LK PKL 3 Fix [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



1.1



Latar Belakang Instalasi Radiologi merupakan salah satu instalasi penunjang medis yang memberikan layanan pemeriksaan radiologi dengan hasil pemeriksaan berupa foto atau gambar untuk membantu dokter yang merawat pasien dalam penegakan diagnosis. Instalasi Radiologi di Rumah Sakit K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang telah memiliki beberapa modalitas penunjang yang cukup lengkap diantaranya yaitu, pesawat radiologi konvensional berbasis CR, pesawat mobile unit, digital panoramic, USG, MSCT 16 Slices, dan MRI 1,5 T. Computed tomography atau biasa disebut dengan CT–Scan adalah suatu alat penunjang diagnosis yang mempunyai aplikasi yang universal untuk pemeriksaan seluruh organ tubuh. Pada CT-Scan tersebut memiliki prosedur pencitraan diagnostik yang menggunakan kombinasi dari sinar-x dan teknologi komputer untuk menghasilkan gambar penampang (yang sering disebut irisan atau slice), baik horizontal maupun vertikal dari tubuh. Generasi terbaru dari CT-Scan yaitu MSCT-Scan (Multi Slice Computed Tomography Scanning) yang mampu menghasilkan gambar secara detail dari bagian tubuh manusia seperti cranium, cardiovascular, cardiac, otak, abdomen, colon dan sebagainya. Multi Slice CT-Scan dengan kecepatannya merupakan generasi CT-Scan canggih dengan peningkatan kecepatan yang sangat signifikan dari generasi terdahulu, sehingga penegakan diagnose dapat lebih akurat (Sofiana, 2013). Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit untuk dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada individu. Ada empat pasang sinus parasanal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid, dan 1|Page



sinus spenoid kanan dan kiri. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung. Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal, bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Etiologi sinusitis adalah berdasarkan klasifikasinya yang terdiri dari sinusitis akut, subakut dan kronik. Sinusitis akut dapat disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, dan berbagai penyebab lainnya, sedangkan sinusitis kronik disebabkan oleh polusi bahan kimia, alergi, dan defisiensi imunologik yang menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan mukosa hidung. Teknik pemeriksaan CT-Scan SPN dilakukan dengan dua irisan yaitu secara axial dan coronal. Untuk mendapatkan irisan coronal terdapat dua pilihan yang dapat digunakan, yaitu pertama dengan memposisikan pasien prone pada couch sehingga mendapatkan irisan coronal langsung dari hasil scanning. Cara kedua yaitu dengan merekonstruksi irisan coronal dari hasil scanning pada irisan axial pasien dengan posisi supine (Ballinger, 2013). Di Instalasi Radiologi Rumah Sakit K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang memiliki prosedur pemeriksaan CT-Scan untuk indikasi pansinusitis yaitu dengan menggunakan teknik pemeriksaan CT-Scan kepala. Pemeriksaan CT-Scan kepala di Instalasi Radiologi Rumah Sakit K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang dilakukan dengan standar irisan axial. Irisan coronal yang dibuat hanya merupakan hasil rekontruksi data scanning dari irisan axial sehingga pasien hanya dilakukan dengan satu kali scanning saja. Berdasarkan hal tersebut, penulis ingin mengkaji lebih lanjut mengenai teknik pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal dengan kasus pansinusitis di Instalasi Radiologi Rumah Sakit K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang dan mengangkatnya sebagai



2|Page



laporan kasus yang berjudul “ TEKNIK PEMERIKSAAN CT-SCAN SINUS PARANASAL PADA KASUS PANSINUSITIS DI INSTALASI RADIOLOGI RUMAH SAKIT K.R.M.T WONGSONEGORO KOTA SEMARANG ”. 1.2



Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut : Bagaimana prosedur pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal dengan kasus pansinusitis di Instalasi Radiologi Rumah Sakit K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang?



1.3



Tujuan Penulisan Untuk mengetahui prosedur pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal dengan kasus pansinusitis di Instalasi Radiologi Rumah Sakit K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang.



1.4



Manfaat Penulisan Manfaat yang dapat diperoleh dari pembuatan laporan kasus ini antara lain: 1.4.1 Bagi Penulis Penulis dapat menambah pengalaman dan dapat mengetahui lebih lanjut tentang teknik pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal dengan kasus pansinusitis di Instalasi Radiologi Rumah Sakit K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang. 1.4.2 Bagi Pembaca Pembaca dapat memperoleh informasi dan pengetahuan tentang teknik pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal dengan kasus pansinusitis di Instalasi Radiologi Rumah Sakit K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang. 1.4.3 Bagi Rumah Sakit



3|Page



Dapat memberikan dorongan dalam meningkatkan pelayanan diagnostik, khususnya pada pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal dengan kasus pansinusitis. 1.4.4 Bagi Akademi Sebagai bahan masukan bagi penulisan laporan kasus dengan kasus yang sama.



