LP Peb [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN PRE EKLAMSI BERAT (PEB)



Oleh : Ismi Aziz NIM. 201901135



PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN STIKES BINA SEHAT PPNI MOJOKERTO TAHUN AJARAN 2021-2022



BAB 1 KONSEP MEDIS 1.1



DEFINISI Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Eklampsia adalah preeklampsia yang disertai kejang dan atau koma yang timbul akibat kelainan neurologi (Kapita Selekta Kedokteran edisi ke-3). Preeklampsia merupakan sindrom spesifik-kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai dengan hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria (Cunningham, et al, 2007). Hipertensi ialah tekanan darah ≥140/90 mmHg. Dengan catatan, pengukuran darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selang 4 jam. Sedangkan proteinuria adalah adanya 300 mg protein dalam urin 24 jam atau sama dengan ≥1+ dipstick (Angsar, 2008). Preeklampsia berat ialah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteinuria ≥ 5 g/ 24 jam atau kualitatif 4+. Sedangkan pasien yang sebelumnya mengalami preeclampsia kemudian disertai kejang dinamakan eklampsia (Angsar, 2008). Penggolongan preeclampsia menjadi preeclampsia ringan dan preeclampsia berat dapat menyesatkan karena preeclampsia ringan dalam waktu yang relative singkat dapat berkembang menjadi preeclampsia berat (Cunningham, et al, 2007).



1.2



KLASIFIKASI Klasifikasi pre eklamsia dibagi menjadi 2 yaitu sebagai berikut: a. Pre eklamsia ringan Pre eklamsia ringan ditandai dengan: 1) Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada posisi berbaring terlentang; kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih dari tensi baseline (tensi sebelum kehamilan 20 minggu); dan kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih. Cara pengukuran sekurang-kurangnya pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak periksa 1 jam, atau berada dalam interval 4-6 jam. 2) Edema umum, kaki, jari tangan, dan muka; kenaikan berat badan 1 kg atau lebih dalam seminggu.



3) Proteinuria kuantatif 0,3 gr atau lebih per liter; kualitatif 1 + atau 2 + pada urin kateter atau midstream (aliran tengah). b. Pre eklamsia berat Pre eklamsia berat ditandai dengan: 1) Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih. 2) Proteinuria 5 gr atau lebih per liter. 3) Oliguria, yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam . 4) Adanya gangguan serebral atau kesadaran, gangguan visus atau penglihatan, dan rasa nyeri pada epigastrium. 5) Terdapat edema paru dan sianosis 6) Kadar enzim hati (SGOT, SGPT) meningkat disertai ikterik. 7) Perdarahan pada retina. 8) Trombosit kurang dari 100.000/mm. Preeklampsia berat dibagi menjadi: a) Preeklampsia berat tanpa impending eclampsia b) Preeklampsia berat dengan impending eclampsia. Disebut impending eclampsia bila preeklampsia berat disertai gejala-gejala subjektif berupa :  Muntah-muntah  Sakit kepala yang keras karena vasospasm atau oedema otak  Nyeri epigastrium karena regangan selaput hati oleh haemorrhagia atau oedema, atau sakit karena perubahan pada lambung Gangguan penglihatan: penglihatan menjadi kabur sampai terkadang buta. Hal ini disebabkan karena vasospasm, oedema atau ablation retinae. Perubahan – perubahan ini dapat dilihat dengan ophtalmoskop (Angsar, 2008). 1.3



ETIOLOGI Setiap teori mengenai etiologi dan patofisiologi preeclampsia harus dapat menjelaskan alasan mengapa hipertensi pada kehamilan cenderung terjadi pada:  Wanita yang terpapar dengan villi korionik untuk pertama kali  Wanita yang terpapar oleh vili korionik dalam jumlah besar, seperti pada kehamilan kembar atau kehamilan mola.  Wanita dengan predisposisi penyakit vaskuler sebelumnya.



 Wanita dengan predisposisi genetic ada yang pernah menderita hipertensi selama kehamilan. Vili korionik yang dapat mencetuskan preeclampsia tidak harus berada di dalam rahim. Sedangkan ada atau tidaknya janin bukanlah suatu syarat untuk terjadinya preeklampsia. Namun demikian, terlepas dari etiologinya, kaskade peristiwa yang mengarah



