LAPORAN TUTORIAL Kel 6B SKENARIO 2 (Blok 5.2) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 2 BLOK 5.2 HEMATOLOGI DAN IMUNOLOGI Kelompok 6 B



Triyan Ihza Mahendra



G1A117109



Maya Vella Pontia



G1A117110



Ikhsan Rofi Putra



G1A117113



Ilza Rohadatul Aysi



G1A117114



Aisy Savira Anizar



G1A117115



Resti Tri Arini



G1A117116



Muhammad Dhandy Ardhisyah



G1A117117



Almas Dwi Anggena



G1A117118



Dosen Pengampu : dr. Citra Maharani



Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi Tahun Ajaran 2019/2020



SKENARIO Seorang anak N , perempuan , usia 12 tahun dibawa ayahnya ke IGD RS Raden Mattaher dengan keluhan muntah-muntah sejak 2 jam SMRS. Pasien sebelumnya mengkonsumsi udang dan kerang yang dibelikan ayahnya. Setelah mengkonsumsi makanan tersebut pasien tiba-tiba merasa pusing dan lemas kemudian muntah-muntah. Timbul kemerahan dan bentol di wajah dan badan. Pasien segera dilarikan ke RS oleh ayahnya. Pemeriksaan fisik : Keadaan umum : tampak gelisah , teragitasi. Tanda vital : frekuensi nadi 130x / menit, frekuensi napas 36x / menit, suhu 37,5o C , tekanan darah 90/70 mmHg. Kepala dan wajah : mesosefal, pembengkakan jaringan di sekitar kelopak mata dan bibir . Thorax : jantung : bunyi jantung I-II normal, bising (-) , gallop (-). Paru : vesikuler , ronkhy (-) , mengi (-). Abdomen : supel, bising usus meningkat, tidak teraba massa, turgor kembali lambat. Ekstremitas : akral dingin , erupsi kulit berbatas tegas , kemerahan Apa yang terjadi pada anak N tersebut? Pemeriksaan tambahan: BB = 35, TB = 135 , darah rutin : Hb : 11 gr/dl , Ht = 35%, leukosit : 14.000/mm 3, trombosit: 350.000/mm3, hitung jennies 0/10/23/35/32/0 , LED = 9 mm/jam , urin rutin : macros warna kuning pekat, micros white blood cell (-) , protein (-), leukosit esterase (-) .



KLARIFIKASI ISTILAH 1. Teragitasi



: gelisah1



2. Mesosefal



: suatu ukuran kepala dalam batas ukuran yang normal atau simetris1



3. Turgor



: keadaan yang menyebabkan non elastis (turgid)1



4. Supel



: tidak ada kelainan atau normal1



5. Gallop



: irama jantung dimana terdengar S3 atau S4 secara jelas pada fase dyastolik1



6. Erupsi



: suatu lesi pada kulit akibat pengikisan karena penyakit tertentu.1



IDENTIFIKASI MASALAH 1. Penyakit apa saja yang ditandai dengan keluhan muntah? 2. Bagaimana mekanisme muntah ? 3. Apa hubungan keluhan pasien dengan usia pasien? 4. Apa hubungan makanan yang dimakan dengan keluhan yang dialami pasien? 5.



Bagaimana patogenesis dari setiap keluhan?



6. Bagaimana alur diagnosis syok anafilaksis dan reaksi alergi ? 7. Apa interpretasi pemeriksaan fisik dari anak N? 8. Apa interpretasi dari pemeriksaan penunjang? 9. Apa saja diagnosis banding dari keluhan? 10. Apa diagnosis sementara penyakit anak N? 11. Bagaimana etiologi penyakit anak N? 12. Bagaimana patofisiologi penyakit anak N? 13. Bagaimana tatalaksana syok dan alergi? 14. Bagaimana komplikasi dan prognosis penyakit pada anak N?



CURAH PENDAPAT 1. Penyakit apa saja yang ditandai dengan keluhan muntah? Jawab : Obstruksi saluran cerna a. Apendisitis b. Tonsilofaringitis c. Intusepsi d. keracunan makanan 2. Bagaimana mekanisme muntah ? Jawab : Terdapat 3 tahap yaitu a. Mual



: Mual, dapat dijelaskan sebagai perasaan yang tidak enak di belakang tenggorokan dan epigastrium yang dapat menyebabkan muntah.



b. Retching



: Gerakan pernafasan spasmodik melawan glotik dan gerakan inspirasi dinding dada.



c. Muntah



: Terjadi refleks yang menyebabkan dorongan ekspulsi isi lambung atau usus ke mulut.



Dapat juga terjadi karena, inspirasi dalam  mengangkat os hyodeus dan laring untuk mendorong sfringter esofageal terbuka  menutup glotis  mengangkat palatum molle untuk menutup nares posterior  kontraksi kuat diafragma dan otot dinding abdomen  tekanan meningkat  sfingter esofagus bagian bawah relaksasi  pengeluaran isi lambung. 3. Apa hubungan keluhan pasien dengan usia pasien? Jawab : Karena pada anal-anak sel-sel imunitas pada saluran pencernaanya belum sempurna (immatur)  anak-anak mudah terpajan allergen.3 4. Apa hubungan makanan yang dimakan dengan keluhan yang dialami pasien? Jawab :



Pada kasus, An. N mengalami reaksi alergi akibat makanan yang dia makan. Kerang yang dia makan mengandung protein yang menginduksi pelepasan histamin dan leukotrien pada sel mast dan basofil. Histamin tersebut menyebabkan beberapa respon dalam tubuh An. N. 5. Bagaimana patogenesis dari setiap keluhan? Jawab : Karena adanya efek dari histamin. Muntah-muntah : reaksi histamine  spasmeusus  peningkatan peristaltic usus akibat obstruksi makanan. Kemerahan dan bentol di wajah dan badan : histamine  vasodilatasi pembuluh darah. Pembengkakan disekitar mata dan bibir : reaksi histaminn  meningkatnya permeabilitas pembuluh darah  disebut angioedema Akral dingin vasodilatasi  hipoperfusi jaringan  kompensasi dari system kardiovaskular  akral dingin pada ekstremitas. 6. Bagaimana alur diagnosis syok anafilaksis dan reaksi alergi ? Jawab : Diagnosis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis gejala yang dialami dan kemungkinan alergen penyebab, pemeriksaan fisik untuk melihat gejala alergi yang tampak, dan apabila masih terdapat keraguan harus dilakukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang tersebut dapat dilakukan secara in vivo ataupun in vitro. 7. Apa interpretasi pemeriksaan fisik dari anak N? Jawab : Hasil dan interprertasi : Nadi 130 x/ menit



