LP Dislokasi Elbow [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN, ASKEP, & RESUME



DISLOKASI ELBOW RUANG 15 RSSA



Oleh SUGENG TRIANUGRAH R 140070300011191 KELOMPOK 2



JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2016



DISLOKASI 1. DEFINISI 1. Dislokasi adalah keadaan dimana tulang-tulang yang membentuk sendi tidak lagi berhubungan secara anatomis (tulang lepas dari sendi) (Brunner & Suddarth). Dislokasi adalah keluarnya (bercerainya) kepala sendi dari mangkuknya, dislokasi merupakan suatu kedaruratan yang membutuhkan pertolongan segera. (Arif Mansyur, dkk. 2000). 2. Dislokasi adalah patah tulang di dekat sendi atau mengenai sendi dapat menyebabkan patah tulang di sertai luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi. ( Buku Ajar Ilmu Bedah, hal 1138). 3. Jadi, dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi. Dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya (dari mangkuk sendi).



Gambar 1. Dislokasi Sternoclavicular



a.



Dislokasi bahu anterior Sering terjadi pada usia dewasa muda, kecelakaan lalu lintas ataupun cedera olah raga. Dislokasi terjadi karena kekuatan yang menyebabkan gerakan rotasi ekstern (puntiran keluar) dan ekstensi sendi bahu. Posisi lengan atas dalam posisi abduksi. Kaput humerus didorong ke depan dan menimbulkan avulsi simpai sendi bagian bawah dan kartilago beserta periosteum labrum glenoidalis bagian anterior. Lesi ini disebut bankart lesion. Karena terjadi robekan kapsul, kepala humerus akan keluar dari cekungan glenoid ke arah depan dan medial, kebanyakan tertahan di bawah coracoideus. Mekanisme lain terjadinya disloksi adalah trauma langsung. Pederita jatuh, pundak bagian belakang terbentur lantai atau tanah. Gaya akan mendorong permukaan belakang humerus bagian proksimal ke depan.



Gambar 2. Dislokasi bahu anterior Klinis Pasien merasakan sendinya keluar dan tidak mampu menggerakkan lengannya, dan lengan yang cedera ditopang oleh tangan sebelah lain. Pundak terasa sakit sekali, bentuk pundak asimetris, posisi badan pendeita miring ke arah sisi yang sakit, bentuk deltoid pada sisi yang cedera tampak mendatar, hal ini disebabkan kepala humerus sudah keluar dari cekungan glenoid ke depan. Pada palpasi daerah subacromius jelas teraba cekungan. Pemeriksaan penunjang Dengan pembuatan X – ray foto, umumnya dengan proyeksi AP sudah dapat terdiagnosis adanya dislokasi sendi bahu.



Gambar 3. X – ray foto dislokasi bahu anterior Penatalaksanaan Keadaan ini memerlukan reposisi segera. Ada beberapa indikasi untuk melakukan reposisi, yaitu : tidak adanya fraktur, tidak adanya defisit neurologi



Oleh



karena



itu



sebelum



melakukan



reposisi



sebaiknya



dilakukan



beberapa



pemeriksaaan 1. Nervus axillary : 8% terjadi kelumpuhan 1



- innervasi m. Deltoideus : tidak di tes



2



- Sensoris: dibawah m. Deltoideus



3 2. Nervus Radialis: extensi tangan 3. Artery brachialis: denyut nadi radialis



Gambar 9. Pre reduction examination



Terdapat 3 cara untuk mereposisi dislokasi bahu anterior, yaitu : 1. Cara Stimson Cara ini mudah dan tidak memerlukan anestesia. Penderita tidur tengkurang di atas meja, lengan yang cedera dibiarkan tergelantung ke bawah. Lengan diberi beban seberat 5 – 7 ½ kg. Pada saat otot bahu dalam keadaan relaksasi, diharapkan terjadi reposisi akibat berat lengan yang tergantung di samping tempat tidur tersebut. Hal ini dilakukan selama 20 – 25 menit.



