berketinggian 50–600 m di atas permukaan laut yang bersuhu 25º – 30º C. Kencur menghendaki 5–9 bulan basah dan 5–6 bulan kering per tahun. Intensitas cahaya matahari idealnya penuh (100%) atau ternaungi sampai 25%–30% hingga tanaman berumur 6 bulan. Syarat lainnya adalah drainase tanah baik, tekstur tanah lempung sampai lempung liat berpasir, kemiringan lahan kurang dari 3%, kemasaman tanah 5,5–6,5. Tanaman kencur ini banyak dibudidayakan di Indonesia, terutama di pulau Jawa, selain



itu juga banyak ditanam di India, Malaysia, Taiwan, dan Cina. (Pujiharti, 2012). 2.1.4



Kandungan Kimia Kaempferia galanga L. Rimpang kencur paling banyak mengandung alkaloid



dan



minyak atsiri, yang terdiri atas sineol, asam sinamat, etil ester, kamphene, paraeumarin dan asam anisat (Gendrowati, 2013). Tabel 2.1 Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol Rimpang Kencur Uji Fitokimia



Hasil



Alkaloid



++++



Minyak Atsiri



+++



Saponin



+++



Tanin



++++



Flavonoid



++++



Fenolik



+++



Steroid/Triterpenoid



-



Glikosida



++++



(Gholib, 2011) Flavonoid



menyebabkan



perubahan



komponen



organik



dan



transport nutrisi yang akhirnya akan mengakibatkan timbulnya efek toksik terhadap jamur (Agrawal, 2011). Senyawa alkaloid sebagai antibakteri mampu menghambat sintesis dinding sel bakteri, jika dinding sel bakteritidak terbentuk dengan sempurna maka sel bakteri akan lisis dan hancur. Ekstrak etanol rimpang kencur jugamengandung saponin dan steroid. Saponin merupakan



senyawa



Mekanisme



kerja



aktif



saponin



yang sebagai



juga



mempunyai aktivitas antifungi. antijamur adalah



tegangan permukaan sehingga mengakibatkan naiknya



menurunkan permeabilitas



atau kebocoran sel dan mengakibatkan senyawa intraseluler akan keluar. Senyawa ini berdifusi melalui membran luar dan dinding sel yang rentan, lalu mengikat membran sitoplasma dan mengganggu dan mengurangi kestabilan itu. Hal ini menyebabkan sitoplasma bocor keluar dari sel yang mengakibatkan kematian sel (Nuria dkk, 2009).



Senyawa steroid dapat mengakibatkan kebocoran pada lisosom bakteri.



Interaksi



menyebabkan



steroid



menurunnya



dan



membran fosfolipid



integritas



membrane



bakteri dan



akan terjadi



perubahan morfologi membran bakteri (Hayati et al., 2017). Rimpang kering dari Kaempferia galanga L. mengandung 2,5 sampai 4% minyak esensial yang banyak digunakan dalam penyedap makanan, wewangian, dan obat-obatan. Penelitian baru-baru ini menunjukkan potensi antijamur, antibakteri, antibiofilm, antioksidan dan aktivitas antitumor dari minyak esensial yaitu minyak atsiri yang diisolasi dari rimpang Kaempferia galanga L (Kumar, 2014). Kandungan kimia aktif dari minyak atsiri yang diperoleh dari analisis gas kromatografi dan spektrofotometri massa adalah sebagai berikut: Tabel 2.2 Hasil Analisis Komponen Kimia Minyak Atsiri Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L.) secara GC-MS



(Lely dan Rahmanisah, 2017) Ethyl cinnamate dan ethyl-p-methoxycinnamate dan merupakan golongan ester yang memiliki peran sebagai nematisida, antikanker, antituberkulosis, anti-inflamasi, antifungal and larvisida(Kumar, 2014).



