Laporan Rsud Fatimah Print Fix [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI RSUD SITI FATIMAH PALEMBANG PERIODE 23 AGUSTUS – 15 OKTOBER 2021



Disusun Oleh :



ADI PUTRA



(2043700369)



FEBRI ASZA



(2043700250)



M. AGUNG SEPTIAWAN (2043700303) MULIANA



(2043700404)



RINNY AGUSTIN



(2043700398)



SAMSU ASEP



(2043700301)



PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER ANGKATAN XLIV FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 JAKARTA TAHUN 2021



HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER DI RSUD SITI FATIMAH PROVINSI SUMATERA SELATAN



Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Memperoleh Gelar Apoteker (APT) Program Studi Profesi Apoteker



Disusun Oleh : FEBRI ASZA



(2043700250)



RINNY AGUSTIN (2043700398)



Telah disetujui oleh :



Pembimbing Fakultas



Pembimbing PKPA



Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta



RSUD Siti Fatimah Palembang



(apt.Dini Permata Sari, M.Si)



(apt., Yeri Mei Ferina S. Farm)



Mengetahui : Kepala Subbagian Pendidikan dan Penelitian RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumsel



(Nurul Fitriah, SKM,M.KM)



HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER DI RSUD SITI FATIMAH PALEMBANG PROVINSI SUMATERA SELATAN



Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Memperoleh Gelar Apoteker (APT) Program Studi Profesi Apoteker



Disusun Oleh : MULIANA (2043700404)



Telah disetujui oleh :



Pembimbing Fakultas



Pembimbing PKPA



Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta



RSUD Siti Fatimah Palembang



(apt. Yelfi Anwar, M. Farm)



(apt.Yeri Mei Ferina, S. Farm)



Mengetahui : Kepala Subbagian Pendidikan dan Penelitian RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumsel



(Nurul Fitriah, SKM,M.KM)



HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER DI RSUD SITI FATIMAH PALEMBANG PROVINSI SUMATERA SELATAN



Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Memperoleh Gelar Apoteker (APT) Program Studi Profesi Apoteker



Disusun Oleh : ADI PUTRA



(2043700369)



M. AGUNG SEPTIAWAN (2043700303)



Telah disetujui oleh :



Pembimbing Fakultas



Pembimbing PKPA



Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta



RSUD Siti Fatimah Palembang



(Dr. apt.Diana Laila Rahmatillah,M.Farm)



(apt.Yeri Mei Ferina, S. Farm)



Mengetahui : Kepala Subbagian Pendidikan dan Penelitian RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumsel



(Nurul Fitriah, SKM,M.KM)



HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER DI RSUD SITI FATIMAH PALEMBANG PROVINSI SUMATERA SELATAN



Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Memperoleh Gelar Apoteker (APT) Program Studi Profesi Apoteker



Disusun Oleh : SAMSU ASEP (2043700301)



Telah disetujui oleh :



Pembimbing Fakultas



Pembimbing PKPA



Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta



RSUD Siti Fatimah Palembang



(apt.Satya Candra Yanih, M.Farm)



(apt.Yeri Mei Ferina, S. Farm)



Mengetahui : Kepala Subbagian Pendidikan dan Penelitian RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumsel



(Nurul Fitriah, SKM,M.KM)



KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan kegiatan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Rumah Sakit Umum Daerah Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan dan menyelesaikan penyusunan laporan ini. Pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker ini berlangsung pada tanggal 23 Agustus – 15 Oktober 2021. Dalam pelaksanaan kegiatan dan penulisan laporan ini banyak sekali mendapat bantuan baik berupa bimbingan maupun berupa informasi dari berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan rasa hormat kepada: 1.



Ibu apt. Yelfi Anwar, M.Farm selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta



2.



Ibu apt. Nurul Fajriani, S.Farm.,M.Sc selaku Ketua Program Studi Profesi Apoteker Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta



3.



Ibu Dr. apt. Diana Laila Rahmatillah, M.Farm selaku Dosen Pembimbing Kampus yang telah meluangkan waktu dalam memberikan pengarahan dan bimbingannya.



4.



Ibu apt. Dini Permata Sari, M.Farm., selaku Dosen Pembimbing Kampus yang telah meluangkan waktu dalam memberikan pengarahan dan bimbingannya.



5.



Ibu apt. Yelfi Anwar, M.Farm., selaku Dosen Pembimbing Kampus yang telah meluangkan waktu dalam memberikan pengarahan dan bimbingannya.



6.



Bapak apt. Satya Candra Yanih, M.Farm selaku Dosen Pembimbing Kampus yang



telah



meluangkan



waktu



dalam



memberikan



pengarahan



dan



bimbingannya. 7.



Direktur RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumsel, Bapak dr. Syamsuddin Isaach SM, Sp.OG. yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk melakukan Praktik Kerja Profesi Apoteker di RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumsel.



8.



Kepala Bidang Pelayanan Penunjang Medik RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumsel, Ibu dr. Hj. Linda Sofrianty, MARS



9.



Kepala Bagian SDM RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumsel, Ibu Sri Ethicawati, S.E., MAB



10.



Kasubag Pendidikan dan Penelitian RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumsel, Ibu viii



Nurul Fitriah, SKM. M.KM 11.



Kepala Instalasi Diklat dan Penelitian RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumsel, Bapak Ns. Indra Frana Jaya Kk, M.Biomed



12.



Kepala Instalasi Farmasi RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumsel, apt. Sartika, S.Farm.



13.



Clinical Instructor yang telah meluangkan waktu dalam memberikan pengarahan selama di lapangan, apt.Yeri Mei Ferina, S.Farm.



14.



Seluruh Apoteker dan para staff karyawan RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumsel yang telah memberikan informasi, bimbingan serta ilmu-ilmu selama proses PKPA berlangsung.



15.



Seluruh Dosen Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada kami selama melakukan perkuliahan PKPA



16.



Orang tua dan keluarga yang selalu memberikan dukungan doa, moril dan materi serta semua pihak yang telah banyak membantu selama melaksanakan PKPA maupun dalam penyusunan Laporan di RSUD Siti Fatimah Palembang Provinsi Sumsel.



17.



Teman-teman seperjuangan PKPA di RSUD Siti Fatimah Palembang Provinsi Sumsel yang telah memberikan dukungan dan pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu pembuatan Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker ini.



Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu diperlukan kritik dan saran dari pembaca yang membangun demi penyempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini dapat memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya dunia kefarmasian.



Palembang, Oktober 2021



Penulis



ix



DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ i KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii BAB I .......................................................................................................................1 1.1 Latar Belakang ................................................................................................1 1.2 Sejarah RSUD Siti Fatimah ............................................................................1 1.3 Falsafah Visi Misi RSUD Siti Fatimah ...........................................................2 1.3. 1



Visi ...............................................................................................................2



1.3. 2



Misi ..............................................................................................................3



1.4 Struktur Organisasi RSUD Siti Fatimah ....................................................................7 1.5 Klasifikasi Rumah Sakit ............................................................................................9



BAB II ...................................................................................................................11 TINJAUAN KHUSUS RUMAH SAKIT ...........................................................11 2.1 Kebijakan Pelayanan Instalasi Farmasi Rumah Sakit ..............................................11 2.1.1 Pendahuluan.....................................................................................................11 2.2 Struktur Organisasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit ................................................11 2.3 Kebijakan Pelayanan Instalasi Farmasi Rumah Sakit ..............................................14 2.3.1 Perbekalan Farmasi ..........................................................................................14 2.3.2 Organisasi dan Tata Laksana ............................................................................14 2.3.3 Komite Farmasi dan Terapi...............................................................................16 2.3.4 Pemilihan ..........................................................................................................17 2.3.5 Perencanaan dan Pengadaan .............................................................................20 2.3.6 Penyimpanan.....................................................................................................20 2.3.7 Pemberian .........................................................................................................21 2.3.8 Pemantauan .......................................................................................................23 2.3.9 Kesalahan obat ..................................................................................................23 2.4 SOP / Sistem Distribusi............................................................................................24 2.4.1 Sistem Distribusi ..............................................................................................24 2.4.2 Perbekalan Farmasi ..........................................................................................24 2.5 Farmasi Klinik .........................................................................................................26



iii



2.5.1 Pelayanan Farmasi Klinik .................................................................................26 2.5.2 Pengkajian dan Pelayanan Resep Pengkajian ...................................................27 2.5.3 Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat ...........................................................28 2.5.4 Rekonsiliasi Obat Rekonsiliasi .........................................................................29 2.5.5 Pelayanan Informasi Obat (PIO).......................................................................31 2.5.6 Konseling ..........................................................................................................32 2.5.7 Visite .................................................................................................................33 2.5.8 Pemantauan Terapi Obat (PTO)........................................................................34 2.5.9 Monitoring Efek Samping Obat (MESO) .........................................................35 2.5.10 Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) ..................................................................36 2.5.11 Dispensing Sediaan Steril ...............................................................................37 2.5.12 Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)..............................................39 2.6 Materi Khusus..........................................................................................................39 2.6.1 Instalasi CSSD ..................................................................................................39 2.6.2 Instalasi Pengelolahan Aliran Limbah (IPAL) .................................................47 2.7 Tugas Khusus...........................................................................................................52 2.7.1 Coronary Artery Disease ..................................................................................52 2.8 Kasus Terpilih ..........................................................................................................91 1. Identitas Pasien ..................................................................................................91 2. Data Objektif......................................................................................................92 3. Hasil Laboratorium ............................................................................................93 4. Hasil Radiologi ..................................................................................................94 5. Daftar Obat Selama Perawatan ..........................................................................96 6. Ketepatan Dosis .................................................................................................97 7. Farmakologi Obat Yang Diberikan ....................................................................98 8. SOAP (Subjektif, Objektif, assesment, Plan) ................................................. 109 2.9 Hasil Dan Pembahasan Kasus.............................................................................. 112 A.



Analisis DRP ...................................................................................................... 113



B.



Edukasi (Konseling dan pio) Obat Pulang .......................................................... 113



C.



Terapi non-farmakologi ...................................................................................... 114



iv



BAB III ................................................................................................................116 HASIL DAN PEMBAHASAN ..........................................................................116 3.1 Sistem Pelayanan Perkebekalan Farmasi dan Alat Kesehatan (BMHP) ............... 116 3.1.1 Pemilihan ....................................................................................................... 116 3.1.2 Perencanaan Perbekalan Kesehatan ............................................................... 117 3.1.3 Pengadaan Perbekalan Kesehatan .................................................................. 118 3.1.4 Penyimpana barang ........................................................................................ 120 3.1.5 Pendistribusian............................................................................................... 125 3.1.6 Pemusnahan dan Penarikan............................................................................ 127 3.1.7 Pengendalian .................................................................................................. 129 3.1.8 Administrasi................................................................................................... 129 3.2 Sistem Pelayanan Farmasi Klinik Di RSUD Siti Fatimah .................................... 130 3.2.1 Pengkajian dan Pelayanan Resep ................................................................... 130 3.2.2 Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat ........................................................ 133 3.2.3 Rekonsilasi Obat ............................................................................................ 134 3.2.4 Pelayanan Informasi Obat .............................................................................. 135 3.2.5 Konseling ....................................................................................................... 136 3.2.6 Visite .............................................................................................................. 137 3.2.7 Pemantauan Terapi Obat................................................................................ 138 3.2.8 MESO ............................................................................................................ 138 3.2.9 Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) ................................................................. 139 3.3 Materi Khusus ...................................................................................................... 140 3.3.1 CSSD di RSUD Siti Fatimah Palembang ...................................................... 138 3.3.2 IPAL di RSUD Siti Fatimah Palembang ....................................................... 138



BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan .................................................................................................. 145 4.2 Saran..............................................................................................................145 DAFTAR PUSTAKA DAFTAR LAMPIRAN



v



BAB I PENDAHULUAN



1.1



Latar Belakang



1.1.1. Definisi, Tugas dan Fungsi Rumah Sakit Rumah sakit berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2021 adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat Rumah sakit memiliki tugas memberikan pelayanan kesehatan secara perorangan. paripuma (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif). Untuk menjalankan tugas tersebut, rumah sakit memiliki fungsi sebagai berikut 1. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit. 2.



Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan paripuma tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.



3. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam mempersembahkan pelayanan kesehatan. 4. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan dan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan. 1.1.2. Jenis-jenis dan Klasifikasi Rumah Sakit 1. Berdasarkan bentuk atau jenis pelayanan a. Rumah Sakit Umum Rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit. Rumah sakit umum dibagi menjadi 4 (empat) tipe kelas, yaitu: 1) Rumah Sakit Umum kelas A Merupakan rumah sakit umum yang memiliki fasilitas dan



1



kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 5 (lima) spesialis penunjang medik, 12 (dua belas) spesialis lain dan 13 (tiga belas) sub spesialis. Pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit umum kelas A paling sedikit meliputi pelayanan medik. pelayanan kefannasian, pelayanan 2000 dan kebidanan, pelayanan penunjang klinik, pelayanan pemunjang nonklinik, dan pelayanan rawat inap. Rumah sakit umum kelas A memiliki paling sedikit 250 (dua ratus lima puluh) tempat tidur. 2) Rumah Sakit Umum kelas B Merupakan rumah sakit umum yang memiliki fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit (empat) spesialis dasar, (empat) spesialis penunjang medik, 8 (delapan) spesialis lain dan 2 (dua) subspesialis dasar. Pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit umum kelas B paling sedikit meliputi pelayanan medik, pelayanan Di antaranya sejumlah fasilitas kesehatan umum yang memiliki fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 4 (empat) spesialis penunjang medik, 8 (delapan) spesialis lain dan 2 (dua) subspesialis dasar. Pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit umum kelas B paling sedikit meliputi: pelayanan medik, pelayanan kefarmasian, pelayanan peningkatan dan kebidanan, pelayanan penunjang klinik, pelayanan penunjang non klinik dan pelayanan rawat inap. Rumah sakit umum kelas B memiliki paling sedikit 200 (dua ratus) tempat tidur 3) Rumah Sakit Umum kelas C Merupakan rumah sakit umum yang memiliki fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar dan 4 spesialis penunjang medik. Pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit umum kelas C paling sedikit meliputi pelayanan medik, pelayanan kefarmasian, pelayanan



2



termasuk



dan



kebidanan,



pelayanan



penunjang



klinik,



pelayanan penunjang nonklinik dan pelayanan rawat inap. Rumah sakit umum kelas C mempinyai paling sedikit 100 (seratus) tempat tidur 4) Rumah Sakit Umum kelas D Merupakan rumah sakit umum yang memiliki fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) spesialis dasar. Pelayanan yang diberikan oleh numah sakit umum kelas D paling sedikit meliputi pelayanan medik, pelayanan kefamasian, pelayanan termasuk dan kebidanan, pelayanan penunjang klinik,



pelayanan



penunjang nonklinik;



dan



pelayanan rawat inap. Rumah sakit umum kelas D memiliki paling sedikit 50 dima puluh) tempat tidur. b. Rumah Sakit Khusus Rumah sakit khusus adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan utama pada bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau khusus lainnya. Rumah sakit khusus dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) tipe kelas: 1. Rumah Sakit Khusus kelas A Merupakan rumah sakit khusus yang memiliki fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai dengan khusus yang lengkap Rumah sakit khusus kelas A memiliki paling sedikit 100 (dua ratus lima puluh) tempat tidur. 2. Rumah Sakit Khusus kelas B Rumah sakit khusus yang memiliki fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai dengan kekhususan vang terbatas. Rumah sakit umum kelas B memiliki paling sedikit 75 (tujuh puluh lima) tempat tidur



3



3. Rumah Sakit Khusus kelas C Merupakan rumah sakit khusus yang memiliki fasilitas dan kemampuan paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai dengan khusus yang nminimal Rumah sakit umum kelas C memiliki paling sedikit 50 (lima puluh) tempat tidur. 2. Berdasarkan Kepemilikan atau Pengelolaannya a. Rumah Sakit Publik Rumah sakit publik dapat dikelola oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan badan hukum yang bersifat nirlaba. Rumah sakit publik yang dikelola pemerintah dan daerah dikelola berdasarkan pengelolaan Badan Layanan Umum (BLU) atau Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta tidak dapat dialihkan menjadi rumah sakit privat. b. Rumah Sakit Privat c. Rumah sakit privat dikelola oleh badan hukum dengan tujuan laba berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero 3.



