LP Sah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I KONSEP PENYAKIT A. Definisi Perdarahan subarakhnoid (PSA) atau subarachnoid hemorrhage (SAH) adalah salah satu kedaruratan neurologis yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah di ruang subarakhnoid. Perdarahan subarakhnoid merupakan salah satu jenis patologi stroke yang sering dijumpai pada usia dekade kelima atau keenam, dengan puncak insidens pada usia sekitar 55 tahun untuk laki-laki dan 60 tahun untuk perempuan; lebih sering dijumpai pada perempuan dengan rasio 3 : 2 (Steyopranoto, 2012). Pendarahan subarakhnoid merupakan perdarahan arteri di ruang antara dua meningen yaitu piameter dan arakhnoidea. Sekitar 85% PSA berasal dari pecahnya aneurisma sakuler yang terjadi di dalam pembuluh darah pada bagian dasar otak yang utamanya berada didaerah “Circle of Willis” (Ganesen, 2016). B. Etiologi Penyebab paling sering perdarahan subaraknoid nontraumatik adalah aneurisma serebral, yaitu sekitar 70% hingga 80%, dan malformasi arteriovenosa (sekitar 5-10%) (Steyopranoto, 2012). 1. Aneurisma Aneurisma merupakan area lemah di dinding arteri serebral yang menonjol seperti balon. Tonjolan dapat meregang dan menyebabkan dinding pembuluh darah serebral menjadi semakin menipis sehingga terjadi ruptur. Adanya cedera, infeksi atau kecenderungan yang diwariskan dapat memulai aneurisma yang berkembang secara diam-diam dari waktu ke waktu. Ada dua tipe dari aneurisma, yaitu aneurisma sakular (berry) dan aneurisma fusiformis. a. Aneurisma Sakular Aneurisma ini terjadi pada titik bifurkasio arteri intrakranial. Lokasi tersering aneurisma sakular adalah arteri komunikans anterior (40%), bifurkasio arteri serebri media di fisura sylvii (20%), dinding lateral arteri karotis interna (pada tempat berasalnya arteri oftalmika atau arteri komunikans posterior 30%), dan basilar tip (10%). Aneurisma dapat menimbulkan defisit neurologis dengan menekan struktur disekitarnya bahkan sebelum rupture. Misalnya, aneurisma pada arteri komunikans



posterior dapat menekan nervus okulomotorius, menyebabkan paresis saraf kranial ketiga (pasien mengalami diplopia). b. Aneurisma Fusiformis Pembesaran pada pembuluh darah yang berbentuk memanjang disebut aneurisma fusiformis. Aneurisma tersebut umumnya terjadi pada segmen intracranial arteri karotis interna, trunkus utama arteri serebri media, dan arteri basilaris. Aneurisma fusiformis dapat disebabkan oleh aterosklerosis dan/atau hipertensi. Aneurisma fusiformis yang besar pada arteri basilaris dapat menekan batang otak. Aliran yang lambat di dalam aneurisma fusiformis dapat mempercepat pembentukan bekuan intraaneurismal terutama pada sisi-sisinya. Aneurisma ini biasanya tidak dapat ditangani secara pebedahan saraf, karena merupakan pembesaran pembuluh darah normal yang memanjang, dibandingkan struktur patologis (seperti aneurisma sakular) yang tidak memberikan kontribusi pada suplai darah serebral. 2. Malformasi arterivenosa (MAV) Malformasi arterivenosa (MAV) adalah anomali vaskuler yang terdiri dari jaringan pleksiform abnormal tempat arteri dan vena terhubungkan oleh satu atau lebih fistula. Pada MAV arteri berhubungan langsung dengan vena tanpa melalui kapiler yang menjadi perantaranya. Pada kejadian ini vena tidak dapat menampung tekanan darah yang datang langsung dari arteri, akibatnya vena akan merenggang dan melebar karena langsung menerima aliran darah tambahan yang berasal dari arteri. Pembuluh darah yang lemah nantinya akan mengalami ruptur dan berdarah sama halnya seperti yang terjadi paada aneurisma. MAV dikelompokkan menjadi dua, yaitu kongenital dan didapat. MAV yang didapat terjadi akibat thrombosis sinus, trauma, atau kraniotomi. C. Patofisiologi Aneurisma intrakranial khas terjadi pada titik-titik cabang arteri serebral utama. Hampir 85% dari aneurisma ditemukan dalam sirkulasi anterior dan 15% dalam sirkulasi posterior. Secara keseluruhan, tempat yang paling umum adalah arteri communicans anterior diikuti oleh arteri communicans posterior dan arteri bifucartio cerebri. Dalam sirkulasi posterior, situs yang paling lebih besar adalah di bagian atas bifurkasi arteri basilar ke arterie otak posterior. Perdarahan subarakhnoid diklasifikasikan menjadi dua kategori (Ganesen, 2016) :



