LP Peritonitis Hilman [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN PERITONITIS



Laporan Ini Disusun Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah ( KMB) Program Profesi Ners



Disusun Oleh: Hilman Imanuddin NIM 3222016



Program Studi Ners Non Reguler STIKep PPNI Jawa Barat Tahun 2023



LAPORAN PENDAHULUAN PERITONITIS



A. Pengertian Peritonitis Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum (lapisan membran serosa rongga abdomen) (Arif Muttaqin, 2011). Peritonitis adalah inflamasi peritonium-lapisan membran serosa rongga abdomen dan meliputi visera. (Brunner dan Suddarth, 2001). B. Etiologi Penyebab terjadinya peritonitis adalah Invasi kuman bakteri ke dalam rongga peritoneum,bakteri yang paling sering menyebabkan infeksi, meliputi 1. Gram negative meliputi Escherichia coli (40%), Klebsiella pneumoniae (7%), Pseudomonas species, Proteus species, gram negatif lainnya (20%). 2. Gram positif, seperti Streptococcus pneumoniae (15%), Streptococcus lainnya (15%), dan Staphylococcus (3%). Mikroorganisme anaerob kurang dari 5%. (Cholongitas, 2005). Invasi kuman ke lapisan peritoneum dapat disebabkan juga oleh berbagai kelainan pada gastrointestinal dan penyebaran infeksi dari organ di dalam abdomen (Rotstein, 1997) atau perforasi organ pascatrauma abdomen (Ivatury, 1998) Biasanya, akibat dari infeksi bakteri : organisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal atau pada wanita dari organ reproduktif internal. Peritonitis dapat juga akibat dari sumber eksternal seperti cedera atau trauma ( misal : luka tembak atau luka tusuk) atau oleh inflamasi yang luas yang berasal dari organ diluar area peritonium, seperti ginjal Inflamasi dan ileus paralitik adalah efek langsung dari infeksi. Penyebab umum lain dari peritonitis adalah apendisitis, ulkus perforasi, divertikulitis, dan perforasi usus. Peritonitis juga dapat dihubungkan dengan proses bedah abdominal dan dialisis peritoneal. (Brunner dan Suddarth, 2001)



1



C. Patofisiologi Peritonitis menyebabkan penurunan aktivitas fibrinolitik intra-abdomen (peningkatan aktivitas inhibitor aktivator plasminogen) dan fibrin karantina dengan pembentukan adhesi berikutnya. Produksi eksudat fibrinosa merupakan reaksi penting pertahanan tubuh, tetapi sejumlah besar bakteri dapat dikarantina dalam matriks fibrin. Matriks fibrin tersebut memproteksi bakteri dari mekanisme pembersihan oleh tubuh (van Goor, 1998) Pembentukan abses merupakan strategi pertahanan tubuh untuk mencegah penyebaran infeksi, namun proses ini dapat mengakibatkan infeksi persisten dan sepsis yang mengancam jiwa. Awal pembentukan abses melibatkan pelepasan bakteri dan agen potensi abses menuju kelingkungan steril. Pertahanan tubuh tidak dapat mengeliminasi agen infeksi dan mencoba mengontrol penyebaran melalui sistem kompartemen. Proses ini dibantu oleh kombinasi faktor-faktor yang memiliki fitur yang umum, yaitu fagositosis. Kontaminasi transien bakteri pada peritoneal (yang disebabkan oleh penyakit viseral primer) merupakan kondisi umum. Resultan paparan antigen bakteri telah ditunjukkan untuk mengubah respon imun ke inokulasi peritoneal berulang. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan insidensi pembentukan abses, perubahan konten bakteri, dan meningkatnya angka kematian. Studi terbaru menunjukkan bahwa infeksi nosokomial di organ lain (misalnya pneumonia, sepsis, infeksi luka) juga meningkatkan kemungkinan pembentukan abses abdomen berikutnya (Bandy, 2008) Selanjutnya abses yang terbentuk diantara perlekatan fibrinosa, menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum, maka aktivitas motilitas usus menurun dan meningkatkan risiko ileus paralitik (Price, 1995) Respon peradangan peritonitis juga menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi dengan cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, misalnya interleukin, dapat memulai respons hiperinflamatorius sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Oleh karena itu tubuh mencoba untuk mengimpensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk.



