Responsi Transfusi Darah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

RESPONSI TRANSFUSI DARAH



Oleh : Amuthen A/L Karunagaran Muhammad Adi Wibowo Safitri Nindya Kirana Sunyoto



Pembimbing : Dr. Herwindo, SpPD



DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR MALANG 2017



BAB I PENDAHULUAN



1.1



Latar Belakang Transfusi darah adalah suatu tindakan pemindahan darah atau suatu



komponen darah dari seseorang (donor) kepada orang lain yang disebut resipien. Transfusi darah merupakan salah satu bagian penting dalam pelayanan kesehatan modern. Bila digunakan dengan benar, transfusi dapat menyelamatkan jiwa pasien dan meningkatkan derajat kesehatan. Transfusi darah adalah tindakan yang dilakukan dengan indikasi khusus dan harus menjalani beberapa rangkaian khusus dan administrasi pre transfusi. Salah satu indikasi transfusi darah adalah kondisi medis dimana pasien kehilangan banyak darah dalam jumlah besar yang disebabkan oleh perdarahan pasca melahirkan, trauma, operasi, demam berdarah, kelainan darah, dan lain-lain. Banyak pasien di Rumah Sakit yang harus menjalani transfusi. Beberapa diantaranya ada yang merasa takut dan kadang menolak untuk dilakukan transfusi. Padahal transfusi yang dilakukan kepada pasien tersebut bertujuan sebagi terapi dan perbaikan kondisi pasien. Salah satu hal yang dikhawatirkan oleh pasien dan keluarganya adalah resiko penularan penyakit infeksi menular melalui transfusi darah terutama HIV/AIDS, Hepatitis C, Hepatitis B, Silifis, Malaria, Demam Berdarah Dengue serta resiko transfusi lain yang dapat mengancam jiwa. World Health Organization (WHO) telah mengembangkan strategi untuk transfusi darah yang aman dan meminimalkan risiko transfusi. Strategi tersebut terdiri dari pelayanan transfusi darah yang terkoordinasi secara nasional, pengumpulan darah hanya dari donor sukarela dari populasi risiko rendah, pelaksanaan skrining terhadap semua aspek, termasuk golongan darah,



uji



kompatibilitas,



persiapan



komponen,



penyimpaan



dan



transportaassi darah atau komponen darah, mengurangi transfusi yang tidak perlu dengan penentuan indikasi transfusi darah yang tidak perlu dan komponen darah yang tepat serta indikasi cara alternatif transfusi. 2



Mengingat besarnya pengaruh infeksi virus dan penyakit lain yang bisa ditularkan melalui tranfusi darah, maka kita sebagai tenaga medis harusnya mengerti tentang cara pemisahan komponen-komponen transfusi, skrining penyakit menular (HIV, Malaria, Hepatitis B, Hepatitis C, dll), indikasi transfusi, cara administrasi dan juga reaksi transfusi dan manajemen.



1.2



Tujuan Penulisan Mengetahui tentang tata cara pemisahan komponen-komponen



transfusi, skrinning penyakit menular (HIV, Malaria, Hepatitis B, Hepatitis C), indikasi transfusi, cara administrasi dan juga reaksi transfusi dan manajemen transfusi. 1.3



Manfaat Penulisan Sebagai tenaga medis yang berkerja beradasarkan pedoman,



harusnya kita mengetahui dan menguasai tentang komponen-komponen transfusi, skrinning penyakit menular (HIV, Malaria, Hepatitis B, Hepatitis C), indikasi transfusi, cara administrasi dan juga reaksi transfusi, karena hal-hal itu sangatlah penting untuk dimengerti dan juga dijelaskan kepada keluarga pasien.



3



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1



Definisi Transfusi Darah Transfusi darah adalah pemindahan darah dari donor ke dalam



peredaran darah penerima (resipien). Definisi lain adalah suatu proses pekerjaan menindahkan darah dari orang yang sehat kepada orang yang sakit. Transfusi darah merupakan pilihan terakhir bila keadaan pasien tidak dapat diatasi dengan cairan infus (Daniel Victor, 2013). Dalam prosedur pemberian transfusi darah, harusnya aman dan rasional. Aman bagi pasien artinya pasien tidak tertular penyakit infeksi melalui transfusi darah, pasien tidak mendapatkan komplikasi seperti misalnya ketidakcocokan golongan darah. Aman bagi donor artinya donor tidak tertular penyakit infeksi melalui tusukan jarum/vena, donor tidak mengalami komplikasi setelah penyumbangan darah, seperti: kekurangan darah, mudah sakit/sering sakit (Daniel Victor, 2013). Aman bagi petugas artinya petugas tidak tertular penyakit infeksi melalui darah, melalui luka kecil di tangan, tertusuk jarum pengambil darah sewaktu menutup kembali jarum, lingkungan kerja tidak tercemar oleh darah yang merupakan bahan potensial infeksius melalui alat pakai ulang yang tidak didesinfeksi (seperti gunting) (Daniel Victor, 2013). Pemberian transfusi harus dilakukan secara rasional artinya, diberikan darah atau komponen darah yang sesuai dengan kebutuhan pasien dan dalam jumlah yang seharusnya. Pemberian yang tidak rasional akan merugikan pasien (Daniel Victor, 2013).



