Makalah Agama Transfusi Darah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH AGAMA TRANSFUSI DARAH Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Agama



Dosen pengampu : Bapak Achmad Zainuri,S.Pd.I,MM.Kes



Disusun oleh;



Irpan Saadilah Siti Harojah Gini Sintia Ajeng Pratiwi Nurcahyani



PROGRAM STUDI D III KEBIDANAN POLTEKES YAPKESBI SUKABUMI 2019



KATA PENGANTAR Alhamdulillah hirobbil alamin, segala puj penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmatnya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Shalawat serta salam tak lupa penyusun panjatkan pada junjunan kita Nabi Muhammad saw. Makalah dengan judul “Transfusi Darah” ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama. Makalah ini penyusun susun dengan sedemikian rupa agar mudah dipahami dan dimengerti. Penyusun ucapkan terimakasih kepada Bapak Achmad Zainuri,S.Pd.I,MM.Kes selaku dosen pengampu mata kuliah agama, karena atas bimbingannya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini, serta tak lupa penyusun ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik secara material maupun moril. Penyusun menyadari dalam penyusunan ini, banyak kekurangankekurangan maka dari itu penyusun mengharapkan kritik dan sarannya agar dapat membangun kami dimasa yang akan datang. Akhirnya semoga tugas ini dapat diterima dan bermanfaat khususnya bagi kami sebagai penyusun dan pembaca pada umumnya.



Sukabumi,08 November 2018 Penyusun



ii



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR......................................................................................ii DAFTAR ISI....................................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang......................................................................................1 B. Tujuan...................................................................................................1 BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian.............................................................................................2 B. Sejarah..................................................................................................2 C. Landasan Hukum..................................................................................3 D. Analisi...................................................................................................4 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan...........................................................................................15 B. Saran.....................................................................................................15 DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................16



iii



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk sosial yang notabenenya mengharuskan seseorang manusia itu untuk menolong manusia yang lain, apalagi itu terkait dengan masalah nyawa. Tentunya hal itu dilakukan sesuai dengan kemampuan dan tidak merugikan pihak manapun. Tranfusi darah merupakan salah satu wujud kepedulian kita kepada sesama manusia. Secara sosiologis, masyarakat telah lazim melakukan donor darah untuk kepentingan pelaksanaan transfusi, baik secara sukarela maupun dengan menjual kepada yang membutuhkannya. Keadaan ini perlu ditentukan status hukumnya atas dasar kajian ilmiah. Masalah transfusi darah adalah masalah baru dalam hukum Islam, karena tidak ditemukan hukumnya dalam fiqh pada masa-masa pembentukan hukum Islam. Al-Qur’an dan Hadits pun sebagai sumber hukum Islam, tidak menyebutkan hukumnya, sehingga pantaslah hal ini disebut



sebagai



masalah



ijtihadi



guna



menjawab



permasalahan



mengenai hubungan pendonor dengan resepien, hukum menjual belikan darah dan hukum transfusi darah dengan orang beda agama, karena untuk mengetahui hukumnya diperlukan metode-metode istinbath atau melalui penalaran terhadap prinsip-prinsip umum agama Islam. B. Tujuan Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah : 1. Untuk mengetahui tentang pengertian transfusi darah 2. Untuk mengetahui tentang sejarah transfusi darah 3. Untuk mengetahui tentang landasan hukum transfusi darah 4. Untuk mengetahui tentang analisis transfusi darah



1



BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Transfusi darah adalah penginjeksian darah dari seseorang atau yang disebut donor kedalam sistem peredaran darah seseorang yang lain disebut resipien. Transfusi darah tidak pernah terjadi kecuali setelah ditemukannya sirkulasi darah yang tidak pernah berhenti dalam tubuh. Ada 4 golongan darah yang utama A, B, AB, dan O. Perbedaan diantara golongan-golongan ini ditentukan oleh ada tidaknya dua zat utama yaitu A dan B dalam sel darah merah, serta oleh ada tidaknya dua unsur yaitu unsur anti-A dan unsur anti-B dalam serum darah tersebut. Perlu dicatat bahwa serum dan plasma itu mirip, tetapi perbedaan keduanya adalah bahwa



