LP PK [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut (Purba dkk, 2008). Menurut Stuart dan Laraia (1998), perilaku kekerasan dapat dimanifestasikan secara fisik (mencederai diri sendiri, peningkatan mobilitas tubuh), psikologis (emosional, marah, mudah tersinggung, dan menentang), spiritual (merasa dirinya sangat berkuasa, tidak bermoral). Perilaku kekerasan merupakan suatu tanda dan gejala dari gangguan skizofrenia akut yang tidak lebih dari satu persen (Purba dkk, 2008). Perilaku kekerasan merupakan salah satu jenis gangguan jiwa. WHO (2001) menyatakan, paling tidak ada satu dari empat orang di dunia mengalami masalah mental. WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia mengalami gangguan kesehatan jiwa. Pada masyarakat umum terdapat 0,2 – 0,8 % penderita skizofrenia dan dari 120 juta penduduk di Negara Indonesia terdapat kira-kira 2.400.000 orang anak yang mengalami gangguan jiwa (Maramis, 2004 dalam Carolina, 2008). Data WHO tahun 2006 mengungkapkan bahwa 26 juta penduduk Indonesia atau kira-kira 12-16 persen mengalami gangguan jiwa. Berdasarkan data Departemen Kesehatan, jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia mencapai 2,5 juta orang (WHO, 2006).



B. TUJUAN Tujuan umum Setelah mngikuti pembelajaran, mahasiswa mampu melakukan asuhan keperawatan prilaku kekerasan. Tujuan khusus 1. Menjelaskan konsep dasar tentang prilaku kekerasan 2. Menjelaskan tentang asuhan keperawatan teoritis prilaku kekerasan a. Melakukan pengkajian prilaku kekerasan b. Menentukan diagnosis yang tepat pada pasien dengan prilaku kekerasan c. Melakukan tindakan keperawatan pada pasien dan keluarga penderita prilaku kekerasan d. Melakukan evaluasi kemampuan pasien dan keluarga dalam perawatan pada pasien prilaku kekerasan



e. Mendokumentasikan hasil asuhan keperawatan pada pasien prilaku kekerasan



A. MANFAAT Agar mahasiswa dapat melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami prilaku kekerasan.



BAB II PEMBAHASAN A. KONSEP DASAR A. PENGERTIAN Perilku kekerasan adalah perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Perilaku kekerasan adalah respon dan perilku manusia untuk merusak dan berkonotasi sebagai agresif fisik yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain dan atau sesuatu. Perilku kekerasan adalah hasil dari marah yang ekstrim ( kemarahan) atau ketakutan (panik) sebagai respon terhadap perasaan terancam, baik berupa ancaman serangan fisik atau konsep diri. Perasaan terancam ini dapat berasal dari stessor eksternal ( penyerangan fisik, kehilangan orang berarti, dan kritikan dari orang lain) dan internal (perasaan gagal ditempat kerja, perasaan tidak mendapatkan kasih sayang dan ketakutan penyakit fisik) Perilku kekerasaan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Risiko perilku kekerasan merupakan perilku yang memperlihatkan individutersebut dapat mengancam secara fisik, emosional dan atau seksual pada orang lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku kekerasan merupakan: a) Respon emosi yang timbul sebagai reaksi terhadap kecemasan yang meningkat dan dirasakan sebagai ancaman (diejek atau dihina) b) Ungkapan perasaan terhadap keadaan yang tidak menyenangkan (kecewa, keinginan tidak tercapai, tidak puas) c) Perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal diarahkan pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan.