2.2



Darah sebagai Organ Darah yang semula dikategorikan sebagai jaringan tubuh, saat ini



telah dimasukkan sebagai suatu organ tubuh terbesar yang beredar dalam system kardiovaskular, tersusun dari (1) komponen korpuskuler atau seluler, (2) komponen cairan. Komponen korpuskuler yaitu materi biologis yang hidup 4



dan bersifat multiantigenik, terdiri dari sel darah merah, sel darah putih dan keping trombosit, yang kesemuanya dihasilkan dari sel induk yang senantiasa hidup dalam sumsum tulang. Ketiga jenis sel darah ini memiliki masa hidup terbatas dan akan mati jika masa hidupnya berakhir. Agar fungsi organ darah tidak ikut mati, maka secara berkala pada waktu- waktu tertentu, ketiga butiran darah tersebut akan diganti, diperbaharui dengan sel sejenis yang baru. Komponen cair yang juga disebut plasma, menempati lebih dari 50 % volume organ darah, dengan bagian terbesar dari plasma (90%) adalah air, bagian kecilnya terdiri dari protein plasma dan elektrolit. Protein plasma yang penting diantaranya adalah albumin, berbagai fraksi globulin serta protein untuk factor pembekuan dan untuk fibrinolisis (C Wait, Latief AS, dkk).



Sel Darah Merah Sel darah merah atau eritrosit adalah sel mikroskopik yang cukup besar tanpa nukleus. Belakangan ini diketahui bahwa sel darah merah serupa dengan sel prokariotik primitif dari bakteri. Sel darah merah normalnya menempati 40-50% dari total volume darah. Sel tersebut membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan hidup di tubuh dan membuang zat karbondioksida. Sel darah merah diproduksi secara terus menerus di sumsum tulang manusiadari stem cell dengan kecepatan 2-3 juta per detiknya. Hemoglobin adalah molekul protein pembawa gas yang merupakan 95% sel darah merah. Setiap sel darah merah memiliki sekitar 270.000.000 molekul hemoglobin kaya besi. Seseorang yang mengidap anemia umumnya memiliki defisiensi sel darah merah. Warna merah dari sel darah merah terutama dikarenakan sel darah merah yang teroksigenasi. Molekul hemoglobin fetal manusia berbeda dengan yang ada pada manusia dewasa dalam jumlah rantai asam aminonya. Hemoglobin fetal memiliki tiga rantai ikatan sementara dewasa memiliki dua rantai ikatan. Karenanya, molekul hemoglobin fetal menarik dan membawa oksigen lebih banyak ke dalam tubuh (American Society of Anesthesiologist, 1996). 5



Sel darah putih Sel darah putih atau yang disebut dengan leukosit ini, terdiri dari sejumlah variasi dan jenis tetapi hanya merupakan bagian kecil dalam darah. Keberadaan leukosit tidak terbatas di dalam darah. Leukosit juga berada di tempat lain di dalam tubuh, bahkan juga ada di limpa, liver, dan kelenjar limfe. Sel darah putik paling banyak di produksi di sumsum tulang yang berasal dari suatu stem cell yang juga memproduksi sel darah merah dan juga di produksi di kelenjar thymus yang terletak di dasar leher. Beberapa sel darah putih (di sebut juga limfosit) yang merupakan sistem lini pertahanan pertama sebagai respon dari sistem imun tubuh. Limfosit menemukan, mengidentifikasi, dan berikatan dengan protein asing pada bakteri, virus, dan jamur dan hal ini dapat dihilangkan. Jenis Sel darah putih lainnya (disebut granulosit



dan



makrofag)



kemudian



bergerak



mengelilingi



dan



menghancurkan sel asing. Sel darah putih juga memfunyai fungsi membuang sel darah yang telah mati, sama halnya pada benda asing seperti debu dan asbestos. Sel-sel darah bertahan hidup selama kurang lebih empat bulan sebelum hilang dari darah dan komponen darah tersebut di daur ulang di limpa (American Society of Anesthesiologist, 1996).