1. Pendarahan Subarakhnoid Traumatik Perdarahan subarakhnoid traumatik terjadi hasil dari cedera kepala. Namun, perdarahan karena cedera kepala menyebabkan gejala yang berbeda dan tidak dianggap sebagai stroke. Perdarahan subarakhnoid dianggap stroke hanya jika terjadi secara spontan yaitu, ketika perdarahan tidak hasil dari faktor-faktor eksternal, seperti kecelakaan atau jatuh. 2. Pendarahan Spontan Non Traumatik Sebuah perdarahan spontan biasanya hasil dari pecahnya aneurisma mendadak di sebuah arteri otak, yaitu pada bagian aneurisma yang menonjol di daerah yang lemah dari dinding arteri itu. Aneurisma biasanya terjadi di percabangan arteri. Aneurisma dapat muncul pada saat kelahiran (bawaan), atau dapat berkembang kemudian, yaitu setelah bertahun-tahun dimana tekanan darah tinggi melemahkan dinding arteri. Kebanyakan perdarahan subarakhnoid adalah hasil dari aneurisma kongenita. Sedangkan spontan subarakhnoid hemoragik disebabkan oleh karena ruptur aneurisma atau abnormalitas pembuluh darah pada otak. Mekanisme lain yang kurang umum adalah perdarahan subarakhnoid dari pecahnya koneksi abnormal antara arteri dan vena (malformasi arteri) di dalam atau di sekitar otak. Sebuah malformasi arteri dapat muncul pada saat kelahiran,tetapi biasanya hanya diidentifikasi jika gejala berkembang. Jarang sekali suatu bentuk bekuan darah pada katup jantung yang terinfeksi, perjalanan (menjadi emboli) ke arteri yang memasuk otak, dan menyebabkan arteri menjadi meradang, arteri kemudian dapat melemah dan pecah. D. Tanda dan Gejala Tanda klasik PSA, sehubungan dengan pecahnya aneurisma yang besar, meliputi : 1. Nyeri kepala yang hebat dan mendadak 2. Hilangnya kesadaran 3. Fotofobia dan meningismus 4. Mual dan muntah. Sebenarnya, sebelum muncul tanda dan gejala klinis yang hebat dan mendadak tadi, sudah ada berbagai tanda peringatan yang pada umumnya tidak memperoleh perhatian sepenuhnya oleh penderita maupun dokter yang merawatnya. Tanda-tanda peringatan tadi dapat muncul beberapa jam, hari, minggu, atau lebih lama lagi sebelum terjadinya perdarahan yang hebat.