(Kumar, 2014) Gambar 2.3 Gambar Rantai Kimia Ethyl Cinnamate



Gambar 2.4 Gambar Rantai Kimia Ethyl-p-methoxycinnamate



2.1.5



Manfaat Kaempferia galanga L. Kencur (Kaempferia galanga L.) banyak digunakan sebagai bahan baku



obat



tradisional



(jamu),



fitofarmaka,



industri kosmetika,



penyedap makanan dan minuman, rempah, serta bahan campuran saus, rokok pada industri rokok kretek. Secara empirik kencur digunakan sebagai penambah nafsu makan, infeksi bakteri, obat batuk, disentri, tonikum, ekspektoran, masuk angin, sakit perut(Pujiharti, 2012). Kencur juga juga memiliki bermacam-macam kegunaan lain, diantaranya sebagai antibakteri, antifungi, analgesik, anti-inflamasi, antioksidan, antivirus,



antihipertensi,



antikarsinogenik,



antinosiseptif,



antituberkulosis dan larvasida. Minyak atsiri rimpang kencur juga digunakan sebagai bahan parfum, obat-obatan, dan untuk aromaterapi inhalan dan pijat untuk mengurangi kecemasan, stres, dan depresi (Kumar, 2014 2.2. Ekstrak Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simpilsia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 1995). Ada beberapa jenis ekstrak yakni: ekstrak cair, ekstrak kental dan ekstrak kering. Ekstrak cair jika hasil ekstraksi masih bisa dituang, biasanya kadar air lebih dari 30%. Ekstrak kental jika memiliki kadar air antara 5-30%. Ekstrak kering jika mengandung kadar air kurang dari 5% (Voight, 1994). Faktor yang mempengaruhi ekstrak yaitu faktor biologi dan faktor kimia. Faktor biologi meliputi: spesies tumbuhan, lokasi tumbuh, waktu pemanenan, penyimpanan bahan tumbuhan, umur tumbuhan, dan bagian yang digunakan.



Sedangkan faktor kimia yaitu: faktor internal (jenis senyawa aktif dalam bahan, komposisi kualitatif senyawa aktif, komposisi kuantitatif senyawa aktif, kadar total rata-rata senyawa aktif) dan faktor eksternal (metode ekstraksi, perbandingan ukuran alat ekstraksi, ukuran kekerasan dan kekeringan bahan, pelarut yang digunakan dalam ekstraksi, kandungan logam berat, kandungan pestisida) (Depkes RI, 2000). Selain faktor yang mempengaruhi ekstrak, ada faktor penentu mutu ekstrak yang terdiri dari beberapa aspek, yaitu: kesahihan tanaman, genetik, lingkungan tempat tumbuh, penambahan bahan pendukung pertumbuhan, waktu panen, penanganan pasca panen, teknologi ekstraksi, teknologi pengentalan dan pengeringan ekstrak, dan penyimpanan ekstrak (Saifudin et al, 2011). 2.3. Senyawa Marker Senyawa marker adalah satu atau lebih senyawa yang secara alami terdapat dalam bahan tumbuhan dengan atau tanpa memiliki aktivitas farmakologi dan dipilih untuk tujuan kontrol kualitas oleh peneliti atau pabrik. Pemilihan senyawa marker tergantung pada beberapa factor yaitu : stabilitas senyawa, metode analisis, waktu dan biaya analisis, manfaatnya untuk identifikasi, relevansi dengan efek terapeutik, indicator kulaitas, dan stablitas produk. (McCutcheon, 2002). 2.4. Tinjauan tentang Etil-p-metoksisinamat EPMS Etil-p-metoksisinamat merupakan senyawa utama dari rimpang tanaman kencur yang umumnya ditemukan di dalam ekstrak diklorometana dan nheksana (Othman, Ibrahim, Mohd, Mustafa, & Awang, 2006; Huang, Yagura, & Chen, 2008). Selain termasuk sebagai salah satu sumber senyawa marker yang terdapat dalam Farmakope Herbal Indonesia, rimpang kencur dapat digunakan secara tradisional untuk mengendalikan pembengkakan, asam urat dan reumatik (Mitra, Orbell, & Muralitharan, 2007; Depkes RI, 2008; Yumita, Suganda, & Sukandar, 2013). Penelitian lainnya yang telah dilakukan oleh Yumita et al. (2013) menunjukkan bahwa ekstrak rimpang tanaman kencur memiliki aktivitas dalam menghambat enzim xantin oksidase (XO).



