SAH Referat [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT SUBARACHNOID HEMORRHAGE



i



DAFTAR ISI



HALAMAN SAMPUL ........................................................................................... i HALAMAN JUDUL .............................................................................................. ii DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR.............................................................................................iv DAFTAR TABEL...................................................................................................v BAB 1. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 3 2.1



Sistim Serebrovaskular ............................................................................. 3



2.2



Subarachnoid Hemorrhage........................................................................ 5



2.2.1 Definisi ................................................................................................. 5 2.2.2 Epidemiologi......................................................................................... 6 2.2.3 Patofisiologi .......................................................................................... 7 2.2.4 Etiologi ................................................................................................. 7 2.2.5 Faktor Resiko ........................................................................................ 8 2.2.6 Manifestasi Klinis ................................................................................. 8 2.2.7 Pemeriksaan Penunjang....................................................................... . 9 2.2.8 Komplikasi..........................................................................................13 2.2.9 Terapi……………...............................................................................15 BAB 3. KESIMPULAN ....................................................................................... 19 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 20



ii



DAFTAR GAMBAR



Gambar 2.1 Sistim Serbrovaskular .......................................................................... 4 Gambar 2.2 Perdarahan Subarachnoid .................................................................... 6 Gambar 2.3 Hasil CT-Scan SAH........................................................................... 10 Gambar 2.4 Gambaran Hasil Angiografi DSA ...................................................... 12 Gambar 2.5 Vasospasme Serebral ......................................................................... 13 Gambar 2.6 Patofisiologi Vasospasme Serebral.................................................... 14



iii



DAFTAR TABEL



Tabel 2.1 Skor Fisher Grading. ............................................................................. 10 Tabel 2.2 Skor Grading Skales .............................................................................. 11



iv



BAB 1. PENDAHULUAN



Perdarahan subarakhnoid adalah salah satu kedaruratan neurologis yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah di ruang subarakhnoid. Perdarahan subarakhnoid merupakan salah satu jenis patologi stroke yang sering dijumpai pada usia dekade kelima atau keenam, dengan puncak insidens pada usia sekitar 55 tahun untuk laki-laki dan 60 tahun untuk perempuan, lebih sering dijumpai pada perempuan dengan rasio 3:2 (Setyopranoto, 2012). Kejadian perdarahan subaraknoid berkisar antara 21.000 hingga 33.000 orang per tahun di Amerika Serikat (Suarez et al., 2006). Mortalitasnya kurang lebih 50% pada 30 hari pertama sejak saat serangan, dan pasien yang bisa bertahan hidup kebanyakan akan menderita defisit neurologis yang bisa menetap (Ingall et al., 2000; Rasmussen et al., 2004). Perdarahan subarachnoid diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu traumatic subarachnoid hemorrhages dan spontaneous subarachnoid hemorrhages (Baehr et al., 2010). Traumatic subarachnoid dapat juga menyebabkan kerusakan otak yang diakibatkan oleh karena kecelakaan, sedangkan spontaneous subaracnoid hemoragik paling sering disebabkan rupture aneurisma serebral, yaitu sekitar 70% hingga 80% dan malformasi arteriovenosa sekitar 5-1-%. Aneurisma sakuler biasanya terbentuk di titik-titik percabangan arteri dan tempat terdapatnya tekanan pulsasi maksimal. Risiko pecahnya aneurisma tergantung pada lokasi, ukuran, dan ketebalan dinding Aneurisma. Aneurisma dengan diameter kurang dari 7 mm pada sirkulasi serebral anterior mempunyai risiko pecah terendah, risiko lebih tinggi terjadi pada aneurisma di sirkulasi serebral posterior dan akan meningkat sesuai besarnya ukuran aneurisma (Setyopranoto, 2012). Faktor risiko yang konsisten untuk SAH ialah hipertensi, merokok, alcohol, dan pemakaian obat-obatan simpatomimetik misalnya amphetamine dan cocaine (Manno, 2004; Singh, 2012). Manifestasi klinis yang sering pada pasien SAH ialah nyeri kepala hebat mendadak, hilangnya kesadaran, fotofobia, meningismus, mual, dan muntah (Perdossi, 2011). Komplikasi tersering dari perdarahan subarachnoid ialah hipertensi, vasospasm, dan hidrosefalus (Mumenthaler, 2004). Tujuan penatalakasanaan awal dari SAH ialah identifikasi sumber perdarahan dengan intervensi pembedahan atau tindakan intravascular



1



lain (Setyopranoto, 2012). Tujuan selanjutnya ialah pencegahan perdarahan ulang, pencegahan dan pengendalian vasospasme, serta manajemen komplikasi medis dan neurologis lainnya (Becske, 2014).