4|Page



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1



Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal merupakan rongga yang berisi udara yang dilapisi oleh membran mukosa yang berada disekitar rongga hidung. Rongga udara yang mengisi sinus paranasal biasanya disebut dengan accessory nasal sinus. ( Bontrager, 2010) Sinus paranasal dibagi menjadi 4 kelompok menurut letak tulang, yaitu sinus frontalis, sinus maksilaris, sinus ethmoidalis dan sinus sphenoidalis. Sinus maksilaris termasuk bagian dari tulang wajah sedangkan frontalis, ethmoidalis dan sphenoidalis dimasukkan ke dalam golongan tulang cranium. (Kelley, 2013) Sinus paranasal mulai mengalami perkembangan pada fetus usia 3-4 bulan, tetapi



hanya



sinus



maksilaris



yang



memperlihatkan



suatu



rongga



yang



perkembangannya begitu terbatas. Sinus frontalis dan sinus sphenoidalis mulai tampak pada gambaran radiografi pada umur 6-7 tahun. Sinus ethmoidalis adalah sinus yang mengalami perkembangan paling terakhir dibandingkan yang lainnya. Semua sinus paranasal mengalami perkembangan secara maksimal pada akhir masa remaja.



Gambar 2.1. Sisi Anterior Sinus Paranasal (Frank, 2007)



5|Page



Gambar 2.2. Sisi Lateral Sinus Paranasal (Frank, 2007) Sinus paranasal merupakan salah salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. (Soetjipto D, 2007) 2.1.1 Sinus Maksilaris Sinus maksilaris merupakan sinus yang paling besar. Sinus maksilaris disebut juga dengan istilah “antrum” dan merupakan singkatan dari “Antrum of High More”. Sinus maksilaris merupakan pasangan sinus terbesar dan terletak pada setiap corpus maksila. Kedua sinus maksilaris bervariasi dalam ukuran dan bentuk tetapi biasanya simetris. Pada orang dewasa, masing-masing sinus maksilaris tinggi sekitar 3,5 cm dan lebar 2,5 sampai 3 cm. Sinus sering dibagi menjadi subcompartments secara parsial septa, dan kadang-kadang dibagi menjadi dua sinus oleh septum lengkap. Dasar sinus menyajikan beberapa elevasi yang sesuai dengan akar gigi yg terletak di bawah. Sinus maksilaris berhubungan dengan meatus hidung tengah pada aspek superior dari sinus. (Frank, 2007)



6|Page



Sinus maksilaris berbentuk piramida ireguler dengan dasarnya menghadap ke fosa nasalis dan puncaknya ke arah apex prosesus zigomatikus os maxilla. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maxilla yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung. Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh lamina vertikalis os palatum, prosesus unsinatus os ehtmoid, prosesus maksilaris konka inferior, dan sebagaian kecil os lakrimalis. Dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalu hubungan dengan infundibulum di meatus medius melalui lubang kecil, yaitu ostium maksila yang terdapat di bagian anterior atas dinding medial sinus. Ostium ini biasanya terbentuk dari membran. Jadi ostium tulangnya berukuran lebih besar daripada lubang yang sebenarnya. Hal ini mempermudah untuk keperluan tindakan irigasi sinus. (Soetjipto D, 2007)



Gambar 2.3. Sinus Maksilaris (Bontrager, 2010)



7|Page



Sinus maksilaris memiliki dinding tulang yang sangat tipis bagian bawah dari sinus maksilaris superposisi dengan bagian bawah tulang nasal. Bila dilihat pada bagian bawah sinus maksilaris adalah terlihat beberapa coni celekations berhubungan dengan gigi molar 1 dan 2 bagaian atas. Ada kalanya batas bawah sinus maksilaris mengalami perforasi atau mengalami perlobangan dan mengakibatkan terjadinya infeksi pada gigi, mempengaruhi bagian molar dan premolar dan merambat naik ke sinus maksilaris. Semua rongga sinus paranassal saling berhubungan dengan lainnya dan berhubungan juga dengan rongga hidung, yang mana dibagi menjadi dua ruangan yang sama atau disebut dengan fossa. Pada kasus sinus maksilaris lokasi penghubung antara nasal dan maksilari merupakan permukaan masuknya ke middle nasal meatus dan kemudian diteruskan ke superior medial aspek dari rongga sinus itu sendiri. 2.1.2 Sinus Frontalis Sinus frontalis terletak antara daerah dalam dan luar cranium, posterior glabella. Sinus frontalis jarang terisi udara sebelum usia 6 tahun. Sinus frontalis biasanya dipisahkan oleh septum yang menyimpang dari satu sisi ke sisi lain atau mungkin tidak ada sama sekali, sehingga rongga tunggal (Bontrager, 2010).