Gambar 4. Cara Stimson 1. Cara Hippocrates Bila cara stimson gagal maka dilakukan cara hippocrates. Penderita tidur terlentang di atas meja, lengan penderita pada sisi yang sakit ditarik ke distal, posisi lengan sedikit abduksi. Sementara itu kaki penolong ditekankan ke aksila untuk mengungkit kaput humerus ke arah lateral dan posterior. Setelah reposisi, bahu dipertahankan dalam posisi endorotasi dengan penyangga ke dada selama paling sedikit 3 minggu.



1 4. Cara Kocher Penderita ditidurkan di atas meja. Penolong melakukan gerakan yang dapat dibagi dalam 4 tahap. 1



Tahap pertama, dalam posisi siku fleksi penolong menarik lengan atas ke arah distal



2



Tahap kedua, dilakukan gerakan eksorotasi dari sendi bahu



3



Tahap ketiga, melakukan gerakan adduksi dan fleksi pada sendi bahu



4



Tahap ke empat, melakukan gerakan endorotasi sendi bahu.



Setelah tereposisi sendi bahu difiksasi dengan dada, dengan verband dan lengan bawah digantung dengan sling. Immobilisasi cukup 3 minggu. Cara ini paling sering dilakukan di klinik.



Komplikasi Komplikasi yang mungkin terjadi dislokasi bahu anterior, yaitu : 



Cedera plexus brachialis dan n. Axillaris yang menyebabkan kumpulnya m. deltoid sehingga bahu tidak dapat diangkat abduksi







Robeknya muskulus tendineus cuff (cuff rotator)







Patah tulang humerus







Rekurrens dislokasi bahu anterior Hal ini disebabkan terjadinya celah robekan



fibrocartilago di daerah



bannkart yang menetap. Trauma yang ringan saja seperti mengenakan baju atau menutup jendela akan terjadi posisi abduksi dan eksternal rotasi yang akan mengakibatkan dislokasi kembali. Kalau terjadi lebih dari 3 x, dianjurkan untuk dilakukan operasi. Metode operasi yang dipakai yaitu, Bristow, Bannkart, dan Putti plat. Tujuan dari operasi ini untuk melakukan rekonstruksi struktur bagian anterior sendi. b. Dislokasi bahu posterior Dislokasi ini jarang terjadi, mekanisme biasanya penderita jatuh dimana posisi lengan atas dalamkedudukan adduksi atau internal rotasi.



Klinis: Sangat sakit di daerah bahu. Posisi lengan dalam kedudukan adduksi dan internal rotasi. Terdapat penonjolan kaput di daerah posterior. Pemeriksaan Radiologi: Proyeksi AP kadang sulit dilihat, Kalau perlu dilakukan proyeksi aksial. Penatalaksanaan: Keadaan ini memerlukan reposisi tertutup segera alam narkosis umum dengan melakukan rotasi ekstern pada bahu dan kaput humerus didorong ke depan. Setelah reposisi, dipasang gips spika bahu dalam posisi abduksi 30 0 selama 3 minggu.



2. ETIOLOGI Dislokasi disebabkan oleh : 1. Trauma: jika disertai fraktur, keadaan ini disebut fraktur dislokasi - Cedera olahraga : olah raga yang biasanya menyebabkan dislokasi adalah sepak bola dan hoki, serta olahraga yang beresiko jatuh misalnya : terperosok akibat bermain ski, senam, volley. Pemain basket dan pemain sepak bola paling sering mengalami dislokasi pada tangan dan jari-jari karena secara tidak sengaja -



menangkap bola dari pemain lain. Trauma yang tidak berhubungan dengan olahraga : Benturan keras pada sendi