Tanda-tanda perigatan dapat berupa nyeri kepala yang mendadak dan kemudian hilang dengan sendirinya (30-60%), nyeri kepala disertai mual, nyeri tengkuk dan fotofobia (40-50%), dan beberapa penderita mengalami serangan seperti “disambar petir”. Sementara itu, aneurisma yang membesar (sebelum pecah) dapat menimbulkan tanda dan gejala sebagai berikut : defek medan penglihatan, gangguan gerak bola mata, nyeri wajah, nyeri orbital, atau nyeri kepala yang terlokalisasi. Aneurisma berasal dari arteri komunikan anterior dapat menimbulkan defek medan penglihatan, disfungsi endokrin, atau nyeri kepala di daerah frontal. Aneurisma pada arteri karotis internus dapat menimbulkan paresis okulomotorius, defek medan penglihatan, penurunan visus, dan nyeri wajah disuatu tempat. Aneurisma pada arteri karotis internus didalam sinus kavernosus, bila tidak menimbulkan fistula karotiko-kavernosus, dapat menimbulkan sindrom sinus kavernosus. Aneurisma pada arteri serebri media dapat menimbulkan disfasia, kelemahan lengan fokal, atau rasa baal. Aneurisma pada bifukarsio basiaris dapat menimbulkan paresis okulomotorius. Hasil pemeriksaan fisik penderita PSA bergantung pada bagian dan lokasi perdarahan. Pecahnya aneurisma dapat menimbulkan PSA saja atau kombinasi dengan hematom subdural, intraserebral, atau intraventrikular. Dengan demikian tanda klinis dapat bervariasi mulai dari meningismus ringan, nyeri kepala, sampai defiist neurologis berat dan koma. Sementara itu, reflek Babinski positif bilateral. Gangguan tingkat kesadaran yang bervariasi dari letargi sampai koma, biasa terjadi pada PSA. Gangguan memori biasanya terjadi pada beberapa hari kemudian. Disfasia tidak muncul pada PSA tanpa komplikasi, bila ada disfasia maka perlu dicurigai adanya hematom intraserebral. Yang cukup terkenal adalah munculnya demensia dan labilitas emosional, khususnya bila lobus frontalis bilateral terkena sebagai akibat dari pecahnya aneurisma pada arteri komunikans anterior. Disfungsi nervi kranial dapat terjadi sebagai akibat dari : a) kompresi langsung oleh aneurisma; b) kompresi langsung oleh darah yang keluar dari pembuluh darah, atau c) meningkatnya TIK. Nervus optikus seringkali terkena akibat PSA. Pada penderita dengan nyeri kepala mendadak dan terlihat adanya perdarahan subarachnoid maka hal itu bersifat patognomik untuk PSA. Gangguan fungsi motorik dapat berkaitan dengan PSA yang cukup luas atau besar, atau berhubungan dengan infark otak sebagai akibat dari munculnya vasospasme.



Perdarahan dapat meluas kearah parenkim otak. Sementara itu, hematom dapat menekan secara ekstra-aksial. Iskemik otak yang terjadi kemudian erupakan ancaman serta pada penderita PSA. Sekitar 5 hari pasca-awitan, sebagian atau seluruh cabang-cabang besar sirkulus Willis yang terpapar darah akan mengalami vasospasme yang berlangsung antara 1-2 minggu atau lebih lama lagi (Perdossi, 2011). E. Pemeriksaan Penunjang 1. CT Scan Pemeriksaan CT scan tanpa kontras adalah pilihan utama karena sensitivitasnya tinggi dan mampu menentukan lokasi perdarahan lebih akurat; sensitivitasnya mendekati 100% jika dilakukan dalam 12 jam pertama setelah serangan tetapi akan turun pada 1 minggu setelah serangan. 2. Lumbal Pungsi Jika hasil pemeriksaan CT scan kepala negatif, langkah diagnostic selanjutnya adalah pungsi lumbal. Pemeriksaan pungsi lumbal sangat penting untuk menyingkirkan diagnosis banding. Beberapa temuan pungsi lumbal yang mendukung diagnosis perdarahan subarachnoid adalah adanya eritrosit, peningkatan tekanan saat pembukaan, dan atau xantokromia. Jumlah eritrosir meningkat, bahkan perdarahan kecil kurang dari 0,3 mL akan menyebabkan nilai sekitar 10.000 sel/mL. xantokromia adalah warna kuning