2



Takikardia awalnya meningkatkan curah jantung, tetapi kemudian akan segera terjadi bradikardia begitu terjadi hipovolemia (finlay,1999) Organ-organ di dalam kavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami edema. Edema disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus, serta edema seluruh organ intraperitoneal dan edema dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hopovolemik. Hipovolemik bertambahan dengan adanya kenaikan suhu, intake yang tidak ada, serta muntah. Terjebaknya cairan dirongga peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekanan intraabdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit, dan menimbulkan penurunan perfusi. Peritonitis tersier mewakili peritonitis yang bersifat persisten atau rekuren. Pasien dengan peritonitis tersier biasanya hadir dengan abses, atau phlegmon, dengan atau tanpa fistula. Peritonitis tersier berkembang lebih sering pada pasien dengan kondisi penyakit signifikan yang sudah ada sebelumnya dan pada pasien dengan penurunan fungsi imun. Meskipun jarang diamati pada peritonitis tanpa komplikasi, insiden peritonitis tersier pada pasien memerlukan masuk ICU pada peritonitis yang parah dapat mencapai 50-74% (Sawyer, 1991) Peritonitis disebabkan oleh kebocoran dari organ abdomen kedalam rongga abdomen biasanya sebagai akibat dari inflamasi, infeksi, iskemia, trauma atau perforasi tumor. Terjadi proliferasi bakterial. Terjadi edema jaringan, dan dalam waktu singkat terjadi eksudasi cairan. Cairan dalam rongga peritonial menjadi keruh dengan peningkatan jumlah protein, sel darah putih, debris seluler, dan darah. Respons segera dari saluran usus adalah hipermotilitas, diikuti oleh ileus peralitik, disertai akumulasi udara dan cairan dalam usus. (Brunner dan Suddarth, 2001)



3



4



D. Manisfestasi klinis Gejala tergantung pada lokasi dan luas inflamasi. Manisfestasi klinis awal dari peritonitis adalah gejala dari gangguan yang menyebabkan kondisi ini. a. Nyeri menyebar dan sangat terasa. Nyeri cenderung menjadi konstan, terlokalisasi, lebih terasa di dekat sisi inflamasi dan biasanya diperbesar oleh gerakan. Area yang sakit dari abdomen menjadi sangat nyeri apabila ditekan, dan otot menjadi kaku. Nyeri tekan lepas dan ileus peralitik dapat terjadi. b. Mual dan muntah c. Penurunan peristaltik. d. Suhu dan frekuensi nadi meningkat, e. Terdapat peningkatan jumlah leukosit. E. Komplikasi a. Sepsis adalah penyebab umum dari kematian pada peritonitis. b. Syok dapat diakibatkan dari septikemia atau hipovolemia. c. Proses inflamasi dapat menyebabkan obstruksi usus, yang terutama berhubungan dengan terjadinya perlekatan usus. Dua komplikasi pascaoperatif paling umum adalah a. Eviserasi luka b. Pembentukan abses. Berbagai petunjuk dari pasien tentang area abdomen yang mengalami nyeri tekan, nyeri, atau “merasa seakan sesuatu terbuka” harus dilaporkan. Luka yang tiba-tiba mengeluarkan drainase serosanguinosa menunjukkan adanya dehisens luka. F. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Laboratorium Leukosit akan meningkat. Hemoglobin dan hematokrit mungkin rendah bila terjadi kehilangan darah. Elektrolit serum dapat menunjukkan perubahan kadar kalium, natrium, dan klorida. b. Sinar-x dada dapat menunjukkan udara dan kadar cairan serta lengkung usus yang terdistensi. 5



