Lina Anggraeni - LP Dan ASKEP CKD (Kasus 1) - Revisi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. S DENGAN DIAGNOSIS MEDIS CKD



Disusun Untuk Memenuhi Syarat Penugasan Individu Program Profesi Ners Departemen Keperawatan Medikal



Disusun oleh Lina Anggraeni 190070300011046



PROGRAM PROFESI NERS PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2020



CHRONIC KIDNEY DESEASE (CKD) a. Definisi Penyakit ginjal kronis adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, Penurunan fungsi/kerusakan pada ginjal menyebabkan ketidakmampuan ginjal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan maupun elektrolit, sehingga timbul gejala uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah), keadaan ini memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisi atau transplantasi ginjal (Cynthia Lee Terry,2013). Gagal ginjal kronik merupakan kerusakan ginjal atau penurunan kemampuan filtrasi glomelurus (Glomerular Filtration Rate/GFR) kurang dari 60 ml/min/1,73 m2 yang terjadi selama lebih dari 3 bulan (Suwitra, 2014). Menurut KDIGO (2013) Gagal ginjal kronik merupakan suatu keadaan abnormalitas dari struktur atau ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan yang mempengaruhi kesehatan, dengan kriteria sebagai berikut: 1. Adanya kerusakan ginjal (satu atau lebih): a. Albuminuria (AER ≥30 mg/24 jam; ACR ≥30 mg/g [≥3 mg/mmol]) b. Abnormalitas sedimen urin c. Abnormalitas elektrolit dan lainnya akibat dari kerusakan pada tubulus ginjal d. Adanya abnormalitas yang diketahui dari histologi e. Abnormalitas struktural yang diketahui dari pencitraan f.



Mempunyai riwayat transplantasi ginjal



2. Penurunan GFR GFR 60 ml/min/1,73 m2 (Kategori GFR G3a-G5) Kondisi ginjal yang gagal melaksanakan fungsi utamanya akan terjadi gangguan pembuluh darah dan penyakit lebih mudah merusak pembuluh darah tersebut. Akibatnya, darah yang diterima unit penyaring menjadi lebih sedikit, dan tekanan darah di dalam ginjal tidak bisa dikendalikan. Bila unit penyaring yang terganggu, maka suplai darah kurang dan gangguan tekanan darah akan membuat ginjal tidak mampu membuang zat-zat tidak terpakai lagi. Selain itu ginjal juga tidak bisa mempertahankan keseimbangan cairan dan zat-zat kimia di dalam tubuh, sehingga zat buangan bisa



masuk kembali ke dalam darah. Juga mungkin terjadi, zat kimia yang dibutuhkan tubuh dan protein akan ikut keluar bersama urin (Suwitra, 2014). Pada gagal ginjal kronik penderita hanya dapat berusaha menghambat laju tingkat kegagalan fungsi ginjal tersebut, agar tidak menjadi gagal ginjal terminal (GGT), suatu kondisi dimana ginjal sudah tidak dapat berfungsi lagi. Kondisi gagal ginjal kronik ini biasanya timbul secara perlahan dan sifatnya menahun, dengan sedikit gejala pada awalnya, bahkan lebih sering penderita tidak merasakan adanya gejala dan diketahui fungsi ginjal sudah menurun 25% dari normal. Beberapa penyakit yang memicu terjadinya penyakit aggal ginjal kronik, antara lain diabetes, hipertensi, dan batu ginjal (Brunner and Suddarth, 2014). b. Tahapan Perkembangan Gagal Ginjal Kronik Tahapan perkembangan gagal ginjal kronik, yaitu (Baradero dkk. 2005): 1. Penurunan cadangan ginjal a. Sekitar 40-75% nefron tidak berfungsi b. Laju filtrasi glomerulus 40-50% normal c. BUN dan kreatinin serum masih normal d. Pasien asimtomatik 2. Gagal ginjal a. 75-80% nefron tidak berfungsi b. Laju filtrasi glomerulus 20-40% normal c. BUN dan kreatinin serum mulai meningkat d. Anemia ringan dan azotemia ringan e. Nokturia dan poliuria 3. Gagal ginjal a. Laju filtrasi glomerulus 10-20% normal b. BUN dan kreatinin serum meningkat c. Anemia, azotemia, asidosis metabolik d. Berat jenis urin e. Poliuria dan nokturia f.



Gejala gagal ginjal



4. End-stage renal disease (ESRD) a. Lebih dari 85% nefron tidak berfungsi b. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 10% normal c. BUN dan kreatinin tinggi



d. Anemia, azotemia, dan asidosis metabolik e. Berat jenis urin tetap 1,010 f.



Oliguria



g. Gejala gagal ginjal c. Etiologi Penyebab paling umum dari gagal ginjal kronik adalah diabetes mellitus (tipe 1 atau tipe 2) dan hipertensi, sedangkan penyebab End-stage Renal Failure (ERFD) di seluruh dunia adalah IgA nephropathy (penyakit inflamasi ginjal). Komplikasi dari diabetes dan hipertensi adalah rusaknya pembuluh darah kecil di dalam tubuh, pembuluh darah di ginjal juga mengalami dampak terjadi kerusakan sehingga mengakibatkan gagal ginjal kronik. Etiologi gagal ginjal kronik bervariasi antara negara yang satu dengan yang negara lain. Di Amerika Serikat diabetes melitus menjadi penyebab paling banyak terjadi gagal ginjal kronik yaitu sekitar 44%, kemudian diikuti oleh hipertensi sebanyak 27% Dan glomerulonefritis sebanyak 10% (Thomas 2008). Di Indonesia penyebab gagal ginjal kronik sering terjadi karena hipertensi, diabetes mellitus, glomerulonephritis, obstruksi, dan infeksi pada ginjal(PERNEFRI, 2012). Penyebab dari gagal ginjal kronis yang tersering dibagi menjadi 8 kelas, antara lain: Tabel 1. Klasifikasi Penyebab Gagal Ginjal Kronik Klasifikasi Penyakit Penyakit infeksi tubulointerstitial Penyakit peradangan Penyakit vascular hipertensif