Berdasarkan Afiliasi Pendidikan a. Rumah Sakit Bidang Pendidikan Merupakan rumah sakit yang menyelenggarakan pendidikan dan penelitian terpadu dalam pendidikan kedokteran profesi, pendidikan kedokteran berkelanjutan, dan pendidikan tenaga kesehatan lainnya. b. Rumah Sakit Non Pendidikan Tenaga kesehatan yang tidak menyelenggarakan pendidikan dan penelitian terpadu dalam bidang pendidikan kedokteran, dan pendidikan kesehatan lainnya.



1.2. Sejarah RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan Rumah Sakit Umum Daerah Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan dimulai perencanaan pembangunan pada tahun 2011 mulai dilaksanakan pembangunan



4



fisik tahap pertama dimulai pada tahun 2013 s.d tahun 2019 pengerjaan fisik tersebut sudah selesai sampai tahap 6 dengan pekerjaan sampai dengan lantai 5 dari 11 lantai yang direncanakan, berdiri diatas lahan seluas 14 hektar dan mulai dibangun tahun 2013. Rumah Sakit ini juga didirikan sebagai Rumah Sakit Tipe B Pendirian RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan tidak terlepas dari adanya kebutuhan yang mendasar terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang bermutu



yang



terus



meningkat



seiring



dengan



semakin



membaiknya



perekonomian dan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, Sumatera Selatan pada tahun 2011 kekurangan 1200 lebih tempat tidur untuk pasien-pasien yang membutuhkan perawatan. Oleh karena itu, untuk memenuhi cita-cita dari Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dimana Provinsi Sumatera Selatan berkeinginan untuk mempunyai suatu Rumah Sakit yang modern, dengan alat kesehatan yang lengkap dan canggih serta sumber daya manusia yang teruji yang berdaya saing dari rumah sakit yang ada dan rumah sakit-rumah sakit di negara tetangga lain. Kemudian Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan mendirikan RSUD Provinsi Sumatera Selatan yang memiliki visi “Menjadi Rumah Sakit Umum Rujukan Provinsi, dan Rumah Sakit Pendidikan yang Mampu Mewujudkan Pelayanan yang Bermutu, Profesional, Efisien dengan Standar Pelayanan Kelas Dunia” sebagai wujud dari inovasi dan keinginan untuk mendukung dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat khususnya dibidang kesehatan. Tanggal 22 Agustus 2017 Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Surat Nomor 061/6212/OTDA sebagai persetujuan pembentukan unit pelaksanaan teknis dinas Rumah Sakit Umum Daerah atas permohonan pembentukan unit pelaksana teknis dinas Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Sumatera Selatan dari Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan. Pada Tanggal 8 September Tahun 2018, Gubernur Sumatera Selatan mengeluarkan Peraturan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 38 Tahun 2017 tentang Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Dinas Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Sumaterah Selatan. Tepat pada tanggal 23 Juni Tahun 2018, Menteri Kesehatan Republik Indonesia Prof. Dr. Dr. Nila Djuwita F. Moeloek, Sp.M (K)



5



bersama Gubernur Sumatera Selatan dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan sebagai Rumah Sakit Umum Daerah terbesar di Indonesia. Seiring dengan berjalannya waktu pelayanan, Rumah sakit Umum Daerah Provinsi Sumatera Selatan belum memiliki nama yang akan menjadi ciri khas Rumah Sakit ini, maka atas dasar masukan dan saran para tokoh masyarakat, legislatif, veteran, dan seluruh pemerintah daerah, dikeluarkan Surat Keputusan Gubernur Nomor 491/KPTS/DINKES/2018 Tanggal 4 September Tahun 2018 yang menetapkan bahwa Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Sumatera Selatan berubah nama menjadi Rumah Sakit Umum Daerah Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan yang diresmikan oleh Gubernur Sumatera Selatan tepat pada tanggal 17 September 2018.



1.3.Visi dan Misi RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan 1.3.1. Visi RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan mengembangkan visi sebagai berikut: “Menjadi Rumah Sakit Umum Rujukan Provinsi dan Rumah Sakit Pendidikan



yang



mampu



mewujudkan



pelayanan



yang



bermutu,



profesional, efisien dengan standar pelayanan kelas dunia”. Ketetapan visi adalah sangat penting karena merupakan acuan dalam mencapai tujuan Rumah Sakit. Visi merupakan sesuatu yang diinginkan rumah sakit di masa yang akan datang. Visi yang efektif yang dapat memunculkan inspirasi dimana hal itu dihubungkan dengan keinginan rumah sakit untuk mencapai sesuatu tujuan yang diinginkan.



1.3.2. Misi Dalam rangka mewujudkan visi tersebut RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan menetapkan misi yaitu: a.



Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu, prima, informatif, dan efektif dengan tetap memperhatikan aspek sosial kemasyarakatan.



6



b.



Menyelenggarakan pelayanan yang mengutamakan keramahan, kecepatan, keselamatan, keamanan, kemudahan, dan kenyamanan.



c.



Memberikan pelayan rujukan yang berfungsi sebagai pusat ruujukan tertinggi dengan menggunakan teknologi modern dan pelayanan kesehatan secara komprehensive kepada masyarakat.



d.



Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang berkesinambungan sesuai dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.



e.



Menciptakan SDM yang mempunyai daya saing tinggi dan loyal terhadap organisasi.



f.



Mengembangkan pendidikan, pelatihan, dan penelitian yang terintegrasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan.



g.



Menjalin kerja sama dengan institusi terkait untuk meningkatkan kinerja.



h.



Mewujudkan sistem manajemen Rumah Sakit yang mampu meningkatkan kesejahteraan seluruh karyawan dan menjamin kepastian hukum secara transparan, akuntabel dan auditabel.



i. Membantu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat sekitar. 1.4.Struktur Organisasi



7



Struktur Organisasi RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan ditetapkan dengan peraturan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 14 Tahun 2020, tentang Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Dinas Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Sumatera Selatan, adapun susunan organisasi RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan terdiri atas: a. Direktur RSUD b. Wakil Direktur Medik dan keperawatan membawahi: 1. Bidang pelayanan dan pengembangan medik yang membawahi: a) Seksi pelayanan dan pengembangan medik, dan b) Seksi monitoring dan pengembangan asuhan dan evaluasi pelayanan medik 2. Bidang pelayanan keperawatan yang membawahi: a) Seksi



pelayanan



dan



pengembangan



asuhan



dan



profesi



keperawatan, dan b) Seksi onitoring dan evaluasi penunjang medik 3. Bidang pelayanan penunjang medik yang membawahi : a) Seksi pelayanan dan pengembangan penunjang medik c. Wakil Direktur Umum, Keuangan dan Pengelolaan Barang Milik Daerah yang membawahi: 1. Bagian Umum, membawahi : a) Subbagian Tata Usaha dan Hukum b) Subbagian Rumah Tangga, dan c) Subbagian Rekam Medik dan SIMRS 2. Bagian Keuangan yang membawahi : a) Subbagian perencanaan dan anggaran b) Subbagian perbendaharaan dan mobilisasi dana, dan c) Subbagian akuntansi 3. Bagian Pengelolaan Barang Milik Daerah yang membawahi : a) Subbagian perencanaan barang milik daerah b) Subbagian penatausahaan barang milik daerah c) Subbagian pengendalian barang milik daerah



8



d. Wakil Direktur Sumber Daya Manusia, Hubungan Masyarakat dan Protokol, Pemasaran dan Menitraan yang membawahi : 1. Bagian Sumber Daya Manusia yang membawahi : a) Subbagian pengelolaan sumber daya manusia b) Subbagian peningkatan kompetensi sumber daya manusia c) Subbagian pendidikan dan penelitian 2. Bagian Hubungan Masyarakat dan Protokol, Pemasaran dan Kemitraan yang membawahi : a) Subbagian hubungan masyarakat dan protokol b) Subbagian pemasaran, dan c) Subbagian kemitraan e. Dewan Pengawas f. Satuan Pemeriksa Internal g. Komite h.



Jabatan Fungsional



i. Instalasi



1.5.Klasifikasi RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan Rumah Sakit Umum Daerah Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan merupakan rumah sakit dengan klasifikasi tipe B. RSUD Siti Fatimah memiliki jumlah tempat tidur kurang lebih 250 (dua ratus lima puluh) bed. Gedung RSUD Siti Fatimah terdiri dari 11 lantai, yaitu: 1. Basement tediri dari IPSRS, Instalasi Farmasi, Gudang Farmasi, Laundry, CSSD, Instalasi Gizi, dan Pemulasaran Jenazah. 2. Lantai 1 terdiri dari IGD (IGD isolasi dan IGC ICU isolasi saat ini difungsikan untuk perawatan pasien covid-19), Ponek, Depo IGD/ranap, Pendaftaran, Instalasi IT, Radiologi, Rekam Medis, Poli Rawat Jalan, Depo Farmasi Rawat Jalan, Case Mix, Kasir. 3. Lantai 2 yang terdiri dari Poli Rawat Jalan, Fisioterapi, Laboratorium, Cathlab dan Manajemen Pelayanan. 4. Lantai 3 yang terdiri dari Instalasi Perinatology (PICU, NICU), ICU, Instalasi



9



Bedah Sentral (IBS), OK, Kamar Bersalin, Depo OK/ICU dan MCU. 5. Lantai 4 untuk ruang perawatan kelas 3. 6. Lantai 5 untuk ruang perawatan kelas 3. 7. Lantai 6 saat ini difungsikan untuk perawatan pasien covid-19. 8. Lantai 7 untuk ruang perawatan kelas 1 dan 2. 9. Lantai 8 masih dalam tahap pembangunan. 10. Lantai 9 untuk ruang perawatan VIP. 11. Lantai 10 untuk perkantoran dan manajemen rumah sakit.



10



BAB II INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT 2.1. Kebijakan Pelayanan Instalasi Farmasi Rumah Sakit 2.1.1. Pendahuluan Perbekalan Farmasi yang dikelola RSUD Si Fatimah Provinsi Sumatera Selatan meliputi obat obatan, Bahan Medis Habis Pakai (BMHP), reagensia dan kimia. Pengelolaan Perbekalan Farmasi di Rumah Sakit merupakan salah satu bagian manajemen rumah sakit yang penting karena peran perbekalan farmasi dalam pelayanan keschan cukup besar baik dari sisi medis maupun ekonomi. Mutu pelayanan farmasi sangat mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan rumah sakit. Oleh karena itu perbekalan farmasi harus dikelola dengan baik agar selalu tersedia setiap saat diperlukan dengan mutu yang terjamin. Selain itu penggunaan perbekalan farmasi yang tidak rasional yang merupakan masalah besar di semua tingkat pelayanan kesehatan. Di rumah sakit masalah ini mendapat perhatian serius di mana tidak hanya morbiditas dan mortalitas pasien saja tetapi juga biaya dan mutu pelayanan kesehatan. Pengelolaan dan penggunaan perbekalan farmasi bersifat multidispliner yang meliputi kegiatan, yaitu pemilihan, perencanaan, pengadaan, penyimpanan. peresepan, penyiapan/ peracikan, pemberian dan pemantauan. Rangkaian dari kegiatan tersebut harus dijalankan secara efektif dan efisien dengan berorientasi pada keslamatan pasien. Karena kompleksnya kegiatan-kegiatan tersebut maka diperlukan kebijakan perbekalan farmasi di rumah sakit yang diterapkan pada schingga matu rumah sakit dapat memberikan keselamatan dan kepuasan bagi pasien. 2.2 Struktur Organisasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit Menurut Peraturan Menteri Keschatan Nomor 47 tahun 2021. Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit harus didukung oleh ketersediaan sumber daya manusia, pengorganisasian yang menjamin keselamatan pasien, dan prosedur standar operasional.



11



12



2.2.1 Organisasi dan Tata Laksana A. Organisasi 1. Direktur RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera Direktur RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera adalah penanggung jawab atas kebijakan yang diberlakukan di RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan, termasuk kebijakan tentang pengelolaan dan penggunaan perbekalan farmasi. 2. Wakil Direktur Pelayanan Medik dan Keperawatan Wakil direktur pelayanan medik dan keperawatan adalah pengendali program pengelolaan dan penggunaan perbekalan farmasi di RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan. 3. Komite Farmasi dan Terapi Komite farmasi dan terapi adalah komite yang membantu direktur dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan tentang pengelolaan dan penggunaan perbekalan farmasi di RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan. 4. Instalasi Farmasi Unit kerja fungsional dibawah Wakil Direktur Pelayanan Medik dan Keperawatan yang mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan dan penggunaan perbekalan farmasi betuhan semua pelayanan kesehatan di RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan meliputi perencanaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian dan produksi sediaan farmasi serta melaksanakan pelayanan farmasi klinik. Instalasi Farmasi dipimpin oleh Kepalal Instalasi Farmasi yang memiliki izin yang mengarahkan dan mengawasi pelayanan farmasi di RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan. 5. Depo Farmasi adalah bagian dari instalasi Farmasi yang memberikan pelayanan farmasi di unit pelayanan. 6. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTP) Farmasi adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh Direktur yang ditunjuk untuk menetapkan rencana pelaksanaan pengadaan perbekalan farmasi. 7. Pejabat pengadaan adalah pejabat yang berada dibawah direktur yang bertugas untuk mrlakukan pembelian melalui prosedur sesuai dengan ketentuan berlaku. 13



8. Panitia Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) Farmasi adalah panitia yang dibentuk oleh Direktur untuk menerima barang yang dibeli.



2.3 Kebijakan Pelayanan Instalasi Farmasi Rumah Sakit di RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan 2.3.1 Perbekalan Farmasi Perbekalan farmasi yang dikelola RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan meliputi obat-obatan, Bahan Medis Habis Pakai (BMHP), reagensia dan bahan kimia. Pengelolaan perbekalan farmasi di rumah sakit merupakan salah satu bagian managemen rumah sakit yang penting karena peran perbekalan farmasi dalam pelayanan kesehatan cukup besar baik dari sisi medik maupun ekonomi. Mutu pelayanan farmasi sangat mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan rumah sakit. Oleh karena itu perbekalan farmasi harus dikelola dengan baik agar selalu tersedia setiap saat diperlukan dengan mutu yang terjamin. Di rumah sakit masalah ini mendapat perhatian saja tetapi juga terhadap biaya dan mutu pelayanan kesehatan. Pengelolaan dan penggunaan perbekalan farmasi bersifat multidispliner yang meliputi serangkaian kegiatan, yaitu pemilihan, perencanaan pengadaan, penyimpanan, peresepan, penyiapan/ peracikan, pemberian dan pemantaun.



