LP - Sle [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN SYSTEMIC LUPUS ERITHEMATOSUS (SLE) DI RUANG PANDAN I RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA



Oleh: PUJIATI



131923143001



SUWARNING



131923143016



IRA ISYUNIARSASI



131923143031



TRIAS ISRICHAWATI



131923143059



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2020



TINJAUAN PUSTAKA



1.1 DEFINISI Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala,sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerahmerahan. Istilah lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakansuatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan adanya inflamasi tersebar luas, mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatan kerusakan jaringan. 1.2 ETIOLOGI Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yangpaling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini.Berikut ini beberapa faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE: 1. Faktor Genetik Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum.



Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II khususnyaHLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE. 2. Faktor Imunologi Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu : a. Antigen Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen PresentingCell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapareseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan



informasi



normal



tidak



dapat



dikenali.



Hal



ini



menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T. b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal.



c. Kelainan antibodi



Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan. 3. Faktor Hormonal Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE. 4. Faktor Lingkungan Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari: a. Infeksi virus dan bakteri Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella. b. Paparan sinar ultra violet Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah



1.3 ANATOMI SITEM IMMUNITAS



1.4 PATOFISIOLOGI Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan



peningkatan



autoimun



yang



berlebihan.



Gangguan



imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan produksi autoimun diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.



WOC SLE



1.5 MANIFESTASI KLINIS



Awitan penyakit ini sifatnya membayakan atau akut. SLE bisa saja tidak terdiagnosis selama beberapa tahun. Proses klinis penyakit meliputi eksaserbasi dan remisi. A) Gejala klinik demam, keletihan, penurunan berat badan, dan kemungkinan artritis, pleurisi. B) Sistem Muskuloskeletal Artralgia dan artritis (sinovitis) adalah cirti yang paling sering muncul. Pembekakan sendi nyeri tekan, dan nyeri pergerakan adalah hal yang lazim, disertai dengan kekakuan pada pagi hari. C) Sistem integumen Terlihat beberapa jenis SLE yang berbeda (mis., lupus eritematosus kutaneus sub akut [SCLE], lupus etitematosus diskoid [DLE]). Ruam kupu-kupu pada batang hidung dan pipi muncul pada lebih dari separuh pasien dan mungkin merupakan prekusor untuk gangguan yang sistemik. Lesi memburuk selama periode eksaserbasi (ledakan) dan dapat distimulasi oleh sinar matahari atau sinar ultraviolet buatan. ulkus oral dapat mengenai mukosa bukal dan palatum.



C) Sistem Pernapasan Manifestasi



klinis



pada



paru



dapat



terjadi,



diantaranya



adalah



pneumonitis,emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, dan shrinking lungsyndrome. Pneumonitis lupus dapat terjadi akut atau berlanjut menjadi kronik.Biasanya penderita akan merasa sesak, batuk kering, dan dijumpai ronki di basal. Keadaan ini terjadi sebagai akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan respons yang baik terhadap steroid. Hemoptisis merupakan keadaan yang sering apabila merupakan bagian dari perdarahan paru akibat LES ini dan memerlukan penanganan tidak hanya



pemberian steroid namun juga tindakan lasmafaresis atau pemberian sitostatika. D) Sistem Kardiovaskuler Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial, dapatberupa



perikarditis



ringan,



efusi



perikardial



sampai



penebalan



perikardial. Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia, interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung.Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyeri substernal, friction rub, gambaran silhouette sign pada foto dada ataupun EKG,



Echokardiografi.



Endokarditis



Libman-Sachs,



seringkali



tidak



terdiagnosis dalam klinik, tapi data autopsi mendapatkan 50% LES disertai endokarditis Libman-Sachs. Adanya vegetasi katup yang disertai demam harus dicurigai kemungkinanendokarditis bakterialis.Wanita dengan LES memiliki risiko penyakit jantung koroner 5-6% lebih tinggi dibandingkan wanita normal. Pada wanita yang berumur 35-44 tahun, risiko ini meningkat sampai 50%. E) Manifestasi Ginjal Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian besarterjadi setelah 5 tahun menderita LES. Rasio wanita : pria dengan kelainan ini adalah 10 : 1, dengan puncak insidensi antara usia 20-30 tahun. Gejala atau tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik.