Gangguan jaringan ikat



Gangguan kongenital dan herediter Penyakit metabolic



Nefropati toksik Nefropati obstruktif



Penyakit Pielonefritis kronis/refluks nefropati Glomerulonefritis Nefrosklerosis benigna Nefrosklerosis maligna Stenosis arteri renalis SLE Poliarteritis nodosa Sklerosis sistemik progresif Penyakit ginjal polikistik Asidosis tubulus ginjal DM Gout, hiperparatiroidisme Amilodosis Penyalahgunaan analgesik, obat TBC Nefropati timah Traktus urinarius bagian atas: neoplasma, fibrosis retroperitoneal



batu,



Traktus urinarius bagian bawah: hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital leher vesika urinaria dan uretra d. Stadium Chronic Kidney Disease (CKD) diklasifikasikan berdasarkan CGA sistem yaitu Cause, GFR category, dan Albuminuria category. Gagal ginjal kronik merupakan stadium 5 dari CKD atau biasa disebut dengan End-stage Renal Disease (ESRD). Dikatakan gagal ginjal kronik apabila dari hasil tes nilai eGFR < 15 mL/min/1.73 m2. Klasifikasi Chronic Kidney Disease (CKD) dalam Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) CKD Work Group (2013) KDIGO 2 clinical practice guideline for the evaluation and management of chronic kidney disease: Tabel 2. Kategori GFR (KDIGO 2013) GFR (ml/min/1.73 m2)



GFR category



Terms



G1



>90



Normal or high



G2



60–89



Mildly decreased*



G3a



45–59



Mildly to moderately decreased



G3b



30–44



Moderately to severely decreased



G4



15–29



Severely decreased



G5



30



Severely increased**



* Relatif pada level dewasa ** Termasuk sindrom nefrotik (ACR > 220 mg/mmol) GFR = glomerular filtration rate AER = albumin excretion rate ACR = albumin-to-creatinine ratio e. Tanda Dan Gejala



Gagal ginjal kronis atau penyakit ginjal kronis adalah penurunan secara lambat dan progresif dari fungsi ginjal. Biasanya terjadi akibat komplikasi dari kondisi medis lain yang serius. Tidak seperti gagal ginjal akut yang terjadi dengan cepat dan tiba-tiba, gagal ginjal kronis terjadi secara bertahap. Gagal ginjal kronis terjadi dalam hitungan minggu, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun sampai ginjal perlahan berhenti bekerja, mengantarkan pada stadium akhir penyakit ginjal (ESRD). Perkembangan yang sangat lambat inilah yang mengakibatkan gejala tidak muncul sampai adanya kerusakan besar. Manifestasi klinis gagal ginjal kronik (Tanto, 2014): 1. Gangguan keseimbangan cairan: oedema perifer, efusi pleura, hipertensi, asites 2. Gangguan elektrolit dan asam basa: tanda dan gejala hyperkalemia, asidosis metabolic (nafas Kussmaul), hiperfosfatemia 3. Gangguan gastrointestinal dan nutrisi: metallic taste, mual, muntah, gastritis, ulkus peptikum, malnutrisi 4. Kelainan kulit: kulit terlihat pucat, kering, pruritus, ekimosis 5. Gangguan metabolik endokrin: dislipidemia, gangguan metabolik glukosa, gangguan hormon seks 6. Gangguan hematologi: anemia (dapat mikrositik hipokrom maupun normositik normokrom), gangguan hemostatis. Manifestasi klinis gagal ginjal kronik (Smeltzer & Bare 2001): 1. Kardiovaskuler a) Hipertensi, gagal jantung kongestif, udema pulmoner, perikarditis b) Pitting edema (kaki, tangan, sacrum) c) Edema periorbital d) Friction rub pericardial e) Pembesaran vena leher 2. Dermatologi a) Warna kulit abu-abu mengkilat b) Kulit kering bersisik c) Pruritus d) Ekimosis e) Kuku tipis dan rapuh f) Rambut tipis dan kasar 3. Pulmoner a) Krekels b) Sputum kental dan liat c) Nafas dangkal d) Pernafasan kussmaul 4. Gastrointestinal a) Anoreksia, mual, muntah, cegukan b) Nafas berbau ammonia c) Ulserasi dan perdarahan mulut



d) Konstipasi dan diare e) Perdarahan saluran cerna 5. Neurologi a) Tidak mampu konsentrasi b) Kelemahan dan keletihan c) Konfusi/perubahan tingkat kesadaran d) Disorientasi e) Kejang f) Rasa panas pada telapak kaki g) Perubahan perilaku 6. Muskuloskeletal a) Kram otot b) Kekuatan otot hilang c) Kelemahan pada tungkai d) Fraktur tulang e) Foot drop 7. Reproduktif a) Amenore b) Atrofi testekuler f.



Patofisiologi Ginjal



merupakan



salah



satu



organ



ekskretori



yang



berfungsi



untuk



mengeluarkan sisa metabolisme didalam tubuh diantaranya ureum, kreatinin, dan asam urat sehingga terjadi keseimbangan dalam tubuh. Penyakit ini diawali dengan kerusakan dan penurunan fungsi nefron secara progresif akibat adanya pengurangan masa ginjal. Pengurangan masa ginjal menimbulkan mekanisme kompensasi yang mengakibatkan terjadinya hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa. Perubahan ini mengakibatkan hiperfiltrasi yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Selanjutnya penurunan fungsi ini akan disertai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dan peningkatan sisa metabolisme dalam tubuh. Perjalanan umum ginjal kronik  dapat dibagi menjadi tiga stadium. Stadium satu dinamakan penurunan cadangan ginjal . Pada stadium ini kreatin serum dan BUN dalam keadaan normal dan penderita asimtomatik (tanpa gejala). Gangguan fungsi ginjal akan dapat diketahui dengan tes GFR. Stadium dua dinamakan insufisiensi ginjal , dimana lebih dari 75%  jaringan yang berfungsi telah rusak dan GFR 25% dari normal. Pada tahap ini BUN baru mulai stadium insufisiensi ginjal gejala nokturia dan poliuria diakibatkan kegagalan pemekatan. Nokturia (berkemih pada malam hari) sebanyak 700 ml atau  berkemih lebih dari beberapa kali. Pengeluaran urin normal sekitar 1500 ml perhari atau sesuai dengan jumlah cairan yang diminum.



