LP Contusio Cerebri - Fathorrahman [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN KASUS CONTUSIO CEREBRI



Oleh : FATHORRAHMAN NIM. 211030230206



STIKES WIDYA DHARMA HUSADA TANGERANG PROGRAM PROFESI NERS TAHUN 2021



BAB I TINJAUAN TEORI



A. Pengertian Contusio serebral merupakan cedera kepala berat, dimana otak mengalami memar, dengan kemungkinan adanya daerah hemoragi (Smeltzer and Bare, 2006). Kontusio



serebri



(cerebral



contussion)



adalah



luka memar pada otak. Memar yang disebabkan oleh trauma dapat membuat jaringan menjadi rusak dan bengkak dan pembuluh darah dalam jaringan pecah, menyebabkan darah mengalir ke dalam jaringan disebut hematoma (kamus besar bahasa Indonesia). Memar otak atau kontusio serebri (contusio cerebri, cerebral contusion) adalah perdarahan di dalam jaringan otak yang tidak disertai



oleh



robekan



jaringan



yang



terlihat,



meskipun



sejumlah neuron mengalami kerusakan atau terputus. Memar otak disebabkan oleh akselerasi kepala tiba-tiba yang menimbulkan pergeseran otak dan kompresi yang merusak, yang membuat pingsan sementara (kamus besar bahasa Indonesia). Secara definisi Contusio Cerebri didefinisikan sebagai gangguan fungsi otak akibat adanya kerusakan jaringan otak disertai perdarahan yang secara makroskopis tidak mengganggu jaringan (Corwin, 2000).



1



2



Pada kontusio atau memar otak terjadi perdarahan-perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus (Harsono, 2010)



B. Etiologi Penyebab contusio cerebri atau memar otak adalah adanya akselerasi kepala tiba-tiba yang menimbulkan pergeseran otak dan kompresi yang merusak akibat dari kecelakaan, jatuh atau trauma akibat persalinan. Kontusio dapat pula terjadi akibat adanya gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang beroperasi pada trauma kapitis, sehingga terdapat vasoparalisis.



C. Patofisiologi Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahanperdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringanyang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Yang penting untuk terjadinya lesi contusio ialah adanya akselerasi kepala yang seketika itu juga menimbulkan pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak membentang batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible terhadap lintasan



3



asendens retikularis difus.



Akibat blockade itu, otak tidak



mendapat input aferen dan karena itu, kesadaran hilang selama blockade reversible berlangsung. Timbulnya lesi contusio di daerah coup, contrecoup, dan intermediate menimbulkan gejala deficit neurologik yang bisa berupa refleks babinsky yang positif dan kelumpuhan. Setelah



kesadaran



pulih



kembali,



penderita



biasanya



menunjukkan organic brain syndrome. Lesi akselerasi-deselerasi, gaya tidak langsung bekerja pada kepala tetapi mengenai bagian tubuh yang lain, tetapi kepala tetap ikut bergerak akibat adanya perbedaan densitas tulang kepala dengan densitas yang tinggi dan jaringan otot yang densitas yang lebih rendah, maka terjadi gaya tidak langsung maka tulang kepala akan bergerak lebih dulu sedangkan jaringan otak dan isinya tetap berhenti, pada dasar tengkorak terdapat tonjolan-tonjolan maka akan terjadi gesekan antara jaringan otak dan tonjolan tulang kepala tersebut akibatnya terjadi lesi intrakranial berupa hematom subdural, hematom intra serebral, hematom intravertikal, kontra coup kontusio. Selain itu gaya akselerasi dan deselarasi akan menyebabkan gaya tarik atau robekan yang menyebabkan lesi diffuse berupa komosio serebri, diffuse axonal injuri. Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi pembuluh darah



4



cerebral terganggu, sehingga terjadi vasoparalitis. Tekanan darah menjadi rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah. Juga karena pusat vegetatif terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan pernafasan bisa timbul (Corwin, 2010).