Gambar 2.4. Sinus Frontalis (Bontrager, 2010)



8|Page



Bentuk dan ukuran sinus frontalis sangat bervariasi dan seringkali juga sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus dan pasangannya, kadangkadang juga ada sinus yang rudimenter. Bentuk sinus frontalis kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontalis dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Ukuran rata-rata sinus frontalis : tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,52 cm, dan isi rata-rata 6-7 ml. Sinus frontalis dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior. Sinus frontalis berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di ressus frontal yang berhubungan dengan infundibulum ethmoid. (Soetjipto D, 2007) 2.1.3 Sinus Ethmoidalis Sinus ethmoidalis adalah termasuk didalam masses lateral atau labirin dari tulang ethmoid. Rongga udara sinus ethmoidalis dikelompokkan menjadi anterior, middle dan posterior collections, dan tidak saling berhubungan. (Bontrager, 2010) Dari semua sinus paranasal, sinus ethmoidalis yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya



9|Page



Gambar 2.5. Sinus Ethmoidalis (Bontrager, 2010) Sel – sel ethmoid mula – mula terbentuk pada janin berusia 4 bulan, berasal dari meatus superior dan suprema yang membentuk kelompok sel – sel ethmoid anterior dan posterior. Sinus – sinus ethmoidalis sudah ada pada waktu bayi lahir kemudian berkembang sesuai dengan bertambahnya usia sampai mencapai masa pubertas. Pada orang dewasa bentuk sinus sinus ethmoidalis seperti piramida dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior, volume sinus kira – kira 14 ml. Sinus sinus ethmoidalis berongga – rongga terdiri dari sel – sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os ethmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus – sinus ethmoidalis dibagi menjadi sinus – sinus ethmoidalis anterior yang bermuara di meatus medius, dan sinus ethmoidalis posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan sinus ethmoidalis anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontalis. Sel sinus ethmoidalis yang terbesar disebut bula ethmoid.



10 | P a g e



Atap sinus ethmoidalis yang disebut fovea ethmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus sinus ethmoidalis dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus – sinus ethmoidalis posterior berbatasan dengan sinus sphenoidalis. (Soetjipto D, 2007) 2.1.4 Sinus Sphenoidalis Sinus sphenoidalis berada didalam bodi tulang sphenoid yang berada dibawah sela tursika. Bodi dari tulang sphenoid terdiri dari sinus yang berbentuk kubus dan dibagi oleh suatu sekat tipis untuk membentuk dua rongga. Septum dan sphenoid mungkin tidak sempurna dan menghasilkan hanya satu rongga karena sinus sphenoid sangat dekat dengan dasar cranium, kadang-kadang proses pathologi dari cranium mengakibatkan efek pada sinus tersebut. Suatu contoh adalah demonstrasi dari suatu air fluid level di dalam sinus sphenoid yang kemudian mengakibatkan trauma tulang tengkorak. Ini mungkin membuktikan bahwa pasien mempunyai suatu fraktur dasar kepala yang disebut dengan “sphenoid effusion”.



Gambar 2.6. Sinus Sphenoidalis (Bontrager, 2010)



11 | P a g e



Sinus sphenoid mempunyai tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya berkisar dari 5 sampai 7,5 ml. Batas-batas dari sinus sphenoidalis antara lain : 2.1.4.1 Sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa 2.1.4.2 Sebelah inferiornya adalah atap nasofaring 2.1.4.3 Sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) 2.1.4.4 Sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons. (Soetjipto D, 2007) 2.2



Fisiologi Sinus Paranasal Berdasarkan beberapa kajian teori, sinus paranasal memiliki fungsi diantaranya adalah sebagai berikut : 2.2.1 Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning) Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung. 2.2.2 Sebagai penahan suhu (thermal insulators) Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas, melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. 2.2.3 Membantu keseimbangan kepala Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. 12 | P a g e



2.2.4 Membantu resonansi suara Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. 2.2.5 Sebagai peredam perubahan tekanan udara Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus. 2.2.6 Membantu produksi mukus Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis. (Soetjipto D, 2007) 2.3



Patologi Sinusitis Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis maksilaris, sinusitis ethmoidalis, sinusitis frontalis, dan sinusitis sphenoidalis. Jika seseorang menderita beberapa sinus maka akan disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maksilaris dan sinusitis ethmoidalis, sinusitis frontalis dan sinusitis sphenoidalis lebih jarang. Pada anak-anak hanya sinus maksilaris dan sinus ethmoidalis yang berkembang, sedangkan sinus frontalis dan sinus sphenoidalis belum. 2.3.1 Patofisiologi Apabila terjadi edema di kompleks ostiomeatal, mukosa yang letaknya berhadapan akan saling bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drainase dan ventilasi di dalam 13 | P a g e