2



BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Sistim Serebrovaskular Aliran darah otak, adalah suplai darah ke otak dalam waktu tertentu. Jumlah aliran darah ke otak biasanya dinyatakan dalam cc/menit/100 gram jaringan otak. Pada orang dewasa, normal CBF adalah 750 cc/menit atau 15% dari curah jantung. Hal ini sama dengan 50 – 54 cc darah per 100 gram jaringan otak/menit. Aliran darah otak diatur untuk memenuhi tuntutan metabolisme otak. Terlalu banyak darah (hiperemia) dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (intracranial pressure / ICP), yang dapat menekan dan merusak jaringan otak. Terlalu sedikit darah yang mengalir (iskemik) bila aliran darah ke otak di bawah 18 – 20 cc/100 gram jaringan otak/menit, dan kematian jaringan terjadi jika aliran darah di bawah 8 – 10 cc/100 gram jaringan otak/menit. Dalam jaringan otak, kaskade biokimia yang dikenal sebagai kaskade iskemik dipicu saat jaringan menjadi iskemik, yang berpotensi mengakibatkan kerusakan dan kematian sel-sel otak (Modul Neurovaskular PERDOSSI, 2009). Aliran darah ke otak ditentukan oleh sejumlah faktor, seperti viskositas darah, dilatasi pembuluh darah, dan tekanan aliran darah ke otak, yang dikenal sebagai tekanan perfusi serebral, yang ditentukan oleh tekanan darah tubuh. Pembuluh darah serebral mampu mengubah aliran darah dengan mengubah diameter pembuluh darah yang disebut autoregulasi, yaitu pembuluh darah berkonstriksi ketika tekanan darah sistemik meningkat dan berdilatasi bila tekanan darah sistemik diturunkan. Arteriol juga berkonstriksi dan berdilatasi terhadap konsentrasi kimia yang berbeda. Sebagai contoh, pembuluh darah berdilatasi bila kadar karbondioksida lebih tinggi dalam darah (Modul Neurovaskular PERDOSSI, 2009). Cerebral Blood Flow tergantung pada nilai tekanan perfusi serebral (Cerebral Perfusion Pressure / CPP) dan resistensi serebrovaskular (Cerebrovascular Resistance/CVR): CBF =



CPP MABP − ICP = CVY CVR



3



Komponen CPP ditentukan oleh tekanan darah sistematik (Mean Arterial Blood Pressure / MABP) dikurangi dengan ICP, sedangkan komponen CVR ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu: 1. Tonus pembuluh darah otak 2. Struktur dinding pembuluh darah 3. Viskositas darah yang melewati pembuluh darah otak



Gambar 2.1. Sistim Serebrovaskular



Sirkulasi darah ke otak ada sirkulasi anterior dan sirkulasi posterior. Sirkulasi anterior adalah arteri karotis komunis dengan cabang distalnya yaitu arteri karotis internal, arteri serebri media dan arteri serebri anterior. Sirkulasi posterior adalah arteri vertebrobasilar yang berasal dari arteri vertebralis kanan dan kiri dan kemudian bersatu menjadi arteri basilaris dan seluruh percabangannya termasuk cabang akhirnya yaitu arteri serebri posterior kanan dan kiri (Gambar 1) (Modul Neurovaskular PERDOSSI, 2009). Ada tiga sirkulasi yang membentuk sirkulus Willisi di otak. Ketiga sirkulasi tersebut adalah: 1) sirkulasi anterior terdiri dari arteri serebri media, arteri serebri anterior dan arteri komunikans anterior yang menghubungkan kedua arteri serebri anterior, 2) sirkulasi posterior yang terdiri dari arteri serebri posterior, dan 3) arteri komunikans posterior yang menghubungkan arteri serebri media dengan arteri serebri posterior. Kegunaan dari sirkulus



4



Willisi ini adalah untuk proteksi terjaminnya pasokan darah ke otak, apabila terjadi sumbatan di salah satu cabang. Contohnya bila terjadi sumbatan parsial pada proksimal dari arteri serebri anterior kanan, maka arteri serebri kanan ini akan menerima darah dari arteri karotis komunis lewat arteri serebri anterior kiri dan arteri komunikans anterior (Modul Neurovaskular PERDOSSI, 2009). Arteri serebri anterior memperdarahi daerah medial hemisfer serebri, lobus frontal bagian superior dan lobus parietal bagian superior. Arteri serebri media memperdarahi daerah frontal inferior, parietal inferolateral dan lobus temporal bagian lateral. Arteri serebri posterior memperdarahi lobus oksipital dan lobus temporal bagian medial (Modul Neurovaskular PERDOSSI, 2009). Batang otak diperdarahi secara eksklusif dari sirkulasi posterior. Medula oblongata menerima darah dari arteri vertebralis melalui arteri perforating medial dan lateral, sedangkan pons dan midbrain (mesensefalon) menerima darah dari arteri basilaris lewat cabangnya yaitu arteri perforating lateral dan medial (Modul Neurovaskular PERDOSSI, 2009). Serebelum mendapat darah dari tiga pembuluh darah serebelar, yaitu : 1) arteri serebelar posterior inferior (Posterior Inferior Cerebellar Artery / PICA) yang merupakan akhir dari cabang arteri vertebralis, 2) arteri serebelar anterior inferior (Anterior Inferior Cerebellar Artery / AICA) yang merupakan cabang pertama dari arteri basilaris, dan 3) arteri serebelar superior (Superior Cerebellar Artery / SCA) yang merupakan cabang akhir dari arteri basilaris (Modul Neurovaskular PERDOSSI, 2009). Basal ganglia diperdarahi oleh arteri lentikulostriata kecil percabangan dari arteri serebri media. Talamus diperdarahi oleh arteri perforating thalamogeniculata yang merupakan cabang dari arteri serebri posterior. Genu kapsula internal diperdarahi oleh arteri lenticulostriata anteromedial atau disebut juga rekuren arteri Heubneur (Modul Neurovaskular PERDOSSI, 2009). 2.2 Subarachnoid Hemorrhage 2.2.1 Definisi Perdarahan subarakhnoid (PSA) merupakan perdarahan arteri di ruang antara dua meningen yaitu piameter dan arakhnoidea. Sekitar 85% PSA berasal dari pecahnya aneurisma sakuler yang terjadi di dalam pembuluh darah pada bagian dasar otak yang



