Lewat Tengah Malam [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

“Keretanya telat. Katanya sampai dua jam!” ujar perempuan yang duduk di depanku. “Ah, untung saja. Kalau nggak, aku bisa ketinggalan kereta.” aku bergumam sendiri. “Untung dari mana coba? Kita harus nunggu dua jam di stasiun kereta malam-malam begini.” perempuan itu mendengar aku bergumam. “Heheh, untung buatku lah. Bisa berlama-lama berduaan denganmu di sini.” Dia tak menanggapi guyonanku. Mulutnya terlihat seperti kepanasan, karena kopi yang dia minum masih panas. Terlihat dari kepulan asapnya yang mengudara. Tapi aneh, tangannya seperti tidak merasa kepanasan. Mungkin kebiasaan dia. Aku berlalu mencari penjual kopi. “Mau kemana kamu?” “Cari cewek buat diajak ngobrol.” ujarku sambil setengah loncat berusaha menghindar dari pukulannya, “Aku mau beli kopi!” Aku mengarahkan pandanganku ke segala arah. Kios-kios kecil berjejer di bagian barat stasiun. Mahal rupanya segelas kopi di sini. Tak apalah, mata sudah lumayan berat karena malam sebelumnya aku belum sempat tidur. Satu gelas plastik kopi yang sama dengan yang perempuan itu miliki. Yang sama panas dan mahalnya dengan yang perempuan itu beli. Aku kembali ketempatnya menunggu. “Segelas kopi di sini mahal.” ujarku. “Wajarlah, tempatnya orang-orang bisnis singgah.” “Oh iya, keretanya kok bisa terlambat sampai dua jam? Padahal kereta mahal loh.” “Katanya petugas, ada kereta anjlok kemarin malam di daerah timur. Mungkin relnya rusak. Jadi jalurnya dialihkan.” “Memang ada jalur kereta lain untuk ke sini selain lewat situ?” “Entahlah, mungkin juga kereta kita antri menunggu giliran.” “Oh..” aku sambil menyeruput kopi. “Tumben sekali cuman oh? Biasanya kamu banyak komentar.” “Komentar? Tentang apa?” “Ya, seperti kan anjloknya kemarin atau lambat sekali penganannya, gak kaya negara orang atau ... “ ujarnya sambil sedikit menirukan gaya bicaraku. “Nah itu kamu sudah tahu. Heheh.” aku memotong celotehannya sebelum bertambah semakin panjang. “Aaaah, kamu memang seperti itu kan?”



Aku hanya merespon dengan senyum. Sudah berapa lama aku sering terlibat obrolan bersama dia? Mungkin tepatnya selalu bersama dia. Sejak kapan ya? Aku mencoba mengingat berbagai cerita yang sudah kami lalui. “Tapi kenapa juga ya penanganan masalah di negeri ini suka lama banget. Padahal kan SDM yang menanganinya sudah tentu yang ahli dibidangnya.” dia melanjutkan ocehannya. “Mungkin para ahli itu lagi pada asyik ngobrol sambil ngopi. Sambil ngerokok juga. Heheh. Sambil mikirin solusinya. Jadi ya lama gitu saking asyiknya.” “Tapi gak kelamaan juga mikirnya.” dia sedikit memanyunkan bibirnya. Sambil menyandarkan kepalanya di bahuku. “Atau mungkin mereka mikirinnya gak pake hati?” “Maksudnya gak pake hati?” “Itu loh, mereka kerja gak pake cinta. Jadi gak sepenuh hati. Jadi kayak yang seenaknya aja kerja. Gitu.” “Ah, sama aja kayak kamu. Dulu kamu nerima aku gak sepenuh hati juga kan? Jadi seenaknya aja pas awal-awal kita pacaran. Apalagi pake cinta, jadi lama banget buat nerimanya.” ujarku sambil menoyor lembut kepalanya. “Iiiih, kok jadi ke situ sih?” dia memukul punggungku sambil cemberut dan setengah tersenyum. Tapi sisanya cuman senyumannya yang lembut. Aku meyereput kopi yang sudah tidak terlalu panas. Senyumnya selalu membuat kopi hitamku jadi berlebih manisnya. Aku merogoh kantong celanaku, mengambil bungkusan rokok dan korek api. “Dilarang merokok tau di sini.” ujarnya sambil menunjuk ke arah tanda area dilarang merokok. Aku mencari tanda yang biasanya tertulis AREA MEROKOK dengan gambar seperti rokok yang sedang dibakar dengan asap yang dipaksa seperti mengepul. Di ujung barat stasiun ini rupanya. Di dekat kios yang menjual kopi tadi. Sekilas aku jadi teringat ucapan seorang kawan “kaum perokok semakin dimarjinalkan”. Terasa juga lama-lama olehku. Walaupun tak terlalu mengerti arti dari kata “dimarjinalkan” itu. Katanya pemerintah, perokok harus menghargai mereka yang bukan perokok. Tanpa ada himbauan untuk yang bukan perokok harus menghargai yang perokok. Padahal di pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di Sekolah Dasar saja sudah diajarkan untuk saling menghargai. Yah, jadi seharusnya yang bukan perokok juga harus menghargai yang perokok. Kalau di bedakan tempat untuk perokok dan bukan perokok, kapan mau belajar saling menghargainya? “Pindah yuk.” aku menghentikan pikiranku sebelum melantur jauh memikirkan pelajaran saling menghargai itu. Aku langsung berdiri mengambil tas yang tergeletak di lantai. Perempuan yang bersandar di bahuku hampir tersungkur. “Kemana?” “Tuh..” aku menunjuk plang bertuliskan SMOKING AREA di ujung barat.



