LTK-K1-Kelompok Filsafat Ilmu Campinha Bacote Model, Ginger and Davidhizar [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN TUGAS KELOMPOK MATA KULIAH : FILSAFAT ILMU



ANALISIS TEORI CAMPINHA-BACOTE MODEL, GIGER DAVIDHIZAR MODEL DITINJAU DARI ASPEK ONTOLOGY, EPISTEMIOLOGY DAN AKSIOLOGI Oleh Kelompok 1: 1. AFFRIDA NURLILY C.W 226170101111004 2. AMELIA CANDRASARI 226170101111011 3. HARDIYANTI



226170101111012



4. NAFISAH



226170100111029



PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN DEPARTEMENT KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2022



KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas tuntunan dan penyertaanNya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini, guna memenuhi tugas Kelompok untuk Mata Kuliah Filsafat Ilmu dengan judul makalah “Analisis Teori Campinha-Bacote Model, Giger Davidhizar Model Ditinjau Dari Aspek Ontology, Epistemiology Dan Aksiologi”. Terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan makalah ini dari awal hingga selesai. Penulis juga menyadari bahwa makalah ini belum sempurna karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman. Maka dari itu penulis mengharapkan segala bentuk saran, masukan dan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan.



Penulis



Kelompok 1



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan zaman, era globalisasi seakan membawa perubahan besar diseluruh dunia dan berdampak pada peningkatan keragaman kebutuhan individu. Hal tersebut menuntut modifikasi perawatan kesehatan untuk menambahkan budaya sebagai bagian integral didalamnya (Albougami, A. S., Pounds, K. G., & Alotaibi, J. S. (2016). Perawat dituntut memiliki pemahaman yang tepat terhadap perbedaan budaya yang ada. Keberagaman kultur dan budaya, kurangnya keterampilan dan pengetahuan seringkali menjadi hambatan nyata bagi perawat untuk melakukan proses asuhan keperawatan secara efektif. (Sharifi, N., Adib-Hajbaghery, M., & Najafi, M, 2019). Hal tersebut menjadi persoalan serius yang harus dibenahi oleh organisasi kesehatan untuk menemukan cara tepat dalam mempromosikan dan merangkul keragaman yang ada (Oikarainen, A., et al, 2019) Sebagai



bentuk



adaptasi



terhadap



kebutuhan



klien,



keperawatan



transkultural mulai diintegrasikan dalam keperawatan modern sebagai satu kesatuan utuh. Keberagaman budaya dan etnis yang diperhadapkan ke fasilitas kesehatan membuat perawat semestinya meningkatkan kepekaan dan kewaspadaan terhadap variasi persepsi dan toleransi masing-masing individu terhadap perawatan kesehatan (Albougami, A. S., Pounds, K. G., & Alotaibi, J. S. (2016). Untuk memahami hal tersebut diperlukan kompetensi budaya sebagai dasar pemahaman keperawatan transcultural. Kompetensi budaya memberikan gambaran bagaimana seseorang harus memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam merawat pasien yang memiliki kebudayaan berbeda dari dirinya sehingga terwujud asuhan keperawatan yang holistic (Silva, S, 2018). Kompetensi budaya yang efektif akan menghasilkan komunikasi yang baik yang berguna dalam peningkatan kenyaman pasien (Binteriawati, Y., Pahriah, T., & Nuraeni, A, 2020). Garneau, A. B., & Pepin, J. (2015) menjelaskan bahwa kompetensi budaya sebagai suatu pengetahuan tindakan yang kompleks yang didasarkan dengan refleksi dan tindakan kritis terk ait perawatan yang



aman secara budaya dan efektif dalam menjalin kemitraan dengan individu, keluarga maupun masyarakat. Beberapa model kompetensi budaya yang dikemukakan para ahli dalam keperawatan transkultural yaitu CampinhaBacote Model dan Giger-Davidhizar Model. Dalam eksistensinya sebagai pengetahuan, kompetensi budaya tidak telepas dari landasan ontology, epistemology dan asksiologi. Ontology secara ringkas berbicara tentang keberadaan dan hakekat objek kompetensi budaya sehingga



membuahkan



pengetahuan.



Epistemologi



berbicara



tentang



bagaimana kompetensi budaya itu dibentuk dan diperoleh. Kemudian yang paling penting pada aksiologi membahas tentang nilai dari sebuah pengetahuan dalam hal ini kompetensi budaya dan sejauh mana hal tersebut tersebut bermanfaat bagi kehidupan manusia. Dengan memahami ketiga unsur ini, seorang individu akan lebih memahami hakekat kompetensi budaya sebagai suatu kebenaran pengetahuan dan pada akhirnya menghargai serta menggunakan hal tersebut sebagaimana mestinya. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis akan membahas “Analisis Teori Campinha-Bacote Model, Giger Davidhizar Model ditinjau dari Aspek Ontology, Epistemiology Dan Aksiologi”. 1.2 Tujuan 1.2.1 Mengetahui Konsep Dasar dari Ontology, Epistemiology Dan Aksiologi. 1.2.2 Mengetahui Konsep Dasar dari Teori Campinha-Bacote Model dan Giger Davidhizar Model 1.2.3 Mengetahui aspek Ontology, Epistemiology dan Aksiologi dari Teori Campinha-Bacote Model, Giger Davidhizar Model 1.3 Manfaat 1.3.1 Memahami Konsep Dasar dari Konsep Dasar dari Ontology, Epistemiology Dan Aksiologi. 1.3.2 Memahami Konsep Dasar dari Campinha-Bacote Model dan Giger Davidhizar Model



