LK - Resume Pendalaman Materi PPG 2022 Qurdis KB 3 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PENDALAMAN MATERI (Lembar Kerja Resume Modul) ‫ن ال َّرحِ يم‬ ِِ ‫َللا ال َّرحْ َم‬ َِِّ ‫بِس ِِْم‬ A. Nama



: Bachtiar Imani, S.Pd.



B. Judul Modul



: ALQURAN DAN HADIS



C. Kegiatan Belajar



: KRITERIA KESAHIHAN HADIS (KB 3)



D. Refleksi NO



BUTIR REFLEKSI



RESPON/JAWABAN PETA KONSEP 1



1



Konsep (Beberapa istilah dan definisi) di KB



PETA KONSEP 2



1. Kriteria Kesahihan Hadis Hadis sahih adalah Hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan dhabith (kuat daya ingatan) sampai kepada perawi terakhirnya, serta tidak ada kejanggalan dan maupun cacat.” (al-Thahhan, t.th: 30)



Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa sebuah hadits dinilai shahih jika memenuhi lima kriteria berikut, yaitu: a. Sanadnya bersambung (ittishal al-sanad) b. Moralitas para perawinya baik (’adalah al-ruwwat) c. Intelektualitas para perawinya mumpuni (dhabt al-ruwwat) d. Tidak janggal (’adam al-syudzudz) e. Tidak cacat (’adam al-’illah) Pertama, yang dimaksud sanadnya bersambung adalah seluruh mata rantai periwayatnya (jalur transmisi) dari setiap generasi ke generasi yakni nabi, sahabat, tabi’in dan tabi’ al-tabi’in tersambung tanpa ada satupun yang terputus. Jika ada satu mata rantai saja terputus atau diragukan ketersambungannya karena perawi satu dengan berikutnya tidak pernah bertemu tetapi hanya sekedar menyandarkan saja, maka kualitasnya bisa dipastikan tidak akan mencapai derajat sahih. Kedua, kualitasِperawiِharusِ‘adil. Ini bukanlah maksud adil dalam definisi bahasa Indonesia. ‘Adil dalam istilah ulum al-hadits adalah kondisi perawi yang beragama Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama dan menjaga muru’ah (Ismail, 1992: 129-134). Dalam bahasa lain, indikator adil menyaran pada integritas periwayat yang dibuktikan dalam track record (rekam jejak) sikap, tindak-tanduk, perilaku, dan moralitasnya. Ketiga, dhabit atau yang dalam bahasa Indonesia dabit merupakan kualitas intelektualitas personal perawi. Secara harfiah, dhabt berarti kokoh, kuat dan tepat. Sedang secara istilah adalah kekuatan hafalan perawi terhadap hadis yang diterimanya secara sempurna, mampu menyampaikannya kepada orang lain dengan tepat dan mampu memahaminya dengan baik. Muhammad Ibn ‘Alawi menyebutkan bahwa dhabt terbagi dua, yakni dhabt shadr, yaitu kekuatan hafalan yang dibuktikan dengan kemampuan melafalkan hadis yang dikuasainya kapanpun; dan dhabt kitabah yaitu kekuatan tulisan yang dibuktikan dengan buku yang dia miliki (Al-Maliki, t.th: 26). Secara singkat dhabith adalah kapasitas intelektual yang menunjukkan bahwa orang yang meriwayatkan hadits itu terkategori orang yang pandai dan cerdas. Keempat, tidak boleh ada syadz (kejanggalan). Imam al-Syafi’i sebagaimana dikutip al-Naisaburi menjelaskan bahwa kejanggalan dalam periwayatan adalah apabila sebuah hadis diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah, namun bertentangan dengan mayoritas riwayat lain yang juga tsiqah (alNaisaburi, t.th: 199). Kriteria syadz menurut Muhammad al-Ghazali juga bisa dijadikan kriteria untuk menilai kesahihan hadis dalam aspek konten (matn). Dalam kritik matan hadis juga dapat dikatakan syadz apabila bertentangan dengan kandungan alQur’an. Bahkan hadis dapat pula dikatakan syadz apabila bertentangan dengan akal sehat. Kelima, tidakِ bolehِ adaِ ‘illatِ (kecacatan). Cacat dalam periwayatan hadis bisa berupa sanad yang tampak tersambung dan sampai kepada Nabi, namun pada kenyataannya hanya sampai kepada sahabat atau tabi’in.