F) Manifestasi Gastrointestinal Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES, karena dapat merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada penyakit LES atau sebagai akibat pengobatan. Disfagia merupakam keluhan yang biasanya menonjol walaupun tidak didapatkan adanya kelainan pada esophagus tersebut kecuali gangguan motilitas. Dispepsia dijumpai lebih kurang 50% penderita



LES, lebih banyak dijumpai pada mereka yang memakai glukokortikoid serta didapatkan adanya ulkus.Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada peritoneum. Selain itu dapat pula didapatkan vaskulitis, pankreatitis, dan hepatomegali. Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang banyak dijumpai pada LES, disertai dengan peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase alkali dan LDH. G) Manifestasi Hemopoetik Terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia hemolitik autoimun. H) Manifestasi Neuropsikiatrik Keterlibatan



neuropsikiatrik



akibat



LES



sulit



ditegakkan



karena



gambaranklinis yang begitu luas. Kelainan ini dikelompokkan sebagai manifestasi neurologik dan psikiatrik. Diagnosis lebih banyak didasarkan pada temuan klinis dengan menyingkirkan kemungkinan lain seperti sepsis, uremia, dan hipertensiberat.Manifestasi neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa migrain, neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus. Kelainan psikiatrik sering ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak memberikan



gambaran



yang



spesifik,



kecuali



untuk



menyingkirkan



kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi(EEG) juga tidak memberikan gambaran yang spesifik. CT scan otak kadang-kadang diperlukan untuk membedakan adanya infark atau perdarahan.



1.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG 1) Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)



2) Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan kreatinin urin 3) Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid) 4) PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid 5) Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4) 6) Foto polos thorax  Pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring  Setiap 3-6 bulan bila stabil  Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif. Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE adalah tes ANA generik. Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah pada LES. Pada penderita LES ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis menyerupai LES misalnya infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixedconnective tissue disease (MCTD), artritis reumatoid, tiroiditis autoimun),keganasan atau pada orang normal.Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan, tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk LES seringkali dinamis dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan datang terutama jika didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak sesuai LES umumnya diagnosis LES dapat disingkirkan. Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil ANA/ENA. Antibodi anti- dsDNA merupakan tes spesifik



untuk LES, jarang didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-ds DNA yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan dengan titer yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang bukan LES. 1.7 PENATALAKSANAAN MEDIS 1) Kortikosteroid (prednison 1-2 mg/kg/hr s/d 6 bulan postpartum) (metilprednisolon1000 mg/24jam dengan pulse steroid th/ selama 3 hr, jika membaik dilakukantapering off). 2) AINS (Aspirin 80 mg/hr sampai 2 minggu sebelum TP). 3) Imunosupresan (Azethiprine 2-3 mg/kg per oral). 4) Siklofospamid, diberikan pada kasus yang mengancam jiwa 700-1000 mg/m luaspermukaan tubuh, bersama dengan steroid selama 3 bulan setiap 3 minggu. 1.8 PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN Asuhan keperawatan untuk pasien SLE biasannya sama seperti asuhan keperawatan untuk pasien penyakit reumatik (lihat” penatalaksanaan keperawatan” pada “Artritis reumatoid”). Diagnosis keperawatan utama berfokus pada keletihan, membuat integritas kulit gangguan citra tubuh, dan defisiensi pengetahuan. 



Pekalah terhadap reaksi psikologis pasien akibat perubahan yang terjadi dan proses penyakit SLE yang tidak terduga; dorong pasien untuk berpatisifasi dalam kelompok pendukung, yang dapat memberikan informasi mengenai penyakit, tips penatalaksanaan sehari-hari, dan dukungan sosial.







Ingatkan pasien untuk menghidari paparan sinar matahari dan sinar ultrapiolet atau untuk melindungi diri mereka dengan tabir surya dan pakaiaan.







Karena beberapa sistem organ berisiko tinggi terkena penyakit ini, ingatkan pasien tentang pentingmya menjalani skrinning rutin secara berkala dan juga aktifitas untuk meningkatkan kesehatan.







Rujuk pasien untuk menemui ahli diet jika perlu.







Jelaskan kepada pasien tentang pentingnya melanjutkan medikasi yang telah diterapkan, dan memahami perubahan serta kemungkinan efek samping yang cenderung terjadi akibat penggunaan obat tersebut.







Ingatkan pasien tentang pentingnya menjalani pemantaaun karena mereka berisiko tinggi mengalami gangguan sistemik, termasuk pada ginjal dan kardiovaskuler.



KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN 2.1 PENGKAJIAN 1.



Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.



2.



Kulit Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.



3.



Kardiovaskuler Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan.



4.



Sistem Muskuloskeletal Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.



5.



Sistem integumen Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.



6.



Sistem pernafasan Pleuritis atau efusi pleura.



7.