: takikardi



TD 90/ 70 mmHg



: hipotensi



RR 36x menit



: takipneu



KU



: teragitasi



Edema pada mata dan bibir



: abnormal



Abdomen : bising usus meningkat , turgor lambat



: kelainan



Ekstremitas



: akral dingin : tanda syok



Erupsi kulit batas tegas kemerahan



: tanda dehidrasi



8. Apa interpretasi dari pemeriksaan penunjang? Jawab : a. BB : 35 kg b. TB : 135 cm c. Darah rutin 1) Hb : 11 gr/dl (normal, pada anak 11-13 gr/dl) 2) Ht : 35% (normal, pada anak 33-38%) 3) Leukosit : 14000/mm3 (leukositosis, normal pada anak : 9000-



12000/mm3 ) 4) Trombosit : 350000/mm3 (normal : 150000-400000/mm3 )



d. Hitung jenis leukosit 0 / 10 / 23 / 35 / 32 / 0 e. LED (laju endap darah) : 9 mm/jam (normal) f. Urin rutin 1) Macros warna kuning pekat (normal) 2) Micros white blood cell (-) (normal) 3) Protein (-) 4) Leukosit esterase (-) : tidak terdapat leukosit dalam urin 9. Apa saja diagnosis banding dari keluhan? Jawab : a. Reaksi alergi b. Syokan afilaktik c. Intoleransi Makanan 10. Apa diagnosis sementara penyakit anak N? Jawab :



Diagnosis sementara yang dapat ditegakkan adalah Syok Anafilaktik et causa Alergi makanan. 11. Apa etiologi penyakit anak N? Jawab : a. Etiologi anafilaksis Anafilaksis dapat dicetuskan oleh berbagai hal. Makanan merupakan pencetus anafilaksis yang paling sering terjadi pada anak-anak, remaja dan dewasa muda. Sedangkan obat-obatan dan gigitan serangga merupakan pencetus terjadinya anafilaksis pada dewasa sedang dan orang tua. Anafilaksis idiopatik juga sering terjadi pada dewaasa muda dan orang dewasa. b. Etiologi alergi 1. Genetik 2. Reaksi hipersensitivitas a) Reaksi tipe I b) Reaksi tipe II c) Reaksi tipe III d) Reaksi tipe IV Pada kasus ini, anak N mengalami reaksi hipersensitivitas tipe I. Pada reaksi Tipe I, allergen yang masuk kedalam tubuh menimbulkan respons imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rhinitis alergi, asma dan dermatitis atopi. Urutan kejadian reaksi Tipe I adalah sebagai berikut : 1. Fase Sensitisasi 2. Fase Aktivasi 3. Fase Efektor 12. Bagaimana patofisiologi penyakit anak N? Jawab : 1. Pajanan antigen/ allergen 2. Respon Pembentukan igE



3. Terikat igE ke sel mast 4. Terpapar ulang dengan allergen sama 5. Interaksi ig E spesifik di sel mast 6. Pelepasan mediator di sel mast 7. Efek mediator pada berbagai organ 13. Bagaimana tatalaksana syok dan alergi ? Jawab : Terapi yang dilakukan pertama kali kepada pasien ini adalah terapi keluhan utamanya misalkan di keluhkan sesak nafas bisa kita berikan oksigen, kemudian setelah itu bisa di berikan terapi farmakologi seperti epinefrin untuk syok anafilaktik. Untuk reaksi alergi ringan bisa di berikan antihistamin4,5 14. Bagaimana komplikasi dan prognosis penyakit pada anak N? Jawab : a. Komplikasi Gejala syok anafilaktik bias berkembang sangat cepat, sehingga menyebabkan detak jantung atau pernapasan terhenti. Syok anafilaktik juga dapat mengakibatkan komplikasi berupa gagal ginjal, aritmia, serangan jantung, kerusakan otak, dan syok kardiogenik. b. Prognosis Prognosis pada penderita reaksi anafilaksis biasanya baik jika telah mendapat pengobatan yang adekuat.



ANALISIS MASALAH 1. Penyakit apa saja yang ditandai dengan keluhan muntah? Jawab2 : Non organic a. Anchietas / ketakutan



a. GI tract :



Organic



b. Mabuk perjalanan



obstruksi: intususepsi, obstruksi usus



c. Psikis/ sugesti



non obstruksi : apendiksitis



d. Aerofagi



b. Diluar GI tract : tonsilofaringitis, OMA,



e. Obat/racun



pertusis, pyelonefritis, torsio testis, asidosis, uremia, ‘inborn errors of metabolism’ c. SSP : peningkatan tekanan intracranial,



hidrosefalus, epilepsy perut 2. Bagaimana mekanisme muntah? Jawab10 : a. Retching dapat terjadi tanpa diikuti muntali. Pada fase retching terjadi kekejangan danterhentinya pemafasan yang berulang-ulang, sementara glotis



tertutup.



Otot



pemafasan



dandiafragma



berkontraksi



menyebabkan tekanan intratorakal menjadi negatif. Pada waktu yangbersamaan terjadi kontraksi otot abdomen dan lambung, fundus dilatasi sedangkan antrum danpilorus berkontraksi. Sfingter esofagus bawah membuka, tetapi sfingter esofagus atas masihmenutup menyebabkan chyme masuk ke dalam esofagus. Pada akhir fase retching, terjadirelaksasi otot dinding perut dan lambung sehingga chyme yang tadinya sudah masuk ke dalamsofagus kembali ke lambung. Fase ini dapat berlangsung beberapa siklus b. Fase Ekspulsif ( muntah ) Apabila retching mencapai puncaknya dan didukung oleh kontraksi otot abdomen dandiafragma, akan berlanjut menjadi muntah jika tekanan tersebut dapat mengatasi mekanisme antirefluks dari Lower Esophagus sphingter (LES). Pada fase ckspulsi ini pilorus dan antrumberkontraksi sedangkan fundus dan esofagus relaksasi serta mulut terbuka. Pada fase ini jugaterjadi perubahan tekanan intratorakal dan intraabdoininal serta kontraksi dari diafragma. Padaepisode ckspulsi tunggal terjadi tekanan negatif intratorakal dan



tekanan positif intraabdominal,dan dalam waktu bersamaan terjadi kontraksi yang cepat dari diafragma yang menekan fundussehingga terjadi refluks isi lambung ke dalam esofagus. Bila ekspulsi sudah terjadi, tekanan intratorakal kembali positif dan diafragma kembali ke posisi normal c. Neuroanatomi yang mengatur muntah Neuroanatomi yang mengatur muntahMuntah sebenarnya merupakan perilaku yang komplek, dimana pada manusia muntahterdiri dari 3 aktivitas yang terkait, nausea (mual), retching, pengeluaran isi lambung. Ada 2 regioanatomi di medulla yang mengontrol muntah, 1) chemoreceptor trigger zone (CTZ) dan centralvomiting centre (CVC). CTZ yang terletak di area postrema pada dasar ujung caudal ventrikel IVdiluar blood brain barrier (sawar otak). Reseptor didaerah ini diaktivasi oleh bahanbahanproemetik didalam sirkulasi darah atau di cairan cerebrospinal (CSF). Eferen dari CTZ dikirim keCVC selanjutnya terjadi serangkaian kejadian yang dimulai melalui vagal eferen splanchnic.CVC terletak dinukleus tractus solitarius dan disekitar formatio retikularis medulla tepat dibawah CTZ. CTZ mengandung reseptor reseptor untuk bermacam-macam



senyawa



neuroaktif



yangdapat



menyebabkan



muntah. Reseptor untuk, dopamine ( titik tangkap kerja dari apomorphine ),acethylcholine, vasopressine, enkephalin, angiotensin, insulin serotonin, endhorphin, substance P,dan mediator-mediator yang lain.



