Lapsus CHF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I LAPORAN KASUS



A. IDENTITAS PASIEN Nama Tanggal Lahir/ Usia No.Rekam Medis Pendidikan Pekerjaan Status Perkawinan Alamat Telp/HP Masuk RS Kontrol Poliklinik



: Tn. M : 03-02-1992/ 25 tahun : 792907 : SMA : Pengusaha : Kawin : Masale, Gowa : : 10-03-2017 :-



B. ANAMNESIS Keluhan Utama Sesak napas Riwayat Penyakit Sekarang Sesak napas dialami sejak 4 bulan yang lalu, memberat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak memberat ketika beraktivitas dan berkurang ketika duduk membungkuk. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca. Pasien kadang terbangun pada malam hari karena sesak. Sesak bertambah dengan berbaring, pasien menggunakan 2-3 bantal saat tidur. Nyeri dada tidak ada. Tidak demam, tidak batuk. Mual ada, muntah tidak ada. Pasien juga mengeluh kaki bengkak sejak 1 bulan lalu. Buang air besar kurang lancar. Buang air kecil kesan normal. Riwayat Penyakit Sebelumnya: 



Riwayat hipertensi, diabetes, dan strok tidak ada







Riwayat penyakit tuberkulosis paru tidak ada



Faktor Risiko 



Merokok 5-8 batang/hari







Konsumsi alkohol



C. PEMERIKSAAN FISIK Keadaan Umum 1



Sakit sedang/gizi cukup/GCS 15 (compos mentis) Status Antropometri - Tinggi Badan : 170 cm - Berat Badan : 68 kg - Indeks Massa Tubuh : 23,5 kg/m2 Tanda-tanda Vital -



Tekanan darah : 96/60 mmHg Frekuensi nadi : 100 kali/menit, regular Frekuensi napas: 22 kali/menit Suhu (aksilla) : 36,7oC Kepala Deformitas



Mata : tidak ada



Simetris muka : dimetris Rambut



:



hitam,



sukar



dicabut



Eksoftalmus



: tidak ada



Enoptalmus



: tidak ada



Kornea



: jernih, refleks kornea



(+)



Ukuran



: normosefal



Konjungtiva



: anemis (+)



Bentuk



: mesosefal



Sklera



: iIkterus (+)



Pupil



: bundar, isokor 2,5



mm/2,5 mm Telinga Pendengaran



Hidung :



dalam



normal Sekret



batas



Perdarahan



: tidak ada



Sekret



: tidak ada



: tidak ada



2



Mulut Bibir



: kering (-)



Lidah : kotor (-)



Tonsil



: T1-T1 tidak hiperemis



Faring : tidak hiperemis



Gigi geligi



: karies (-)



Gusi



: perdarahan (-)



Leher Kelenjar Getah Bening



: tidak ada pembesaran



Kelenjar Gondok



: tidak ada pembesaran



DVS



: R+3 cmH2O



Pembuluh darah



: bruit (-)



Kaku kuduk



: tidak ada



Tumor



: tidak ada



Paru Inspeksi



: simetris kiri sama dengan kanan



Palpasi Perkusi



: tidak teraba massa, nyeri tekan tidak ada : Paru kiri : sonor Paru kanan : sonor Batas paru hepar : ICS-IV dextra anterior Batas paru belakang kanan : Vetb.Th IX dextra posterior Batas paru belakang kiri : Vetb. Th X sinistra posterior : Bunyi pernapasan : vesikuler Bunyi tambahan : ronki mediobasal kedua paru wheezing tidak ada



Auskultasi



Jantung Inspeksi



: Ictus cordis tidak tampak



Palpasi



: Ictus cordis teraba, thrill (-)



Perkusi



: Batas atas ICS II sinistra Batas kanan ICS IV linea parasternalis dekstra Batas kiri ICS V linea axillaris anterior sinistra



Aukultasi



: BJ I/II murni reguler, murmur tidak ada



Abdomen



Inspeksi Auskultasi Palpasi



Perkusi



: cembung, ikut gerak napas, ada ascites : peristaltik ada, kesan normal : tidak teraba massa, nyeri tekan tidak ada Hati : tidak teraba Limpa : tidak teraba Ginjal : ballottement (-) : pekak. Shifting dullness (+)