5



utamanya berada didaerah “Circle of Willis”. “Circle of Willis” terdiri dari bagian anterior dan posterior serta berbentuk simetris terhadap bidang sagital. Bagian anterior terdiri dari arteri serebral anterior yang berhubungan dengan arteri pada saluran utama anterior dan arteri karotid internal. Delapan puluh lima persen aneurisma pecah pada bagian anterior. Lima belas persen aneurisma pecah pada bagian arteri yang berhubungan dengan posterior dan berpasangan dengan arteri serebral posterior dari ujung bifurkasi arteri basilar (Lemonick, 2010). PSA aneurisma biasanya ditandai dengan nyeri hebat di kepala seperti “terserang petir”. Aneurisma yang pecah pada pasien PSA membuat penurunan kesadaran sementara yang disebabkan oleh lonjakan akut tekanan intrakranial dan penurunan tekanan perfusi serebral, atau dari vasokonstriksi difusi akut arteri serebral. Pendarahan intrakranial yang berlangsung lama dapat mengurangi aliran sirkulasi intrakranial dan menyebabkan edema serebral global serta hipertensi intrakranial refrakter bahkan kematian (Lemonick, 2012).



Gambar 2.2 Pendarahan Subarakhnoid 2.2.2 Epidemiologi Perdarahan subarakhnoid merupakan salah satu jenis patologi stroke yang sering dijumpai pada usia dekade kelima atau keenam, dengan puncak insidens pada usia sekitar 55 tahun untuk laki-laki dan 60 tahun untuk perempuan, lebih sering dijumpai pada perempuan dengan rasio 3:2 (Setyopranoto, 2012). Kejadian perdarahan subaraknoid berkisar antara 21.000 hingga 33.000 orang per tahun di Amerika Serikat (Suarez et al., 2006). Mortalitasnya kurang lebih 50% pada 30 hari pertama sejak saat serangan, dan pasien yang bisa bertahan



6



hidup kebanyakan akan menderita defisit neurologis yang bisa menetap (Ingall et al., 2000; Rasmussen et al., 2004). 2.2.3 Patofisiologi a. Pendarahan Subarakhnoid Traumatik Perdarahan subarakhnoid traumatik terjadi hasil dari cedera kepala. Namun, perdarahan karena cedera kepala menyebabkan gejala yang berbeda dan tidak dianggap sebagai stroke. Perdarahan subarakhnoid dianggap stroke hanya jika terjadi secara spontan yaitu, ketika perdarahan tidak hasil dari faktor-faktor eksternal, seperti kecelakaan atau jatuh (Vergouwen et al, 2006). b. Pendarahan Spontan Non Traumatik Sebuah perdarahan spontan biasanya hasil dari pecahnya aneurisma mendadak di sebuah arteri otak, yaitu pada bagian aneurisma yang menonjol di daerah yang lemah dari dinding arteri itu. Aneurisma biasanya terjadi di percabangan arteri. Aneurisma dapat muncul pada saat kelahiran (bawaan), atau dapat berkembang kemudian, yaitu setelah bertahun-tahun dimana tekanan darah tinggi melemahkan dinding arteri. Kebanyakan perdarahan subarakhnoid adalah hasil dari aneurisma kongenita (Setyopranoto, 2012). Sedangkan spontan subarakhnoid hemoragik disebabkan oleh karena ruptur aneurisma atau abnormalitas pembuluh darah pada otak (Dalbjerg et al, 2013). Mekanisme lain yang kurang umum adalah perdarahan subarakhnoid dari pecahnya koneksi abnormal antara arteri dan vena (malformasi arteri) di dalam atau di sekitar otak. Sebuah malformasi arteri dapat muncul pada saat kelahiran,tetapi biasanya hanya diidentifikasi jika gejala berkembang. Jarang sekali suatu bentuk bekuan darah pada katup jantung yang terinfeksi, perjalanan (menjadi emboli) ke arteri yang memasuk otak, dan menyebabkan arteri menjadi meradang. arteri kemudian dapat melemah dan pecah (Harsono, 2009). 2.2.4 Etiologi Penyebab paling sering pada perdarahan subarakhnoid ialah ruptur aneurisma serebral, yaitu sekitar 70% hingga 80%, dan malformasi arteriovenosa sekitar 5-10%. Risiko pecahnya aneurisma tergantung pada lokasi, ukuran, dan ketebalan dinding aneurisma. Aneurisma dengan diameter kurang dari 7 mm pada sirkulasi serebral anterior mempunyai risiko pecah terendah dan risiko lebih tinggi terjadi pada aneurisma di sirkulasi serebral posterior dan akan