Stadium ke tiga dinamakan gagal ginjal stadium akhir uremia . sekitar 90% dari massa nefron telah hancur atau sekitar 200.000 yang masih utuh. Nilai GFR nya hanya 10% dari keadaan normal dan bersihakan kreatin sebesar 5-10 ml/menit. Penderita biasanya oliguri (pengeluaran urien kurang dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomelurus uremik. Fungsi ginjal menurun, produk akhir metabolisme protein. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Stadium paling dini dari penyakit gagal ginjal kronis, akan menyebabkan penurunan fungsi yang progresif ditandai dengan peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum. Pasien dengan GFR 60% belum merasakan keluhan, tetapi sudah ada peningkatan kadar ureum dan kreatinin, sampai GFR 30% keluhan nokturia, badan lemas, mual, nafsu makan berkurang, dan penurunan berat badan mulai terjadi (Brunner and Suddarth, 2014) g. Pemeriksaan Penunjang Menurut Tanto (2014) pemeriksaan penunjang pada pasien GGK adalah: 1. Volume urin : Biasanya kurang dari 400 ml/ 24 jam (fase oliguria) terjadi dalam (24 jam – 48) jam setelah ginjal rusak. 2. Warna Urin : Kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah. 3. Berat jenis urin : Kurang dari l, 020 menunjukan penyakit ginjal contoh glomerulonefritis, pielonefritis dengan kehilangan kemampuan memekatkan : menetap pada l, 0l0 menunjukkan kerusakan ginjal berat. 4. pH : Lebih besar dari 7 ditemukan pada ISK, nekrosis tubular ginjal dan rasio urin/ serum saring (1 : 1). 5. Analisis gas darah: asidosis metabolic (pH menurun, HCO3 menurun) 6. Kliren kreatinin : Peningkatan kreatinin serum menunjukan kerusakan ginjal. 7. Natrium : Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/ ltr bila ginjal tidak mampu mengabsorpsi natrium. 8. Ureum meningkat 9. Bikarbonat : Meningkat bila ada asidosis metabolik. 10. Warna tambahan : Biasanya tanda penyakit ginjal atau infeksi tambahan warna merah diduga nefritis glomerulus. 11. Pemeriksaan elektrolit: hyperkalemia, hipokalsemia, hipermag-nesemia Pemeriksaan yang bisa dilakukan dalam menentukan gagal ginjal kronik, antara lain: 1. Gambaran Klinis



Gambaran Klinis Pasien penyakit ginjal kronik meliputi: a. Seperti dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus, urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus, Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya. b. Syndrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, (Volume Overload) neuropati perifer, proritus, uremic, frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma. c. Gejala komplikasi nya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidiosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, khlorida). 2. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan Laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi: a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal. c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidiosis metabolik. d. Kelainan urinalisis meliputi: proteiuria, leukosuria, cast, isostenuria. 3. Gambaran Radiologis Pemeriksaan Radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi: a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak. b. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, disamping kehawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan. c. Pielografi antergrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, klasifikasi. e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi.



4. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal



Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasi kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas. h. Penatalaksanaan Rencana penatalaksanaan penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya menurut Suwitra (2014) antara lain: Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya Derajat LFG (ml/mn/1,73m2) 1 ≥90



Terapi



penyakit



Rencana Tatalaksana dasar, kondisi komorbid,evaluasi



perburukan (progression) fungsi ginjal, memperkecil risiko 2 3 4 5



60-80 30-59 15-29 ˂15



kardiovaskuler Menghambat perburukan (progession) fungsi ginjal Evaluasi dan terapi komplikasi Persiapan untuk terapi pengganti ginjal Terapi pengganti ginjal



Di bawah ini merupakan penjelasan dari penatalaksanaan penyakit ginjal kronik berdasarkan tabel diatas adalah: 1. Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan LFG sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat. 2. Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya. 3. Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal



Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus dengan cara penggunaan obat-obatan nefrotoksik, hipertensi berat, gangguan elektrolit (hipokalemia). Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah: a. Pembatasan Asupan Protein Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik (Suwitra 2007). LFG ml/mnt ˃60 25-60



Asupan protein g/kg/hr Fosfat g/kg/hr Tidak dianjurkan Tidak dibatasi 0,6-0,8/kg/hr, termasuk ≥ 0,35 gr/kg/hr ≤ 10 g



5-25



nilai biologi tinggi 0,6-0,8/kg/hr, termasuk ≥ 0,35 gr/kg/hr



≤ 10 g



protein nilai biologis tinggi /tambahan 0,3 g asam amino esensial / asam keton 0,8/kg/hr (+ 1 gr protein/ g proteinuria atau ≤ 9 g



˂60 (SN)



0,3 g / kg tambahan asam amino esensial atau asam keton Pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah asupan protein berlebih (protein overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan



tekanan



intraglomerulus



(intraglomerulus



hyperfiltration),



yang



akan



meningkattkan progresifitas pemburuan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia. b. Terapi Farmakologis Terapi farmakologi bertujuan untuk mengurangi hipertensi, memperkecil risiko gangguan kardiovaskuler juga memperlambat pemburukan kerusakan nefron. Beberapa obat antihipertensi, terutama penghambat enzim konverting angiotensin (Angiotensin Converting Enzym/ ACE inhibitor dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal. 4. Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskuler Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyaki kardiovaskuler adalah pengendalian



diabetes,



pengendalian



hipertensi,



pengendalian



dislipidemia,



pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.



5. Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi. a. Anemia Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritopoitin. Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, disamping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoipin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini status besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian transfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Transfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl. b. Osteodistrofi renal Osteodistrofi Renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi.