1.3.3 Memahami aspek Ontology, Epistemiology dan Aksiologi dari Teori Campinha-Bacote Model, Giger Davidhizar Model



BAB II ISI 2.1. Pengertian Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi 2.1.1. Ontologi Ontology diyakinkan sebagai dasar awal pengembangan suatu pengetahuan dan ilmu. Ontology berasal dari kata Yunani, yaitu Ontos: being dan logos: logic. Jadi ontology merupakan the theory of being qua being atau teori tentang yang. Menurut Jujun (1985) dalam Dasuki, M. R., (2020) menjelaskan bahwa pada dasar nya ontology memberikan bahasan terkait apa yang ingin diketahui, seberapa jauh hal tersebut ingin diketahui dan pengkajian nyata mengenai teori tentang “ada”. Secara tidak langsung dapat dapat disimpulkan ontology berbicara tentang kajian terkait eksistensi itu sendiri berdasarkan logika yang ada (Sanprayogi, M., & Chaer, M. T, 2017. Dasuki, M. R., 2020. Dasuki, M R (2020) Antropologi sebagai ilmu adalah studi tentang arthropoda atau manusia, merupakan integrasi dari beberapa ilmu yang masingmasing mempelajari kompleks masalah khusus tentang manusia. Proses integrasi merupakan proses perkembangan yang



panjang



yang dimulai pada awal abad ke-19 dan berlanjut hingga sekarang. Harsoyo (1988) menyatakan bahwa antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia sebagai makhluk sosial. Tanpa Kajian ontology akan suatu hal, suatu ilmu dan pengetahuan tidak akan memiliki dasar untuk mendapatkan suatu pembahasan yang lebih mendalam. (Dasuki, M. R., 2020. Hifni, M, 2018. Susanto, A, 2021) 2.1.2. Epistemologi Epistemologi berasal dari Bahasa Yunani “Episteme” yang berarti pengetahuan dan “Logos” yang merujuk pada teori. Secara etimologis,



epistemology



merupakan



teori



pengetahuan.



Epistemology merupakan bagian yang tak terpisahakan dari ontology. Pada tahap ini suatu pengetahuan dan ilmu akan dilakukan



pengkajian terkait apa seseungguhnya makna keberadaannya, darimana sumbernya dan bagaimana proses terjadinya. Secara tidak langsung



dapat



disimpulkan



bahwa



epistemology



mencoba



memberikan pendekatan terkait asal usul suatu pengetahuan dan latarbelakang terbentuknya sebuah pengetahuan. Objek telaah pada epistemology yaitu memfokuskan pada pertanyaan bagaimana suatu hal dapat datang, bagaimana setiap orang bisa mengetahuinya dan bagaimana hal tersebut bisa dibedakan dengan yang lainnya. Rickman (Rickman 1967) dalam hifni, M 2018 mengatakan



bahwa epistemologi pada dasarnya



berbicara tentang: a. Prinsip dan preposisi apa yang terlibat ketika orang mengetahui sesuatu b. Apakah dan bagaimana prinsip dan preposisi ini berubah ketika subjek penelitian juga berubah dan apa implikasinya bagi metode yang digunakan. c. Konsep umum yang mengacu pada fenomena yang dipelajari atau fenomena yang ada dalam kehidupan manusia. d. Bagaimana



menghubungkan



konsep-konsep



umum



yang



penting satu sama lain secara sistematis. Oleh karena epistemologi bersifat filosofis, maka dalam kerangka paradigma di atas, bagian ini memuat unsur-unsur implisit, yang terdiri dari asumsi dasar, etos (nilai) dan model. Asumsi dasar adalah unsur-unsur yang disebut Rickman sebagai prinsip dan praanggapan, yang bervariasi berdasarkan masalah yang diteliti. Dalam antropologi, epistemologi ini kemudian disamakan dengan filsafat antropologi (Hifni, M, 2018, Dasuki, M. R., 2020). 2.1.3. Aksiologi Aksiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu “axios” yang berarti nilai dan kata “logos” yang berarti teori. Secara sederhana aksiologi dapat didefinisikan sebagai suatu teori tentang nilai.