ke



sindrom



preeklampsia



ditandai



dengan



sejumlah



kelainan



yang



mengakibatkan kerusakan endotel vaskular dengan vasospasme, transudasi plasma, dan sequelae iskemik dan trombotik. Menurut Sibai (2003), penyebab potensial saat ini masuk akal adalah sebagai berikut: 1. Invasi trofoblas abnormal pada pembuluh darah rahim. 2. Intoleransi imunologi antara jaringan ibu dan fetoplacental. 3. Maladaptasi ibu terhadap perubahan kardiovaskular atau perubahan respon inflamasi dari kehamilan normal. 4. Faktor defisiensi nutrisi. 5. Faktor genetic (Cunningham, et al, 2007). 1.3.1 Invasi trofoblas abnormal Pada implantasi normal, arteri spiralis uterus mengalami remodelling akibat invasi endovascular trophoblasts ke dalam lapisan otot arteri spiralis. Hal ini menimbulkan degenerasi lapisan otot arteri spiralis sehingga terjadi dilatasi dan distensi (Gambar 2.1). Pada preeclampsia, terjadi invasi trofoblas namun tidak sempurna dan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis. Dalam hal ini, hanya pembuluh darah desidua (bukan pembuluh darah miometrium) yang dilapisi oleh endovaskuler trofoblas. Akibatnya, lapisan otot arteri spiralis tetap kaku dan keras serta tidak memungkinkan untuk mengalami distensi dan dilatasi. Ini menciptkan suatu keadaan di mana arteri spiralis mengalami vasokonstriksi relative. Madzali dan rekannya (2000) menunjukkan bahwa keparahan defek invasi trofoblas pada arteri spiralis berkaitan dengan keparahan hipertensi (Cunningham, et al, 2007).



Gambar 2.1 Implantasi plasenta yang normal menunjukkan adanya proliferasi trofoblas extravili, membentuk saluran di bawah villi yang melekat. Trofoblas extravillous menginvasi desidua dan masuk ke dalam artei spiralis. Hal ini menyebabkan perubahan pada endotel dan dinding otot pembuluh darah sehingga pembuluh darah melebar (Cunningham, et al, 2007)



Gambar 2.2 Prerbandingan remodelling arteri spiralis pada kehamilan normal dan preeclampsia. Tampak pada gambar bahwa pada preeclampsia terjadi remodeling yang tidak sempurna sehingga arteri spiralis relative menjadi lebih konstriksi. (Cunningham, et al, 2007)



De wolf dan rekannya (1980) mengamati arteri-arteri yang diambil dari sisi implantasi plasenta dengan menggunakan mikroskop electron. Mereka menemukan bahwa perubahan preeklampsi pada tahap awal termasuk kerusakan endotel, insudasi plasma ke dalam pembuluh darah, proliferasi sel-sel miointima, dan nekrosis medial. Mereka menemukan adanya lipid yang trerakumulasi di dalam sel-sel miointima kemudian di dalam makrofag. Dalam gambar 2.3 tampak sel-sel lipid bersama sel inflamasi lainnya di dalam pembuluh darah dinamakan atherosis. Biasanya, pembuluh darah yang terkena



atherosis akan berkembang menjadi aneurisma dan seringkali berkaitan dengan arteriola spiralis yang gagal untuk melakukan adaptasi. Obstruksi pada lumen arteriola spiralis oleh atherosis dapat mengganggu aliran darah plasenta. Hal inilah yang membuat perfusi plasenta menurun dan menyebabkan terjadinya sindrom preeklampsi (Cunningham, et al, 2007) 1.3.2 Teori Intoleransi Imunologik antara ibu dan janin Dugaan bahwa faktor imunologik berperan terhadap terjadinya hipertensi dalam kehamilan terbukti dengan fakta sebagai berikut; 



Primigravida mempunyai faktor risiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan dengan multigravida







Ibu multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai risiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan dengan suami yang sebelumnya.







Seks oral mempunyai risiko lebih rendah terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Lamanya periode hubungan seks sampai saat kehamilan ialah makin lama periode ini makin kecil terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Pada perempuan hamil normal respon imun tidak menolak adanya “hasil konsepsi”



yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya Human Leucocyte Antigen Protein G (HLAG), yang berperan penting dalam modulasi respon imun, sehingga si ibu tidak menolak hasil konsepsi (plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel natural killer (NK) ibu dan mempermudah invasi sel trofoblas ke dalam jaringan decidua ibu (Angsar, 2008). Plasenta pada hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-G. Berkurangnya HLA-G menghambat invasi trofoblas kedalam decidua. Invasi trofoblas sangat penting agar jaringan decidua menjadi lunak, dan gembur sehingga memudahkan terjadinya dilatasi arteri spiralis. HLA-G juga merangsang produksi sitokin, sehingga memudahkan terjadinya reaksi inflamasi. Selain itu, pada awal trimester kedua kehamilan, perempuan yang mempunyai kecenderungan terjadi preeklampsia, ternyata mempunyai proporsi Helper sel yang lebih rendah dibanding pada normotensive (Angsar, 2008) 2.3.3 Teori Radikal Bebas dan Disfungsi Sel Endotel Disfungsi sel endotel yang berkaitan dengan preeclampsia disebabkan oleh gangguan adaptasi intravaskuler ibu terhadap kehamilan sehingga memicu proses inflamasi intravaskuler sistemik (Gambar 2.4). Dalam teori ini dinyatakan bahwa preeclampsia timbul akibat adanya leukosit aktif dengan jumlah yang ekstrem dalam