2.5. Kromatografi Kromatografi adalah suatu metode pemisahan berdasarkan perbedaan perpindahan dari komponen-komponen senyawa diantara dua fase yaitu fase diam (dapat berupa zat cair atau zat padat) dan fase gerak (dapat berupa gas atau zat cair) (Depkes, 1995). Fase diam berupa zat padat maka cara tersebut dikenal sebagai kromatografi serapan, jika zat cair dikenal sebagai kromatografi partisi. Karena fase gerak dapat berupa zat cair dan gas maka ada empat macam sistem kromatografi (Sastrohamidjojo, 1985): 1. Fase gerak zat cair–fase diam padat: i. Kromatografi lapis tipis ii. Kromatografi penukar ion 2. Fase gerak gas–fase diam padat: iii. Kromatografi gas padat 3. Fase gerak zat cair–fase diam zat cair: iv. Kromatografi cair kinerja tinggi 4. Fase gerak gas–fase diam zat cair: v. Kromatografi gas cair vi. Kromatografi kolom kapiler Pemisahan dan pemurnian kandungan tumbuhan dilakukan dengan menggunakan salah satu atau gabungan dari beberapa teknik tersebut dan dapat digunakan pada skala mikro maupun makro (Harborne, 1987). 2.6. Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi lapis tipis ialah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan pemisah terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa plat gelas, logam atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah berupa larutan yang ditotolkan baik berupa bercak ataupun pita, setelah plat atau lapisan dimasukkan ke dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan), selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan (Stahl, 1985). Pendeteksian bercak hasil pemisahan dapat dilakukan dengan beberapa cara. Untuk senyawa tak berwarna cara yang paling sederhana adalah dilakukan pengamatan dengan sinar ultraviolet. Beberapa senyawa organik bersinar atau



berfluorosensi jika disinari dengan sinar ultraviolet gelombang pendek (254 nm) atau gelombang panjang (366 nm), jika dengan cara itu senyawa tidak dapat dideteksi maka harus dicoba disemprot dengan pereaksi yang membuat bercak tersebut tampak yaitu pertama tanpa pemanasan, kemudian bila perlu dengan pemanasan (Gritter, et al., 1991; Stahl, 1985). a.



Fase diam (lapisan penjerap) Kromatografi lapis tipis, fase diam berupa lapisan tipis yang terdiri atas bahan padat yang dilapiskan pada permukaan penyangga datar yang biasanya terbuat dari kaca, dapat pula terbuat dari plat polimer atau logam. Lapisan melekat pada permukaan dengan bantuan bahan pengikat, biasanya kalsium sulfat atau amilum. Penjerap yang umum dipakai untuk kromatografi lapis tipis adalah silika gel, alumina, kieselgur dan selulosa (Gritter, et al., 1991). Dua sifat yang penting dari fase diam adalah ukuran partikel dan homogenitasnya, karena adesi terhadap penyokong sangat tergantung pada kedua sifat tersebut. Ukuran partikel yang biasa digunakan adalah 1-25 mikron. Partikel yang butirannya sangat kasar tidak akan memberikan hasil yang memuaskan dan salah satu cara untuk memperbaiki hasil pemisahan adalah dengan menggunakan fase diam yang butirannya lebih halus. Butiran yang halus memberikan aliran pelarut yang lebih lambat dan resolusi yang lebih baik (Sastrohamidjojo, 1985).



b.