Trombosit Keping darah atau trombosit adalah fragmen sel tanpa nukleus yang bekerja dengan unsur-unsur kimia pembekuan darah pada tempat terjadi luka. Trombosit melakukannya dengan bergabung ke dinding pembuluh darah sehingga menambal ruptur yang terjadi di dinding vaskular. Trombosit juga dapat melepaskan zat koagulasi yang membentuk bekuan darah yang menyumbat pembuluh darah yang menyempit. Terdapat lebih dari dua belas faktor pembekuan ditambah trombosit yang dibutuhkan untuk melengkapi suatu proses pembekuan. Penelitian terakhir menyatakan bahwa trombosit juga mengeluarkan protein yang dapat melawan bakteri yang menginvasi dan mikroorganisme lainnya. Trombosit juga menstimulasi sistem imun. 6



Trombosit berukuran 1/3 dari sel darah merah dengan masa hidup 9-10 hari. Seperti sel darah merah dan sel darah putih, trombosit diproduksi di sumsum tulang dari sel stem (American Society of Anesthesiologist, 1996).



Plasma Plasma adalah gabungan air berwarna kekuningan relatif jernih dengan gula, lemak, protein, dan garam. Normalnya, 55% dari volume darah manusia disusun oleh plasma. Sekitar 95% darinya disusun air. Saat jantung memompa darah ke sel melalui seluruh tubuh, plasma membawa nutrisi dan membuang produk buangan metabolisme. Plasma juga mengandung faktor pembekuan darah, gula, lemak, vitamin, mineral, hormon, enzim, antibodi, dan protein lainnya. Plasma mengandung hampir seluruh protein yang ada di tubuh manusia, sekitar 500 telah teridentifikasi di plasma (American Society of Anesthesiologist, 1996).



2.3



Fungsi Darah Darah adalah komponen penting bagi tubuh untuk menutrisi dan



mengeluarkan karbondioksida di dalam darah. Adapun fungsi lain darah adalah sebagai berikut : a. Sebagai organ transportasi, khususnya oksigen(O2), yang dibawa dari paru- paru dan diedarkan ke seluruh tubuh dan kemudian mengangkut sisa pembakaran (CO2) dari jaringan untuk dibuang keluar melalui paruparu. Fungsi pertukaran O2 dan CO2 ini dilakukan oleh hemoglobin, yang terkandung dalam sel darah merah. Protein plasma ikut berfungsi sebagai sarana transportasi dengan mengikat berbagai materi yang bebas dalam plasma, untuk metabolisme organ- organ tubuh (C Wait, Latief AS, dkk. b. Sebagai



organ



pertahanan



tubuh(imunologik),



khususnya



dalam



menahan invasi berbagai jenis mikroba patogen dan antigen asing. Mekanisme pertahanan ini dilakukan oleh leukosit (granulosit dan limfosit) serta protein plasma khusus (immunoglobulin) (C Wait, Latief AS, dkk). 7



c. Peranan



darah



dalam



menghentikan



perdarahan



(mekanisme



homeostasis) sebagai upaya untuk mempertahankan volume darah apabila terjadi kerusakan pada pembuluh darah. Fungsi ini dilakukan oleh mekanisme fibrinolisis, khususnya jika terjadi aktifitas homeostasis yang berlebihan (C Wait, Latief AS, dkk). Apabila terjadi pengurangan darah yang cukup bermakna dari komponen darah korpuskuler maupun non korpuskuler akibat kelainan bawaan ataupun karena penyakit yang didapat, yang tidak dapat diatasi oleh mekanisme homeostasis tubuh dalam waktu singkat maka diperlukan penggantian dengan jalan transfusi darah, khususnya dari komponen yang diperlukan (C Wait, Latief AS, dkk). 2.4



Golongan Darah Sedikitnya 20 antigen golongan darah terpisah dapat dikenal, tanda



dari masing-masing adalah di bawah kontrol genetik dari kromosom loci.Kebetulan, hanya ABO dan Rh Sistem yang penting pada transfusi darah.Setiap orang biasanya menghasilkan antibody (alloantibodies).Antibodi bertanggung jawab untuk reaksi-reaksi dari transfusi. Antibodi dapat menjadi “alami” atau sebagai respon atas sensitisasi dari suatu kehamilan atau transfusi sebelumnya (Mc Clelland, 2007).