2.3.2 Organisasi dan Tata Laksana A. Organisasi 1. Direktur RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera Direktur RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera adalah penanggung jawab atas kebijakan yang diberlakukan di RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan, termasuk kebijakan tentang pengelolaan dan penggunaan perbekalan farmasi.



14



2. Wakil Direktur Pelayanan Medik dan Keperawatan Wakil direktur pelayanan medik dan keperawatan adalah pengendali program pengelolaan dan penggunaan perbekalan farmasi di RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan. 3. Komite Farmasi dan Terapi Komite farmasi dan terapi adalah komite yang membantu direktur dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan tentang pengelolaan dan penggunaan perbekalan farmasi di RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan. 4. Instalasi Farmasi Unit kerja fungsional dibawah Wakil Direktur Pelayanan Medik dan Keperawatan yang mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan dan penggunaan perbekalan farmasi betuhan semua pelayanan kesehatan di RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan meliputi perencanaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian dan produksi sediaan farmasi serta melaksanakan pelayanan farmasi klinik. Instalasi Farmasi dipimpin oleh Kepalal Instalasi Farmasi yang memiliki izin yang mengarahkan dan mengawasi pelayanan farmasi di RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan. 5. Depo Farmasi adalah bagian dari instalasi Farmasi yang memberikan pelayanan farmasi di unit pelayanan. 6. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTP) Farmasi adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh Direktur yang ditunjuk untuk menetapkan rencana pelaksanaan pengadaan perbekalan farmasi. 7. Pejabat pengadaan adalah pejabat yang berada dibawah direktur yang bertugas untuk mrlakukan pembelian melalui prosedur sesuai dengan ketentuan berlaku.



15



8. Panitia Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) Farmasi adalah panitia yang dibentuk oleh Direktur untuk menerima barang yang dibeli.



2.3.3 Komite Farmasi dan Terapi 1. Komite farmasi dan terapi dibawah direktur langsung dan diskusikan oleh direktur RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan. 2. Anggota komite farmasi dan terapi tidak boleh mempunyai ikatan kerja dengan perusahaan farmasi manapun. 3. Ketua dan sekretaris komite farmasi dan terapi ditetapkan sebagai pengurus harian. 4. Komite farmasi dan terapi menyusun program kerja tentang pemilihan dan penyusunan formularium RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan. 5. Tugas komite farmasi dan terapi mencakup: a. Menyusun kebijakan penggunaan perbekalan farmasi di RSUD Siti Fatimah provinsi Sumatera Selatan. b. Menyusun formularium obat memperbaharuinya secara berkala. Seleksi obat berdasarkan pada kemanjuran keamanan kualitas dan harga. c. Menetapkan dan melaksanakan program kegiatan yang menjamin berlangsungnya pelaksanaan terapi yang efektif manjur dan hemat biaya. d. Merencanakan dan melaksanakan program pelatihan dan penyebaran informasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan seleksi pengadaan dan penggunaan obat kepada staf medis RSUD Siti Fatimah provinsi Sumatera Selatan. e. Berperan aktif dalam menjamin mutu pemilihan pengadaan dan penggunaan perbekalan farmasi. f. Menyelenggarakan pemantauan dan evaluasi efek samping obat yang terjadi di RSUD Siti Fatimah provinsi Sumatera Selatan. Memandu tinjauan obat dan mengumpan balikan hasil tinjauan ke seluruh staf medis. 16



6. Dalam mengemban tugas tersebut di atas komite farmasi dan terapi mengadakan rapat rutin sekurang-kurangnya 2 bulan sekali guna membicarakan implementasi dari kebijakan kebijakan dan peraturan tentang seleksi pengadaan dan penggunaan perbekalan Farmasi. 7. Keputusan rapat yang menyangkut kebijakan diambil berdasarkan musyawarah bila musyawarah tidak berhasil maka dapat dilakukan pemungutan suara. 8. Komite farmasi dan terapi dalam mengambil keputusan harus bebas dan kepentingan pribadi dari kepentingan pribadi dan kelompok dan sematamata adalah untuk kepentingan pasien. 2.3.4 Pemilihan 1. Pemilihan terhadap perbekalan farmasi yang akan digunakan di RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan harus dilakukan secara cermat dengan mempertimbangkan asas cost-effectiveness. 2. Komite farmasi dan terapi harus memilih produk obat yang menunjukkan keunggulan dibanding produk lain yang sejenis dari aspek khasiat, keamanan, ketersediaannya di pasaran, harga dan biaya pengobatan yang paling murah. 3. Penyedia jenis perbekalan farmai harus dibatasi untuk mengefesiensi pengelolaannya dan menjaga kualitas pelayanan. 4. Daftar obat yang telah disetujui dan ditetapkan oleh Direktur RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan digunakan dalam pelayanan kesehatan di RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan tertuang dalam buku Formularium RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan. 5. Proses penyusunan dan revisi formularium harus dirancang agar dihasilkan formularium yang mutakhir dan dapat memenuhi kebutuhan pengobatan yang rasional. Revisi Formularium dilakukan setiap tahun. 17



6. Kebijakan yang berhubungan dengan formularium harus dimasukkan sebagai salah satu peraturan yang harus dipatuhi oleh semua staf medik. 7. Kelompok Staf Medis (KSM) mengajukan usulan obat yang dimasukkan dalam formularium ke Komite Farmasi dan Terapi berdasarkan fakta bahwa obat tersebut tercantum dalam clinical pathway atau Panduan Praktik Klinik (PPK) yang diterbitkan oleh masing-masing KSM. Oleh karena itu setiap perubahan obat atau rejimen terapi di dalam clinical pathway atau Panduan Praktik Klinik (PPK) harus diberitahukan secara tertulis dengan mencantumkan tanggal efektif pelaksanaan penggantian kepada komite farmasi dan terapi. 8. Setiap obat yang diusulkan untuk dimasukkan dalam Formularium RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan harus memenuhi kreteria sebagai berikut: a. Nama obat yang diusulkan setiap kelas terapi dan sub terapi harus menggunakan nama generik obatnya kalau tidak ada baru menggunakan nama dagang obat. b. Memiliki rasio manfaat resiko yang paling menguntungkan pasien. c. Mutu terjamin, termasuk stabilitas dan bioavailabilitas. d. Praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan. e. Praktis dalam penggunaan dan penyerahan. f. Menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh pasien. g. Memiliki rasio manfaat-biaya yang tertinggi berdasarkan biaya langsung dan tidak langsung. h. Obat lain yang terbukti paling efektif secara ilmiah dan aman yang paling dibutuhkan untuk pelayanan dengan harga yang terjangkau. 9. Buku Formularium RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan yang ditetapakn sesuai dengan keputusan Komite Farmasi dan terapi dan disahkan oleh Direktur



18



RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan sama dengan Formularium Nasional yang berlaku selama tahun tersebut. 10. Suatu obat harus dihapuskan dalam formularium jika obat tersebut sudah tidak beredar lagi di pasaran, tidak ada lagi yang meresepkan, sedikit penggunaan, ditarik dari peredaran, sudah ada obat lain yang lebih costeffectiveness dan sering menimbulkan KTD. 11. Pada kasus diperlukan obat yang tidak tercantum dalam Formularium Rumah Sakit maka dokter dapat mengajukan permintaan khusus dengan mengisi Formularium Permintaan obat Non- Formularium yang ditujukan kepada Komite Farmasi dan terapi, selanjutnya Komite Farmasi dan Terapi menganalisa apakah obat tersebut dapat disetujui atau tidak. Jika disetujui maka instalasi Farmasi akan melayani untuk pembelian obat persetujuan pejabat pengadaan. 12. Pada keadaan obat yang diperlukan tidak tersedia maka petugas farmasi akan menyampaikan pemberitahaun kepada dokter penulis resep dan menyarankan pernggantian obat jika ada. Jika tidak ada maka diberikan ke supplier/ apotek rekanan yang menjamin keaslian obat. 13. Bila terjadi kekosongan obat dari pabrik yang tidak ada di penggantinya maka kepala Instalasi Farmasi menyampaikan pemberitahuan kepada staff klinis melalui surat edaran dengan melampirkan surat keterangan kosong dari pabrik. 14. Sosialisasi tentang Formularium Rumah Sakit dilakukan oleh Komite Farmasi dan Terapi melalui presentasi dihadapan staf medis. 15. Buku Formularium yang sedang berlaku wajib tersedia di setiap lokasi pelayanan, ruang rawat, poli klnik dan setiap depo farmasi.



19



16. Pengawasan kepatuhan pemakain obat sesuai formularium dilakukan secara berjenjang dimulai dari unit divisi, secara berkala dan berdasarkan data penggunaan obat dari Instalasi Farmasi. 2.3.5 Perencanaan dan Pengadaan 1. Perencanaan mengacu kepada Formularium Rumah Sakit dan daftar reagensia yang telah di sepakati oleh pengguna dan di tetapkan oleh Direktur RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan. 2. Pengadaan perbekalan formasi dilakukan berdasarkan perencanaan yang dianjurkan oleh instalisasi farmasi. 3. Pengadaan obat yang tidak tercantum dalam formularium hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan rekomendasi dari komite farmasi dan Provinsi Sumatera Selatan. 4. Pengadaan perbekalan farmasi diluar jam kerja instalasi farmasi dilakukan mengikuti SPO permintaan perbekalan farmasi saat gudang tutup atau diluar jam kerja. 5. Pengadaan perbekalan farmasi dilakukan oleh bagian pengadaan RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan melalui distributor resmi langsung dan melalui Dinas Kesehatan Provinsi.



2.3.6 Penyimpanan Area 1. Penyimpanan perbekalan farmasi tidak boleh dimasuki oleh petugas selain petugas farmasi. 2. Penyimpanan obat, alat kesehatan dan reagensia harus dilakukan sesuai persyaratan dan standar kefarmasian untuk menjamin stabilitas dan keamanan serta memudahkan dalam pencariannya dan mempercepat pelayanan.



20



3. Khusus untuk Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) seperti mudah terbakar, korosif radioaktif, oksidator atau reduktor racun, iritasi dan bahan berbahaya lainnya harus tersimpan di lemari terpindah, dan disertai tanda bahan berbahaya. 4. Obat narkotika disimpan dalam lemari terpisah dengan pintu terkunci ganda dan tercatat secara akurat. 5. Obat jadi dan bahan baru diberi label yang mencantumkan kandungan, tanggal kadaluarsa dan peringatan. 6. Obat Hight Alert (obat yang memerlukan kewaspadaan tinggi) harusdisimpan ditempat terpisah dan diberi label khusus mengikuti SPO Pengelolaan Obat High Alert. 7. Elektrolit pekat adalah NaCl 3% b/v dan KCl 7,46% tidak boleh berada diruangan rawat kecuali didalam troli emergensi dan di depo farmasi. Penyimpanan di tempat terpisah dengan akses terbatas dan harus diberi label yang jelas. 8. Obat dengan tampilan mirip atau bunyi mirip (Look Alike Sound Alike/ LASA) diberi label “LASA” dan disimpan tidak berdekatan. 9. Penyimpanan perbekalan farmasi dan tempat penyimpanan harus diperiksa secara berkala.



2.3.7 Pemberian 1. Yang berhak memberikan obat kepada pasian adalah dokter/ perawat atau apoteker/ TTK yang sudah memeliki kompetensi dan mempunyai surat praktek. 2. Pemberian obat khusus dengan cara tertentu seperti obat dalam sendi, obat intratekal dan obat intravena diberikan oleh petugas yang memiliki kompetensi dan mempunyai surat izin praktek sesuai dengan SPK dan RKK.



21



3. Pemberian perbekalan farmasi kepada pasien harus sesuai dengan SPO pemberian perbekalan farmasi. 4. Pada pemberian obat secara infus, label nama, obat ditempelkan pada botol infus atau syiringe pump. 5. Obat yang akan diberikan kepada pasian harus diverifikasi oleh perawat/ dokter atau apoteker/ TTK mengenai kesesuain dengan resep/ intruksi medis farmakologis meliputi identitas pasien, nama obat, waktu dan frekuensi pemberian dosis atau rute pemberian. 6. Mutu yang diberikan kepada pasien harus dipastikan baik dengan diperiksa secara viksual. 7. Pasien dipastikan tidak memiliki riwayat alergi dan kontra indikasi dengan obat yang diberikan. 8. Obat yang tergolong obat High Alert harus diperiksa kembali oleh perawat kedua sebelum diberikan kepada pasien. Pemberian obat harus tercatat di form intruksi medis farmakologis sesuai SPO pemberian perbekalan farmasi. 9. Penggunaan obat secara mandiri oleh pasien harus mendapatkan edukasi oleh apoteker/ dokter/ perawat terlebih dahulu dipantau oleh perawat. 10. Pemberian edukasi farmasi kepada pasien rawat inap dilakukan berdasarkan pengkajian awal pasien rawat inap direkam medis atau berdasarkan hasil telaah apoteker/ TTK bahwa pasien membutuhkan edukasi dan didokumentasikan dalam form edukasi pasien dan keluarga terintegrasi. 11. Jika terjadi kesalahan dalam penggunaan perbekalan farmasi, termasuk kehilangan, maka konsekuensinya finansial menjadi tanggung jawab pihak yang bersalah.



22



2.3.8 Pemantauan 1. Efek obat pasien yang dipantau, termasuk efek obat terapi yang tidak diharapkan. 2. Obat yang diprioritaskan dipantau efek sampingnya adalah obat yang baru masuk formularium RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan dan obat yang terbukti dalam literatur menimbulkan efek samping yang serius. 3. Pemantauan efek samping perlu didokumentasikan dalam formulir monitoring efek samping obat dan di catat dalam rekam medik. 4. Efek samping yang harus dilaporkan kekomite farmasi dan terapi adalah yang berat, fatal, meninggalkan gejala sisa sesuai SPO monitoring dan pelaporan efek samping obat yang dilaporkan setiap bulan. 5. Pemantauan dan pelaporan efek samping obat dikoordinasikan oleh komite Farmasi dan Terapi. 6. Petugas pelaksanaan pemantauan dan pelaporan efek samping obat adalah dokter, perawat, apoteker diruang rawat/ poliklinik. 7. Komite farmasi dan terapi melaporkan hasil evaluasi hasil ESO dan menyebarluaskannya keseluruh KSM/ instalasi/ unit pelayanan di RSUD Siti Fatimah Sumatera Selatan sebagai umpan balik/edukasi.