7



meningkat sesuai besarnya ukuran aneurisma. Kebanyakan PSA terjadi karena perdarahan intraserebral primer (hipertensif), 10 % pada pendarahan primesensefalik, tumor susunan saraf pusat, trauma dan cedera iatrogenic selama pembedahan (Setyopranoto, 2012). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kelainan perdarahan seperti leukemia,vaskulitis, anemia aplastik, ITP, gangguan fungsi hati, komplikasi obat trombolitik atau anti koagulan, hipofibrinogenemia, diseksi arterial dan hemophilia dapat memicu terjadinya SAH. Obat vasopressor, kokain, herpes simpleks ensefalitis, diseksi arteri vertebral, dan acute necrotizing haemorrhagic encephalitis terdiri dari salah satu penyebab terjadi SAH (Warlow, 2007). 2.2.5 Faktor Resiko Faktor resiko stroke adalah kondisi atau penyakit atau kelainan yang terdapat pada seseorang yang memiliki potensi untuk memudahkan orang mengalami serangan stroke pada suatu saat. Fartor resiko PSA secara umum dibagi menjadi dua jenis, yaitu faktor resiko yang tidak dapat dikendalikan atau dimodifikasi dan faktor resiko yang dapat dikendalikan (Setyopranoto, 2012). Faktor resiko yang tidak dapat dikendalikan adalah riwayat keluarga pendarahan subrarakhnoid atau aneurisma, riwayat pernah menderita perdarahan subarakhnoid, penderita atau riwayat keluarga menderita polikistik renal atau penyakit jaringan ikat (sindrom Ehlers Danlos, sindrom Marfan dan Pseudoxanthoma Elasticum). Sedangkan faktor resiko yang dapat dikendalikan adalah hipertensi, konsumsi alkohol, perokok (masih atau riwayat), body mass index rendah, bekerja keras terlalu ekstrim pada 2 jam sebelum onset ,konsumsi kokain dan narkoba jenis lainnya (Warlow, 2007). 2.2.6 Manifestasi Klinis Gambaran klinis dari perdarahan subarakhnoid sangat bervariasi mulai dari hampir asimptomatis hingga menyebabkan kematian secara mendadak. Hal ini dipercayai menyebabkan terjadinya misdiagnosis dengan konsekuensi pada keterlambatan penanganan (Harsono, 2009). Sakit kepala adalah gejala yang paling utama dan 74% dari pasien mengalami sakit kepala yang berat diikuti dengan 77% mual dan muntah, 54% hilang kesadaran dan 35% nuchal rigidty. Dua pertiga pasien saat masuk rumah sakit dengan penurunan kesadaran, dan setengah dari mereka dalam keadaan koma. Lokasi utama kesakitan pada kepala terletak di regio nuchal-occipital dan intensitas parah tergantung pada



8



kecepatan mencapai intensitas maksimum dan extravasasi pendarahan (Wijdicks et al, 2005). Nuchal rigidty yaitu peningkatan resistensi terhadap fleksi atau ekstensi pasif leher, adalah tanda klinis iritasi meningeal akibat ekstravasasi darah di ruang subarakhnoidal. Tanda- tanda lain dari iritasi meningeal termasuk tanda Lasegue positif atau tanda-tanda Kernig dan Brudziski. Tanda-tanda meningeal akan muncul dalam 3-12 jam dan kadangkala tanda-tanda ini tidak muncul dalam kasus koma atau ketika ekstravasasi darah minimal. Dengan demikian, tidak adanya gejala nuchal rigidty tidak



dapat dikecualikan dari diagnosa



pendarahan subarakhnoid (Kuramatsu dan Hutter, 2014). Gejala seterusnya adalah kejang yang terjadi sekitar 7% dari semua pasien. Pendarahan ulang dan adanya hidrosefalus merupakan faktor resiko utama untuk gejala kejang awal manakala vasospasme dengan iskemia kortikal, perdarahan intraparenkimal dan pembedahan saraf merupakan faktor risiko untuk kejang onset lambat. Sekitar 14% pasien biasanya ada pendarahan intraocular yaitu peningkatan mendadak dalam tekanan intrakranial dapat menyebabkan oklusi vena retina sentral dengan ektravasasi darah preretinal (subhyaloidal). Defisit neurologis fokal mungkin terjadi dalam kasus pendarahan intraparenkimal yang lama dan menyebabkan kompresi saraf kranial atau lesi iskemik disebabkan vasospasme segera (Gijn dan Rinkel, 2001). 2.2.7 Pemeriksaan Penunjang a. Computed Tomography (CT) dan CT Angiography Scan. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan lokasi pendarahan yang terekstravasasi di ruang subarakhnoid dengan sensitivitas yang tergantung pada jumlah perdarahan serta waktu interval setelah munculnya gejala (Wijdicks, 2005). CT scan dikatakan positif dalam 98100% kasus jika dilakukan dalam waktu 12 jam, persentase ini menurun menjadi 93% pada 24 jam dan 50% satu minggu setelah onset gejala. Pola khas pada darah yang tersebar dapat memberikan petunjuk awal lokasi aneurisma pecah dan prediksi jumlah darah untuk delayed infraksi. Terdapat beberapa parameter kuantitatif untuk memprediksi outcome dapat dijadikan panduan intervensi atau menjelaskan prognosis delayed cerebral infraction (DCI) (Vergouwen et al, 2010). Misalnya skala Fisher dan skala Hess & Hunt digunakan untuk mengklasifikasikan perdarahan subarakhnoid berdasarkan munculnya pendarahan di kepala pada pemeriksaan CT scan. Selain itu, CT scan dapat membuktikan pendarahan



9



intaparenkimal atau pendarahan intraventrikular yang lama, hidrosefalus, edema serebral atau lesi iskemik akibat vasospasme (Kuramatsu dan Hutter, 2014).