Alat Kelamin



: edema scrotum



Anus dan rectum



: tidak dilakukan pemeriksaan



Punggung



: skoliosis (-), kifosis (-) Palpasi



: tidak teraba massa



Nyeri ketok



: tidak ada



Ekstremitas



: edema dorsum pedis ada



Kulit



: tidak ada kelainan



D. LABORATORIUM Tanggal 25 April 2016 Hasil Hematologi rutin RBC Hemoglobin Hematokrit WBC PLT Glukosa GDS Koagulasi PT INR APTT Fungsi ginjal Ureum Kreatinin Fungsi hati SGOT SGPT Bilirubin total Bilirubin direk Elektrolit



5,20 16,4 48,3 8,68 225 90



Satuan 106/ mm3 gr/dl % 103/ mm3 103/ mm3 mg/dl



15,5 1,38 25,2



Nilai Normal 4,50-6,50 13,0-17,0 40,0-54,0 4,0-10,0 150-400 140 10-14 22,0-30,0



29 0,9



mg/dl mg/dl



10-50 L(< 1.3); P(< 1.1)



27 48 5,42 2,82



U/L U/L mg/dl mg/dl



< 38 < 41 25 detik Reflex hepatojugularis



Kriteria Minor : -



Edema pretibial Batuk malam Dispnea saat aktivitas Hepatomegali Efusi pleura Kapasitas vital paru menurun 1/3 dari maksimal Takikardia (>120 kali/menit)



Diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan berdasarkan: a. Tanda dan Gejala Gejala tipikal : sesak nafas, ortopnea, paroxysmal nocturnal dyspneu, toleransi beraktivitas yang berkurang, waktu yang diperlukan untuk pulih setelah beraktivitas semakin memanjang, fatig, kelelahan, dan bengkak pada pergelangan kaki.



Gejala tidak khas : batuk tengah malam, wheezing, berat badan meningkat (>2 kg/minggu), berat badan menurun (pada gagal jantung berat), perasaan kembung, hilang nafsu makan, palpitasi, kebingungan (khususnya pada orang tua), depresi, dan sinkop. Tanda spesifik : JVP meningkat, refluks hepatojugular, suara jantung ke-3 (ritme gallop), impuls apikal ke lateral, murmur. Tanda tidak spesifik : edema perifer, krepitasi pulmonal, inspirasi udara berkurang dan pekak basal paru pada perkusi (efusi pleura), takikardi, nadi irregular, takipnoe, hepatomegali, ascites, kaheksia (wasting jaringan).4 Gejala gagal jantung kiri Gejala-gejala gagal jantung sebenarnya berasal dari gejala menurunnya curah jantung disertai mekanisme kompensasi jantung dan gejala karena terjadinya bendungan paru. 1. Dyspnoe de Effort: sesak nafas pada aktivitas fisik 2. Orthopneu: sesak nafas yang terjadi pada saat berbaring dan dapat berkurang dengan sikap duduk atau berdiri. Hal ini disebabkan pada saat berdiri terjadi penimbunan cairan di kaki dan perut. Pada waktu berbaring, cairan ini kembali ke pembuluh darah dan menambah darah balik, sehingga terjadi sesak nafas. 3. Paroxysmal Nocturnal Dyspnoe (PND): serangan sesak nafas ini terjadi pada malam hari, di mana pasien yang sedang tidur terbangun karena sesak nafas. Berbeda dengan ortopneu yang dengan cepat bisa disembuhkan dengan perubahan dari posisi tidur ke posisi berdiri, PND memerlukan waktu agak lama, yaitu sekitar 30 menit. Sebab yang pasti terjadinya PND belum diketahui, tetapi mungkin disebabkan oleh kombinasi: (1) menurunnya tonus simpatis; (2) darah balik yang bertambah; (3) penurunan aktivitas pada pusat pernafasan di malam hari; (4) edema paru, keadaan ini merupakan suatu kesatuan atau keadaan tersendiri dan merupakan tingkat terberat dari gagal jantung. Selain keadaan di atas, dapat pula terjadi sesak yang sangat berat, takikardia, tekanan darah menurun, hemoptoe, keringat dingin, pucat, dan sebagainya.10 Gejala gagal jantung kanan Pada keadaan gagal jantung kanan akut akibat ventrikel kanan tidak bisa berkontraksi secara optimal, terjadi bendungan di atrium kanan dan vena cava