Mediator



adenosine



3',5'



cyclic



monophosphate



(cyclic



AMP)mungkin terlibat dalam respon eksitasi untuk semua peptide stimulator oleh karena theophylline dapat menghambat aktivitas proemetik dari bahan neuropeptic tersebut.Emesis sebagai respons terhadap



gastrointestinal



iritan



misalnya



copper,



radiasi



abdomen,dilatasi gastrointestinal adalah sebagai akibat dari signal aferen vagal ke central pattern generatoryang dipicu oleh pelepasan lokal mediator inflamasi, dari mukosa yang rusak, dengan pelepasan sekunder neurotransmitters eksitasi yang paling penting adalah serotonin dari sel entrochromaffin mukosa. Pada mabuk (motion sickness), signal aferen ke central pattern generator berasal dari organ vestibular, visual cortex, dan cortical centre yang lebih tinggi sebagai



sensory input yang terintegrasi lebih penting dari pada aferen dari gastrointestinal. Rangsangan muntah berasal dari, gastrointestinal, vestibulo ocular, aferen cortical yang lebih tinggi, yang menuju CVC dan kemudian dimulai nausea, retching, ekpulsi isi lambung.Gejala gastrointestinal meliputi peristaltik, salivasi, takhipnea, tachikardia. 3. Apa hubungan keluhan pasien dengan usia pasien? Jawab : Pada anak N dengan usia 12 tahun, dia mengalami masa pertumbuhan sehingga sel-sel imunitas anak mengalami immaturasi ( belum berkembang ) pada saluran Pencernaan. Jadi saat anak terpajan suatu allergen , anak tersebut akan mudah tersensitisasi yang mengakibatkan imunitasnya merespon dan akan mengaktifkan antibody sehingga terjadi reaksi hipersensitifitas pada saluran cerna anak 12 tahun.4 4. Apa hubungan makanan yang dimakan dengan keluhan yang dialami pasien? Jawab16,17 : An. N mengalami reaksi alergi akibat makanan yang diamakan. Kerang yang diamakan mengandung protein yang menginduksi pelepasan histamin dan leukotrien pada sel mast dan basofil. Histamin tersebut menyebabkan beberapa respon dalam tubuh An. N. Alergi udang merupakan reaksia tipikal yang terjadi akibat system kekebalan tubuh keliru dalam menanggapi protein yang terkandung dalam udang atau makanan laut lainnya sebagai suatu ancaman. Reaksi atipikal atau alergi ini pun bervariasi, mulai dari munculnya ruam kulit, kesulitan bernapa sehingga gejala berat yang mengancam nyawa. Penyebab utama timbul nya reaksi alergi udang ini tentunya karena mengonsumsi menu olahan udang atau produk – produk olahan berbahan dasar udang seperti kerupuk udang atau terasi udang. Respons ivitas system kekebalan tubuh yang berlebihan terhadap protein udang, menyebabkan pelepasan histamin dan zat lainnya yang memicu timbulnya reaksi alergi. Gejala alergi udang biasanya berkembang dalamwaktu yang sangat singkat hingga sekitar satu jam setelah mengonsumsi udang atau produk olahannya. Gejala yang mungkin terjadi antara lain seperti: Munculnya ruam merah dan gatal di kulit. Gatal di dalam rongga mulut. Sakit perut, mual, muntah dan diare. Sakit kepala atau pusing. Hidung tersumbat. Mengi atau



sesak napas. Kesulitan menelan. Bengkak pada bibir, lidah, wajah dan bagian tubuh lainnya. Timbulnya penyakit eksim (dermatitis atopik). Selain itu, alergi udang juga dapat memicu respons anafilaksis, yakni suatu reaksi alergi berat yang dapat mengancam nyawa. 5. Bagaimana patogenesis dari setiap keluhan? Jawab4 : Pada kasus, pasien mengalami reaksi alergi akibat makanan yang dia makan. Makanan yang mengandung allergen tersebut akan masuk kedalam saluran pencernaan dan akan diserap melalui plaque payeri usus halus sampai ke sentral germinal plaque payeri.selanjutnya allergenakan diikat oleh sel dendritik dan sel langerhans lalu berrmigrasi ke saluran limfe. Melalui saluran limfe, allergen tadi akan dialirkan ke seluruh organ tubuh. Ini yang akan menyebabkan respon alergi pada hampir seluruh tubuh.Allergen tersebut akan berikatan dengan IgE yang menginduksi pelepasan histamine dari sel mast dan basofil.histamine pada setiap organ tubuh akan bereaksi bergantung tempatnya. Reaksi yang disebabkan oleh histamin yaitu : a. Muntah-muntah terjadi karena adanya reaksi histamine yang kemudian menyebabkan spasme usus yang menimbulkan terjadinya efek respon peningkatan peristaltic usus akibat obstruksi makanan. b. Kemerahan dan bentol di wajah dan badan dimana histamine akan menginduksi terjadinya vasodilatasi pembuluh darah. Efek dari dilatasi pembuluh darah pada kulit inilah yang menyebabkan terjadinya kemerahan pada kulit, pruritus akibat histamine sampai terjadinya urtikaria (lesi pada kulit seperti benjolan pada lapisan atas kulit) dan angioderma (pembengkakan pada lapisan subkutan, biasanya pada daerah mulut dan mata) c. Pembengkakan disekitar mata dan bibir terjadi karena histamin menyebabkan meningatnya permeabilitas pembuluh darah. Peningkatan ini akan mengakibatkan edema yang biasa disebut angioedema d. Akral dingin akibat vasodilatasi yang menyebabkan hipoperfusi jaringan .hal ini akan menginduksi efek kompensasi dari sistem kardiovaskular



sepertipeningkatan aktivitas simpatis yang menyebabkan vasokontriksi perifer. Hal ini akan menimbulkan -> akral dingin pada ekstremitas. 6. Bagaimana alur diagnosis syok anafilaksis dan reaksi alergi ? Jawab3 : A. Anamnesis a. Identitas pasien 1. Nama : An. N 2. Umur : 12 tahun 3. Jenis kelamin : Perempuan B. Keluhan utama : Muntah-muntah sejak 2 jam SMRS C. Riwayat penyakit sekarang : 1. Merasa pusing 2. Cepat merasa lelah 3. Rambut rontok, pasien merasa silau dan pusing jika terkena sinar matahari dan cahaya lampu yang terang 4. Kemerahan dan bentol di wajah dan badan 5. Timbulnya bercak merah pada ekstremitas D. Riwayat penyakit dahulu : tidak ada keterangan E. Riwayat penyakit keluarga : Tidak ada keterangan F. Riwayat sosial dan kebiasaan : Tidak ada keterangan a. Pemeriksaan fisik 1) Inspeksi : a. Ditemukan perubahan warna kulit di wajah berupa bercak merah b. Turgor kulit melambat c. Pembengkakan jaringan di sekitar kelopak mata dan bibir d. Akral ekstremitas dingin e. Erupsi kulit berbatas tegas 2) Pemeriksaan tanda vital a. Nadi 130 x/ menit