dalam



serum,



fibrinogen



dan



kebanyakan



faktor-faktor



penggumpalan lainnya tidak ada. Jadi, serum ini sendiri tidak dapat menggumpal karena ia tidak memiliki faktor-faktor penggumpal, yang hanya ada didalam plasma. Seseorang yang bergolongan darah O dikenal sebagai donor universal, karena sel darah merah orang ini tidak mengandung zat kimia A maupun B. Tetapi, orang ini tidak dapat menerimam darah orang lain kecuali yang bergolongan O karena serum darahnya berisi unsur anti-A dan anti-B. Disisi lain, seseorang yang bergolongan darah AB dapat menerima transfusi darah dari donor kelompok manapun, sehingga ia disebut sebagai resifien universal, tetapi ia hanya dapat menyumbangkan darahnya pada orang lain yang bergolongan darah AB. B. Sejarah Pada tahun 1665, Dr. Richard Lower, ahli anatomi dari Inggris, berhasil mentransfusikan darah seekor anjing pada anjing yang lain dua tahun kemudian, Jean Baptiste Denis, seorang dokter, filsup, dan astronom dari Prancis, berusaha melakukan transfusi darah pertamakali pada manusia.



2



Ia mentransfusikan darah seekor anak kambing ke dalam tubuh pasien yang berumur 15 tahun. Hasilnya adalah bencana, yaitu kematian anak tersebut dan ia sendiri dikenai tuduhan pembunuhan. Sejak saat itu, terjadi stagnansi panjang dalam bidang transfusi darah terapan. Sekitar 150 tahun kemudian, tepatnya tahun 1818, Dr. James Blundell dari rumah sakit ST. Tomas dan Guy berhasil melakukan transfusi darah dari manusia ke manusia yang pertama kalinya. Ia berhasil melakukannya setelah ia menemukan alat transfusi darah secara langsung, dan ia mengingatkan bahwa hanya darah manusia yang dapat ditransfusikan pada manusia. Tetapi, alat yang diciptakan oleh Dr. Lower itu baru bisa digunakan secara umum setelah tahun 1901. Pada tahun itu Karl Landsteiner, ilmuan dari Wina, berhasil menemukan jenis-jenis darah. Menurut temuan ini, jika jenis-jenis darah yang dicampurkan tidak cocok, maka akan terjadi penggumpalan sel darah merah yang akan berlanjut pada kerusakan masing-masing darah tersebut. C. Landasan Hukum 1.



Al-Qur’an Artinya:”Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q.S Al-Baqarah 173)



2.



Al-Hadits ُ ‫اأَل َتَي‬T َ‫ك ق‬ ‫ي‬ ٍ ‫ ِري‬T ‫َح َّدثَنَا َح ْفصُ بْنُ ُع َم َر النَّ َم ِريُّ َح َّدثَنَا ُش ْعبَةُ ع َْن ِزيَا ِد ْب ِن ِعاَل قَةَ ع َْن أُ َسا َمةَ ْب ِن َش‬ َّ ِ‫ْت النَّب‬ ُ ‫ت ثُ َّم قَ َع ْد‬ ُ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َوأَصْ َحابَهُ َكأَنَّ َما َعلَى ُر ُءو ِس ِه ْم الطَّ ْي ُر فَ َسلَّ ْم‬ ‫ا‬TTَ‫ت فَ َجا َء اأْل َ ْع َرابُ ِم ْن ه‬ َ ُ‫ه‬Tَ‫ َع ل‬T‫ض‬ َ ‫ ْع دَا ًء إِاَّل َو‬T‫ض‬ َ َ‫ َّل لَ ْم ي‬T‫ َّز َو َج‬T‫ال تَدَا َووْ ا فَإ ِ َّن هَّللا َ َع‬ َ َ‫هُنَا َوهَا هُنَا فَقَالُوا يَا َرسُو َل هَّللا ِ أَنَتَدَا َوى فَق‬ )‫(رواه ابي داوود‬  ‫َد َوا ًء َغ ْي َر دَا ٍء َوا ِح ٍد ْالهَ َر ُم‬ Artinya:” Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Umar An Namari telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Ziyad bin 'Ilaqah dari Usamah bin Syarik ia berkata, "Aku pernah mendatangi Nabi



3



shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya, dan seolah-olah di atas kepala mereka terdapat burung. Aku kemudian mengucapkan salam dan duduk, lalu ada seorang Arab badui datang dari arah ini dan ini, mereka lalu berkata, "Wahai Rasulullah, apakah boleh kami berobat?" Beliau menjawab: "Berobatlah, sesungguhnya Allah 'azza wajalla tidak menciptakan penyakit melainkan menciptakan juga obatnya, kecuali satu penyakit, yaitu pikun."  (H.R Abu Dawud) 3.