Sistem vaskuler



Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis. 8. Sistem Renal Edema dan hematuria. 9. Sistem saraf Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP lainnya. 2.2 DIAGNOSA 1. Nyeri akut b.d. agen pencedera fisiologis (proses inflamasi) d.d. pasien tampak meringis, nadi meningkat, TD meningkat, sulit tidur, diaforesis (D.0077). 2. Gangguan integritas kulit (dermis) b.d.perubahan pigmentasi d.d. lesi/malar pada lapisan kulit, butterfly rash (D.0129) 3. Defisit nutrisi b.d. peningkatan kebutuhan metabolisme d.d. BB menurun, serum albumin turun, rambut rontok, membran mukosa pucat (D.0019) 4. Perfusi perifer tidak efekif b.d penurunan konsentrasi hemoglobin d.d. CRT > 3 detik, akral dingin, warna kulit pucat (D.0009). 5. Ansietas b.d. kurang terpapar informasi d.d. pasien tampak gelisah, tampak tegang, sulit tidur, sering bertanya pada perawat (D.0080) 6. Pola nafas tidak efektif b.d. hambatan upaya nafas d.d. penggunaan otot bantu pernafasan, menggunakan pernafasan cuping hidung, pola nafas abnormal (D.0005).



7. Risiko



infeksi



d.d.



ketidakadekuatan



pertahanan



tubuh



sekunder



(imunosupresi), penurunan HGB, supresi respon inflamasi, leukopenia (D.0142) 8. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d. hipersekresi jalan nafas d.d. sputum berlebih, ronchi, sianosis (D.0001) 9. Hipertermia b.d proses penyakit (inflamasi) d.d suhu tubuh > 37,5̊ C, kulit merah, takikardia, kulit terasa hangat (D.0130) 2.3 Intervensi keperawatan DIAGNOSA SLKI KEPERAWATAN Bersihan jalan nafas Tujuan : Setelah dilakukan tidak efektif b.d. tindakan keperawatan hipersekresi jalan nafas selama 1x30 menit d.d. sputum berlebih, diharapkan bersihan jalan ronchi, sianosis nafas efektif. (D.0001) Kreteria hasil 1. Bersihan jalan nafas (L01001) - Produksi sputum menurun - Frekuensi pola nafas membaik



SIKI Intervensi:  Latihan batuk efektif (I.01006) 1. Monitor adanya retensi sputum 2. Identifikasi kemampuan batuk 3. Atur posisi semi fowler 4. Ajarkan teknik batuk efektif  Manajemen jalan nafas ( I. 01011) 5. Monitor adanya suara nafas tambahan 6. Monitor sputum(jumlah, warna) 7. Lakukan fisioterapi dada. 8. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian mukolitik.  Pemantauan respirasi (I.01014) 9. Memonitor frekuensi, irama, kedalaman nafas. 10. Monitor saturasi oksigen 11. Dokumentasikan hasil



memantauan



Risiko infeksi d.d. Tujuan : Setelah dilakukan ketidakadekuatan tindakan keperawatan pertahanan tubuh selama 1x24 jam sekunder diharapkan tingkat infeksi (imunosupresi), menurun penurunan HGB, supresi respon Kreteria hasil inflamasi, leukopenia 1. Tingkat infeksi (D.0142) (L.14137) 2.



pencegahan infeksi (I.14539)  Observasi 1. Monitor tanda dan gejala infeksi local dan sistemik  Terapeutik 2. Batasi jumlah pengunjung 3. Cuci tangan sebelum kontak dan sesudah Kebersihan tangan kontak dengan pasien meningkat dan lingkungan pasien 4. Pertahankan teknik Demam menurun aseptic pada pasien Nyeri menurun berisiko tinggi  Edukasi Bengkak menurun 5. Jelaskan tanda dan Kadar leukosit gejala infeksi meningkat 6. Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar Status imun (L.14133)



-



Integritas meningkat



-



Infeksi menurun



-



Suhu tubuh membaik



kulit berulang



Ansietas b.d. kurang Tujuan : Setelah dilakukan terpapar informasi d.d. tindakan keperawatan pasien tampak gelisah, selama 1x24 jam tampak tegang, sulit diharapkan tingkat tidur, sering bertanya ansietas menurun pada perawat (D.0080)