Aksiologi secara umum berusaha menyajikan pembahasan terkait manfaat atau kegunaan pengetahuan yang telah diperoleh (Dasuki, M. R., 2020). Adib (2010) dalam Sanprayogi, M., & Chaer, M. T. (2017) menyatakan bahwa landasan aksiologi erat kaitannya dengan penggunaan atau pemanfaatan suatu ilmu dalam dinamika kehidupan manusia. Hal tersebut memberikan gambaran tentang bagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam suatu ilmu diharapkan mampu berkontribusi pada pengembangan dan pengikatan kualitas hidup manusia. Secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa aksiologi pada



prinsipnya



membahas



tentang



kegunaan



dan



manfaat



pengetahuan bagi manusia. Pada



perkembangannya



diharapkan



aksiologi



dapat



memberikan jawaban atas pertanyaan terkait kegunaan, alasan dan manfaat dari ilmu itu sendiri. Aksiologi erat kaitannya dengan etika dan estetika, hal ini merupakan dampak dari keberadaaan aksiologi itu sendiri yang secara tidak langsung menjadi sarana orientasi bagi manusia untuk menjawab tuntutan kehidupan tentang bagaimana harus hidup dan bertindak (Sanprayogi, M., & Chaer, M. T, 2017). Hal tersebut seakan-akan memberikan arah dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan manusia. Setiap manusia memiliki tujuan masing- masing, akan tetapi dipersatukan oleh kebutuhan akan tujuan yang objektif dan nilai kehidupan. Hal tersebut juga berlaku pada pengetahuan, dimana kebenaran menjadi inti dari tujuan ojektif suatu pengetahuan dan nilai dari suatu pengetahuan bergantung pada kebenaran yang melatarbelakanginya (Sanprayogi, M., & Chaer, M. T, 2017. Karisna, N 2022. Susanto, A,2021). 2.2. Konsep Dasar dari Campinha-Bacote Model Campinha- Bacote pertama kali melakukan pengembangan model pada tahun 1998 dan direvisi pada tahun 2002 yang dikenal dengan model The Process of Cultural Competence in the Delivery of Healtcare Service. Model Campinha-Bacote menggabungkan lima konstruksi yang saling



terkait; konstruksi adalah kesadaran budaya, pengetahuan budaya, keterampilan budaya, pertemuan budaya dan budaya menginginkan. Kompetensi budaya adalah proses dimana penyedia secara bertahap membangun budaya kesadaran, pengetahuan dan keterampilan yang menghasilkan perubahan sikap terhadap budaya yang berbeda dan akhirnya kompetensi budaya. Penyedia maju menuju kompetensi budaya melalui pertemuan dengan budaya lain dan memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan untuk beradaptasi dengan situasi. Lebih lanjut, Tortumluoglu (2006) , “Model ini berguna dalam merawat untuk semua orang, karena pada kenyataannya kita semua berasal dari ras yang samaras manusia, dengan semua kebutuhan dasar yang sam. Dalam artikelnya digambarkan teori Campinha-Bacote sebagai "the" persimpangan konstruksi ini mewakili proses kompetensi budaya, dan sebagai area persimpangan menjadi lebih besar, penyedia layanan kesehatan akan menginternalisasi budaya kompetensi di tingkat yang lebih dalam dan memberikan perawatan berkualitas lebih tinggi (Campinha-Bacote, J, 2002. Tortumluoglu, 2006) Model ini memandang kompetensi budaya sebagai sebuah proses dimana petugas kesehatan berupaya semaksimal mungkin bekerja secara efektif dalam konteks ruang lingkup budaya klien (individu, keluarga dan komunitas). Secara tidak langsung seorang perawat harus melakukan proses pengembangan kapasitas untuk memberikan perawatan yang efisien dan berkualitas tinggi untuk mencapai kompetensi budaya Service (Albougami, A. S, 2016. Karisna N, 2022) Dalam proses perkembangannya terdapat 5 asumsi dasar yang melatarbelakangi model tersebut, yakni sebagai berikut (CampinhaBacote, J, 2002): a. Kompetensi budaya merupakan suatu proses dan bukan sebuah peristiwa b. Kompetensi budaya terdiri atas 5 konstruksi c. Kemungkinan besar terjadi banyak keanekaragaman intra-etnis dibandingkan lintas kelompok etnis



d. Terdapat hubungan yang era tantara pengetahuan dan kompetensi tenaga kesehatan dengan kemampuan seseorang dalam memberikan pelayanan kesehatan e. Kompetensi budaya merupakan aspek penting dalam pemberian pelayanan kesehatan yang efektif dan responsive secara budaya Pada penerapannya, model The Process of Cultural Competence in the Delivery of Healtcare Service melibatkan kesadaran akan budaya, keterampilan budaya, pertemuan antar budaya, pengetahuan budaya dan hasrat kebudayaan sebagai sebuah kontruksi utama sebuah model. Kontruksi pertama yaitu kesadaran budaya, yaitu proses dimana seorang professional secara sadar mengakui keberadaan budaya mereka sendiri dan membantu mereka untu menghargai budaya lain. Kontruksi yang kedua yaitu keterampilan budaya, pada pada kontruksi ini berfokus pada kemampuan untuk memperoleh infomasi yang diperlukan dari pasien sebagai penilaian awal budaya dan penilaian fisik. Kemampuan ini sangat diperlukan untuk menentukan kebutuhan eksplisit dan praktik intervensi. Kontruksi ketiga adalah pengetahuan budaya, dimana melibatkan sebuah proses pemahaman yang dilakukan oleh professional terhadap variasi budaya dan ciri khusus yang ditunjukan kemudian dihubungkan dengan sikap pasien terhadap penyakit dan kesehatan ( Tortumluoglu, 2006. Campinha-Bacote, J, 2002) Kontruksi keempat yaitu pertemuan budaya, dimana professional kesehatan secara langsung terlibat dalam lintas budaya melalui tindakan yang dilakukan pada pasien yang



meimiliki budaya yang berbeda.