saat kecelakaan motor biasanya menyebabkan dislokasi. - Terjatuh : Terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin 2. Kongenital Sebagian anak dilahirkan dengan dislokasi, misalnya dislokasi pangkal paha. Pada keadaan ini anak dilahirkan dengan dislokasi sendi pangkal paha secara klinik tungkai yang satu lebih pendek dibanding tungkai yang lainnya dan pantat bagian kiri serta kanan tidak simetris. Dislokasi congenital ini dapat bilateral (dua sisi). Adanya



kecurigaan yang paling kecil pun terhadap kelainan congenital ini mengeluarkan pemeriksaan klinik yang cermat dan sianak diperiksa dengan sinar X, karena tindakan dini memberikan hasil yang sangat baik. Tindakan dengan reposisi dan pemasangan bidai selama beberapa bulan, jika kelainan ini tidak ditemukan secara dini, tindakannya akan jauh sulit dan diperlukan pembedahan.



3. Patologis Akibatnya destruksi tulang, misalnya tuberkolosis tulang belakang. Dimana patologis: terjadinya ‘tear ligament dan kapsul articuler yang merupakan kompenen vital penghubung tulang. 3. MANIFESTASI KLINIK 1. Deformitas pada persendiaan Kalau sebuah tulang diraba secara sering akan terdapat suatu celah. 2. Gangguan gerakan Otot-otot tidak dapat bekerja dengan baik pada tulang tersebut. 3. Pembengkakan Pembengkakan ini dapat parah pada kasus trauma dan dapat menutupi deformitas. 4. Rasa nyeri sering terdapat pada dislokasi Sendi bahu, sendi siku, metakarpal phalangeal dan sendi pangkal paha servikal. 5. Kekakuan. 4. PATOFISIOLOGI Dislokasi biasanya disebabkan oleh jatuh pada tangan. Humerus terdorong kedepan, merobek kapsul atau menyebabkan tepi glenoid teravulsi. Kadang-kadang bagian posterolateral kaput hancur. Mesti jarang prosesus akromium dapat mengungkit kaput ke bawah dan menimbulkan luksasio erekta (dengan tangan mengarah ; lengan ini hampir selalu jatuh membawa kaput ke posisi da bawah karakoid). Dislokasi terjadi saat ligarnen rnamberikan jalan sedemikian rupa sehingga tulang berpindah dari posisinya yang normal di dalam sendi. Karena terpeleset dari tempatnya, maka sendi itupun menjadi macet. Selain macet, juga terasa nyeri. Sebuah sendi yang pernah mengalami dislokasi, ligamenligamennya biasanya menjadi kendor. Akibatnya, sendi itu akan gampang dislokasi lagi. 5. KLASIFIKASI Dislokasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1. Dislokasi congenital Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan. 2. Dislokasi patologik Akibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar sendi. misalnya tumor, infeksi, atau osteoporosis tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan tulang yang berkurang. 3. Dislokasi traumatic Kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan saraf rusak dan mengalami stress berat, kematian jaringan akibat anoksia) akibat oedema (karena mengalami pengerasan). Terjadi karena trauma yang kuat sehingga dapat mengeluarkan tulang