“Bawain ranselku juga dong.” Dia berjalan dibelakangku. Aku mencari tempat duduk kosong. Penuh juga area merokok di stasiun ini. Padahal di area dilarang merokok tidak seramai ini. Padahal areanya lebih luas dan terbuka. Aku mendapatkan tempat duduk di pojokan SMOKING AREA. “Perhatikan deh, tempat ini banyak orang. Tapi sepi. Gak terdengar orang ngobrol.” ujarku sambil menyulut sebatang rokok. “Ah, paling lagi pada asyik sama gadgetnya.” ujarnya sambil mengeluarkan handphone. “Itu orangorang pasti lagi pada sibuk di twitter atau facebook.” ujarnya sambil mengetik-ngetik sesuatu. “Kok tau sih?” “Kan di sini area wi-fi juga. Gratisan. Orang-orang jaman sekarang kan bela-belain beli pulsa buat internetan. Apalagi dikasih gratis. Makin sibuk lah.” “Iya sibuk sama orang-orang yang jauh. Yang disampingnya jadi dilupain. Sama kayak kamu.” “Huuu, aku kan gak sering kayak gitu.” dia menjulurkan lidahnya. “Lagipula, sepertinya orang-orang zaman sekarang kebanyakan lebih senang ngobrol sama orangorang yang jauh. Biar komunikasi jalan sih katanya. Tapi ya itu tadi, yang disampingnya jadi kaya tiang listrik. Diangguriiiiiin.” “Tapi kan kalo yang disebelahnya juga sama kayak gitu gak jadi masalah dong?” “Iya juga sih, tapi gak asyik aja. Ramai tapi sepi. Jadi kayak gak besosialisasi.” “Yeh, kan main internet juga sama dengan bersosial. Twitter sama facebook juga kan katanya media sosial.” “Tapi kan manusia itu butuh mengungkapkan ekspresi. Ekspresi wajah maksudnya. Biar tetap bisa hidup. Gak lucu aja, di sosial media mereka pake emotikon wajah yang senyum, ketawa, sedih, nangis, tapi nyatanya wajah mereka datar-datar aja.” “Ah, paling juga kamu kalau gak ada aku di sini cuman ngerokok sama ngopi doang. Yang sebelahnya gak diajak ngobrol juga paling.” dia menghabiskan kopinya. “Setidaknya kan aku masih bisa berekspresi.” sambil membakar rokok kedua di stasiun ini. Terdengar suara dari pengeras suara memberitahukan kereta dari arah barat masuk ke stasiun. Beberapa saat setelah itu kereta berhenti. Gerbong keempat kereta itu tepat berhenti di depanku. Satu per satu penumpang turun dari gerbong kereta. Seorang Ibu dengan bawaan yang cukup banyak menjadi target dari para kuli angkut di stasiun. Ibu itu bersama seorang anak perempuan yang masih kecil. Mungkin masih sekitar 3 tahun. Ibu itu berjalan ke arahku sambil menuntun anak perempuan itu yang kemungkinan besar adalah anaknya. Mereka berdua akhirnya duduk tak jauh dari tempat kami. Tepat di samping Ibu itu, duduk seorang bocah laki-laki yang seumuran dengan anak perempuannya. Bocah itu sedang bermain dengan