B. PROSES TERJADINYA PERILAKU KEKERASAAN Proses terjadinya perilku kekerasan pada pasien akan dijelaskan dengan menggunakan konsep stress adaptasi stuart yang meliputi strssor dari faktor predisposisidan presipitasi a. Faktor predisposisi



Hal yang dapat mempengaruhi terjadinya perilku kekerasan, meliputi : 1) Faktor biologis Hal yang dikaji pada faktor biologis meliputi adanya faktor herediter mengalami gangguan jiwa, riwayat penyakit atau trauma kepala dan riwayat penggunaan NAPZA. 2) Faktor biologis Pengalaman marah adalah akibat dari respon psikologis terhadap stimulus eksternal, internal maupun lingkungan. Perilku kekerasan terjadi sebagai hasil dari akumulasi frustasi. Frustasi terjadi apabila keinginan individu untuk mencapai sesuatu menemui kegagalanatau terhambat, seperti kesehatan fisik yang terganggu, hubungan sosial yang terganggu. Salah satu kebutuhan manusia adalah “berperilaku”, apabila kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi melalui berperilaku konstruktif, maka yang akan muncul adalah individu tersebut berperilaku destruktif. 3) Faktor sosiokultural Fungsi dan hubungan sosial yang terganggu disertai lingkungan sosial yang mengancam kebutuhan individu, yang mempengaruhi sikap individu dalam mengekspresikan marah. Norma budaya dapat mempengaruhi individu untuk berespon asertif atau agresif. b. Faktor presipiasi Faktor presipitasi yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan pada setiap individu bersifat unik, berbeda dengan satu orang dengan orang yang lain. Stressor tersebut dapat merupakan penyebab yang bersifat faktor eksternal maupun internal



dari



individu. Faktor internal meliputi keinginan yang tidak terpenuhi, perasaan kehilangan dan kegagalan dalam kehidupan ( pekerjaan, pendidikan, dan kehilangan orang yang dicintai), kekhawatiran terhadap penyakit fisik. Faktor eksternal meliputi kegiatan atau kejadian sosial yang berubah seperti serangan fisik atau tindakan kekerasan, kritikan yang menghina, lingkungan yang terlalu ribut, atau putusnya hubungan sosial/ kerja/ sekolah.



C. POHON MASALAH Resiko Menciderai Diri Sendiri Atau Orang Lain (effect



Prilaku kekerasan (core problem)



Harga Diri Rendah (causa)



D. TANDA DAN GEJALA Tanda dan gejala perilaku kekerasan dapat dinilai dari ungkapan pasien dan disukung dengan hasil observasi. a. Data subyektif : 1) Ungkapan berupa ancaman 2) Ungkapan kata-kata kasar 3) Ungkapan ingin memuluk atau melukai b. Data obyektif 1) Wajah memerah dan tegang 2) Pandangan tajam 3) Mengatupkan rahang dengan kuat 4) Mengepalkan tangan 5) Bicara kasar 6) Suara tinggi, menjerit, atau berteriak 7) Mondar-mandir 8) Melempar atau memukul benda atau orang lain. 9) Mengepalkan tangan 10) Merusak barang atau benda



E. RENTANG RESPON a. Respon Adaptif



Respon adaprif adalah respon yang dapat diterima norma-norma sosial budaya yang berlaku. Dengan kata lain, individu tersebut dalam batas normal jika menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah tersebut, respon adaptif (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 96): 1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan 2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan 3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari pengalaman 4) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas kewajaran 5) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan lingkungan b. Respon Maladaptif 1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan sosial 2) Perilaku kekerasan merupakan status rentang emosi dan ungkapan kemarahan yang dimanifestasiakn dalam bentuk fisik 3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan status yang timbul dari hati 4) Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu perilaku yang tidak teratur (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 97).



F. PENYEBAB a. Faktor Predisposisi Menurut Yosep (2010), faktor predisposisi klien dengan perilaku kekerasan adalah: 1) Teori Biologis a) Neurologic Faktor