Reduksi ansietas (I.09314)  Observasi 1. Identifikasi saat tingkat ansietas berubah 2. Monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan non verbal) Kreteria hasil  Terapeutik Tingkat ansietas (L.09093) 3. Temani pasien untuk mengurangi kecemasan - Perilaku gelisah 4. Dengarkan dengan menurun penuh perhatian - Diaphoresis menurun  Edukasi 5. Informasikan secara - Tremor menurun factual mengenai - Konsentrasi membaik diagnosis, pengobatan dan prognosis - Pola tidur membaik 6. Anjurkan



mengungkapkan perasaan dan persepsi 7. Latih teknik relaksasi  Kolaborasi 8. Kolaborasi pemberian obat ansietas, jika perlu terapi relaksasi (I.09326)  Observasi 9. Identifikasi penurunan tingkat energy, ketidakmampuan berkonsentrasi, atau gejala lain yang mengganggu kemampuan kognitif 10. Identifikasi teknik relaksasi yang pernah efektif di gunakan 11. Identifikasi kesediaan, kemampuan, dan penggunaan teknik sebelumnya 12. Periksa ketegangan otot, frekuensi nadi, tekanan darah, dan suhu sebelum dan sesudah latihan 13. Monitor respon terhadap terapi relaksasi  Terapeutik 14. Ciptakan lingkungan tenang 15. Berikan informasi tertulis tentang persiapan dan prosedur teknik relaksasi 16. Gunakan relaksasi sebagai strategi penunjang dengan analgetik atau tindakan medis lain  Edukasi 17. Jelaskan tujuan, manfaat, batasan dan jenis relaksasi yang tersedia (relaksasi Benson)



18. Jelaskan secara rinci intervensi relaksasi Benson 19. Anjurkan mengambil posisi nyaman 20. Anjurkan rileks dan merasakan sensasi relaksasi 21. Anjurkan sering mengulangi atau melatih teknik Benson 22. Demonstrasikan dan latih teknik relaksasi Benson Manajemen hipertermi Hipertermia b.d proses Tujuan : Setelah dilakukan (I.15506) penyakit (inflamasi) d.d tindakan keperawatan  Observasi suhu tubuh > 37,5̊ C, selama 1x60 menit 1. Identifikasi penyebab kulit merah, takikardia, diharapkan suhu tubuh hipertermi kulit terasa hangat membaik 2. Monitor suhu tubuh (D.0130)



3. Monitor kadar elektrolit 4. Monitor haluaran urin 5. Monitor komplikasi akibat hipertermi Kulit merah menurun  Terapeutik Suhu tubuh 36,5 – 6. Sediakan lingkungan yang dingin 37,5 ̊ C 7. Longgarkan pakaian Suhu kulit membaik 8. Berikan cairan oral 9. Berikan oksigen, jika CRT < 2 detik perlu  Edukasi 10. Anjurkan tirah baring  Kolaborasi 11. Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intravena, jika perlu Kompres dingin (I.08234)  Observasi 12. Identifikasi kontraindikasi kompres dingin 13. Identifikasi kondisi kulit yang akan dilakukan kompres dingin 14. Monitor iritasi kulit atau kerusakan



Kreteria hasil Termoregulasi (L.14134) - Menggigil menurun -



 15.



16. 17.



 18.



19.



Defisit nutrisi b.d. peningkatan kebutuhan metabolisme d.d. BB menurun, serum albumin turun, rambut rontok, membran mukosa pucat (D.0019)



Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jan diharapkan kebutuhan nutrisi terpenuhi.



Nyeri akut b.d. agen pencedera fisiologis (proses inflamasi) d.d. pasien tampak



Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam diharapkan



Kreteria hasil: 1. Status nutrisi (L.03030) - Porsi makanan yang dihabiskan meningkat. - Berat badan meningkat. - IMT meningkat. 2. Nafsu makan (L. 03024). - Keinginan makan meningkat. - Asupan makanan meningkat.



jaringan selama 5 menit pertama Terapeutik Pilih metode kompres yang nyaman dan mudah di dapat Pilih lokasi kompres Balut alat kompres dengin dengan kain pelindung Edukasi Jelaskan prosedur penggunnaan kompres dingin Ajarkan cara menghindari kerusakan jaringan akibat dingin



Intervensi:  Manajemen nutrisi (I.03119). 1. Identifikasi status nutrisi. 2. Monitor asupan makanan 3. Monitor berat badan. 4. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium 5. Lakukan oral hygiene sebelum makan. 6. Ajarkan diet yang diprogramkan. 7. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (antiemetik) 8. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori  Promosi berat badan (I. 03136). 9. Monitor adanya mual muntah Intervensi:  Manajemen (I.08238).



nyeri



meringis, nadi meningkat, TD meningkat, sulit tidur, diaforesis (D.0077).



nyeri teratasi. Kretera hasil: 1. Tingkat (L.08066)



nyeri



1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri.



nyeri



2. Identifikasi nyeri.



-



Keluhan menurun



-



Tidak meringis.