(inferior dan superior).Dalam keadaan ini, gejala edema perifer, hepatomegali, dan splenomegali belum sempat terjadi.Yang terjadi secara mencolok adalah turunnya tekanan darah dengan cepat sebab darah balik berkurang. Pada gagal jantung kanan yang kronik, ventrikel kanan saat sistol tidak mampu memompakan darah keluar, sehingga tekanan akhir diastol ventrikel kanan akan meninggi. Dengan demikian, maka tekanan di atrium kanan juga akan meninggi, sehingga diikuti bendungan darah di vena cava superior dan inferior serta seluruh sistem vena. Hal ini secara klinis akan memperlihatkan gejala: 1. bendungan di vena jugularis eksterna; 2. bendungan di vena hepatika (menyebabkan hepatomegali); 3. bendungan di vena lienalis (menyebabkan splenomegali); 4. bendungan di vena-vena perifer, sehingga tekanan hidrostatik di kapiler meningkat melalui tekanan koloid osmotik, sehingga terjadi edema perifer.10 b. Pemeriksaan penunjang 1. Foto thoraks Pemeriksaan x-ray thoraks berperan penting dalam investigasi rutin pasienpasien yang disuspek mengalami gagal jantung, dan dapat pula berguna dalam memantau respon terapi. Pembesaran jantung (CTR > 50%) dapat terjadi, meskipun rasio cardiothoraks dan fungsi ventrikel kiri tidak terlalu berhubungan. Terjadinya kardiomegali bergantung pada tingkat keparahan dan durasi gangguan hemodinamik: kardiomegali biasanya tidak terjadi, misalnya pada gagal ventrikel kiri akut yang disebabkan oleh infark miokard akut, regurgitasi katup akut, atau defek septum ventrikel didapat.Peningkatan rasio cardiothoraks kemungkinan berhubungan dengan dilatasi ventrikel kanan atau kiri, dan terkadang efusi pleura, terutama jika siluet jantung berbentuk globular. X-ray thoraks juga dapat memberikan informasi mengenai penyebab sesak nafas yang bukan disebabkan oleh kelainan jantung.9



Gambar 2. Gambaran x-ray thoraks yang menunjukkan kardiomegali pada pasien dengan kardiomiopati dilatasi9



Gambar 3. Gambaran x-ray thoraks yang menunjukkan kardiomegali dan kongesti paru pada fissura horizontalis9 2. Elektrokardiografi (EKG) 12 sadapan Gambaran elektrokardiografi (EKG) 12 sadapan abnormal pada sebagian besar pasien gagal jantung, walaupun gambaran EKG normal pada lebih dari 10% kasus. Abnormalitas yang umum terjadi berupa gelombang Q, abnormalitas pada gelombang T dan segmen ST, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch block, dan fibrilasi atrial. Kombinasi x-ray thoraks yang normal dan gambaran EKG normal menunjukkan bahwa kemungkinan besar sesak nafas bukan disebabkan oleh kelainan jantung. Pada pasien bergejala (palpitasi atau pusing), pemantauan EKG 24 jam (Holter) atau peralatan Cardiomemo dapat mendeteksi aritmia paroksismal atau abnormalitas lain, seperti ventrikular ekstrasistol, takikardi ventrikular



berlanjut ataupun tidak berlanjut, dan ritme atrial abnormal (ekstrasistol, takikardi supraventrikular, dan fibrilasi atrial paroksismal). Namun demikian, banyak pasien gagal jantung menunjukkan ventrikular ekstrasistol kompleks dalam pemantauan 24 jam.9