dari jaringan disekeilingnya dan mungkin juga merusak struktur sendi, ligamen, syaraf, dan system vaskular. Kebanyakan terjadi pada orang dewasa. Berdasarkan tipe kliniknya dibagi : 1. Dislokasi Akut Umumnya terjadi pada shoulder, elbow, dan hip. Disertai nyeri akut dan pembengkakan di sekitar sendi. 2. Dislokasi Kronik 3. Dislokasi Berulang Jika suatu trauma dislokasi pada sendi diikuti oleh frekuensi dislokasi yang berlanjut dengan trauma yang minimal, maka disebut dislokasi berulang. Umumnya terjadi pada shoulder joint dan patello femoral joint. Berdasarkan tempat terjadinya : 1. Dislokasi Sendi Rahang Dislokasi sendi rahang dapat terjadi karena : a. Menguap atau terlalu lebar. b. Terkena pukulan keras ketika rahang sedang terbuka, akibatnya penderita tidak dapat menutup mulutnya kembali. 2. Dislokasi Sendi Bahu Pergeseran kaput humerus dari sendi glenohumeral, berada di anterior dan medial glenoid (dislokasi anterior), di posterior (dislokasi posterior), dan di bawah glenoid (dislokasi inferior). 3. Dislokasi Sendi Siku Merupakan mekanisme cederanya biasanya jatuh pada tangan yg dapat menimbulkan dislokasi sendi siku ke arah posterior dengan siku jelas berubah bentuk dengan kerusakan sambungan tonjolan-tonjolan tulang siku. 4. Dislokasi Sendi Jari Sendi jari mudah mengalami dislokasi dan bila tidak ditolong dengan segera sendi tersebut akan menjadi kaku kelak. Sendi jari dapat mengalami dislokasi ke arah telapak tangan atau punggung tangan. 5. Dislokasi Sendi Metacarpophalangeal dan Interphalangeal Merupakan dislokasi yang disebabkan oleh hiperekstensi-ekstensi persendian. 6. Dislokasi Panggul Bergesernya caput femur dari sendi panggul, berada di posterior dan atas acetabulum (dislokasi posterior), di anterior acetabulum (dislokasi anterior), dan caput femur menembus acetabulum (dislokasi sentra). 7. Dislokasi Patella a. Paling sering terjadi ke arah lateral. b. Reduksi dicapai dengan memberikan tekanan ke arah medial pada sisi lateral patella sambil mengekstensikan lutut perlahan-lahan. c. Apabila dislokasi dilakukan berulang-ulang diperlukan stabilisasi secara bedah. 6. KOMPLIKASI Komplikasi Dini 1. Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera ; pasien tidak dapat mengkerutkan otot deltoid dan mungkin terdapat daerah kecil yang mati rasa pada otot tesebut. 2. Cedera pembuluh darah : Arteri aksilla dapat rusak.



3. Fraktur disloksi. Komplikasi Lanjut 1. Kekakuan sendi bahu : Immobilisasi yang lama dapat mengakibatkan kekakuan sendi bahu, terutama pada pasien yang berumur 40 tahun. Terjadinya kehilangan rotasi lateral, yang secara otomatis membatasi abduksi. 2. Dislokasi yang berulang : terjadi kalau labrum glenoid robek atau kapsul terlepas dari bagian depan leher glenoid. 3. Kelemahan otot. 7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK Dengan cara pemeriksaan Sinar-X ( pemeriksaan X-Rays ) pada bagian anteroposterior akan memperlihatkan bayangan yang tumpah-tindih antara kaput humerus dan fossa glenoid, kaput biasanya terletak di bawah dan medial terhadap terhadap mangkuk sendi serta Radiologi (CT Scan). 8. PENATALAKSANAAN 1. Dislokasi reduksi: dikembalikan ketempat semula dengan menggunakan anastesi jika dislokasi berat. 2. Kaput tulang yang mengalami dislokasi dimanipulasi dan dikembalikan ke rongga sendi. 3. Sendi kemudian dimobilisasi dengan pembalut, bidai, gips atau traksi dan dijaga agar tetap dalam posisi stabil. Beberapa hari sampai minggu setelah reduksi dilakukan mobilisasi, harus 3-4x sehari yang berguna untuk mengembalikan kisaran sendi. 4. Memberikan kenyamanan dan melindungi sendi selama masa penyembuhan. Menurut sumber lain, penatalaksanaan dislokasi sebagai berikut : o



Lakukan reposisi segera.



o



Dislokasi sendi kecil dapat direposisi di tempat kejadian tanpa anestesi, misalnya : dislokasi siku, dislokasi bahu, dislokasi jari pada fase syok), sislokasi bahu, siku atau jari dapat direposisi dengan anestesi loca; dan obat penenang misalnya valium.



o



Dislokasi sendi besar, misalnya panggul memerlukan anestesi umum.