Fase gerak (pelarut pengembang) Fase gerak ialah medium angkut yang terdiri atas satu atau beberapa pelarut, jika diperlukan sistem pelarut multi komponen, harus berupa suatu campuran sesederhana mungkin yang terdiri atas maksimum tiga komponen (Stahl, 1985). Pemisahan senyawa organik selalu menggunakan pelarut campur. Tujuan menggunakan pelarut campur adalah untuk memperoleh pemisahan senyawa yang baik. Kombinasi pelarut adalah berdasarkan atas polaritas masing-masing pelarut, sehingga dengan demikian akan diperoleh sistem pengembang yang cocok. Pelarut pengembang yang digunakan dalam kromatografi lapis tipis antara lain: nheksan, karbontetraklorida, benzen, kloroform, eter, etilasetat, piridian, aseton, etanol, metanol dan air (Gritter, et al., 1991).



c.



Harga Rf Mengidentifikasi noda-noda dalam kromatografi lapis tipis sangat lazim menggunakan harga Rf (Retordation Factor) yang didefinisikan sebagai: Jarak titik pusat bercak dari titik awal Rf =



Jarak garis depan pelarut dari



titik awal Harga Rf beragam mulai dari 0 sampai 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga Rf (Sastrohamidjojo, 1985): a. Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan b. Sifat penjerap c. Tebal dan kerataan dari lapisan penjerap d. Pelarut dan derajat kemurniannya e. Derajat kejenuhan uap pengembang dalam bejana f. Teknik percobaan g. Jumlah cuplikan yang digunakan h. Suhu i. Kesetimbangan. 2.7. Pelarut A. Eluen Eluen adalah pelarut yang dipakai dalam proses migrasi/pergerakan dalam membawa komponen-komponen zat sampel atau fasa yang bergerak melalui fasa diam dan membawa komponen-komponen senyawa yang akan dipisahkan.Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut yang dapat bercampur yang secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Daya elusi dan resolusi ini ditentukan oleh polaritas keseluruhan pelarut, polaritas fase diam, dan sifat komponen-komponen sampel (Johnson, 1991). Dalam kromatografi cair komposisi pelarut atau fase gerak adalah satu variabel yang mempengaruhi pemisahan. Terdapat keragaman yang luas dari fase gerak yang digunakan dalam semua mode KCKT, tetapi ada beberapa sifat-sifat yang diinginkan yang mana umumnya harus dipenuhi oleh semua fase gerak. Fase gerak harus: a.



Murni; tidak ada pencemar/kontaminan



b.



Tidak bereaksi dengan pengemas



c.



Sesuai dengan detektor



d.



Melarutkan cuplikan



e.



Mempunyai viskositas rendah



f.



Mudah rekoveri cuplikan, bila diinginkan



g.



Tersedia diperdagangan dengan harga yang pantas Umumnya, pelarut-pelarut dibuang setelah digunakan karena prosedur



pemurnian kembali membosankan dan mahal. Dari semua persyaratan di atas, 4 persyaratan pertama adalah yang paling penting. Gelembung udara (degassing) yang ada harus dihilangkan dari pelarut, karena udara yang terlarut keluar melewati detektor dapat menghasilkan banyak noise sehingga data tidak dapat digunakan (Johnson, 1991). B. n-Heksan n-heksana adalah senyawa dengan rumus kimia C6H14 yang merupakan hidrokarbon yang banyak digunakan sebagai pelarut organik yang memiliki sifat mudah menguap. "n" pada n-heksana mengandung arti normal yang artinya rantai hidrokarbonnya lurus atau linier yang dituliskan CH-CH-CHCH-CH-CH.. n-heksan relatif aman karena tidak mengiritasi kulit dan tingkat toksisitasnya relatif rendah. Namun, n-heksana akan mudah terbakar (flammable) jika n-heksana diletakkan di dekat api karena titik didih n-heksana yang rendah yaitu 69 °C. Sifat-sifat n-heksana antara lain Bobot molekul