Kelima kriteria tersebut harus terpenuhi agar sebuah hadis dinilai sahih. Jika satu kondisi seluruhnya terpenuhi, hanya saja pada syarat ketiga yakni kualitas intelektual personal perawi (dhabt) tidak sebaik yang seharusnya, maka kualitas hadisnya bisa menjadi hasan. Namun, apabila ada salah satu syarat atau kriteria tidak terpenuhi, seperti terputus sanadnya atau didapati perawi yang benar-benar lemah atau juga terdapat kejanggalan maupun kecacatan, maka kualitas hadisnya bisa berkategoriِdaifِ(lemah)ِbahkanِmaudhu’ِ(palsu). 2. Jenis Hadits Berdasarkan kualitasnya, hadis terbagi menjadi tiga jenis, yakni sahih, hasan dan daif. 1. Hadis Sahih Hadis bernilai sahih adalah hadis yang memenuhi lima kriteria atau syarat kesahihan hadis yang meliputi ketersambungan sanad, perawi yang adil, perawi yang sempurna kedabitannya, tidak ada syaz dan tidak terdapat ‘Illat. Pembagian Hadis Sahih Hadis sahih terbagi menjadi dua, yakni hadis sahih li dzatihi dan hadis sahih li ghayrihi. Pembagian ini terjadi berdasarkan sebab sahihnya hadis. Jika sebuah hadis memenuhi lima syarat kesahihan secara sempurna sebagaimana yang disebutkan di atas, maka disebut hadis sahih li dzatihi, atau dalam bahasa sederhana sahih karena sendirinya. Adapun jika sebuah hadis memenuhi lima kriteria tadi hanya saja tidak sempurna dalam hal kedabitan (yang kemudian disebut dengan hadis hasan) tetapi memiliki riwayat lain dari sanad yang berbeda baik dengan kualitas sama atau lebih baik, maka disebut hadis sahih li ghayrihi. Dengan kata lain, hadis sahih li ghayrihi adalah hadis yang menjadi sahih bukan karena sendirinya, melainkan dukungan dari jalur lain. Terkait status kehujahan, hadis sahih li ghayrihi memiliki kualitas lebih rendah dari hadis sahih li dzatihi. Namun, hadis ini tetap berkualitas lebih tinggi jika dibanding dengan hadis hasan pada umumnya. Contoh Hadis Shahih al-Jami’ al-Shahih al-Bukhari nomor 723:



Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Abdullah Ibn Yusuf dari Malik dari Ibn Syihab dari Muhammad Ibn Jubayr Ibn Muth’im dari ayahnya bahwa ia mendengar Rasulullah saw membaca surat al-Thur pada salat Maghrib.”



Mahmud al-Thahhan menjelaskan bahwa hadis di atas bernilai sahih karena seluruh periwayatnya mendengar dan menerima langsung dari gurunya dan tidak terindikasi sebagai mudallis atau perekayasa hadis. Kemudian dari aspek keadilan dan kedabitan, setiap perawinya termasuk perawi yang adil dan dabit sebagaimana penilaian para ulama kritikus hadis. ‘Abdullah Ibn Yusuf berpredikat tsiqah mutqin; Malik Ibn Anas berpredikat imam hafidh; Ibn Syihab al-Zuhri seorang faqih, hafidh dan disepakati keluhuran dan penguasaannya; Muhammad Ibn Jubayr berpredikat tsiqah; dan Jubayr Ibn Muth’im adalah seorang sahabat yang berdasarkan konsensus bahwa seluruh sahabat adil. Selanjutnya, secara kandunganpun hadis tersebut tidak bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat dan tidak pula ditemukan kecacatan (al-Thahhan, tth: 31).