Gambar 2.3 Hasil Ct scan kepala menunjukkan SAH(Wijdicks, 2005)



Table 2.1 Skor Fisher Grading dan modifikasi skor Fisher grading dan resiko DCI (Kuramatsu dan Hutter, 2014). Grade I



Hunt & Hess



WFNS



Asimptomatik, atau nyeri GCS=15, tidak kepala minimal



II



Nyeri



ada defisit motor kepala



sedang/berat,



GSC=13-14,



Nuchal tidak ada defisit



rigidity, tidak ada defisit motor neurologis,



kecuali



parese nervi kraniales III



Mengantuk, bingung,



GSC=13-14, ada



defisit neurologis fokal



defisit motor



sedang IV



Stupor,



hemiparesis



GSC=7-12, tidak



sedang/ berat, mungkin



/



terjadi



motor



rigiditas



ada



defisit



deserebrasi dini V



Koma dalam, rigiditas



GSC=3-6, tidak /



deserebrasi, munculnya



ada defisit motor



tanda-tanda end state



10



Table 2.2 Skala grading skales pada pasien SAH (Kuramatsu dan Hutter,2014) Skor Grade



Grading



Fisher



0



Modifikasi Skor



Resiko



Grading Fisher



DCI



Tidak ada PSA



Minimal



atau IVH 1



Tidak terdeteksi



Minimal/



tipis resiko



adanya darah



PSA, tidak ada rendah IVH pada kedua lateral ventrikel



2



Deposit darah difus Minimal/



tipis Intermediet



atau lapisan vertikal PSA, ada IVH terdapat ukuran



darah pada 1 mm 4



Terdapat jendalan



Tebal PSA, ada resiko tinggi



pada intraserebral



IVH pada kedua



atau



lateral ventrikel



intraventrikuler secara difus atau tidak ada darah b. Digital Subtraction Angiography (DSA) Merupakan gold standard untuk deteksi aneurisma serebral, tetapi CTA lebih sering digunakan karena non-invasif serta sensitivitas dan spesifisitasnya lebih tinggi. Metode ini dapat memberikan informasi tentang fitur morfologi aneurisma dan hubungannya dengan



11



arteri lainnya sehingga memungkinkan rencana pengobatan yang lebih baik (Setyopranoto, 2012). Evaluasi teliti terhadap seluruh pembuluh darah harus dilakukan karena sekitar 15% pasien memiliki aneurisma multipel. Foto radiologik yang negatif harus diulang 7-14 hari setelah onset pertama (Hamid et al, 2010). Jika evaluasi kedua tidak memperlihatkan aneurisma, Magnetic Resonance Imaging (MRI) harus dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya malformasi vaskular di otak maupun batang otak (Wijdicks, 2005).



Gambar 2.4 Gambaran hasil angiografi serebral DSA(Hamid, 2010) c. Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Magnetic Resonance Angiografy (MRA) MRI dapat memperbolehkan evaluasi pembuluh darah serebral tanpa media kontras. MRA digunakan untuk mengetahui etiologi dari hemoragik dan untuk mendeteksi DCI dengan difusi dan perfusion weighted imaging (Gijn, 2001). Penggunaan MRI /MRA dalam mendeteksi PSA semakin berkembang tetapi sering terbatas karena ketersediaan alat, logistik, membutuhkan kerjasama pasien, kebutuhan waktu dan biaya (Hamid, 2010). d. Lumbar Puncture Jika hasil pemeriksaan CT scan kepala negatif, langkah diagnostik selanjutnya adalah lumbar puncture. Pemeriksaan lumbar puncture sangat penting untuk menyingkirkan diagnosis banding. Tes Cerebrospinal fluid (CSF) dilakukan untuk mendeteksi xantokromia yang merupakan warna kuning, hasil degradasi produk eritrosit terutama oksihemoglobin dan bilirubin. Tes CSF yang paling informatif diperoleh dalam waktu 6-12 jam setelah onset gejala dan sebaiknya 12 jam untuk mendeteksi bilirubin yang hanya akan terbentuk secara in vivo dan jika interval waktu lama, dicari eritrosit yang akan terdeteksi setelah beberapa bulan dari PSA. Selain itu, diagnosis CSF yang mendukung PSA adalah peningkatan tekanan saat pembukaan yang dapat mengdiagnosis dari Central Vein Thrombosis (CVT) dan kultur CSF (Kuramatsu dan Hutter, 2014). 12



2.2.8 Komplikasi 1. Vasospasme Serebral Vasospasme serebral merupakan suatu penyempitan pembuluh arteri serebral yang berkepanjanganan, kadang berat, namun bersifat reversible, yang terjadi beberapa hari setelah PSA. Vasospasme serebral merupakan komplikasi yang mayor yang berlanjut sehingga terjadi kematian dan kecacatan dalam PSA. Vasospasme terjadi pada hari ke 3 hingga 4 setelah hemoragik, puncak setelah satu mimggu dan umunnya sembuh setelah 2 atau 3 minggu (Archavlis et al, 2013 ). Terdapat dua jenis vasospasme yaitu vasospasme angiografi dan vasospasme klinis. Vasospasme angiografi merupakan penyempitan arteri yang pada imaging vascular yang mulai terjadi beberapa hari setelah PSA dan mencapai puncak keparahan setelah 1 minggu. Vasospasme klinis merupakan iskemi serebral beserta tanda dan gejala yang disebabkan oleh penyempitan arteri dan disebut sebagai “delayed ischemic neurological deficits” (Kuramatsu dan Hutter, 2014).



Gambar 2.5 Vasospasme serebral (Zuccarello et al, 2013) Patofisiologi vasospasme serebral ialah sebagai berikut. a.