2.3.9 Kesalahan Obat 1. Kesalahan obat adalah kejadian yang dapat dihindari akibat dari kesalahan penulisan resep, penyiapan/ peracikan atau pemberian obat baik



yang



menimbulkan efek merugikan ataupun tidak. 2. Setiap kesalahan obat terjadi, wajib dilaporkan oleh petugas yang menemukan/ terlibat langsung dengan kejadian tersebut atau atasan langsung. 3. Pelaporan dilakukan secara tertulis menggunakan Formulir Laporan insiden ke TKPRS. 23



4. Kesalahan obat harus dilaporkan maksimal 2x24 jam setelah ditemukan insiden. 5. Tipe kesalahan yang dilaporkan: a. Kondisi Potensial Cedera (KPC): kondisi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera tetapi belum terjadi insiden. b. Kejadian



Tidak



Diharapkan



(KTD):



suatu



kejadian



insiden



yang



mengakibatkan cedera pada pasien. c. Kejadian Nyaris Cedera (KNC): terjadinya insiden yang belum terpapar ke pasien. d. Kejadian Tidak Cedera (KTC): insiden yang sudah terpapar ke pasien tetapi tidak timbul cidera.



2.4 SOP/Sistem Distribusi di RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan 2.4.1 Sistem Distribusi Distribusi pembekalan farmasi dari Instalasi Farmasi kebagian/ instalasi di RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan adalah kegiatan distribusi perbekalan farmasi yang dilakukan oleh Instalasi Farmasi sesuai permintaan dari masing-masing bagian/ instalasi dan unit ruangan di rumah sakit sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.



2.4.2 Pembekalan Farmasi Pembekalan farmasi adalah sediaan farmasi yang terdiri dari obat, bahan obat, Bahan Medis Habis Pakai (BMHP), alat kesehatan, dan reagensia. Prosedur yang dilakukan antara lain: a. Tiap-tiap bagian mengajukan permintaan perbekalan farmasi melalui SIMRS sesuai dengan standar kebutuhan tiap-tiap bagian terkait, bukti pengajuan permintaan perbekalan farmasi berupa transfer order diprint rangkap 2 (dua).



24



b. TTK menyiapkan perbekalan farmasi satu persatu sesuai dengan lembar bukti pengulangan (transfer order). c. Apoteker memeriksa kesesuaian fisik perbekalan farmasi yang telah disiapkan dengan lembar bukti pengeluaran yang meliputi: 1. Nama perbekalan farmasi. 2. Jenis perbekalan farmasi. 3. Bentuk sediaan. 4. Ukuran dan kode alat kesehatan. 5. Jumlah perbekalan farmasi. 6. Waktu kadaluarsa. 7. Kondisi fisik perbekalan farmasi d. Lengkapi MSDS (Material Safety Data Sheet) khusus untuk bahanm berbahaya dan beracun (B3). e. Apoteker memberi tanda chek list setiap item yang telah sesuai pada lembar bukti pengeluaran pembekalan farmasi. f. Tempatkan pada wadah (plastic/ dus/ box) perbekalan farmasi yang telah siap diserahkan beserta lembar bukti pengeluaran perbekalan farmasi sesuai dengan bagian/instalasi rumah sakit yang meminta. g. Apoteker/ TTK melakukan serah terima dengan bagian instalasi farmasi di rumah sakit dengan melakukan pencocokan perbekalan farmasi yang diserah terimakan antara fisik perbekalan farmasi dengan lembur bukti pengeluaran yang meliputi: 1. Nama perbekalan farmasi. 2. Jenis perbekalan farmasi. 3. Bentuk sediaan dan kekuatan sediaan obat. 4. Ukuran dan kode alat kesehatan.



25



5. Waktu kadaluarsa 6. Kondisi fisik perbekalan farmasi Lengkapi MSDS (Material Safety Data Sheet) khusus untuk Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Beri tanda checklist setiap item yang telah sesuai pada lembar bukti pengeluaran perbekalan farmasi. 1. Catat tanggal dan jam dilakukan serah terima, beri paraf dan nama jelas pada bukti pengeluaran. 2. Apoteker/ TTK menyerahkan copy lembar bukti pengeluaran perbekalan farmasi kepada masing-masing bagian instalasi terkait. 3. Dokumentasikan lembar asli bukti pengeluaran perbekalan farmasi di instalasi farmasi.



2.5 Farmasi Klinik 2.5.1 Pelayanan Farmasi Klinik Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin. Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi: 1. Pengkajian dan pelayanan resep; 2. Penelusuran riwayat penggunaan obat; 3. Rekonsiliasi obat; 4. Pelayanan Informasi Obat (PIO); 5. Konseling; 6. Visite; 7. Pemantauan Terapi Obat (PTO); 8. Monitoring Efek Samping Obat(MESO); 26



9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO); 10. Dispensing sediaan steril 11. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD).



2.5.2 Pengkajian dan Pelayanan Resep Pengkajian resep dilakukan untuk menganalisa adanya masalah terkait Obat, bila ditemukan masalah terkait obat harus dikonsultasikan kepada dokter penulis resep. Apoteker harus melakukan pengkajian resep sesuai persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan. Persyaratan administrasi meliputi: a. Nama, umur, jenis kelamin, berat badan, dan tinggi badan pasien. b. Nama, nomor ijin, alamat, dan paraf dokter. c. Tanggal resep. d. Ruangan/ unit asal resep. Persyaratan farmasetik meliputi: a. Nama obat, bentuk, dan kekuatan sediaan b. Dosis dan jumlah obat c.



Stabilitas



d. Aturan dan cara penggunaan. Persyaratan klinis meliputi: a. Ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan duplikasi pengobatan; b. Alergi dan Reaksi Obat Yang Tidak Dikehendaki (ROTD) c. Kontraindikasi dan d. Interaksi obat.



27



Pelayanan resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan, penyiapan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai termasuk peracikan obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan resep dilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian obat (medication error). Petunjuk teknis mengenai pengkajian dan pelayanan resep akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.



2.5.3 Penelusuran Riwayat Penggunaan obat Penelusuran riwayat penggunaan obat merupakan proses untuk mendapatkan informasi mengenai seluruh obat/ sediaan farmasi lain yang pernah dan sedang digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau data rekam medik/ pencatatan penggunaan obat pasien. Tahapan penelusuran riwayat penggunaan obat: a. Membandingkan riwayat penggunaan obat dengan data rekam medik/pencatatan penggunaan obat untuk mengetahui perbedaan informasi penggunaanobat. b. Melakukan verifikasi riwayat penggunaan obat yang diberikan oleh tenaga kesehatan lain dan memberikan informasi tambahan jika diperlukan. c. Mendokumentasikan adanya alergi dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD). d. Mengidentifikasi potensi terjadinya interaksi obat. e. Melakukan penilaian terhadap kepatuhan pasien dalam menggunakan obat. f. Melakukan penilaian rasionalitas obat yang diresepkan. g. Melakukan penilaian terhadap pemahaman pasien terhadap obat yang digunakan. h. Melakukan penilaian adanya bukti penyalahgunaan obat. i. Melakukan penilaian terhadap teknik penggunaan obat. j. Memeriksa adanya kebutuhan pasien terhadap obat dan alat bantu kepatuhan minum obat (concordanceaids). k. Mendokumentasikan obat yang digunakan pasien sendiri tanpa sepengetahuan dokter. 28



l. Mengidentifikasi terapi lain misalnya suplemen dan pengobatan alternatif yang mungkin digunakan oleh pasien. Kegiatan: a. Penelusuran riwayat penggunaan obat kepada pasien/keluarganya. b. Melakukan penilaian terhadap pengaturan penggunaan obat pasien. Informasi yang harus didapatkan: a. Nama obat (termasuk obat non resep), dosis, bentuk sediaan, frekuensi b. Penggunaan, indikasi dan lama penggunaan obat. c. Reaksi obat yang tidak dikehendaki termasuk riwayat alergi. d. Kepatuhan terhadap regimen penggunaan obat (jumlah obat yang tersisa).



2.5.4 Rekonsiliasi Obat Rekonsiliasi obat merupakan proses membandingkan instruksi pengobatan dengan obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan obat (medication error) seperti obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi obat. Kesalahan obat (medication error) rentan terjadi pada pemindahan pasien dari satu Rumah Sakit ke Rumah Sakit lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar dari Rumah Sakit ke layanan kesehatan primer dan sebaliknya. Tujuannya adalah: a. Memastikan informasi yang akurat tentang obat yang digunakan pasien. b. Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terdokumentasinya instruksi dokter;dan c. Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terbacanya instruksi dokter. Tahap proses rekonsiliasi obat yaitu:  Pengumpulan data Mencatat data dan memverifikasi obat yang sedang dan akan digunakan pasien, meliputi nama obat, dosis, frekuensi, rute, obat mulai diberikan, diganti,



29



dilanjutkan dan dihentikan, riwayat alergi pasien serta efek samping obat yang pernah terjadi. Khusus untuk data alergi dan efek samping obat, dicatat tanggal kejadiannya.  Komparasi Petugas kesehatan membandingkan data obat yang pernah, sedang dan akan digunakan. Discrepancy atau ketidakcocokan adalah bilamana ditemukan ketidakcocokan atau perbedaan diantara data- data tersebut. Ketidakcocokan dapat pula terjadi bila ada obat yang hilang, berbeda, ditambahkan atau diganti tanpa ada penjelasan yang didokumentasikan pada rekam medik pasien. Ketidakcocokan ini dapat bersifat disengaja (intentional) oleh dokter pada saat penulisan resep maupun tidak disengaja (unintentional) dimana dokter tidak tahu adanya perbedaan pada saat menuliskan resep. d. Melakukan konfirmasi kepada dokter jika menemukan ketidaksesuaian dokumentasi Bila ada ketidaksesuaian, maka dokter harus dihubungi kurang dari 24 jam. Hal lain yang harus dilakukan oleh apoteker adalah: 1. menentukan bahwa adanya perbedaan tersebut disengaja atau tidak disengaja; 2. mendokumentasikan alasan penghentian, penundaan, atau pengganti; 3. memberikan tanda tangan, tanggal, dan waktu dilakukannya rekonsilliasi obat e. Komunikasi Melakukan komunikasi dengan pasien dan/ atau keluarga pasien atau perawat mengenai perubahan terapi yang terjadi. Apoteker bertanggung jawab terhadap informasi obat yang diberikan. Petunjuk teknis mengenai rekonsiliasi obat akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.



30



2.5.5 Pelayanan Informasi Obat (PIO) Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, tidak bias, terkini dan komprehensif yang dilakukan oleh apoteker kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di luar rumah sakit. PIO bertujuan untuk: a. Menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan di lingkungan rumah sakit dan pihak lain di luar rumah sakit; b. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan dengan obat/ sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai, terutama bagi komite/ tim farmasi dan terapi; c. Menunjang penggunaan obat yang rasional. Kegiatan PIO meliputi: a. Menjawab pertanyaan; b. Menerbitkan buletin, leaflet, poster,newsletter; c. Menyediakan informasi bagi tim farmasi dan terapi sehubungan dengan penyusunan formularium rumah sakit; Bersama dengan Tim Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS) melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat inap melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga kefarmasian dan tenaga kesehatan lainnya dan melakukan penelitian. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam PIO yaitu: a. Sumber daya manusia; b. Tempat c. Perlengkapan.



31



2.5.6 Konseling Konseling obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait terapi obat dari apoteker (konselor) kepada pasien dan/ atau keluarganya. Konseling untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap disemua fasilitas kesehatan dapat dilakukan atas inisitatif apoteker, rujukan dokter, keinginan pasien atau keluarganya. Pemberian konseling yang efektif memerlukan kepercayaan pasien dan/ atau keluarga terhadap apoteker. Pemberian konseling obat bertujuan untuk mengoptimalkan hasil terapi, meminimalkan resiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD), dan meningkatkan cost effectiveness yang pada akhirnya meningkatkan keamanan penggunaan obat bagi pasien (patient safety). Secara khusus konseling obat ditujukan untuk: a. Meningkatkan hubungan kepercayaan antara apoteker dan pasien; b. Menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien; c. Membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan obat; d. Membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan penggunaan obat dengan penyakitnya; e. Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan; f. Mencegah atau meminimalkan masalah terkait obat; g. Meningkatkan kemampuan pasien memecahkan masalahnya dalam hal terapi; h. Mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan;dan i. Membimbing dan mendidik pasien dalam penggunaan obat sehingga dapat mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu pengobatan pasien. Kegiatan dalam konseling obat meliputi: a. Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien; b. Mengidentifikasi tingkat pemahaman pasien tentang penggunaan obat melalui Three Prime Questions;



32



c. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat; d. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah pengunaan obat; e. Melakukan verifikasi akhir dalam rangka mengecek pemahaman pasien; dan dokumentasi. Faktor yang perlu diperhatikan dalam konseling obat: Kriteria Pasien: a. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi ginjal, ibu hamil, dan menyusui); b. Pasien dengan terapi jangka panjang/ penyakit kronis (tb, dm, epilepsi, dan lain-lain); c. Pasien yang menggunakan obat-obatan dengan instruksi khusus (penggunaan kortiksteroid dengan tappering down/ off); d. Pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit (digoksin dan phenytoin); e. Pasien yang menggunakan banyak obat (polifarmasi);dan f. Pasien yang mempunyai riwayat kepatuhan rendah. Sarana dan Peralatan: a. Ruangan atau tempat konseling;dan b. Alat bantu konseling (kartu pasien/catatan konseling). Petunjuk teknis mengenai konseling akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.



2.5.7 Visite Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait obat, memantau terapi obat dan reaksi obat yang tidak dikehendaki, meningkatkan terapi obat yang rasional, dan menyajikan informasi 33



obat kepada dokter, pasien serta profesional kesehatan lainnya. Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah keluar rumah sakit baik atas permintaan pasien maupun sesuai dengan program rumah sakit yang biasa disebut dengan pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care). Sebelum melakukan kegiatan visite apoteker harus mempersiapkan diri dengan mengumpulkan informasi mengenai kondisi pasien dan memeriksa terapi obat dari rekam medik atau sumber lain. Petunjuk teknis mengenai visite akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.



2.5.8 Pemantauan Terapi Obat (PTO) Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD). Kegiatan dalam PTO meliputi: a. Pengkajian pemilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi, dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD); b. Pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat; dan c. Pemantauan efektivitas dan efek samping terapi obat. Tahapan PTO: a. Pengumpulan datapasien; b. Identifikasi masalah terkait obat; c. Rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat; d. Pemantauan;dan e. Tindak lanjut.



34



Faktor yang harus diperhatikan yaitu: a. Kemampuan penelusuran informasi dan penilaian kritis terhadap bukti terkini dan terpercaya (Evidence Best Medicine); b. Kerahasiaan informasi;dan Kerjasama dengan tim kesehatan lain (dokter dan perawat). Petunjuk teknis mengenai pemantauan terapi obat akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.