: 86,18 gr mol-1



Wujud



: Cairan tidak berwarna



Massa jenis



: 0,6548 gr/mL



Titik leleh



: -95 °C, 178 K, -139 °F



Titik didih



: 69 °C, 342 K, 156 °F



Kelarutan dalam air : 13 mg/L pada 20°C Viskositas



: 0,294 cP



Titik nyala



: -23,3 °C



C. Etil Asetat Etil asetat adalah senyawa organik dengan rumus CHCHOC(O)CH. Senyawa ini merupakan ester dari etanol dan asam asetat. Senyawa ini berwujud cairan tak berwarna, memiliki aroma khas. Senyawa ini sering disingkat EtOAc, dengan Et mewakili gugus etil dan OAc mewakili asetat. Etil asetat diproduksi dalam skala besar sebagai pelarut. Etil asetat adalah pelarut polar menengah yang volatil (mudah menguap), tidak beracun, dan tidak higroskopis. Etil asetat merupakan penerima ikatanhidrogen yang lemah, dan bukan suatu donor ikatan hidrogen karena tidak adanya proton yang bersifat asam (yaitu hidrogen yang terikat pada atom elektronegatif seperti flor, oksigen, dan nitrogen. Etil asetat dapat melarutkan air hingga 3%, dan larut dalam air hingga kelarutan 8% pada suhu kamar. Kelarutannya meningkat pada suhu yang lebih tinggi. Namun, senyawa ini tidak stabil dalam air yang mengandung basa atau asam. Berikut ini adalah karakteristik atau sifat fisika dan sifat kimia dari etil asetat: Sifat fisis a. Berat molekul



: 88,1 kg/kmol



b. Boiling point



: 77,1ºC



c. Flash point



: -4ºC



d. Melting point



: - 83,6ºC



e. Suhu kritis



: 250,1ºC



f. Tekanan kritis



: 37,8atm



g. Kekentalan (25 oC)



: 0,4303cP



h. Specific grafity ( 20ºC)



: 0,883



i. Kelarutan dalam air



: 7,7% berat pada 20oC



j. Entalphy pembentukan (25ºC) gas



: -442,92kJ/mol



k. Energi Gibbs pembentukan (25ºC) cair : -327,40kJ/mol Sifat Kimia Etil asetat adalah senyawa yang mudah terbakar dan mempunyai resiko peledakan (eksplosif). a. Membentuk acetamide jikadiammonolisis b. Akan membentuk etil benzoil asetat bila bereaksi dengan etilbenzoate



D. Asam formiat Asam format atau asam formiat (nama sistematis: asam metanoat) adalah asam karboksilatyang paling sederhana. Asam format secara alami antara lain terdapat pada sengat lebah dan semut, sehingga dikenal pula sebagai asam semut. Asam format merupakan senyawaantara yang penting dalam banyak sintesisbahan kimia. Rumus kimia asam format dapat dituliskan sebagai HCOOH atau CH. Sifat Rumus kimia



CH2O2



Massa molar



46.03 g mol−1



Penampilan



Cairan tak berwarna



Densitas



1.22 g/mL



Titik lebur Titik didih Kelarutandalam air



Ya



Keasaman(pKa)



3.77



Viskositas



1.57Pat 26°C



2.8. Indeks polaritas Polaritas sering diartikan sebagai adanya pemisahan kutub bermuatan positif dan negatif dari suatu molekul sebagai akibat terbentuknya konfigurasi tertentu dari atom-atom penyusunnya. Dengan demikian, molekul tersebut dapat tertarik oleh molekul yang lain yang juga mempunyai polaritas yang kurang lebih sama. Besarnya polaritas dari suatu pelarut proporsional dengan besarnya konstanta dielektriknya (Adnan 1997). 2.8.1 Polaritas dalam KLT Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Sistem yang paling sederhana ialah campuran 2 pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal (Gholib, 2007). Kemampuan suatu analit terikat pada permukaan silika gel dengan adanya pelarut tertentu dapat dilihat sebagai pengabungan 2 interaksi yang



