LP SOPT (Poli Paru) Rindi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PRAKTIK KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH SINDROM OBSTRUKSI PASCA TUBERCHOLOSIS RSUD dr. H. MOCH ANSARI SALEH BANJARMASIN



DOSEN PEMBIMBING :BAIDAH, S.Kep.,Ns., M.Kep



DISUSUN OLEH : NAMA



: RINDIANI SILVIA



NIM



: 11409719032



TINGKAT



: II



SEMESTER : III AKADEMI KEPERAWATAN KESDAM VI/TANJUNGPURA BANJARMASIN 2020



LEMBAR PERSETUJUAN



LAPORAN PRAKTIK KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH SINDROM OBSTRUKSI PASCA TUBERCHOLOSIS DI RSUD dr. H. MOCH ANSARI SALEH DI BANJARMASIN, TELAH DI SETUJUI OLEH PEMBIMBING LAHANDAN PEMBIMBING AKADEMIK.



Banjarmasin,



Desember 2020



RINDIANI SILVIA NIM : 11409719032 Menyetujui Pembimbing Lahan



Hj.Asmi.S.Kep.Ners NIP : 19821112206042009



Pembimbing Akademik



M.Husni,S.Kep.,Ns.,M.Kes NIK : 1125039101



LAPORAN PENDAHULUAN SOPT



I.KONSEP TEORI A. Latar Belakang SOPT yaitu suatu kelainan obstruksi yang berhubungan dengan proses TB dikenal dengan berbagai nama. Cugger 1955 menyebutnya emfisema obstruksi kronik. Martin dan Hallet menggunakan istilah emfisema obstruksi difus. Bomberg dan Robin menyebutnya sebagai emfisema obstruksi difus. Lain halnya dengan Vargha dan Bruckner yang menyebutnya sindrom ventilasi obstruksi. Oleh Tanuwiharja, kelainan ini disebutnya



sindrom



obstruksi



difus.



Di



Unit



Paru



RSUP



Persahabatan



Jakarta, kelainan obstruksi pada penderita TB paru didiagnosis sebagai TB paru dengan sindrom obstruksi, sedangkan kelainan obstruksi pada penderita bekas TB paru didiagnosis sebagai obstruksi pasca TB (SOPT).  Tuberkulosis paru ini juga meninggalkan gejala sisa yang dinamakan Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis (SOPT) yang cukup meresahkan. Gejala sisa yang paling sering ditemukan yaitu gangguan faal paru dengan kelainan obstruktif yang memiliki gambaran klinis mirip Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). Adapun patogenesis timbulnya SOPT sangat kompleks, dinyatakan pada penelitian terdahulu bahwa kemungkinan penyebabnya adalah akibat infeksi TB yang dipengaruhi oleh reaksi imun seseorang yang menurun sehingga terjadi mekanisme makrofag aktif yang menimbulkan peradangan



nonspesifik



yang



luas.



Peradangan



yang



berlangsung



lama



ini



menyebabkan gangguan faal paru berupa adanya sputum, terjadinya perubahan pola pernapasan, rileksasi menurun, perubahan postur tubuh, berat badan menurun dan gerak lapang paru menjadi tidak maksimal (Irawati, 2013). Berdasarkan wacana dan permasalahan yang timbul di atas, penulis berniat untuk mengetahui dan mendalami manfaat dari pemberian modalitas fisioterapi berupa IR, Breathing Exercise, Coughing Exercise, dan Mobilisasi Sangkar Toraks pada kondisi Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis (SOPT). B. Anatomi dan Fisiologi A. Anatomi a. Hidung Hidung atau naso atau nasal merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai dua lubang (kavum nasi), dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi). Di dalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring udara,debu, dan kotoran yang masuk ke dalam lubang hidung. b. Faring