Sistem ABO Kromosomal untuk sistem ABO ini menghasilkan dua allel: A dan B. Masing-masing merepresentasikan suatu enzim yang merupakan modifikasi dari suatu permukaan sel glycoprotein, menghasilkan antigen yang berbeda. (Sebenarnya, ada berbagai varian A dan B.) Hampir semua individu tidak mempunyai A atau B " natural" yang menghasilkan antibodi (sebagian besar immunoglobulin M) melawan antigens di dalam tahun pertama kehidupan. Antigen H adalah precursor dari system ABO tetapi diproduksi oleh suatu kromosom tempat berbeda. Tidak adanya



antigen H (hh genotype, juga



disebut Bombay pheno-type) mencegah munculny gen A atau B; individu 8



dengan kondisi sangat jarang ini akan mempunyai anti-A, anti-B, dan anti-H antibodi (Banks JB, Martin S). Bila sel darah merah (SDM) yang ditransfusikan tidak kompatibel, antibodi dalam plasma resipien akan mengikat reseptor khusus di dinding SDM donor. Hal ini akan mengaktifkan jalur komplemen yang akan menyebabkan lisis dinding SDM (intravaskular hemolisis). Jalur komplemen ini akan melepaskan anafilatoksin C3a dan C5a yang akan membebaskan sitokin seperti TNF, IL1 Dan IL8, dan menstimulasi degranulasi sel mast dengan mengsekresikan mediator vasoaktif. Semua substansi ini bisa menyebabkan inflamasi, peningkatan permeabilitas vaskular, dan hipotensi yang akan mengarah ke shock dan gagal ginjal. Mediator juga akan menyebabkan agregasi platelet, oedema paru peribronchial, dan kontraksi otot kecil. Golongan



Antigen di



Antibodi dalam



Golongan donor yang



RBC



plasma



kompatibel



A



Antigen A



Anti-B



A, O



B



Antigen B



Anti-A



B, O



Antigen A &



Tidak ada



A, B, AB, O



Anti- A & B



O



AB



B O



Tidak ada



Tabel 2.1 Daftar Golongan Darah (C Waitt, 2004 halaman 1-6)



Sistem Rh Sistem Rh ditandai oleh dua gen yang menempati chromosome 1. Ada sekitar 46 Rh-berhubungan dengan antigen, tetapi secara klinis, ada lima antigen utama ( D, C, c, E, dan e) dan menyesuaikan dengan antibodi. Biasanya, ada atau tidak alel yang paling immunogenik dan umum, D antigen, dipertimbangkan. Kira-Kira 80-85% tentang populasi orang kulit putih mempunyai antigen D. Individu yang kekurangan alel ini disebut RhNegative dan biasanya antibodi akan melawan antigen D hanya setelah



9



terpapar oleh ( Rh-Positive) transfusi sebelumnya atau kehamilan ( seorang Ibu Rh-Negative melahirkan bayi Rh-Positive). 2.5



Syarat Menjadi Donor Darah



2.5.1



Yang Diperbolehkan menjadi Pendonor Menurut aturan yang dikeluarkan oleh PMI tahun 2013, untuk menjadi



calon donor darah, seorang calon pendonor harus memenuhi syarat antara lain : a. Pendonor harus berusia



17-60 tahun (pada usia 17 tahun diizinkan



mendonorkan darah apabila terdapat izin tertulis dari orang tua. Sampai usia 60 tahun, pendonor masih dapat mendonorkan darahnya dengan jarak penyumbangannya 3 bulan dan harus dengan pertimbangan dokter. b. Berat badan minimum 45 kg. c. Temperatur tubuh 36,6 – 37,5 derajat Celsius. d. Tekanan darah dalam batas normal, yaitu nilai systole antara 110-160 mmHg dan diastole antara 70-100 mmHg e. Denyut nadi teratur dan dalam batas normal sekitar 50-100 kali/menit f.



Kadar haemoglobin bagi wanita minimal 12,0 gr/dL dan pada pria Haemoglobin minimal 12,5 g/dL.



g. Jumlah penyumbangan/pendonoran darah dalam 1 tahun maksimal 4 kali dengan interval waktu kurang lebih tiap 4 bulan dan sekurang-kurangnya 3 bulan. Keadaan ini harus disesuaikan keadaan umum pendonor.



2.5.2



Yang tidak diperbolehkan menjadi Pendonor Semua orang boleh mendonorkan darah apabila ia sudah memenuhi



syarat yang sudah disebutkan diatas. Selain itu, ada juga orang-orang yang tidak diperbolehkan untuk menjadi pendonor karena bisa menularkan infeksi atau bisa membahayakan dirinya sendiri. Adapun diantaranya :



a. Pernah menderita hepatitis B. b. Dalam jangka waktu 6 bulan sesudah kontak erat dengan penderita hepatitis. 10



c. Dalam jangka waktu 6 bulan sesudah transfusi. d. Dalam jangka waktu 6 bulan sesudah tattoo/tindik telinga. e. Dalam jangka waktu 72 jam sesudah operasi gigi. f. Dalam jangka waktu 6 bulan sesudah operasi kecil. g. Dalam jangka waktu 12 bulan sesudah operasi besar. h. Dalam jangka waktu 24 jam sesudah vaksinasi polio, influenza, kolera, tetanus, dipteria atau profilaksis. i.