saling berkompetisi. Pertama, gugus polar dalam pelarut dapat berkompetisi dengan analit untuk terikat pada permukaan silika gel. Dengan demikian, jika pelarut yang sangat polar digunakan, pelarut akan berinteraksi kuat dengan permukaan silika gel dan hanya menyisakan sedikit tempat bagi analit untuk terikat pada silika gel. Akibatnya, analit akan bergerak cepat melewati fasa diam dan keluar dari kolom tanpa pemisahan. Dengan cara yang sama, gugus polar pada pelarut dapat berinteraksi kuat dengan gugus polar dalam analit dan mencegah interaksi analit pada permukaan silika gel. Pengaruh ini juga menyebabkan analit dengan cepat meninggalkan fasa diam. Kepolaran suatu pelarut yang dapat digunakan untuk kromatografi dapat dievaluasi dengan memperhatikan tetapan dielektrik (ε) dan momen dipol (δ) pelarut. Semakin besar kedua tetapan tersebut, semakin polar pelarut tesebut. Sebagai tambahan, kemampuan berikatan hidrogen pelarut dengan fasa diam harus dipertimbangkan (Tim Penyusun, 2010). Indeks polaritas pelarut (Sholeh, 2009) :



BAB III PROSEDUR KERJA 3.1. Kerangka operasional 3.1.1



Pembuatan Eluen (Fase Gerak) N-heksana 90 ml



3.1.2



Etil asetat 10 ml



Campur ad homogen, masukkan ke chamber



As. Formiat 1 ml



Pembuatan Larutan Baku A.



Pembuatan Larutan Induk larutan induk 1 dengan kosentrasi 5000 ppm (LI1). Ditimbang standart EPMS 250 mg (47,552,5 mg)



(+) 20ml etanol 96%, diultrasonik 5 menit



(+) etanol 96% ad 50,0ml



larutan induk 2 dengan konsentrasi 2000 ppm (LI2).



B.



Pembuatan Baku Kerja Baku Induk atau baku kerja yang diambil



Larutan Baku



Konsentrasi



Baku 1



200 ppm



5.0 ml Baku 3



Ditambah etanol ad 10.0 ml



Baku 2



300 ppm



5.0 ml Baku 5



Ditambah etanol ad 10.0 ml



Baku 3



400 ppm



5.0 ml Baku 6



Ditambah etanol ad 10.0 ml



Baku 4



500 ppm



5.0 ml LI 1



Ditambah etanol ad 50.0 ml



Baku 5



600 ppm



3.0 ml LI 2



Ditambah etanol ad 10.0 ml



Baku 6



800 ppm



4.0 ml LI 2



Ditambah etanol ad 10.0 ml



Jumlah yang digunakan



BK 4 Dipipet larutan induk 1 5,0 ml



Masukkan ke labu ukur 50,0ml



(+) etanol 96% ad tanda. Homogenkan



BK 5 Dipipet larutan induk 2 3,0 ml BK 6 Dipipet larutan induk 2 4,0 ml



Masukkan ke labu ukur 10,0ml



(+) etanol 96% ad tanda. Homogenkan



Masukkan ke labu ukur 10,0ml



(+) etanol 96% ad tanda. Homogenkan



BK 3 Dipipet BK 6 5,0 ml BK 2 Dipipet BK 5 5,0 ml



Masukkan ke labu ukur 10,0ml



(+) etanol 96% ad tanda. Homogenkan



Masukkan ke labu ukur 10,0ml



(+) etanol 96% ad tanda. Homogenkan



Masukkan ke labu ukur 10,0ml



(+) etanol 96% ad tanda. Homogenkan



BK 1 Dipipet BK 3 5,0 ml



3.1.3



Preparasi Sampel A. Sampel untuk penetapan kadar EPMS dalam bentuk ekstrak kering Ditimbang sampel 20,0mg sebanyak 3x