D. Pathway



Kecelakaan Jatuh



Cidera kepala



TIK - oedem - hematom Respon biologi



Hypoxemia



Kelainan metabolisme Cidera otak primer



Cidera otak sekunder



Kontusio



Nyeri akut



Laserasi



Kerusakan cel otak 



Gangguan autoregulasi



 rangsangan simpatis



Stress



Aliran darah keotak 



 tahanan vaskuler



 katekolamin



5



Sistemik & TD 



 sekresi asam



lambung



O2   ggg metabolisme  tek. Pemb.darah



Mual, muntah



Pulmonal



Asam laktat 



 tek. Hidrostatik



Asupan nutrisi



kurang



Oedem otak



kebocoran cairan kapiler



Ketidakseimbangan nutrisi:kurang dari kebutuhan



tubuh oedema paru  cardiac out put 



Perfusi jaringan cerebral tidak efektif



Difusi O2 terhambat



Pola napas tidak efektif  hipoksemia, hiperkapnea Gambar 2.1 Pathway Contusio Serebri



E. Manifestasi Klinik Timbulnya lesi kontusio di daerah-daerah dampak (“coup”) “countrecoup”



dan



“intermediated”,



menimbulkan



gejala



defisit



6



neurologik, yang bisa berupa refleks babinski yang positif dan kelumpuhan. Pada pemeriksaan neurologik pada kontusio ringan mungkin tidak dijumpai kelainan neurologik yang jelas kecuali kesadaran yang menurun. Pada kontusio serebri dengan penurunan kesadaran berlangsung berjam-jam pada pemeriksaan dapat atau tidak  dijumpai defisit neurologik.  Pada kontusio serebri yang berlangsung lebih dari enam jam penurunan kesadarannya biasanya selalu dijumpai defisit neurologis yang jelas. Gejala-gejalanya bergantung pada lokasi dan luasnya daerah lesi. Keadaan klinis yang berat terjadi pada perdarahan besar atau tersebar di dalam jaringan otak, sering pula disertai perdarahan subaraknoid atau kontusio pada batang otak. Edema otak yang menyertainya tidak jarang berat dan dapat menyebabkan meningkatnya tekanan intrakranial. Tekanan intrakranial yang meninggi menimbulkan gangguan mikrosirkulasi otak dengan akibat menghebatnya edema. Dengan demikian timbullah lingkaran setan yang akan berakhir dengan kematian bila tidak dapat diputus. Pada perdarahan dan edema di daerah diensefalon  pernapasan biasa atau bersifat Cheyne Stokes, pupil mengecil, reaksi cahaya baik. Mungkin terjadi rigiditas dekortikasi yaitu kedua tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam sikap fleksi pada sendi siku. Pada gangguan di daerah mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran menurun hingga koma, pupil melebar, refleks cahaya tidak ada, gerakan mata diskonjugat, tidak teratur, pernapasan hiperventilasi, motorik



7



menunjukkan rigiditas deserebrasi dengan keempat ekstremitas kaku dalam sikap ekstensi. Pada lesi pons bagian bawah  bila nuklei vestibularis terganggu bilateral, gerakan  kompensasi  bola mata pada gerakan kepala menghilang. Pernapasan tidak teratur. Bila oblongata terganggu, pernapasan melambat tak teratur, tersengal-sengal menjelang kematian (Harsono, 2010). Gejala lain yang sering muncul pada contusion serebri menurut Smeltzer and Bare (2006) yaitu : a. Pasien berada pada periode tidak sadarkan diri b. Kehilangan gerakan c. Denyut nadi lemah d. Pernapasan dangkal e. Kulit dingin dan pucat f. Sering defekasi dan berkemih tanpa disadari g. Pasien dapat diusahakan untuk bangun/sadar tetapi segera kembali kedalam keadaan tidak sadarkan diri h. Tekanan darah dan suhu abnormal Umumnya, individu yang mengalami cedera luas mengalami fungsi motorik abnormal, gerakan mata abnormal, dan peningkatan TIK mempunyai prognosis buruk. Sebaliknya pasien mengalami pemulihan kesadaran komplet dan mungkin melewati tahap peka rangsang serebral.