o



Dislokasi reduksi: dikembalikan ketempat semula dengan menggunakan anastesi jika dislokasi berat. Kaput tulang yang mengalami dislokasi dimanipulasi dan dikembalikan ke



o



rongga sendi. Sendi kemudian diimobilisasi dengan pembalut, bidai, gips atau traksi dan



o



dijaga agar tetap dalam posisi stabil. Beberapa hari sampai minggu setelah reduksi dilakukan mobilisasi halus 3-4x sehari yang berguna untuk mengembalikan kisaran sendi o



Memberikan kenyamanan dan melindungi sendi selama masa penyembuhan.



Dislokasi Sendi Siku  Jatuh pada tangan dapat menimbulkan dislokasi sendi siku ke arah posterior. Reposisi dilanjutkan dengan membatasi gerakan dalam sling atau gips selama tiga minggu untuk memberikan kesembuhan pada sumpai sendi 2. Prinsip Traksi Efektif Pada



setiap



pemasangan



traksi



harus



dipikirkan



adanya



kontratraksi. Kontratraksi adalah gaya yang bekerja dengan arah yang berlawanan (hukun Newton yang ketiga mengenai gerak. Menyebutkan bahwa bila ada aksi maka akan terjadi reaksi dengan besar yang sama namun arahnya berlawanan). Umumnya berat badan pasien pengaturan posisi tempat tidur mampu memberikan kontraksi. Prinsip – prinsip traksi efektif adalah : 1. Kontraksi harus dipertahankan agar traksi tetap efektif. 2. Traksi skelet tidak terputus 3. Pemberat / beban tidak boleh diambil kecuali bila traksi dimaksudkan intermiten. 4. Tubuh pasien harus dalam keadaan sejajar dengan pusat tempat tidur ketika traksi dipasang. 5. Tali tidak boleh macet. 6. Pemberat harus tergantung bebas dan tidak boleh terletak pada tempat tidur atau lantai. 7. simpul pada tali atau telapak kaki tidak boleh menyentuh katrol atau kaki tempat tidur. 3. Tindakan Pada Dislokasi a. Dengan memanipulasi secara hati – hati, permukaan diluruskan kembali. Tindakan ini sering memerlukan anestesi umum untuk melemaskan otot – otonya.



b. Pembedahan terbuka mungkin diperlukan khususnya kalau jaringan lunak terjepit di antara permukaan sendi. c. Persendian tersebut, disangka dengan pembebatan dengan gips. Misalnya : pada sendi pangkal paha, untuk memberikan kesembuhan pada ligamentum yang teregang. d. Fisioterapi harus segera dimulai untuk mempertahankan fungsi otot dan latcher (exercise) yang aktif dapat diawali secara dini untuk mendorong gerakan sendi yang penuh khususnya pada sendi bahu. 4. Macam – Macam Traksi a. Traksi lurus atau langsung



Pada traksi ini memberikan gaya tarikan dalam satu garis lurus dengan bagian tubuh berbaring di tempat tidur. b. Traksi Suspensi Seimbang



Traksi ini memberikan dukungan pada eksremitas yang sakit di atas tempat tidur sehingga memungkinkan mobilisasi pasien sampai batas tertentu tanpa terputusnya garis tarikan. c. Traksi Kulit



Traksi kulit tidak membutuhkan tindakan pembedahan. Traksi kulit terjadi apabila beban menarik kulit, spon karet, atau bahan kanvas yang diletakkan pada kulit, beratnya bahan yang dapat dipasang sangat terbatas, tidak boleh melebihi toleransi kulit, yaitu tidak lebih dari 2 sampai 3 kg beban tarikan yang dipasang pada kulit. Traksi pelvis pada umumnya 4,5 sampai dengan 9 kg tergantung dari berat badan. Rumus traksi kulit : 1/7 x BB d. Traksi Skelet



Dipasang langsung pada tulang, metode traksi ini digunakan paling sering untuk menangani fraktur tibia, humerus dan tulang leher. Traksi skelet biasanya menggunakan 7 – 12 kg untuk dapat mencapai efek therapi, Rumus traksi skelet 1 / 10 x BB. e. Traksi Manual Traksi yang dipasang untuk sementara, saat akan dilakukan pemasangan gibs.