yang



memperlihatkan



adanya



degradasi



produk



eritrosit,



terutama



oksihemoglobin dan bilirubin di cairan serebrospinal. 3. Angiografi Digital-substraction cerebral angiography merupakan baku emas untuk deteksi aneurisma serebral, tetapi CT angiografi lebih sering digunakan karena non-invasif serta sensitivitas dan spesifitasnya lebih tinggi. Evaluasi teliti terhadap seluruh pembuluh darah harus dilakukan karena sekitar 15% pasien memiliki aneurisma multiple. Foto radiologic yang negative harus diulang 7-14 hari setelah onset pertama. Jika evaluasi kedua tidak memperlihatkan aneurisma, MRI harus dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya malformasi vascular di otak maupun batang otak (Setyopranoto, 2012).



F. Penatalaksanaan Tujuan penatalaksanaan pertama pada PSA adalah identifikasi sumber pendarahan dengan kemungkinan bisa diintervensi dengan pembedahan atau tindakan intravaskuler lain. Kedua adalah manajemen komplikasi (Setyopranoto, 2012). Langkah pertama, konsultasi dengan dokter spesialis bedah saraf merupakan hal yang sangat penting untuk tindakan lebih lanjut pada aneurisma intrakranial. Pasien perdarahan subaraknoid harus dirawat di Intensive Care Unit (ICU) untuk pemantauan kondisi hemodinamiknya dan untuk meminimalkan rangsangan yang dapat menyebabkan peningkatan TIK, minta pasien ditempatkan di ruang pribadi yang gelap, tenang, dan diberi obat penenang ringan jika gelisah. Kepala tempat tidur harus dijaga tinggi pada 30 untuk memastikan drainase vena yang optimal. Idealnya, pasien tersebut dikelola di Neurology Critical Care Unit yang secara signifikan akan memperbaiki luaran klinis (Becske T., 2017). Jalan napas harus dijamin aman dan pemantauan invasif terhadap central venous pressure dan/atau pulmonary artery pressure, seperti juga terhadap tekanan darah arteri, harus terus dilakukan. Untuk mencegah peningkatan tekanan intrakranial, manipulasi pasien harus dilakukan secara hati-hati dan pelan-pelan; dapat diberikan analgesik dan pasien harus istirahat total (Setyopranoto, 2012). PSA yang disertai dengan peningkatan tekanan intracranial harus diintubasi dan hiperventilasi. Pemberian ventilasi harus diatur untuk mencapai PCO2 sekitar 30-35 mmHg. Beberapa obat yang dapat diberikan untuk menurunkan tekanan intracranial seperti: 1. Osmotic agents (mannitol) dapat menurunkan tekanan intracranial secara signifikan (50% dalam 30 menit pemberian). 2. Loop diuretics (furosemide) dapat juga menurnukan tekanan intracranial. 3. Intravenous steroid (dexamethasone) untuk menurunkan tekanan intracranial masih kontroversial tapi direkomendasikan oleh beberapa penulis lain (Becske T., 2017). Setelah itu tujuan selanjutnya adalah pencegahan perdarahan ulang, pencegahan dan pengendalian vasospasme, serta manajemen komplikasi medis dan neurologis lainnya. Tekanan darah harus dijaga dalam batas normal dan jika perlu diberi obat-obat antihipertensi intravena, seperti labetalol dan nikardipin. Akan tetapi, rekomendasi saat ini