: takikardi



b. TD 90/ 70 mmHg



: hipotensi



c. RR 36x menit



: takipneu



b. Pemeriksaan penunjang 1. Serologi seperti ANA, anti-dsDNA, complemen serum 2. darah rutin :



a) Hb



: 11 gr/dl



b) Ht



:35%



c) Leukosit



: 14.000/mm3



d) trombosit



: 350.000/mm3



e) hitung jenis



0/10/23/35/32/0



f)



LED = 9 mm/jam urin rutin : macros warna kuning pekat



a. Uji kulit ( skin test ) Apabila dicurigai adanya reaksi dengan perantara igE, maka uji tusuk kulit ( prick test/ puncture skin test = PST ) dan RAST merupakan metode yang berguna untuk menetapkan apakah pasien mempunyai antibody igE terhadap sesuatu makanan yang spesifik. Uji uji ini dapat menunjukan adanya igE allergen spesifik tetapi tidak dapat menetapkan diagnosis dari alergi makanan klinis. b. Uji serologi Karena banyaknya mekanisme imun yang terlibat dalam pathogenesis alergi, berbagai



uji



imunologis



yang



berbeda



sering



digunakan



dalam



mengidentifikasikan reaksi alergik walaupun hanya sebagian kecil saja dari uji ini yang benar-benar dapat dipakai dalam menunjang diagnosis alergi. c. Uji RAST ( Radio- allergosorbent test ) RAST dan esai in vitro yang serupa, termasuk ELISA untuk mendeteksi antibody igE spseifik makanan dapat dipakai pula untuk skrining pasien-pasien yang dicurigai menderita alergi makanan dengan perantara igE. d. RIFT ( Red cell immunosorbent fluorescent technique ) Antibody igG serum spesifik terhadap suati antigen makanan yang sering ditemukan lebih merupakan indikasi dari adanya suatu paparan dibandingkan sensitisasi. Uji ini terutama berguna bagi reaksi alergi pertengahan dan lambat dan tidak berguna bagi reaksi cepat. e. Uji histamine plasama Uji pelepasan histamine basofil dan uji pelepasan histamine sel mast pada umunya hanya dilakukan untuk tujuan penelitian. f.



Double Blind Placebo Control Food Challenge



Provokasi double blind placebo control food challenge (DBPCFC) adalah pemeriksaan baku emas untuk menegakkan diagnosis alergi makanan. Provokasi makanan dapat dilakukan secara terbuka, single-blinded (pasien tidak mengetahui makanan yang diberikan), atau double-blinded (pasien, dokter dan stafnya tidak



mengetahui makanan yang diberikan). Ke- untungan pada double-blinded, dapat mengurangi angka positif palsu. Lima puluh persen uji provokasi terbuka yang memberikan hasil positif bila diulangi dengan cara DBPCFC akan memberikan hasil negatif. Sebaliknya bila uji provokasi terbuka negatif akan memastikan bahwa alergi terhadap makanan tersebut dapat disingkirkan. Pada umumnya dikerjakan terlebih dahulu provokasi terbuka, bila hasilnya positif baru dilanjutkan dengan DBPCFC. Bock dan Sampson melaporkan bahwa pada uji DBPCFC terdapat 1,8% dan 4,6% hasil negatif palsu disebabkan dosis yang kurang dan terdapat gejala kontak dermatitis, sedangkan hasil positif palsu sangat kecil 0,5-0,9%. Pemilihan untuk melakukan provokasi terbuka atau tertutup tergantung dari beberapa faktor-klinis. Provokasi terbuka sebaiknya dilakukan pada makanan yang kemungkinan sangat kecil akan memberikan hasil positif misalnya uji kulit negatif dan pada anamnesis dugaan sangat kecil serta pada pasien yang uji kulit positif terhadap beberapa jenis makanan sedangkan anamnesis tidak me- nyokong. Pada provokasi terbuka, setiap bentuk makanan dapat diberikan asalkan dapat diukur jumlahnya. Dimulai dengan dosis sangat kecil dan dinaikkan bertahap sampai jumlah dosis yang memberikan gejala tercapai dalam waktu 1 jam. Pada anak kecil sebaiknya makanan tersebut berupa jus buah dengan rasa yang disenanginya. Provokasi secara DBPCFC sebaiknya dilakukan pada pasien yang sangat mungkin alergi terhadap makanan tersebut seperti pada telur, susu dan kacang ,dengan uji kulit positif dan disertai dermatitis atopik. Pada provokasi DBPCFC makanan tersangka dibuat bubuk dan di- masukkan ke dalam kapsul serta plasebo juga dimasukkan kedalam kapsul yang serupa. 7. Apa interpretasi pemeriksaan fisik dari anak N? Jawab6 : Hasil dan interprertasi : Nadi 130 x/ menit



: takikardi



TD 90/ 70 mmHg



: hipotensi



RR 36x menit



: takipneu



KU



: teragitasi



Edema pada mata dan bibir



: abnormal



Abdomen : bising usus meningkat , turgor lambat



: kelainan



8.



Ekstremitas



: akral dingin : tanda syok



Erupsi kulit batas tegas kemerahan



: tanda dehidrasi



Apa interpretasi dari pemeriksaan penunjang? Jawab7,8 : a. BB : 35 kg b. TB : 135 cm c. Darah rutin 1. Hb : 11 gr/dl (normal, pada anak 11-13 gr/dl) Penurunan nilai Hb dapat terjadi pada anemia (terutama anemia karena kekurangan zat besi), sirosis, hipertiroidisme, perdarahan, peningkatan asupan cairan



dan



kehamilan.



Peningkatan nilai Hb dapat terjadi pada hemokonsentrasi (polisitemia, luka bakar), penyakit paru-paru kronik, gagal jantung kongestif dan pada orang yang hidup di daerah dataran tinggi. 2. Ht : 35% (normal, pada anak 33-38%) Penurunan nilai Hct merupakan indikator anemia (karena berbagai sebab), reaksi hemolitik, leukemia, sirosis, kehilangan banyak darah dan hipertiroid. Penurunan Hct sebesar 30% menunjukkan pasien mengalami anemia



sedang



hingga



parah.



Peningkatan nilai Hct dapat terjadi pada eritrositosis, dehidrasi, kerusakan paru-paru kronik, polisitemia dan syok. 3. Leukosit : 14000/mm3 (leukositosis, normal pada anak : 900012000/mm3 ) Nilai krisis leukositosis: 30.000/mm 3. Lekositosis hingga 50.000/mm3 mengindikasikan gangguan di luar sumsum tulang (bone marrow). Nilai leukosit yang sangat tinggi (di atas 20.000/mm3) dapat disebabkan oleh leukemia.