9. ASUHAN KEPERAWATAN 9.1 Pengkajian a. Identitas Klien Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis. b. Riwayat Penyakit Sekarang Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari disklokasi yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit. c. Riwayat Penyakit Dahulu Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab dislokasi, serta penyakit yang pernah diderita klien sebelumnya yang dapat memperparah keadaan klien dan menghambat proses penyembuhan. d. Pemeriksaan Fisik Pada penderita Dislokasi pemeriksan fisik yang diutamakan adalah nyeri, deformitas,



fungsiolesa misalnya: bahu tidak dapat endorotasi pada dislokasi anterior bahu. 9.2 Diagnosa Keperawatan a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan discontinuitas jaringan. b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas dan nyeri saat mobilisasi. c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kegagalan untuk mencerna atau ketidakmampuan mencerna makanan /absorpsi nutrient yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah. d. Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit. e. Gangguan bodi image berhubungan dengan deformitas dan perubahan bentuk tubuh. 9.3 Intervensi Keperawatan Dx Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional 1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan discontinuitas jaringan. Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan rasa nyeri teratasi, dengan kriteria hasil : a). Klien tampak tidak meringis lagi. b). Klien tampak rileks. 1. Kaji skala nyeri. 2. Berikan posisi relaks pada pasien. 3. Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi. 4. Berikan lingkungan yang nyaman, dan aktifitas hiburan. 5. Kolaborasi pemberian analgesik. Mengetahui intensitas nyeri. Posisi relaksasi pada pasien dapat mengalihkan focus pikiran pasien pada nyeri. Tehnik relaksasi dan distraksi dapat mengurangi rasa nyeri. Meningkatkan relaksasi pasien. Analgesik mengurangi nyeri 2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas dan nyeri saat mobilisasi. Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan gangguan mobilitas fisik klien teratasi, dengan kriteria hasil : a). Klien melaporkan peningkatan toleransi aktivitas (termasuk aktivitas sehari-hari). b). Klien menunjukkan penurunan tanda intolerasi fisiologis, misalnya nadi, pernapasan, dan tekanan darah masih dalam rentang normal. 1. Kaji tingkat mobilisasi pasien. 2. Berikan latihan ROM. 3. Anjurkan penggunaan alat bantu jika diperlukan. 4. Monitor tonus otot.



5. Membantu pasien untuk imobilisasi baik dari perawat maupun keluarga. Menunjukkan tingkat mobilisasi pasien dan menentukan intervensi selanjutnya. Memberikan latihan ROM kepada klien untuk mobilisasi. Alat bantu memperingan mobilisasi pasien. Agar mendapatkan data yang akurat. Dapat membantu pasien untuk imobilisasi. 3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan untuk mencerna atau ketidakmampuan mencerna makanan/absorpsi nutrient yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah. Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan nutrisi terpenuhi, dengan kriteria hasil : a).Klien menunjukkan peningkatan atau mempertahankan berat badan dengan nilai laboratorium normal. b). Tidak mengalami tanda mal nutrisi. c). Klien menunjukkan perilaku, perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan atau mempertahankan berat badan yang sesuai. 1. Kaji riwayat nutrisi, termasuk makan yang disukai. 2. Observasi dan catat masukkan makanan pasien. 3. Timbang berat badan setiap hari. 4. Berikan makan sedikit dengan frekuensi sering dan atau makan diantara waktu makan. 5. Observasi dan catat kejadian mual/muntah, flatus dan dan gejala lain yang berhubungan. 6. Berikan dan Bantu hygiene mulut yang baik ; sebelum dan sesudah makan, gunakan sikat gigi halus untuk penyikatan yang lembut. Berikan pencuci mulut yang di encerkan bila mukosa oral luka. 7. Kolaborasi pada ahli gizi untuk rencana diet. 8. Kolaborasi ; pantau hasil pemeriksaan laboraturium. 9. Kolaborasi; berikan obat sesuai indikasi. Mengidentifikasi defisiensi, memudahkan intervensi. Mengawasi masukkan kalori atau kualitas kekurangan konsumsi makanan. Mengawasi penurunan berat badan atau efektivitas intervensi nutrisi. Menurunkan kelemahan, meningkatkan pemasukkan dan mencegah distensi gaster. Gejala GI dapat menunjukkan efek anemia (hipoksia) pada organ. Meningkatkan nafsu makan dan pemasukkan oral. Menurunkan pertumbuhan bakteri, meminimalkan kemungkinan infeksi. Teknik perawatan mulut khusus mungkin diperlukan bila jaringan rapuh/luka/perdarahan dan nyeri berat.