2.5.9 Monitoring Efek Samping Obat (MESO) Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek Samping Obat adalah reaksi obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja farmakologi. MESO bertujuan: a. Menemukan Efek Samping Obat (ESO) sedini mungkin terutama yang berat, tidak dikenal, dan frekuensinya jarang; b. Menentukan frekuensi dan insidensi ESO yang sudah dikenal dan yang barusaja ditemukan; c. Mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan ataumempengaruhi angka kejadian dan hebatnya ESO; d. Meminimalkan risiko kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki; dan e. Mencegah terulangnya kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki. Kegiatan pemantauan dan pelaporan ESO meliputi: a. Mendeteksi adanya kejadian reaksi obat yang tidak dikehendaki (ESO); b. Mengidentifikasi obat-obatan dan pasien yang mempunyai risiko tinggi mengalami ESO; c. Mengevaluasi laporan ESO dengan algoritme Naranjo;



35



d. Mendiskusikan dan mendokumentasikan ESO di Tim/ Sub Komite/ TimFarmasi dan Terapi; e. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional. Faktor yang perlu diperhatikan: a. Kerjasama dengan Komite/Tim Farmasi dan Terapi dan ruang rawat;dan b. Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat. Petunjuk teknis mengenai monitoring efek samping obat akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.



2.5.10 Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan program evaluasi penggunaan obat yang terstruktur dan berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif. Tujuan EPO yaitu: a. Mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan obat; b. Membandingkan pola penggunaan obat pada periode waktu tertentu; c. Memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan obat;dan d. Menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan obat. Kegiatan praktek EPO yaitu: a. Mengevaluasi pengggunaan obat secara kualitatif;dan b. Mengevaluasi pengggunaan obat secara kuantitatif. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan: a. Indikator peresepan; b. Indikator pelayanan;dan c. Indikator fasilitas.



36



2.5.11 Dispensing Sediaan Steril Dispensing sediaan steril harus dilakukan di Instalasi Farmasi dengan teknik aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi petugas dari paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat. Dispensing sediaan steril bertujuan: a. Menjamin agar pasien menerima Obat sesuai dengan dosis yang dibutuhkan; b. Menjamin sterilitas dan stabilitas produk; c. Melindungi petugas dari paparan zat berbahaya dan d. Menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat. Kegiatan dispensing sediaan steril meliputi: a. Pencampuran obat suntik melakukan pencampuran obat steril sesuai kebutuhan pasien yang menjamin kompatibilitas dan stabilitas obat maupun wadah sesuai dengan dosis yang ditetapkan. Kegiatan: 1. Mencampur sediaan intravena ke dalam cairan infus; 2. Melarutkan sediaan intravena dalam bentuk serbuk dengan pelarut yang sesuai;dan 3. Mengemas menjadi sediaan siap pakai. Faktor yang perlu diperhatikan: 1. Rangan khusus; 2. Lemari pencampuran Biological Safety Cabinet; dan 3. HEPA Filter. b. Penyiapan nutrisi parenteral merupakan kegiatan pencampuran nutrisi parenteral yang dilakukan oleh tenaga yang terlatih secara aseptis sesuai kebutuhan pasien dengan menjaga stabilitas sediaan, formula standar, dan kepatuhan terhadap prosedur yang menyertai. Kegiatan dalam dispensing sediaan khusus:



37



1. Mencampur sediaan karbohidrat, protein, lipid, vitamin, mineral untuk kebutuhan perorangan dan 2. Mengemas ke dalam kantong khusus untuk nutrisi. Faktor yang perlu diperhatikan: 1. Tim yang terdiri dari dokter, Apoteker, perawat, ahli gizi; 2. Sarana dan peralatan; 3. Ruangan khusus; 4. Lemari pencampuran Biological Safety Cabinet;dan 5. Kantong khusus untuk nutrisi parenteral. Penanganan sediaan sitostatik merupakan penanganan obat kanker secara aseptis dalam kemasan siap pakai sesuai kebutuhan pasien oleh tenaga farmasi yang terlatih dengan pengendalian pada keamanan terhadap lingkungan, petugas maupun sediaan obatnya dari efek toksik dan kontaminasi, dengan menggunakan alat pelindung diri, mengamankan pada saat pencampuran, distribusi, maupun proses pemberian kepada pasien sampai pembuangan limbahnya. Secara operasional dalam mempersiapkan dan melakukan harus sesuai prosedur yang ditetapkan dengan alat pelindung diri yang memadai. Kegiatan dalam penanganan sediaan sitostatik meliputi: 1. Melakukan perhitungan dosis secara akurat; 2. Melarutkan sediaan obat kanker dengan pelarut yangsesuai; 3. Mencampur sediaan obat kanker sesuai dengan protokol pengobatan; 4. Mengemas dalam kemasan tertentu dan 5. Membuang limbah sesuai prosedur yang berlaku. Faktor yang perlu diperhatikan: 1. Ruangan khusus yang dirancang dengan kondisi yangsesuai; 2. Lemari pencampuran biological Safety Cabinet;



38



3. HEPA filter; 4. Alat Pelindung Diri (APD); 5. Sumber daya manusia yang terlatih; dan 6. Cara pemberian obat kanker. Petunjuk teknis mengenai dispensing sediaan steril akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.



2.5.12 Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi hasil pemeriksaan kadar obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit atau atas usulan dari Apoteker kepada dokter. PKOD bertujuan untuk: a. Mengetahui kadar obat dalam darah;dan b. Memberikan rekomendasi kepada dokter yangmerawat. Kegiatan PKOD meliputi: a. Melakukan penilaian kebutuhan pasien yang membutuhkan Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD); b. Mendiskusikan kepada dokter untuk persetujuan melakukan Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD); c. Menganalisis hasil Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) d. Memberikan rekomendasi. Petunjuk teknis mengenai pemantauan Kadar Obat dalam Darah akan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.



2.6 Materi Khusus 2.6.1 Central Sterile Supply Departement (CSSD) Central Sterile Supply Department (CSSD) atau Instalasi Pusat Pelayanan Sterilisasi merupakan satu unit atau department dari rumah sakit yang menyelenggarakan proses pencucian, pengemasan, sterilisasi terhadap semua alat atau bahan yang membutuhkan



39



kondisi steril. Rumah sakit sebagai institusi penyedia pelayanan kesehatan berupaya untuk mencegah resiko terjadinya infeksi bagi pasien dan petugas rumah sakit. Salah satu indikator keberhasilan dalam pelayanan rumah sakit adalah rendahnya angka infeksi nosokomial di rumah sakit. Untuk mencapai keberhasilan tersebut maka perlu dilakukan pengendalian infeksi di rumah sakit. Adapun tugas CSSD di rumah sakit adalah (Depkes, 2009): a. Menyiapkan peralatan medis untuk perawatan pasien. b. Melakukan proses sterilisasi alat atau bahan. c. Mendistribusikan alat-alat yang dibutuhkan oleh ruangan perawatan, operasi maupun ruangan lainnya serta memilih peralatan dan bahan yang aman dan efektif serta bermutu. d. Mendokumentasikan setiap aktivitas pembersihan, desinfeksi maupun sebagai bagian dari program upaya pengendalian mutu. e. Melakukan penelitian terhadap hasil sterilisasi dalam rangka pencegahan dan pengendalian infeksi bersama dengan panitia pengendalian infeksi nosokomial. f. Memberikan penyuluhan tentang hal-hal yang berkaitan dengan sterilisasi. g. Mengevaluasi hasil sterilisasi. Alur aktivitas fungsional CSSD dimulai dari proses pembilasan, pembersihan atau dekontaminasi, pengeringan, inspeksi dan pengemasan. Memberi label, sterilisasi, penyimpanan, sampai proses distribusi (Depkes, 2009). Lokasi CSSD sebaiknya berdekatan dengan ruangan pemakaian alat atau bahan steril terbesar di rumah sakit. Dengan pemilihan lokasi seperti ini maka selain meningkatkan pengendalian infeksi dengan meminimalkan resiko kontaminasi silang serta meminimalkan lalu lintas transportasi alat steril. Ketersedian ruang CSSD yang memadai merupakan suatu keharusan untuk mengoptimalkan fungsi kerja CSSD. Untuk menghindari terjadinya kontaminasi silang dari ruang kotor ke ruang bersih, maka ruangan CSSD dibagi menjadi 5 bagian (Depkes, 2009) :



40



1. Ruang Dekontaminasi: terjadi proses penerimaan barang kotor, melakukan dekontaminasi dan pembersihan. Ruang dekontaminasi



harus



direncanakan,



dipelihara dan dikontrol untuk mendukung efisiensi proses dekontaminasi dan untuk melindungi pekerja dari benda-benda yang dapat menyebabkan infeksi, racun, dan hal-hal berbahaya lainnya. 2. Ruangan Pengemasan Alat: untuk melakukan pengemasan dan penyimpanan alat atau barang bersih. Pada ruang ini dianjurkan ada tempat penyimpanan tertutup. 3. Ruang Prossesing: linen diperiksa, dilipat, dan dikemas untuk persiapan sterilisasi. Selain linen, pada daerah ini dipersiapkan pula bahan-bahan seperti kain kasa, cotton swab, dan lain-lain. 4. Ruang Sterilisasi: tempat dimana proses sterlisasi dilakukan. Untuk sterilisasi etilen osksida sebaiknya dibuatkan ruang khusus yang terpisah tetapi masih dalam satu unit pusat sterilisasi dan dilengkapi exhaust. 5. Ruang Penyimpanan Barang Steril: ruang ini sebaiknya dekat dengan ruang sterlisasi. Apabila digunakan mesin sterlisasi dua pintu, maka pintu belakang langsung berhubungan dengan ruang penyimpanan. Akses ke ruang penyimpanan steril dilakukan oleh petugas pusat sterlisasi yang terlatih, bebas dari penyakit menular dan menggunakan pakaian yang sesuai dengan persyaratan.



2.6.1.1 Sterilisasi Sterilisasi adalah menghilangkan semua bentuk kehidupan baik bentuk patogen, non patogen, vegetatif maupun non vegetatif dari suatu objek ataumaterial. Hal tersebut dapat dicapai dengan cara panas, penyaringan, dan bahan kimia. Alasan melakukan sterilisasi ada tiga alasan untuk sterilisasi yaitu: a. Untuk mencegah transmisi penyakit. b. Untuk mencegah pembusukan material oleh mikroorganisme. 41



c. Untuk



mencegah



kompetisi



nutrient



dalam



media



pertumbuhan



sehingga



memungkinan kultur organisme spesifik berbiak untuk keperluan sendiri. Metode Sterilisasi a. Destruksi Mikroorganisme Mikroorganisme akan rusak bila terkena panas langsung. Cara termudah adalah menggunakan api dengan cara membakar peralatan atau wadah yang akan dipakai. Cara lain adalah dengan mengoksidasi alat (biasanya gelas) menggunakan bahan kimia serupa asam nitrat pekat, asam kromat atau asam sulfat pekat. b. Inaktivasi (Pembunuhan) Metode



inaktivasi



(pembunuhan)



mikroorganisme



ini



merupakan



eliminasi



mikroorganisme tanpa perlu menghancurkan sel secara sempurna. Hal ini dapat dilakukan dengan cara panas kering, basah, atau uap, cara radiasi, dan cara kimia. c. Penghilang Secara Fisika Metode menghilangkan mikroorganisme secara fisika adalah dengan



cara



penyaringan (filtrasi) karena ada beberapa zat (partikel) dari cairan dan gas yang tidak dapat dilakukan dengan cara di atas. Cara Sterilisasi a. Terminal Sterilization (Sterilisasi Akhir) Penyiapan komponen dan sebagian besar produk yang memungkinan untuk disaring dan disterilisasi harus dilakukan minimal di lingkungan kelas D untuk mengurangi risiko cemaran mikroba dan cemaran partikel partikulat. Sterilisasi akhir adalah pilihan utama jika produk tahan terhadap panas. Cara sterilisasi yang dipilih tergantung pada bahan, zat aktif, pelarut, dan bahan kemas yang digunakan. Metode sterilisasi akhir menurut PDA Technical Monograph dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Overkill Method



42



Overkill Method adalah metode sterilisasi menggunakan pemanasan uap panas pada 121ºC selama 15 menit yang mampu memberikan minimal reduksi setingkat log 12 dari berbagai mikroorganisme yang memiliki nilai D minimal 1 menit. Menggunakan metode ini biasanya untuk bahan yang tahan panas seperti zat anorganik. Metode ini merupakan pilihan utama karena kelebihannya yaitu lebih efisien, cepat dan aman. Pada overkill method kita melakukan monitoring hanya pada formula akhir. 2. Bioburden Sterilization Bioburden Sterilization adalah metode sterilisasi yang memerlukan monitoring ketat yang terkontrol terhadap beban mikroba sekecil mungkin di beberapa lokasi jalur produksi sebelum menjalani proses sterilisasi lanjutan dengan tingat sterilitas yang dipersyaratkan. Biasanya menggunakan metode ini untuk bahan yang mengalami degradasi kandungan bila dipanaskan terlalu tinggi seperti zat organik. Misalnya, larutan karbohidrat (dekstrosa) bila dipanaskan dengan temperatur tinggi dapat menimbulkan senyawa HMF (Hidro Methyl Furfural) yaitu suatu senyawa hepatotoksik yang tidak diinginkan. Perbedaan kedua metode tersebut adalah pada titik awal (starting point). Apabila menggunakan overkill maka pemanasan dilakukan dengan uap bersuhu 121ºC selama 15 menit, sedangkan dengan bioburden dilihat dari pencapaian tingkat sterilitas yang diminta. 3. Aseptic Processing Aseptic processing adalah metode pembuatan produk steril menggunakan saringan dengan filter khusus untuk bahan obat sterilvatau bahan baku steril yang diformulasikan dan diisikan ke dalam kontainer steril serta dilakukan di lingkungan terkontrol. Proses demikian dipilih bila obat atau bahan obat yang akan diproduksi tidak tahan panas.



43



4. Sterilisasi Uap (Autoklaf) Merupakan metode yang paling efektif dan ideal karena: a. Uap merupakan pembawa (carrier) energi termal paling efektif dan semua lapisan



pelindung



luar



mikroorganisme



dapat



dilunakkan



sehingga



memungkinkan terjadinya koagulasi. b. Bersifat nontoksik, mudah diperoleh, dan relatif mudah dikontrol. c.