c. Pemindaian CT abdomen dapat menunjukkan pembentukan abses. d. Aspirasi peritoneal dan pemeriksaan kultur serta sensitivitas cairan teraspirasi dapat menunjukkan infeksi dan mengidentifikasi organisme penyebab. G. Penatalaksanaan a. Penggantian cairan, koloid, dan elektrolit adalah fokus utama dari penatalaksanaan medis. Beberapa liter larutan isotonik diberikan. Hipovolemia terjadi karena sejumlah besar cairan dan elektrolit bergerak dari lumen usus kedalam rongga peritoneal dan menurunkan cairan dalam ruang vaskuler. b. Analgestik diberikan untuk mengatasi nyeri. c. Antiemetik dapat diberikan sebagai terapi untuk mual dan muntah. d. Intubasi usus dan pengisapan membantu dalam menghilangkan distensi abdomen dan dalam meningkatkan fungsi usus. Cairan dalam rongga abdomen dapat menyebabkan distres pernapasan. e. Terapi oksigen dengan kanula rasal atau masker akan meningkatkan oksigenisasi secara adekuat, tetapi kadang-kadang intubasi jalan napas dan bantuan ventilasi diperlukan. f. Terapi antibiotik masif biasanya dimulai di awal pengobatan peritonitis. Dosis besar dari antibiotik spektrum luas diberikan secara intravena sampai organisme penyebab infeksi diidentifikasi dan terapi antibiotik khusus yang tepat dapat dimulai. g. Tindakan bedah mencakup mengangkat materi terinfeksi dan memperbaiki penyebab. Tindakan pembedahan diarahkan pada eksisi (apendiks), reseksi dengan atau tanpa anastomosis (usus), memperbaiki (perforasi), dan drainase (abses). Pada sepsis yang luas, perlu dibuat diversi fekal. H. Asuhan Keperawatan a. Pengkajian 1. Biodata/ identitas pasien : Nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan,no medrek,diagnose, tanggal masuk, dan alamat 2. Riwayat penyakit a) Keluhan utama 6



Nyeri abdomen. Keluhan nyeri dapat bersifat akut, awalnya rasa sakit sering kali membosankan dan kurang terlokalisasi (peritoneum viseral). Kemudian berkembang menjadi mantap, berat, dan nyeri lebih terlokalisasi (peritoneum parietal). Jika tidak terdapat proses infeksi, rasa sakit menjadi berkurang. Pada beberapa penyakit tertentu (misalnya: perforasi lambung, pankreatitis akut berat, iskemia usus) nyeri abdomen dapat digeneralisasi dari awal b) Riwayat kesehatan sekarang Didapat keluhan lainnya yang menyertai nyeri, seperti peningkatan suhu tubuh, mual, dan muntah. Pada kondisi lebih berat akan didapatkan penurunan kesadaran akibat syok sirkulasi dari septikemia c) Riwayat kesehatan dahulu Penting untuk dikaji dalam menentukan penyakit dasar yang menyebabkan kondisi peritonitis. Untuk memudahkan anamnesis, perawat dapat melihat pada tabel. Penyebab dari peritonitis sebagai bahan untuk mengembangkan pernyataan. Anamnesis penyakit sistemik, seperti DM, hipertensi dan tuberkulosis dipertimbangkan sebagai sarana pengkajian preoperatif. d) Riwayat kesehatan keluarga Dikaji untuk mengetahui riwayat kesehatan keluarga yang meliputi pola makan, gaya hidup atau pun penyakit yang sering diderita keluarga sehingga dapat menyebabkan peritonitis seperti penyakit apendititis, ulkul peptikum, gastritis, divertikulosis dan lain-lain 3. Pengkajian psikososial Didapatkan peningkatan kecemasan karena nyeri abdomen dan rencana pembedahan, serta perlunya pemenuhan informasi prabedah 4. Pemeriksaan fisik Didapatkan sesuai dengan manisfestasi klinis yang muncul. a) Keadaan umum : pasien terlihat lemah dan kesakitan b) TTV mengalami perubahan sekunder dari nyeri dan gangguan hemodinamik. c) Suhu badan meningkat ≥38,5oC dan terjadi takikardia, hipotensi, pasien tampak legarti serta syok hipovolemia d) Pemeriksaan fisik yang dilakukan : 7