8



dalam tahap peka rangsang serebral, pasien sadar tetapi sebaliknya mudah terganggu oleh suatu bentuk stimulasi, suara, cahaya, dan bunyibunyian dan menjadi hiperaktif sewaktu. Berangsur-angsur denyut nadi, pernapasan, suhu dan fungsi tubuh lain kembali normal. Walaupun pemulihan sering terlihat lambat. sakt kepala dan sisa vertigo dan gangguan fungsi mental



atau kejang sering terjadi sebagai akibat



kerusakan serebral yang tidak dapat diperbaiki (Smeltzer and Bare, 2006). Tekanan darah menjadi rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah. Juga karena pusat vegetatif  ikut terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan pernapasan bisa terjadi. Menurut Corwin (2000) manifestasi yang muncul pada pasien dengan contusion cerebri adalah defisit neurologis jika mengenai daerah motorik atau sensorik otak., secara klinis didapatkan penderita pernah atau sedang tidak sadar selama lebih dari 15 menit atau didapatkan adanya kelainan neurologis akibat kerusakan jaringan otak. Pada pemerikasaan CT Scan didapatkan daerah hiperdens di jaringan otak.



F. PEMERIKSAANDIAGNOSTIK DAN PENUNJANG a) Pemeriksaan Laboratorium Tidak



ada



pemeriksaan



laboratorium



khusus,



tetapi



untuk



memonitoring kadar O2 dan CO2 dalam tubuh di lakukan pemeriksaan AGD adalah salah satu test diagnostic untuk menentukan status respirasi..



9



b) CT-scan : mengidentifikasi adanya hemoragik dan menentukan pergeseran jaringan otak. c) Foto Rontgen : Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur) perubahan struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang. d) MRI : sama dengan CT-scan dengan/ tanpa kontras. e) Angiografi serebral : menunjukan kelainan sirkulasi serebral, perdarahan. f) Pemeriksaan pungsi lumbal: mengetahui kemungkinan perdarahan subarahnoid.



G. PENATALAKSAN MEDIS Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai berikut: a) Observasi 24 jam b) Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu. c) Berikan terapi intravena bila ada indikasi. d) Anak diistirahatkan atau tirah baring. e) Profilaksis diberikan bila ada indikasi. f) Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi. g) Pemberian obat-obat analgetik. h) Pembedahan bila ada indikasi. Penatalaksanaan pada pasien cedera kepala juga dapat dilakukan dengan cara :



10



a) Obliteri sisterna Pada semua pasien dengan cedera kepala / leher, lakukan foto tulang belakang servikal kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal c1-c7 normal b) Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang berat, lakukan prosedur berikut : pasang infuse dengan larutan normal salin (nacl 0,9 %)/ larutan ringer rl dan larutan ini tidak menambah edema cerebri c) Lakukan ct scan, pasien dengan cedera kepala ringan, sedang dan berat harus dievaluasi adanya: d) Hematoma epidural e) Darah dalam subraknoid dan infra ventrikel f) Kontusio dan perdarahan jaringan otak g) Edema serebri h) perimesensefalik i) Pada pasien yang koma j) Elevasi kepala 30o k) Hiperventilasi : intubasi dan berikan ventilasi mandotorik intermitten dengan kecepatan 16-20 kali /menit dengan volume tidal 10-12 ml/kg l) Berikan manitol 20 % 19/kg intravena dalam 20-30 menit m) Pasang kateter foley n) Konsul bedah syaraf bila terdapat indikasi operasi



11



H. KOMPLIKASI a. Hemorhagie b. Infeksi c. Edema d. Herniasi Menurut Elizabeth J Corwin, komplikasi yang dapat terjadi adalah : a. Perdarahan didalam otak, yang disebut hematoma intraserebral, dapat menyertai cedera kepala tertutup yang berat, atau lebih sering cedera kepala terbuka. Pada perdarahan diotak, tekanan intracranial meningkat, dan sel neuron dan vascular tertekan. Ini adalah jenis cedera otak sekunder. Pada hematoma, kesadaran dapat menurun dengan segera, atau dapat menurun setelahnya ketiak hematoma meluas dan edema interstisial memburuk. b. Perubahan perilaku yang tidak Nampak dan deficit kognitif dapat terjadi dan tetap ada. (Elizabeth J Corwin).



BAB II TINJAUAN TEORI KEPERAWATAN



A. Pengkajian 1. Pengkajian Meliputi nama, tempat/ tanggal lahir, jenis kelamin, status kawin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnose medis, No. MR



2. Keluhan utama Pasien Contusio cerebri mempunyai keluhan atau gejala utama yang berbeda-beda tergantung letak lesi dan luas lesi. Keluhan utama yang timbul seperti nyeri, rasa bebal, kekakuan pada leher atau punggung dan kelemahan pada ekstremitas atas maupun bawah.