Penderita



kanker



post-operasi



(setelah



menjalani



operasi)



menunjukkan pula peningkatan leukosit walaupun tidak dapat dikatakan infeksi. Peningkatan leukosit juga dapat menunjukan adanya proses infeksi atau radang akut. Leukopenia, adalah penurunan jumlah leukosit 0,5%).



4. Leukosit esterase (-) : tidak terdapat leukosit dalam urin 9.



Apa saja diagnosis banding dari keluhan? Jawab : REAKSI ALERGI9



INTOLERANSI



SYOK ANAFILAKTIK12,13



PEMERIKSAAN FISIK



ANAMNESIS



MAKANAN11



Pasien dapat mengalami



Pasien dapat



Pasien dapat mengalami



gejala umum alergi.



mengalami gejala



gejala syok anafilaktik seperti



Gejala ini berupa



intoleransi makanan.



kemerahan, gatal, urtikaria,



urtikaria,angiodem,nause



Gejala lain berupa



angioedema, pilor erection,



a,muntah, diare.Riwayat



mual, muntah, nyeri



gatal di hidung, bersin-bersin,



makanan atau obat-



abdomen, kembung



kongesti, rinorea, pilek dan



obatan. Makanan yang



dan lain sebagainya.



lain sebagainya.



biasa membuat alergi



Intoleransi makanan



adalah susu sapi, putih Pada pemeriksaan fisik



terjadi karena Pada pemeriksaan



Pada pemeriksaan fisik



dapat ditemukan tanda-



fisik terbatas pada



Pasien tampak sesak,



tanda umum alergi



saluran



frekuensi napas meningkat,



seperti urtikaria,



gastrointestinal.



sianosis karena edema



angioedema, mengi,



Reaksi Intoleransi



laring dan bronkospasme.



makanan ini



Hipotensi merupakan gejala



merupakan reaksi



yang menonjol pada syokan



yang jinak dan tidak



afilaktik. Adanya



mematikan dan



takikardia,edema



9



nausea.



10.



Apa diagnosis sementara penyakit anak N? Jawab : Diagnosis sementara yang dapat ditegakkan adalah Syok Anafilaktik et causa Alergi makanan. Berikut adalah derajat dan criteria dari Syok Anafilaktik: Derajat Syok Anafilaktik12:



Disamping table diatas, terdapat juga klasifikasi derajat klinis reaksi hipersensitifitas/anafilaksis oleh Brown (2004) yaitu: 1. Ringan (hanya melibatkan kulit dan jaringan dibawah kulit) seperti: eritema generalisata, urtikaria, angioedema/edema periorbita. 2. Sedang (melibatkan system respirasi, kardiovaskuler, gastrointestinal) seperti : sesak nafas, stridor, mengi, mual, muntah, pusing (pre syncope), rasa tidak enak di tenggorokan dan dada serta nyeri perut. 3. Berat (hipoksia, hipotensi, syok dan manifestasi neurologis), seperti: sianosis (SpO2 ≤ 90%), hipotensi (SBP < 90 mmHg pada dewasa), kolaps, penurunan



kesadaran dan inkontinensia. Reaksi dengan derajat ringan dikenal sebagai reaksi hipersensitifitas akut, sedangkan untuk derajat sedang dan berat merupakan gambaran klinis anafilaksis.



Kriteria Syok Anafilaktik15:



11.



Apa etiologi penyakit anak N? Jawab : a. Etiologi anafilaksis3 Anafilaksis dapat dicetuskan oleh berbagai hal. Makanan merupakan pencetus anafilaksis yang paling sering terjadi pada anak-anak, remaja dan dewasa muda. Sedangkan obat-obatan dan gigitan serangga merupakan



pencetus terjadinya anafilaksis pada dewasa sedang dan orang tua. Anafilaksis idiopatik juga sering terjadi pada dewaasa muda dan orang dewasa. Beberapa pencetus anafilaksis yang spesifik bersifat universal di dunia, namun ada beberapa pencetus yang dapat menyebabkan anafilaksis di daerah tertentu. Pencetus yang berupa makanan dapat berbeda-beda tergantung dari kebiasaan makan setempat, pajanan makanan dan bagaiman mempersiapkan makanan tersebut. Di Amerika Utara dan beberapa negara di Eropa dan Asia, makanan yang dapat mencetuskan anafilaksis adalah susu sapi, telur ayam, kacang, kerang dan ikan. Obat-obatan seperti antimikroba, antivirus dan antijamur merupakan pencetus umum terjadinya anafilaksis hampir di seluruh dunia namun bervariasi pula di beberapa negara. Sebagai contoh, penisilin yang diberikan secara intramuskular merupakan pencetus anafilaksis di negara yang menggunakannya untuk demam rheuma. Obat anti tuberkulosis (OAT) juga sering menjadi penyebab anafilaksis di beberapa negara. Anafilaksis dapat dicetuskan oleh agen kemoterapi seperti carboplatin dan doxorubicin serta agen biologis seperti antibodi monoklonal. Selain itu dapat juga disebabkan oleh obat-obatan herbal.



Gambar 2.1 Berbagai pencetus reaksi anafilaksis. Pencetus anafilaksis lain yang juga sering terjadi adalah pemakaian media kontras untuk pemeriksaan radiologik. Media kontras menyebabkan reaksi yang mengancam nyawa pada 0,1% dan reaksi yang fatal terjadi antara 1 : 10.000 dan 1 : 50.000 prosedur intravena. Kasus berkurang setelah dipakainya media kontras yang hiperosmolar. Selain itu imunoterapi dan uji kulit (terutama uji intradermal) juga dapat berpotensial menyebabkan anafilaksis. Lateks (Natural Rubber Latex) yang terdapat pada peralatan medis seperti masker, endotracheal tube, sarung tangan juga dapat mencetuskan reaksi anafilaksis. Anafilaksis dikategorikan idiopatik ketika tidak ada pencetus yang dapat diidentifikasi meskipun telah dilakukan uji alergen pada kulit dan pengukuran kadar serum IgE b. Etiologi alergi9 1) Genetik a) Jika kedua orang tua memiliki riwayat alergi : 40%-60% b) Jika kedua orang tua memiliki manifestasi sama : 60%-80% c) Jika saudara kandung memiliki riwayat alergi : 25%-30 d) Jika salah satu orang tua memiliki riwayat alergi : 20%-30% e) Jika orang tua tidak memiliki riwayat alergi : 5%-15% 2) Reaksi hipersensitivitas a. Reaksi tipe I Reaksi hipersensitivitas ini juga dikenal sebagai reaksi cepat atau reaksi anafilaksis, dimana reaksi muncul segera setelah alergen masuk ke dalam tubuh. Alergen atau antigen yang masuk nantinya akan ditangkap