menganjurkan penggunaan obat-obat anti hipertensi pada PSA jikalau MAP diatas 130 mmHg. Analgesic seringkali diperlukan, obat-obat narkotika dapat diberikan berdasarkan indikasi. Dua faktor penting yang dihubungkan dengan luaran buruk adalah hiperglikemia dan hipertermia, karena itu keduanya harus segera dikoreksi. Calcium channel blocker dapat mengurangi risiko komplikasi iskemik, direkomendasikan nimodipin oral (Setyopranoto, 2012). Hasil penelitian terakhir yang dilakukan mengemukakan bahwa penambahan obat cilostazol oral pada microsurgical clipping dapat mencegah kejadian vasospasme serebral dengan menurunkan resiko-resiko yang memperparah kejadian vasospasme serebral (Becske T., 2017). G. Komplikasi Vasospasme dan perdarahan ulang adalah komplikasi paling sering pada perdarahan subarachnoid. Tanda dan gejala vasospasme dapat berupa status mental, deficit neurologis fokal. Vasospasme akan menyebabkan iskemia serebral tertunda dengan dua pola utama, yaitu infark kortikal tunggal dan lesi multiple luas. Perdarahan ulang mempunyai mortalitas 70%. Untuk mengurangi risiko perdarahan ulang sebelum dilakukan perbaikan aneurisma, tekanan darah harus dikelola hati-hati dengan diberikan obat fenilefrin, norepinefrin, dan dopamine (hipotensi), labetalol, esmolol, dan nikardipi (hipertensi). Tekanan darah sistolik harus dipertahankan >100 mmHg untuk semua pasien selama ±21 hari. Sebelum ada perbaikan, tekanan darah sistolik harus dipertahankan dibawah 160 mmHg dan selama ada gejala vasospasme, tekanan darah sistolik akan meningkat sampai 200 hingga 220 mmHg. Selain vasopasme dan perdarahan ulang, komplikasi lain yang dapat terjadi adalah hidrosefalus, hiponatremia, hiperglikemia dan epilepsi (Setyopranoto, 2012).



BAB II WOC (WEB OF CAUSATION)



BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN A. Pengkajian Keperawatan 1. Identitas klien Meliputi : nama, umur, jenis kelamin, status, suku, agama, alamat, pendidikan, diagnosa medis, tanggal MRS, dan tanggal pengkajian diambil. 2. Keluhan utama Keluhan yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi, dan penurunan tingkat kesadaran. 3. Riwayat penyakit sekarang Serangan stroke hemoragik sering kali berlangsung sangat mendadak, pada saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan kejang sampai tidak sadar, disamping gejala kelumpuhan separoh badan atau gangguan fungsi otak yang lain. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran disebabkan perubahan di dalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi latergi, tidak responsif, dan koma. 4. Riwayat penyakit dahulu Adanya riwayat hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat – obat antib koagulan, aspirin, vasodilator, obat – obat adiktif, kegemukan. Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti pemakaian antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta, dan lainnya. Adanya riwayat merokok, penggunaan alkohol dan penggunaan obat kontrasepsi oral. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya. 5. Riwayat penyakit keluarga Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes melitus, atau adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu. 6. Data Bio-Psiko-Sosial-Spiritual a. Bernafas Pasien dapat mengalami sesak, pola nafas tidak efektif.



b. Nutrisi Mengalami kelemahan otot pengunyah sehingga pasien tidak dapat mengunyah makanan keras bahkan dipasang NGT. c. Eliminasi Terjadi kelemahan otot panggul dan springter pada anus sehingga dapat menyebabkan pasien mengalami konstipasi. d. Aktivitas Terjadi gangguan mobilitas akibat hemiparesis pada satu sisi anggota gerak. Disarankan bed rest total. e. Istirahat Pasien istirahat dengan normal. f. Pengaturan Suhu Suhu tubuh pasien biasanya dalam batas normal. g. Kebersihan/Hygiene Pasien tidak dapat melakukan personal hygiene secara mandiri akibat kelemahan yang dialami. h. Rasa aman Pasien dan keluarga biasanya merasa khawatir terhadap perubahan yang terjadi seperti keemahan anggota gerak, gangguan berbicara dll. i. Rasa Nyaman Kadang pasien akan mengalami nyeri hebat pada bagian kepala yang mengakibatkan pasien tidak nyaman serta merasa kepala berputar. j. Sosial Terjadi gangguan pada pasien saat berkomunikasi pada orang disekitarnya. k. Pengetahuan/Belajar Kebanyakan pasien tidak mengetahui penyakit yang dialaminya serta apa pemicu munculnya stroke tersebut. l. Rekreasi Pasien tidak dapat bangun dari tempat tidur atau pun keluar rumah karena disarankan bed rest total. m. Spiritual Pasien mungkin tidak dapat melakukan aktivitas spiritual seperti biasa karena hambatan mobilitas fisik atau pun penurunan kesadaran.