sirkulasi ibu. Singkatnya, sitokin-sitokin seperti Tumor Necrosis Factor (TNF) dan interleukin (IL) dapat memicu stres oksidatif yang berkaitan dengan preeklampsia. Stres oksidatif ini ditandai oleh spesies oksigen reaktif dan radikal bebas yang memicu terbentuknya peroksida lipid. Proses ini selanjutnya menghasilkan radikal beracun yang merusak sel-sel endotel, mengacaukan produksi nitrit oksida, dan mengganggu keseimbangan prostaglandin. Akibat lainnya adalah terbentuknya sel makrofag yang mengandung lipid (sel foam) di dalam atherosis; aktivasi proses koagulasi mikrovaskuler menyebabkan trombositopenia; dan peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan terjadinya edema dan proteinuria (Cunningham, 2007). Penelitian tentang efek stress oksidatif pada preeclampsia ini menimbulkan ketertarikan



untuk



memberikan



antioksidan



sebagai



pencegahan



preeclampsia.



Antioksidan merupakan kelompok senyawa yang berfungsi untuk mencegah kerusakan akibat produksi radikal bebas yang berlebihan. Contoh antioksidan antara lain, vitamin E atau tokoferol, vitamin C (asam askorbat), dan karoten (Angsar, 2008).



Gambar 2.4 Patogenesis hipertensi dalam kehamilan (Cunningham, et al, 2007)



2.3.4 Faktor Defisiensi Nutrisi Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan, termasuk hati halibut, dapat mengurangi resiko preeclampsia. Minyak ikan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang dapat menghambat produksi tromboksan, menghambat aktivasi trombosit, dan mencegah vasokonstriksi pembuluh darah. Beberapa peneliti telah mencoba melakukan uji klinik bahwa konsumsi minyak ikan atau bahan yang mengandung asam lemak tak jenuh dapat digunakan untuk mencegah preeclampsia (Angsar, 2008). Studi lain menunjukkan bahwa pada populasi dengan diet kaya buah-buahan dan sayuran yang banyak mengandung aktioksidan berkaitan dengan penurunan tekanan darah. Studi ini berkaitan dengan penelitian Zhang bahwa resiko preeklampsi menjadi dua kali lipat pada wanita yang mengkonsumsi asam askorbat kurang dari 85 mg. C-Reactive Protein (CRP) yang merupakan marker inflamasi, juga meningkat pada obesitas. Hal ini selanjutnya juga berkaitan dengan preeclampsia karena obesitas pada orang tidak hamil pun dapat menyebabkan aktivasi endotel dan respon inflamasi sistemik akibat atherosklerosis (Cunningham, et al, 2007). 2.3.5 Faktor genetik Preeklampsia



adalah



gangguan



multifaktorial



poligenik.



Dalam



review



komprehensif mereka, Ward dan Lindheimer (2009) menyebutkan insiden risiko preeklampsia adalah 20 sampai 40 persen untuk anak wanita ibu preeklampsia; 11 sampai 37 persen untuk saudara wanita preeklampsia dan 22-47 persen dalam studi kembar. Dalam sebuah studi oleh Nilsson dan rekan kerja (2004) yang mencakup hampir 1.200.000 kelahiran di Swedia, mereka melaporkan komponen genetik untuk hipertensi kehamilan serta preeklampsia. Mereka juga melaporkan konkordansi 60 persen di monozigotik pasangan kembar wanita. Kecenderungan ini kemungkinan besar turun temurun adalah hasil interaksi dari ratusan gen pewaris-baik ibu dan ayah-yang mengontrol fungsi metabolik enzimatik dan banyak sekali setiap seluruh sistem organ. Dengan demikian, manifestasi klinis pada wanita diberikan dengan sindrom preeklampsia akan menempati spektrum sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Dalam hal ini ekspresi, fenotipik akan berbeda antara genotipe yang sama tergantung pada interaksi dengan faktor lingkungan (Cunningham, et al, 2007).



1.4



FAKTOR RESIKO Terdapat banyak faktor resiko untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilan, termasuk preeclampsia berat, yaitu:  Primigravida, primipaternitas  Hiperplasentosis, misalnya: mola hidatidosa, kehamilan multiple, diabetes mellitus, hidrops fetalis, bayi besar.  Umur yang ekstrim.  Riwayat keluarga pernah preeclampsia/ eklampsia.  Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil (Angsar, 2008)  Resiko preeclampsia meningkat dari 4.3 % pada ibu hamil dengan BMI kurang dari 19,8 kg/m2 hingga 13,3% pada ibu hamil dengan BMI lebih dari 35 kg/m2  Faktor lingkungan juga memiliki kontribusi. Sebuah penelitian melaporkan bahwa ibu hamil yang tinggal di dataran tinggi Colorado memiliki insiden preeclampsia yang tinggi. Walaupun merokok selama hamil berkaitan dengan dampak negative pada kehamilan secara umum, namun merokok berkaitan dengan menurunnya resiko hipertensi kehamilan. Plasenta previa telah dilaporkan menurunkan resiko hipertensi dalam kehamilan (Cunningham, et al, 2007).