Dalam jangka waktu 2 minggu sesudah vaksinasi virus hidup parotitis epidemica, measles, tetanus toxin.



j.



Dalam jangka waktu 1 tahun sesudah injeksi terakhir imunisasi rabies therapeutic.



k. Dalam jangka waktu 1 minggu sesudah gejala alergi menghilang. l.



Dalam jangka waktu 1 tahun sesudah transplantasi kulit.



m. Sedang hamil dan dalam jangka waktu 6 bulan sesudah persalinan. n. Sedang menyusui. o. Ketergantungan obat. p. Alkoholisme akut dan kronik. q. Sifilis. r. Menderita tuberkulosa secara klinis. s. Menderita epilepsi dan sering kejang. t. Menderita penyakit kulit pada vena (pembuluh darah balik) yang akan ditusuk. u. Mempunyai kecenderungan perdarahan atau penyakit darah, misalnya, defisiensi G6PD, thalasemia, polibetemiavera. v. Seseorang yang termasuk kelompok masyarakat yang mempunyai resiko tinggi untuk mendapatkan HIV/AIDS (homoseks, morfins, berganti – ganti pasangan seks, pemakai jarum suntik tidak steril). 11



w. Pengidap HIV/AIDS menurut hasil pemeriksaan pada saat donor darah. 2.6



Darah dan Komponennya



2.6.1



Darah Lengkap (WB/Whole Blood) Whole blood (darah lengkap) biasanya disediakan hanya untuk



transfusi pada perdarahan masif, shock hipovolemik serta bedah mayor dengan perdarahan >1500 ml. Whole blood akan meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen dan peningkatan volume darah. Transfusi 1 unit WB akan meningkatkan hemoglobin 1 gr/dl (Daniel Victor, 2013). Darah lengkap ada 3 macam, yaitu : 1.



Darah segar yaitu darah yang baru diambil dari donor sampai



6 jam sesudah pengambilan. Keuntungan : faktor pembekuannya masih lengkap termasuk faktor labil (V dan VIII) dan fungsi eritrosit masih relatif baik. Kerugian : sulit diperoleh dalam waktu yang tepat karena untuk pemeriksaan golongan, reaksi silang dan transportasi diperlukan waktu lebih dari 4 jam dan resiko penularan penyakit relatif banyak. 2.



Darah baru yaitu darah yang disimpan antara 6 jam sampai 6



hari sesudah diambil dari donor. Faktor pembekuan disini sudah hampir habis, dan juga dapat terjadi peningkatan kadar kalium, amonia, dan asam laktat. 3.



Darah simpan yaitu darah yang disimpan lebih dari 6 hari.



Keuntungan : mudah tersedia setiap saat, bahaya penularan sifilis dan sitomegalovirus hilang. Kerugian : faktor pembekuan terutama faktor V dan VIII sudah habis. Kemampuan transportasi oksigen oleh eritrosit menurun yang disebabkan karena afinitas Hb terhadap oksigen yang tinggi, sehingga oksigen sukar dilepas ke jaringan. Hal ini disebabkan oleh penurunan kadar 2,3 DPG. Kadar kalium, amonia, dan asam laktat tinggi (Surgenor, 2001; Greenburg, 1996). 12



Seseorang yang membutuhkan sejumlah besar darah dalam waktu yang segera (misalnya perdarahan hebat). Bisa menerima darah lengkap untuk membantu memperbaiki volume cairan dan sirkulasinya. Darah lengkap juga bisa diberikan jika komponen darah yang diperlukan tidak dapat diberikan secara terpisah. Jumlah WB = (Hb yang diinginkan – Hb sebelum transfusi) x 6 x BB 2.4.2



Packed Red Cells (PRC) Merupakan komponen darah yang paling sering ditransfusikan.