Penatalaksanaan



Osteodistrofi



Renal



dilaksanakan



dengan



cara



mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormone Kalsitriol (1.25(OH) 2D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan absorbsi fosfat disaluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia. 1. Manajemen Hiperfosfatemia a. Pembatasan asupan fosfat Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien penyakit ginjal kronik secara umum yaitu, tinggi kalori, rendah protein dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk hewan seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk menghindari terjadinya malnutrisi b. Pemberian pengikat fosfat Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah garam kalsium, alumnium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorbsi fofat yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan



kalsium acetate. Memperlihatkan cara dan jenis pengikat fosfat, efikasi dan efek sampingnya. c. Pemberian bahan kalsium memetik (calcium mimetic agent) Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor



Ca



pada



kelenjar



paratiroid,



dengan



nama



sevelamer



hidrokhlorida. Obat ini disebut juga calcium mimetic agent, dan dilaporkan mempunyai efektivitas yang sangat baik serta efek samping yang minimal. 2. Pemberian Kalsitriol (1.25(OH2D3)) Pemberian Kalsitriol untuk mengatasi osteodistrofi renal banyak dilaporkan. Tetapi pemakaiannya tidak begitu luas, karena dapat meningkatkan absorbsi fosfat dan kalsium disaluran cerna sehingga dikhawatirkan mengakibatkan penumpukan barang calcium carbonate dijaringan, yang disebut kalsifikasi metastatik. Disamping itu juga dapat mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid. Oleh karena itu pemakainnya dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan kadar hormone paratiroid (PTH)>2,5 kali normal. 3. Pembatasan Cairan dan Elektrolit Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya odem dan komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk kedalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar baik melalui urin maupun insensible water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui insible water antara 500-800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500800 ml ditambah jumlah urin. Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritnia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obatobat yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus dibatasi kadar kalium darah dianjurkan 3,5-5,5 mEq/lt. Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah derajat edema yang terjadi. 6. Terapi Pengganti Ginjal Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.



a. Hemodialisis Hemodialisa adalah suatu prosedur yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut (Raharjo, et al. 2009). Proses dialisa menyebabkan pengeluaran cairan dan sisa metabolisme dalam tubuh serta menjaga keseimbangan elektrolit dan produk kimiawi dalam tubuh (Ignatavicius & Workman 2006). Tujuan hemodialisis adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dialiser tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Aliran darah akan melewati tubulus tersebut sementara cairan dialisat bersikulasi di sekitarnya. Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi membran semipermeabel tubulus (Rosdiana 2011). Proses hemodialis dilakukan 1-3 kali dalam seminggu di rumah sakit dengan memerlukan waktu



sekitar



2-45



jam



setiap



kali



hemodialisis



(Syamsir&Hadibroto



2007).Keputusan untuk inisiasi terapi dialisis berdasarkan parameter laboratorium bila LFG antara 5 dan 8 ml/menit/l .73 m2.



Gambar 3. Proses Hemodialisis (Joyce, dkk. 2008) Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah (Rosidana 2011).



Gambar 4. Proses Difusi (http://www.baxter.com) Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan, yaitu air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke daerah dengan tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis (Rosdiana 2011).



Gambar 5. Proses Ultrafiltrasi (http://www.lhsc.on.ca/) Indikasi inisiasi terapi dialisis: 1. Indikasi absolut a. Periecarditis b. Ensefalopati / neuropati azotemik c. Bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik



d. Hipertensi refrakter e. Muntah persisten f.



BUN > 120 mg % dan kreatinin > 10 mg %



2. Indikasi elektip a. LFG (formula Cockcroft dan Gault) antara 5 dan 8 ml/m/1,73 m2 b. Mual, anoreksia,muntah, dan astenia berat Persiapan untuk program dialisis regular, antara lain: Setiap



pasien



yang



akan



menjalani



program



dialisis



regular



harus



mendapatinformasi yang harus dipahami sendiri dan keluarganya. Beberapa persiapan (preparasi) dialisis regular: 1. Sesi dialisis 3-4 kali per minggu (12-15 jam) per minggu 2. Psikoligis yang stabil 3. Finalsial cukup untuk program terapi dialisis regular selama waktu tidak terbatas sebelum transplantasi ginjal 4. Pemeriksaan laboratorium dan perasat lainnya sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Pemeriksaan ini sangat penting untuk menjamin kualitas hidup optimal 5. Disiplin pribadi untuk menjalankan program terapi ajuvan : a. Diet, perbatasan asupan cairan dan buah-buahan b. Obat-obatan yang diperlukan yang tidak terjangkau dialisis 6. Operasi A-V fistula dianjurkan pada saat kreatinin serum 7 mg/% terutama pasien wanita, pasien usia lanjut dan diabetes mellitus. Komplikasi yang dapat terjadi akibat hemodialisis, antara lain: 1. Hipotensi Dapat terjadi selama dialisis ketika cairan dikeluarkan. 2. Emboli udara Jarang terjadi, namun bisa terjadi akibat udara yang memasuki sistem vaskular pasien. 3. Nyeri dada Terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya sikulasi di luar tubuh. 4. Pruritus Selama terapi adanya produk akhir metabolisme yang tersisa di dalam kulit



5. Gangguan keseimbangan dialisis Akibat perpindahan cairan cerebral dan muncul sebagai serangan kejang, berpotensi besar jika terdapat uremia yang berat. 6. Malnutrisi Akibat kontrol diet dan kehilangan nutrient selama hemodialisa. 7. Fatigue dan kram Pasien dapat mengalami kecapean akibat hipoksia yang disebabkan edema pulmoner. Hipoksia pulmoner terjadi akibat retensi cairan dan sodium. b. Peritoneal Dialisis Pada dialisis ini membran dialisis menggunakan membran peritoneal pasien sendiri. Cairan dialisis diletakkan pada rongga peritoneal menggunakan kateter yang dimasukkan dan dibiarkan selama 4-6 jam untuk mencapai kesetimbangan. Dialisat kemudian dibuang dan digantikan dengan fluida dialisis yang baru. Perubahan konsentrasi glukosa pada dialisat akan mengubah osmolaritas dan hal ini mengatur perpindahan air secara osmosis dari darah ke dialisat. Proses ini dapat dilakukan sendiri oleh pasien di rumah. Komplikasi yang sering terjadi adalah peritonitis.