1) Inspeksi : pasien terlihat kesakitan dan lemah. Distensi abdomen didapatkan pada hampir semuja pasien dengan peritonitis dengan menunjukkan peningkatan kekakuan dinding perut. Pasien dengan peritonitis berat sering menghindari semua gerakan dan menjaga pinggul tertekuk untuk mengurangi ketegangan dinding perut. Perut sering mengembung disertai tidak adanya bising usus. Temuan ini mencerminkan ileus umum. Terkadang, pemeriksaan perut juga mengungkapkan peradangan massa 2) Auskultasi : penurunan atau hilangnya bising usus merupakan salah satu tanda ileus obstruktif 3) Palpasi : nyeri tekan abdomen (tenderness), peningkatan suhu tubuh, adanya darah atau cairan dalam rongga peritoneum akan memberikan tanda-tanda rangsangan peritoneum. Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular. Pekak hati dapat menghilang akibat udara bebas dibawah diafragma. Pemeriksaan rektal dapat memunculkan nyeri abdomen, colok dubur ke arah kanan mungkin mengindikasikan apendisitis dan apabila bagian anterior penuh dapat mengindikasikan sebuah abses. Pada pasien wanita, pemeriksaan bimanual vagina dilakukan untuk mendeteksi penyakit radang panggul (misalnya endometritis, salpingoooforitis, abses tuba-ovarium), tetapi temuan sering sulit diinterprestasikan dalam peritonitis berat 4) Perkusi : nyeri tekuk dan bunyi timpani terjadi adanya flatulen 5. Pemeriksaan diagnostik a) Pemeriksaan laboratorium, meliputi (Laroche, 1998) hal-hal berikut : 1) Sebaian besar pasien dengan infeksi intra-abdomen menunjukkan leukositosis (>11.000 sel/µL) 2) Kimia darah dapat mengungkapkan dehidrasi dan asidosis 3) Pemeriksaan waktu pembekuan dan pendarahan untuk mendeteksi disfungsi pembengkuan 4) Tes fungsi hati jika diindikasikan secara klinis



8



5) Urinalisis penting untuk menyingkirkan penyakit saluran kemih, namun pasien dengan perut bagian bawah dan infeksi panggul sering menunjukkan sel darah putih dalam air seni dan mikrohematuria 6) Kultur darah untuk mendeteksi agen infeksi septicemia 7) Cairan peritoneal (yaitu paracentesis, aspirasi cairan perut dan kultur cairan peritoneal). Pada peritonitis tuberkulosa, cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diindikasi dengan kultur b) Pemeriksaan radiografik 1) Foto polos abdomen Walaupun identifikasi sangat terbatas, kondisi ileus mungkin didapatkan usus halus dan usus besar berdilatasi. Udara bebas hadir dalam kebanyakan kasus anterior perforasi lambung dan duodenum, tetapi jauh lebih jarang dengan perforasi dari usus kecil dan usus besar, serta tidak biasa dengan appendiks perforasi. Tegak film berguna untuk mengidentifikasi udara bebas di bawah diafragma (paling sering disebalah kanan) sebagai indikasi adanya viskus berlubang 2) Computed tomography scan (CT scan) CT scan abdomen dan panggul tetap menjadi studi diagnostik pilihan untuk abses peritoneal. CT scan ditunjukkan dalam semua kasus dimana diagnosis tidak dapat dibangun atas dasar klinis dan temuan foto polos abdomen. Abses peritoneal dan cairan lain dapat diambil untuk diagnostik atau terapi dibawah bimbingan CT scan 3) Magnetic Resonance Imaging (MRI) MRI adalah suatu modalitas pencitraan muncul untuk diagnostis dicurigai abses intra-abdomen. Abses abdomen menunjukkan penurunan itensitas sinyal pada gambar T1-weighted dan homogen atau peningkatan intensitas sinyal heterogen pada gambar T2-weighted. Terbatasnya  c) USG USG abdomen dapat membantu dalam evaluasi kuadran kanan atas (misalnya perihepatic abses, kolesistitis, biloma, pankreatitis, pankreas pseudocyst), kuadran 9