Kitab Hadis Sahih Kitab-kitab yang memuat hadis-hadis sahih di dalamnya di antaranya adalah alJami’ al-Shahih karya imam al-Bukhari (w. 256 H.), Shahih Muslim karya imam Muslim (w. 271 H) Shahih Ibn Khuzaymah karya Ibn Khuzaymah (w. 311 H) dan Shahih Ibn Hibban karya Ibn Hibban (w. 354 H.) 2. Hadis Hasan Al-Hasan secara bahasa al-jamal yang berarti sesuatu yang baik atau indah. Sedang menurut istilah ahli hadis, didapati beberapa definisi tentang hadis hasan. Pertama, hadits hasan merupakan hadis yang diketahui sumbernya, diketahui para perawinya serta menjadi pokok pembicaraan bagi mayoritas ahli hadits dan riwayat tersebut diterima oleh kalangan ulama juga banyak digunakan oleh para Fuqaha. Pengertian ini digagas oleh al-Khattabi. Kedua, hadis hasan didefinisikan dengan setiap hadis yang diriwayatkan bukan oleh orang yang diduga berdusta (muttaham bi al kadzib), tidak terdapat syadz serta memiliki riwayat dari jalur yang lain. Definisi yang cenderung berbeda dengan yang pertama ini disampaikan oleh al-Tirmidzi. Ketiga, hadis hasan adalah hadis ahad yang memenuhi kriteria hadis sahih, hanya saja kurang baik secara intelektualitas atau hafalannya atau tidak sempurna kedabitannya. Pengertian ini merupakan definisi yang diberikan oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani (Herlambang & Anwar, 2019: 50). Hadis hasan adalah hadis yang hampir mendekati kualitas sahih karena terpenuhinya seluruh kriteria kesahihan. Namun, sebab kedabitannya tidak sebaik yang seharusnya, maka kualitasnya tidak sahih melainkan hasan.



b. Pembagian Hadis Hasan Hadis hasan terbagi ke dalam dua, yakni hasan li dzatihi dan hasan li ghayrihi.



Hadis hasan li dzatihi adalah hadis yang diriwayatkan oleh para perawi yang baik secara kualitas moral, namun kurang secara kekuatan hafalan, bersanad yang tersambung, tidak berillat dan tidak ada kejanggalan. Secara sederhana, hadis hasan li dzatihi adalah hadis hasan yang memiliki kriteria standar hasan yang sesungguhnya sebagaimana telah dijelaskan; atau hadis yang hasan karena sendirinya. Hadis hasan li ghairihi sejatinya merupakan hadis daif namun diriwayatkan melalui banyak jalur dan penyebab kedhaifannya bukan karena kefasikan atau kebohongan perawinya (faktor ‘adalah). Dengan kata lain, hadis hasan li ghairihi adalah hadis daif yang memiliki jalur riwayat lain dengan kualitas setara atau lebih baik sehingga menguatkan jalur yang bersangkutan.



Contoh Hadis Hasan Sebuah hadis berikut diriwayatkan oleh al-Tirmidzi nomor 1031:



Artinya: “Diriwayatkan dari Basysyar, dari Yahya Ibn Sa’id dan ‘Abd al-Rahman Ibn Mahdi dan Muhammad Ibn Ja’far, mereka menerima dari Syu’bah, dari “Ashim Ibn ‘Ubaydillah, dari ‘Abdullah Ibn ‘Amir Ibn Rabi’ah dari ayahnya bahwa seorang perempuan dari Bani Fazarah telah menikah dengan mahar sepasang sandal. Kemudian Rasulullah saw bersabda: apakah engkau rida dirimu dan hartamu dibayar dengan sepasang sandal? Ia menjawab, ya. Maka Rasulullah saw membolehkannya.” Di antara perawi dalam rangkaian sanad tersebut terdapat ‘Ashim Ibn ‘Ubaydillah yang dipredikati daif oleh ulama kritikus hadis karena memiliki kualitas hafalan yang buruk. Dengan demikian hadis ini daif. Akan tetapi, alTirmidzi menyebut bahwa hadis tersebut diriwayatkan pula melalui jalur lain, sehingga kualitasnya naik menjadi hadis hasan li ghayrihi (Herlambang & Anwar, 2019: 50).