Interaksi langsung dengan pasien akan memperbaiki dan memodifikasi keyakinan serta anggapan buruk yang ada tentang suatu budaya dan akan mencaega kemungkinan stereotip yang mungkin muncul. Kontruksi yang terakhir yaitu keinginan dan Hasrat kebudayaan, diamana hal ini menggambarakan kemauan dan kekuatan yang mendorong professional untuk menjadi terdidik, terampil, cakap dan sadar akan budaya serta bersedia dalam melakukan interaksi transkultural. Kelima kontrsuksi tersebut memiliki hubungan dan keterkaitan erat satu dengan lainnya.



Seorang perawat harus mampu menjadi subjek terhadap ke lima konstruksi dan berusaha menyeimbangkannya menjadi satu kesatuan dalam pelayanan kesehatan (Campinha-Bacote, J, 2002. Sloand, 2004).



Gambar 2.1 Model The Process of Cultural Competence CampinhaBacote, J, 2002. Sloand, 2004 Model kompetensi budaya Campinha-Bacote merupakan model untuk pelayanan kesehatan yang dapat diaplikasikan disemua bidang praktik termasuk pada aspek klinis, administrasi, pengembangan kebijakan dan pendidikan. Selain itu, aplikasi praktik model, telah digunakan sebagai kerangka



bekerja



untuk



organisasi



perawatan



kesehatan



untuk



memberikan pelayanan berbasis budaya yang relevan. Hal tersebut secara tidak langsung dapat memberikan gambaran bahwa model kompetensi merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dalam semua aspek dan bagian-bagian proses pemberian pelayanan kesehatan (Campinha-Bacote, J, 2002. Sloand, 2004)



2.3. Konsep Dasar dari Giger-Davidhizar Model Kerangka penilaian transkultural menggambarkan enam fenomena budaya yang: mempengaruhi perawatan kesehatan. Keenam fenomena tersebut adalah komunikasi, ruang, orientasi waktu, sosial organisasi, pengendalian lingkungan dan variasi biologis. Giger dan Davidhizer's model mengeksplorasi pertemuan yang sensitif secara budaya untuk membantu dan mengembangkan perawatan kesehatan pengetahuan, kesadaran, dan keterampilan penilaian penyedia; termasuk verbal dan nonverbal isyarat. Model menekankan pelatihan profesional perawatan kesehatan untuk memberikan sensitif, perawatan yang disesuaikan untuk memenuhi



kebutuhan



individu



yang



beragam



secara



budaya



(Tortumluoglu, 2006; Davidhizar, Bechtel, & Giger, 1998; HRSA, 2001). Model Trancultural Assessment dari Giger dan Davidhizar mulai dikembangkan pada tahun 1988 sebagai bentuk adaptasi kebutuhan mahasiswa sarjana untuk menilai dan memberikan perawatan untuk pasien dengan berbagai macam budaya (Giger JN, Davidhizar R, 2002). Pada proses perkembangannya, model ini memiliki lima metaparadigma yakni sebagai berikut (Giger JN, Davidhizar R, 2002. Tortumluoglu, 2006): a. Keperawatan transkultural, merupakan kajian praktik yang kompeten scara budaya yang berpusat pada klien dan focus pada penelitian b. Perawatan yang kompeten secara budaya, implementasi kompetensi budaya yang optimal dapat membantu perawat dalam merancang intervensi yang tepat untuk mempromosikankesehatan yang optimal tanpa memandang ras, etnis, identitas gender, jenis kelamin atau warisan budaya lainnya c. Individu yang unik secara budaya, setiap individu memiliki budaya yang unik yang berasal dari pengalaman masa lalu, budaya keperaacayaan dan norma budaya d. Lingkungan yang peka akan budaya, perawatan kesehatan berbasis budaya dapat diberikan disetiap bagian praktik klinik