Faring atau tekak merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan dan jalan makanan, terdapat di bawah dasar tengkorak, dibelakang rongga hidung, dan mulut sebelah depan ruas tulang leher. c. Laring Laring atau pangkal tenggorokan merupakan saluran udara danbertindak sebagai



pembentukan



suara,



terletak



di



depan



bagian



faring



sampaiketinggian vertebra servikal dan masuk ke dalam trakhea di bawahnya.Pangkal tenggorokan itu dapat ditutup oleh sebuah empang tenggorokan yangbiasanya disebut epiglotis, yang terdiri dari tulang-tulang rawan yangberfungsi pada waktu kita menelan makanan menutupi laring. d. Trakhea Trakea atau batang tenggorokan merupakan lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16 sampai 20 cincin yang terdiri dari tulang-tulang rawan yangberbentuk seperti kuku kuda (huruf C) sebelah dalam diliputi oleh selaputlendir yang berbulu getar yang disebut sel bersilia, hanya bergerak ke arah e. Bronkus Bronkus atau cabang tenggorokan merupakan lanjutan dari trakea, ada 2 buah yang terdapat pada ketinggian vertebra torakalis IV dan V, mempunyaistruktur serupa dengan trakea dan dilapisi oleh jenis set yang sama. Bronkus berjalan ke bawah dan ke samping ke arah tampuk paruparu. Bronkuskanan lebih pendek dan lebih besar dari pada bronkus kiri, terdiri dari 6-8cincin, mempunyai 3 cabang. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih rampingdari yang kanan, terdiri dari 9-12 cincin mempunyai 2 cabang. Bronkus bercabang-cabang, cabang yang lebih kecil disebut bronkiolus (bronkioli). f.



Paru-paru Paru-paru ada dua, merupakan alat pernfasan utama. Paru-paru mengisi rongga dada. Terletak disebelah kanan dan kiri dan ditengah dipisahkan olehjantung beserta pembuluh darah besarnya dan struktur lainnya yang terletakdidalam media stinum. Paru-paru adalah organ yang berbentuk kerucutdengan apeks (puncak) diatas dan sedikit muncul lebih tinggi daripadaclavikula didalam dasar leher. Pangkal paru-paru duduk diatas landau ronggathoraks, diatas diafraghma. Paru-paru mempunyai permukaan



luar yangmenyentuh iga-iga, permukaan dalam yang memutar tampuk paruparu, sisibelakang yang menyentuh tulang belakang, dan sisi depan yang menutupsebagian sisi depan jantung. Paru-paru dibagi menjadi beberapa belahan atau lobus oleh fisura. Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus dan paru-paru kiri dua lobus. Setiap lobus tersusun atas lobula. Jaringan paru-paru elastis, berpori, dan seperti spons. Pembagian paru-paru; paru-paru dibagi 2 (dua) : 1) Paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belah paru), lobus pulmo superior, lobus media, dan lobus inferior. 2) Paru-paru kiri, terdiri dari, pulmo sinister lobus superior dan lobus inferior. C. Fisiologi Fungsi paru-paru ialah pertukaran gas oksigen dan karbondoksida. Pada pernafasan melalui paru-paru atau pernafasan eksterna, oksigendipungut melalui hidung dan mulut pada waktu bernafas; oksigen masukmelalui trakea dan pipa bronkial ke alveoli, dan dapat behubungan eratdengan darah didalam kapiler pulmonaris. Hanya satu lapisan membran,yaitu membran alveoli kapiler, yang memisahkan oksigen dari darah.Oksigen menembus membran ini dan dipungut oleh hemoglobin seldarah merah dan dibawa ke jantung. Dari sini dipompa didalam arterikesemua bagian tubuh. D. Etiologi Etiologi penyakit ini belum diketahui, Menurut Muttaqin Arif (2008), penyebab dari SOPT adalah: 1.



Kebiasaan merokok,



2.



Adanya infeksi: Haemophilus influenza dan streptococcus pneumonia.



3.



Polusi oleh zat-zat pereduksi.



4.



Faktor keturunan.



5.



Lanjutan dari penyakit tubercholosis



E. Tanda dan Gejala Adapun gejala utama pada pengidap TBC dan SOPT berupa: 1) batuk berdahak 2) sesak napas, 3) penurunan ekspansi sangkar toraks. Gejala lainnya adalah demam tidak tinggi atau meriang, dan penurunan berat badan (Widoyono, 2005).