Sterilisasi demikian biasa digunakan untuk mensterilkan sediaan injeksi dan suspensi 121ºC 15 menit, baju operasi 134ºC 3 menit. Siklus sterilisasi uap meliputi



fase



pemanasan



(Conditioning),



pemaparan



uap



(exposure),



pembuangan (exhaust) dan pengeringan. Faktor- faktor yang mempengaruhi sterilisasi uap adalah: a. Waktu: Bila mikroorganisme dalam jumlah besar dipaparkan terhadap uap jenuh pada suhu yang konstan maka semua mikroorganisme tidak akan terbunuh pada saat bersamaan. b. Suhu: Peningkatan suhu akan menurunkan waktu proses sterilisasi secara dramatis, tetapi jika kondisi uap tidak jenuh, mikroorganisme mungkin tidak akan terbunuh secara sempurna meski suhu sterilisasi dinaikan. c. Kelembaban: Efek penambahan daya bunuh pada sterilisasi uap disebabkan kelembaban akan menurunkan suhu yang diperlukan agar terjadi denaturasi dan koagulasi protein. 5. Sterilisasi Kering (Oven) Sterilisasi panas kering biasa digunakan untuk alat-alat atau bahan dengan uap yang tidak dapat berpenetrasi secara mudah atau untuk peralatan yang terbuat dari kaca. Sterilisasi panas kering biasa ditetapkan pada temperatur minimum 160˚C dengan waktu satu jam untuk alat logam dan alat gelas. Sebaliknya untuk larutan



44



minyak atau paraffin atau salep sterilisasi ditetapkan pada temperaturminimum 150˚C dengan waktu satu jam. Temperatur yang lebih tinggi memungkinkan waktu sterilisasi yang lebih pendek, sebaliknya temperatur yang lebih rendah membutuhkan waktu yang lebih panjang. Sterilisasi panas kering umumnya digunakan untuk senyawa-senyawa yang tidak efektif disterilkan dengan autoklaf. Senyawa demikian meliputi minyak lemak, gliserin, petrolatum, minyak mineral, paraffin dan berbagai serbuk yang stabil dalam pemanasan seperti zink oksida. Sterilisasi panas kering efektif untuk sterilisasi alatalat gelas dan alat-alat bedah. Siklus sterilisasi panas kering meliputi fase pemanasan (udara panas disirkulasikan pada chamber), periode plateau (tercapainya suhu pada chamber), equilibrium, atau holding time (seluruh chamber memiliki suhu yang sama), dan pendinginan chamber (mensirkulasikan udara ke dalamchamber). 6. Sterilisasi Gas atau Etilen Oksida Sterilisasi gas merupakan pilihan lain yang digunakan untuk sterilisasi alat yang sensitif terhadap panas. Beberapa parameter sterilisasi gas etilen oksida meliputi: a. Konsentrasi gas secara umum, semakin tinggi konsentrasi gas maka waktu yang diperlukan untuk proses sterilisasi akan semakin cepat. Konsentrasi biasa dinyatakan dalam mg/liter ruang chamber. b. Semakin tinggi suhu, semakin cepat reaksi berjalan. Sterilisasi suhu rendah biasa menggunakan suhu 47-60ºC. c. Kelembaban untuk meningkatkan daya penetrasigas. d. Waktu siklus kali proses sterilisasi berkisar antara 2-6 jam, tergantung pada suhu dan konsentrasi.



45



Sterilisasi dengan gas etilen oksida memerlukan waktu 4-16 jam.



Biasanya



menggunakan sterilisasi gas etilen oksida untuk mensterilkan berbagai sediaan enzim tertentu yang tidak tahan panas, antibiotik tertentu, obat-obat lain, serta alat kedokteran yang tidak tahan panas seperti alat-alat endoskopi yang terbuat dari kaca atau kateter. 7. Sterilisasi Radiasi Sterilisasi radiasi menggunakan ultraviolet, ion, dan gamma. Sinar ultraviolet digunakan untuk sterilisasi ruangan pada penggunaan aseptik. Sinar ion mekanismenya mengikuti teori tumbukan yaitu sinar langsung menghantam pusat kehidupan mikroba (kromosom) atau secara tidak langsung dengan sinar terlebih dulu membentur molekul air dan mengubah menjadi bentuk radikalnya yang menyebabkan terjadinya reaksi sekunder pada bagian molekul DNA mikroba. Cara ini dilakukan jika bahan yang disterilkan tidak tahan terhadap sterilisasi panas dan khawatir tentang keamanan etilen oksida. Keunggulan sterilisasi ini adalah reaktivitas kimia rendah, residu rendah yang dapat diukur serta variabel yang dikendalikan lebih sedikit. Sinar gamma digunakan untuk mensterilkan alat kedokteran seperti alat yang terbuat dari logam, karet, serta bahan sintetis seperti polietilen. 8. Sterilisasi Plasma Plasma terdiri atas elektron, ion-ion, maupun partikel netral. Pada plasma akan terbentuk dari hydrogen peroksida, proses pembentukan plasma terdiri dari dua fase yaitu fase difusi hidrogen peroksida dan fase plasma. 9. Sterilisasi Filtrasi Prinsipnya terbagi 2 yaitu filter ayakan tidak dapat membebaskan pirogen dan virus dikarenakan ukuran pori lebih kecil dari filter dan filter adsorpsi terbuat dari selulosa, asbes, gelas sinter, keramik, dan keiselguhr serta karbon aktif, filter ini dapat membebaskan pirogen dan virus. Sterilisasi filtrasi digunakan untuk sterilisasi yang tidak tahan panas. Keuntungan



46



utama saringan bakteri meliputi kecepatan pada penyaringan sejumlah kecil larutan, kemampuan mensterilkan secara efektif zat-zat yang tidak tahan panas, serta peralatan yang digunakan relatif tidak mahal. a. Sterilisasi pemanasan dengan uap air mengalir seperti bejana atau dandan (air mendidih). b. Sterilisasi Langsung/ Pembakaran (Fiksasi). c. Sterilisasi Dengan Bahan Kimia (Desinfektan). d. Sterilisasi Dingin (Kulkas di bawah 0ºC).



2.6.2 Instalasi Pengelolahan Aliran Limbah (IPAL) Kesehatan lingkungan rumah sakit adalah upaya pencegahan penyakit dan/atau gangguan kesehatan dari factor risiko lingkungan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat baik dari aspek fisik, kimia, biologi, maupun sosial di dalam lingkungan rumah sakit (Permenkes No.7/2019). Upaya kesehatan lingkungan adalah upaya pencegahan penyakit dan/ atau gangguan kesehatan dari faktor risiko lingkungan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat baik dari aspek fisik, kimia, biologi, maupun sosial. Penyelenggaraan kesehatan lingkungan ini diselenggarakan melalui upaya penyehatan, pengamanan, dan pengendalian, yang dilakukan terhadap lingkungan permukiman, tempat kerja, tempat rekreasi, serta tempat dan fasilitas umum.Salah satu tempat dan fasilitas umum tersebut adalah rumah sakit (Permenkes No.7/2019). Dalam menjalankan fungsinya, rumah sakit menggunakan berbagai bahan dan fasilitas atau peralatan yang dapat mengandung bahan berbahaya dan beracun. Interaksi rumah sakit dengan manusia dan lingkungan hidup di rumah sakit dapat menyebabkan masalah kesehatan lingkungan yang ditandai dengan indikator menurunnya kualitas media kesehatan lingkungan



47



di rumah sakit, seperti media air, udara, pangan, sarana dan bangunan serta vektor dan binatang pembawa penyakit. Akibatnya, kualitas lingkungan rumah sakit tidak memenuhi standar baku mutu kesehatan



lingkungan



dan



persyaratan



kesehatan



yang



telah



ditentukan



(PermenkesNo.7/2019). Berdasarkan potensi bahaya yang terkandung dalam limbah klinik, pembagian jenis limbah menurut Kepmenkes RI Nomor 1204/MENKES/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit yaitu: a. Limbah padat rumah sakit adalah semua limbah rumah sakit yang berbentuk padat sebagai akibat kegiatan rumah sakit yang terdiri dari limbah medis padat dan non medis. b. Limbah medis padat adalah limbah padat yang terdiri dari limbah infeksius, limbah patologi, limbah benda tajam, limbah farmasi, limbah sitotoksis, limbah kimiawi, limbah radio aktif, limbah kontainer bertekanan dan limbah dengan kandungan logam berat yang tinggi c. Limbah padat non medis adalah limbah padat yang dihasilkan dari kegiatan rumah sakit diluar medis yang berasal dari dapur, perkantoran, taman, halaman yang dapat dimanfaatkan lagi apabila ada teknologinya. d. Limbah cair adalah semua air buangan termasuk tinja yang berasal dari kegiatan rumah sakit yang kemungkinan mengandung mikroorganisme, bahan kimia beracun dan radio aktif yang berbahaya bagi kesehatan e. Limbah gas adalah semua limbah berbentuk gas yang berasal dari kegiatan pembakaran di rumah sakit seperti insinerator, dapur, perlengkapan generator, anastesi dan pembuatan obat sitotosik



48



f. Limbah infeksius adalah limbah yang terkontaminasi organisme patogen yang tidak secara rutin ada dilingkungan dan organisme tersebut dalam jumlah dan virulensi yang cukup untuk menularkan penyakit pada manusia rentan. g. Limbah sangat infeksius adalah limbah berasal dari pembiakan dan stok bahan sangan infeksius, otopsi, organ binatang percobaan, dan bahan lain yang telah diinokulasi, terinfeksi atau kontak dengan bahan yang sangat infeksius h. Limbah sitotoksik adalah limbah dari bahan yang terkontaminas dari persiapan dan pemberian obat sitotoksik untuk kemoterapi kanker yang mempunyai kemampuan untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan hidup.



2.6.2.1 Penyelenggaraan Pengamanan Limbah dan Radiasi Penyelenggaraan Pengamanan Limbah di rumah sakit meliputi pengamanan terhadap limbah padat domestik, limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), limbah cair, dan limbah gas. a. Penyelenggaraan Pengamanan Limbah Padat Domestik Pengamanan limbah padat domestik adalah upaya penanganan limbah padat domestik di rumah sakit yang memenuhi standar untuk mengurangi risiko gangguan kesehatan, kenyamanan dan keindahan yang ditimbulkan. b. Penyelenggaraan Pengamanan Limbah Cair Pengamanan limbah cair adalah upaya kegiatan penanganan limbah cair yang terdiri dari penyaluran dan pengolahan dan pemeriksaan limbah cair untuk mengurangi risiko gangguan kesehatan dan lingkungan hidup yang ditimbulkan limbah cair. Limbah cair yang dihasilkan kegiatan rumah sakit memiliki beban cemaran yang dapat menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan hidup dan menyebabkan gangguan kesehatan manusia. Untuk itu, air limbah perlu dilakukan pengolahan sebelum dibuang ke lingkungan, agar



49



kualitasnya memenuhi baku mutu air limbah yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Limbah cair rumah sakit juga berpotensi untuk dilakukan daur ulang untuk tujuan penghematan penggunaan air di rumah sakit. Untuk itu, penyelenggaraan pengelolaan limbah cair harus memenuhi ketentuan di bawah ini: a. Rumah sakit memiliki Unit Pengolahan Limbah Cair (IPAL) dengan teknologi yang tepat dan desain kapasitas olah limbah cair yang sesuai dengan volume limbah cair yang dihasilkan. b. Unit Pengolahan Limbah Cair harus dilengkapi dengan fasilitas penunjang sesuai dengan ketentuan sebagai berikut: c. Memenuhi frekuensi dalam pengambilan sampel limbah cair yakni 1 (satu) kali perbulan.



Memenuhi



baku



mutu



efluen



limbah



cair



sesuai



peraturan



perundangundangan. d. Memenuhi pentaatan pelaporan hasil uji laboratorium limbah cair kepada instansi pemerintah sesuai ketentuan minimum setiap 1 (satu) kali per 3 (tiga) bulan. Limbah cair dari seluruh sumber dari bangunan/ kegiatan rumah sakit harus diolah dalam Unit Pengolah Limbah Cair (IPAL) dan kualitas limbah cair efluennya harus memenuhi baku mutu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan sebelum dibuang ke lingkungan perairan. Air hujan dan limbah cair yang termasuk kategori limbah B3 dilarang disalurkan ke IPAL. Unit IPAL ditempatkan pada lokasi yang tepat, yakni di area yang jauh atau tidak menganggu kegiatan pelayanan rumah sakit dan diupayakan dekat dengan badan air penerima (perairan) untuk memudahkan pembuangan. Desain kapasitas olah IPAL harus sesuai dengan perhitungan debit maksimal limbah cair yang dihasilkan ditambah faktor keamanan (safety factor) + 10%. Lumpur endapan IPAL



50



yang dihasilkan apabila dilakukan pembuangan atau pengurasan, maka penanganan lanjutnya harus diperlakukan sebagai limbah B3.



51



2.7 Coronary Artery Desease 2.7.1 Defenisi Coronary Artery Diseasae (CAD) merupakan suatu gangguan fungsi jantung yang disebabkan karena otot miokard kekurangan suplai darah akibat adanya penyempitan arteri koroner dan tersumbatnya pembuluh darah jantung (American Heart Association, 2017)



2.7.2 Etiologi Disfungsi endotel, peradangan, dan pembentukan garis lemak berkontribusi pada pembentukan plak arteri koroner aterosklerotik, penyebab utama CAD. Penyebab utama CAD pada lebih dari 90% pasien adalah ruptur akut, fisura, atau erosi plak aterosklerotik yang tidak stabil diikuti oleh pembentukan trombus yang mengganggu aliran darah distal yang mengakibatkan iskemia miokard akut. Jika iskemia miokard berlangsung cukup lama, Myocardial infarction (Infark miokard) dapat terjadi. Presentasi infark miokard ini diklasifikasikan sebagai infark miokard tipe 1. Lebih jarang, ACS dapat terjadi karena ketidaksesuaian akut antara suplai dan kebutuhan oksigen (misalnya, vasospasme koroner, emboli koroner, diseksi arteri koroner, kondisi bersamaan yang secara akut meningkatkan kebutuhan oksigen). Ketika yang terakhir mengakibatkan cedera miokard, itu diklasifikasikan sebagai tipe 2 infark miokard. Klasifikasi lain dari infark miokard termasuk pasien yang menderita kematian jantung dengan gejala sugestif iskemia miokard yang deteksi biomarker tidak mungkin, infark miokard terkait dengan PCI cedera miokard terkait (tipe 4), dan infark miokard terkait dengan operasi coronary artery bypass graft (CABG). (Dipiro,2020)



2.7.3 Patofisiologi Sebagian besar CAD adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah akibat perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrosa yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi sehingga terbentuk trombus yang kaya trombosit (white thrombus). Trombus ini akan menyumbat lubang pembuluh darah koroner, baik secara total maupun parsial; atau menjadi 52



mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium. Suplai oksigen yang berhenti selama kuranglebih



20



menit



menyebabkan



miokardium



mengalami



nekrosis



(infark



miokard/IM). (Perki, 2018) Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner. Sumbatan. subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis juga dapat menyebabkan terjadinya. iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard). Selain nekrosis, iskemia juga menyebabkan gangguan kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), serta distritmia dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Pada sebagian pasien, CAD terjadi karena sumbatan dinamis akibat spasme lokal arteri koronaria epikardial (angina prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi pembentukan plak atau restenosis setelah intervensi koroner perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus terjadinya CAD pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis. (Perki, 2018)



2.7.4 Klasifikasi Sindrom Koroner Akut Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan biomarka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi: 1. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) 2. Infark miokard akut non-elevasi segmen ST (IMA-NEST) 3. Angina pektoris tidak stabil (APTS). Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST akut (IMA-EST) merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis melalui intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis IMA-EST ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di 2 sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tata laksana revaskularisasi tidak perlu menunggu hasil peningkatan biomarka jantung. 53



Diagnosis IMA-NEST dan APTS ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang menetap di 2 sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalisasi, atau bahkan tanpa perubahan. Angina pektoris tidak stabil dan IMA-NEST dibedakan berdasarkan hasil pemeriksaan biomarka jantung. Biomarka jantung yang lazim digunakan adalah high sensitivity troponin, troponin, atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia biomarka jantung terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosisnya infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (IMA-NEST), jika biomarka jantung tidak meningkat secara bermakna maka diagnosisnya APTS. Pada sindroma koroner akut, nilai ambang untuk peningkatan biomarka jantung yang abnormal adalah beberapa unit melebihi nilai normal atas (upper limits of normal/ULN). Jika pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan kelainan (normal) atau menunjukkan kelainan yang non-diagnostik sementara angina masih berlangsung, maka pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian. Jika EKG ulangan tetap menunjukkan gambaran non-diagnostik sementara keluhan angina sangat sugestif CAD, maka pasien dipantau selama 12-24 jam. EKG diulang setiap terjadi angina berulang atau setidaknya 1 kali dalam 24 jam. (Perki, 2018)