Masing – masing (+) etanol 96% 2 ml. Ultrasonik 5 menit



(+) etanol 96% ad 5,0ml. Diultrasonik 10 menit. Saring dan tampung filtrat



B. Sampel untuk penetapan recoveri Ditimbang sampel 20,0mg sebanyak 3x



Masing – masing (+) etanol 96% 2 ml. Ultrasonik 5 menit



(+) standar EPMs 500 ppm sebanyak 1.0 ml



(+) etanol 96% ad 5,0ml. Diultrasonik 10 menit. Saring dan tampung filtrat



C. Penotolan sampel dan standart Sampel, sampel recoveri dan standart EPMS ditotolkan pada plat KLT sebanyak 2µL. 20 cm



0,5 cm



10 cm



2,0 cm



1



1,5 cm



S1 2 S2 3



S3



4



1,5 cm



R1



5



R2



6



R3



1,5 cm



3.2. Prosedur Operasional A. Pembuatan eluen (fase gerak) Eluen yang digunakan n-Heksana – Etil Asetat – Asam Formiat (90:10:1). Buatlah eluen sebanyak 101ml. Masukkan kedalam chamber. Homogenkan didalam chamber dengan cara digoyang-goyang. Apabila volume eluen terlalu banyak, maka kurangi. Jangan sampai totolan awal pada plat KLT tercelup didalam eluen B. Pembuatan larutan baku 1. Pembuatan larutan induk Ditimbang standar EPMS dengan seksama sebanyak 250,0 mg, ditambah dengan 20 ml etanol 96 %, diultrasonik selama 5 menit kemudian ditambah etanol 96 % sampai tepat 50,0 mL. diperoleh larutan induk 1 dengan konsentrasi 5000 ppm. (LI 1). Dipipet 4.0 mL larutan induk 1, dimasukkan ke dalam labu ukur 10.0 mL. ditambah etanol 96 % sampai garis tanda, kocok homogen. Diperoleh larutan induk 2 dengan konsentrasi 2000 ppm (LI2).



2. Pembuatan baku kerja Larutan



Konsentrasi



baku



Baku induk atau Jumlah baku



kerja



yang



yang digunakan



diambil Baku 1



200 ppm



5.0 mL baku 3



Ditambah etanol ad 10.0 mL



Baku 2



300 ppm



5.0 mL baku 5



Ditambah etanol ad 10.0 mL



Baku 3



400 ppm



5,0 mL baku 6



Ditambah etanol ad 10.0 mL



Baku 4



500 ppm



5.0 mL LI 1



Ditambah etanol ad 50.0 mL



Baku 5



600 ppm



3.0 mL LI 1



Ditambah etanol ad 10.0 mL



Baku 6



800 ppm



4.0 mL LI 1



Ditambah etanol ad 10.0 mL



C. Preparasi sampel a. Sampel untuk penetapan kadar EPMS dalam ekstrak kering Ditimbang sampel sebanyak 20,0 mg masing-masing sebanyak 3 kali, ditambah pelarut masing-masing sebanyak 2 mL, diultrasonik selama 5 menit, ditambah etanol 96% sampai 5,0 mL, diultrasonik selama 10 menit. Kemudian disaring dan ditampung fltratnya. b. Sampel untuk penentuan recoveri Diumbang sampel sebanyak 20,0 mg masing-masing sebanyak 3 kali, ditambah pelarut masing-masing sebanyak 2 ml, diultrasonik selama 5 menit, ditambah standar EPMS 500 ppm sebanyak 1.0 mL, kemudian ditambah pelarut sampai 5,0 mL, diultrasonik selama 10 menit. Kemudian disaring dan ditampung filtratnya.