kanan bawah, dan patologi pelvis (misalnya appendisitis, abses tuba-ovarium, abses Douglas), tetapi terkadang pemeriksaan menjadi terbatas karena adanya nyeri, distensi abdomen dan gangguan gas usus. USG dapat mendeteksi peningkatan jumlah cairan peritoneal (asites), tetapi kemampuannya untuk mendeteksi jumlah kurang dari 100 ml sangat terbatas. b. Diagnosa Keperawatan 1. Hipertermia [SDKI D.0130] b.d Dehidrasi, Proses penyakit (mis: infeksi, kanker), Peningkatan laju metabolisme, Respon trauma 2. Nyeri Akut [SDKI D.0077] b.d proses inflamasi, prosedur operasi ditandai dengan Tampak meringis, Bersikap protektif (mis: waspada, posisi menghindari nyeri), Gelisah, Frekuensi nadi meningkat, Sulit tidur 3. Defisit



Nutrisi



[SDKI



D.0019]



b.d



Ketidakmampuan



mencerna



makanan,



Ketidakmampuan mengabsorbsi nutrient, Peningkatan kebutuhan metabolisme, Faktor psikologis (mis:



stres, keengganan untuk makan) ditandai dengan Berat badan



menurun minimal 10% dibawah rentang ideal. 4. Risiko Ketidakseimbangan Elektrolit [SDKI D.0037] b.d Ketidakseimbangan cairan (mis: dehidrasi dan intoksikasi air), Efek samping prosedur (mis: pembedahan), Muntah 5. Risiko Syok [SDKI D.0039] b.d Hipoksemia, Hipoksia, Hipotensi, Kekurangan volume cairan, Sepsis, Sindrom respons inflamasi sistemik (systemic inflammatory response syndrome/SIRS)



c. Intervensi Keperawatan N Diagnose keperawatan o 1



Hipertermia [SDKI D.0130] b.d Dehidrasi, Proses penyakit (mis: infeksi, kanker), Peningkatan laju metabolisme, Respon trauma



Perencanaan Tujuan



Intervensi



Setelah dilakukan Manajemen Hipertermia intervensi keperawatan (I.15506) selama 1 x 24 jam, Observasi maka termoregulasi ● Identifikasi penyebab membaik, dengan hipertermia (mis: kriteria hasil: dehidrasi, terpapar ● Menggigil lingkungan panas, 10



menurun ● Suhu tubuh membaik ● Suhu kulit membaik



● ● ● ●



penggunaan inkubator) Monitor suhu tubuh Monitor kadar elektrolit Monitor haluaran urin Monitor komplikasi akibat hipertermia



Terapeutik ● Sediakan lingkungan yang dingin ● Longgarkan atau lepaskan pakaian ● Basahi dan kipasi permukaan tubuh ● Berikan cairan oral ● Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika mengalami hyperhidrosis (keringat berlebih) ● Lakukan pendinginan eksternal (mis: selimut hipotermia atau kompres dingin pada dahi, leher, dada, abdomen, aksila) ● Hindari pemberian antipiretik atau aspirin ● Berikan oksigen, jika perlu Edukasi ● Anjurkan tirah baring Kolaborasi ● Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intravena, jika perlu Regulasi Temperatur (I.14578) Observasi ● Monitor tekanan darah, 11