Beragam komponen dari sistem syaraf seperti sinap, neurotransmitter, dendrit, akson terminalis mempunyai peran memfasilitasi atau menghambat rangsangan dan pesan-pesan yang mempengaruhi sifat agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respon agresif (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100). Lobus frontalis memegang peranan penting sebagai penengah antara perilaku yang berarti dan pemikiran rasional, yang merupakan bagian otak dimana terdapat interaksi antara rasional dan emosi. Kerusakan pada lobus frontal dapat menyebabkan tindakan agresif yang berlebihan (Nuraenah, 2012: 29). b) Genetic Faktor Adanya faktor gen yang diturunkan melalui orang tua, menjadi potensi perilaku agresif. Menurut riset kazu murakami (2007) dalam gen manusia terdapat dorman (potensi) agresif yang sedang tidur akan bangun jika terstimulasi oleh faktor eksternal. Menurut penelitian genetik tipe karyotype XYY, pada umumnya dimiliki oleh penghuni pelaku tindak kriminal serta orang-orang yang tersangkut hukum akibat perilaku agresif (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100). c) Cycardian Rhytm Irama sikardian memegang peranan individu. Menurut penelitian pada jam sibuk seperti menjellang masuk kerja dan menjelang berakhirnya kerja ataupun pada jam tertentu akan menstimulasi orang untuk lebih mudah bersikap agresif (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100). d) Faktor Biokimia Faktor biokimia tubuh seperti neurotransmitter di otak contohnya epineprin, norepenieprin, dopamin dan serotonin sangat berperan dalam penyampaian informasi melalui sistem persyarafan dalam tubuh. Apabila ada stimulus dari luar tubuh yang dianggap mengancam atau membahayakan akan dihantarkan melalui impuls neurotransmitter ke otak dan meresponnya melalui serabut efferent. Peningkatan hormon androgen dan norepineprin serta penurunan serotonin dan GABA (Gamma Aminobutyric Acid) pada cerebrospinal vertebra dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya perilaku agresif ( Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100). e) Brain Area Disorder Gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal, siindrom otak, tumor otak, trauma otak, penyakit ensepalitis, epilepsi ditemukan sangat berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100).



2) Teori Psikogis a) Teori Psikoanalisa Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat tumbuh kembang seseorang. Teori ini menjelaskan bahwa adanya ketidakpuasan fase oral antara usia 0-2 tahun dimana anak tidak mendapat kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan air susu yang cukup cenderung mengembangkan sikap agresif dan bermusuhan setelah dewasa sebagai komponen adanya ketidakpercayaan pada lingkungannya. Tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang yang rendah. Perilaku agresif dan tindakan kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri perilaku tindak kekerasan (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 100 – 101) b) Imitation, modelling and information processing theory Menurut teori ini perilaku kekerasan bisa berkembang dalam lingkungan yang mentolelir kekerasan. Adanya contoh, model dan perilaku yang ditiru dari media atau lingkungan sekitar memungkinkan individu meniru perilaku tersebut. Dalam suatu penelitian beberapa anak dikumpulkan untuk menontn tayangan pemukulan pada boneka dengan reward positif ( semakin keras pukulannya akan diberi coklat). Anak lain diberikan tontonan yang sama dengan tayangan mengasihi dan mencium boneka tersebut dengan reward yang sama (yang baik mendapat hadiah). Setelah anak – anak keluar dan diberi boneka ternyata masing-masing anak berperilaku sesuai dengan tontnan yang pernah dilihatnya (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 101). c) Learning Theory Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadap lingkungan terdekatnya. Ia mengamati bagaimana respon ayah saat menerima kekecewaan dan mengamati bagaimana respon ibu saat marah ( Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 101).



G. AKIBAT Menurut Townsend, perilaku kekerasan dimana seeorang meakukan tindakan yang dapat membahayakan, baik diri sendiri maupun orang lain. Seseorang dapat mengalami perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain dapat menunjukan perilaku (Kartikasari, 2015: hal 140) Data Subyektif : a. Mengungkapkan mendengar atau melihat obyek yang mengancam



b. Mengungkapkan perasaan takut, cemas dan khawatir



Data Obyektif : a. Wajah tegang merah b. Mondar mandir c. Mata melotot, rahang mengatup d. Tangan mengepal e. Keluar banyak keringat f. Mata merah g. Tatapan mata tajam h. Muka merah



H. MEKANISME KOPING Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada pasien marah untuk melindungi diri antara lain: a) Sublimasi Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia. Artinya dimata masyarakat unutk suatu dorongan yang megalami hambatan penyalurannya secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada objek lain seperti meremas remas adona kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan akibat rasa amarah (Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 103). b) Proyeksi Menyalahkan orang lain kesukarannya atau keinginannya yang tidak baik, misalnya seorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual terdadap rekan sekerjanya,



berbalik



menuduh



bahwa



temannya



tersebut



mencoba



merayu,



mencumbunya(Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 103). c) Represi Mencegah pikiran yang menyakitkan atau bahayakan masuk kedalam sadar. Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut



ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh tuhan. Sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakanya (Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 103). d) Reaksi formasi Mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresika.dengan melebih lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakan sebagai rintangan misalnya sesorangan yang tertarik pada teman suaminya,akan memperlakukan orang tersebut dengan kuat (Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 103).



e) Deplacement Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan pada objek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi itu ,misalnya: timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapatkan hukuman dari ibunya karena menggambar didinding kamarnya. Dia mulai bermai perang-perangan dengan temanya (Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 104).



I. PENATALAKSANAAN a. Farmakoterapi Pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan mempunyai dosis efektif tinggi contohnya: clorpromazine HCL yang berguna untuk mengendalikan psikomotornya. Bila tidak ada dapat bergunakan dosis efektif rendah. Contohnya trifluoperasineestelasine, bila tidak ada juga maka dapat digunakan transquilizer bukan obat anti psikotik seperti neuroleptika, tetapi meskipun demikian keduanya mempunyai efek anti tegang,anti cemas,dan anti agitasi (Eko Prabowo, 2014: hal 145). b. Terapi okupasi Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja terapi ini buka pemberian pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan kegiatan dan mengembalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu dalam terapi ini tidak harus diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk kegiatan seperti membaca koran, main catur dapat pula dijadikan media yang penting setelah mereka melakukan kegiatan itu diajak berdialog atau berdiskusi tentang pengalaman dan arti



kegiatan uityu bagi dirinya. Terapi ni merupakan langkah awal yang harus dilakukan oleh petugas terhadap rehabilitasi setelah dilakukannya seleksi dan ditentukan program kegiatannya (Eko Prabowo, 2014: hal 145). c. Peran serta keluarga Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan perawatan langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) pasien. Perawat membantu keluarga agar dapat melakukan lima tugas kesehatan, yaitu mengenal masalah kesehatan, membuat keputusan tindakan kesehatan, memberi perawatan pada anggota keluarga, menciptakan lingkungan keluarga yang sehat, dan menggunakan sumber yang ada pada masyarakat. Keluarga yang mempunyai kemampuan mengtasi masalah akan dapat mencegah perilaku maladaptif (pencegahan primer), menanggulangi perilaku maladaptif (pencegahan skunder) dan memulihkan perilaku maladaptif ke perilakuadaptif (pencegahan tersier) sehinnga derajat kesehatan pasien dan keluarga dapat ditingkatkan secara optimal (Eko Prabowo, 2014: hal 145). d. Terapi somatik Menurut depkes RI 2000 hal 230 menerangkan bahwa terapi somatic terapi yang diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwa dengan tujuan mengubah perilaku yang mal adaftif menjadi perilaku adaftif dengan melakukan tindakan yang ditunjukkan pada kondisi fisik pasien,terapi adalah perilaku pasien (Eko Prabowo, 2014: hal 146). e. Terapi kejang listrik Terapi kejang listrik atau electronic convulsive therapy (ECT) adalah bentuk terapi kepada pasien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang menangani skizofrenia membutuhkan 20-30 kali terapi biasanya dilaksanakan adalah setiap 2-3 hari sekali (seminggu 2 kali) (Eko Prabowo, 2014: hal 146).



B. ASUHAN EPERWATAN TEORITIS a. Pengakajian Pengakjian dilakukan dengan cara wawancara dan observasi pada pasien dan keluarga. Tanda dan gejala risiko perilaku kekerasan dapat ditemukan dengan wawancara melalui pertanyaan sebagai berikut: 1) apa penyebab perasaan marah ?