sins, sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri patogen. Bila sumbatan berlangsung terus, akan terjadi hipoksia dan retensi lendir, sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob. Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. 2.3.2 Faktor Predisposisi Obstruksi mekanik, seperti deviasi septum, hipertrofi konka media, benda asing di hidung, polip serta tumor di dalam rongga hidung merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu rinitis kronis serta rinitis alergi juga menyebabkan obstruksi ostium sinus, serta menghasilkan lendir yang banyak, yang merupakan media untuk tumbuhnya bakteri. Sebagai faktor predisposisi lain adalah lingkungan berpolusi udara dingin serta kering, yang mengakibatkan perubahan pada mukosa serta kerusakan silia. 2.3.3 Klasifikasi Secara klinis sinusitis dapat dikategorikan sebagai sinusitis akut bila gejalanya berlangsung dari beberapa hari sampai empat minggu, sinusitis subakut bila berlangsung dari empat minggu sampai tiga bulan dan sinusitis kronis bila berlangsung lebih dari tiga bulan. Tetapi apabila dilihat dari gejalanya, maka sinusitis dianggap sebagai sinusitis akut bila terdapat tanda-tanda radang akut. Dikatakan sinusitis subakut bila tanda akut sudah reda dan perubahan histologik mukosa sinus masih irreversible, misalnya sudah berubah menjadi jaringan granulasi atau polipoid. Sebenarnya klasifikasi yang tepat ialah berdasarkan pemeriksaan histopatologik, akan tetapi pemeriksaan ini tidak rutin dikerjakan.



14 | P a g e



2.3.3.1 Sinusitis Akut Penyakit ini dimulai dengan penyumbatan daerah kompleks ostiomeatal oleh infeksi, obstruksi mekanis atau alergi. Selain itu juga dapat merupakan penyebaran dari infeksi gigi. 2.3.3.1.1



Etiologi Penyebab sinusitis akut diantaranya adalah rintitis akut, infeksi faring (faringitis, adenoiditis, tonsilitis akut) dan infeksi gigi rahang atas.



2.3.3.1.2



Gejala Subyektif Gejala subyektif dibagi dalam gejala sistemik dan gejala lokal. Gejala sistemik antara lain demam dan rasa lesu. Pada hidung terdapat ingus kental yang kadang-kadang berbau dan dirasakan mengalir ke nasofaring. Dirasakan hidung tersumbat, rasa nyeri di daerah sinus yang terkena, serta kadang-kadang dirasakan juga di tempat lain karena adanya nyeri alih (referred pain). Pada sinusitis maksila nyeri dibawah kelopak mata dan terkadang menyebar ke alveolus, sehingga terasa nyeri di gigi. Rasa nyeri pada sinusitis ethmoid di pangkal hidung dan kantus medius. Kadang-kadang dirasakan nyeri bola mata atau di belakangnya, dan nyeri akan bertambah bila mata digerakkan. Pada sinusitis frontalis rasa nyeri terlokalisasi di dahi atau dirasakan nyeri di seluruh kepala. Rasa nyeri pada sinusitis sphenoid di verteks, occipital, di belakang bola mata dan di daerah mastoid.



15 | P a g e



2.3.3.1.3



Gejala Obyekif Pada



pemeriksaan



sinusitis



akut



akan



tampak



pembengkakan di daerah muka. Pembengkakan pada sinusitis maksila terlihat di pipi dan kelopak mata bawah, pada sinusitis frontalis di dahi dan kelopak mata atas, pada sinusitis ethmoidalis jarang timbul pembengkakan, kecuali bila ada komplikasi. Pada



rinoskopi



anterior



tampak



mukosa



konka



hiperemis dan edema. Pada sinusitis maksilaris, sinusitis frontalis dan sinusitis ethmoidalis anterior tampak mukopus atau nanah di meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan sinusitis sphenoid nanah tampak ke luar dan meatus superior. Pada rinoskopi anterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip). 2.3.3.2 Sinusitis Subakut Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut hanya tanda-tanda radang akutnya (demam, sakit kepala hebat, nyeri) sudah reda. Pada rinoskopi anterior tampak sekret purulen di meatus medius atau superior. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring. Pada pemeriksaan transiluminasi tampak sinus yang sakit suram atau gelap. Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan tindakan fungsi irigasi. Pada sinusitis ethmoidalis, frontalis atau sphenoidalis yang letak muaranya di bawah, dapat dilakukan tindakan pencucian sinus cara Proetz (Proetz displacement therapy).



16 | P a g e



Fungsi



dan



irigasi



sinus



maksilaris.



Dilakukan



untuk



mengeluarkan sekret yang terkumpul di dalam rongga sinus maksilaris. Caranya adalah dengan memakai trokar yang ditusukkan di meatus interior, diarahkan ke sudut luar mata atau tepi atas daun telinga. Selanjutnya dilakukan irigasi sinus dengan larutan garam fisiologis. Sekret akan keluar melalui hidung atau mulut. Pungsi dan irigasi dapat juga dilakukan melalui fosa kanina. Pada kasus yang meragukan, pungsi dapat digunakan sebagai tindakan diagnostik untuk memastikan ada atau tidaknya sekret di sinus maksilaris. Tindakan pencucian Proetz (Proetz displacement therapy). Pada prinsipnya membuat tekanan negatif dalam rongga hidung dan sinus paranasal untuk dapat menghisap sekret keluar. Diteteskan larutan vasokonstriktor (HCL efedrin 0,5 – 1,5%) untuk membuka ostium yang kemudian masuk ke dalam sinus. HCL efedrin akan mengurangi edema mukosa dan tercampur dengan sekret di dalam rongga sinus, kemudian dihisap ke luar. Sementara itu pasien harus mengatakan “kak-kak-kak” supaya palatum mole terangkat, sehingga ruang antara nasofaring dan otofaring, hidung seta sinus menjadi satu rongga yang bertekanan negatif pada saat penghisapan, sehingga sekret mudah keluar. Tindakan inranasai lain yang mungkin perlu dilakukan untuk menghilangkan faktor predisposisi antara lain operasi koreksi septum bila terdapat deviasi septum, pengangkatan polip bila ada polip dan konkotomi parsial atau total bila ada hipertrofikonka. Prinsipnya ialah supaya drainase sekret menjadi lancar. 2.3.3.3 Sinusitis Kronis