Gambar 4. Gambaran EKG yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri dengan perubahan gelombang T dan segmen ST pada sadapan-sadapan lateral (“strain pattern”)9



Gambar 5. Gambaran EKG menunjukkan fibrilasi atrial dengan respon ventrikular cepat9 3. Ekokardiografi Ekokardiografi merupakan satu-satunya pemeriksaan non-invasif yang bermanfaat dalam penilaian fungsi ventrikel kiri yang idealnya dilakukan pada seluruh pasien yang disuspek gagal jantung. Walaupun penilaian klinis yang dikombinasikan dengan pemeriksaan x-ray thoraks dan EKG memungkinkan diagnosis awal gagal jantung, ekokardiografi dapat menilai struktur dan fungsi



jantung secara objektif.Dilatasi ventrikel kiri dan gangguan kontraktilitas diobservasi pada pasien-pasien dengan disfungsi sistolik yang berhubungan dengan penyakit jantung iskemik (di mana abnormalitas pergerakan dinding jantung regional dapat dideteksi) atau kardiomiopati dilatasi (dengan kerusakan global kontraksi sistolik).9



Gambar 6. Gambaran ekokardiogram dua dimensi (atas) dan ekokardiogram model M (bawah) menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri. A = septum intraventrikular; B = dinding posterior ventrikel kiri9



Gambar 7. Ekokardiogram Doppler berwarna menunjukkan regurgitasi mitra; (kiri) dan regurgitasi aorta (kanan)9



Gambar 8. Ekokardiogram dua dimensi (tampak parasternal aksis panjang) (atas) Ekokardiogram mode M (bawah) menunjukkan kerusakan berat fungsi ventrikel kiri pada kardiomiopati dilatasi15 F. Penatalaksanaan Tujuan pengobatan pada pasien yang telah didiagnosis dengan gagal jantung adalah untuk menghilangkan gejala dan tanda (contoh: edema), mencegah perawatan di rumah sakit, dan meningkatkan angka kehidupan. Mengurangi tingkat mortalitas dan perawatan di rumah sakit merefleksikan efektivitas terapi dalam memperlambat atau mencegah gagal jantung yang semakin memburuk secara progresif.4 Non-farmakologik  Edukasi dan konseling : berikan informasi dan saran secara berhati-hati mengenai 



penyakit yang diderita, terapi, dan strategi merawat diri sendiri. Diet : menjamin nutrisi yang adekuat secara umum, dan, pada pasien obesitas,







disarankan untuk menurunkan berat badannya. Garam : menyarankan pasien untuk menghindari makanan yang mengandung garam tinggi ataupun menambahkan garam dalam makanannya (terutama pada







kasus gagal jantung kongestif berat). Cairan : menekankan pada pasien dengan gejala kongesti untuk membatasi







konsumsi cairannya. Alkohol : menyarankan konsumsi alkohol yang dikurangi (hentikan konsumsipada







kasus kardiomiopati yang disebabkan oleh alkohol). Merokok : hindari merokok (efek samping pada penyakit koroner dan







hemodinamik). Latihan fisik : latihan fisik reguler disarankan.9



Farmakologik Berdasarkan patofisiologinya, konsep terapi farmakologis pada gagal jantung saat ini terutama bertujuan untuk: - Menurunkan preload (diuretik, antagonis reseptor aldosteron, nitrat). Diuretik juga -



dapat dipakai untuk mengatasi retensi cairan tubuh. Meningkatkan kontraktilitas jantung (bagi yang mengalami gangguan kontraktilitas miokard)



(digitalis,



ibopamin,



β-blocker



generasi



ketiga,



atau



inhibitor



-



fosfodiesterase). Menurunkan afterload (ACE-inhibitor, Angiotensin Receptor Blocker/ARB, Direct



-



Renin Inhibitor/DRI, atau Calcium Channel Blocker/CCB golongan dihidropiridin). Mencegah remodelling miokard dan menghambat progresivitas gagal jantung dengan ACE-inhibitor atau ARB.