Pandangan Ulama’ Berdasarkan kaidah hukum Fiqh Islam yang berbunyi: ‫المل فى الشياء االباحة حت ّى يدل ال ّدليل على تحريمها‬ Artinya: Bahwasanya pada prinsipnya segala sesuatu boleh hukumnya kecuali kalau ada dali yang mengaramkannya.



D. Analisis Perkataan tranfusi darah, adalah terjemahan dari bahasa inggris “Blood Transfusi“, kemudian diterjemahkan oleh dokter Arab menjadi ‫دم‬TTT‫ل ال‬TTT‫نق‬ ‫للعالج‬  (memindahkan darah karena kepentingan medis). Lalu Dr.Ahmad Sofian mengartikan tranfusi darah dengan istilah “pindah-tuang darah” sebagaimana rumusan definisinya yang berbunyi: ”pengertian pindah-tuang darah adalah memasukkan darah orang lain ke dalam pembuluh darah orang yang akan ditolong”. Tranfusi darah itu tidak membawa akibat hukum adanya kemahraman antara pendonor dan resipien.sebab faktor-faktor yang dapat menyebabkan kemahraman sudah ditentukan oleh Islam sebagaimana tersebut dalam AlQur’an Surat An-Nisa’ ayat 23: Artinya:”Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anakanak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang



4



menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Masalah transfusi darah tidak dapat dipisahkan dari hukum menjual belikan darah sebagaimana sering terjadi dalam parkteknya di lapangan. Mengingat semua jenis darah termasuk darah manusia itu najis berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Jabir, kecuali barang najis yang ada manfaatnya bagi manusia, seperti kotoran hewan untuk keperluan pupuk. Menurut madzhab Hanafi dan Dzahiri, Islam membolehkan jual beli barang najis yang ada manfaatnya seperti kotoran hewan. Maka secara analogi (qiyas) madzhab ini membolehkan jual beli darah manusia karena besar sekali manfaatnya untuk menolong jiwa sesama manusia, yang memerlukan transfusi darah. Namun pendapat yang paling kuat adalah bahwa jual beli darah manusia itu tidak etis disamping bukan termasuk barang yang dibolehkan untuk diperjual belikan karena termasuk bagian manusia yang Allah muliakan dan tidak pantas untuk diperjual belikan, karena bertentangan dengan tujuan dan misi semula yang luhur, yaitu amal kemanusiaan semata, guna menyelamatkan jiwa sesama manusia. Rasulullah bersabda dalam hadist Ibnu Abbas ra : “Sesungguhnya jika Allah mengharamkan sebuah kaum untuk memakan sesuatu maka Allah akan haramkan harganya." Persyaratan dibolehkannya tranfusi darah itu berkaitan dengan masalah medis, bukan masalah agama. Persyaratan medis ini harus dipenuhi karena adanya kaidah-kaidah hukum Islam sebagai berikut: 1.



‫رريزال‬222‫الض‬Artinya bahaya itu harus dihilangkan (dicegah). Misalnya bahaya kebutaan harus dihindari dengan berobat dan sebagainya.



5



2.



‫رر‬22‫زال بالض‬22‫رر الي‬22‫الض‬ Artinya bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lain [lebih besar bahayanya] .misalnya seorang yang memerlukan tranfusi darah karena kecelakaan lalu lintas, atau operasi, tidak boleh menerima darah orang yang menderita AIDS, sebab bisa mendatang-kan bahaya yang lebih besar/berakibat fatal.



3.