Secara umum pemakaian PRC ini dipakai pada pasien anemia yang tidak disertai penurunan volume darah, misalnya pasien dengan anemia hemolitik, anemia



hipoplastik



kronik,



leukimia



akut,



leukimia



kronik,



penyakit



keganasan, talasemia, gagal ginjal kronis, dan perdarahan – perdarahan kronis yang ada tanda “oxygen need” (rasa sesak, mata berkunang, palpitasi, pusing, dan gelisah). PRC diberikan sampai tanda oksigen need hilang. Biasanya pada Hb 8 – 10 gr/dl.5,12,14 Untuk menaikkan kadar Hb sebanyak 1 gr/dl diperlukan PRC 4ml/kgBB atau 1 unit dapat menaikkan Ht 3 – 5 %.13,15 Indikasi mutlak pemberian PRC adalah bila Hb penderita 5 gr%. Jumlah PRC yang diperlukan untuk menaikkan Hb dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Jumlah PRC = (Hb yang diinginkan – Hb sebelum transfusi) x 3 x BB Transfusi PRC adalah untuk menaikkan Hb pasien tanpa menaikkan volume darah secara nyata. Keuntungan menggunakan PRC dibandingkan dengan WB adalah :4,8,13 1.



Kenaikkan Hb dapat diatur sesuai dengan yang diinginkan.



2.



Mengurangi kemungkinan penularan penyakit.



3.



Mengurangi kemungkinan reaksi imunologis.



4.



Volume darah yang diberikan lebih sedikit sehingga kemungkinan



overload berkurang. 5.



Komponen darah lainnya dapat diberikan pada pasien lain. 13



Kerugian PRC adalah masih cukup banyak plasma, lekosit, dan trombosit yang tertinggal sehingga masih bisa terjadi sensitisasi yang dapat memicu timbulnya pembentukan antibodi terhadap darah donor. Sehingga pada pasien yang memerlukan transfusi berulang, misalnya pasien talasemia, paroksimal nokturnal hemoglobinuria, anemia hemolitik karena proses imunologik, dsb serta pasien yang pernah mengalami reaksi febrile sebelumnya (reaksi terhadap lekosit donor) Untuk mengurangi efek samping komponen non eritrosit maka dibuat PRC yang dicuci (washed PRC). Dibuat dari darah utuh yang dicuci dengan normal saline sebanyak 3 kali untuk menghilangkan antibodi. Washed PRC hanya dapat disimpan selama 4 jam pada suhu 4°C, karena itu harus segera diberikan.14,15 2.4.3



Transfusi dengan Suspensi Plasma Darah Beku (FFP/Fresh Frozen Plasma) Fresh frozen plasma (FFP) mengandung semua protein plasma



(faktor pembekuan), terutama faktor V dan VIII. FFP biasa diberikan setelah transfusi darah masif, setelah terapi warfarin dan koagulopati pada penyakit hati. Setiap unit FFP biasanya dapat menaikkan masing – masing kadar faktor pembekuan sebesar 2 – 3 % pada orang dewasa. Sama dengan PRC, saat hendak diberikan pada pasien perlu dihangatkan terlebih dahulu sesuai suhu tubuh (Daniel Victor, 2013).



Komponen Darah



Indikasi



Whole Blood



Perdarahan akut



Red Blood Cells



Anemia kronik yang berat Pasien



dengan



riwayat



penyakit



jantung kongestif Anemia pada orang tua Anemia pada hepar failure/cirrhosis Anemia pada renal failure 14



Leucocyte Poor Red Cells



Pasien



dengan



riwayat



multiple



transfusi Platelet Concentrate



Pasien trombositopenia yang akan operasi besar, leukemia akut, post radiasi



dan



kemoterapi,



pasien



trombositopeni dengan perdarahan, pasien dengan perdarahan masif Fresh Frozen Plasma



Pasien dengan perdarahan masif Pasien dengan defisiensi faktor – faktor koagulasi



Cryoprecipitate



Defisiensi faktor VIII, XIII, Fibrinogen, Von Willebrand Disease



Faktor VIII



Defisiensi faktor VIII (Hemofilia A)



Faktor II, VII, IX, X



Defisiensi herediter



Faktor IX



Defisiensi faktor IX (Hemofilia B)



Tabel 3. Komponen Darah dan Indikasi (Stoelting RK, 2005; Perkins JT, 1996; Surgenor SD, 2001)



Manfaat terapi komponen darah : (Daniel Victor, 2013) 1.



Pasien hanya menggunakan komponen yang sangat perlu saja, komponen yang lain dapat digunakan pasien lain.



2.5



2.



Mengurangi volume transfuse.



3.



Dapat mengurangi resiko transfuse.