2) apa yang dirasakan saat terjadi kejadian / penyebab marah ? 3) apa yang dilakukan saat marah ? 4) apa akibat dari cara marah yang dilakukan ? 5) apakah dengan cara yang dilakukan penyebab marah hilang ? Tanda dan gejala resiko perilku kekerasan yang dapat ditemukan melalui observasi adalah sebagai berikut : 1) wajah memerah dan tegang 2) pandangan tajam 3) mengatupkan rahang dengan kuat 4) mengepalkan tanganbicara kasar 5) mondar mandir 6) nada suara tinggi, menjerit atau berteriak 7) melempar atau memukul benda/ orang lain



b. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan ditetapkan sesuai dengan data yang didapat, walaupun saat ini tidak melakukan perilaku kekerasan tetapi pernah melakukan atau mempunyai riwayat perilku kekerasan dan belum mempunyai kemampuan mencegah / mengontrol perilaku kekerasan tersebut. Masalah keperawatan yang mungkin muncul untuk masalah perlaku kekerasan adalah : 1. Perilaku kekerasan 2. resiko menciderai diri sendiri atau orang lain 3. harga diri rendah



c. Rencana Tindakan Keperawatan 1) tujuan tindakan keperawatan tujuan umum : klien dapat mengontrol perilakunya dan dapat mengungkapkan kemarahannya secara asertif. Tujuan khusus 1. Klien dapat mengidentifikasi penyebab dan tanda-tanda perilaku kekerasan



2. Klien mampu memilih cara yang konstruktif dalam berespon terhadap kemarahannya 3. Klien mampu mendemonstrasikan perilaku yang terkontrol 4. Klien memperoleh dukungan keluarga dalam mengontrol perilaku dan menggunakan obat dengan benar 2) Tindakan keperawatan Pada strategi pencegahan dapat dilakukan pendidikan kesehatan, latihan asertif, kesadaran diri. Jika cara ini dilakukan namun klien bertambah agresif, maka teknik managemen krisis seperti pencegahan adalah upaya yang terbaik dalam mengelola klien dalam perilaku kekerasan.



d. Tindakan Keperawatan Tindakan keperawatan untuk pasien : 1) Tujuan 1. Pasien dapat mengientifikasi penyebab perilaku kkerasan 2. Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilku kekerasan 3. Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah dilakukannya 4. Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukannya 5. Pasien apat menyebutkan cara mencegah/ mengontrol perilaku kekerasannya secara fisik, spiritual, sosial dan dengan terapi psikofarmaka 2) Tindakan 1. Bina hubungan saling percaya Dalam membina hubungan saling percaya perlu dipertimbangkan agar pasien merasa aman dan nyaman saat berinteraksi dengan kita. Tindakan yang harus dilakukan yaitu : a.



mengucapkan salam terapeutik



b.



berjabat tangan



c.



menjelaskan tujuan interaksimembuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali bertemu pasien



2. Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan saat ini dan yang lalu 3. Diskusikan perasaan pasien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan



a. diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik b. diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara psikologis c. diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara social d. diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara spiritual e. diskusikan tanda dan gejala erilakukekerasan secara intelektual



4. Diskusikan bersama pasien perilaku pasien yang biasa dilakukan pada saat marah secara : a. Verbal b. Terhadap orang lain c. Terhadap diri sendiri d. Terhadap lingkungan



5. Diskusikan bersama klien akibat perilakunya 6. Diskusikan bersama klien cara mengontrol perilaku kekerasan secara : a. Fisik : pukul kasur dan bantal, tarik nafas dalam b. Obat c. Sosial/ verbal : bicara yang baik : meminta, menolak dan mengungkapan perasaan d. Spiritual : sholat/ berdoa sesuai keyakinan Tindakan keperawatan untuk keluarga : a. Tujuan Keluarga dapat merawat pasien di rumah b. Tindakan 1)



Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien



2)



Diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan (penyebab, tanda dan gejala, perilaku yang muncul, dan akibat dari perilaku kekerasan tersebut)



3)



Diskusikan bersama keluarga kondisi-kondisi pasien yang perlu segera dilaporkan kepada perawat , seperti melempar atau memukul benda/ orang lain



4)



Latih keluarga merawa pasien dengan perilaku kekerasan a) Anjurkan keluarga untuk memotivasi pasien melakukan tindakan yang telah dianjurkan oleh perawat



b) Ajarkan keluarga untuk memberikan pujian kepada pasien apabila pasien dapat melakukan kegiatan tersebut secara tepat c) Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus dilakukan bila pasien menunjukkan gejala-gejala perilaku kekerasan 5)



e.