2.7.5 Diagnosa 2.7.5.1 Anamnesis Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten (beberapa menit) atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaforesis (keringat dingin), mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop. Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran angina tipikal, gangguan pencernaan (indigesti), sesak napas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat, 54



keluhan ini patut dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK). Hilangnya keluhan angina setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis CAD. Presentasi klinik IMA-NEST dan APTS pada umumnya berupa: 1. Angina tipikal yang persisten selama lebih dari 20 menit. Dialami oleh sebagian besar pasien (80%) 2. Angina awitan baru (de novo) kelas III klasifikasi The Canadian Cardiovascular Society (CCS). Terjadi pada 20% pasien. 3. Angina stabil yang mengalami destabilisasi (angina progresif atau kresendo): menjadi makin sering, lebih lama, atau menjadi makin berat; minimal kelas III klasifikasi CCS. 4. Angina pasca infark miokard: angina yang terjadi dalam 2 minggu setelah infark miokard. Presentasi klinik lain yang dapat dijumpai adalah angina ekuivalen, terutama pada wanita dan lanjut usia. Keluhan yang paling sering dijumpai adalah awitan baru atau perburukan sesak napas saat aktivitas. Beberapa faktor yang menentukan bahwa keluhan tersebut presentasi dari SKA adalah sifat keluhan, riwayat PJK, jenis kelamin, umur, dan jumlah faktor risiko tradisional. Angina atipikal yang berulang pada seorang yang mempunyai riwayat PJK, terutama infark miokard, berpeluang besar merupakan presentasi dari CAD. Keluhan yang sama pada seorang pria lanjut usia (>70 tahun) dan menderita diabetes berpeluang menengah suatu CAD, Angina ekuivalen atau yang tidak seutuhnya tipikal pada seseorang tanpa karakteristik tersebut di atas berpeluang kecil merupakan presentasi dari CAD. Diagnosis CAD menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada pasien dengan karakteristik sebagai berikut: 1. Pria 2. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non-koroner (penyakit arteri perifer / karotis) 3. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard, bedah pintas penyakit jantung koroner, atau DFI 4. Memiliki faktor risiko: usia, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga yang diklasifikasikan sebagai risiko tinggi, 55



risiko sedang, atau risiko rendah menurut National Cholesterol Education Program (NCEP). Angina tipikal berupa rasa tertekan/berat di daerah retrosternal yang menjalar ke lengan kiri, leher, area interskapuler, bahu, atau epigastrium; berlangsung intermiten atau persisten (>20 menit); sering disertai diaforesis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop. Nyeri dengan gambaran dibawah ini bukan karakteristik iskemia miokard nonkardiak): 1. Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk) 2. Nyeri abdomen tengah atau bawah 3. Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah apeks ventrikel kiri atau pertemuan kostokondral. 4. Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi 5. Nyeri dada dengan durasi beberapa detik 6. Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah. Mengingat adanya kesulitan memprediksi angina ekuivalen sebagai keluhan CAD, maka terminologi angina dalam panduan ini lebih mengarah pada keluhan nyeri dada tipikal. Selain untuk tujuan penapisan diagnosis kerja, anamnesis juga ditujukan untuk menapis kontraindikasi terapi fibrinolisis seperti hipertensi, kemungkinan diseksi aorta (nyeri dada tajam dan berat yang menjalar ke punggung disertai sesak napas atau sinkop), riwayat perdarahan, atau riwayat penyakit serebrovaskular. (Perki,2018)



2.7.5.2 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus, dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaforesis, ronkhi basah halus, atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap CAD. Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang, dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding CAD. (Perki, 2018) 56



2.7.5.3 Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG) Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat. Sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal non-diagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul kembali. Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi, yaitu: normal, non-diagnostik, left bundle branch block (LBBB) baru/persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (220 menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T. Penilaian elevasi ST dilakukan pada titik J dan ditemukan pada 2 sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis IMA-EST untuk laki-laki dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Nilai ambang untuk diagnostik pada berbagai sadapan beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan permukaan tubuh segmen elevasi ST, dapat dijumpai pada pasien IMAEST kecuali jika IMA-EST terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6). Pasien CAD dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk IMAEST dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan biomarka jantung tersedia. (Perki, 2018) Tabel Nilai ambang diagnostik elevansi segmen ST



57



Tabel Lokasi infark berdasarkan sedapan EKG



Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen ST 21 mm pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen ST 21 mm di V1-V3. Perubahan segmen ST seperti ini disebut sebagai perubahan konkordan yang mempunyai spesivisitas tinggi dan sensitivitasmrendah untuk diagnosis iskemik akut. Perubahan segmen ST yang diskordan pada sadapan dengan kompleks QRS negatif mempunyai sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah. Pada LBBB, diagnosis EKG untuk IMA sulit ditegakkan tetapi seringkali dimungkinkan jika ditemukan abnormalitas segmen ST yang bermakna. Terdapat beberapa algoritme kompleks untuk membantu diagnosis, tetapi tidak memberikan kepastian diagnostik. Adanya elevasi segmen ST kondordan merupakan salah satu indikator terbaik IM yang sedang berlangsung dengan arteri infark yang mengalami oklusi. Pasien dengan dugaan klinis iskemia miokard dan LBBB baru/dianggap baru, dirawat sebagai pasien IMA-EST. Sementara pasien dengan dugaan klinis iskemia miokard dan LBBB sebelumnya, dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan angiografi koroner. Pasien dengan IM dan RBBB memiliki prognosis buruk. Iskemia transmural pada pasien dengan nyeri dada dan RBBB sulit terdeteksi. Karenanya strategi IKP primer harus dipertimbangkan jika gejala-gejala iskemia persisten terjadi pada RBBB. Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tanpa elevasi segmen ST yang persisten, diagnosisnya adalah infark miokard non-elevasi segmen ST (IMA-NEST) atau angina pektoris tidak stabil (APTS). Depresi segmen ST yang diagnostik untuk iskemia adalah sebesar 20,05 mV di sadapan V1-V3 dan 20,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak persisten (2



58



sadapan berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris 20,2 mV mempunyai spesifitas tinggi untuk iskemia akut. Semua perubahan EKG yang tidak sesuai dengan kriteria EKG yang diagnostik dikategorikan sebagai perubahan EKG yang non-diagnostik. Rekaman EKG penting untuk membedakan IMA-EST dan SKA



Perekaman EKG harus dilakukan dalam 10 menit sejak kontak medis pertama. Bila bisa didapatkan, perbandingan dengan hasil EKG sebelumnya dapat sangat membantu diagnosis. Setelah perekaman EKG awal dan penatalaksanaan, perlu dilakukan perekaman EKG serial atau pemantauan terus-menerus. EKG yang mungkin dijumpai pada pasien IMA-NEST dan APTS antara lain: 1. Depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T; dapat disertai dengan elevasi segmen ST yang tidak persisten (1 jam. Jika biomarka jantung secara point of care testing menunjukkan hasil negatif maka pemeriksaan harus diulang di laboratorium sentral. (Perki, 2018)



2.7.5.5 Pemeriksaan Invatif (Angiografi Koroner) Pemeriksaan Invasif (angiografi koroner) Angiografi koroner memberikan informasi mengenai keberadaan dan tingkat keparahan PJK, sehingga dianjurkan segera dilakukan untuk tujuan diagnostik pada pasien dengan risiko tinggi dan diagnosis banding yang tidak jelas. Penemuan oklusi trombotik akut, misalnya pada arteri sirkumfleksa, sangat penting pada pasien yang sedang mengalami gejala atau peningkatan troponin namun tidak ditemukan perubahan EKG diagnostik. Pada pasien dengan penyakit pembuluh multipel dan pasien dengan stenosis arteri utama kiri yang memiliki risiko tinggi untuk kejadian kardiovaskular yang serius, angiografi koroner disertai perekaman EKG dan abnormalitas gerakan dinding regional seringkali memungkinkan identifikasi lesi yang menjadi penyebab. Penemuan angiografi yang khas antara lain eksentrisitas, batas yang ireguler, ulserasi, penampakkan yang kabur, dan filling defect yang mengesankan adanya trombus intrakoroner. (Perki, 2018)



2.7.5.6 Pemeriksaan Laboratorium Data laboratorium, di samping biomarka jantung, yang harus dikumpulkan di ruang gawatvdarurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak boleh menunda terapi CAD. (Perki, 2018) 61



2.7.5.7 Pemeriksaan Foto Polos Dada Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang gawat darurat untuk tujuan



pemeriksaan, maka foto polos dada harus dilakukan di



ruang gawat darurat dengan alat portabel. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membuat diagnosis banding, identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta. (Perki, 2018) Dengan mengintegrasikan



informasi



yang diperoleh dari anamnesis,



pemeriksaan fisik, elektrokardiogram, tes biomarka jantung, dan foto polos dada, diagnosis awal pasien dengan keluhan nyeri dada dapat dikelompokkan sebagai berikut: non-kardiak, angina stabil, kemungkinan CAD, dan definitif CAD. Kemungkinan CAD adalah dengan gejala dan tanda: 1. Nyeri dada yang sesuai dengan kriteria angina ekuivalen atau tidak seluruhnya tipikal pada saat evaluasi di ruang gawat-darurat. 2. EKG normal atau non-diagnostik, dan 3. Biomarka jantung normal.



2.7.6 Petanda Peningkatan Resiko 2.7.6.1 Pertanda Klinis Selain dari berbagai pertanda klinis yang umum seperti lanjut usia, adanya diabetes, gagal ginjal, dan penyakit komorbid lain, prognosis pasien dapat diperkirakan melalui presentasi klinis ketika pasien tiba. Adanya gejala saat istirahat memberikan prognosis yang buruk. Selain itu, nyeri yang berkelanjutan atau sering serta adanya takikardia, hipotensi, dan gagal jantung juga merupakan pertanda peningkatan risiko dan memerlukan diagnosis dan penanganan segera. (Perki, 2018)



2.7.6.2. Pertanda EKG Hasil EKG awal dapat memperkirakan risiko awal. Pasien dengan EKG yang normal saat tiba di RS memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan mereka dengan inversi gelombang T. Selain itu, adanya depresi segmen ST saat tiba, inversi gelombang T yang dalam di sadapan anterior, depresi segmen ST >0,1 mV atau >0,05 mV di >2 sadapan yang bersebelahan, dan elevasi segmen ST >0,1 mV di sadapan aVR memberikan prognosis yang lebih buruk. (Perki, 2018) 62



2.7.7 Tatalaksana Terapi Pengobatan Obat-obatan yang diperlukan dalam menangani CAD adalah: 2.7.7.1. Anti Iskemia 1. Penyekat Beta (beta blocker) Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya terhadap reseptor beta-1 yangmengakibatkan turunnya konsumsi oksigen miokardium. Terapi hendaknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan konduksi atrio-ventrikuler yang signifikan, asma bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel kiri. Pada kebanyakan kasus, preparat oral cukup memadai dibandingkan injeksi. Penyekat beta direkomendasikan pada APTS atau IMA-NEST, terutama jika terdapat hipertensi dan/atau takikardia, dan selama tidak terdapat kontraindikasi (Kelas I-B). Penyekat beta oral hendaknya diberikan dalam 24 jam pertama (Kelas I-B). Penyekat beta juga diindikasikan untuk semua pasien dengan disfungsi ventrikel kiri selama tidak ada kontraindikasi (Kelas I-B). Pemberian penyekat beta pada pasien dengan riwayat pengobatan penyekat beta kronis yang datang dengan CAD tetap dilanjutkan kecuali bila termasuk klasifikasi Killip >III (Kelas I-B). (Perki, 2018) Tabel penyekat beta



2. Nitrat Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan berkurangnya. preload dan volume akhir diastolik ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik yang normal maupun yang mengalami aterosklerosis.  Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase akut dari episode angina (Kelas I-C).



63



 Pasien dengan APTS/IMA-NEST yang mengalami nyeri dada berlanjut sebaiknya mendapat nitrat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali pemberian, setelah itu harus dipertimbangkan penggunaan nitrat intravena jika tidak ada kontraindikasi (Kelas I-C).  Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, gagal jantung, atau hipertensi dalam 48 jam pertama APTS/IMA-NEST. Keputusan menggunakan nitrat intravena tidak boleh menghalangi pengobatan yang terbukti menurunkan mortalitas seperti penyekat beta atau penghambat ACE (Kelas I-B).  Nitrat tidak diberikan kepada pasien dengan tekanan darah sistolik 30 mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat (140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik >90 mmHg. (Joint National Committe on Prevention Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure VII/ JNC-VIII, 2014). Hipertensi adalah salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas di Indonesia, sehingga tatalaksana penyakit ini merupakan intervensi yang sangat umum dilakukan diberbagai tingkat fasilitas kesehatan. Pedoman Praktis klinis ini disusun untuk memudahkan para tenaga kesehatan di Indonesia dalam menangani hipertensi terutama yang berkaitan dengan kelainan jantung dan pembuluh darah. (Perki, 2015).



69



2.7.8.2 Klasifikasi Hipertensi Hampir semua consensus/ pedoman utama baik dari dalam walaupun luar negeri, menyatakan bahwa seseorang akan dikatakan hipertensi bila memiliki tekanan darah sistolik 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik 90 mmHg, pada pemeriksaan yang berulang. Tekanan darah sistolik merupakan pengukuran utama yang menjadi dasar penentuan diagnosis hipertensi. Adapun pembagian derajat keparahan hipertensi pada seseorang merupakan salah satu dasar penentuan tatalaksana hipertensi (disadur dari A Statement by the American Society of Hypertension and the International Society of Hypertension 2013)



2.7.8.3 TATALAKSANA HIPERTENSI  Non farmakologis Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat menurunkan tekanan darah, dan secara umum sangat menguntungkan dalam menurunkan risiko permasalahan kardiovaskular. Pada pasien yang menderita hipertensi derajat 1, tanpa faktor risiko kardiovaskular lain, maka strategi pola hidup sehat merupakan tatalaksana tahap awal, yang harus dijalani setidaknya selama 4 - 6 bulan. Bila setelah jangka waktu tersebut, tidak didapatkan penurunan tekanan darah yang diharapkan atau didapatkan faktor risiko kardiovaskular yang lain, maka sangat dianjurkan untuk memulai terapi farmakologi. (Perki, 2015) Beberapa pola hidup sehat yang dianjurkan oleh banyak guidelines adalah :  Penurunan berat badan. Mengganti makanan tidak sehat dengan memperbanyak asupan sayuran dan buah-buahan dapat memberikan manfaat yang lebih selain penurunan tekanan darah, seperti menghindari diabetes dan dislipidemia.