-



Frekuensi membaik



nadi



-



Pola membaik



nafas



-



-



-



3. Identikasi respon non verbal.



TD membaik.



2. Kontrol 08063).



nyeri



skala



(L.



Melaporkan nyeri terkontrol. Kemampuan teknik non farmakologis meningkat. Keluhan menurun menurun



4. Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi nyeri. 5. Kontrol lingkungan yang yang memperberat rasa nyeri. 6. Kolaborasi pemberian analgesik, jika perlu. 



Edukasi manajemen nyeri (I.12391)



7. Ajarkan relaksasi



teknik



8. Ajarkan teknik asertif. 



Pengaturan (I.01019)



posisi



9. Tempatkan pada posisi terapeutik 10. Atur posisi disukai



yang



11. Motivasi melakukan ROM aktif dan pasif.



1.2.4.



Implementasi keperawatan Pelaksanaan adalah tahap pelaksanaan terhadap rencana tindakan



keperawatan yang ditetapkan untuk perawat bersama pasien. Implementasi dilaksanakan sesuai dengan setelah dilakukan validasi, di samping itu juga



dibutuhkan keterampilan interpersonal, intelektual, teknikal yang dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat dengan memperhatikan keamanan fisik dan psikologis. Implementasi dilaksanakan mengacu pada rencana asuhan



keperawatan.



Semua



implementasi



yang



telah



dilaksanakan



didokumentasikan dengan ringkas dan jelas (Nursalam, 2011).



1.2.5. Evaluasi keperawatan Evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan. Kegiatan evaluasi adalah membandingkan hasil yang telah dicapai setelah implementasi keperawatan dengan tujuan yang diharapkan dalam perencanaan.Perawat mempunya tiga alternatif dalam menentukan sejauh mana tujuan tercapai. Evaluasi keperawatan merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan dimana ada dua jenis evaluasi yaitu evaluasi formatif/evaluasi berjalan dan evaluasi somatif atau evaluasi akhir dimana dalam metode ini menggunakan SOAP (Nursalam, 2011) 1. Berhasil: perilaku pasien sesuai pernyataan tujuan dalam waktu atau tanggal yang ditetapkan di tujuan 2. Tercapai sebagian: pasien menunjukkan perilaku tetapi tidak sebaik yang ditentukan dalam pernyataan tujuan 3. Belum tercapai: pasien tidak mampu sama sekali menunjukkan perilaku yang diharapkan sesuai dengan pernyataan tujuan



DAFTAR PUSTAKA Abbas AK., AH Lictman, dan Pillai S., 2007. Cellular and Molecular Immunology 6 edition. Philadelphia: Saunders Elsevier.



th



Akib, M. Soepriadi, B. Setiabudiawan, 2007. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam: Arwin AAP., Munasir Z., Kurniati N., Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak edisi ke-2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. Alonso., MD., Llorca, J., dan Martinez F., 2011. Systemic lupus erythematosus in northwestern Spain: a 20-year epidemiologic study. Medicine (Baltimore) 2011;90:350–8. American College of Rheumatology, Systemic Lupus Erythematosus (Junvile). http://www.rheumatology.org/I-Am-A/Patient-Caregiver/DiseasesConditions/Systemic-Lupus-Erythematosus-Juvenile [diakses 26 Pebruari 2016]. Badan Pusat Statistik Sumatera Utara. 2012. Data Sensus Penduduk Tahun 2010. http://ardi-lamadi.blogspot.co.id/2013/07/jumlah-penduduk-berdasarkanagama-di_9971.html. [diakses 1 September 2016] Cervera R., Khamashta MA., Font J., Sebastiani GD., Gill A., dan Lavilla P., 2003.Morbidity and mortality in systemic lupus erythematosus during @ 10-years period, a comparison of early and late manifestation in cohort of 1000 pasien. Medicine 82: 299-308. D’Cruz D., Espinoza G., dan Cervera R., 2010. Systemic lupus erythematosus: pathogenesis, clinical manifestations, and diagnosis. http://www.eular.org/myuploaddata/files/Compendium_sample_chapter.pd f Djoerban, Z., 2010. Kelainan Hematologi Pada Lupus Eritematosus Sistemik dalam Sudoyo AW., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M., Setiati S., editors Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: InternaPublishing. Ferucci, ED., Johnston, JM., Gaddy, JR., Sumner, L., Posever, JO., Choromanski, TL., Gordon, C., Lim, SS., dan Helmick, CG., 2014. Prevalence and Incidence of Systemic Lupus Erythematosus in a Population-Based Registry of American Indian and Alaska Native People, 2007–2009. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4617772/ Isbagio,



H., Kasjmir, YI., Setyohadi, B., dan Suarjuna, N., 2010. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam: Sudoyo AW., Setiyohadi B., Alwi I., editors Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: InternaPublishing.