-



Memperbaiki metabolisme energi miokard dengan Carnitine, Co-enzyme Q10, Dribose, magnesium, dan vitamin-vitamin.



a. Diuretik Diuretik merupakan pengobatan standar untuk penderita gagal jantung kongestif. Kebanyakan pasien membutuhkan obat ini secara kronis untuk mempertahankan euvolemia. Diuretik yang sering digunakan adalah tiazid, furosemid, dan spironolakton.  Hydro-Chloro Thiazide (HCT) harganya murah, namun selalu menyebabkan hipokalemia dan hipomagnesemia. Dosis kecil (12,5 mg/hari) atau dengan 



substitusi kalium dapat mengurangi efek samping. Spironolakton memilikiefek potassium sparing yang tidak menyebabkan hipokalemia, akan tetapi obat ini merupakan antagonis reseptor aldosteron. Spironolakton dilaporkan dapat menghambat perburukan gagal jantung dan menurunkan mortalitas. Dosis yang dianjurkan tidak melebihi 25 mg karena dapat







menyebabkan hiperkalemia, terutama jika dikombinasikan dengan ACE-inhibitor. Furosemid adalah loop-diuretic yang kuat, di mana mula kerja untuk diuresisnya mulai tampak dalam 30 menit masa kerja 4-6 jam. Obat ini masih memperlihatkan efek diuresisnya walaupun GFR turun di bawah 25 ml/jam dan aman digunakan untuk penderita gagal ginjal. Bagi penderita gagal jantung kongestif ringan sampai sedang, furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari akan memberikan respon yang baik. Sedangkan pada kasus berat mungkin membutuhkan 40-80 mg/hari. Dosis ini dapat ditingkatkan sesuai kebutuhan. Kontraindikasi pemberian diuretik adalah tamponade jantungm infark miokard ventrikel kanan, hepatic failure, hipokalemia, dan hipersensitivitas. 1



b. Nitrat Pemberian nitrat sangat berguna pada penderita gagal jantung yang juga memiliki riwayat penyakit jantung koroner atau bagi mereka yang telah menerima furosemid dosis tinggi namun belum mampu mengatasi sindrom gagal jantung. Pemberian nitrat harus selalu dimulai dengan dosis awal rendah untuk mencegah terjadinya sinkop. Pemberian nitrat dosis kecil lebih menyebabkan dilatasi vena dibandingkan dilatasi arteriol. Venodilatasi yang ditimbulkan nitrat menurunkan preload sehingga menurunkan ukuran ruang atrium kanan dan kiri serta tekanan akhir diastolik, sehingga meningkatkan perfusi miokard. Nitrat dapat diberikan peroral, intravena, topikal, dan sublingual. 1



c. Digitalis Digitalis digunakan sebagai obat standar untuk penderita gagal jantung karena memiliki efek inotropik positif (meningkatkan kontraktilitas) dan inotropik negatif (menurunkan laju jantung). Sifat obat ini sangat ideal karena hampir semua pasien gagal jantung mengalami takikardi. Dengan menurunkan laju jantung, obat ini memberi kesempatan bagi ventrikel kiri untuk mengadakan relaksasi dan pengisian efektif sebelum dipompakan keluar. Digoksin adalah rapid-acting digitalis yang dapat diberikan secara oral atau intravena. Mekanisme kerja digoksin yang pertama adalah menghambat aktivasi pompa sodium (Na+/K-ATPase) yang memperlambat fase repolarisasi, atau dengan kata lain memperpanjang fase depolarisasi miokard; dengan demikian lebih banyak Ca2+ masuk ke dalam sel. Mekanisme kerja digoksin yang kedua adalah meningkatkan tonus vagus (parasimpatis) sehingga menurunkan laju jantung. Digoksin intravena diberikan pada gagal jantung akut akibat fibrilasi atrium respon cepat. Digoksin oral diabsorpsi lambat dan tidak sempurna (30-40%), akan tetapi obat ini masuk ke dalam sirkulus enterohepatis sehingga waktu paruh penjang, yaitu 1,6 hari. Sifat-sifat ini menyebabkan pemberian digoksin selalu mulai dengan dosis muat (loading dose), yaitu 3 kali 1 tablet (0,25 mg) per hari selama tiga hari untuk dewasa, kemudian dilanjutkan dosis pemeliharaan (maintenance dose) 0,25 mg/hari untuk umur di bawah 70 tahun dan 0,125 mg/hari untuk umur di atas 70 tahun. 1 d. Penghambat reseptor beta (β-blocker) β-blocker yang terbukti dapat meningkatkan fraksi ejeksi, memperbaiki gejala, dan menurunkan angka kematian pasien gagal jantung adalah metoprolol, bisoprolol, dan carvedilol. “Start low and go slow” adalah cara pemberian obat ini untuk pasien gagal jantung. Semua pasien harus dalam kondisi relatif stabil, yaitu sudah tidak terlalu sesak, tidak udem pretibial, atau ascites. Mulai dengan dosis awal sangat rendah, yaitu 1/8-1/10 dosis target; misalnya dosis target carvedilol adalah 25 mg/hari atau bisoprolol 5 mg/hari, maka mulai dengan 1/8 tablet/hari. Dosis kemudian dinaikkan pelan-pelan dengan supervisi ketat, yaitu apabila kondisi pasien membaik, maka setiap 1-2 minggu dosis ditingkatkan 1/8 tablet sampai mencapai dosis target. Kemajuan akan tampak setelah beberapa minggu bahkan beberapa bulan kemudian. 1 e. Angiotensin Converting Enzyme (ACE)-inhibitor