Gambar 6. Pasien yang mendapat dialisis peritoneal (Baradero 2005) c. Transplantasi Ginjal Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).



Pertimbangan program transplantasi ginjal: 1. Ginjal cangkok (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70 - 80% faal ginjal alamiah. 2. Kualitas hidup normal kembali 3. Masa hidup (survival rate) lebih lama 4. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan 5. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi. Kontraindikasi relatif terhadap transplantasi ginjal: 1. Usia lebih dari 70 th 2. HIV positif 3. Infeksi bakteri 4. Keganasan yang baru terjadi atau sedang diderita 5. Penyakit jantung berat 6. Sensitasi tinggi 7. Penyakit ginjal dengan risikp rekurensi yang tinggi Persiapan program transplantasi ginjal, antara lain: 1. Pemeriksaan imunologi a. Golongan darah ABO 1. Ketidak serasian golongan darah ABO antara resipien dan donor menyebabkan reaksi penolakan hiperakut (hyperacute immediate rejection) 2. Antigen Rhesus tidak berperan untuk reaksi penolakan. b. Tipe jaringan HLA ( human leucocyte antigen ) Klasifikasi HLA berdasarkan (major histocompatibility gene complex): 1. Kelas (I) antigen : * HLA – A * HLA – B * HLA-C 2. Kelas (II) antigen : * HLA - D (DR) Seleksi pasien (resipien) dan donor hidup keluarga i.



Komplikasi Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut Smeltzer dan Bare (2013) yaitu:



1. Hiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolik, katabolisme dan masukan diet berlebihan. 2. Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat. 3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system reninangiostensin-aldosteron 4. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan kehilangan darah selama hemodialisis. 5. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatic akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal dan peningkatan kadar alumunium. Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut O’Callaghan (2009) yaitu: 1. Komplikasi Hematologis Anemia pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh produksi eritropoietin yang tidak adekuat oleh ginjal dan diobati dengan pemberian eritropoietin subkutan atau intravena. Hal ini hanya bekerja bila kadar besi, folat, dan vitamin B12 adekuat dan pasien dalam keadaan baik. Sangat jarang terjadi, antibodi dapat terbentuk melawan eritropoietin yang diberikan sehingga terjadi anemia aplastik. 2. Penyakit vascular dan hipertensi Penyakit vascular merupakan penyebab utama kematian pada gagal ginjal kronik. Pada pasien yang tidak menyandang diabetes, hipertensi mungkin merupakan faktor risiko yang paling penting. Sebagaian besar hipertensi pada penyakit ginjal kronik disebabkan hipervolemia akibat retensi natrium dan air. Keadaan ini biasanya tidak cukup parah untuk bisa menimbulkan edema, namun mungkin terdapat ritme jantung tripel. Hipertensi seperti itu biasanya memberikan respons terhadap restriksi natrium dan pengendalian volume tubuh melalui dialysis. Jika fungsi ginjal memadai, pemberian furosemid dapat bermanfaat. 3. Dehidrasi Hilangnya fungsi ginjal biasanya menyebabkan retensi natrium dan air akibat hilangnya nefron. Namun beberapa pasien tetap mempertahankan sebagian filtrasi, namun kehilangan fungsi tubulus, sehingga mengekskresi urin yang sangat encer, yang dapat menyebabkan dehidrsi. 4. Kulit



Gatal merupakan keluhan keluhan kulit yang paling sering terjadi. Keluhan ini sering timbul pada hiperparatiroidime sekunder atau tersier serta dapat disebabkab oleh deposit kalsium fosfat apda jaringan. Gatal dapat dikurangi dengan mengontrol kadar fosfat dan dengan krim yang mencegah kulit kering. Bekuan uremik merupakan presipitat kristal ureum pada kulit dan timbul hanya pada uremia berat. Pigmentasi kulit dapat timbul dan anemia dapat menyebabkan pucat. 5. Gastrointestinal Walaupun kadar gastrin meningkat, ulkus peptikum tidak lebih sering terjadi pada pasien gagal ginjal kronik dibandingkan populasi normal. Namun gejala mual, muntah, anoreksia, dan dada terbakar sering terjadi. Insidensi esofagitis serta angiodisplasia lebih tinggi, keduanya dapat menyebabkan perdarahan. Insidensi pankreatitis juga lebih tinggi. Gangguan pengecap dapat berkaitan dengan bau napas yang menyerupai urin. 6. Endokrin Pada pria, gagal ginjal kronik dapat menyebabkan kehilangan libido, impotensi, dan penurunan jumlah serta motilitas sperma. Pada wanita, sering terjadi kehilangan libido, berkurangnya ovulasi, dan infertilitas. Siklus hormon pertumbuhan yang abnormal dapat turut berkontribusi dalam menyebabkan retardasi pertumbuhan pada anak dan kehilangan massa otot pada orang dewasa. 7. Neurologis dan psikiatrik Gagal ginjal yang tidak diobati dapat menyebabkan kelelahan, kehilangan kesadaran, dan bahkan koma, sering kali dengan tanda iritasi neurologis (mencakup tremor, asteriksis, agitasi, meningismus, peningkatan tonus otot dengan mioklonus, klonus pergelangan kaki, hiperefleksia, plantar ekstensor, dan yang paling berat kejang). Aktifitas Na+/K+ ATPase terganggu pada uremia dan terjadi perubahan yang tergantung hormon paratiroid (parathyroid hormone, PTH) pada transport kalsium membran yang dapat berkontribusi dalam menyebabkan neurotransmisi yang abnormal. Gangguan tidur seringterjadi. Kaki yang tidak biasa diam (restless leg) atau kram otot dapat juga terjadi dan kadang merespons terhadap pemberian kuinin sulfat. Gangguan psikiatrik seperti depresi dan ansietas sering terjadi dan terdapat peningkatan risiko bunuh diri. 8. Imunologis Fungsi imunologis terganggu pada gagal ginjal kronik dan infeksi sering terjadi. Uremia menekan fungsi sebagaian besar sel imun dan dialysis dapat mengaktivasi efektor imun, seperti komplemen, dengan tidak tepat.