frekuensi pernapasan dan nadi ● Monitor warna dan suhu kulit ● Monitor dan catat tanda dan gejala hipotermia atau hipertermia Terapeutik ● Pasang alat pemantau suhu kontinu, jika perlu ● Tingkatkan asupan cairan dan nutrisi yang adekuat ● Gunakan matras penghangat, selimut hangat, dan penghangat ruangan untuk menaikkan suhu tubuh, jika perlu ● Gunakan Kasur pendingin, water circulating blankets, ice pack, atau gel pad dan intravascular cooling cathetherization untuk menurunkan suhu tubuh ● Sesuaikan suhu lingkungan dengan kebutuhan pasien Edukasi ● Jelaskan cara pencegahan heat exhaustion dan heat stroke ● Jelaskan cara pencegahan hipotermi karena terpapar udara dingin



12



2



Nyeri akut b.d proses inflamasi, prosedur operasi ditandai dengan Tampak meringis, Bersikap protektif (mis: waspada, posisi menghindari nyeri), Gelisah, Frekuensi nadi meningkat, Sulit tidur



Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam, maka tingkat nyeri menurun, dengan kriteria hasil: ● Keluhan nyeri menurun ● Meringis menurun ● Sikap protektif menurun ● Gelisah menurun ● Kesulitan tidur menurun ● Frekuensi nadi membaik



Kolaborasi ● Kolaborasi pemberian antipiretik, jika perlu Manajemen Nyeri (I.08238) Observasi ● Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri ● Identifikasi skala nyeri ● Idenfitikasi respon nyeri non verbal ● Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri ● Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri ● Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri ● Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup ● Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan ● Monitor efek samping penggunaan analgetik Terapeutik ● Berikan Teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri (mis: TENS, hypnosis, akupresur, terapi music, biofeedback, terapi pijat, aromaterapi, Teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, 13



terapi bermain) ● Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis: suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan) ● Fasilitasi istirahat dan tidur ● Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri Edukasi ● Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri ● Jelaskan strategi meredakan nyeri ● Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri ● Anjurkan menggunakan analgesik secara tepat ● Ajarkan Teknik farmakologis untuk mengurangi nyeri Kolaborasi ● Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu Pemberian Analgesik (I.08243) Observasi ● Identifikasi karakteristik nyeri (mis: pencetus, pereda, kualitas, lokasi, intensitas, frekuensi, durasi) ● Identifikasi Riwayat alergi obat 14



● Identifikasi kesesuaian jenis analgesik (mis: narkotika, non-narkotik, atau NSAID) dengan tingkat keparahan nyeri ● Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah pemberian analgesik ● Monitor efektifitas analgesik Terapeutik ● Diskusikan jenis analgesik yang disukai untuk mencapai analgesia optimal, jika perlu ● Pertimbangkan penggunaan infus kontinu, atau bolus opioid untuk mempertahankan kadar dalam serum ● Tetapkan target efektifitas analgesik untuk mengoptimalkan respons pasien ● Dokumentasikan respons terhadap efek analgesik dan efek yang tidak diinginkan Edukasi ● Jelaskan efek terapi dan efek samping obat Kolaborasi ● Kolaborasi pemberian dosis dan jenis 15



3



Defisit Nutrisi [SDKI D.0019] b.d Ketidakmampuan mencerna makanan, Ketidakmampuan mengabsorbsi nutrient, Peningkatan kebutuhan metabolisme, Faktor psikologis (mis: stres, keengganan untuk makan) ditandai dengan Berat badan menurun minimal 10% dibawah rentang ideal.



Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam, maka status nutrisi membaik, dengan kriteria hasil: ● Porsi makan yang dihabiskan meningkat ● Berat badan membaik ● Indeks massa tubuh (IMT) membaik



analgesik, sesuai indikasi Manajemen Nutrisi (I.03119) Observasi ● Identifikasi status nutrisi ● Identifikasi alergi dan intoleransi makanan ● Identifikasi makanan yang disukai ● Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien ● Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik ● Monitor asupan makanan ● Monitor berat badan ● Monitor hasil pemeriksaan laboratorium Terapeutik ● Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu ● Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis: piramida makanan) ● Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai ● Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi ● Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein ● Berikan suplemen makanan, jika perlu ● Hentikan pemberian makan melalui selang nasogastik jika asupan 16



oral dapat ditoleransi Edukasi ● Ajarkan posisi duduk, jika mampu ● Ajarkan diet yang diprogramkan Kolaborasi ● Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis: Pereda nyeri, antiemetik), jika perlu ● Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrien yang dibutuhkan, jika perlu Promosi Berat Badan (I.03136) Observasi ● Identifikasi kemungkinan penyebab BB kurang ● Monitor adanya mual dan muntah ● Monitor jumlah kalori yang di konsumsi sehari-hari ● Monitor berat badan ● Monitor albumin, limfosit, dan elektrolit serum Terapeutik ● Berikan perawatan mulut sebelum pemberian makan, jika 17







● ● ●



perlu Sediakan makanan yang tepat sesuai kondisi pasien (mis: makanan dengan tekstur halus, makanan yang diblender, makanan cair yang diberikan melalui NGT atau gastrostomy, total parenteral nutrition sesuai indikasi) Hidangkan makanan secara menarik Berikan suplemen, jika perlu Berikan pujian pada pasien/keluarga untuk peningkatan yang dicapai



Edukasi



4



Risiko Ketidakseimbangan Elektrolit [SDKI D.0037] b.d Ketidakseimbangan cairan (mis: dehidrasi dan intoksikasi air), Efek samping prosedur (mis: pembedahan), Muntah



Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam, maka keseimbangan elektrolit meningkat, dengan kriteria hasil: ● Serum natrium membaik ● Serum kalium membaik



● Jelaskan jenis makanan yang bergizi tinggi, namun tetap terjangkau ● Jelaskan peningkatan asupan kalori yang dibutuhkan Pemantauan Elektrolit (I.03122) Observasi ● Monitor kemungkinan penyebab ketidakseimbangan elektrolit ● Monitor kadar elektrolit serum ● Monitor mual, muntah, diare ● Monitor kehilangan cairan, jika perlu ● Monitor tanda dan 18



● Serum klorida membaik



gejala hipokalemia (mis: kelemahan otot, interval QT memanjang, gelombang T datar atau terbalik, depresi segmen ST, gelombang U, kelelahan, parestesia, penurunan refleks, anoreksia, konstipasi, motilitas usus menurun, pusing, depresi pernapasan) ● Monitor tanda dan gejala hiperkalemia (mis: peka rangsang, gelisah, mual, muntah, takikardia mengarah ke bradikardia, fibrilasi/takikardia ventrikel, gelombang T tinggi, gelombang P datar, kompleks QRS tumpul, blok jantung mengarah asistol) ● Monitor tanda dan gejala hiponatremia (mis: disorientasi, otot berkedut, sakit kepala, membrane mukosa kering, hipotensi postural, kejang, letargi, penurunan kesadaran) ● Monitor tanda dan gejala hipernatremia (mis: haus, demam, mual, muntah, gelisah, peka rangsang, membrane mukosa kering, takikardia, hipotensi, letargi, 19



















konfusi, kejang) Monitor tanda dan gejala hipokalsemia (mis: peka rangsang, tanda Chvostek [spasme otot wajah] dan tanda Trousseau [spasme karpal], kram otot, interval QT memanjang) Monitor tanda dan gejala hiperkalsemia (mis: nyeri tulang, haus, anoreksia, letargi, kelemahan otot, segmen QT memendek, gelombang T lebar, komplek QRS lebar, interval PR memanjang) Monitor tanda dan gejala hypomagnesemia (mis: depresi pernapasan, apatis, tanda Chvostek, tanda Trousseau, konfusi, disritmia) Monitor tanda gan gejala hypermagnesemia (mis: kelemahan otot, hiporefleks, bradikardia, depresi SSP, letargi, koma, depresi)