17 | P a g e



Sinusitis kronis berbeda dari sinusitis akut dalam berbagai aspek, umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan medika-mentosa saja. Harus dicari faktor penyebab dan faktor predisposisinya. Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan mukosa hidung. Perubahan mukosa hidung dapat juga disebabkan oleh alergi dan defisiensi imunologik. 2.3.3.3.1 Gejala subyektif Gejala subyektif sangat bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari : 2.3.3.3.1.1 Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret di hidung dan sekret pasca nasal (post nasal drip) 2.3.3.3.1.2 Gejala faring, yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorokan 2.3.3.3.1.3 Gejala telinga, berupa pendengaran terganggu oleh karena tersumbatnya tuba Eustachius. 2.3.3.3.1.4 Adanya nyeri atau sakit kepala. 2.3.3.3.1.5 Gejala pada mata, karena penjalaran infeksi melalui duktus naso lakrimalis. 2.3.3.3.1.6 Gejala saluran napas berupa batuk dan kadangkadang terdapat komplikasi di paru, berupa bronchitis atau bronkiektasis atau asma bronchial, sehingga terjadi penyakit sinobronkitis. 2.3.3.3.1.7 Gejala di mukopus



saluran yang



pencernaan, oleh



tertelan



dapat



karena



menyebabkan



gastroenteritis, sering terjadi pada anak.



18 | P a g e



Kadang-kadang gejala sangat ringan hanya terdapat sekret di nasofaring yang mengganggu pasien. Sekret pasca nasal yang terus menerus akan mengakibatkan batuk kronik. Nyeri kepala dan sinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari, dan akan berkurang atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti, tetapi mungkin karena pada malam hari terjadi penimbunan ingus dalam rongga hidung dan sinus serta adanya statis vena. 2.3.3.3.2 Gejala obyektif Pada sinus kronis, temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan tidak terdapat pembengkakan pada wajah. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental purulen dari meatus medius atau meatus superior. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok. 2.3.3.3.3 Komplikasi 2.3.3.3.3.1 Osteomielitis dan abses subperiostal Paling



sering



timbul



akibat



sinusitis



frontalis dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteo-mielitis sinus maksilaris dapat timbul fistula oroantral. 2.3.3.3.3.2 Kelainan orbita Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Yang paling sering ialah sinusitis ethmoidalis, kemudian



19 | P a g e



sinusitis frontalis dan maksilaris. Penyebaran infeksi



terjadi



melalui



tromboflebitis



dan



perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus kavernosus. 2.3.3.3.3.3 Kelainan intrakranial Kelainan



intrakrania.



Dapat



berupa



meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus. 2.3.3.3.3.4 Kelainan



paru



(Bronchitis



Kronik



dan



Bronkiektasis) Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sino-bronkitis. Selai itu dapat juga timbul asma bronchial.



2.4



Teknik Pemeriksaan CT Scan Sinus Paranasal 2.4.1 Pengertian Teknik pemeriksaan CT Scan sinus paranasal merupakan pemeriksaan radiologi untuk mendapatkan gambaran irisan dari sinus paranasal baik secaraaxialmaupun coronal. CT Scan sinus paranasal memberikan gambaran optimal dari sinus paranasal, sehingga dapat dinilai opasitas, penyebab, dan jenis kelainan dari sinus paranasal. CT Scan sinus paranasal juga sangat optimal dalam menampakkan destruksi tulang dan mempunyai peranan penting dalam perencanaan terapi serta menilai respon terhadap radioterapi. Hal-hal tersebut



20 | P a g e



merupakan kelebihan CT Scan sinus paranasal dibandingkan dengan foto polos sinus paranasal biasa. (Amstrong, 2009) 2.4.2 Indikasi Pemeriksaan 2.4.2.1 Sinusitis Pada kasus sinusitis, CT Scan akan menampakkan penebalan mukosa, air-fluid level, perselubungan homogen atau tidak homogen pada satu atau lebih sinus paranasal, dan penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-kasus kronik). 2.4.2.2 Infeksi atau alergi Udara dalam sinus digantikan oleh cairan atau mukosa yang menebal hebat atau kombinasi keduanya. 2.4.2.3 Mukokel Merupakan sinus yang mengalami obstruksi. CT Scan SPN jelas memperlihatkan ukuran dan luas mukokel. 2.4.2.4 Karsinoma sinus atau rongga hidung CT Scan SPN baik dalam menampakkan dekstruksi tulang akibat tumor, luas dan invasi tumor. (Amstrong, 2009) 2.4.3 Prosedur Pemeriksaan 2.4.3.1 Persiapan Pasien (Bruenimg, 2006) Tidak ada persiapan khusus yang dilakukan, pasien hanya diharuskan untuk melepas benda logam yang berada di daerah yang akan diperiksa. 2.4.3.2 Persiapan Alat dan Bahan Alat dan bahan untuk pemeriksaan CT Scan sinus paranasal diantaranya adalah :