3. Riwayat kesehatan sekarang Pengkajian ini sangat penting dalam menentukan derajat kerusakan dan adanya kehilangan fungsi neurologik. Contusio serebri juga dapat disertai cidera Medulla spinalis melalui beberapa mekanisme, cedera primer meliputi satu atau lebih proses berikut yaitu kompresi akut, benturan, destruksi, laserasi dan trauma tembak



4. Riwayat kesehatan keluarga



12



13



Perlu ditanyakan riwayat penyakit keluarga yang dapat memperberat Contusio serebri seperti stroke, hypertention, atau penyakit lainya..



5. Pola aktivitassehari-hari (ADL) a) Pola presepsi dan tata laksanaan hidup sehat Pola presepsi dan tata laksanaan hidup sehat biasanya pada pasien Contusio serebri akan mengalami perubahan atau gangguan, pada personal hygiene, misalnya kebiasaan mandi, ganti pakaian, BAB dan BAK dikarenakan kondisi tubuh yang lemah, pasien kesulitan melakukan kegiatan tersebut dan pasien biasanya cenderung dibantu oleh keluarga atau perawat. b) Pola Nutrisi Biasanya pasien dengan contusio cerebri mengalami penurunan nafsu makan, mual, muntah, nyeri menelan, dan juga pasien akan mengalami penurunan BB yang cukup drastis dalam waktu singkat (terkadang lebih dari 10% BB). c) Pola Eliminasi Akan didapatkan retensi/inkontinen dalam hal buang air besar atau kecil. Terdapat ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dimana terdapat hiponatremia atau hipokalemia. Pada sistem gastro-intestinal perlu dikaji tanda-tanda penurunan fungsi saluran pencernaan seperti bising usus yang tidak terdengar atau lemah, aanya mual dan muntah. Hal ini menjadi dasar dalam pemberian makanan.



14



d) Pola aktivitas dan latihan Biasanya pasien dengan contusio cerebri mengalami gangguan dalam beraktivitas disebabkan oleh rasa nteri, atau penurunan kesadaran pasien. e) Pola Istirahat dan tidur Biasanya pasien dengan contusio cerebri mengalami penurunan kesadaran atau bahkan koma. Namun sebagian hanya mengalami penurunan kesadaran ringan dan nyeri sehingga bisa mengganggu istirahan dan tidur pasien.



f) Pola Psikologis Dimana pasien dengan tingkat kesadarannya menurun, maka untuk data psikologisnya tidak dapat dinilai, sedangkan pada pasien yang tingkat kesadarannya agak normal akan terlihat adanya gangguan emosi, perubahan tingkah laku, emosi yang labil, iritabel, apatis, delirium, dan kebingungan keluarga pasien karena mengalami kecemasan sehubungan dengan penyakitnya. Data sosial yang diperlukan adalah bagaimana psien berhubungan dnegan orang-orang terdekat dan yang lainnya, kemampuan berkomunikasi dan peranannya dalam keluarga. Serta pandangan pasien terhadap dirinya setelah mengalami trauma kepala dan rasa aman.



g) Pola sensori kognitif



15



Pada pasien contusio cerebri biasanya mengalami penurunan pengecapan, dan gangguan penglihatan. Pasien juga biasanya mengalami penurunan daya ingat, kesulitan berkonsentrasi, kesulitan dalam respon verbal. Gangguan kognitif lain yang terganggu yaitu bisa mengalami halusinasi.



h) Pola hubungan peran Biasanya pada pasien akan terjadi perubahan peran yang dapat mengganggu hubungan interpersonal disebabkan oleh penurunan kesadaran.



i) Pola penanggulangan stres Pada pasien pola reproduksi seksualitas nya terganggu karena penyebab utama keterbatasan aktivitas dan penurunan kesadaran.



j) Pola tata nilai dan kepercayaan Diperlukan adalah ketaatan terhadap agamanya, semangat dan falsafah hidup pasien serta ke-Tuhanan yang diyakininya. Tentu saja data yang dikumpulkan bila tidak ada penurunan kesadaran.



h) Neurologis Yang dikaji adalah Tingkat kesadaran, biasanya GCS kurang dari 15, disorentasi orang/tempat dan waktu, adanya refleks babinski yang