1.5



PATOFISIOLOGI Preeklamsia terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan retensi gram dan air. Pada biopsy ginjal ditemukan spasme yang hebat pada arteriola glomerulus. Pada beberapa kasus lumen arteriola sedemikian sempitnya sehingga hanya dapat dilalui oleh sel darah merah. Jadi, jika semua arterida dalam tubuh mengalami spasme, maka tekanan darah dengan sendirinya akan naik, sebagai usaha untuk menangani kenaikan tekanan perifer agar oksigenasi jaringan dapat tercukupi. Sedangkan kenaikan berat bdan dan edema yang disebabkan penimbunan air yang berlebihan dalam ruangan interstisial belum belum diketahui sebabnya, ada yang mengatakan disesbabkan oleh retensial air dan gram. Proteinuria mungkin disebebkan oleh spasme arteriola, sehingga terjadi perubahan pada glomerulus (mitayani, 2011). Berdasarkan perjalanan teori 2 tahap, preeklamsia dibagi menjadi 2 tahap penyakit tergantung gejala yang timbul. Tahap pertama bersifat asimtomatik (tanpa gejala), dengan



karakteristik perkembangan abnormal plasenta pada trimester pertama. Perkembanagn abnormal plasenta terutama proses angiogenesis mengakibatkan insufisiensi plasenta dan terlepasnya material plasenta memasuki sirkulasi ibu. Terlepasnya material plasenta memicu gambaran klinis tahap 2, yaitu tahap sistomatik (timbul gejala) pada tahap ini berkembang gejala hipertensi, gangguan renal, dan proteinuria, serta potensi terjadinya sindrom HELLP, eklamsia dan kerusakan organ lainnya. 1.6



MANIFESTASI KLINIS Biasanya tanda-tanda pre eklampsia timbul dengan urutan pertambahan berat badan yang berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada pre eklampsia ringan tidak ditemukan gejala-gejala subyektif. Sedangkan pada pre eklampsia berat ditemukan gejala subjektif berupa sakit kepala di daerah frontal, diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, dan mual atau muntah. Gejala-gejala ini sering ditemukan pada pre eklampsia yang meningkat dan merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan timbul. Penegakkan diagnosa pre eklampsia yaitu adanya 2 gejala di antara trias tanda utama, dimana tanda utamanya yaitu hipertensi dan 2 tanda yang lain yaitu edema atau proteinuria. Tetapi dalam praktik medis hanya hipertensi dan proteinuria saja yang dijadikan sebagai 2 tanda dalam penegakkan diagnosa pre eklamsia. Digolongkan preeclampsia berat bila ditemukan satu atau lebih gejala sebagai berikut:  Tekanan darah sistolik ≥160 mmHg dan tekanan darah diastolic ≥ 110 mmHg. Tekanan darah tidak turun meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan sudah menjalani tirah baring.  Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif.  Oliguria, yaitu produksi urin 1.2 mg/dL).  Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma, dan pandangan kabur.  Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat teregangnya kapsula Glisson oleh karena nekrosis hepatoseluler, iskemia, dan edema).  Gangguan fungsi hepar (peningkatan kadar AST dan ALT)  Edema paru-paru dan sianosis.  Hemolisis mikroangiopati (ditandai dengan peningkatan LDH)



 Trombositopenia ( 60 uL. d) Serum Glutamat Pirufat Transaminase (SGPT) meningkat (N= 15-45 u/ml) e) Serum Glutamat Oxaloacetic transaminase (SGOT) meningkat (N= < 31 u/ml) f) Total protein serum menurun (N= 6,7 – 8,7 g/dL) 4) Tes Kimia Darah Asam urat meningkat > 2,7 mg/dL, dimana nilai normalnya yaitu 2,4 – 2,7 mg/dL b. Pemeriksaan Radiologi 1) Ultrasonografi (USG). Hasil USG menunjukan bahwa ditemukan retardasi perteumbuhan janin intra uterus. Pernafasan intrauterus lambat, aktivitas janin lambat, dan volume cairan ketuban sedikit. 2) Kardiotografi Hasil pemeriksaan dengan menggunakan kardiotografi menunjukan bahwa denyut jantung janin lemah



1.8



PATHWAY



1.9



PENATALAKSANAAN Prinsip penatalaksanaan preeklampsia adalah sebagai berikut :



1. Melindungi ibu dari efek peningkatan tekanan darah 2. Mencegah progresifitas penyakit menjadi eklampsia 3. Mengatasi dan menurunkan komplikasi pada janin 4. Terminasi kehamilan dengan cara yang paling aman Perawatan preeklampsia berat dibagi menjadi dua unsur:







Pertama adalah rencana terapi pada penyulitnya: yaitu terapi medikamentosa dengan pemberian obat-obatan untuk penyulitnya







Kedua baru menentukan rencana sikap terhadap kehamilannya: yang tergantung pada umur kehamilannya dibagi 2, yaitu:



 Ekspektatif; Konservatif : bila umur kehamilan < 37 minggu, artinya: kehamilan dipertahankan selama mungkin sambil memberi terapi medikamentosa



 Aktif, agresif: bila umur kehamilan > 37 minggu, artinya kehamilan diakhiri setelah mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi. 1.8.1 Penanganan di Puskesmas Mengingat terbatasnya fasilitas yang tersedia di Puskesmas, secara prinsip pasien dengan PEB dan eklampsia harus dirujuk ke tempat pelayanan kesehatan dengan fasilitas yang lebih lengkap. Persiapan yang perlu dilakukan dalam merujuk pasien PEB atau eklampsia adalah sebagai berikut : 1.



Pada pasien PEB/Eklampsia sebelum berangkat, pasang infus RD 5, berikan SM 20 % 4 g iv pelan-pelan selama 5 menit, bila timbul kejang ulangan berikan SM 20 % 2 g iv pelan-pelan. Bila tidak tersedia berikan injeksi diazepam 10 mg iv secara pelanpelan selama 2 menit, bila timbul kejang ulangan ulangi dosis yang sama.



2.



Untuk pasien dengan eklampsia diberikan dosis rumatan setelah initial dose di atas dengan cara : injeksi SM 40 % masing-masing 5 g im pada glutea kiri dan kanan bergantian, atau drip diazepam 40 mg dalam 500 c RD 5 28 tpm



3.



Pasang Oksigen dengan kanul nasal atau sungkup.



4.



Menyiapkan surat rujukan berisi riwayat penyakit dan obat-obat yang sudah diberikan.



5.



Menyiapkan partus kit dan sudip lidah.



6.



Menyiapkan obat-obatan : injeksi SM 20 %, injeksi diazepam, cairan infuse, dan tabung oksigen.



7.



Antasid untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang dapat mencegah terjadinya aspirasi isi lambung yang sangat asam.



1.8.2 Penanganan di rumah sakit



Dasar pengelolaan PEB terbagi menjadi dua. Pertama adalah pengelolaan terhadap penyulit yang terjadi, kedua adalah sikap terhadap kehamilannya. Penanganan penyulit pada PEB meliputi (Prasetyorini, 2009): a.



Pencegahan Kejang •



Tirah baring, tidur miring kiri







Infus RL atau RD5







Pemberian anti kejang MgSO4 yang terbagi menjadi dua tahap, yaitu : -



Loading / initial dose



: dosis awal



-



Maintenance dose



: dosis rumatan



 Pasang Foley catheter untuk monitor produksi urin Tabel 1. Tatacara Pemberian SM pada PEB Loading dose



Maintenance dose



SM 20 % 4 g iv pelan-pelan



-



selama 5 menit



SM 40 % 10 g im, terbagi pada glutea kiri dan kanan



-



SM 40 % 5 g per 500 cc RD5 30 tts/m 1. SM rumatan diberikan sampai 24 jam pada perawatan konservatif dan 24 jam setelah persalinan pada perawatan aktif



Syarat pemberian SM : -



Reflex patella harus positif



-



Respiration rate > 16 /m



-



Produksi urine dalam 4 jam 100cc



-



Tersedia calcium glukonas 10 %



Antidotum : Bila timbul gejala intoksikasi SM



dapat diberikan injeksi Calcium



gluconas 10 %, iv pelan-pelan dalam waktu 3 menit Bila refrakter terhadap SM dapat diberikan preparat berikut : 1. Sodium thiopental 100 mg iv 2. Diazepam 10 mg iv 3. Sodium amobarbital 250 mg iv 4. Phenytoin dengan dosis :



-



Dosis awal 100 mg iv



-



16,7 mg/menit/1 jam



500 g oral setelah 10 jam dosis awal diberikan selama 14 jam b.



Antihipertensi •



Hanya diberikan bila tensi ≥ 180/110 mmHg atau MAP ≥ 126







Bisa diberikan nifedipin 10 – 20 mg peroral, diulang setelah 30 menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam







Penurunan darah dilakukan secara bertahap : -



Penurunan awal 25 % dari tekanan sistolik



-



Target selanjutnya adalah menurunkan tekanan darah < 160/105 mmHg atau MAP < 125



c.



Diuretikum Tidak diberikan secara rutin karena menimbulkan efek : •



Memperberat penurunan perfusi plasenta







Memperberat hipovolemia







Meningkatkan hemokonsentrasi



Indikasi pemberian diuretikum : 1.



