LP Peritonitis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN PADA PASIEN PERITONITIS



DISUSUN OLEH : WINI BERTHA NIM.PO.71.20.22.0.00.19



PROGRAM STUDI PROFESI NERS JURUSAN KEPERAWATAN POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAMBI BULAN MARET TAHUN 2021



LAPORAN PENDAHULUAN PERITONITIS A. Definisi Peritonitis adalah inflamasi peritoneum- lapisan membrane serosa rongga abdomen dan meliputi visera merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis / kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muscular, dan tanda-tanda umum inflamasi. Peritonitis merupakan sebuah proses peradangan pada membrane serosa yang melingkupi kavitas abdomen dan organ yang terletak didalamnyah. Peritonitis sering disebabkan oleh infeksi peradangan lingkungan sekitarnyah melalui perforasi usus seperti rupture appendiks atau divertikulum karena awalnya peritonitis merupakan lingkungan yang steril. Selain itu juga dapat diakibatkan oleh materi kimia yang irritan seperti asam lambung dari perforasi ulkus atau empedu dari perforasi kantung empeduatau laserasi hepar. Padawanita sangat dimungkinkan peritonitis terlokalisasi pada rongga pelvis dari infeksi tuba falopi atau rupturnya kista ovari. Kasus peritonitis akut yang tidak tertangani dapat berakibat fatal. B. Etiologi Bentuk peritonitis yang paling sering ialah SpontaneousBacterial Peritonitis (SBP) dan peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena ninfeksi intra abdomen,tetapi biasanya terjadi pada pasien yangasites terjadi kontaminasi hingga kerongga peritoneal sehingganmenjadi translokasi bakteri munuju dinding perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang terjadi penyebaran hematogen jika terjadi bakterimia dan akibat penyakit hati yang kronik. Semakin rendah kadar protein cairan asites, semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis dan abses. Ini terjadi karena ikatan opsonisasi yang rendah antar molekul komponen asites pathogen yang paling sering menyebabkan infeksi adalah bakteri gram negative E. Coli 40%, Klebsiella pneumoniae 7%, spesies Pseudomonas, Proteus dan gram lainnya 20% dan bakteri gram positif yaitu Streptococcus pnemuminae 15%, jenis Streptococcus lain 15%,dan golongan Staphylococcus 3%, selain itu juga terdapat anaerob dan infeksi campur bakteri. Peritonitis sekunder yang paling sering terjadi disebabkan oleh perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam dengan inokulasi bakteri rongga peritonealterutama disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari saluran cerna bagian atas. Peritonitis tersier terjadi karena infeksi



peritoneal berulang setelah mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, bukan berasal dari kelainan organ, pada pasienperitonisis tersier biasanya timbul abses atau flagmon dengan atau tanpa fistula. Selain itu juga terdapat peritonitis TB, peritonitis steril atau kimiawi terjadi karena iritasi bahan-bahan kimia, misalnya cairan empedu, barium, dan substansi kimia lain atau prses inflamasi transmural dari organorgan dalam (Misalnya penyakit Crohn). C. Manifestasi Klinis Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, tatikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang menyakinkan atau



tegang



karenairitasi peritoneum.



vagina bimanual



untuk



membedakan



Pada nyeri



wanita



akibat



dilakukan



pelvic



pemeriksaan



inflammatoru disease.



Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada penderita dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid, pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran (misalnya trauma cranial, ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesic), penderita dnegan paraplegia dan penderita geriatric. D. Patofisiologi Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel



menjadi satu



dengan



permukaan



sekitarnya



sehingga



membatasi



infeksi.Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus. Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalamikebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapatmenimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin,



dapat memulai



respon



hiperinflamatorius,



sehingga



membawa



ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.



Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebutmeninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan



retroperitoneal menyebabkan



hipovolemia.



Hipovolemia



bertambah



dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum,



aktivitas peristaltik



berkurang



sampai



timbul



ileus



paralitik;



usus



kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus. Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaituobstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis. Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defansmuskuler, dan keadaan umum yang merosot karena toksemia. Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang



mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perutmenimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsanganperitoneum berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria. Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma.