gadgetnya. Tampak sibuk bocah itu. Si anak perempuan menghampirinya, mencolek badan si bocah laki-laki. Bocah itu menoleh ke sumber colekannya. Si anak perempuan tersenyum manis sambil memegang tangan bocah laki-laki itu. Si bocah tampak kaget dan hanya diam saja mematung. Mereka berdua saling bertatap. “Enak ya jadi anak kecil. Belum tahu perasaan apa-apa. Kalau dia tertarik langsung disamperin. Diajak main.” perempuan di sampingku bergumam. Dia memperhatikan hal yang sama denganku. Si anak perempuan itu melepaskan tangannya dari lengan si bocah laki-laki. Kemudian menjulurkan tangannya. Sepertinya mengajak berkenalan. Dan si bocah laki-laki pergi bersembunyi ke balik badan seorang Ibu yang sepertinya Ibu dari bocah laki-laki itu. Si Ibu tersenyum ke arah anak perempuan itu. Sambil menyuruh si bocah untuk bersalaman dengan si anak perempuan. “Iya, anak-anak kecil itu kelihatan banget aslinya. Emang udah kodratnya kali ya kalo cewek itu penggoda gitu. Terus yang laki-laki pemalu.” ujarku. “Gak ada hubungannya.” dia memukul punggungku lagi. Kami tertawa cukup kencang. Beberapa orang di sekitar menoleh ke arah kami. “Oh iya, tentang cinta. Gimana kuliahmu? Udah mulai cinta sama kuliahnya?” ujarku dengan nada sedikit serius. “Hmmm, kuliah ya? Sepertinya masih sama. Tapi ada sedikit lah yang berubah.” “Sudah mulai masuk tingkat 3 loh. Masa masih gitu-gitu aja?” “Yah, aku cuman tinggal lulus saja kok. Berusaha lulus lebih tepatnya.” Dia menyeruput kopi punyaku yang mulai hilang hangatnya. “Aku pernah cerita kan, aku kuliah sepertinya salah jurusan. Salahku sendiri sih dulu cuman asal milih. Asal milih tempat kuliah. Cuman biar gak malu aja sama teman-teman yang lain. Yang lain kan pada kuliah. Masa aku gak sih?” “Wah, wah. Bahaya itu. Banyak loh yang bener-bener pengen kuliah tapi gak bisa kuliah. Karena kebentur sama biaya misalnya.” “Selama orang tuaku bisa membiayaiku kan gak masalah. Heheh.” ujarnya sambil tersenyum nyengir. “Ah, kamu. Tapi kamu seneng dengan kuliahmu?” “Seneng sih seneng. Tapi belum cinta. Jadi ya tadi itu, masih seadanya. Yang penting ntar lulus.” Aku menyalakan rokok ketiga malam itu. “Kamu gimana?” ujarnya berlanjut. “Hati-hati loh. Gak cinta sama kuliah sendiri bisa bikin malas.” “Iya, iya. Kamu gimana? Emang kamu cinta sama kuliah kamu?” “Gak juga. Heheh.”



“Huuuu. Sama aja.” dia sambil memukul punggungku. “Hobi banget sih mukulin orang? Bukannya gak cinta. Tapi gak terlalu cinta sama kuliahnya. Bukan minatku sih. Sama kayak kamu kan. Tapi aku gak asal pilih dulu pas masuk. Aku kuliah biar orang tuaku senang dan bangga dengan anaknya.” “Mulai deh sok bijaknya. Terus gimana?” dia menyeruput kopiku lagi. Sekali-kali dia melirik ke arah bocah laki-laki dan anak perempuan tadi. “Awalnya aku emang bener-bener gak ada cinta sama sekali sama tempatku kuliah. Jadi kepaksa gitu. Bawaannya jadi malas.” aku menghisap dalam-dalam rokokku. “Tapi?” “Tapi dari awal tahun kemarin aku mulai tumbuh benih-benih cinta sama kuliah. Lebih tepatnya aku jatuh cinta sama kegiatan di kampus. “Maksudnya?” “Maksudnya begini, aku punya kegiatan lain yang aku bisa menyalurkan minatku di kampus. Selain tentang akademis yang sudah tentu bukan minatku. Jadi karena aku bisa menyalurkan minatku dan mencari kegiatan lain yang emang aku cinta sama kegiatannya, aku paksa juga buat cinta sama kuliah akademisku. Yah semacam melakukan hobi gitu lah. Jadi kalau malas kuliah, aku bisa ada kegiatan buat ngebalikin semangatku lagi. Begitu.” aku menyeruput kopi yang tinggal sedikit. “Kalau bisa, kamu cari kegiatan yang memang minat kamu lah. Buat menimbulkan benih-benih cinta sama kuliah. Jadi gak asal nyari lulus nantinya.” Satu rangkaian kereta masuk ke stasiun dan berhenti di belakangku. Kereta dari arah timur. Menuju ke barat. Tak berapa lama dari speaker diberitahukan kalau itu adalah kereta yang akan kami tumpangi. “Sudah kok, aku udah punya kegiatan yang sesuai dengan minatku. Bahkan aku sangat mencintai kegiatanku ini.” dia sambil mengangkat tasnya. “Apa emang? Kamu belum pernah cerita.” “ Nemenin kamu selama aku mampu.” dia tersenyum begitu manis. “Yuk, keretanya sudah tiba.” Aku menyeruput sisa kopiku. Yang terlampau manis karena senyumannya.