Edema paru



2.



Payah jantung kongestif



3.



Edema anasarka Berdasarkan sikap terhadap kehamilan, perawatan pada pasien PEB dibedakan



menjadi perawatan konservatif dan perawatan aktif. a.



Perawatan konservatif 1.



Tujuan : •



Mempertahankan kehamilan hingga tercapai usia kehamilan yang memnuhi syarat janin dapat hidup di luar rahim







Meningkatkan



kesejahteraan



bayi



baru



lahir



tanpa



mempengaruhi



keselamatan ibu 2.



Indikasi : Kehamilan < 37 minggu tanpa disertai tanda dan gejala impending eklampsia



3.



Pemberian anti kejang : Seperti Tabel 1 di atas, tapi hanya diberikan maintainance dose ( loading dose tidak diberikan )



4.



Antihipertensi Diberikan sesuai protokol untuk PER.



5.



Induksi Maturasi Paru Diberikan injeksi glukokortikoid, dapat diberikan preparat deksametason 2 x 16 mg iv/24 jam selama 48 jam atau betametason 24 mg im/24 jam sekali pemberian.



6.



Cara perawatan : •



Pengawasan tiap hari terhadap gejala impending eklampsia







Menimbang berat badan tiap hari







Mengukur protein urin pada saat MRS dan tiap 2 hari sesudahnya







Mengukur tekanan darah tiap 4 jam kecuali waktu tidur







Pemeriksaan Lab : DL, LFT, RFT, lactic acid dehydrogenase, Albumin serum dan faktor koagulasi







Bila pasien telah terbebas dari kriteria PEB dan telah masuk kriteria PER, pasien tetap dirawat selama 2 – 3 hari baru diperbolehkan rawat jalan. Kunjungan rawat jalan dilakukan 1 minggu sekali setelah KRS.



7.



b.



Terminasi kehamilan •



Bila pasien tidak inpartu, kehamilan dipertahankan sampai aterm







Bila penderita inpartu, persalinan dilakukan sesuai dengan indikasi obstetrik



Perawatan aktif 1.



Tujuan : Terminasi kehamilan



2.



Indikasi : (i). Indikasi Ibu : •



Kegagalan terapi medikamentosa : -



Setelah 6 jam dimulainya terapi medikamaentosa terjadi kenaikan tekanan darah persisten



-



Setelah 34 jam dimulainya terapi medikamentosa terjadi kenaikan tekanan darah yang progresif







Didapatkan tanda dan gejala impending preeclampsia







Didapatkan gangguan fungsi hepar







Didapatkan gangguan fungsi ginjal







Terjadi solusio plasenta







Timbul onset persalinan atau ketuban pecah



(ii). Indikasi Janin



• Usia kehamilan ≥ 37 minggu • PJT berdasarkan pemeriksaan USG serial • NST patologis dan Skor Biofisikal Profil < 8 • Terjadi oligohidramnion (iii). Indikasi Laboratorium • Timbulnya HELLP syndrome 3.



Pemberian antikejang : Seperti protokol yang tercantum pada tabel 1.



4.



Terminasi kehamilan : Bila tidak ada indikasi obstetrik untuk persalinan perabdominam, mode of delivery pilihan adalah pervaginam dengan ketentuan sebagai berikut : (i)



Pasien belum inpartu • Dilakukan induksi persalinan bila skor pelvik ≥ 8. Bila skor pelvik < 8 bisa dilakukan ripening dengan menggunakan misoprostol 25 μg intravaginal tiap 6 jam. Induksi persalinan harus sudah mencapai kala II sejak dimulainya induksi, bila tidak maka dianggap induksi persalinan gagal dan terminasi kehamilan dilakukan dengan operasi sesar. • Indikasi operasi sesar : - Indikasi obstetrik untuk operasi sesar - Induksi persalinan gagal - Terjadi maternal distress - Terjadi fetal compromised - Usia kehamilan < 33 minggu



(ii) Pasien sudah inpartu • Perjalanan persalinan dilakukan dengan mengikuti partograf • Kala II diperingan • Bila terjadi maternal distress maupun fetal compromised, persalinan dilakukan dengan operasi sesar • Pada primigravida direkomendasikan terminasi dengan operasi sesar 1.10 KOMPLIKASI Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan pre eklamsia tergantung pada derajat pre eklamsia yang dialami. Namun yang termasuk komplikasi pre eklamsia antara lain: a. Komplikasi pada Ibu