c. Ditotolkan sampel dan sampel untuk recoveri sebanyak 2 µL, sedangkan standar EPMS sebanyak 2 µL pada plat KLT D. Cara kerja analisis dengan Thin Layer Chromatography (TLC) scanner 1. Penentuan panjang gelombang maksimum Plat KLT yang sudah di scan pada panjang gelombang 254 nm dan 365 nm, kemudian discan panjang gelombang 200-400 nm. Dari sini dapat diketahui pada panjang gelombang berapa EPMS memberikan absorban maksimum. Panjang gelombang maksimum tersebut yang akan digunakan untuk pengukuran. 2. Penentuan linieritas Linieritas ditentukan dari larutan satandar EPMS pada lemopeng KLT, kemudian dianalisis dengan KLT densitometry pada panjang gelombang maksimum. Dihitung berapa regresi linear antara kadar dan luas area noda. 3. Penentuan presisi Untuk menghitung presisi, ditotolkan sampel pada masing-masing 2 µL dan larutan standar EPMS masing-masing 2 µL pada plate KLT. Plate ini kemudian dieluasi dengan fase gerak dan dianalisis menggunakan KLT densitometry pada panjang gelombang maksimum. Sehingga dapat dihitung berapa standar deviasi (SD) dan koefisien variasinya (KV) 4. Penentuan akurasi Untuk menentukan persen rekoveri, ditotolkan sampel recovery masingmasing 2 µL (lihat preparasi sampel untuk recoveri) dan larutan standar EPMS masing-masing 2 µL pada plat KLT. Plat ini kemudian dieluasi dengan fase gerak dan dianalisis menggunakan KLT-densitometer pada panjang gelombang maksimum. % rekovery = Dimana



𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑛𝑎𝑟𝑛𝑦𝑎



𝐶𝑡



= 𝐶𝑝+𝐶𝑠𝑡 × 100 %



Ct



= kadar EPMS yang diperoleh



Cp



= kadar EPMS dalam sampel



Cst



= kadar standar EPMS yang ditambahkan



Hasil yang diperoleh kemudian dihitung standar deviasi (SD) dan koefisien variasinya (KV).



DAFTAR PUSTAKA



Anonim, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, 1, 3, Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Armando dan Rochim. 2009. Memproduksi Minyak Atsiri Berkualitas. Cetakan I. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta. Adnan, M., 1997. Teknik Kromatografi untuk Analisis Bahan Makanan, Edisi Pertama, 9, 14, 15, Penerbit Andi, Yogyakarta Agoes, A. 2010. Tanaman Obat Indonesia. Jakarta: Salemba Medika Dewi Damayanti, dkk. 2008. Buku Pintar Tanaman Obat. Jakarta : Agromedia Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan, Jakarta. Gendrowati, Fitri. (2013). Tanaman Obat Keluarga, Padi, Jakarta. Harborne, J.B., (1987), Metode Fitokimia, Edisi ke dua, ITB, Bandung. Johnson, E.L., dan Stevenson, R., 1991, Dasar Kromatografi Cair Kinerja Tinggi, Penerbit ITB Bandung. Kushwaha, S.K.S.; Kushwaha, N.; Maurya, N.; Rai, A.K. 2010. Role of Markers in the Standardization of Herbal Drugs: A Review. Arch. Appl. Sci. Res. 2(1), 225229. Lely, N., dan Rahmanisah, D., 2017. Uji Daya Hambat Minyak Atsiri Rimpang Kencur (Kaemferia galangal L.) Terhadap Trichophyton Mentagrophytes dan Trichophyton Rubrum. Jurnal Penelitian Sains, 19(2). Rukmana, R. 1994. Kencur. Kanikus : Yogyakarta. Tjitrosoepomo, G. 1999. Morfologi Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.. Voight, R., 1994, Buku Pengantar Teknologi Farmasi, 572-574, diterjemahkan oleh Soedani, N., Edisi V, Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada Press