Obstruksi



tersebut menyebabkan



mukus



yang



diproduksi



mukosa



mengalamibendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general. Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untukberkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum. E. Pemeriksaan Diagnostik 1. Pemeriksaan Laboratorium a. Complete Blood Count (CBC), umumnya pasien dengan infeksi intra abdomen menunjukan adanya luokositosis (>11.000 sel/ µL) dengan adanya pergerakan ke bentuk immatur pada differential cell count. Namun pada pasien dengan immunocompromised dan pasien dengan beberapa tipe infeksi (seperti fungal dan CMV) keadaan leukositosis dapat tidak ditemukan atau malah leucopenia



b. PT, PTT dan INR c. Test fungsi hati jika diindikasikan d. Amilase dan lipase jika adanya dugaan pancreatitis e. Urinalisis untuk mengetahui adanya penyakit pada saluran kemih (seperti pyelonephritis, renal stone disease) f. Cairan peritoneal, cairan peritonitis akibat bakterial dapat ditunjukan dari pH dan glukosa yang rendah serta peningkatan protein dan nilai LDH 2. Pemeriksaan Radiologi a. Foto polos b. USG c. CT Scan (eg, gallium Ga 67 scan, indium In 111–labeled autologous leucocyte scan, technetium Tc 99m-iminoacetic acid derivative scan). d. Scintigraphy e. MRI f. Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu: 1) Tiduran telentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior (AP). 2) Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar horizontal proyeksi AP. 3) Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal, proyeksi AP. 3. X. Ray Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan : a. Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis. b. Usus halus dan usus besar dilatasi. c. Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi. F. Penatalaksanaan Pengganti cairan, koloid dan elektronik adalah focus utama dari penatalaksanaan medis. Beberapa liter larutan isotonik di berikan. Hipovolemia terjadi karena sejumlah besar cairan dalam ruang vuskuler. Analgesik di berikan untuk mengatasi nyeri. Antiemetik dapat diberikan sebagai terapi untuk mual dan muntah. Intu basi usus dan pe ngisapan membantu dalam menghilangkan distensi abdomen dalam meningkatkan fungsi



usus. Cairan dalam rongga abdomen dapat menyebabkan tekanan yang membatasi ekspensi paru dan menyebabkan distress pernapasan. Terapi oksigen dengan kanula nasal atau masker akan meningkatkan oksigenasi secara adekuat, tetapi kadang-kadang intubasi jalan napas dan bantuan ventilasi di perlukan. Terapi antibiotik massif biasanya dimulai di awal pengobatan peritonitis. Dosis besar dari antibiotik spectrum luas di berikan secara intravena sampai organisme penyebab infeksi diidentifikasi dan terapi antibiotic khusus yang tepat dapat dimulai. Tindakan bedah mencakup mengangkat materi terinfeksi dan memperbaiki penyebab. Tindakan pembedahan diarahkan pada eksisi (apendiks) reaksi denga atau tanpa anastomosis (usus), memperbaiki (perforasi) dan drainase (abses). Pada sepsis yang luas,perlu  di buat di versi fekal. Pengobatan yang pertama di berikan ialah tindakan yang suportif dengan segera yaitu infuse darah plasma atau whole blood dan albumin, larutan, ringer, dekstrosa 5%, atau Nacl fisiologi. Kortikosteroid di anjurkan oleh beberapa ahli untuk mengatasi renyatan dan perlu diberikan denga dosis tinggi. Misalnya metilprednison 30 mg/ kg BB/ hari. Akan tetapi ada yang mendapatkan hasil yang memuaskan dengan kartikosteroid, malahan dapat mengaburkan paremeter untuk memantau hasil pengobatan. Naloxono sutu antagonis reseptor opium dapat mengatasi renyatan pada binatang percobaan akan tetapi pada manusia hasilnya mengecewakan. Bila ada hipoksia diberikan oksigen. Parameter yang penting untuk membimbing pemberian cairan ialah tanda-tanda vital, diuresis, dan CVP. Juga perlu diperiksa apakah ada tanda-tanda DIC. Pada pasien dengan peritonitis umum biasanya terjadi ileus paralitik, maka perlu di pasang pipa nasogastrik (nasogastric tube) untuk di kompresi. Analgetik dan obat sedaktif jangan sering di berikan kecuali bila diagnosis sudah ditegakkan. Setelah di ambil paling sedikit 2x sediaan darah untuk pembiakan kuman. Barulah antibiotik dengan spektrum luas di berikan. Dosis awal perlu tinggi, tanpa memandang fungsi ginjal, terutama bila diberikan yenis aminoglikosid. Sebaiknya di beri antibiotik terhadap kuman aerob dan anaerob. Untuk klindamisin dan metradinasol tidak perlu penyesuaian dosis bila ada kegagalan ginjal. Setelah keadaan pasien stabil dan renyatan dapat diatasi, secepatnya di lakukan pembedahan. Tindakan bedah untuk mencari sebabnya, menutupi kebocoran dan membersihkan rongga peritoneum. Ada yang menganjurkan pemberian anti biotic intra peritoneal setelah rongga peritoneum bersih, misalnya 100cc- 200cc kanamisin 0,5% dengan hasil yang baik. Akan tetapi banyak ahli yang memandang antibiotic intra peritoneal tidak diperlukan karena