Setelah



ditemukannya



angiotensin



II



reseptor



yang



memiliki



sifat



protooncogenic terhadap sel jantung, maka konsep yang paling populer terhadap mekanisme kerja ACE-inhibitor pada gagal jantung ialah bahwa obat golongan ini memiliki efek langsung pada jantung dalam hal mencegah terjadinya remodelling dan menghambat perluasan kerusakan miokard. Selain itu, obat golongan ini juga memiliki efek lainnya, seperti: menurunkan afterload, menurunkan aktivitas saraf simpatik, menurunkan sekresi aldosteron (sehingga meningkatkan sekresi natrium), dan menurunkan sekresi vasopresin yang semuanya berguna untuk penderita gagal jantung kongestif. Penderita gagal jantung kongestif yang juga hipertensi adalah golongan yang aman untuk menerima ACE-inhibitor. Biasanya, pengobatan dimulai dengan ACE-inhibitor short-acting seperti captopril dosis rendah yaitu 3 kali 6,25 mg atau 12,5 mg/hari, kemudian dosis dinaikkan secara bertahap. Apabila tampak perbaikan dan hemodinamik stabil, obat short-acting ini dapat diganti ke golongan long-acting seperti lisinopril atau ramipril. 1 f. Angiotensin Receptor Blockers (ARB) ACE-inhibitor tidak mampu menghambat sebagian besar produksi angiotensin II, jadi dengan memblokade AT-1 reseptor, ARB diharapkan dapat sebagian besar efek negatif dari sistem RAA. Pemberian ARB dianjurkan pada pasien gagal jantun yang memiliki kontraindikasi terhadap ACE-inhibitor.1 g. Penghambat Kanal Kalsium (Calcium Channel Blocker/CCB) Calcium hannel blocker, golongan dihidropiridin, merupakan vasodilator kuat sehingga biasanya diberikan pada pasien gagal jantung grade II yang tidak takikardi. CCB yang long-acting seperti amlodipin dan nifedipin GIT lebih baik karena tidak mempresipitasi refleks takikardi dan dilaporkan bermanfaat pada kasus yang belum maupun yang sudah terjadi gangguan fungsi sistolik. Bagi pasien yang tidak mampu, dapat diberikan nifedipin 10 mg, yang penting dosis dibagi rata setiap 8 jam.1 Tatalaksana Pembedahan Jika penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyebab gagal jantung kronik, dan jika terdapat iskemia jantung, maka pada pasien dapat dilakukan revaskularisasi koroner, termasuk angioplasti koroner atau coronary artery bypass grafting (CABG). Revaskularisasi juga dapat memperbaiki fungsi dari miokardium yang sebelumnya berhibernasi. Pergantian atau perbaikan katup harus dipertimbangkan pada pasien dengan penyakit katup primer yang berkaitan dengan stabilitas hemodinamik.