Isselbacker dalam Asih, R., 2014. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kelelahan pada Pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE) (Studi Kasus di Yayasan Lupus Indonesia Panggon Kupu Semarang Tahun 2014). Skripsi Universitas Negeri Semarang. http://lib.unnes.ac.id/20375/ Jakes, RW., Bae, SC., dan Louthrenoo, W,. Systematic review of the epidemiology of systemic lupus erythematosus in the Asia-Pacific region: prevalence,



incidence, clinical features, and mortality. Arthritis Care Res (Hoboken) 2012;64:159–68. Jifanti, Friska dan A Mappiasse., 2012. Studi Retrospektif Lupus Eritematosus di Subdivisi Alergi Imunologi Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar Periode 2005-2010. Majalah Kesehatan PharmaMedika, 2(2): 156-160. Judarwanto, W., 2012. Imunologi Dasar: Penyakit Auto Imun. https://allergycliniconline.com/2012/02/02/imunologi-dasar-auto-imunitas/ Kadouch, James. 2014. New Insights Into SLE (Systemic Lupus Erythematosus). SCOR Global Life www.scor.com



Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: DPP PPNI Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta: DPP PPNI Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta: DPP PPNI



FLOW CHART PASIEN SLE DENGAN MASALAH KEPERAWATAN RISIKO INFEKSI SLE



Kekebalan tubuh terganggu



Risiko infeksi



1. 2. 3. 4. 5.



Pencegahan infeksi (I.14439) Monitor tanda-tanda infeksi lokal dan sistemik Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien Pertahankan teknik aseptik Jelaskan tanda dan gejala infeksi Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar



SOP Mencuci Tangan



Ya Tingkat infeksi menurun (L.14137)  Demam & nyeri menurun  Kadar sel darah putih membaik  Kebersihan tangan meningkat



Masalah risiko infeksi teratasi



Tidak



FLOW CHART PASIEN SLE DENGAN MASALAH KEPERAWATAN HIPERTERMIA SLE



Paparan pathogen infeksi



Kekebalan tubuh terganggu



Gangguan termoregulasi



Hipertermia



Manajemen hipertermia (I.15506) 1. Monitor suhu tubuh 2. Berikan cairan oral 3. Lakukan pendinginan eksternal (selimut hipotermia atau kompres dingin pada dahi, leher, dada, abdomen, aksila) 4. Anjurkan tirag baring 5. Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit jika perlu



Tidak



SOP Pemberian Kompres Dingin



Ya Termoregulasi membaik (L.14134)  Menggigil menurun  Suhu tubuh membaik  Suhu kulit membaik



Masalah hipertermia teratasi



FLOW CHART PASIEN SLE DENGAN MASALAH KEPERAWATAN ANSIETAS SLE



Perawatan di RS



Kurang informasi



Ansietas



Reduksi ansietas (I.09314) Monitor tanda-tanda ansietas Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan kepercayaan Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan Informasikan secara faktual mengenai diagnosis, pengobatan dan prognosis 5. Latih teknik relaksasi 6. Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu 1. 2. 3. 4.



SOP Relaksasi Benson



Ya Tingkat ansietas menurun (L.09093)  Verbalisasi khawatir menurun  Perilaku gelisah & tegang menurun  Pernafasan, nadi dan tekanan darah menurun



Masalah ansietas teratasi



Tidak



FLOW CHART PASIEN SLE DENGAN MASALAH KEPERAWATAN NYERI SLE



Muskuloskeletal



Pembengkakan sendi



Nyeri akut



Manajemen nyeri (I.08238) 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi dan frekuensi nyeri 2. Identifikasi skala nyeri 3. Berikan teknik nonfarmakologi (aromaterapi, kompres hangat/ dingin) 4. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri 5. Ajarkan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri 6. Kolaborasi pemberian analgesik



Tidak



SOP Manajemen Nyeri



Ya Tingkat nyeri menurun (L.08066)  Skala nyeri menurun  Keluhan nyeri menurun  Klien tidak meringis kesakitan



Masalah nyeri akut teratasi



SOP MANAJEMEN NYERI



PENGERTIAN



Cara meringankan atau mengurangi nyeri sampai tingkat kenyamanan yang dapat diterima pasien.



TUJUAN



Untuk menjaga pasien dalam kondisi senyaman mungkin.