F. Patofisiologi dan Pathway Munculnya sindrom obstruksi pada TB paru yang mengarah ke timbulnya sindrom pasca TB sangat kompleks; pada penelitian terdahulu dikatakan akibat destruksi jaringan paru oleh proses TB. Kemungkinan lain adalah akibat infeksi TB, dipengaruhi oleh reaksi imunologis perorangan sehingga menimbulkan reaksi peradangan nonspesifik yang luas karena tertariknya neutrofil ke dalam parenkim paru makrofag aktif. Peradangan yang berlangsung lama ini menyebabkan proses proteolisis dan beban oksidasi sangat meningkat untuk jangka lama sehingga destruksi matriks alveoli terjadi cukup luas menuju kerusakan paru menahun dan mengakibatkan gangguan faal paru yang dapat dideteksi secara spirometri. Gangguan faal paru akibat proses tuberkulosis paru berupa kelainan restriksi dan obstruksi telah banyak diteliti; kelainan yang bersifat obstruksi dan menetap akan mengarah pada ter- jadinya sindrom obstruksi pasca TB (SOPT). Destruksi parenkim paru pada emfisema menyebabkan elastisitas berkurang sehingga terjadi mekanisme ventil yang menjadi dasar terjadinya obstruksi arus udara. Emfisema kompensasi yang ditemukan pasca reseksi paru dan akibat atelektasis lobus atas karena TB paru seharusnya tidak obstruktif. McCanel (2010) pada emfisema karena sekuele TB terjadi destruksi dan dilatasi pada dinding alveoli hingga



bronkiolus



terminalis



akibat



proses



fibrosis.



Proses



tersebut



menyebabkan perubahan permanen dari struktur paru karena kehilangan elastisitas pada bronkiolus yang menyebabkan gangguan obstruksi yang ditandai adanya penurunan FEV1. Gaensler dan Lindgren berpendapat bahwa bronkitis kronis spesifik lebih mungkin merupakan faktor etiologi timbulnya emfisema obstruksi pada tuberkulosis paru dibandingkan dengan over distention jaringan paru di dekat daerah retraksi. Bell berhasil menimbulkan bula emfisematous pada kelinci yang ditulari mikobakterium tuberkulosis secara trakeal dan menyimpulkan bahwa proses emfisema dimulai dengan destruksi jaringan lalu diikuti ekspansi. Vargha dan Bruckner menyatakan bahwa bronkitis kronis difus yang disebabkan sekret dari kavitas menimbulkan kelainan obstruksi. Lee et al (2011) riwayat TB berhubungan dengan fungsi paru oleh karena adanya kerusakan pada pleura, stenosis bronkhial, dan parenkim. TB meningkatkan akitivitas matrix metalloproteinase yang berkontribusi pada



kerusakan paru. Perluasan lesi TB akan menimbulkan restriksi, dengan menurunnya transfer karbonmonoksida di paru. Adanya lesi yang kecil pun pada paru dapat menjadi resikomunculnya obstruksi jalan napas. Faktor yang berperan adalah fibrosis jalan napas dan peradangan. Infeksi TB berhubungan dengan fibrosis dan respon imun dari infeksi mycobacterium menyebabkan peradangan saluran napas dan berdampak pada obstruksi paru. Pada fibrosis paru pasca TB meninggalkan lesi pada bronchus dan trakea menyebabkan gangguan obstruksi. Akibat obstruksi menyebabkan sesak napas saat ekspirasi dengan adanya wheezing, gangguan ventilasi-perfusi dan penurunan FEV1 pada pemeriksaan fungsi paru (Mc Canel et al, 2010).



