LP Sopt 2 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN “KONSEP RESUME KEPERAWATAN SINDROM OBSTETRIK PASCA TB“ Tugas Ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Praktik Klinik Keperawatan I Dosen Pembimbing: Bapak Baltasar S.S Dedu, S.Kep, MScN. Bapak Marta Dinata, S.Kep. Ners.



Disusun oleh : Putriana Dewi ( 17.156.01.11.069 )



Kelas: 3B Keperawatan



PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN STIKES MEDISTRA INDONESIA 2019/2020 Jl. Cut Mutia, No 88A, Sepanjang Jaya, Rawalumbu, Kota Bekasi, Jawa Barat



KONSEP RESUME KEPERAWATAN SINDROM OBSTETRIK PASCA TUBERKULOSIS A. Definisi Sindrom Obstetrik Pasca Tuberkulosis Penyakit paru obstruksi adalah penyakit atau gangguan paru yang memberikan kelainan ventilasi berupa gangguan obstruksi saluran napas. Penyakit dengan kelainan tersebut antara lain adalah asma bronkial, penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) dan sindrom obstruksi pasca Tb (SOPT). Meskipun semuanya memberikan kelainan berupa obstruksi saluran napas, tetapi mekanisme terjadinya kelainan itu berbeda pada masing-masing penyakit. Menurut The National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI) dan WHO, paru obstruktif kronik atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) sebagai penyakit yang ditandai oleh keterbatasan jalan udara yang progresif yang sepenuhnya dapat pulih kembali. Keterbatasan jalan udara biasanya dapat progresif dan terasosiasi dengan respon inflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel asing atau gas. Kondisi paling umum yang menyebabkan CPOD adalah broknitis kronik dan emfisema. Bronkitis kronik berhubungan dengan sekresi berlebih mucus kronik atau berulang ke dalam cabang bronkus dengan batuk yang terjadi hampir setiap hari selama paling tidak 3 bulan dalam setahun dan ini berlangsung paling tidak dalam 2 tahun beturut-turut bila penyebab batuk yang lain telah dieluarkan. Gangguan obstruksi yang terjadi menimbulkan dampak buruk terhadap penderita karena menimbulkan gangguan oksigenisasi dengan segala dampaknya. Obstruksi saluran napas yang terjadi bisa bertambah berat jika ada gangguan lain seperti infeksi saluran napas dan eksaserbasi akut penyakitnya.



Gambar 1.1 Sindrom Obstetrik Pasca TB



2



B. Etiologi Etiologi yang paling umum adalah paparan terhadap asap rokok di lingkungan, tetapi paparan kronik lain dapat pula menyebabkan COPD. Menghirup pastikel asing dan gas menstimulasi aktivasi neutrofil, makrofag, dan limfosit CD 8+, yang melepaskan sejumlah mediator kimia, termausk tumor nekrosis faktor (TNF) alfa-interleukin-8 (IL8) dan leukotrien B4 (LTB4). Sel inflamasi dan mediator ini menyebabkan perubahan destruktif meluas pada jalan udara, pembuluh pulmonary, dan parenkim paru-paru. C. Patofisiologi Proses



patofisiologik



lainnya



termasuk



stress



oksidatif



dan



ketidakseimbangan antara sistem pertahanan agresif dan protektif di paru-paru (protease dan antiprotease). Peningkatan oksidator dari asap rokok bereaksi dengan dan merusak berbagai protein dan lipid, yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Oksidator juga memudahkan inflamasi secara langsung dan memperparah ketidakseimbangan protease-antiprotease dengana menghibisi aktivitas antiprotease. Antiprotease protektif alfa1- antitrypsin (AAT) menghambat sejumlah enzim protease, termasuk elastase neutrofil. Dengan adanya aktivitas AAT yang tidak berantagonis, elastase menyerang elastin, yang merupakan komponen utama dari dinding sel alveolus. Defisiensi turunan AAT menyebabkan peningkatan resiko perkembangan emfisema prematur. Pada penyakit yang diturunkan terdapat suau defisiensi AAT absolute. Pada emfisema yang diakibatkan oleh merokok, ketidakseimbangan ini berhubungan dengan peningkatan aktivitas protease atau pengurangan aktivitas antiprotease. Sel inflamasi yang teraktivasi membebaskan protease yang lain, termasuk katepsin dan metaloproteinase (MMP). Selain itu, stress oksidatif juga mengurangi aktifitas antiprotease. Suatu eksudat inflamasi dering ditemui pada jalan udara yang menyebabkan suatu peningkatan jumlah dan ukuran sel goblet dan kelenjar mucus. Sekresi mucus meningkat, dan motilitas siliar mengalami kerusakan. Terdapat penebalan otot polos dan jaringan ikat pada jalan udara. Inflamasi kronik menyebabkan pembentukan parut dan fibrosis. Penyempitan jalan udara yang meluas terjadi dan lebih parah pada jalan udara periferal yang berukuran kecil. Perubahan parenkimal mempengaruhi unit penukar gas paru-paru (alveoli dan kapiler pulmonar). Penyakit yang terkait dengan merokok paling umum 3