Kontraksi otot polos



Vasospasme merupakan konstriksi otot polos arteri yang berkepanjangan. Pada PSA eritrosit diruang subarakhnoid akan mengalami lisis dan melepaskan oxyhemoglobin serta by product dari sel darah merah.Ini akan memicu pelepasan dan kemasukan kalsium ke otot polos serta mengubah fungsi miosit yang menyebabkan kontraksi berpanjangan pada otot polos. Vasokonstriksi ini tidak hanya dihubungkan dengan gangguan pada fungsi pembuluh darah, namun pada kerusakan ultrastuktur dinding pembuluh darah, termasuk vakuolisasi sel endothel, dan kerusakan lamina elastika interna dan tunika medika (Kuramatsu dan Hutter,



13



2014). b.



Kerusakan endotel



Nitric oxide dan Endothelin -1 Autooksidasi oxyhemoglobin



dari



PSA



membentuk



methemoglobin (by product) dan radikal anion superoxide yang akan menjadi lipid peroxidation. Radikal hydroxyl dan lipid peroxide yang berbahaya ini akan melewati dinding vaskular dan merusakan sel endotel dan otot polos (Archavlis et al, 2013). Kerusakan endotel diduga sebagai kunci terjadinya vasospasme, melalui hilangnya sintesis nitric acid (NO) yang merupakan vasodilator atau melalui overproduksi endothelin yang merupakan vasokonstriktor kuat (Suhardja, 2004).



Gambar 2.6 Patofisiologi vasospasme serebral (Suhardja, 2004) 2. Hidrosefalus Pendarahan dalam sistem ventrikel dapat menyebabkan perubahan dalam sirkulasi cairan serebro spinal (CSF) menyebabkan hidrosefalus akut. Sirkulasi CSF normal terhambat karena gumpalan darah tebal di basal cisterns atau arachnoid villi. Hidrosefalus akut setelah PSA adalah pertimbangan yang diperlukan pada pasien dengan gangguan kesadaran dengan kriteria CT scan hadir pada 20% pasien. Presentasi klinis diwakili oleh penurunan progresif dalam kesadaran dengan kemungkinan defisit neurologis fokal yang terjadi (Harsono, 2009). 3. Pendarahan ulang Merupakan komplikasi yang serius tetapi dapat dirawat dan dicegah pada pasien PSA. Pendarahan ulang terjadi dalam waktu 24 jam pertama pada sekitar 15%, 13,6% 2 jam setelah ictus dari pasien PSA dengan risiko kumulatif 40% pada bulan pertama dan kejadian 3% per tahun setelah enam bulan. Pendarahan ulang terkait dengan prognosis yang buruk yaitu mortalitas dan kecacatan dapat mencapai sehingga 80% (Kuramatsu dan Hutter, 2014).



14



4. Delayed Cerebral Infraction (DCI) Salah satu komplikasi yang paling ditakuti adalah DCI yang terjadi pada 30% pasien initial hemoragik dan sebagian besar terjadi antara hari 4 dan 10. Gambaran klinis DCI terdiri dari tanda-tanda neurologis fokal, seperti aphasia dan hemiparesis, atau penurunan tingkat kesadaran secara bertahap dan berfluktuasi. Tanda-tanda DCI kadang kala reversibel namun dapat berkembang menjadi infark serebral yang dapat menyebabkan kecacatan berat atau mengakibatkan kematian (Harsono, 2009). 2.2.9 Terapi Terapi medik stroke merupakan intervensi medik dengan tujuan mencegah meluasnya proses sekunder dengan penyelamatan neuron-neuron di daerah penumbra serta merestorasikan fungsi neurologis yang hilang (Perdossi, 2009). Pengobatan stroke SAH adalah untuk mencegah terjadi komplikasi akibat pendarahan secara terus-menerus pada ruang subarakhnoid. Manajemen umum yang pertama dalam pengobatan SAH adalah identifikasi sumber pendarahan dengan kemungkinan bisa diintervensi dengan pembedahan atau tindakan intravaskuler lain. Manajemen yang kedua adalah mengatasi komplikasi yang terjadi dari SAH (Setyopranoto, 2012). Sebelum pengobatan awal SAH dimulai, kondisi pasien harus dipastikan stabil, jalan napas harus dijamin aman dan pemantauan invasif terhadap central venous pressure dan/atau pulmonary artery pressure dan juga terhadap tekanan darah arteri harus terus dilakukan. Jika pasien memiliki aspirasi, edema paru neurogenic, GCS rendah perlu intubasi dan ventilasi mekanis disisipkan dirawat di Intensive Care Unit (ICU) untuk pemantauan kondisi hemodinamik (Kuramatsu dan Hutter, 2014). A. Tatalaksana umum PSA menurut Guidelines Perdossi, 2011 1. Tatalaksana pasien PSA derajat I atau II berdasarkan Hunt & Hess (H&H) adalah sebagai berikut : a. Identifikasi dan atasi nyeri kepala sedini mungkin b. Tirah baring total dengan posisi kepala ditinggikan 30° dan nyaman, bila perlu berikan oksigen 2-3 L/menit c. Hati-hati dalam pemakaian sedatif (kesulitan dalam penilaian tingkat kesadaran). d. Pasang infus diruang gawat darurat, usahakan euvolemia dan monitor