Indikasi Transfusi Komponen Darah Dalam setiap tindakan kedokteran yang dilakukan, alangkah baiknya



semua didasari dengan indikasi dan guideline yang jelas. Adapun indikasi transfusi darah antara lain : a. Kehilangan darah >20% dari EBV atau volume darah lebih dari 1000 ml. b. Hb < 8 gr/dl. 15



c. Hb < 10 gr/dl dengan penyakit-penyakit utama (misalnya: empisema, atau penyakit jantung sistemik). d. Hb < 12 gr/dl dan pasien tergantung pada mesin ventilator. (Perkins JJ, 1996).



2.6



Resiko Transfusi Darah Risiko transfusi darah sebagai akibat langsung transfusi merupakan



bagian situasi klinis yang kompleks. Jika suatu operasi dinyatakan potensial menyelamatkan nyawa hanya bila didukung dengan transfusi darah, maka keuntungan dilakukannya transfusi jauh lebih tinggi daripada risikonya. Sebaliknya, transfusi yang dilakukan pasca bedah pada pasien yang stabil hanya memberikan sedikit keuntungan klinis atau sama sekali tidak menguntungkan. Dalam hal ini, risiko akibat transfusi yang didapat mungkin tidak sesuai dengan keuntungannya. Risiko transfusi darah ini dapat dibedakan atas reaksi cepat, reaksi lambat, penularan penyakit infeksi dan risiko transfusi masif.20



2.6.1



Reaksi Akut atau Cepat Reaksi akut adalah reaksi yang terjadi selama transfusi atau dalam



24 jam setelah transfusi. Reaksi akut dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu ringan, sedang-berat dan reaksi yang membahayakan nyawa. Reaksi ringan ditandai dengan timbulnya pruritus, urtikaria dan rash. Reaksi ringan ini disebabkan oleh hipersensitivitas ringan. Reaksi sedang-berat ditandai dengan adanya gejala gelisah, lemah, pruritus, palpitasi, dispnea ringan dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya warna kemerahan di kulit, urtikaria, demam, takikardia, kaku otot. Reaksi sedangberat biasanya disebabkan oleh hipersensitivitas sedang-berat, demam akibat reaksi transfusi non-hemolitik (antibodi terhadap leukosit, protein, trombosit), kontaminasi pirogen dan/atau bakteri (WHO, 2002) Pada reaksi yang membahayakan nyawa ditemukan gejala gelisah, nyeri dada, nyeri di sekitar tempat masuknya infus, napas pendek, nyeri 16



punggung, nyeri kepala, dan dispnea. Terdapat pula tanda-tanda kaku otot, demam, lemah, hipotensi (turun ≥20% tekanan darah sistolik), takikardia (naik ≥20%), hemoglobinuria dan perdarahan yang tidak jelas. Reaksi ini disebabkan oleh hemolisis intravaskular akut, kontaminasi bakteri, syok septik, kelebihan cairan, anafilaksis dan gagal paru akut akibat transfusi (WHO, 2002).



Hemolisis intravaskular akut Reaksi hemolisis intravaskular akut adalah reaksi yang disebabkan inkompatibilitas sel darah merah. Antibodi dalam plasma pasien akan melisiskan sel darah merah yang inkompatibel. Meskipun volume darah inkompatibel hanya sedikit (10-50 ml) namun sudah dapat menyebabkan reaksi berat. Semakin banyak volume darah yang inkompatibel maka akan semakin meningkatkan risiko.1,8 Penyebab terbanyak adalah inkompatibilitas ABO. Hal ini biasanya terjadi akibat kesalahan dalam permintaan darah, pengambilan contoh darah dari pasien ke tabung yang belum diberikan label, kesalahan pemberian label pada tabung dan ketidaktelitian memeriksa identitas pasien sebelum transfusi. Selain itu penyebab lainnya adalah adanya antibodi dalam plasma pasien melawan antigen golongan darah lain (selain golongan darah ABO) dari darah yang ditransfusikan, seperti sistem Idd, Kell atau Duffy (WHO, 2002; Guideline for Transfussion of Red Blood Cells in Surgical Patient,2001). Jika pasien sadar, gejala dan tanda biasanya timbul dalam beberapa menit awal transfusi, kadang-kadang timbul jika telah diberikan kurang dari 10 ml. Jika pasien tidak sadar atau dalam anestesia, hipotensi atau perdarahan yang tidak terkontrol mungkin merupakan satu-satunya tanda inkompatibilitas transfusi. Pengawasan pasien dilakukan sejak awal transfusi dari setiap unit darah (WHO, 2002).