70



 Mengurangi asupan garam. Di negara kita, makanan tinggi garam dan lemak merupakan makanan tradisional pada kebanyakan. daerah. Tidak jarang pula pasien tidak menyadari kandungan garam pada makanan cepat saji, makanan kaleng, daging olahan dan sebagainya. Tidak jarang, diet rendah garam ini juga bermanfaat untuk mengurangi dosis obat antihipertensi padal pasien hipertensi derajat ≥ 2. Dianjurkan untuk asupan garam tidak melebihi 2 gr/hari  Olah raga. Olah raga yang dilakukan secara teratur sebanyak 30 60 menit/ hari, minimal 3 hari/ minggu, dapat menolong penurunan tekanan darah. Terhadap pasien yang tidak memiliki waktu untuk berolahraga secara khusus sebaiknya harus tetap dianjurkan untuk berjalan kaki, mengendarai sepeda atau menaiki tangga dalam aktifitas rutin mereka di tempat kerjanya.  Mengurangi konsumsi alcohol. Walaupun konsumsi alcohol belum menjadi pola hidup yang umum di negara kita, namun konsumsi alcohol semakin hari semakin meningkat seiring dengan perkembangan pergaulan dan gaya hidup, terutama di kota besar. Konsumsi alcohol lebih dari 2 gelas per hari pada pria atau 1 gelas per hari pada wanita, dapat meningkatkan tekanan darah. Dengan demikian membatasi atau menghentikan konsumsi alcohol sangat membantu dalam penurunan tekanan darah.  Berhenti merokok. Walaupun hal ini sampai saat ini belum terbukti berefek langsung dapat menurunkan tekanan darah, tetapi merokok merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit kardiovaskular, dan pasien sebaiknya dianjurkan untuk berhenti merokok.  Terapi farmakologi Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada pasien hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darah. setelah 6 bulan menjalani pola hidup sehat dan pada pasien dengan hipertensi derajat > 2. Beberapa prinsip dasar terapi farmakologi yang perlu diperhatikan untuk menjaga kepatuhan dan meminimalisasi efek samping, yaitu : 



Bila memungkinkan, berikan obat dosis tunggal







Berikan obat generic (non-paten) bila sesuai danm mengurangi biaya dapat.



71







Berikan obat pada pasien usia lanjut ( diatas usia 80 tahun) seperti pada usia 55 80 tahun, dengan memperhatikan faktor komorbid







Jangan mengkombinasikan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-i) dengan angiotensin II receptor blockers (ARBS)







Berikan edukasi yang menyeluruh kepada pasien mengenai terapi farmakologi







Lakukan pemantauan efek samping obat secara teratur.



Algoritme tatalaksana hipertensi yang direkomendasikan berbagai guidelines memiliki persamaan prinsip, dan dibawah ini adalah algoritme tatalaksana hipertensi secara umum, yang disadur dari A Statement by the American Society of Hypertension and the International Society of Hypertension 2013;



72



 Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit Jantung Dan Pembuluh Darah Tatalaksana hipertensi pada pasien dengan penyakit jantung dan pembuluh darah



ditujukan pada



pencegahan



kematian,



infark miokard,



stroke,



pengurangan frekuensi dan durasi iskemia miokard dan memperbaiki tanda dan gejala. Target tekanan darah yang telah banyak direkomendasikan oleh berbagai studi pada pasien hipertensi dengan penyakit jantung dan pembuluh darah, adalah tekanan darah sistolik < 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik < 90 mmHg. (Perki, 2015) Seperti juga tatalaksana hipertensi pada pasien tanpa penyakit jantung koroner, terapi non farmakologis yang sama, juga sangat berdampak positif. Perbedaan yang ada adalah pada terapi farmakologi, khususnya pada rekomendasi obatobatnya. 1. Penyakit Jantung Koroner  Angina Pektoris Stabil 1) Betablocker Betablocker merupakan obat pilihan pertama dalam tatalaksana hipertensi pada pasien dengan penyakit jantung koroner terutama yang menyebabkan timbulnya gejala angina. Obat ini akan bekerja mengurangi iskemia dan angina, karena efek utamanya sebagai inotropik dan kronotropik negative. Dengan menurunnya frekuensi denyut jantung maka waktu pengisian diastolik untuk perfusi koroner akan memanjang. Betablocker juga menghambat pelepasan renin di ginjal yang akan menghambat terjadinya gagal jantung. Betablocker cardioselective (31) lebih banyak direkomendasikan karena tidak memiliki aktifitas simpatomimetik intrinsic.



2) Calcium Channel blocker (CCB) CCB akan digunakan sebagai obat tambahan setelah optimalisasi dosis betabloker, bila terjadi :  TD yang tetap tinggi  Angina yang persisten  Atau adanya kontraindikasi absolute pemberian dari betabloker



73



CCB bekerja mengurangi kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan resistensi vaskular perifer dan menurunkan tekanan darah. Selain itu, CCB juga akan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan efek vasodilatasi koroner. Perlu diingat, bahwa walaupun CCB berguna pada tatalaksana angina, tetapi sampai saat ini belum ada rekomendasi yang menyatakan bahwa obat ini berperan terhadap pencegahan terjadinya kardiovaskolar pada pasien dengan penyakit jantung koroner.



3) ACE inhibitor (ACEI) Penggunaan ACEi pada pasien penyakit jantung koroner yang disertai diabetes mellitus dengan atau tanpa gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri merupakan pilihan utama dengan rekommendasi penuh dari semua. guidelines yang telah dipublikasi. Pemberian obat ini secara khusus sangat bermanfaat pada pasien jantung koroner dengan hipertensi, terutama dalam pencegahan kejadian kardiovaskular. Pada pasien hipertensi usia lanjut (> 65 tahun), pemberian ACEi juga direkomendasikan, khususnya setelah dipublikasikannya 2 studi besar yaitu ALLHAT dan ANBP-2. Studi terakhir menyatakan bahwa pada pasien hipertensi pria berusia lanjut, ACEI memperbaiki hasil akhir kardiovaskular bila dibandingkan dengan pemberian diuretic, walaupun kedua obat memiliki penurunan tekanan darah yang sama.



4) Angiotensin Receptor Blockers (ARB) Indikasi pemberian ARB adalah pada pasien yang intoleran terhadap ACEI. Beberapa penelitian besar, menyatakan valsartan dan captopril memiliki efektifitas yang sama pada pasien paska infark miokard dengan risiko kejadian kardiovaskular yang tinggi.



5) Diuretik Diuretik golongan tiazid, akan mengurangi risiko kejadian kardiovaskular, seperti yang telah dinyatakan beberapa penelitian terdahulu, sepertiVeterans Administrations Studies, MRC dan SHEP.



74



6) Nitrat Indikasi pemberian nitrat kerja panjang adalah untuk tatalaksana angina yang belum terkontrol dengan dosis betablocker dan CCB yang adekuat pada pasien dengan penyakit jantung koroner. Tetapi sampai saat ini tidak ada data yang menyatakan penggunaan nitrat dalam tatalaksana hipertensi, selain dikombinasikan dengan hidralizin pada kasus-kasus tertentu.



 Angina pectoris tidak stabil / Infark miokard non elevasi segmen ST (IMA-NST) Dasar dari tatalaksana hipertensi pada pasien dengan sindroma koroner akut adalah perbaikan keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, setelah inisiasi terapi antiplatelet dan antikoagulan. Walaupun kenaikan tekanan darah dapat meningkatkan kebutuhan oksigen miokard, tetapi harus dihindari penurunan tekanan darah yang terlalu cepat terutama tekanan 75



diastolik, karena ini dapat mengakibatkan penurunan perfusi darah ke koroner dan juga suplai oksigen, sehingga akan memperberat keadaan iskemia. Tatalaksana awal meliputi tirah baring, monitor EKG dan hemodinamik, oksigen, nitrogliserin dan bila angina terus berlanjut dengan pemdapat diberikan morfin sulfat. Perlu diingat bahwa pemberian nirat selama angka panjang tidak direkomendasikan oleh berbagai guidelines sampai saat ini.



Hipertensi berat dan edema pulmonal akut Pasien dengan kondisi hipertensi berat dengan edema pulmonal akut dapat disertai juga dengan peningkatan biomarker enzim jantung, sehingga jatuh dalam kelompok sindromakoroner akut. Terapi awal yang direkomendasikan pada pasien dengan kondisi ini meliputi furosemide, ACEI dan nitrogliserin (IV) dan selanjutnya dapat ditambahkan obat lain dibawah pengawasan yang ketat. Bila presentasi utama pasien adalah iskemia atau takikardia, maka dianjurkan untuk pemberian betabocker dan nitroglycerin (IV). Tekanan darah harus diturunkan sesegera mungkin, dengan monitor ketat pada kondisi iskemia dan serebral (25% dari Mean aterial Pressurepada 1 jam I, dan bertahap selama 24 jam mencapai target tekanan darah sistolik yang diinginkan)



76



2.7.9 Dislipidemia Dislipidemia disebabkan oleh terganggunya metabolisme lipid akibat interaksi faktor genetik dan faktor lingkungan. Walau terdapat bukti hubungan antara kolesterol total dengan kejadian kardiovaskular, hubungan ini dapat menyebabkan kesalahan interpretasi di tingkat individu seperti pada wanita yang sering mempunyai konsentrasi kolesterol HDL yang tinggi. Kejadian serupa juga dapat ditemukan pada subjek dengan DM atau sindrom metabolik di mana konsentrasi kolesterol HDL sering ditemukan rendah. Pada keadaan ini, penilaian risiko hendaknya mengikutsertakan analisis berdasarkan konsentrasi kolesterol HDL dan LDL. (Perki, 2013) Terdapat



bukti



kuat



hubungan



antara kolesterol



LDL dengan



kejadia



kardiovaskular berdasarkan studi luaran klinis sehingga kolesterol LDL merupakan target utama dalam tatalaksana dislipidemia. Kolesterol HDL dapat memprediksi kejadian kardiovaskular bahkan pada pasien yang telah diterapi dengan statin¹0 tetapi studi klinis tentang hubungan peningkatan konsentrasi kolesterol HDL dengan proteksi kardiovaskular tidak meyakinkan.14 Bila target kolesterol LDL sudah tercapai, peningkatan kolesterol HDL tidak menurunkan risiko kardiovaskular berdasarkan studi klinis yang ada.¹3 Peran peningkatan konsentrasi TG sebagai prediktor terhadap penyakit. kardiovaskular masih menjadi perdebatan. Hubungan antara TG puasa dengan 77



risiko kardiovaskular yang didapat berdasarkan analisis univariat melemah setelah dilakukan penyesuaian terhadap faktor lain terutama kolesterol HDL. Konsentrasi TG yang tinggi sering disertai dengan konsentrasi kolesterol HDL rendah dan konsentrasi small, dense LDL yang tinggi sehingga diperkirakan pengaruh hipertrigliseridemia terhadap risiko kardiovaskular secara tidak langsung disebabkan oleh konsentrasi kolesterol HDL rendah dan konsentrasi small, dense LDL tinggi. 15 Beberapa penelitian melaporkan konsentrasi TG tidak puasa memprediksi risiko penyakit kardiovaskular lebih baik dari konsentrasi puasa17 tetapi mengingat sampai saat ini masih diperdebatkan penggunaannya pada praktek klinis maka TG yang dipakai untuk prediksi kejadian kardiovaskular adalah TG yang diperiksa saat puasa. (Perki, 2013) Beberapa jenis dislipidemia campuran yang berhubungan dengan terbentuknya lipid aterogenik dapat menimbulkan penyakit kardiovaskular prematur. Termasuk di sini adalah meningkatnya kolesterol VLDL yang dimanifestasikan dengan peningkatan TG. meningkatnya small, dense LDL, dan berkurangnya kolesterol HDL. Kolesterol VLDL berkorelasi tinggi dengan lipid aterogenik sehingga masuk akal untuk digunakan dalam memprediksi risiko kardiovaskular bersama dengan kolesterol LDL. Jumlah kolesterol LDL, VLDL, dan IDL disebut sebagai kolesterol non-HDL yang pada dasarnya adalah lipid yang mengandung apoB. Mengingat dalam praktek klinis kolesterol IDL masuk ke dalam pengukuran kolesterol LDL maka konsentrasi kolesterol non-HDL besamya sama dengan penjumlahan kolesterol VLDL dan LDL. Dalam prakteknya, kolesterol non-HDL dihitung dengan mengurangkan kolesterol HDL terhadap kolesterol total (Kolesterol non-HDL = Kolesterol Total - Kolesterol HDL). Konsentrasi kolesterol non-HDL berkorelasi kuat dengan konsentrasi apoB. Walau tidak ditujukan sebagai target. terapi primer, berbagai studi luaran klinis memeriksa apoB bersama dengan kolesterol LDL. Berbagai studi prospektif menunjukkan apoB mampu memprediksi risiko kardiovaskular lebih baik dari kolesterol LDL terutama pada keadaan di mana terdapat hipertrigliseridemia yang menyertai DM, sindrom metabolik, dan PGK. (Perki, 2013)



2.7.9.1 Intervensi Gaya Hidup Untuk Memperbaiki Profil Lipid  Diet Diet yang dapat dipakai untuk menurunkan kolesterol LDL adalah diet asam lemak tidak jenuh tunggal (Monounsaturated Fatty Acid) merupakan asam lemak yang mudah di cerna, dan asam lemak tidak jenuh ganda 78



(Polyunsaturated Fatty Acid) yaitu lemak yang mengandung lebih dari satu ikatan rangkap. Karens faktor diet yang paling berpengaruh terhadap peningkatan konsentrasi kolesterol Low density lipoprotein (LDL) adalah asam lemak jenuh. Penururunan jolesterol LDL yang diakibatkan oleh diet PUFA lebih besar dibandingkan dengan diet MUFA atau diet rendah karbohidrat. (Perki, 2013)  Aktivitas Fisik Tujuan melakukan aktivitas fisik secara teratur adalah mencapai berat badan ideal, mengurangi risiko terjadinya sindrom metabolik, dan mengontrol faktor risiko PJK. Pengaruh aktivitas fisik terhadap parameter lipid terutama berupa penurunan TG dan peningkatan kolesterol HDL. Olahraga aerobik dapat menurunkan konsentrasi TG sampai 20% dan meningkatkan konsentrasi kolesterol HDL sampai 10%.57.58 Sementara itu, olahraga resisten hanya menurunkan TG sebesar 5% tanpa pengaruh terhadap konsentrasi HDL.59,60 Efek penurunan TG dari aktivitas fisik sangat tergantung pada konsentrasi TG awal, tingkat aktivitas fisik, dan penurunan berat badan.61-63 Tanpa disertai diet dan penurunan berat badan, aktivitas fisik tidakberpengaruh terhadap kolesterol total dan LDL. (Perki, 2013)  Penurunan Berat Badan Indeks Masa Tubuh dan lingkar pinggang dipakai sebagai ukuran untuk menilai obesitas umum dan obesitas abdominal. Baik obesitas umum maupun obesitas abdominal berhubungan dengan risikokematian. Konsep obesitas terutama dihubungkan dengan konsep sindrom metabolik. Untuk semua pasien dengan kelebihan berat badan hendaknya diusahakan untuk mengurangi 10% berat badan. Walaupun ukuran antropometri lain seperti lingkar pinggang atau rasio pinggul terhadap pinggang dapat menambah informasi, IMT sendiri adalah prediktor kuat untuk mortalitas secara keseluruhan. Lingkar pinggang normal untuk Asia adalah