15



ketat system kardiopulmoner dan kelainan neurologi yang timbul. 2. Pasien PSA derajat III, IV atau V berdasarkan H&H, perawatan harus lebih intensif a. Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protokol pasien diruang gawat darurat b. Perawatan sebaiknya dilakukan diruang intensif atau semiintensif c. Untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalan napas yang adekuat perlu dipertimbangkan intubasi endotrakheal dengan hati-hati terutama apabila didapatkan tanda-tanda tekanan tinggi intrakranial d. Hindari pemakaian obat-obatan sedatif yang berlebihan karena akan menyulitkan penilaian status neurologi Manajemen seterusnya adalah mengatasi komplikasi dari PSA yaitu pencegahan perdarahan ulang, pencegahan dan pengendalian vasospasme, serta manajemen komplikasi medis dan neurologis lainnya. B. Pencegahan perdarahan ulang Operasi clipping atau endovascular coiling sangat direkomendasikan untuk mengurangi perdarahan ulang setelah ruptur aneurisma pada PSA. Aneurisma dapat diterapi dengan operasi pembedahan saraf berupa penutupan leher aneurisma dengan metal clip. Dengan demikian, aneurisma terekslusi dari sirkulasi secara permanen, sehingga tidak dapat berdarah lagi. Bentuk terapi ini adalah terapi definitif, tetapi kerugian aadalah terapi ini memerlukan operasi kepala terbuka (kraniotomi) dan manipulasi pembedahan saraf di sekitar dasar otak yang dapat menimbulkan komplikasi lebih lanjut. Pembedahan sebaiknya dilakukan dalam 72 jam pertama setelah perdarahan subarakhnoid, yaitu sebelum periode dengan resiko terbesar terjadinya vasospasme. Pembedahan dini diketahui memperbaiki prognosis pasien dengan PSA grade 1, 2, atau 3 pada Hunt dan Hess. Tindakan ini merupakan bentuk terapi terpenting untuk mencegah perdarahan ulang (Kuramatsu dan Hutter, 2014). Selain itu, bentuk terapi yang lebih tidak invasif adalah mengisi aneurisma dengan metal coils (“coiling”, suatu prosedur yang menjadi bidang neuroradiologi intervensional). Coil dihantarkan dari ujung kateter angiografik khusus, yang dimasukkan secara transfemoral dan didorong hingga mencapai aneurisma. Coiling menghindari perlunya



16



kraniotomi,tetapi mungkin tidak sereliabel obliterasi aneurisma secara permanen. Tindakan endovacular coiling lebih bermanfaat (Perdossi, 2011).



Gambar 2.7 Terapi bedah yang meliputi operasi clipping dan endovascular coiling (Lemonick, 2012). C. Pencegahan dan pengendalian vasospasme Pengobatan vasospasme serebral dimulai dengan penanganan aneurisma yang ruptur, dengan mempertahankan volume darah sirkulasi yang normal (euvolemia) dan menghindari terjadinya hipovolemia. Terutama pada pasien PSA dengan tanda-tanda vasospasme, terapi hiperdinamik yang dikenal dengan triple H (Hypervolemic-Hypertensive-Hemodilution) perlu dipertimbangkan dengan tujuan mempertahankan Cerebral Perfusion Pressure (CPP). Kombinasi ini dimaksudkan untuk meningkatkan cardiac output, CPP, dan hemorheology transport oksigen. Pemberian cairan dapat meningkatkan volume, mengurangi viskositas sehingga peningkatkan oksigen yang sampai ke jaringan, namun hematokrit harus di atas 30 dan konsentrasi Hb harus dipertahankan di atas 9 gr/dl. Pemberian cairan intravaskular lebih lanjut menjadi tidak berguna bila CVP telah mencapai 8 – 10 mmhg atau tekanan kapiler pulmonal antara 14 – 16 mmHg. Dengan demikian, angka kejadian iskemik serebral akibat vasospasme dapat dikurangi hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya perdarahan ulang pada pasien yang tidak dilakukan embolisasi atau clipping. Pada pasien yang gagal dengan terapi konvensional, angioplasti transluminal dianjurkan untuk pengobatan vasospasme (Keyrouz, 2007). D. Cara lain untuk penatalaksanaan vasospasme mengikut Perdossi 2011 1. Pencegahan vasospasme a. Nimodipin 60 mg peroral 4 kali sehari b. NaCl 3% intravena 50 ml 3 kali sehari (hati-hati terhadap timbulnya



17



komplikasi berupa Central Pontine Myelinolisis (CPM) c. Jaga keseimbangan elektrolit 2. Delayed vasospasme a. Hentikan nimodipin, antihipertensi dan diuretika b. Berikan 5% albumin 250 ml intravena c. Bila memungkinkan lakukan pemasangan Swangans dan usahakan wedge pressure 12-14 mmHg d. Jaga cardiac index sekitar 4 L/min/sg.meter e. Berikan dobutamin 2-15 ug/kg/min Nimodipin



18



KESIMPULAN



Perdarahan subarakhnoid merupakan perdarahan arteri di ruang antara dua meningen yaitu piameter dan arakhnoidea. Sekitar 85% PSA berasal dari pecahnya aneurisma sakuler yang terjadi di dalam pembuluh darah pada bagian dasar otak yang utamanya berada didaerah “Circle of Willis”. “Circle of Willis” terdiri dari bagian anterior dan posterior serta berbentuk simetris terhadap bidang sagital. Bagian anterior terdiri dari arteri serebral anterior yang berhubungan dengan arteri pada saluran utama anterior dan arteri karotid internal. Delapan puluh lima persen aneurisma pecah pada bagian anterior. Lima belas persen aneurisma pecah pada bagian arteri yang berhubungan dengan posterior dan berpasangan dengan arteri serebral posterior dari ujung bifurkasi arteri basilar. SAH aneurisma biasanya ditandai dengan nyeri hebat di kepala seperti “ terserang petir ”. Aneurisma yang pecah pada pasien PSA membuat penurunan kesadaran sementara yang disebabkan oleh lonjakan akut tekanan intrakranial dan penurunan tekanan perfusi serebral, atau dari vasokonstriksi difusi akut arteri serebral. Pendarahan intrakranial yang berlangsung lama dapat mengurangi aliran sirkulasi intrakranial dan menyebabkan edema serebral global serta hipertensi intrakranial refrakter bahkan kematian