1) Eklamsia. 2) Tekanan darah meningkat dan dapat menyebabkan perdarahan otak dan gagal jantung mendadak yang berakibat pada kematian ibu. 3) Gangguan fungsi hati: Sindrom HELLP (Hemolisis, Elevated, Liver, Enzymes and Low Plateleted) dan hemolisis yang dapat menyebabkan ikterik. Sindrom HELLP merupakan singkatan dari hemolisis (pecahnya sel darah merah), meningkatnya enzim hati, serta rendahnya jumlah platelet/trombosit darah. HELLP syndrome dapat secara cepat mengancam kehamilan yang ditandai dengan terjadinya hemolisis, peningkatan kadar enzim hati, dan hitung trombosit rendah. Gejalanya yaitu mual, muntah, nyeri kepala, dan nyeri perut bagian kanan atas. 4) Solutio plasenta. 5) Hipofebrinogemia yang berakibat perdarahan. 6) Gangguan fungsi ginjal: oligo sampai anuria. 7) Perdarahan atau ablasio retina yang dapat menyebabkan kehilangan penglihatan untuk sementara. 8) Aspirasi dan edema paru-paru yang dapat mengganggu pernafasan. 9) Cedera fisik karena lidah tergigit, terbentur atau terjatuuh dari tempat tidur saat serangan kejang. 10)



DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) atau kelainan pembekuan darah.



b. Komplikasi pada Janin 1) Hipoksia karena solustio plasenta. 2) Terhambatnya pertumbuhan janin dalam uterus sehingga terjadi peningkatan angka morbiditas dan mortalitas perinatal. 3) Asfiksia mendadak atau asfiksia neonatorum karena spasme pembuluh darah dan dapat menyebabkan kematian janin (IUFD). 4) Lahir prematur dengan risiko HMD (Hyalin Membran Disease).



BAB 2



PENGKAJIAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN 2.1 PENGKAJIAN a. Data Subjektif 1) Umur biasanya sering terjadi pada primigravida , < 20 tahun atau > 35 tahun 2) Riwayat kesehatan ibu sekarang : terjadi peningkatan tekanan darah, adanya edema, pusing, nyeri epigastrium, mual, muntah, penglihatan kabur, pertambahan berat badan yang berlebihan yaitu naik > 1 kg/minggu, pembengkakan ditungkai, muka, dan bagian tubuh lainnya, dan urin keruh dan atau sedikit (pada pre eklamsia berat < 400 ml/24 jam). 3) Riwayat kesehatan ibu sebelumnya : penyakit ginjal, anemia, vaskuler esensial, hipertensi kronik, DM. 4) Riwayat kehamilan: riwayat kehamilan ganda, mola hidatidosa, hidramnion serta riwayat kehamilan dengan pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya 5) Pola Aktivitas a. Aktivitas Gejala



:



Biasanya pada pre eklamsi terjadi kelemahan, penambahan berat



badan atau penurunan BB, reflek fisiologis +/+, reflek patologis -/-. Tanda



: Pembengkakan kaki, jari tangan, dan muka



b. Sirkulasi Gejala



: Biasanya terjadi penurunan oksegen.



c. Abdomen Gejala : Inspeksi : Biasanya Perut membuncit sesuai usia kehamilan aterm, apakah adanya sikatrik bekas operasi atau tidak ( - ) Palpasi : Leopold I : Biasanya teraba fundus uteri 3 jari di bawah proc. Xyphoideus teraba massa besar, lunak, noduler Leopold II : Teraba tahanan terbesar di sebelah kiri, bagian – bagian kecil janin di sebelah kanan. Leopold III : Biasanya teraba masa keras, terfiksir Leopold IV : Biasanya pada



bagian terbawah janin telah masuk pintu atas



panggul Auskultasi : Biasanya terdengar BJA 142 x/1’ regular



d. Eliminasi Gejala : Biasanya proteinuria + ≥ 5 g/24 jam atau ≥ 3 pada tes celup, oliguria e. Makanan / cairan Gejala : Biasanya terjadi peningkatan berat badan dan penurunan , muntahmuntah Tanda : Biasanya nyeri epigastrium, f. Integritas ego Gejala : Perasaan takut. Tanda : Cemas. g. Neurosensori Gejala : Biasanya terjadi hipertensi Tanda : Biasanya terjadi kejang atau koma h. Nyeri / kenyamanan Gejala : Biasanya nyeri epigastrium, nyeri kepala, sakit kepala, ikterus, gangguan penglihatan. Tanda : Biasanya klien gelisah, i. Pernafasan Gejala : Biasanya terjadi suara nafas antara vesikuler, Rhonki, Whezing, sonor Tanda : Biasanya ada irama teratur atau tidak, apakah ada bising atau tidak. j. Keamanan Gejala : Apakah adanya gangguan pengihatan, perdarahan spontan. k. Seksualitas Gejala : Status Obstetrikus b. Data Objektif 1) Pemeriksaan Fisik a) Inspeksi : edema yang tidak hilang dalam kurun waktu 24 jam. b) Palpasi : untuk mengetahui TFU, letak janin, dan lokasi edema. c) Perkusi : untuk mengetahui refleks patella sebagai syarat pemberian SM jika refleks positif. d) Auskultasi : mendengarkan DJJ untuk mengetahui adanya fetal distress. Selain itu, untuk pre eklamsia ringan tekanan darah pasien > 140/90 mmHg atau peningkatan sistolik > 30 mmHg dan diastolik > 15 mmHg dari tekanan biasa (base line level/tekanan darah sebelum usia kehamilan 20 minggu). Sedangkan