9. Lipid Hiperlipidemia sering terjadi, terutama hipertrigliseridemia akibat penurunan katabolisme trigliserida. Kadar lipid lebih tinggi pada pasien yang menjalani dialisis peritoneal daripada pasien yang menjalani hemodialisis, mungkin akibat hilangnya protein plasma regulator seperti apolipoprotein A-1 di sepanjang membran peritoneal. 10. Penyakit jantung Perikarditis dapat terjadi dan lebih besar kemungkinan terjadinya jika kadar ureum atau fosfat tinggi atau terdapat hiperparatiroidisme sekunder yang berat. Kelebihan cairan dan hipertensi dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri atau kardiomiopati dilatasi. Fistula dialysis arteriovena yang besara dapat menggunakan proporsi curah jantung dalam jumlah besar sehingga mengurangi curah jantung yang dapat digunakan oleh bagian tubuh yang tersisa. j.



Prognosis Prognosis GGT dengan program HD kronik tergantung dari banyak faktor terutama seleksi pasien dan saat rujukan. 1. Umur Umur < 40 tahun mulai program HD kronik mempunyai masa hidup lebih panjang, mencapai 20 tahun. Sebaliknya umur lanjut > 55 tahun kemungkinan terdapat komplikasi sistem kardiovaskuler lebih besar. 2. Saat rujukan Rujukan terlambat memberi kesempatan timbul gambaran klinik berat seperti koma, perikarditis, yang sulit dikendalikan dengan tindakan HD. 3. Etiologi GGT Beberapa penyakit dasar seperti lupus, amiloid, diabetes mellitus; dapat mempengaruhi masa hidup. Hal ini berhubungan dengan penyakit dasarnya sudah berat maupun kemungkinan timbul komplikasi akut atau kronik selama HD. 4. Hipertensi Hipertensi berat dan sulit dikendalikan sering merupakan faktos risiko vaskuler (kardiovaskuler dan serebral) 5. Penyakit sistem kardiovaskuler Penyakit sistem kardiovaskuler (infark, iskemia, aritmia) merupakan faktor risiko tindakan HD. Program CAPD merupakan faktor pilihan / alternatif yang paling aman.



6. Kepribadian dan personalitas Faktor ini penting untuk menunjang kelangsungan hidup pasien GGT dengan program HD kronik. 7. Kepatuhan (complience) Banyak faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan program HD kronik, misalnya kepribadian, finansial dan lain-lain. k. Diagnosis Keperawatan Yang Mungkin Muncul 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



Kelebihan volume cairan berhubungan dengan mekanisme pengaturan melemah Resiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan disfungsi renal Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane kapiler paru Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan sirkulasi Nyeri akut berhubungan dengan agen injury Mual berhubungan dengan paparan toksin Intoleransi aktivitas berhubungan dengan gangguan ketidakseimbangan suplay oksigen



l. WOC Kista ginjal



Vaskuler



Diabetes melitus ↑ kadar gula dalam darah Darah menjadi kental ↑ tekanan kapiler dalam ginjal Kerusakan pembuluh darah di ginjal



hipertensi Vasokonstriksi pembuluh darah, ↑tekanan darah dalam arteri



autoimun



Terdapat rongga dalam gijal yang disebabkan oleh kista Jumlah nefron yang sehat menurun



Merusak pembuluh darah nefron secara langsung



Ginjal kehilangan kemampuan laju filtrasi glomerulus



GFR menurun Hipertrofi struktural dan fungsional Terjadi peningkatan renin angiotensin aldosteron intra renal



infeksi Reaksi antigen anti bodi



Toksik : obat TB jamu nefrotoksik Terjadi kerusakan pada nefron



hiperfiltrasi Peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus Adaptasi fungsi Mal adaptasi nefron Sklerosis nefron Penurunan fungsi nefron progresif CKD



Stage 1(GFR > 90) ↓cadangan ginjal asimtomatik



Stage 2 (GFR 60 – 90)



Proteinuria/ albuminuria



BUN, Kreatinin meningkat Sekresi protein terganggu



Stage 3 GFR 30-59%) ↓Eritropoitin menurun



Retensi Na



anemia



Total CES ↑



MK: Keletihan



↑Tekanan kapiler



Stage 4 (GFR 15-29) Sekresi protein terganggu



Stage 5 (GFR 2 juta



O. Pola Seksualitas 1. Masalah dalam hubungan seksual selama sakit: tidak terkaji ( ) tidak ada



( ) ada



2. Upaya yang dilakukan pasangan: tidak terkaji ( ) perhatian



( ) sentuhan



( ) lain-lain, seperti,................



P. Pola Nilai & Kepercayaan 1. Apakah Tuhan, agama, kepercayaan penting untuk Anda, Ya/Tidak 2. Kegiatan agama/kepercayaan yg dilakukan dirumah (jenis & frekuensi): sholat 5 waktu 3. Kegiatan agama/kepercayaan tidak dapat dilakukan di RS: selama di rs klien tidak melakukan sholat 5 waktu, hanya berdoa saja 4. Harapan klien terhadap perawat untuk melaksanakan ibadahnya: Tidak ada Q. Pemeriksaan Fisik 1. Keadaan Umum:  Kesadaran: Compos Mentis  GCS: E4 V5 M6  Tanda-tanda vital:



- Tekanan darah : 160/90 mmHg - Nadi



 Tinggi badan: 160 cm



: 115 x/menit



Berat Badan: 86 kg



- Suhu : 36,5 oC - RR



: 28 x/menit



IMT: 33.6 kg/m2



2. Kepala & Leher a. Kepala: Bentuk kepala lonjong, bentuk wajah simetris kiri kanan, rambut pendek, tidak ada lesi dan massa, tidak ada nyeri tekan di kepala........................................................................................ b. Mata: Bentuk mata simetis kiri kanan, pergerakan bola mata bebas, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak icterus, kelopak mata kiri dan kanan dapat membuka dan menutup secara bersamaan, pupil isokor c. Hidung: Hidung sedikit mancung, hidung bersih tidak ada pengeluaran sekret, tidak ada massa dan lesi, tidak ada nyeri tekan. Pernapasan cuping hidung, Terpasang nasal kanul 5 lpm d. Mulut & tenggorokan: Mulut simetris kiri dan kanan, warna mukosa mulut pucat dan bibir berwarna kehitaman, tidak ada lesi maupun stomatitis, tidak memakai gigi palsu, tidak ada tanda gigi berlubang atau kerusakan gigi, gigi lidah serta gusi bersih. Tidak ada tanda tanda infeksi pada tonsil.



e. Telinga: Bentuk daun telinga kiri dan kanan sama. Telinga bersih, tidak ada massa dan lesi, tidak ada nyeri tekan. klien dapat mendengar dengan jelas ketika diajak berbicara f. Leher: Tidak ada pembesaran kelenjar gondok, tidak ada lesi dileher, tidak teraba pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada nyeri tekan, tidak ada distensi vena jugularis 3. Thorak & Dada:  Jantung - Inspeksi: bentuk dada rata dan simetris kiri kanan, tidak ada kelainan bentuk dada, tidak tampak ictus cordis, tidak ada pembengkakaan. - Palpasi: ictus cordis teraba ICS 5 midklavikula , tidak ada nyeri tekan pada dada - Perkusi: suara jantung normal - Auskultasi: bunyi jantung I dan II terdengar reguler, tidak ada bunyi jantung tambahan.........  Paru - Inspeksi: Pergerakan dinding dada simetris kiri kanan, pernapasan 28 x/rmenit, tidak terdapat lesi dan massa di dada, penggunaan otot bantu pernapasan (+) - Palpasi: tidak ada massa, taktil vremitus simetris kiri dan kanan - Perkusi: Resonan/sonor - Auskultasi: Bunyi napas vesikuler tidak terdapat bunyi napas tambahan -



-



4. Payudara & Ketiak  Inspeksi: Tidak ada benjolan, simetris kanan dan kiri.  Palpasi: tidka terdapat nyeri tekan 5. Punggung & Tulang Belakang 



Inspeksi: Tidak ada kelainan pada bentuk tulang dan tidak ada luka di punggung







Palpasi: tidka terdapat nyeri tekan



6. Abdomen  Inspeksi: perut rata, simetris kiri dan kanan, tidak ada massa  Palpasi: tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembesaran hati maupun limpa  Perkusi: tympani  Auskultasi: tidak ada peningkatan bising usus (8 x/menit) 7. Genetalia & Anus  Inspeksi: tidka terkaji  Palpasi: tidak terkaji 8. Ekstermitas



 Atas: tidak ada kelainan bentuk pada ekstremitas atas, tidak ada massa dan lesi di daerah ekstremitas atas. Terpasang IVFD RL ditangan kanan  Bawah: tidak ada edema, deformitas (-), tidak ada tanda-tanda sindrome kompartemen  Kekuatan otot: 5 5



5 5



9. Sistem Neurologi Kesadaran Compos Mentis, GCS : E4 V5 M6 ֊ Pemeriksaan 12 saraf cranial : a. N. I (Nervus Olfactory) : Klien mampu mengenal aroma minyak kayu putih ketika di dekatkan dengan hidungnya. b. N. II (Nervus Optik/vision) Pada inspeksi, tidak nampak tanda – tanda adanya katarak,



inflamasi



ataupun



tanda



konjungtivitis.



Klien



mengatakan



jika



pandangannya jelas c. N. III, IV & VI (Nervus Oculomotor, Trochlear & Abdusen) : Tidak nampak tanda anemis maupun konjungtivitis. Ketika di beri rangsangan cahaya, kedua pupil nampak kontriksi. Ukuran kedua pupil sama (3 mm/ 3 mm). Pada gerakan bola mata diperiksa enam lapang pandang (enam posisi cardinal) yaitu lateral, lateral ke atas, medial atas, medial bawah lateral bawah. Pada kedua bola mata tidak nampak strabismus. d. N. V (Nervus Trigeminal): Untuk pemeriksaan fungsi sensorik dilakukan dengan menyentuhkan kapas lembut yang steril ke kornea atau sentuhan agak keras ke kelopak mata, nampak reaksi mata klien berkedip. e. N. VII (Nervus Facial): Klien masih bisa merasakan rasa manis dan asin ketika diberi makanan dari rumah sakit. f.



N. VIII (Nervus Vestibulocochlear/Acoustic): Fungsi pendengaran klien tidak mengalami penuruann.



g. N. IX (Nervus Glossopharyngeal) dan N. X (Nervus Vagus): Klien diminta untuk mengucapkan kata “Aa” dan klien mengucapkan dengan jelas h. N. XI (Nervus spinal accessory) : 



Klien mampu mengangkat kedua bahu secara bersamaan. Ada kesimetrisan gerakan.



 i.