19



DAFTAR PUSTAKA



Archavlis, Eleftherios., Nievas, Mario Carvi Y., 2013. Cerebral Vasospasm : A Review of Current Developments in Drug Therapy and Research, Journal of Pharmaceutical Technology and Drug Research, Vol.12, p.2-18. Baehr MM, Frotscher. 2010. Diagnosis Topik Neurologi Duus. Jakarta: EGC Becske T. 2014. Subarachnoid Hemorrhage Treatment & Management. New York: Medscape Reference Drugs, Disease & Procedures. Dalbjerg, Sara Maria., Larsen, Carl Christian., Romner, Bertil., 2013. Risk Factors and ShortTerm Outcome in Patients with Angiographically negative Subarachnoid Hemorrhage, Clinical Neurology and Neurosurgery, Vol. 115, p. 1304-1307. Gijn, J. Van., Rinkel, G. J. E., 2001. Subarachnoid Haemorrhage: Diagnosis, Cause Management. Department of Neurology, Vol.124, p. 249-278. Hamid, Rana Shoaib., Haq, Tanveer-ul., Chishti, Ishtiaq., Azeemuddin, Muhammad., Sajjad, Zafar., Salam, Basit., 2010. Treatment of Intracranial Aneurysms using Detachable Coils: Initial Results at a University Hospital in Pakistan, Journal Pakistan Medical Association, Vol. 60, No. 8, p. 638-641. Harsono, 2009. The Characteristics of Subarachnoid Hemorrhage, Majades Kedokteran Indonesia, Vol. 59, No. 1, p. 20-26. Ingall T, Asplund K, Mahonen M, Bonita R. 2000. A Multinational Comparison of Subarachnoid Hemorrhage Epidemiology in the WHO MONICA Stroke Study. Stroke. 31:1054-61. Keyrouz, Salah G., Diringer, Michael N., 2007. Clinical Review: Prevention and Therapy of Vasospasm in Subarachnoid Hemorrhage, Neurology Intensive Care Unit Department of Neurology, Vol. 11, No. 4, p.220-230. Kuramatsu, Joji B., Huttner, Hagen B., 2014. Medical Interventions for Subarachnoid Hemorrhage. In: Critical Care of The Stroke Patient, 1st Ed. United Kingdom : Cambridge University Press. p.423-435. Lemonick D.M., 2010. Subarachnoid Hemorrhage: State of the Artery. AJCM. 7(2):62-73 Manno EM. 2004. Subarachnoid Hemorrhage. Neurol Clin N Am. 22:347-66. Mumenthaler M, Heinrich M. 2004. Neurology. USA: Thieme. PERDOSSI. 2009. Buku Modul Induk Neurovascular. Jakarta: Kolegium Neurologi Indonesia PERDOSSI. 2011. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gajah Mada University Pres. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2009.Guideline Stroke.perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 2011.Guideline Stroke.perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Rasmussen PA, Mayberg MR. 2004. Defining the Natural History of Unruptured Aneurysms. Stroke. 35:232-3. Setyopranoto I. 2012. Penatalaksanaan Perdarahan Subarakhnoid. In Continuing Medical Educatio. 39 (22): 807-8011. Singh V. 2012. Contemporary Management of Subarachnoid Hemorrhage. AAN Annual Meeting. New Orleans. 20



Suarez JI, Tarr RW, Selman WR. 2006. Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage. N Engl J Med. 354:387-96. Suhardja, Agustinus., 2004. Mechanisms of Disease: Roles of Nitric Acid and Endothelin-1 in Delayed Cerebral Vasospasm Produced by Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage, Nature Clinical Practice Cardiovascular Medicine, Vol. 1, No.2, p. 110-116. Vergouwen, Mervyn D I., Vermeulen, Marinus., Gijn, Jan Van., Rinkel, Gabriel J. E., Wijdicks, Eelco F., Muizelaar, J. Paul., Mendelow, A. David., Juvela, Seppoo., Yonas, Howard., Terbrugge, Karel G., Macdonald, R.Loch., Diringer, Michael N., Broderick, Joseph P., Dreier, Jens P., Roos, Yvo B. W. E. M., 2010. Definition of Delayed Cerebral Ischemia After Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage as an Outcome Event in Clinical Trials and Observational Studies Proposal of a Multidisciplinary Research Group of American Heart Association/American Stroke Association, Stroke. Vol 41: 2391–2395. Warlow CP, Dennis MS, Gijn VJ, Hankey GJ, Sandercock PA, Bamford JM. 2007. Stroke, In : a Practical Guide to Management. 1st ed. London: Blackwell Science Wijdicks, Eelco F. M., Kallmes, David F., Manno, Edward M., Fulgham, Jimmy R., Piepgras, David G.,2005.Subarachnoid Hemorrhage : Neurointensive Care and Aneurysm Repair, Mayo Clinic Proceedings, Vol. 80, No. 4, p. 550-559. Zuccarello, Mario., Ringer, Andrew., 2013. Subarachnoid Hemorrhage and Vasospasm. Mayfield Clinic and Spine Institute. Diakses pada 20 Januari 2016.



21