Kitab Hadis Hasan Di antara kitab-kitab yang memuat hadis-hadis hasan yaitu Sunan Abi Dawud karya Abu Dawud al-Sijistani (w. 275 H), Sunan al Tirmidzi karya al-Tirmidzi (w. 279 H) dan Sunan al-Daruquthni karya al Daruquthni (w. 385 H.)



3. Hadis Daif a. Pengertian Secara bahasa, daif berarti lemah karena merupakan antonim dari al-qawiyy (kuat). Sedangkan menurut istilah, Al-Nawawi menyebut bahwa hadis daif



adalah hadis yang di dalamnya tidak terdapat syarat syarat hadis sahih maupun syarat-syarat hadis hasan. Nur al-Din ‘Itr mendefinisikan hadis daif sebagai hadis yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadis maqbul (sahih atau hasan). b. Jenis Hadis Daif faktor yang menyebabkan sebuah hadis dinilai daif sekaligus mengklasifikannya menjadi macam-macam hadis daif. Munzier Suparta (Suparta, 2016: 150-151) merincikannya sebagai berikut: 1) Pada Sanad 1. Sanadnya tidak tersambung a. Gugur pada sanad pertama, hadisnya disebut mu’allaq. b. Gugur pada sanad terakhir (tingkat sahabat), hadisnya disebut mursal. c. Gugur dua orang atau lebih dari rangkaian perawinya secara berurutan, hadisnya disebut mu’dhal. d. Gugur dua orang atau lebih dari rangkaian perawinya secara tidak berurutan, hadisnya disebut munqathi’. 2. Kecacatan pada keadilan dan atau kedhabitan perawi a. Dusta, hadis yang rawinya berdusta disebut maudhu’. b. Tertuduh dusta, maksudnya perawi tersebut dikenal sering berdusta dalam kehidupan sehari-hari walau belum diketahui dia melakukan kedustaan dalam periwayatan atau tidak. Hadits dhaif sebab ini disebut matruk. c. Fasik d. Banyak salah e. Lengah dalam menghafal, hadisnya disebut munkar. f. Banyak wahm (kekeliruan tersembunyi), hadisnya disebut dengan mu’allal. g. Menyalahi riwayat yang lebih tsiqah. Bentuk menyalahinya dapat berupa ada penambahan atau sisipan, maka hadisnya disebut mudraj. Bila karena diputarbalikkan, hadisnya disebut maqlub. Sebab rawi-rawinya tertukar-tukar disebut mudhtarib, sementara bila yang tertukar adalah huruf-syakal disebut muharraf; dan bila penambahan itu berupa titik atau kata disebut mushahhaf. h. Tidak diketahui identitasnya, hadisnya disebut mubham. i. Penganut bidah. j. Tidak baik hafalannya, hadisnya disebut syadz dan mukhtalith. 2) Pada Matan a) Mauquf, hadis yang secara kandungan hanya disandarkan sampai sahabat. b) Maqthu’, hadis yang secara kandungan hanya disandarkan sampai tabi’in. c. Contoh Hadis Daif hadis riwayat al-Tirmidzi nomor 125 berikut:



Artinya: “Barangsiapa yang berhubungan badan dengan wanita haid atau



melalui duburnya atau mengadu kepada dukun, makai ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.” Dalam hadis tersebut, al-Tirmidzi langsung menjelaskan bahwa hadis ini tidak diriwayatkan kecuali hanya melalui Hakim al-Atsram – Abu Tamimah alHujaymi – Abu Hurayrah. Al-Bukhari mendaifkan hadis ini sebab Hakim alAstram para kritikus hadis sebagai perawi daif. Ibn Hajar al-‘Asqalanipun menilainya dengan “fih layyin” (padanya terdapat kelemahan) (Thahhan, tth: 53).