kemungkinan rangsangan toksis dan antibiotik parenteral sudah mencapai kadar yang memuakan dimperitoneum. G. Komplikasi Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu: 1. Komplikasi dini. a. Septikemia dan syok septic. b. Syok hipovolemik. c. Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multisystem. d. Abses residual intraperitoneal. e. Portal Pyemia (misal abses hepar). 2. Komplikasi lanjut. a.



Adhesi.



b.



Obstruksi intestinal rekuren.



H. Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian a.



Identitas 1) Nama pasien 2) Umur 3) Jenis kelamin 4) Suku /Bangsa 5) Pekerjaan 6) Alamat 7) Keluhan utama: Keluhan utama yang sering muncul adalah nyeri kesakitan di bagian perut sebelah kanan dan menjalar ke pinggang.



b. Riwayat Penyakit Sekarang Peritinotis dapat terjadi pada seseorang dengan peradangan iskemia, peritoneal diawali terkontaminasi material, sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus, dan sirosis hepatis dengan asites.



c. Riwayat Penyakit Dahulu Seseorang dengan peritonotis pernah ruptur saluran cerna, komplikasi post operasi, operasi yang tidak steril dan akibat pembedahan, trauma pada kecelakaan seperti ruptur limpa dan ruptur hati. d. Riwayat Penyakit Keluarga Secara patologi peritonitis tidak diturunkan, namun jika peritonitis ini disebabkan oleh bakterial primer, seperti: Tubercolosis. Maka kemungkinan diturunkan ada. e. Pemeriksaan Fisik 1) Sistem pernafasan (B1) Pola nafas irregular (RR> 20x/menit), dispnea, retraksi otot bantu pernafasan serta menggunakan otot bantu pernafasan. 2) Sistem kardiovaskuler (B2) Klien mengalami takikardi karena mediator inflamasi dan hipovelemia vaskular karena anoreksia dan vomit. Didapatkan irama jantung irregular akibat pasien syok  (neurogenik, hipovolemik atau septik), akral : dingin, basah, dan pucat. 3) Sistem Persarafan (B3) Klien dengan peritonitis tidak mengalami gangguan pada otak namun hanya mengalami penurunan kesadaran. 4) Sistem Perkemihan (B4) Terjadi penurunan produksi urin. 5) Sistem Pencernaan (B5) Klien akan mengalami anoreksia dan nausea. Vomit dapat muncul akibat proses ptologis organ visceral (seperti obstruksi) atau secara sekunder akibat iritasi peritoneal. Selain itu terjadi distensi abdomen, bising usus menurun, dan gerakan peristaltic usus turun (