‫رار‬22‫رر وال ض‬22‫الض‬ Artinya  tidak boleh membuat mudarat kepada dirinya sendiri dan tidak pula membuat mudarat kepada orang lain, misalnya seorang pria yang impotent atau terkena AIDS tidak boleh kawin sebelum sembuh. Apabila



terdapat



padanya



maslahat



dan



tidak



menimbulkan



kemudharatan yang dapat membahayakan dirinya, maka donor darah tidak terlarang. Bahkan padanya terdapat pahala dan keutamaan, sebagaimana yang termaktub dalam kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. QS 99:78, “Barangsiapa yang beramal dengan sebiji debu kebaikan maka dia akan melihatnya, dan barangsiapa yang beramal dengan sebiji debu kejelekan maka dia akan melihatnya”. Hukum fikih sangat terkait dengan praktek/amal bukan dengan zat. Sedekah kepada orang kafir diperbolehkan, berbuat kebajikan kepada orang kafir juga disyariatkan Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam berkata:" Pada setiap yang memiliki nyawa dan hati terdapat ganjaran pahala (dalam hal berbuat kebajikan)”. Sebagaimana dalam sebuah hadis seorang wanita pada masa bani Israel masuk surga karena memberi minum seekor anjing. Oleh karena itu boleh saja hukumnya donor darah kepada orang-kafir, terlebih lagi jika ada hubungan kerabat seperti terhadap orang tua ,mahramnya dan yang lainnya.dengan demikian hukum-hukum syariat selalau terkait dengan af'al bukan dengan zawat. Didalam mendefenisiikan hukum ulama mengungkapkan bahwa hukum adalah khitab/seruan allah yang berkaitan dengan pebuatan al-mukhatabin (orang-orang yang diseru). [6] Penerima sumbangan darah tidak disyari’atkan harus sama dengan donor darahnya mengenai agama atau kepercayaan, suku bangsa dan sebagainya. Karena menyumbangkan darah dengan ikhlas adalah termasuk amal



6



kemanusiaan yang sangat dihargai dan dianjurkan (mandub) oleh islam, sebab dapat menyelamatkan jiwa manusia, sesuai dengan firman Allah : Artinya:“Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia,



maka



seolah-olah



ia



memelihara



kehidupan



manusia



semuanya” (Q.S. Al-Maidah : 32),         Firman Allah : Artinya:"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orangorang yang berlaku adil." (QS. Al-Mumtahanah : 8). Secara umum, ayat ini menerangkan begitu pentingnya toleransi. Seperti dikisahkan oleh Ibnul Ishak dalam “sirahnya” dan juga Ibnul Qoyyim dalam “Zaadul Ma’ad” adalah ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kedatangan utusan Nasrani dari Najran berjumlah 60 orang. Diantaranya adalah 14 orang yang terkemuka termasuk Abu Haritsah Al-Qomah, sebagai guru dan uskup. Maksud kedatangan mereka itu adalah ingin mengenal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari dekat. Benarkah Muhammad itu seorang utusan Tuhan dan bagaimana dan apa sesungguhnya ajaran Islam itu. Mereka juga ingin membandingkan antara Islam dan Nasrani. Mereka ingin bicara dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang berbagai masalah agama.Mereka sampai di Madinah saat kaum muslimin telah selesai shalat Ashar. Mereka pun sampai di masjid dan akan menjalankan sembahyang pula menurut cara mereka. Para sahabatpun heboh, mengetahui hal tersebut, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata “Biarkanlah mereka !” maka mereka pun menjalankan sembahyang dengan cara mereka dalam masjid Madinah itu. Dikisah-kan bahwa para utusan itu memakai jubah dan kependetaan yang serba mentereng, pakaian kebesaran dengan selempang warna-warni.. Peristiwa di atas menunjukan toleransi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada pemeluk agama lain. Walaupun dalam dialog antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan utusan Najran itu tidak ada “kese-



7



pakatan” karena mereka tetap menganggap bahwa Isa adalah “anak Tuhan” dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpegang teguh bahwa Isa adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sebagai Nabiyullah, Isa adalah manusia biasa. Para utusan itu tetap dijamu oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa hari. Jadi boleh saja mentransfusikan darah seorang muslim untuk orang kafir begitupun sebaliknya, demi menolong dan saling menghargai harkat sesama umat manusia. Sebab, Allah sebagai Khaliq alam semesta termasuk manusia berkenan memuliakan manusia. Tanya Jawab Assalamu’alaikum Wr. Wb. Ustadz Dr. Setiawan Budi Utomo semoga diberkati dan dimuliakan Allah. Saya bekerja di kantor Palang Merah Indonesia (PMI). Dalam menjalani tugas dan profesi, saya sering menemukan hal-hal yang perlu pengarahan dan landasan syariah sehingga dapat saya jalani dengan hati yang mantap tanpa keraguan. Masalah yang saya tanyakan adalah: 1. Bagimanakah pandangan Islam terhadap usaha dan pelayanan kemanusiaan yang dilakukan Palang Merah serta hukum memakainya sebagai simbol? Sebab ini sama artinya dengan Salib Merah. Bagimanakah hukum bekerja padanya. 2. Apa hukum transfusi darah dan bagaimanakah hubungan antara resipien dan donor darah dari segi syariah? 3. Bolehkah seseorang menjual darahnya, dan bagaimana status hukum imbalan ataupun penghargaan materi yang diterima oleh donor? 4. Bila seorang pasien membutuhkan darah, maka PMI menjualnya melalui Rumah Sakit kepada pasien tersebut, bolehkah hal ini secara syariah? Demikian pertanyaan saya, terimakasih atas penjelasan dan jawabannya dan mohon maaf telah menyita waktu ustadz. Wassalamu’alaikum wr. wb.