21 | P a g e



2.4.3.2.1



Pesawat CT Scan



2.4.3.2.2



Alat-alat fiksasi Pemeriksaan CT Scan sinus paranasal dilakukan tanpa menggunakan media kontras. (Bruening, 2006)



2.4.3.3 Teknik Pemeriksaan Pemeriksaan CT Scan sinus paranasal dengan kasus sinusitis menggunakan dua jenis potongan, yaitu potonganaxialdan potongan coronal. (Frank, 2010). Pada CT Scan jenis single maupun dual slice, pembuatan potonganaxialdan coronal harus dilakukan dengan dua kali scanning dan dengan dua posisi yang berbeda pula. Namun, pada CT Scan jenis MSCT (Multi Slice Computed Tomography), pembuatan potonganaxialdan coronal hanya dilakukan dalam satu kali scanning dan dalam satu posisi yang sama. 2.4.3.3.1



Potongan Aksial 2.4.3.3.1.1 Posisi Pasien Pasien



tidur



supine



diatas



meja



pemeriksaan. Kedua tangan berada samping tubuh. 2.4.3.3.1.2 Posisi Obyek Kepala diletakkan pada head holder. Posisikan kepala sehingga MSP kepala sejajar dengan lampu indikator longitudinal dan IPL sejajar



dengan



lampu



indikator



horisontal.



(Weisberg, 2008)



22 | P a g e



Gambar 2.9. Posisi Obyek Potongan Aksial



Gambar 2.10. PotonganaxialSlice Ke - 1 2.4.3.3.2



Potongan Coronal 2.4.3.3.2.1 Posisi Pasien Pasien tidur dengan posisi prone di atas meja pemeriksaan dan bahu diganjal bantal. 2.4.3.3.2.2 Posisi Obyek Kepala tegak atau digerakkan ke belakang (hiperekstensi) sebisa mungkin dan diberi alat fiksasi agar tidak bergerak.



23 | P a g e



Gambar 2.11. Posisi Obyek Potongan Coronal



Gambar 2.12. Potongan Coronal Slice Ke – 2 2.4.3.3.3



Scan Parameter (Bruening, 2006) 2.4.3.3.3.1 kV



: 120



2.4.3.3.3.2 mAs



: 20/90 – 200



2.4.3.3.3.3 Slice thickness (mm): 5 mm 2.4.3.3.3.4 Convolution kernel : bone 2.4.3.3.3.5 Scan range



: frontal sinus atau alveolar



ridge (mandibula)



24 | P a g e



BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN



3.1



Paparan Kasus Untuk memberikan gambaran yang jelas dari hasil pengamatan penulis selama praktek di Instalasi Radiologi Rumah Sakit K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang, maka penulis akan menyertakan hasil observasi tentang identitas pasien, riwayat penyakit, serta pelaksaan pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal pada penderita dengan diagnosa awal pansinusitis. 3.1.1 Identitas Pasien Nama



: Nn. S



Umur



: 24 tahun



Jenis kelamin



: Perempuan



Alamat



: Semarang



No. Registrasi



: 18110043



Tanggal pemeriksaan



: 7 November 2018



Unit



: Rawat Jalan



Diagnosa



: Pansinusitis



3.1.2 Riwayat Penyakit Pasien mengeluh pusing di daerah kening sejak beberapa bulan terakhir. Dan selama satu bulan terakhir, pasien mengalami pilek yang tak kunjung sembuh. Pada tanggal 7 November 2018, pasien berobat ke dokter THT. Atas permintaan dokter dilakukan pemeriksaan CT-Scan. Sehingga pada tanggal 7 November 2018 pasien menjalani CT-Scan Sinus Paranasal dengan diagnosa awal pansinusitis. 25 | P a g e



3.1.3 Jenis Tindakan Jenis tindakan yang dilakukan pada pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal pada kasus pansinusitis di Instalasi Radiologi Rumah Sakit K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang adalah dengan menggunakan potongan axial.