Klien mampu menoleh ke kanan dam ke kiri dengan baik



N. XII (Nervus Hypoglossal): klien membuka mulut dengan spontan dan tidak ada kekakuan leher atau mulut



10. Kulit & Kuku  Kulit: Warna kulit pucat, kulit teraba hangat, kering dan bersisik  Kuku: Kuku bersih dan pendek, CRT < 2 detik,



R. Hasil Pemeriksaan Penunjang a.



Pemeriksaan laboratorium



Parameter HB Leukosit Trombosit PCV GDS Ureum Kreatinin Natrium Kalium Clorida HIV HBSAG GFR



=



( 140−umur ) x BB 72 x kreatini n



=



( 140−52 ) x 86 72 x 11.5



Hasil 10,9 10.650 265.000 32,3 155 33,8 11,58 138,8 3,71 107,9 Non reaktif Non-reaktif



Normal 14.4-17.5 4-10 rb 150-450 ribu 40-50% 94%



Edukasi -



Anjurkan aktivitas fisik sesuai toleransi



-



Anjurkan beraktivitas fisik secara bertahap



-



Ajarkan pasien dan keluarga mengukur BB harian



-



Ajarkan pasien dan keluarga mengukur intak dan output cairan harian



Kolaborasi 3. 3



- Rujuk ke program rehabilitasi jantung keperawatan Pemantauan elektrolit



Risiko



Setelah



dilakukan



ketidakseimbangan



selama



1



elektrolit d.d disfungsi



ketidakseimbangan elektrolit tidak terjadi,



x



tindakan 24



jam,



Kolaborasi pemberian antiaritmia jika perlu



diharapakan



Observasi -



Identifikasi penyebab ketidakseimbangan elektrolit



ginjal



dengan kriteria hasil:



-



Monitor kadar elektrolit serum



Luaran utama: keseimbangan elektrolit



-



Monitor tanda dan gejala hipokalemia misal pusing



Serum natrium: meningkat (135-155



-



Monitor tanda dan gejala hiperkalemia misal mual, muntah



mmol/L)



-



Monitor tanda dan gejala hiponatremia misal sakit kepala



Serum kalium: meningkat (3,6-5,5



-



Monitor tanda dan gejala hypernatremia misal mual, muntah



-



mmol/L) -



Serum



Terapeutik klorida:



menurun



(98-107



mmol/L)



-



Atur interval waktu pemanatauan sesaui dengan kondisi pasien



-



Dokumentasikan hasil pemantauan



Edukasi -



4. 4



dilakukan



asuhan



Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan



- Informasikan hasil pemantauan INTRA DIALISIS keperawatan Perawatan integritas kulit



Gangguan integritas



Setelah



kulit b.d perubahan



selama 1 x 24 jam, diharapkan integritas kulit



sirkulasi d.d



membaik dengan kriteria hasil:



kemerahan



Luaran utama: integritas kulit dan jaringan



Observasi -



Identifikasi peyebab ganguan integritas kulit (Perubahan sirkulasi)



Terapeutik



-



Perfusi jairngan: menignkat



-



Kerusakan lapisan kulit: menurun



kering: Penggunaan gel aloevera dilakukan 2x sehari setelah mandi



-



Nyeri: menurun



dioleskan pada bagian tubuh yang kering dan gatal-gatal. Sebelum



-



Perdarahan: menurun



diberikan gel aloevera diaji terlebih dahulu apakah ada alergi



-



Kemerahan: menurun



terhadap gel aloevera dengan cara menempelkan gel aloevera pada



-



Gunakan produk gel aloevera untuk meredakan gatal dan kulit



lengan atas atau lengan bawah (atau pada bagian yang tidak gatal karena akibat hemodialisa), jika tidak muncul reaksi alergi seperti gatal dan kemerahan maka diberian gel aloevera pada bagian yang gatal akibat hemodialisa



-



Gunakan produk yang berbahan ringan/alami dan hipoalergik pada kulit sensitive



-



Hindari produk berbahan alcohol pada kulit kering



Edukasi



5. 5



-



Anjurkan menggunakan pelembab missal lotion



-



Anjurkan minum air yang cukup



-



Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi, buah dan sayur



Resiko perdarahan



- Anjurkan mandi menggunakan sabun secukupnya POST DIALISIS Setelah dilakukan intervensi selama 1 x 24 Pencegahan Perdarahan



d.d tindakan invasif



jam perdarahan tidak terjadi, maka tingkat



Observasi:



perdarahan menurun dengan kriteria hasil



-



Monitor tanda dan gejala perdarahan



sebagai berikut:



-



Monitor nilai haemoglobin sebelum dan setelah kehilangan darah



Luaran utama: tingkat perdarahan -



Kelembapan membrane mukosa



Terapeutik: -



Batasi tindakan invasive, jika perlu



Edukasi:



meningkat



-



Jelaskan tanda dan gejala perdarahan



Tekanan darah membaik (120/90



-



Anjurkan segera melapor jika terjadi perdarahan



mmHg – 140/90 mmHg) -



Denyut nadi apikal membaik



-



suhu tubuh membaik (36.5oc - 37.5oc)



Jurnal pendukung Tindakan Gunakan produk aloevera



gel



untuk



Rasional  Untuk mengurangi



Jurnal pendukung  Judul jurnal: Gel Lidah Buaya Dalam



gangguan integritas



Mengurangi pruritus



meredakan gatal dan



kulit seperti gatal







Oleh: Fatimah khoirini



kulit kering



dan kulit kering.







Sumber: JNPH volume 6 no 2 tahun 2018



Karena sifat







Kutipan



aloevera yang



1. Aloevera gel sebagai anti inflamasi, anti



mendinginkan sifat



jamr, anti bakteri dan regenerasi sel



menenangkan dan



(hal 2)



menyejukkan kulit



2. Gel aloevera mengandung 6 agen



yang meradang,



antiseptic: lupeo, salicylic acid, urea



nyeri kebas karena



nitrogen, cinnamonic acid, pheol dan



inflamasi dn



sulphur. Semua substansi ini tergolong



mencegah tibulnya



antiseptic karena dapat membunuh



rasa gatal



kuman dan mengontrol pembentukan bakteri jamur dan virus (hal 2) 3. Aloevera gel memiliki sifat menenangkan dan menyejukkan kulit yang meradang, nyeri kebas karena inflamasi dn mencegah tibulnya rasa gatal (hal 32) 



Judul: Efektivitas Gel Lidah Buaya Sebagai Bahan Alternative Tindakan Keperawatan Pada Xerosis Dan Pruritus Penderita Gagal Ginjal Kronik (Di RSUD Kota Semarang)







Oleh: Fatimah, anis, mardiyono







Sumber: Diponegoro University, Institusional Repository (2016)







Kutipan: 1. Alevera gel digunakan sebagai pelembab, antibiotic dan mengatasi rasa gatal. 2.