Transplantasi jantung kini dinyatakan sebagai terapi pilihan pada beberapa pasien dengan gagal jantung berat yang masih menunjukkan gejala meskipun telah diberikan terapi medis yang intensif.Hal ini berhubungan dengan 90% angka bertahan hidup satu tahun dan 50-60% angka bertahan hidup 10 tahun, meskipun hal ini dibatasi oleh ketersediaan organ donor.Transplantasi harus dipertimbangkan pada pasien-pasien yang lebih muda (usia< 60 tahun) tanpa penyakit penyerta yangberat (contoh: gagal ginjal atau keganasan). Bradikardi dapat ditangani dengan pacu jantung permanen konvensional, meskipun dapat dilakukan pacu jantung biventrikularpada beberapa pasien dengan gagal jantung kongestif resisten.Kardiodefibrilator yang dapat diimplan kini dinyatakan sebagai terapi pada beberapa pasien dengan aritmia ventrikular resisten yang mengancam nyawa.Pendekatan operatif yang baru seperti kardiomioplasti dan operasi reduksi ventrikel (prosedur Batista) jarang digunakan karena memiliki angka morbiditas dan mortalita yang berat serta kurangnya bukti percobaan yang konklusif mengenai keuntungan substansialnya.4 G. PROGNOSIS Dalam gagal jantung, banyak variabel yang dapat menentukan prognosis penyakit ini, meskipun sebagian besar didapatkan dari data yang telah tersedia seperti usia, etiologi, kelas NYHA, fraksi ejeksi, komorbiditas (disfungsi renal, diabetes, anemia, hiperurisemia), dan konsentrasi peptida natriuretik plasma.Jelas bahwa variabel-variabel ini berubah seiring waktu, begitu pula dengan prognosis.Penilaian prognosis terutama penting dalam mengedukasi pasien mengenai peralatan dan pembedahan (termasuk transplantasi) dan dalam merencanakan perawatan akhir kehidupan dengan pasien, keluarga pasien, dan sebagainya.1



DAFTAR PUSTAKA 1. "Atrial Fibrillation (for Professionals)".American Heart Association, Inc. 2008-1204.Archived from the original on 2009-03-28. 2. Brunner dan Suddarth. Keperawatan Medikal-Bedah Edisi.8. Jakarta:EGC. 2002. 3. Chris Tanto dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta: Media Aesculapius; 2014. 4. Cowie, M.R., Wood, D.A., Coats, A.J.S., Thompson, S.G., Poole-Wilson, P.A., Suresh, V., Sutton, G.C., 1998. Incidence and Aetiology of Heart Failure. 5. Davis RC, et al. ABC of heart failure. 2000. USA: BMJ. 6. Douglas L. Mann, Douglas P. Zipes, Peter Libby, Robert O. Bonow, Eugene Braunwald. Braunwald’s heart disease : a textbook of cardiovascular medicine / edited by —10th edition. Elsevier:Filadelfia 7. European Society of Cardiology (ESC). 2012. Guideline for the Diagnosis and Treatment of Acute and and Chronic Heart Failure. 8. Ghanie, Ali. Penyakit Katup Trikuspid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009. 9. Ghanie, A dan Taufik I. Stenosis Mitral dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009. 10. Harrison (2000). Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 3 Edisi 13. EGC: 141887. 11. Kabo, Peter. Bagaimana menggunakan obat-obat kardiovaskular secara rasional. 2012, Balai Penerbit FKUI 12. Karim S, Kabo P. EKG dan Penanggulangan Beberapa Penyakit Jantung untuk Dokter Umum. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2002. 13. Lip, G.Y.H., Gibbs, C.R., Beevers, D.G. 2001. Aetiology. In: ABC of Heart Failure. 14. McMurray JJV, et al. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012. European Society of Cardiology. 2012. UK: European Heart Journal (2012) 33, 1787-1847. 15. Sitompul B, Sugeng JI. Gagal Jantung; dalam Buku Ajar Kardiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2003. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.