8



Wa’alaikumussalam Wr. Wb. Usaha dan pelayanan sosial kemanusiaan sangat mulia dalam pandangan umat manusia secara universal dan terpuji dalam pandangan agama, termasuk dalam hal ini adalah kegiatan dan misi kemanusiaan Palang Merah Indonesia. Rasulullah saw menyatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaat (jasanya) bagi umat manusia. Hal itu tentunya terlepas dari makna filosofis dan religius simbolis dari pemakaian nama organisasi. Memang pemakaian lambang palang merah atau salib merah (red cross) untuk organisasi ini adalah meniru Barat yang pada mulanya sangat erat hubungannya



dengan



semangat



religiusitas



Nasrani/Kristiani



dan



menggunakannya sebagai simbol misi kemanusiaan sekaligus misi Salib yaitu penyebaran agama Nasrani. Memang sangat disayangkan umat Islam Indonesia yang merupakan mayoritas bangsa Indonesia kehilangan identitas keislamannya sampai dalam masalah simbol dan lambang sosial, dan cenderung meniru dan mengambil simbol Barat yang notabene sarat dengan semangat misi kristiani. Padahal Islam memiliki simbol religi sosial tersendiri yakni bulan sabit yang menandakan siklus bulan hijriyah sebagai perjalanan syiar Islam dan oleh karenanya Dunia Arab dan Negara-Negara Islam lebih cenderung menggunakan lambang Bulan Sabit Merah (Hilal Ahmar/ Red Crescent) untuk organisasi sosial kemanusiaan semacam Palang Merah. Nabi saw selalu menganjurkan kepada umatnya untuk memiliki identitas independen dan menghindari mental imitator yang suka meniru dan taklid buta kepada simbol umat lain apalagi yang berbau ritual dan syiar keagamaan. Sabda Nabi saw.: “Berbedalah kalian dari umat Yahudi dan Nasrani” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Al-Nasa’I dan Ibnu Majah) dan sabdanya: “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum (umat lain) maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud dan At-Tabrani)



9



Dengan demikian kewajiban umat Islam baik pemerintah maupun masyakat pada umumnya adalah menyadari hal ini dan berusaha untuk mendekatkan lembaga dan simbol sosial sesuai dengan aspirasi akidah dan syiar Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. Adapun hukum bekerja padanya selama membawa misi kemanusiaan adalah merupakan amal yang terpuji sebagai ibadah sosial apalagi dibarengi dengan nilai-nilai dakwah Islam yang menjadi kewajiban setiap muslim. Masalah transfusi darah yaitu memindahkan darah dari seseorang kepada orang lain untuk menyelamatkan jiwanya. Islam tidak melarang seorang muslim atau muslimah menyumbangkan darahnya untuk tujuan kemanusiaan, bukan komersialisasi, baik darahnya disumbangkan secara langsung kepada orang yang memerlukannya, misalnya untuk anggota keluarga sendiri, maupun diserahkan pada palang merah atau bank darah untuk disimpan sewaktu-waktu untuk menolong orang yang memerlukan. Penerima sumbangan darah tidak disyariatkan harus sama dengan donornya



mengenai



agama/kepercayaan,



suku



bangsa,



dsb.