3.2



Prosedur Pemeriksaan 3.2.1 Persiapan Pasien 3.2.1.1 Pasien



diberikan



penerangan



mengenai



tujuan



dan



prosedur



pemeriksaan sampai dapat memahami manfaat dan resiko pemeriksaan sehingga memberikan persetujuan tentang pemeriksaan yang akan dilakukan. 3.2.1.2 Sebelum pemeriksaan dilakukan, semua material penyebab artefak di daerah kepala pasien (bila ada) dilepas terlebih dahulu. 3.2.1.3 Pasien tidak perlu melakukan persiapan puasa sebelum pemeriksaan karena pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal dengan diagnosa pansinusitis tidak menggunakan media kontras. 3.2.2 Persiapan Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal di Divisi Radiologi Rumah Sakit Dokter Kariadi Semarang diantaranya : 3.2.2.1 Pesawat MSCT, yang mempunyai spesifikasi: Merk



: Philips



Tipe



: Brilliance CT



3.2.2.2 Alat fiksasi ( head clam dan body clam) 3.2.2.3 Selimut



26 | P a g e



3.2.2.4 Printer 3.2.2.5 Film CT-Scan ukuran 35x43 cm 3.2.3 Teknik Pemeriksaan Pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal dengan kasus pansinusitis di Instalasi Radiologi Rumah Sakit K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang menggunakan potongan axial. Pelaksanaan pemeriksaannya adalah sebagai berikut : 3.2.3.1 Posisi pasien Pasien posisi tidur terlentang pada meja pemeriksaan. Kepala diatur sedemikian rupa hingga simetris dan berada di tengah gantry. Kepala difiksasi untuk mencegah pergerakan. 3.2.3.2 Posisi objek -



Mengatur mid sagital plane kapala segaris tengah meja. Sebisa mungkin dasar palatum diatur sejajar dengan bidang vertikal atau sejajar gantry.



-



Mengatur meja pemeriksaan sehingga lampu kolimator jatuh pada mentum.



-



Mengatur kedua tangan pasien berada di samping tubuh. Untuk kenyamanan pasien, petugas menyelimuti pasien untuk mencegah hipotermi dan memfiksasi lutut pasien dengan menggunakan body clam.



3.2.3.3 Proses Pemeriksaan Proses pemeriksaan dimulai dengan memasukkan data-data pasien yang diperlukan, kemudian memilih protokol pemeriksaan SPN



27 | P a g e



rutin (sinus seq). Setelah itu, memasukkan posisi pasien sesuai kondisi pasien (head first, supine) pada registrasi pasien di komputer. Baru kemudian dilanjutkan dengan membuat topogram cranium lateral untuk merencanakan dan menentukan daerah irisan (daerah sinus) yaitu dari dasar palatum hingga sinus frontalis. Lalu menekan tombol load. Selanjutnya dilakukan scanning pada daerah yang telah diplanning pada topogram. 3.2.3.4 Scan Parameter Scan parameter potongan axial pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal di Instalasi Radiologi Rumah Sakit K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang adalah sebagai berikut :



Protocol Pemeriksaan



: Sinus RS/Head



Range



: 1 range superior sinus frontalis – palatum



Slice Thickness



: 1 mm



Slice Thickness Recon



: 3 mm



FOV



: 500 mm



FOV Recon



: 151 mm



Gantry Tilt



: 0⁰



Scanning (kV, mA)



: 120 kV, 30 mA



WW (Window Width)



: 1500



WL (Window Level)



: 500



28 | P a g e



3.2.3.5 Hasil Radiograf



Gambar 3.1. Hasil CT Scan Nn. S Potongan axial



Gambar 3.4. Hasil CT Scan Nn. S Potongan Coronal



29 | P a g e



3.2.3.6 Hasil Pembacaan CT-Scan Setelah dilakukan pemeriksaan, diperoleh hasil bacaan sebagai berikut: - Tampak deviasi septum nasi ke kiri (ringan). - Tak tampak mukosa cavum nasi kanan – kiri menebal - Tak tampak hipertrophy concha nassalis kanan – kiri. - Sinus maxilaris ethmoid, sphenoid, dan frontal kanan – kiri suram (HU 20-36) - Osteum meatal komplex sebagian obliterasi. - Tak tampak destruksi tulang. - Tak tampak kalsifikasi. Kesan : - Pansinusitis - Deviasi septum nasi 3.2.3.7 Proteksi Radiasi Karena adanya efek negatif yang ditimbulkan oleh sinar-x, maka perlu diperhatikan aspek proteksi radiasi baik terhadap pasien, petugas serta masyarakat umum yang berada di sekitar ruang pemeriksaan. Di Instalasi Radiologi Rumah Sakit K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang, usaha-usaha yang dilakukan untuk proteksi radiasi



adalah sebagai berikut : - Pemeriksaan hanya dilakukan atas permintaan dokter. - Mengusahakan agar tidak terjadi pengulangan scan.