KEBIJAKAN







Setiap pasien dewasa yang merasakan nyeri dinilai dari skala 0 – 10 1. 0 = tidak nyeri 2. 1-3 = nyeri ringan (pasien dapat berkomunikasi dengan baik) 3. 4-6 = nyeri sedang (pasien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, mendeskripsikan dan dapat mengikuti perintah) 4. 7-9 = nyeri berat (pasien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, tidak dapat mendeskripsikan, tidak dapat diatasi dengan alih posisi, nafas panjang dan distraksi. 5. 10 = nyeri sangat berat (pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul)  Setiap pasien anak yang merasakan nyeri dinilai dari skala wajah Wong Baker



0 1. 2. 3. 4. 5. 6.  PROSEDUR



    



1 2 3 4 5 Nilai 0 nyeri tidak dirasakan oleh anak Nilai 1 nyeri dirasakan sedikit saja Nilai 2 nyeri dirasakan hilang timbul Nilai 3 nyeri yang dirasakan anak lebih banyak Nilai 4 nyeri yang dirasakan anak secara keseluruhan Nilai 5 nyeri sekali dan anak menjadi menangis Penanganan nyeri dikecualikan pada pasien dengan kondisi nyeri HIS Lakukan pengkajian skala, lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi dan kualitas nyeri. Observasi reaksi nonverbal Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan inter personal)







  UNIT TERKAIT



Ajar kan tentang teknik non farmakologi seperti: 1. Kompres dingin 2. Massage kulit 3. Buli-bulipanas 4. Relaksasi seperti lingkungan yang tenang, posisi yang nyaman dan nafas dalam. 5. Tekhnik distraksi yakni mengalihkan perhatian ke stimulus lain seperti menonton televisi, membaca koran, mendengarkan musik Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri Evaluasi keefektifan kontrol nyeri



Unit Gawat Darurat Unit Rawat Inap Unit Rawat Jalan



STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR TERAPI RELAKSASI BENSON



1. Pengertian Relaksasi Benson merupakan Teknik relaksasi yang digabungkan dengan keyakinan yang dianut oleh pasien (Benson, 2000). 2. Tujuan relaksasi Benson Secara umum tujuan relaksasi adalah untuk mengendurkan ketegangan, dimulai dari jasmaniah kemudian mengakibatkan mengendurkan ketegangan jiwa (Sari & Subandi, 2015). Pada penelitian menjelaskan teknik relaksasi Benson dapat berguna untuk mengurangi insomnia, menghilangkan nyeri dan mengurangi kecemasan (Perdana, 2018). 3. Prosedur No 1.



tahap Persiapan



Prosedur Tindakan 1. Memberikan salam terapeutik 2. Menyediakan lingkungan yang tenang 3. Memvalidasi kondisi klien 4. Menjaga privasi klien 5. Memilih



kata/



dzikir



untuk



memfokuskan



perhatian saat relaksasi 2.



Kerja



1. Posisiskan klien berbaring di tempat tidur atau sesuai kenyamanan klien 2. Menginstruksikan klien untuk memejamkan mata (hindari memejamkan mata terlalu kuat). 3. Bernafas lambat dan wajar. 4. Menginstruksikan pasien untuk melemaskan otototot mulai dari kaki, betis, paha, perut dan pinggang. Kemudian disusul melemaskan bagian atas (pundak, leher dan kepala) sampai dengan otot wajah dan rasakan rileks. 5. Menginstruksikan pasien untuk menarik nafas dengan lambat dan wajar lewat hidung (tahan 3



detik) dan hembuskan lewat mulut disertai dengan mengucapkan dzikir (Astaghfirullah) 6. Mengistruksikan pasien untuk membuang pikiran negatif dan tetap fokus pada pernafasan dan dzikir yang diucapkan. 7. Dilakukan selama 10 menit. 8. Menginstruksikan pasien mengakhiri relaksasi dengan membuka mata secara perlahan. 3.



Terminasi



1. Mengevaluasi kondisi dan perasaan klien 2. Memberikan umpan balik yang positif untuk klien 3. Melakukan kontrak untuk pertemuan selanjutnya 4. Mengakhiri dengan salam 5. Melakukan dokumentasi