Terapeutik ● Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien ● Dokumentasikan hasil pemantauan Edukasi ● Jelaskan 20



tujuan



dan



5



Risiko Syok [SDKI D.0039] b.d Hipoksemia, Hipoksia, Hipotensi, Kekurangan volume cairan, Sepsis, Sindrom respons inflamasi sistemik (systemic inflammatory response syndrome/SIRS)



prosedur pemantauan ● Informasikan hasil pemantauan, jika perlu Setelah dilakukan Pencegahan Syok (I.02068) intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam, Observasi maka tingkat syok ● Monitor status menurun, dengan kardiopulmonal kriteria hasil: (frekuensi dan kekuatan ● Tekanan arteri nadi, frekuensi napas, rata-rata TD, MAP) membaik ● Monitor status (LIHAT: oksigenasi (oksimetri Kalkulator nadi, AGD) MAP) ● Tekanan darah ● Monitor status cairan sistolik (masukan dan haluaran, membaik turgor kulit, CRT) ● Tekanan darah ● Monitor tingkat diastolik kesadaran dan respon membaik pupil ● Tekanan dari ● Periksa Riwayat alergi membaik ● Pengisian kapiler membaik Terapeutik ● Frekuensi nadi membaik ● Berikan oksigen untuk ● Frekuensi mempertahankan napas membaik saturasi oksigen > 94% ● Persiapkan intubasi dan ventilasi mekanis, jika perlu ● Pasang jalur IV, jika perlu ● Pasang kateter urin untuk menilai produksi urin, jika perlu ● Lakukan skin test untuk mencegah reaksi alergi



21



Edukasi ● Jelaskan penyebab/faktor risiko syok ● Jelaskan tanda dan gejala awal syok ● Anjurkan melapor jika menemukan/merasakan tanda dan gejala awal syok ● Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral ● Anjurkan menghindari alergen



Kolaborasi ● Kolaborasi pemberian IV, jika perlu ● Kolaborasi pemberian transfusi darah, jika perlu ● Kolaborasi pemberian antiinflamasi, jika perlu



Pemantauan Cairan (I.03121) Observasi ● Monitor frekuensi dan kekuatan nadi ● Monitor frekuensi napas ● Monitor tekanan darah ● Monitor berat badan ● Monitor waktu pengisian kapiler ● Monitor elastisitas atau turgor kulit 22



● Monitor jumlah, warna, dan berat jenis urin ● Monitor kadar albumin dan protein total ● Monitor hasil pemeriksaan serum (mis: osmolaritas serum, hematokrit, natrium, kalium, dan BUN) ● Monitor intake dan output cairan ● Identifikasi tanda-tanda hypovolemia (mis: frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah menurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit menurun, membran mukosa kering, volume urin menurun, hematokrit meningkat, hasil, lemah, konsentrasi urin meningkat, berat badan menurun dalam waktu singkat) ● Identifikasi tanda-tanda hypervolemia (mis: dispnea, edema perifer, edema anasarca, JVP meningkat, CVP meningkat, refleks hepatojugular positif, berat badan menurun dalam waktu singkat) ● Identifikasi faktor risiko ketidakseimbagnan cairan (mis: prosedur pembedahan mayor, trauma/perdarahan, luka 23



bakar, apheresis, obstruksi intestinal, peradangan pancreas, penyakit ginjal dan kelenjar, disfungsi intestinal)



Terapeutik ● Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien ● Dokumentasikan hasil pemantauan



Edukasi ● Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan ● Dokumentasikan hasil pemantauan



DAFTAR PUSTAKA Brunner dan Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta:EGC Carpenito, Lynda Juall. 1998. Diagnosa Keperawatan : Aplikasi pada Praktik Klinik Edisi 6. Jakarta : EGC



24



Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Jakarta : EGC Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2011. Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8. Jakarta : EGC Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia Definisi dan indikator Diagnostik Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI. Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan tindakan Keperawaran Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI. Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.



25