7. Pemeriksaan fisik a. Keadaan umum Melangalami penurunan kesadaran, suara bicara : kadang mengalami gangguan yaitu sukar dimengerti, kadang tidak bisa bicara/ afaksia. Tanda – tanda vital : TD meningkat, nadi bervariasi. b. Sistem integument Tidak tampak ikterus, permukaan kulit kering, tekstur kasar, perubahan warna kulit; muka tampak pucat. c. Kepala Normo cephalic, simetris, biasanya terdapat nyeri kepala/sakit kepala. d. Muka Asimetris, otot muka dan rahang kekuatan lemah. e. Mata Alis mata, kelopak mata normal, konjuktiva anemis (+/+), pupil isokor, sclera ikterus (-/-), reflek cahaya positif. Tajam penglihatan tidak dapat dievalusai,mata tampak cowong. f. Telinga Secret, serumen, benda asing, membran timpani dalam batas normal. g. Hidung Deformitas, mukosa, secret, bau, obstruksi tidak ada, pernafasan cuping hidung tidak ada. h. Mulut dan faring Biasanya terpasang NGT. i. Leher Simetris, kaku kuduk, tidak ada benjolan limphe nodul. j. Thoraks Gerakan dada simetris, retraksi supra sternal (-), retraksi intercoste (-), perkusi resonan, rhonchi -/- pada basal paru, wheezing -/-, vocal fremitus tidak teridentifikasi. k. Jantung Batas jantung kiri ics 2 sternal kiri dan ics 4 sternal kiri, batas kanan ics 2 sternal kanan dan ics 5 mid axilla kanan.perkusi dullness. Bunyi S1 dan S2 tunggal; dalam batas normal, gallop(-), mumur (-). capillary refill 2 detik .



l. Abdomen Terjadi distensi abdomen, Bising usus menurun. m. Genitalia-Anus Pembengkakan pembuluh limfe tidak ada., tidak ada hemoroid, terpasang kateter. n. Ekstremitas Akral hangat, kaji edema , kaji kekuatan otot , gerak yang tidak disadari , atropi atau tidak, capillary refill, perifer tampak pucat atau tidak.



B. Diagnosa Keperawatan Diagnosa yang muncul pada pasien penyakit subarachnoid hemorrhage (SAH) yaitu (SDKI,2017) : 1. Gangguan Sirkulasi Spontan b/d Perdarahan Intrakranial 2. Penurunan curah jantung b/d perubahan afterload 3. Gangguan Rasa Nyaman b/d Gejala Penyakit 4. Gangguan Mobilitas Fisik b/d program pembatasan gerak C. Intervensi Keperawatan 1. Gangguan Sirkulasi Spontan b/d perdarahan intrakranial Tujuan dan Kriteria Hasil Setelah dilakukan tindakan keperawatan, sirkulasi spontan meningkat Dengan kriteria hasil: - Frekuensi nafas dari meningkat jadi menurun - Frekuensi nadi dari meningkat jadi menurun INTERVENSI Pengontrolan perdarahan Observasi - Monitor tekanan darah - Monitor intake dan output cairan Terapeutik - Posisikan pasien semi-fowler atau fowler - Berikan program pembatasan gerak - Berikan terapi oksigen