G. Pemeriksaan Penunjang



a) Pemeriksaan Radiologis Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis yang praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis. Pemerikasaan ini memang membutuhkan biaya lebih dibandingkan pemeriksaan sputum, tetapi dalam beberapa hal ia memberikan keuntungan seperti pda tuberkulosis anak-anak dan tuberkulosis milier. Pada kedua hal diatas diagnosis dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologis dada sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu negatif.Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru ( segmen apikal lobus atas atu segemen apikal lobus bawah) tetapi dapt pula mengenai lobus bawah (bagian inferior) atau di daerah hilus menyerupi tumor paru (misalnya pada tuberkulosis endobronkial).Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia, gambara radiologi berupa bercak-bercak seperti awandan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini dikenal sebagai tuberkuloma.Gambaran tuberkulosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru. Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis paru adalah penebalan pleura (pleuritis), masa cairan di bagian bawah paru (efusi pleura/empiema), bayangan hitam radio-lusen di pinggir paru atau pleura (pneumothoraks).Pada suatu foto dada sering didapatkan bemacam-macam bayangan sekaligus (pada tuberkulosis yang sudah lanjut) seperti infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi, kavitas (non sklerotik maupun sklerotik) maupun antelekstasis dan empisema. Pemeriksaan khusus yang kadang-kadang juga diperlukan adalah bronkografi, yakni untuk melihat kerusakan bronkus atau paru yang disebabkan oleh tuberkolosis. Pemeriksaan ini umumnya dilakukan bila pasien akan menjalani pembedahan paru.Pemeriksaan radiologis dada yang lebih canggih saat ini sudah banyak dipakai di rumah sakit rujukan adalah Computed Tomography Scanning (CT Scan). Pemeriksaan ini lebih superior dibanding radiologis biasa. Perbedaan densitas jaringan terlihat lebih jelas dan sayatan dapat dibuat transversal. Pemeriksaan lain yang lebih canggih lagi adalah Magnetic Resonance Imaging (MRI). Pemeriksaan MRI ini tidak sebaik CT Scan, tetapi dapat mengevaluasi prosesproses dekat apeks paru, tulang belakang, perbatasan dada-perut. Sayatan bila dibuat transversal, sagital dan koronal.



b) Pemeriksaan Laboratorium 1. Darah Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya kadang-kadang meragukan, hasilnya tidak sensitif dan juga tidak spesifik. Pada saat tuberkulosis baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi.Hasil pemeriksaan darah lain didapatkan juga : anemia ringan dengan gambaran normokrom dan normositer, gama globulin meningkat, kadar natrium darah menurun pemeriksaan tersebut di atas nilainya juga tidak spesifik.



2. Sputum Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Disamping itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah dapat diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan dilapangan (puskesmas). Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama pasien yang tidak batuk atau batuk yang non produktiv. Dalam hal ini dianjurkan dalam satu hari sebelum pemeriksaan sputum dianjurkan minum air sebanyak ±2ltr dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dapat juga dengan memberikan tambahan obat-obat mukolitik eks-pektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama 20 – 30 menit. Bila masih sulit , sputum dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi di ambil dengan brushing atau bronchial washing atau BAL ( broncho alveolar lavage). BTA dari sputum bisa juga di dapat dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anakanak karena mereka sulit mengeluarkan dahaknya. Sputum yang akan di periksa hendaknya sesegar mungkin. Bila sputum sudah di dapat, kuman BTA pun kadang-kadang sulit ditemukan. Kuman baru dapat ditemukan bila bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka keluar, sehingga sputum yang mengandung kuman BTA mudah keluar. Diperkiran di Indonesia ditemukan pasien BTA positif tetapi kuman tersebut tidak ditemukan di dalam sputum mereka.Kriteria sputum BTA positif



adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3



batang kuman BTA pada satu



sediaan. Dengan kata lain 5000 kuman dalam 1mL sputum. Untuk pewarnaan sediaan dianjurkan memakai cara Tan Thiam Hok yang merupakan muldifikasi gabungan cara pulasan Kinyoun dan Gabbet.Cara pemeriksaan sediaan sputum yang dilakukan adalah : a) Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa b) Pemeriksaan sediiaan langsung dengan mikroskop fluoresens (pewarnaan khusus) c)