Buat perencanaan pulang bersama keluarga



Implementasi Implementasi adalah pelaksanaan perencanaan asuhan keperawatan oleh perawat dan



klien. Petunjuk dalam implementasi : a. Intervensi dilakukan sesuai dengan rencana. b. Keterampilam interpersonal, intelektual, tekhnikal dilakukan dengan cermat dan efisien dalam situasi yang tepat. c. Dokumentasi intrvensi dan respon klien. Dalam pelaksanaan implementasi, penulis menggunakan langkah-langkah komunikasi terapeutik yang terdiri dari : 1) Fase Pra Interaksi Pra interaksi dimulai sebelum kontak pertama dengan klien, perawat mengeksplorasi perasaan, fantasi dan ketakutannya sehingga kesadaran dan kesiapan perawat untuk melakukan hubungan dengan klien dapat dipertanggung jawabkan. 2) Fase Perkenalan Pada fase ini dimulai dengan pertemuan dengan klien, hal-hal yang perlu dikaji adalah alasan klien meminta pertolongan yang akan mempengaruhi terbinanya rasa percaya antara perawat dengan klien. 3) Fase Orientasi a) Memberi salam terapeutik b) Mengevaluasi dan memvalidasi data subjektif dan objektif yang mendukung diagnosa keperawatan. c) Membuat kontrak untuk sebuah topik disertai waktu dan tempat dan serta mengingatkan kontrak sebelumnya.



4) Fase Kerja. Fase kerja merupakan inti hubungan perawat dengan klien yang terkait dengan pelaksanaan perencanaan yang sudah ditentukan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Pada fase ini perawat mengeksplorasi stressor yang tepat mendorong perkembangan kesadaran diri dengan menghubungkan persepsi, fikiran, perasaan dan perbuatan klien. 5) Fase Terminasi Fase terminasi merupakan fase yang amat sulit dan penting dari hubungan intim terapeutik yang sudah terbina dan berada dalam tingkat optimal.



f. Evaluasi Evaluasi adalah tindakan untuk mengidentifikasi sejauh mana tujuan dari perencanaan tercapai dan evaluasi itu sendiri dilakukan terus menerus melalui hubungan yang erat. Evaluasi dibagi menjadi dua macam yaitu : a) Evaluasi formatif yaitu evaluasi yang dilakukan terus menerus untuk menilai hasil tindakan



yang telah dilakukan. b) Sumatif yaitu evaluasi akhir yang ditujukan untuk menilai keberhasilan tujuan yang



dilakukan. Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP, sebagai pola pikir: S : Respon subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. O : Respon objektif klien terhadap tindakan yang telah dilaksanakan. A : Analisa ulang atas data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan masalah tetap atau muncul masalah baru atau data yang kontradiktif dengan masalah yang ada. P



: Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkakn hasil analisa pada respon klien.



Rencana tindak lanjut berupa : 1. Rencana teruskan, bila masalah tidak berubah.



2. Rencana dimodifikasi, jika masalah tetap, semua tindakan sudah dijalankan tetapi hasil tidak memuaskan. 3. Rencana dibatalkan, jika ditemukan masalah baru dan bertolak belakang dengan masalah yang ada serta diagnosa lama dibatalkan. 4. Rencana atau diagnosa selesai jika tujuan sudah tercapai dan diperlukan adalah memelihara dan mempertahankan kondisi baru.



DAFTAR PUSTAKA



Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi ASUHAN KEPERAWATAN JIWA. Yogyakarta: Nuha Medika. Mukhripah Damaiyanti. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Samarinda: Refka Aditama. Nuraenah. (2012). Hubungan Dukungan Keluarga dan Beban Keluarga dalam Merawat Anggota dengan Riwayat Perilaku Kekerasan di RS. Jiwa Islam Klender Jakarta Timur, 29-37. Sari, K. (2015). Panduan Lengkap Praktik Klinik Keperawatan Jiwa. Jakarta: Trans Info MEdia.