30 | P a g e



- Pintu kamar pemeriksaan dipastikan tertutup dan terkunci pada saat penyinaran karena radiasi yang dihasilkan oleh pesawat CT Scan sangat besar. - Selama melakukan penyinaran semua petugas berdiri di belakang panel kontrol atau di tempat yang terlindung dari radiasi dan mengawasi pasien melalui jendela kaca timbal. - Selama penyinaran berlangsung, tidak boleh ada orang lain di dalam ruang pemeriksaan



3.3



Pembahasan Prosedur pemeriksaan CT Scan sinus paranasal dengan suspect pansinusitis Instalasi Radiologi Rumah Sakit K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang diawali dengan



persiapan pasien yaitu dengan melepaskan benda atau aksesoris penyebab artefak yang berada pada daerah scanning (kepala). Kemudian dilanjutkan dengan mempersilakan pasien untuk masuk kedalam ruang pemeriksaan dan keluarga pengantar dipersilakan untuk menunggu di ruang tunggu. Pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal seharusnya dibuat dengan dua jenis potongan yaitu axial dan coronal. Namun, di Instalasi Radiologi Rumah Sakit K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang hanya menggunakan potongan axial. Sedangkan untuk



potongan coronal diperoleh dengan melakukan proses recon pada potongan axial. Hal ini dapat dilakukan karena, modalitas yang digunakan di Rumah Sakit K.R.M.T Wongsonegoro adalah CT Scan jenis MSCT 16 slice dan juga untuk mengurangi dosis



radiasi yang akan di dapatkan oleh pasien. Dalam pembuatan potongan axial, pasien diposisikan supine diatas meja pemeriksaan. Kepala pasien diposisikan pada head holder dengan MSP kepala sejajar



31 | P a g e



dengan garis longitudinal lampu indikator dan IPL sejajar dengan garis horisontal lampu indikator. Kemudian dilakukan pengaturan CP yakni pada pertengahan os mandibula. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan scan protocol Sinus RS/Head. Setelah potongan axial dihasilkan, proses recon dapat dilakukan untuk mendapatkan potongan coronal. Dalam proses recon ini pula, slice thickness potongan axial dan potongan coronal diubah menjadi 3 mm. Setelah proses recon selesai, tahap selanjutnya adalah tahap filming. Dalam tahap ini, gambaran potongan axial dan coronal dicetak dengan menggunakan film ukuran 35x43 sebanyak dua buah dengan jumlah gambar dalam masing-masing film adalah 20 gambar. Dalam tahap filming pula, dilakukan pemilihan potongan gambar sesuai klinis.



32 | P a g e



BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh penulis, pemeriksaan CT Scan sinus paranasal dengan suspect pansinusitis di Instalasi Radiologi Rumah Sakit K.R.M.T Wongsonegoro menggunakan modalitas MSCT 16 slices. Pemeriksaan dilakukan tanpa adanya persiapan khusus dari pasien. Dalam pengerjaannya hanya menggunakan potongan axial saja. Potongan coronal dihasilkan dengan melakukan proses recon pada potongan axial. Hal ini dapat dilakukan karena modalitas yang digunakan adalah MSCT 16 slices dan juga untuk mengurangi dosis radiasi yang diterima pasien. Protocol yang digunakan yakni Sinus RS/Head dan menggunakan satu range yaitu mulai dari superior sinus frontalis sampai os palatum. Pada proses recon pula, slice thickness potongan axial dan coronal diubah menjadi 2,5 mm – 3 mm. Proses pemilihan gambar pada tahap filming dilakukan sesuai klinis pasien.



4.2 Saran 4.2.1 Sebaiknya petugas menjelaskan prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan kepada pasien sejelas mungkin, sehingga pasien dapat diajak bekerjasama dan akan memperlancar jalannya pemeriksaan. 4.2.2 Sebaiknya selama pemeriksaan bagian tubuh pasien diberikan apron, sebagai upaya peningkatan proteksi radiasi terhadap pasien.



33 | P a g e



DAFTAR PUSTAKA



Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus Paranasal. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tengorok Kepala & Leher. Jakarta : FKUI. 2007 Mangunkusumo E, Soetjipto D. In Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Sinusitis. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tengorok Kepala & Leher. Jakarta : FKUI. 2007 Amstrong, Peter., et al. 2009. Diagnostic Imaging. 6th Edition. Washington DC : Wiley Blackwell. Bontrager, Keneth, L. 2010. Text Book of Radiographic Positioning and Related Anatomy. 5th Edition. St. Louis : Mosby. Inc. Bruening, R and Kuettner, A.2006. Protocols for Multislice CT. Second Edition. New York : Springer Berlin Heidelberg. Frank, Eugene D. And Ballinger, Philip W. 2007. Merrill’s Atlas of Radiographic Positioning and Procedures. 11th Edition. St. Louis : Mosby Elsevier. Kelley, Lorrie dan Petersen, Connie. 2013. Sectional Anatomy for Imaging Professionals. 3rd Edition. St Louis : Mosby. Inc. Rasad, Sjahriar. 2011. Radiologi Diagnostik. Edisi ke-2. Jakarta : Badan Penerbit FKUI. Seeram, Euclid. 2001. Computed Tomography Physical Principles, Clinical Applications, and Quality Control. Second Edition. Washington DC : W.B Saunders Company. Soetjipto D, Mangunkusumo E. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher. Edisi ke-5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Weisberg, Leon A. 2008. Cerebral Computed Tomography A Text Atlas. Second Edition. Philadelphia : W.B Saunders Company.



34 | P a g e



LAMPIRAN



35 | P a g e