Membantu dalam rencana diet untuk memenuhi kebutuhan individual. Meningkatakan efektivitas program pengobatan, termasuk sumber diet nutrisi yang dibutuhkan. Kebutuhan penggantian tergantung pada tipe anemia dan atau adanyan masukkan oral yang buruk dan defisiensi yang diidentifikasi. 4. Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit. Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan kecemasan pasien teratasi, dengan kriteria hasil : a). Klien tampak rileks. b). Klien tidak tampak bertanya-tanya. 1. Kaji tingakat ansietas klien. 2. Bantu pasien mengungkapkan rasa cemas atau takutnya. 3. Kaji pengetahuan pasien tentang prosedur yang akan dijalaninya. 4. Berikan informasi yang benar tentang prosedur yang akan dijalani pasien. Mengetahui tingakat kecemasan pasien dan menentukan intervensi selanjutnya. Mengali pengetahuan dari pasien dan mengurangi kecemasan pasien. Agar perawat mengetahui seberapa tingkat pengetahuan pasien dengan penyakitnya. Agar pasien mengerti tentang penyakitnya dan tidak cemas lagi. 5. Gangguan body image berhubungan dengan deformitas dan perubahan bentuk tubuh. Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan gangguan body image teratasi. 1. Kaji konsep diri pasien. 2. Kembangkan BHSP dengan pasien. 3. Bantu pasien mengungkapkan masalahnya. 4. Bantu pasien mengatasi masalahnya. Dapat mengetahui pasien. Menjalin saling percaya pada pasien. Menjadi tempat bertanya pasien untuk mengungkapkan masalahnya. Mengetahui masalah pasien dan dapat memecahkannya.



DAFTAR PUSTAKA 1. Mansjoer, A. dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran jilid 2. Media Aesculapius. Jakarta 2. Cole, Warren H and Zollinger Robert M. Textbook of Surgery, Ninth Edition. New York: Meredith Corporation. 3. Salter



Robert



bruce.



1999.



Textbook



of



Disorder



and



Injuries



of



the



Musculoskeletal System, 3rd-ed. Baltimore: Williams & Wilkins. 4. Rasjad Chairuddin, 2007, Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi edisi ketiga, Jakarta: PT.Yarsif Watampone (Anggota IKAPI). 5. Reksoprojo, S.1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Binarupa Aksara. Jakarta 6. Wim de Jong, Syamsuhidajat, R. 2003. Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi dua. Penerbit Buku Kedoktern EGC. Jakarta 7. Appley A Graham & Salomon Louis, 1995. Orthopedi dan Fraktur Sistem, Edisi ketujuh, cetakan pertama. Jakarta : Widya Medika. 8. Greene, Walter B, Netter’s Orthopaedics, North Carolina, 9. Weinsterin Stuart L, Turek’s Orthopaedics, Lippincot Wililiams & Wilkins. 10. Shwartz Seymor I. Principles of Surgery, fifth edition. New York, McGraw-Hill, Information Services Company.