Karena



menyumbangkan darah dengan ikhlas adalah termasuk amal kemanusiaan yang sangat dihargai dan dianjurkan (mandub) oleh Islam, sebab dapat menyelamatkan jiwa manusia, sesuai dengan firman Allah: “dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al-Maidah:32). Jadi boleh saja mentransfusikan darah seorang muslim untuk orang non muslim dan sebaliknya, demi menolong dan saling menghargai harkat sesama umat manusia. Sebab Allah sebagai Khalik alam semesta termasuk manusia berkenan



memuliakan



manusia,



sebagaimana



firman-Nya:



“dan



sesungguhnya Kami memuliakan anak cucu Adam (manusia).” (QS. AlIsra:70). Maka sudah seharusnya manusia bisa saling menolong dan menghormati sesamanya.



10



Adapun dalil syar’i yang menjadi dasar untuk membolehkan transfusi darah tanpa mengenal batas agama dan sebagainya, berdasarkan kaidah hukum fiqih Islam yang berbunyi: “Al-Ashlu Fil Asyya’ al-Ibahah Hatta Yadullad Dalil ‘Ala Tahrimihi” (bahwasanya pada prinsipnya segala sesuatu itu boleh hukumnya, kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Padahal tidak ada satu ayat dan hadits pun yang secara eksplisit atau dengan nash yang sahih, melarang transfusi darah, maka berarti transfusi darah diperbolehkan, bahkan donor darah itu ibadah, jika dilakukan dengan niat mencari keridhaan Allah dengan jalan menolong jiwa sesama manusia. Namun untuk memperoleh maslahah (efektifitas positif) dan menghindari mafsadah (bahaya/risiko), baik bagi donor darah maupun bagi penerima sumbangan darah, sudah tentu transfusi darah itu harus dilakukan setelah melalui pemeriksaan yang teliti terhadap kesehatan keduanya, terutama kesehatan pendonor darah; harus benar-benar bebas dari penyakit menular, seperti AIDS dan HIV. Penyakit ini bisa menular melalui transfusi darah, suntikan narkoba, dll. Jelas bahwa persyaratan dibolehkannya transfusi darah itu berkaitan dengan masalah medis, bukan masalah agama. Persyaratan medis ini harus dipenuhi, karena adanya kaidah-kaidah fiqih seperti: “Adh-Dhararu Yuzal” (Bahaya itu harus dihilangkan/ dicegah). Misalnya bahaya penularan penyakit harus dihindari dengan sterilisasi, dsb., “Ad-Dhararu La Yuzalu Bidharari Mitslihi” (Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lain). Misalnya seorang yang memerlukan transfusi darah karena kecelakaan lalu lintas atau operasi, tidak boleh menerima darah orang yang menderita AIDS, sebab bisa mendatangkan bahaya lainnya yang lebih fatal. Dan Kaedah “La Dharara wa La Dhirar” (Tidak boleh membuat mudarat kepada dirinya sendiri dan tidak pula membuat mudarat kepada orang lain). Misalnya seorang pria yang terkena AIDS tidak boleh kawin sebelum sembuh. Demikian pula seorang yang masih hidup tidak boleh menyumbangkan ginjalnya kepada orang lain karena dapat membahayakan hidupnya sendiri. Kaidah terakhir ini berasal 11



dari hadits riwayat Malik, Hakim, Baihaqi, Daruquthni dan Abu Said alKhudri. Dan riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Abbas dan Ubadah bin Shamit. Adapun hubungan antara donor dan resipien, adalah bahwa transfusi darah itu tidak membawa akibat hukum adanya hubungan kemahraman antara donor dan resipien. Sebab faktor-faktor yang dapat menyebabkan kemahraman sudah ditentukan oleh Islam sebagaimana tersebut dalam AnNisa:23, yaitu: Mahram karena adanya hubungan nasab. Misalnya hubungan antara anak dengan ibunya atau saudaranya sekandung, dsb, karena adanya hubungan perkawinan misalnya hubungan antara seorang dengan mertuanya atau anak tiri dan istrinya yang telah disetubuhi dan sebagainya, dan mahram karena adanya hubungan persusuan, misalnya hubungan antara seorang dengan wanita yang pernah menyusuinya atau dengan orang yang sesusuan dan sebagainya. Kemudian pada ayat berikutnya, (an-Nisa:24) ditegaskan bahwa selain wanita-wanita yang tersebut pada An-Nisa:23 di atas adalah halal dinikahi. Sebab tidak ada hubungan kemahraman. Maka jelaslah bahwa transfusi darah tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara pendonor dengan resipien. Karena itu perkawinan antara pendonor dengan resipien itu diizinkan oleh hukum Islam. Masalah