Kitab Hadis Daif Di antara kitab-kitab yang memuat hadis-hadis daif adalah al Marasil karya Abu Dawud al-Sijistani (w. 275 H), al-‘Ilal karya al Daruquthni (w. 385 H) dan Silsilah al-Ahadits al-Dha’ifah wa al-Mawdhu’ah karya al-Albani (w. 1420 H). 3. Hadis tentang Kewajiban Mencari Ilmu: Analisis Kesahihan Hadis Menganalisis kesahihan hadis dilakukan terhadap dua aspek, yaitu aspek sanad dan aspek matan. Sanad yang sahih harus memenuhi lima syarat yang telah dijelaskan sebelumnya yakni ketersambungan sanad, keadilan perawi, kedabitan perawi, tidak ada kejanggalan dan tidak ada cacat. Sementara dalam menguji matan, Salah al-Din Ibn Ahmad al-Adlabi dalam Manhaj Naqd al-Matan ‘ind ‘Ulama al-Hadits al-Nabawi menjelaskan empat aspek yang perlu diperhatikan. Pertama, makna hadis tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an. Kedua, makna hadis tidak bertentangan dengan hadis sahih lainnya dan sirah Nabi. Ketiga, makna hadis tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan fakta sejarah. Keempat, susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian (Al-Adlabi, 1983: 230). Di antara hadis yang sangat populer tentang kewajiban mencari ilmu adalah riwayat Ibn Majah sebagai berikut:



Artinya: “Rasulullah saw bersabda: mencari ilmu itu wajib atas setiap orang Muslim” (HR. Ibn Majah, 220) Hadis di atas daif dari sisi perawi, akan tetapi kandungan matannya sejalan dengan ajaran Al-Qur’an yang memerintahkan kaum Muslimin menggali pengetahuan, antara lain surat al-Taubah ayat 122 dan surat al-‘Alaq ayat 1-5. Sehingga, secara matan hadis ini dapat diterima.



Materi pada KB yang sulit dipahami yaitu tentang syarat hadis sanadnya bersambung. Untuk dapat memahami seluruh mata rantai periwayatnya (jalur transmisi) dari setiap generasi ke generasi yakni nabi, sahabat, tabi’in dan tabi’ al-tabi’in tersambung tanpa ada satupun yang terputus tentunya membutuhkan perhatian yang khusus. 2



Daftar materi pada KB yang sulit Materi ini saya anggap sulit karena Jika ada satu mata rantai saja terputus atau dipahami diragukan ketersambungannya karena perawi satu dengan berikutnya tidak pernah bertemu tetapi hanya sekedar menyandarkan saja, maka kualitasnya bisa dipastikan tidak akan mencapai derajat sahih.



Refleksi sederhana yang dapat dilakukan adalah mencari sumber lain agar mendapat pemahaman yang baik tentang materi ini. Materi yang sering mengalami miskonsepsi dalam pembelajaran tentang Hadis hasan li dzatihi dan Hadis hasan li ghairihi.



3



Daftar materi yang sering mengalami miskonsepsi dalam pembelajaran



Materi ini kadang tertukar pemahamannya antara satu dan lainnya Bagaimana memahami Hadis yang diriwayatkan oleh para perawi yang baik secara kualitas moral, namun kurang secara kekuatan hafalan, bersanad yang tersambung, tidak berillat dan tidak ada kejanggalan disandingkan dengan hadis yang sejatinya merupakan hadis daif namun diriwayatkan melalui banyak jalur dan penyebab kedhaifannya bukan karena kefasikan atau kebohongan perawinya (faktor ‘adalah).