e. Kesehatan dan status kesehatan, kesehatan dan status kesehatan didasarkan oleh budaya perilaku kesehatan dan sakit. Semua keyakinan budaya, nilai budaya dan sikap budaya seorang individu akan memberikan kontribusi nyata pada arti kesehatan yang menyeluruh bagi individu itu sendiri. Secara umum dapat disimpulkan bahwa model ini berfokus pada keterlibatan pasien dalam proses penilaian budaya. Giger dan Davidhizar berpendapat bahwa dalam suatu budaya terdapat enam dimensi umum yaitu komunikasi, ruang, orgnisasi social, waktu, control lingkungan dan variasi biologis. 1) Dimensi pertama yaitu komunikasi, yang merupakan proses holistic dari interkasi dan perilaku manusia. Secara tidak langsung komunikasi menjadi saran dimana budaya dapat ditransmisikan dan dilestarikan baik komunikasi verbal maupun non verbal. 2) Dimensi kedua adalah ruang, merupakan jarak antara individu ketika mereka berinteraksi. Setiap orang memiliki perilaku territorial sendiri dan perawat harus menghargai hal tersebut dengan mengetahui batasan-batasan tertentu. Pelanggaran yang senagaja dilakukan pada ruang klien dapat mengakibatkan klien menolak untuk berpartisipasi aktif pada perawatan. 3) Dimensi yang ketiga adalah organisasi social, dimana mengacu pada bagaimana budaya tertentu mengelompokkan diri sesuai dengan keluarga, kepercayaan dan kewajiban (Albougami, A. S., Pounds, K. G., & Alotaibi, J. S, 2016. Tortumluoglu, 2006). Dimensi ini membantu perawat untuk tetap menyadari bahwa perilaku pasien dipengaruhi oleh factor-faktor seperti seksual, orientasi, pengakuan gelar dan kedudukan dan lain-lain. Kesadaran akan dimensi ini membantu perawat menghindari halhal yang dianggap kurang sopan dan menghina. 4) Dimensi keempat yaitu waktu, waktu merupakan aspek penting dari komunikasi interpersonal. Budaya dari individu dan



kelompok seringkali memiliki orientasi waktu yang berbeda seperti masa lalu, sekarang atau masa depan. 5) Dimensi kelima yaitu pengendalian lingkungan dimana hal ini mengacu



pada



kemampuan



individu



mengendalikan,



memodifikasi dan merencanakan lingkungan sekitar yang dapat berdampak langsung pada klien. 6) Dimensi keenam yakni variasi biologis, pada dimensi ini berbicara tentang keberagaman genetic, struktur tubuh, berat badan, warna kulit dan kecendrungan genetic pada penyakit tertentu tertentu yang terjadi antar individu dalam suatu ras (Albougami, A. S., Pounds, K. G., & Alotaibi, J. S, 2016).



Gambar 2.2 Model Trancultural Assessment (Giger JN, Davidhizar R, 2002. Albougami, A. S., Pounds, K. G., & Alotaibi, J. S, 2016).



BAB III PEMBAHASAN Perawat dalam memberikan intervensi yang berhubungan dengan asuhan keperawatan perlu memperhatikan karakteristik masing-masing klien berdasarkan kebutuhannya. Untuk memenuhi kebutuhan klien yang beraneka ragam, perawat perlu memberikan intervensi dengan pendekatan budaya (Jin, 2017). Perawat yang memberikan intervensi berbasis budaya akan memiliki kemampuan untuk menilai, mendiagnosis, merencanakan, menerapkan, dan mengevaluasi klien melalui berbagai macam budaya berdasarkan karakteristik klien. Adapun contoh teori yang berhubungan dengan intervensi dengan pendekatan budaya adalah Model Campinha Bacote dan Model Giger Davidhizar. Dalam pengaplikasian model-model tersebut diperlukan pendektan ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi adalah kajian yang membahas sesuatu yang bersifat konkret, epistemologi



adalah



teori



pengetahuan



atau



kajian



tentang



kebenaran



pengetahuan, dan aksiologi adalah teori terkait nilai atau rasionalitas nilai (Risnah & Irwan, 2021; Mujahidin, 2013). 3.1 Teori Campinha-Bacote dan Giger - Davidhizar melalui Pendekatan Ontologi Ontologi merupakan kajian yang membahas sesuatu yang bersifat konkret dan merupakan bagian dari bidang filsafat yang mencoba mencari hakikat dari sesuatu. Ontologi merupakan suatu teori terkait makna dari suatu objek dan relasi objek tersebut yang dapat terjadi pada suatu domain pengetahuan (Risnah & Irwan, 2021). Objek telaah ontologi yang ada secara umum adalah usaha dalam mencari inti pada setiap kenyataan dalam semua bentuk perwujudannya. Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuwan hanya pada daerah yang berada pada jangkauan pengalaman manusia. Berdasarkan pendekatan ontologi, Teori Campinha Bacote (The Process of Cultural Competence in the Delivery of Healthcare Services) merupakan model yang memandang kompetensi budaya sebagai proses berkelanjutan