transfusi



darah



tidak



dapat



dipisahkan



dari



hukum



menjualbelikan darah sebagaimana sering terjadi dalam parkteknya di lapangan. Mengingat semua jenis darah termasuk darah manusia itu najis berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Jabir, kecuali barang najis yang ada manfaatnya bagi manusia, seperti kotoran hewan untuk keperluan rabuk. Menurut madzhab Hanafi dan Dzahiri, Islam membolehkan jual beli barang najis yang ada manfaatnya seperti kotoran hewan. Maka secara analogi (qiyas) madzhab ini membolehkan jual beli darah manusia karena besar sekali manfaatnya untuk menolong jiwa sesama manusia, yang



12



memerlukan transfusi darah. (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, I/109, Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, III/130) Namun pendapat yang paling kuat adalah bahwa jual beli darah manusia itu tidak etis disamping bukan termasuk barang yang diboelhkan untuk diperjual belikan karena termasuk bagian manusia yang Allah muliakan dan tidak pantas untuk diperjual belikan, karena bertentangan dengan tujuan dan misi



semula



yang



luhur,



yaitu



amal



kemanusiaan



semata,



guna



menyelamatkan jiwa sesama manusia. Karena itu, seharusnya jual beli darah manusia itu dilarang, karena bertentangan dengan moral agama dan norma kemanusiaan. Apabila praktik transfusi darah itu memberikan imbalan sukarela kepada donor atau penghargaan apapun baik materi maupun non materi tanpa ikatan dan transaksi, maka hal itu diperbolehkan sebagai hadiah dan sekedar pengganti makanan ataupun minuman untuk membantu memulihkan tenaga. Ada baiknya bila pemerintah memikirkan dan merumuskan kebijakan dalam hal



ini



seperti



memberikan



sertifikat



setiap



donor



yang



dapat



dipergunakannya sebagai kartu diskon atau servis ekstra dalam pelayanan kesehatan di Rumah Sakit bilamana orang yang berdonor darah memerlukan pelayanan kesehatan, atau bahkan mendapatkan pelayanan gratis bilamana ia memerlukan bantuan darah sehingga masyarakat akan rajin menyumbangkan darahnya sebagai bentuk tolong-menolong dan benar-benar menjadi tabungan darah baik untuk dirinya maupun orang lain sehingga terjalin hubungan yang simbiosis mutualis. 



Dengan demikian praktik Menjual belikan darah baik secara langsung maupun melalui rumah sakit dapat dihindarkan karena sebenarnya transfusi darah terlaksana berkat kerjasama sosial yang murni subsidi silang melalui koordinasi pemerintah dan bukan menjadi objek komersial sebagaiman dilarang Syariat Islam dan bertentangan dengan perikemanusiaan, sehingga 13



setiap individu tanpa dibatasi status ekonomi dan sosialnya berkesempatan untuk mendapatkan bantuan darah setiap saat bilamana membutuhkannya sebab di sini harus berlaku hukum barang siapa menamam kebaikan maka ia berhak mengetam pahala dan ganjaran kebaikannya.



14



BAB III PENUTUP



A. Kesimpulan Transfusi Darah adalah proses penyaluran darah atau produk berbasis darah dari satu orang ke sistem peredaran orang lainnya. Transfusi darah berhubungan dengan kondisi medis seperti kehilangan darah dalam jumlah besar disebabkan trauma, operasi, syok dan tidak berfungsiny organ pembentuk sel darah merah. Melakukan



transfusi



darah



hukumnya



diperbolehkan,dengan



memperhatikan beberapa syarat yang harus dipenuhi.Adanya bank darah untuk persediaan hukumnya boleh(jai’z). Pemberiaan transfusi darah antar agama juga diperbolehkan. B. Saran Bagi anda yang ingin melakukan transfusi darah baik sebagai donor ataupun resepien harus mengikuti syarat yang telah ditentukan.Baik menurut agama atau medis,hal ini perlu diperhatikan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.



15



DAFTAR PUSTAKA Mahjuddin , Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), hlm. 89 Ahmad Sofyan, Ilmu Urai Tubuh Manusia, (Jakarta: Teragung, 1962),  hlm. 103 Al-Suyuti, Al-ASybah wa al-Nadzair fial-furu’, vol I, Mesir, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, 1936, hal.3-4



16