untuk pre eklamsia berat tekanan darah sistolik > 160 mmHg, dan atau tekanan darah diastolik > 110 mmHg. 2) Pemeriksaan Penunjang a) Tanda vital yang diukur dalam posisi terbaring atau tidur, diukur 2 kali dengan interval 4-6 jam b) Laboratorium : proteinuria dengan kateter atau midstream (biasanya meningkat hingga 0,3 gr/lt atau lebih dan +1 hingga +2 pada skala kualitatif), kadar hematokrit menurun, BJ urine meningkat, serum kreatinin meningkat, uric acid biasanya > 7 mg/100 ml. c) Berat badan : peningkatannya lebih dari 1 kg/minggu. d) Tingkat kesadaran: penurunan GCS sebagai tanda adanya kelainan pada otak. e) USG: untuk mengetahui keadaan janin. f)



NST: untuk mengetahui kesejahteraan janin.



2.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNCUL a. Hypervolemia berhubungan dengan gangguan aliran balik vena b. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencidera fisik c. Risiko infeksi berhubungan dengan tindakan infasif 2.3 INTERVENSI KEPERAWATAN NO



SDKI



SLKI



SIKI



1



Hypervolemia b/d gangguan aliran balik vena



Setelah dilakukan tindahakn keperawatan selama 1x24jam diharapkan hypervolemia dapat teratasi dengan kriteria hasil :



Observasi :



-Edema menurun



3.monitor status hemodinamik



-Tekanan darah membaik



4.monitor intake dan output cairan



-Denyut nadi membaik -Tekanan arteri membaik



1.Periksa tanda dan gejala hypervolemia 2.identifikasi penyebab hypervolemia



Terapeutik : 1.Timbang BB setiap hari 2.batasi asupan cairan dan garam



Edukasi : 1.anjurkan melapor jika BB bertamabah lebih dari 1kg perhari Kolaborasi : 1.Kolaborasi pemberian deuretik, jika perlu 2.kolaborasi penggatian kehilangan kalium akibat deuritik. 2



Nyeri akut b/d agen pencidera fisik



Setelah dilakukakan tindakan keperawatan dakam 1x24jam diharapkan nyeri akut dapat teratasi dengan kriteria hasil :



Observasi :



-Keluhan nyeri menurun



3.identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan rasa nyeri



-Meringis menurun -Gelisah menurun -Pola tidur membaik



1.Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan intensitas nyeri 2.identifikasi respon non-verbal



4.monitor keberhasilan terapi yang sudah digunakan Terapeutik : 1.berikan teknik nonformakologis dalam melakukan penanganan nyeri 2.kontrol lingkungan yang memperberat nyeri Edukasi : 1.Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri 2. ajarkan strategi meredakan nyeri 3,mengajarkan dan menganjurkan memonitor nyeri secara mandiri Kolaborasi : 1.kolaborasi pemberian analgetik



jika perlu 3



Risiko infeksi b/d tindakan infasif



Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24jam, diharapkan risiko infeksi teratasi dengan kriteria hasil : -Demam menurun -Kemerahan menurun -Nyeri menurun -Bengkak menurun



Observasi : 1.monitor tanda dan gejala infeksi local dan iskemik Terapeutik : 1.batasi jumlah pengunjung 2.berikan perawatan kulit pada area edema 3.pertahankan teknik aseptic pada pasien beresiko tinggi Edukasi 1.jelaskan tanda dan gejala infeksi 2.ajarkan cara mencuci tangan yag benar 3.ajarkan etika batuk 4.ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi 5.anjurkan meningkatkan asupan nutrisi Kolaborasi : 1.Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu



DAFTAR PUSTAKA



Arif, M. (2002). Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius. Bobak, I.M., Deitra L.L., & Margaret D. J. (2005). Buku ajar keperawatan maternitas, Edisi 4. Jakarta: EGC Herdman, T. H. (2012). Diagnosis keperawatan: definisi dan klasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGC. Johnson, M. M., & Sue M. (2000). Nursing outcame clasification. Philadelphia: Mosby. McCloskey & Gloria M.B. (1996). Nursing Intervention Clasification. USA: Mosby. Prawirohardjo, S. (2006). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Sumiati & Dwi F. (2012). “Hubungan obesitas terhadap pre eklamsia pada kehamilan di RSU Haji Surabaya”. Embrio, Jurnal Kebidanan, Vol 1, No.2, Hal. 21-24. Widiastuti, N. P. A. (2012). “Asuhan keperawatan pre http://nursingisbeautiful.wordpress.com/2010/12/03/askep-preeklampsia/.



eklamsia”.