menyebabkan emfisema sentrilobar yang terutama mempengaruhi bronkiol respirasi. Emfisema pan-lobular dijumpai pada defisiensi AAT dan meluas sampai ke duktus dan kantung alveolus. Perubahan vascular termasuk penebalan pembuluh pulmonar yang dapat meyebabkan disfungsi endotel arteri pulmonar. Selanjutnya, perubahan struktural meningkatkan tekanan pulmonar, terutama selama latihan fisik. Pada CPOD parah, hipertensi pulmonar sekunder menyebabkan gagal jantung sebelah kanan (cor pulmonale). D. Manifestasi Klinik •



Gejala awal paru obstruktif kronik termasuk batuk kronik dan produksi sputum; pasien dapat mengalami gejala ini selama beberapa tahun sebelum berkembangnya dispnea.







Pemeriksaan fisik menunjukkan hasil normal pada pasien yang berada pada tahan paru obstruktif kronik yang lebih ringan. Bila keterbatasan aliran udara menjadi parah, pasien dapat mengalami sianosis membrane mukosa, barrel chest karena pengembangan paruparu berlebihan, peningkatan laju respirasi istirahat, nafas dangkal, bibir monyong selama ekspirasi, dan penggunaan otot respirasi pelengkap.







Pasien dengan paru obstruktif kronik yang memburuk dapat mengalami dispnea yang parah, peninggkatan volume sputum, atau peningkatan kandungan nanah pada sputum. Tanda umum lain dari paru obstruktif kronik yang memburuk termasuk dada sempit, peningkatan kebutuhan brokodilator, tidak enak badan, lelah, dan penuruan toleransi latihan fisik.



E. Mekanisme Obstruksi Saluran Napas Obstruksi saluran napas difus yang terjadi pada asma terdiri dari empat unsur, yaitu: 1.



Hipertrofi otot polos bronkus



2.



Peningkatan sekresi mukus ke dalam lumen bronkus



3.



Edema mukosa bronkus



4.



Infiltrasi sel inflamasi oleh eosinofil dan netrofil pada dinding saluran napas dan lumen.



4



Mekanisme obstruksi saluran napas yang terjadi pada asma sangat kompleks, tetapi interaksi dengan hiperaktivitas bronkus merupakan faktor utama. Pada bronkitis kronik obstruksi saluran napas terjadi melalui mekanisme lain. Faktor pencetus penyakit ini adalah suatu iritasi kronik yang disebabkan oleh asap rokok dan polusi. Asap rokok merupakan campuran partikel dan gas. Pada tiap hembusan asap rokok terdapat l014 radikal bebas yaitu radikal hidroksida (OH-). Sebagian besar radikal bebas ini akan sampai di alveolus waktu menghisap rokok. Partikel ini merupakan oksidan yang dapat merusak paru. Parenkim paru yang rusak oleh oksidan terjadi karena rusaknya dinding alveolus dan timbulnya modifikasi fungsi anti elastase pada saluran napas. Anti elastase berfungsi menghambat netrofil. Oksidan menyebabkan fungsi ini terganggu, sehingga timbul kerusakan jaringan intersititial alveolus. Partikulat dalam asap rokok dan udara terpolusi mengendap pada lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus, sehingga menghambat aktivitas silia. Pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang, sehingga iritasi pada sel epitel mukosa meningkat. Hal ini akan lebih merangsang kelenjar mukosa. Keadaan ini ditandai dengan gangguan aktifitas silia menimbulkan gejala batuk kronik dan ekpektorasi. Produk mukus yang berlebihan memudahkan timbulnya infeksi serta menghambat proses penyembuhan, keadaan ini merupakan suatu lingkaran dengan akibat terjadi hipersekresi. Bila iritasi dan oksidasi di saluran napas terus berlangsung maka terjadi erosi epitel serta pembentukan jaringan parut. Selain itu terjadi pula metaplasi skuamosa dan penebalan lapisan skuamosa. Hal ini menimbulkan stenosis dan obstruksi saluran napas yang bersifat irreversible. Emfisema adalah keadaan terdapatnya pelebaran abnormal alveoli yang permanen dan destruksi dinding alveoli. Dua jenis emfisema yang relevan dengan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) yaitu emfisema pan acinar dan emfisema sentri-acinar. Pada jenis pan-acinar kerusakan acinar relatif difus dan dihubungkan dengan proses menua serta pengurangan permukaan alveolar. Keadaan ini menyebabkan berkurangnya elastic recoil paru sehingga timbul obstruksi saluran napas. Pada jenis sentri-acinar kelainan terjadi pada bronkiolus dan daerah perifer acinar, kelainan ini sangat erat hubungannya dengan asap rokok dan penyakit saluran napas perifer. Pada sindrom obstruksi pasca Tb (SOPT) mekanisme obstruksi terjadi oleh karena rusaknya parenkim paru akibat penyakit tuberculosis. Timbulnya fibrosis mengakibatkan saluran napas yang