Pemeriksaan dengan biakan ( kultur )



d) Pemeriksaan terhadap resistensi obat Saat ini sudah dikembangkan pemeriksaan biakan sputum BTA dengan cara Bactec (Bactec 400 Radiometric System), dimana kuman sudah dapat dideteksi dalam 7-10 hari. Disamping itu dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat dideteksi DNA kuman TB dalam waktu yang lebih cepat atau mendeteksi M. tuberculosae yang tidak tumbuh pada sediaan biakan. Dari hasil biakan biasanya dilakukan juga pemeriksaan terhadap resistensi obat dan identifikasi kuman.Kadang-kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasa terdapat kuman BTA (positif), tetapi pada biakan hasilnya negatif. Ini terjadi pada fenomen dead bacilli atau non culturable bacilli yang disebabkan keampuhan panduan obat antituberkulosis jangka pendek yang cepat mematikan kuman BTA dalam waktu pendek.Untuk pemeriksaan BTA sediaan mikroskopis biasa dan sediaan biakan, bahan-bahan selain sputum dapat juga diambil dari bilasan bronkus, jaringan paru,



pleura,



cairan



pleura,



cairan



lambung,



jaringan



kelenjar,



cairan



serebrospinal, urin dan tinja.



3. Tes Tuberkulin Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis tuberkulosis terutama pada anak-anak (balita). Biasanaya dipakai test Mantoux yakni dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin P.P.D. (Purfied Protein Derivative) intrcutan berkekuatan 5 T.U. (intermediate strength). Bila ditakutkan reaksi hebat dengan 5 T.U. dapat diberikan dulu 1 atau 2 T.U. (first strength. Kadang-kadang bila denga 5 T.U. masih memberikan hasil negatif dapat diulangi dengan 250 T.U. (second sterngth). Bila dengan 250 T.U. masih memberikan hasil negatif, berarti tuberkulosis dapat disingkirkan. Umumnya tes mantuox dengan 5 T.U. saja sudah



cukup berarti.Setelah 48-72 jam setelah tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi seluler dan antigen tuberkulin. Banyak sedikitnya reaksi persenyawaan antibodi selular dan antigen tuberkulin amat dipegaruhi oleh antibodi humoral, makin besar pengaruh antibodi humoral, makin kecil indurasi yang ditimbulkan. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, hasil test mantoux ini dibagi dalam:



a) Indurasi 0-5mm (diameternya) : Mantoux negatif= golongan non sensitivy. Disini peranan antibodi humoral apaling menonjol.



b) Indurasi 6-9 mm : hasil meragukan= golongan low grade sensitivy. Disini peran antibodi humoral masih menonjol.



c) Indurasi 10-15 mm : Mantoux positif= golonagan normal sensitivy. Disini peran kedua antibodi seimbang.



d) Indurasi lebih dari 15 mm : Mantoux positif kuat= golongan hypersensitivy. Disini peran antibodi selular paling menonjol.



e) Untuk pasien dengan HIV positif, Test Mantoux ± 5 mm, dinilai positif. H. Prognosis Prognosis dari SOPT cukup buruk, karena SOPT tidak dapat disembuhakan secara permanen, 30% penderita dengan sumbatan yang berat akan meninggal dalam waktu 1 tahun, 95% meninggal dalam waktu 10 tahun. Ini terjadi oleh kegagalan napas, pneumonia, aritmia jantung, atau emboli paru. I.



Penatalaksanaan



1. Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok, infeksi, polusi udara. 2. Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan : a. Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisillin 4 x 0,25-0,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5 g/hari. Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis yang memproduksi beta laktamase. Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau doksisilin pada pasien yang mengalami eksasebrasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dan membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode



eksasebrasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotic yang lebih kuat. b. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2. c. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik. d. Bronkodilator



untuk



mengatasi,



termasuk



didalamnya



golongan



adrenergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratorium bromide 250 mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5 g iv secara perlahan. 3. Terapi jangka panjang dilakukan dengan : a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4x0,250,5/hari dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut. b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafastiap pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaanobyektif dari fungsi faal paru. c. Fisioterapi. 4. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik. 5. Mukolitik dan ekspektoran. 6. Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe IIdengan PaO2