oleh fagosit, diproses dan dipresentasikan pada sel Th2, yang merupakan sel yang akan melepas sitokin dan merangsang sel B untuk membentuk IgE. IgE sendiri akan diikat oleh sel yang memiliki reseptor seperti sel mast, basofil, dan eosinofil. Apabila tubuh terpapar ulang dengan alergen yang sama, alergen tersebut akan diikat oleh IgE spesifik yang berada di permukaan sel mast, dan nantinya akan menimbulkan degranulasi sel mast. Degranulasi tersebut melepaskan berbagai mediator seperti histamin yang akan menimbulkan gejala klinis pada reaksi alergi ini. Selain histamin, mediator lain seperti prostaglandin dan leukotrin yang dihasilkan dari metabolisme asam arakhidonat juga berperan pada fase lambat dari reaksi tipe I, dimana muncul gejala beberapa jam setelah paparan. Beberapa gejala yang segera muncul setelah paparan alergen antara lain asma bronkial, rinitis, urtikaria, dan dermatitis atopik. b. Reaksi tipe II Reaksi tipe II atau reaksi sitotoksik terjadi karena terbentuknya antibodi IgG atau IgM karena paparan antigen. Ikatan antibodi antigen tersebut nantinya dapat mengaktifkan komplemen dan menimbulkan lisis sel. Lisis dari suatu sel sendiri juga dapat terjadi melalui sensitisasi sel NK yang berperan sebagai efektor antibody dependent cell cytotoxicity. Contoh dari reaksi tipe II adalah destruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi dan juga kasus anemia hemolitik. Sebagian kerusakan jaringan pada penyakit autoimunseperti miastenia gravis dan tirotoksikosis juga timbul melalui mekanisme ini. c. Reaksi tipe III Reaksi tipe III yang juga disebut reaksi kompleks imun terjadi akibat adanya endapan kompleks antigen-antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah. Antibodi yang berperan pada kasus ini adalah IgG atau IgM. Kompleks tersebut akan mengaktifkan komplemen yang kemudian melepaskan berbagai mediator terutama macrophage chemotactic factor. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut nantinya akan merusak jaringan sekitar. Antigen sendiri dapat berasal dari infeksi kuman patogen



yang persisten seperti malaria, bahan yang terhirup seperti spora jamur, atau bahkan dari jaringan sendiri seperti pada kasus autoimun. d. Reaksi tipe IV Reaksi tipe ini muncul lebih dari 24 jam setelah paparan antigen, sehingga disebut juga dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi ini dibagi menjadi delayed type hypersensitivity (DTH) yang terjadi melalui peran CD4+dan T cell mediated cytolysis dengan peran CD8+Pada DTH, sel CD4+Th1 yang mengaktifkan makrofag berperan sebagai sel efektor. Sel tersebut melepas sitokin interferon gamma yang nantinya akan mengaktifkan makrofag dan menginduksi inflamasi. Kerusakan jaringan pada reaksi tipe ini diakibatkan oleh produk makrofag yang teraktivasi seperti enzim hidrolitik, oksigen reaktif intermediet, oksida nitrat, dan sitokin proinflamasi. Contoh reaksi DTH adalah reaksi tuberkulin, dermatitis kontak, dan reaksi granuloma. Reaksi hipersensitivitas selular merupakan suatu reaksi autoimunitas, oleh karena itu reaksi yang muncul pada umumnya terbatas pada satu organ saja dimana kerusakan yang terjadi merupakan akibat dari CD8+yang langsung membunuh sel target. Sebagai contoh pada infeksi virus hepatitis, virus tersebut tidak bersifat sitopatik namun kerusakan yang ada ditimbulkan oleh respon cytotoxic T lymphocyte terhadap hepatosit yang terinfeksi. Pada kasus ini, anak N mengalami reaksi hipersensitivitas tipe I. Pada reaksi Tipe I, allergen yang masuk kedalam tubuh menimbulkan respons imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rhinitis alergi, asma dan dermatitis atopi. Urutan kejadian reaksi Tipe I adalah sebagai berikut : Fase Sensitisasi Fase ini adalah waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, di



mana ia akan mensekresikan sitokin (IL-4, IL-13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi



menjadi



sel



Plasma



(Plasmosit).



Sel



plasma



memproduksi



Immunoglobulin E (IgE) spesifik untuk antigen tersebut. IgE ini kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil. Dari berbagai perangsang yang dapat menyebabkan pelepasan mediatornya, mekanismenya dapat melalui reaksi yang dimediasi IgE (IgE mediated anaphylaxis). Pada pajanan alergen, alergen ditangkap oleh APC (Antigen Presenting Cell) seperti makrofag, sel dendritik, sel langerhans, atau yang lain. Kemudian antigen tersebut dipersembahkan bersama beberapa sitokin ke sel T-Helper melalui MHC kelas II. Sel T-Helper kemudian aktif dan mengeluarkan sitokin yang merangsang sel B melakukan memori, proliferasi dan peralihan menjadi sel plasma yg kemudian menghasilkan antibodi termasuk IgE lalu melekat pada permukaan basofil, mastosit dan sel B sendiri. 2,5 Fase Aktivasi Fase ini adalah waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama. Mastosit dan Basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang disebut dengan istilah Preformed mediators. Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan menghasilkan Leukotrien (LT) dan Prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut Newly formed mediators. Fase Efektor Fase ini adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mukus dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek



bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin yang dihasilkan menyebabkan 12. Bagaimana patofisiologi penyakit anak N? Jawab2,5 : Secara imunologis, antigen protein utuh masuk ke dalam sirkulasi dan disebarkan ke seluruh tubuh, Untuk mencegah respons imun terhadap semua makanan yang dicerna, diperlukan respons yang ditekan secara selektif yang disebut toleransi atau hiposensitisasi. Kegagalan untuk melakukan toleransi oral ini memicu produksi berlebihan antibodi IgE yang spesifik terhadap epitop yang terda pat pada alergen makanan. Antibodi tersebut berikatan kuat dengan reseptor IgE pada basofil dan sel mast, juga berikatan dengan kekuatan lebih rendah pada makrofag, monosit, limfosit, eosinofil dan trombosit Ketika protein makanan melewati sawar mukosa, terikat dan be reaksi silang dengan antibodi tersebut, akan memicu IgE yang telah berikatan dengan sel mast. Kemudian sel mast akan melepaskan berbagai mediator (histamin, prostaglandin, dan leukotrien) yang akan menyebabkan vasodilatasi, sekresi mukus, kontra ksi otot polos, dan influks sel inflamasi lain sebagai bagian reaksi hipersensivititas cepat. Sel mast yang teraktivasi tersebut juga mengeluarkan berbagai sito kin lain yang dapat menginduksi reaksi tipe lambat. Selama 4-8 jam pertama, neutrofil dan eosinofil akan dikeluarkan ke tempat reaksi alergi. Neutrofil dan eosinofil yang teraktivasi akan mengeluarkan berbagai mediator seperti platelet activating factor, peroksidase, eosin ophil major basic protein dan eosinophil cationic protein. Sedangkan pada 24-48 jam berikutnya, limfosit dan monosit menginfiltrasi lokasi tersebut dan memicu reaksi inflamasi kronik Belakangan ini alergi makanan pada orang dewasa seringkali dihubungkan dengan sensitisasi alergen lain sebelumnya (terutama inhalan) yang berhubungan dengan jenis alergi lainnya. Manifestasinya seringkali disebut menggunakan istilah sindrom, seperti sindrom alergi oral, dan sindrom polen-alergi makanan. Diduga terjadi reaksi silang IgE antar beberapa alergen makanan dengan alergen lainnya4.