16



positif, perubahan nilai tanda-tanda vital, adanya gerakan decebrasi atau dekortikasi dan kemungkinan didapatkan kaku kuduk dengan brudzinski positif. Adanya hemiparese. Pada pasien sadar, dia tidak dapat membedakan berbagai rangsangan/stimulus rasa, raba, suhu dan getaran. Terjadi gerakan-gerakan involunter, kejang dan ataksia, karena gangguan koordinasi. Pasien juga tidak dapat mengingat kejadian sebelum dan sesuadah trauma. Gangguan keseimbangan dimana pasien sadar, dapat terlihat limbung atau tidak dapat mempertahankana keseimabangan tubuh. Nervus kranialis dapat terganggu bila trauma kepala meluas sampai batang otak karena edema otak atau pendarahan otak. Kerusakan nervus I (Olfaktorius) memperlihatkan gejala penurunan daya penciuman dan anosmia bilateral. Nervus II (Optikus), pada trauma frontalis memperlihatkan gejala



berupa



penurunan



gejala



penglihatan.



Nervus



III



(Okulomotorius), Nervus IV (Trokhlearis) dan Nervus VI (Abducens), kerusakannya akan menyebabkan penurunan lapang pandang, refleks cahaya menurun, perubahan ukuran pupil, bola mata tidak dapat mengikuti perintah, anisokor. Nervus V (Trigeminus), gangguannya ditandai; adanya anestesi daerah dahi. Nervus VII (Fasialis), pada trauma kapitis yang mengenai neuron motorik atas unilateral dapat menurunkan fungsinya, tidak adanya lipatan nasolabial, melemahnya penutupan kelopak mata dan hilangnya rasa pada 2/3 bagian lidah anterior lidah. Nervus VIII (Akustikus), pada pasien sadar gejalanya



17



berupa menurunnya daya pendengaran dan kesimbangan tubuh. Nervus IX (Glosofaringeus). Nervus X (Vagus), dan Nervus XI (Assesorius), gejala jarang ditemukan karena penderita akan meninggal apabila trauma mengenai saraf tersebut. Adanya Hiccuping (cekungan) karena kompresi pada nervus vagus, yang menyebabkan kompresi spasmodik dan diafragma. Hal ini terjadi karena kompresi batang otak. Cekungan yang terjadi, biasanya yang berisiko peningkatan tekanan intrakranial. Nervus XII (hipoglosus), gejala yang biasa timbul, adalah jatuhnya lidah kesalah satu sisi, disfagia dan disartria. Hal ini menyebabkan adanya kesulitan menelan.



i) Muskuloskletal Focal motor deficit, lemah, tidak mampu melakukan ADL j) Kardiovaskuler Didapat perubahan tekanan darah menurun, kecuali apabila terjadi peningkatan intrakranial maka tekanan darah meningkat, denyut nadi bradikardi, kemudian takhikardia, atau iramanya tidak teratur. Selain itu pengkajian lain yang perlu dikumpulkan adalah adanya perdarahan atau cairan yang keluar dari mulut, hidung, telinga, mata. Adanya hipereskresi



pada



rongga



mulut.



Adanya



perdarahan



terbuka/hematoma pada bagian tubuh lainnya. Hal ini perlu pengkajian dari kepalal hingga kaki.



18



k) Pernafasan Terjadi perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun frekuensi yaitu cepat dan dangkal, irama tidak teratur (chyne stokes, ataxia brething), bunyi napas ronchi, wheezing atau stridor. Adanya sekret pada tracheo brokhiolus. Peningkatan suhu tubuh dapat terjadi karena adanya infeksi atau rangsangan terhadap hipotalamus sebagai pusat pengatur suhu tubuh



B. DiagnosaKeperawatan yang muncul (Diagnose keperawatan SDKI) a. Resiko perfusi serebral tidak efektif dibuktikan dengan cedera kepala, aterosklerosis aorta, hipertensi, embolisme. b. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik di tandai dengan pasien mengeluh nyeri, tampak meringis, gelisah. c. Pola Nafas Tidak Efektif berhubungan dengan Hambatan Upaya Nafas ditandai dengan Penggunaan Otot Bantu Pernafasan, pola nafas abnormal, pernafasan cuping hidung.