dimana penyedia layanan kesehatan terus berusaha untuk mewujudkan kemampuan dalam bekerja secara efektif dalam konteks budaya klien (individu, keluarga, masyarakat). Proses berkelanjutan yang dilakukan melibatkan integrasi kesadaran budaya, pengetahuan budaya, keterampilan budaya, pertemuan budaya, dan keinginan budaya (Jin, 2017). Model Campinha Bacote dalam pendekatan ontologi merupakan model untuk penyedia layanan kesehatan dalam semua bidang praktik (klinis, administrasi, pendidikan, penelitian, dan pengembangan kebijakan) untuk melakukan intervensi yang peka terhadap budaya. Model Campinha Bacote secara konkret digunakan sebagai kerangka kerja untuk organisasi perawatan kesehatan dalam menyediakan layanan yang relevan secara budaya. Sehingga, para profesional dapat memaksimalkan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap budaya secara mandiri dan memodifikasi intervensi yang sesuai terhadap kebutuhan klien dengan pendekatan terhadap budaya. Kemudian Giger – Davidhizar dengan model Trancultural Assessment merupakan teori yang memiliki cakupan yang sama. Kedua teori menekankan budaya sebagai bagian penting yang harus dipahami sebelum pelayanan kesehatan diberikan. Satu-satunya perbedaan terhadap eksistensi kedua teori tersebut yaitu terkait apa sejauh mana teori itu melakukan perannya. Pada Teori Campinha-Bacote, teori ini dibentuk dan pada tahapannya digunakan untuk membenahi kompetensi budaya dari seorang professional. Professional secara mandiri memaksimalkan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap budaya dan memodifikasi intervensi yang sesuai. Sedangkan Giger – Davidhizar, menjadikan pasien sebagai inti dalam penilaian budaya. Kevhnterlibatan pasien secara langsung dalam penilaian budaya menjadi kekuatan dan dasar valid diperolehnya informasi terkait budaya yang akan digunakan dalam modifikasi intervensi. 3.2 Teori Campinha-Bacote dan Giger-Davidhizar melalui Pendekatan Epistemologi Epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang membahas tentang hakikat pengetahuan manusia. Epistemologi adalah teori pengetahuan



atau kajian tentang kebenaran pengetahuan. Epistemologi sampai pada masalah terkait hubungan metodologi dengan obyek dari ilmu pengetahuan. Persoalan pokok yang berkembang dalam epistemologi meliputi sumbersumber pengetahuan, watak dari pengetahuan manusia (Mujahidin, 2013). Persoalan pokok dalam pendekatan epistemologi berkaitan dengan benar atau tidaknya sebuah pengetahuan, cara untuk memperoleh pengetahuan, dan syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh pengetahuan. Perkembangan Model Campinha Bacote dimulai pada tahun 1969 dimana Campinha Bacote sedang mengejar gelar sarjana keperawatan di Connecticut. Selama masa pendidikan, diketahui bahwa kerusuhan dan konflik terjadi dalam bidang hubungan ras dimana seseorang harus diidentifikasi sebagai hitam atau putih. Campinha Bacote merasa tidak cocok dengan konsep dua kelompok pada generasi Cape Verdean tersebut sehingga memperluas minatnya dalam kelompok budaya di bidang keperawatan transkultural dan antropologi medis. Latar belakang klinisnya sebagai perawat psikiatri juga membawa Campinha Bacote untuk melakukan eksplorasi dalam bidang konseling multikultural. Karya-karya Leininger (1978) di bidang keperawatan transkultural dan Pedersen (1988) dalam bidang pembangunan multikultural digabungkan untuk mengembangkan konstruksi dalam model Campinha Bacote (Campinha-Bacote, 2002). Perpaduan bidang-bidang tersebut yang menyebabkan pengembangan model The Process of Cultural Competence in the Delivery of Healthcare Services yang memadukan bidang keperawatan transkultural, antropologi medis, dan konseling multikultural. Model Campinha Bacote menjelaskan proses pemberian pelayanan kesehatan secara efektif dan terus-menerus dengan menggunakan konteks budaya untuk mengatasi masalah klien dan memenuhi kebutuhan klien. Giger – Davidhizar memiliki pandangan bahwa seseorang sebagai kesatuan memiliki budaya yang unik yang berasal dari pengalaman masa lalu, budaya keperaacayaan dan norma budaya. penting bagi mahasiswa dan professional lainnya mempertimbangkan beberapa aspek penting yang terdapat dalam enam dimensi umum sebagai bagian dari asuhan keperawatan.



Baik



Campinha-Bacote



maupun



Giger







Davidhizar



sama-sama



diperhadapkan akan dengan kondisi yang menampilkan tuntutan nyata akan kepekaan budaya sebagai problem solving. Kedua tokoh tersebut mecoba mengorientasikan pemikiran akan penting keberadaaan dari kompetensi budaya sebagai bagian integral dari keperawatan yang dapat mengakomodasi dan merangkul keberagaman budaya. Kompetensi budaya diyakini dapat membawa perawat pada modifikasi intervensi yang dapat digeneralisasikan keseluruh pasien sesuai dengan karakteristik masing-masing klien 3.3 Teori Campinha-Bacote