5



tidak teratur, serta emfisema kompensasi karena proses fibrosis dan atelektasis mungkin mempunyai peran dalam terjadinya obstruksi saluran napas pada penyakit ini. F. Pemeriksaan penunjang 1



Pemeriksaan rutin a. Faal Paru 1) Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP 2) Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%). Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %. 3) VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. 4) Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%. b. Uji Bronkodilator 1) Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter. 2) Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awaldan < 200 ml. 3) Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil. § Darah rutin, yaitu pemeriksaan pada Hb, Ht, leukosit. § Radiologi. Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain. Pada emfisema terlihat gambaran : Hiperinflasi, Hiperlusen, ruang retrosternal melebar, diafragma mendatar, jantung menggantung (jantung pendulum/ tear drop/ eye drop appearance). Pada bronkitis kronik : normal, corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus.



2. Pemeriksaan khusus (tidak rutin) a. Faal Paru 6



1) Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat. 2) DLCO menurun pada emfisema. 3) Raw meningkat pada bronkitis kronik. 4) Sgaw meningkat. 5) Variabiliti Harian APE kurang dari 20 % b. Uji Latih Kardiopulmoner 1) Sepeda statis (ergocycle) 2) Jentera (treadmill) 3) Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal § Uji provokasi bronkus, untuk ntuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan. § Uji coba kortikosteroid, menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg



per



hari



selama



2



minggu



yaitu



peningkatan



VEP1



pascabronkodilator >20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid. § Analisis gas darah, terutama untuk menilai gagal napas kronik stabil dan gagal napas akut pada gagal napas kronik § Radiologi -



CT Scan resolusi tinggi



-



Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos.



-



Scan ventilasi perfusi Mengetahui fungsi respirasi paru.



§ Elektrokardiografi, mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan. § Ekokardiografi, menilai fungsi jantung kanan. § Bakteriologi. Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang 7



merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia. G. Penanganan Penatalaksanaan



pada



penyakit



paru



obstruksi



bertujuan



untuk



menghilangkan atau mengurangi obstruksi yang terjadi seminimal mungkin dan secepatnya agar oksigenisasi dapat kembali normal; keadaan ini dipertahankan dan diusahakan menghindari perburukan penyakit atau timbulnya obstruksi kembali pada kasus dengan obstruksi yang reversibel. 1. Usaha mencegah perburukan penyakit 2. Mobilisasi lendir 3. Mengatasi bronkospasme 4. Memberantas infeksi 5. Penanganan terhadap komplikasi 6. Fisioterapi, terapi inhalasi dan rehabilitasi.



8



H. Pathway



9



DAFTAR PUSTAKA Bulechek, Gloria M. dkk. 2016. “Nursing Interventions Classification (NIC) Edisi ke Enam”. Singapore: Elsevier. Haryono, Rudi & Maria Putri Sari Utami. 2019. “Keperawatan Medical Bedah 2”. Yogyakarta: Pustaka Baru. Moorhead, Sue. dkk. 2016. “Nursing Outcomes Classification (NOC) Edisi ke Lima”. Singapore: Elsevier. Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. “Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Edisi 1”. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat.



10