C. Intervensi Keperawatan No 1.



Diagnosa Keperawatan



Tujuan Dan Kriteria Hasil



SDKI Resiko perfusi serebral tidak Setelah efektif



dibuktikan



SLKI diberikan



Intervensi



asuhan Manajemen



SIKI Peningkatan



dengan keperawatan selama 1 x 24 Tekanan Intrakranial :



cedera kepala, aterosklerosis jam diharapkan resiko perfusi Observasi



19



aorta, hipertensi, embolisme.



serebrak tidak efektif dapat  Identifikasi



penyebab



Berhubungan dengan faktor teratasi dengan kriteria hasil:



peningkatan



resiko (yg benar)



Perfusi serebral :



( misalnya lesi, gangguan



 Tidak terjadi peningkatan



metabolism



TIK



TIK



,



edema



serebral )



 Sakit



pasien  Monitor tanda / gejala



kepala



berkurang



peningkatan



 Tanda – tanda vital pasien normal



TIK



(misalnya tekanan darah meningkat, tekanan nadi



 Pasien tidak gelisah



melebar, bradikardi, pola



 Tidak terjadi penurunan



nafas ireguler, kesadaran



tingkat kesadaran



menurun)  Monitor



MAP



(Mean



Arterial Pressure)  Monitor status pernapasan Terapeutik  Berikan posisi semifowler  Atur ventilator agar PaCO 2 optimal  Pertahankan suhu tubuh normal 2.



Nyeri



akut



berhubungan Setelah



diberikan



asuhan Manajemen nyeri :



dengan agen pencedera fisik keperawatan selama 1x24jam Observasi



20



di



tandai



mengeluh



dengan nyeri,



meringis, gelisah.



pasien diharapkan



nyeri



dapat  Identifikasi loksi,



tampak teratasi dengan kriteria hasil:



karakteristik, durasi,



Tingkat Nyeri :



frekuensi, kualitas,



 Keluhan nyeri berkurang



intensitas nyeri



 Pasien tidak meringis



 Identifikasi skala nyeri



 Pasien tidak gelisah



 Identifikasi factor yang



 Tanda – tanda vital pasien normal



memperberat dan memperingan nyeri  Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri Terapeutik :  Berikan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri  Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri  Fasilitasi istirahat tidur Edukasi :  Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri  Jelaskan strategi



21



meredakan nyeri  Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri  Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri Kolaborasi :  Kolaborasi pemberian analgetik jika perlu 3.



Pola Nafas Tidak Efektif Setelah berhubungan Hambatan



diberikan



asuhan Manajemen jalan napas :



dengan keperawatan selama 1x24jam Observasi : Upaya



Nafas diharapkan pola nafas tidak



 Monitor pola napas



ditandai dengan Penggunaan efektif dapat teratasi dengan



(frekuensi , kedalaman,



Otot Bantu Pernafasan, pola kriteria hasil:



usaha napas)  Monitor bunyi napas



nafas abnormal, pernafasan Pola Napas: cuping hidung



 Pasien tidak dyspnea  Tidak terdapat penggunaan



 Tidak terdapat pernapasan



(16 -20 RR)



atau fowler  Berikan oksigen, jika



cuping hidung napas



Trapeutik :  Posisikan semi fowler



otot bantu napas



 Frekuensi



tambahan



normal



perlu  Berikan minum hangat Kolaborasi :



22



 Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekpektor , mukolitik,mukolitik D. Implementasi Keperawatan Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan.



E. Evaluasi Keperawatan Evaluasi merupakan langkah terakhur dalam proses keperawatan dengan cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau tidak.



BAB III ARTIKEL TERKAIT



23



24



25



26



27



DAFTAR PUSTAKA Corwin. (2010). Hand Book Of Pathofisiologi. EGC : Jakarta Doenges,M.E & Geissler, A.C., (2006). Rencana Asuhan Keperawatan untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan Pasien, Edisi-3, Alih bahasa; Kariasa,I.M., Sumarwati,N.M. EGC: Jakarta Harsono. (2010). Kapita Selekta Neurologi. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta Herdman, T. Heater. (2012). NANDA International Diagnosis keperawatan definisi dan klasifikasi 2012-2014. EGC : Jakarta. http://kamuskesehatan.com/arti/kontusio-serebri/di unduh tgl 23 Oktober 2013. Mansjoer, A. (2002). Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius FK-UI : Jakarta Mardjono M., Sidharta P., Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2000 Smeltzer, S. C & Bare, G. B. (2006) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Suddart, Edisi 8. Vol 3 EGC, Jakarta. Wilkinson, Judith, 2007, Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. EGC : Jakarta



28