dan Giger - Davidhizar melalui Pendekatan



Aksiologi Aksiologi merupakan teori terkait nilai atau rasionalitas nilai. Aksiologi dipahami sebagai cabang filsafat yang membahas tentang nilai. Dalam manifestasinya, aksiologi membahas hal yang berkaitan dengan alasan mengapa sesuatu dikatakan baik/buruk dan indah/tidak indah. Pada tingkat aksiologis, pemahaman tentang nilai-nilai adalah hal yg mutlak. Nilai menyangkut etika, moral, dan tanggung jawab manusia itu sendiri (Risnah & Irwan, 2021). Aksiologi memberikan gambaran terkait nilai suatu ilmu dan manfaat ilmu dalam meningkatkan kualitas hidup klien. Model Campinha Bacote dan Giger Davidhizar memberikan manfaat dalam peningkatan kualitas pelayanan kesehatan, terutama dalam pemberian asuhan keperawatan yang peka terhadap budaya berdasarkan kebutuhan dari masing-masing klien. Dengan penerapan kedua model ini, perawat diharapkan mampu memberikan intervensi dengan pendekatan berbagai macam budaya berdasarkan karakteristik masing-masing klien untuk mengatasi masalah klien dan memenuhi kebutuhan klien. Terdapat lima faktor yang harus dimiliki perawat yang merupakan faktor utama dari konsep Cultural Competence pada tingkat penyedia layanan kesehatan antara lain cultural awareness (kesadaran budaya), cultural knowledge (pengetahuan budaya), cultural skill (keterampilan budaya), cultural encounters (pertemuan budaya), dan cultural desire (keinginan budaya) (Binteriawati et al., 2020). Perawat yang menerapkan konsep Cultural



Competence



dengan



pendekatan



lima



faktor



tersebut



menunjukkan



pemahaman dan pengetahuan tentang budaya pasien, menghormati dan menerima perbedaan budaya, dan menyesuaikan intervensi perawatan yang diberikan agar sesuai dengan budaya pasien. Dengan penerapan konsep Cultural Competence, perawat dapat melakukan intervensi sesuai dengan budaya atau membuat keputusan dengan melakukan pertimbangan aspek kognitif, suportif, fasilitatif, atau memberikan dukungan sesuai dengan kepercayaan, nilai-nilai budaya, budaya individu, kelompok, dan institusional untuk memberikan pelayanan kesehatan dalam mewujudkan kesejahteraan dan kebermanfaatan bagi klien. Model Campinha Bacote dan Giger Davidhziar merupakan model untuk penyedia layanan kesehatan dalam semua semua bidang praktik termasuk klinis, administrasi, pendidikan, penelitian, dan pengembangan kebijakan untuk melakukan intervensi yang peka terhadap budaya. Dengan pemberian intervensi berbasis budaya, klien akan merasa puas terhadap layanan dan perawatan yang diberikan oleh profesional karena dapat memberikan intervensi dengan pendekatan berbagai budaya berdasarkan karakterististik masing-masing klien. Adapun penerapan Model Campinha Bacote dan Giger Davidhziar antara lain sebagai berikut: a. Pelaksanaan



konsep



Cultural



Competence



pada



lingkup



praktik



keperawatan, seperti di ruang ICU adalah penyesuaian lingkungan perawatan yang sesuai dengan budaya pasien dan keluarga (Binteriawati et al., 2020). Perawat



perlu memahami budaya sendiri untuk mengkaji



kelebihan dan kekurangan budaya yang dimiliki, memahami bahasa pasien atau



menggunakan



penerjemah



dan/atau



melibatkan



keluarga,



mempertahankan kondisi multikultural, pemahaman non verbal yang berhubungan dengan budaya pasien, agama yang dianut, maupun komunikasi religius dengan klien seperti dalam melakukan tindakan seting cairan intravena, perawatan luka, dan perpindahan pasien b. Pelaksanaan konsep Cultural Competence pada lingkup organisasi keperawatan memerlukan kompetensi budaya perawat (Binteriawati et al., 2020). Perawat harus memiliki pandangan jika semua budaya setara dan



harus dihormati seperti pada tindakan yang membutuhkan kerjasama antar perawat maka perawat harus memiliki perlakuan yang sama terhadap rekan sejawat berakaitan dengan penghormatan terhadap budaya yang dianut rekan kerjanya c. Pelaksanaan konsep Cultural Competence pada lingkup pendidikan keperawatan dapat digunakan sebagai dasar dalam pengembangan kurikulum pembelajaran (Wall-Bassett et al., 2018). Pembelajaran layanan, paparan situs, dan partisipasi siswa dengan penerapan konsep Cultural



Competence



dalam



program



pembelajaran



pendidikan



internasional dapat membuat siswa menunjukkan kesadaran budaya, pengetahuan budaya, keterampilan budaya, pertemuan budaya, dan keinginan budaya melalui refleksi sesuai dengan Model Campinha Bacote.