Edukasi - Anjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi Kolaborasi - Kolaborasi dalam pemberian obat anti perdarahan 2. Penurunan curah jantung b/d perubahan afterload Tujuan dan Kriteria Hasil: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, curah jantung meningkat Dengan kriteria hasil: - Kekuatan nadi perifer dari menurun jadi meningkat - Keluhan lelah dari meningkat jadi menurun - Tekanan Distol dari memburuk jadi membaik - Tekanan Sistol dari memburuk jadi membaik INTERVENSI Perawatan Jantung Observasi - Monitor tekanan darah - Monitor intake dan output cairan - Monitor EKG 12 sadapan Terapeutik - Posisikan pasien semi-fowler atau fowler - Berikan diet rendah garam - Berikan terapi oksigen Edukasi - Anjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi Kolaborasi - Kolaborasi dalam pemberian obat antihipertensi 3. Gangguan Rasa Nyaman b/d Gejala Penyakit Tujuan dan kriteria hasil: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, status kenyamanan meningkat Dengan kriteria hasil: - Keluhan tidak nyaman dari meningkat jadi menururn - Keluhan merintih dari meningkat jadi menurun INTERVENSI Manajemen Nyeri



Obeservasi - Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas nyeri - Identifikasi skala nyeri - Identifikasi nyeri non verbal Terapeutik - Berikan teknik nnfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri Edukasi - Jelaskan strategi meredakan nyeri - Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri Kolaborasi - Kolaborasi dalam pemberian analgetik 4. Gangguan Mobilitas Fisik b/d program pembatasan gerak Setelah dilakukan tindakan keperawatan, toleransi meningkat Dengan kriteria Hasil: - Frekuensi nadi dari menurun jadi meningkat - Keluhan lelah dari meningkat jadi menurun - Risiko Jatuh dari meningkat jadi menurun INTERVENSI Pencegahan Jatuh Observasi -



Kaji tingkat risiko jatuh



-



Monitor tingkat toleransi aktivitas



Terapeutik -



Berikan lingkungan yang aman



-



Berikan pagar pembatas pada tempat tidur



-



Fasilitasi pasien menjalani latihan fisik



Edukasi -



Jelaskan rangkaian fase rehabiltasi jantung



-



Anjurkan menjalani aktivitas sesuai toleransi



-



Anjurkan pasien dan keluarga untuk modifikasi faktor risiko



DAFTAR PUSTAKA Baehr M, & Frotcsher M. 2012. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala. 4th ed. Jakarta : EGC. Becske T. 2017. Subarachnoid Hemorrhage Treatment & Management. Medscape Reference Drugs, Disease & Procedures. Diakses pada tanggal 08 April 2018 dari https://e medicine.medscape.com/article/1164341-treatment. Ganesen, S.S. 2016. Skripsi: Studi Penggunaan Nimodipin Pada Pasien Stroke Pendarahan Subarakhnoid Non Traumatik Berdasarkan Gambaran Angiografi Serebral. Surabaya : Fakultas Farmasi Universitas Airlangga. Diakses pada tanggal 08 April 2018 dari http://repository.unair.ac.id/54716/13/FF.FK.%2017-16%20Gan%20s-min.pdf. Perdossi. 2011. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta : UGM. Setyopranoto, Ismail. 2012. Penatalaksanaan Subarakhnoid. CDK-199 vol. 39 no.11. Diakses pada



tanggal



07



April



2018



dari



http://www.kalbemed.com/Portals/6/05_199



Penatalaksanaan%20 perdarahan%20subaraknoid.pdf.



Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standan Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator Diagnostik. Edisi 1, Cetakan III. Jakarta : DPP PPNI Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi Dan Tindakan Keperawatan. Edisi 1, Cetakan II. Jakarta : DPP PPNI Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi Dan Kriteria Hasil Keperawatan. Edisi 1, Cetakan II. Jakarta : DPP PPNI