DAFTAR PUSTAKA Benson, H. (2000). The Relaxation Respon. New York: HarperCollin. Darmadi, H. (2017). Hidup Sehat Dengan Terapi Air Wudhu. Diandra Kreatif. Kastubi, & Ambarwati, R. (2018). Benson Relaxation and Hypnosis in Quality of Elderly Sleep. Health Notions, 2(1), 84–87. Marasabessy, N. B., Herawati, L., & Achmad, I. (2019). Benson’s Relaxation Therapy and Sleep Quality among Elderly at a Social Institution in Inakaka, Indonesia. National Public Health Journal, 15(2), 65–72. https://doi.org/10.21 109 Perdana, Y. A. (2018). Pengaruh pemberian teknik Relaksasi Benson terhadap tingkat kecemasan pasien pre operasi katarak di RSD dr. Soebandi Jember (Vol. 2). Universitas Jember. Prajayanti, E. D., & Sari, I. M. (2017). Relaksasi Benson mempengaruhi Aspek Psikologis pada Kualitas Hidup Pasien Pasca Kemoterapi Ca Mamae. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, 13(2), 74–77. Rudyana, H. (2018). Pengaruh Terapi Relaksasi Benson Terhadap Insomnia pada Lansia di Balai Perlindungan Tresna Werdha (BPSTW) Ciparay Bandung. Prosiding Pertemuan Ilmiah Nasional Penelitian & Pengabdian Masyarakat (PINLITAMAS 1), 1(1)., 1(1), 78–87. Sari, A. D. K., & Subandi. (2015). Pelatihan teknik relaksasi untuk menurunkan kecemasan pada primary caregiver penderita kanker payudara. Gadjah Mada Journal of Professional Psychology, 1(3), 173–192. Wiyatno, E. R., Pujiastuti, R. S. E., Suheri, T., & Saha, D. (2017). Effect of Accupressure on Quality of Sleep and Pulse Rate in Patients With Acute Myocardial Infarction. Belitung Nursing Journal, 3(4), 360–369. https://doi.org/10.33546/bnj.162



SOP KOMPRES PENGERTIAN



Kompres



hangat adalah



memberikan



rasa hangat



pada



daerah tertentu dengan menggunakan cairan atau alat yang menimbulkan



rasa



hangat



pada



bagian



tubuh



yang



memerlukan. TUJUAN



1. Memperlancar sirkulasi darah 2. Menurunkan suhu tubuh 3. Mengurangi rasa sakit 4. Memberi rasa hangat, nyaman, dan rasa tenang pada klien.



INDIKASI



1. Klien hipertermi (suhu tubuh yang tinggi) 2. Klien dengan perut kembung 3. Spasme otot



PERSIAPAN ALAT



1. Air panas 2. Washlap/buli-buli panas 3. Pengalas/perlak 4. Handuk kering 5. Kom 6. Sarung tangan



PERSIAPAN



Mengkaji keadaan umum pasien dan tanda-tanda vital



PASIEN



atau tingkat nyeri pada pasien yang akan dilakukan prosedur dan kontrak waktu



PROSEDUR KERJA



1. 2. 3. 4.



Salam therapeutic Identifikasi kembali pasien dan periksa tanda-tanda vital Memberitahu pasien bahwa tindakan akan segera dimulai Menyiapkan alat-alat sesuai kebutuhan (kompres hangat basah atau kompres hangat kering) a. Jika kompres hangat kering :  Menyiapkan buli-buli  Membuka



tutupnya



dan



isi



panas secukupnya  Mengeluarkan udaranya  Menutup buli-buli dengan rapat



dengan



air



b. Jika kompres hangat basah :  Menyiapkan air hangat kedalam kom  Membasahi washlap dengan air hangat 5. Mendekatkan alat-alat kesisi tempat tidur pasien 6. Posisikan pasien senyaman mungkin 7. Mencuci tangan 8. Memakai sarung tangan 9. Meletakkan perlak/pengalas 10. Membasahi washlap dengan air hangat dan letakkan dikepala pasien 11. Kompres hangat kering diletakkan pada



bagian yang



nyeri dengan buli-buli hangat dibungkus dengan kain dan sebelum alat yaitu posisi tutup berada dibawah 12. Kompres



hangat



diletakkan



dibagian



tubuh



yang



memerlukan (dahi, axila, lipatan paha) 13. Meminta pasien untuk mengungkapkan rasa ketidak nyaman saat dikompres 14. Mengkaji kembali kondisi kulit disekitar pengompresan, hentikan pengompresan jika diberikan pada pasien, test alat dengan cara membalikkan ditemukan tanda-tanda kemerahan. 15. Merapikan pasien keposisi semula 16. Memberitahu bahwa tindakan sudah selesai 17. Bereskan alat-alat yang telah digunakan dan melepaskan sarung tangan 18. Mencuci tangan 19. Mengkaji respon pasien (respon subjektif dan objektif) 20. Mendokumentasikan pada catatan keperawatan DAFTAR PUSTAKA



SNARS 2018