BAB IV PENUTUP



4.1. Kesimpulan Perawat memperhatikan



dalam



memberikan



karakteristik



intervensi



masing-masing



keperawatan klien



perlu



berdasarkan



kebutuhannya. Perawat perlu memberikan intervensi dengan pendekatan berbagai macam budaya untuk memenuhi kebutuhan masing-masing klien. Intervensi dengan pendekatan budaya dapat diterapkan dengan penerapan Model Campinha Bacote dan Model Giger Davidhizar. Model Campinha Bacote merupakan model yang memandang kompetensi budaya sebagai proses berkelanjutan dimana penyedia layanan kesehatan terus berusaha untuk mewujudkan kemampuan dalam bekerja secara efektif dalam konteks budaya klien (individu, keluarga, masyarakat). Proses berkelanjutan yang dilakukan melibatkan integrasi kesadaran budaya, pengetahuan budaya, keterampilan budaya, pertemuan budaya, dan keinginan budaya. Sedangkan Model Giger Davidhizar merupakan model yang berfokus terhadap keterlibatan pasien dalam proses penilaian budaya di pelayanan keperawatan transkultural. Model Giger Davidhizar memaparkan bahwa dalam pendekatan budaya terdapat enam dimensi umum yang menjadi faktor utama dalam keperawatan transkultural antara lain komunikasi, ruang, organisasi sosial, waktu, kontrol lingkungan dan variasi biologis. Pengaplikasian model berbasis budaya memerlukan pendekatan ontologi, epistemologi, dan aksiologi dalam penerapannya. Ontologi adalah kajian yang membahas sesuatu yang bersifat konkret dan merupakan teori yang berhubungan dengan makna dari suatu objek. Epistemologi adalah salah satu cabang filsafat yang membahas tentang hakikat pengetahuan manusia dan merupakan teori tentang pengetahuan atau kajian tentang kebenaran pengetahuan. Dan aksiologi adalah teori terkait nilai atau rasionalitas nilai



4.2. Saran Perawat perlu menerapkan asuhan keperawatan dengan pendekatan budaya untuk memenuhi kebutuhan masing-masing klien. Intervensi berbasis budaya bermanfaat untuk mengatasi hambatan klien dan memenuhi kebutuhan klien. Pemberian asuhan keperawatan dengan pendekatan berbagai macam budaya dalam memenuhi kebutuhan karakteristik masingmasing klien dapat meningkatkan kepuasan klien terhadap pelayanan kesehatan. Hal ini dikarenakan profesional dianggap kompeten dalam memberikan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan karakteristik kebutuhan masing-masing klien.



Daftar Pustaka Albougami, A. S., Pounds, K. G., & Alotaibi, J. S. (2016). Comparison of four cultural competence models in transcultural nursing: A discussion paper. International Archives of Nursing and Health Care. 2(3), 1-5. Binteriawati, Y., Pahriah, T., & Nuraeni, A. (2020). Literature Review : Pengalaman Perawat Terkait Pelaksanaan Cultural Competence Di Ruang Intensive



Care



Unit.



Faletehan



Health



Journal,



7(1),



52–61.



https://doi.org/10.33746/fhj.v7i1.125 Campinha-Bacote, J. (2002). The Process of Cultural Competence in the Delivery of Healthcare Services: A Model of Care. Journal of Transcultural Nursing, 13(3), 181–184. https://doi.org/10.1177/10459602013003003 Dasuki, M. R. (2020). Tiga Aspek Utama Dalam Kajian Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, Dan Aksiologi. Proceedings Universitas Pamulang, 1(2). Hifni, M. (2018). Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Dalam Keilmuan. STAIN Madura Jin, M. (2017). Pain Assessment Tools Used When Caring Through Cultural Boundaries. University of Applied Sciences Yrkeshogskolan Novia. Karisna, N. 2022. Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi dalam perspektif filsafat ilmu. The journal of islamic. 2 (1). 66 – 81 Leininger. M & McFarland. M.R, (2002), Transcultural Nursing : Concepts, Theories, Research and Practice, 3rd Ed, USA, Mc-Graw Hill Companies Mujahidin, A. (2013). Epistemologi Islam: Kedudukan Wahyu sebagai Sumber Ilmu. Jurnal Studi Keislaman, 17(1), 41–64.



Oikarainen, A., Mikkonen, K., Kenny, A., Tomietto, M., Tuomikoski, A. M., Meriläinen, M., ... & Kääriäinen, M. (2019). Educational interventions designed



to



develop



nurses’



cultural



competence:



A



systematic



review. International journal of nursing studies, 98, 75-86. Risnah, & Irwan, M. (2021). Falsafah dan Teori Keperawatan Dalam Integrasi Keilmuan. In Musdalifah (Ed.), Alauddin University Press. Alauddin University Press. http://repositori.uin-alauddin.ac.id/17880/ Sharifi, N., Adib-Hajbaghery, M., & Najafi, M. (2019). Cultural competence in nursing: A concept analysis. International journal of nursing studies, 99, 103386. Silva, S. (2018). Cultures: How Different Are They? A Nursing Perspective. Simanjuntak, F.A. et al. (2016) ‘Trankultural Nursing Articel 2016’, pp. 1–9. Susanto, A. (2021). Filsafat ilmu: Suatu kajian dalam dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Bumi Aksara. Unwankoly, S. 2022. Berfikir kritis dalam filsafat ilmu, kajian ontologi, epistemologi dan aksiologi. Jurnal Filsafat Indonesia. 5 (2). 95 - 102 Wall-Bassett, E. D. V., Hegde, A. V., Craft, K., & Oberlin, A. L. (2018). Using campinha-bacote’s framework to examine cultural competence from an interdisciplinary international service learning program. Journal of International



Students,



https://doi.org/10.5281/zenodo.1134303



8(1),



274–283.