Makanan allergen yang masuk kedalam saluran pencernaan dan akan diserap melalui plaque payeri usus halus sampai ke sentral germinal plaque payeri.Antigen tersebut akan diikat oleh sel dendritik dan sel langerhans lalu berrmigrasi ke saluran limfe. Melalui saluran limfe, antigen tersebut dialirkan ke seluruh organ tubuh. Ini yang akan menyebabkan respon alergi pada hampir seluruh tubuh.Allergen tersebut akan berikatan dengan IgE yang menginduksi pelepasan histamine dari sel mast dan basofil.Histamine pada setiap organ tubuh akan bereaksi bergantung tempatnya. Beberapa efek histamine pada organ tubuh : 1. Kulit : histamine akan menginduksi terjadinya vasodilatasi pembuluh darah. Efek dari dilatasi pembuluh darah pada kulit adalah terjadinya kemerahan pada kulit, pruritus akibat histamine sampai terjadinya urtikaria (lesi pada kulit seperti benjolan pada lapisan atas kulit) dan angioderma (pembengkakan pada lapisan subkutan, biasanya pada daerah mulut dan mata). Efek parah dari angioderma adalah pembengkakan pada glottis atau uvula yang dapat menyebabkan obstruksi saluran nafas. 2. Saluran cerna : efek histamine akan menyebabkan spasme usus yang menimbulkan terjadinya efek respon peningkatan peristaltic usus akibat obstruksi makanan. Ini juga menyebabkan terjadinya mual dan muntah akibat aliran makanan yang tidak lancar. Efek lainnya dapat terjadi disfagia, kolik sampai diare. 3. Saluran nafas : histamine menginduksi kontraksi dari otot polos bronkus, peningkatan sekresi mucus sehingga menimbulkan gejala seperti asma, adanya wheezing/mengi. Gejala saluran nafas atas seperti pada hidung dapat menyebabkan gejala seperti rhinitis. 4. Cardiovascular : efek histamine pada sistem CV adalah vasodilatasi pembuluh darah yang luas. Hal ini akan menyebabkan hipoperfusi jaringan, khususnya jaringan perifer. Hipoperfusi ini diakibatkan pembuluh darah yang meningkat luas penampangnya namun volume darah tetap normal. Sehingga efeknya tetap saja terjadinya hipotensi dan hipoperfusi. Efek kompensasi dari hipoperfusi ini adalah pengaktifan baroreseptor yang menyebabkan peningkatan heart rate dan stimulasi simpatis yang menyebabkan efek vasokontriksi perifer seperti tangan dan kaki. Tanda dari vasokonstriksi ini adalah akral dingin. Terjadi pula



pengaktifan kemoreseptor yang menyebabkan peningkatan laju nafas untuk meningkatan perfusi oksigen ke jaringan. 5. SSP : efek dari keseluruhan organ khususnya cardiovascular adalah penurunan aliran darah dan oksigen ke otak sehingga akan terjadi efek penurunan kesadaran seperti gelisah sampai kejang. Syok dapat terlihat langsung dari reaksi alergi tanpa bisa dipastikan kapan terjadinya. Tanda syok seperti terganggunya vital sign (hipotensi, takikardi, sampai akral dingin) merupakan suatu tanda awal pendeteksian syok anafilaksis. 13. Bagaimana tatalaksana syok anafilaktif dan reaksi alergi ? Jawab5,6 : Terapi Tanpa memandang beratnya gejala anafilaksis, sekali diagnosis sudah ditegakkan pemberian epinefrin tidak boleh ditunda-tunda. Hal ini karena cepatnya mula penyakit dan lamanya gejala anafilaksis berhubungan erat dengan kematian. Dengan demikian sangat masuk akal bila epinefrin 1: 1000 yang diberikan adalah 0,01 ml/kgBB sampai mencapai maksimal 0,3 ml subkutan (SK) dan dapat diberikan setiap 15-20 menit sampai 3-4 kali seandainya gejala penyakit bertambah buruk atau dari awalnya kondisi penyakitnya sudah berat, suntikan dapat diberikan secara intramuskuler (IM) dan bah kan kadang- kadang dosis epinefrin dapat dinaikkan sampai 0,5 ml sepanjang pasien tidak mengidap kelainan jantung. Selanjutnya dua hal penting yang harus segera diperhatikan dalam memberikan terapi pada pasien anafilaksis yaitu mengusahakan: 1). Sistem pernapasan yang lancar, sehingga oksigenasi berjalan baik; 2). Sistem kardiovaskular yang juga harus berfungsi baik sehingga perfusi jaringan memadai. Meskipun prioritas pengobatan dituju kan kepada sistem pernapasan dan kardiovaskular, tidak berarti pada organ lain tidak perlu diperhatikan atau diobati. Prioritas ini berdasarkan kenyataan bahwa kematian pada anafilaksis terutama disebab kan oleh tersumbatnya saluran napas atau syok anafilaksis. Sistem Pernapasan 1. Memelihara saluran napas yang memadai. Penyebab tersering kematian pada



anafilaksis adalah tersumbatnya saluran napas baik karena edema larings atau



spasme bronkus. Pada kebanyakan kasus suntikan epinefrin sudah memadai untuk mengatasi keadaan tersebut. Tetapi pada edema larings kadang- kadang diperlu kan tindakan trakeostomi. Tindakan intubasi trakea pada pasien dengan edema larings tidak saja sulit tetapi juga sering menambah beratnya obstruksi. Karena pipa endotra keal akan mengiritasi dinding larings. Bila saluran napas tertutup sama sekali hanya tersedia waktu 3 menit untuk bertindak. Karena trakeosto mi hanya dikerja kan oleh dokter ahli atau yang berpengalaman maka tindakan yang dapat dilakukan dengan segera adalah melakukan punksi membran krikotiroid dengan jarum besar. Kemudian pasien segera dirujuk ke rumah sakit. 2. Pemberian oksigen 4-6 l/menit sangat penting baik pada gangguan pernapasan



maupun kardiovaskular. 3. Bronkodilator diperlukan bila terjadi obstruksi saluran napas bagian bawah



seperti pada gejala asma atau status asmatikus. Dalam hal ini dapat diberikan larutan salbutamol atau agonis beta-2 lainnya 0,25 cc- 0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,9% diberikan melalui nebulisasi atau aminofilin 5-6 mg/kgBB yang diencerkan dalam 20 cc dekstrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahanlahan sekitar 15 menit. Sistem Kardiovaskular 1. Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasil dengan pemberian epinefrin



menandakan bahwa telah terjadi kekurangan cairan intravaskular Pasien ini membutuhkan cairan intravena secara cepat baik dengan cairan kristaloid (NaCl 0,9%) atau koloid (plasma, dextran). Dianjurkan untuk memberi kan cairan koloid 0,5-1 L dan sisanya dalam bentuk cairan kristaloid. Cairan koloid ini tidak saja mengganti cairan intravaskular yang merembes ke luar pembuluh darah atau yang terkumpul di jaringan sp langnikus, tetapi juga dapat menarik cairan ekstravaskular untuk kembali ke intravaskular. 2. Oksigen mutlak harus diberikan di samping pemantauan sistem kardiovaskular



dan pemberian natrium bikarbonat bila terjadi asidosis metabolik. 3. Kadang-kadang diperlukan CVP (central venous pressure). Pemasangan CVP



ini selain untuk memantau kebutuhan cairan dan menghindari kelebihan pemberian cairan, juga dapat dipakai untuk pemberian obat yang bila bocor dapat merangsang jaringan sekitarnya.



4. Bila tekanan darah masih belum teratasi dengan pemberian cai ran, para ahli



sependapat untuk memberikan vasopresor melalui cairan infus intrave na. Dengan cara melarutkan 1 ml epineprin 1: 1000 dalam 250 ml dektrosa (konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1 -4 mg/menit atau 15 - 60 mikrodrip/ menit (dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikkan sampai maksimum 10 mg/ml Bila sarana pembuluh darah tidak tersedia, pada keadaan anafilaksis yang berat, American Heart Association, menganjurkan pemberian epinefrin secara endotra keal dengan dosis 10 ml epinefrin 1:10.000 diberikan melalui jarum panjang atau kateter melalui pipa endotra keal (dosis anak 5 ml epinefrin 1:10.000). Tindakan di atas kemudian dikuti pernapasan hiperventilasi untuk menjamin absorpsi obat yang cepat.



Untuk terapi alergi makanan adalah menghindari makanan penyebab. Hal itu kadang sulit untuk dilakukan, sehingga perlu konsultasi dengan ahli gizi. Pada reaksi alergi makanan ringan hanya diberikan antihistamin dan jika perlu ditambahkan kortikosteroid pada reaksi sedang. Sedangkan pada serangan anafilaksis terapi utamanya adalah epinefrin/adrenalin Algoritma penatalaksanaan anafilaksis akut6 Gejala anafilaksis



Pasien dengan kemungkinan anafilaksis akut



Penilaian awal yang mendukung anafilaksis



Pertimbangkan diagnosis lain



Urutan penatalaksanaan kedaruratan yang memerlukan respon terhadap epinefrin. Pertimbangkan :



Intervensi segera Penilaian airway, breathing, circulation, mentation Epinephrine segera



-



Posisi Jalan napas Oksigen Cairan i.v.



Pertimbangkan : Respon klinik baik



Observasi



-



Infuse efinefrin Antihistamin H1 dan H2 Bronkodilator inhalasi Kortikosteroid Glucagon Vasopressor dan rawat ICU



14. Bagaimana komplikasi dan prognosis penyakit pada anak N? Jawab18,19 : Komplikasi Syok anafilaktik merupakan kondisi kegawat daruratan yang mesti segera ditandai. Gejala syok anafilaktik bias berkembang sangat cepat, sehingga menyebabkan detak jantung atau pernapasan terhenti. Syok anafilaktik juga dapat mengakibatkan komplikasi berupa gagal ginjal, aritmia, serangan jantung, kerusakan otak, dan syok kardiogenik. Untuk itu, segera minta pertolongan dari dokter agar syok anafilaktik bisa segera ditangani Prognosis Dengan penanganan yang cepat, tepat dan sesuai dengan kaedah kegawat daruratan, reaksianafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun pasien



yang pernah mengalami reaksi anafilaksis mempunyai



resiko untuk memperoleh reaksi yang sama bila terpajan oleh pencetus yang sama. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi anafilaksis



yang akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi



tersebut,yaitu umur, tipe, alergen, atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit



paru obstruktif kronis, asma, keseimbangan asam basa dan elektrolit, obatobatan yang dikonsumsi seperti, β-blocker dan ACE Inhibitir, serta interval waktu dari mulai terpajan oleh allergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi adrenalin.



DAFTAR PUSTAKA 1. Kamus Saku Kedokteran. Dorland. Edisi 29. Elsevier 2. Suraatmaja, Sudaryat. 2010. Gastroenterology anak. Jakarta : Sagung Seto 3. Abdullah, Murdani. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakiy Dalam. Jakarta : EGC 4. Price, A. Sylvia, Lorraine Mc. Carty Wilson, 2006, Patofisiologi : Konsep Klinis  Proses-proses Penyakit, Edisi 6, (terjemahan), Peter Anugrah, EGC, Jakarta. 5. Sudoyo, Aru W, Dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014.



6. Akib, Arwin AP, dkk. 2010. Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak Edisi Kedua. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. 7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Panduan Interpretasi Data Klinik. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 8. 3. Gandasoebrata R. 2009. Penuntun laboratorium klinik. Jakarta: Dian Rakyat. hal.



11-42. 9. Karnen garna, iris renggang. 2016. Imunologi Dasar.Jakarta : Fakultas Kedokter Universitas Indonesia 10. Santoso, Dicky. Patomekanisme muntah : muntah pada anak. Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung. Bandung.2011. 11. Mahan, L.K., Stump, S.E., Raymond J.L. Krause’s Food & The Nutrition Care Process,. Thirteenth Edition. 2012



12. Estelleet.all. WAO Guideline for the Assessment and Management of Anaphylaxis. 2011;4:13-37. 13. Estele, et.al. World Allergy Organization Anaphylaxis Guidelines: 2013 Update Of The Evidence Base. Int Arch Allergy Immunol 2013;162:193– 204. 14. Food intolerance - Early childhood services. Australia: Healthy Eating Advisory



Service,2016.Dapat



di



akses



https



://heas.health.vic.gov.au/sites/default/files/E



Csfood % 20 intolerance.pdf 15. Johannes Ring et.all. History and Classification of Anaphylaxis. anaphylaxis.Wiley, Chichester (Novartis Foundation Symposium 257):2004 p 6-24. 16. Subani W. 1978. Perikanan Udang Barong (spiny lobster) dan Prospek Masa Depannya. Prosiding Seminar ke II Perikanan Udang 15-18 Maret 1977. Lembaga Penelitian Perikanan Laut. Badan Penelitian Pengembangan Perikanan, Jakarta. Hal 39–53 17. Baratawidjaja, KG., Rengganis, Iris. Alergi Dasar Edisi ke-10. Jakarta: FKUI; 2009.hal.459-92. 18. Ewan, PW, 1998, Anaphylaxis, ABC Allergies, BMJ, Vol 316, Page 1442-1445 19. Rengganis I, Sundaru H, 2009, RenjatanAnafilaktik, Buku Ajar IlmuPenyakitDalam, Interna Publishing, Jakarta