17



Kelebihan cairan Kelebihan cairan menyebabkan gagal jantung dan edema paru. Hal ini dapat terjadi bila terlalu banyak cairan yang ditransfusikan, transfusi terlalu cepat, atau penurunan fungsi ginjal. Kelebihan cairan terutama terjadi pada



pasien



dengan



anemia



kronik



dan



memiliki



penyakit



dasar



kardiovaskular (WHO, 2002; Guideline for Transfussion of Red Blood Cells in Surgical Patient,2001). Reaksi anafilaksis Risiko meningkat sesuai dengan kecepatan transfusi. Sitokin dalam plasma merupakan salah satu penyebab bronkokonstriksi dan vasokonstriksi pada resipien tertentu. Selain itu, defisiensi IgA dapat menyebabkan reaksi anafilaksis sangat berat. Hal itu dapat disebabkan produk darah yang banyak mengandung IgA. Reaksi ini terjadi dalam beberapa menit awal transfusi dan ditandai dengan syok (kolaps kardiovaskular), distress pernapasan dan tanpa demam. Anafilaksis dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan cepat dan agresif (WHO, 2002; Guideline for Transfussion of Red Blood Cells in Surgical Patient,2001). Cedera paru akut akibat transfusi (Transfusion-associated acute lung injury = TRALI) Cedera paru akut disebabkan oleh plasma donor yang mengandung antibodi yang melawan leukosit pasien. Kegagalan fungsi paru biasanya timbul dalam 1-4 jam sejak awal transfusi, dengan gambaran foto toraks kesuraman yang difus. Tidak ada terapi spesifik, namun diperlukan bantuan pernapasan di ruang rawat intensif (WHO, 2002; Guideline for Transfussion of Red Blood Cells in Surgical Patient,2001).



18



2.6.2



Reaksi Lambat



Reaksi Hemolitik Lambat Reaksi hemolitik lambat timbul 5-10 hari setelah transfusi dengan gejala dan tanda demam, anemia, ikterik dan hemoglobinuria. Reaksi hemolitik lambat yang berat dan mengancam nyawa disertai syok, gagal ginjal dan DIC jarang terjadi. Pencegahan dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium antibodi sel darah merah dalam plasma pasien dan pemilihan sel darah kompatibel dengan antibodi tersebut (WHO, 2002; Guideline for Transfussion of Red Blood Cells in Surgical Patient,2001; Pedoman Transfusi RSUP Dr. Soetomo, 2001). Purpura pasca transfusi Purpura pasca transfusi merupakan komplikasi yang jarang tetapi potensial membahayakan pada transfusi sel darah merah atau trombosit. Hal ini disebabkan adanya antibodi langsung yang melawan antigen spesifik trombosit pada resipien. Lebih banyak terjadi pada wanita. Gejala dan tanda yang timbul adalah perdarahan dan adanya trombositopenia berat akut 5-10 hari



setelah



transfusi



yang



biasanya



terjadi



bila



hitung



trombosit



48 jam menyimpulkan bahwa transfusi darah merupakan faktor risiko untuk terjadinya gagal organ multipel (multiple organ failure = MOF) yang tidak bergantung pada indeks syok lainnya (Moore, 1997). Zallen dkk melakukan studi kohort prospektif terhadap 63 pasien yang berisiko menderita MOF pasca trauma untuk mengetahui apakah umur PRC yang ditransfusikan merupakan faktor risiko timbulnya MOF pasca trauma. Dalam penelitian ini terdapat 23 pasien yang diidentifikasi menderita MOF dan menerima 6-20 unit PRC dalam 12 jam pertama setelah trauma. Umur PRC yang ditransfusikan pada 6 jam pertama dicatat dan dilakukan regresi logistik multipel terhadap pasien yang menderita MOF maupun tidak. Disimpulkan bahwa umur PRC yang ditransfusikan pada 6 jam pertama merupakan faktor risiko tidak bergantung (independent) atas terjadinya MOF (Zallen, 1999). 22



2.7



Cara Penanganan Reaksi Transfusi



Reaksi transfusi •



Stop darah segera







Pelihara keadaan infuse dengan NaCl



Penanganan syok anafilaktik •



Berikan adrenalin 1:1000 ( 0,1 ml dalam 100 ml NaCl atau Ringer Laktat) perlahan-lahan



Overload cairan •



Lambatkan atau stop cairan







Turunkan kepala klien







Beri diuretic, morfin, O2 sesuai anjuran



Infiltrasi atau infeksi pada lokasi infus •



Pasang infus kembali pada tempat lain







Mengadakan penilaian untuk menurunkan infiltrasi atau inflamasi



Secara perlahan dengan menggoyang bagian infus dapat mencegah timbulnya kepadatan cairan. Pemberian NaCl secara bersamaan dengan infus darah dapat mencairkan darah yang terlalu kental.



Dalam pelaksanaan transfusi, ada beberapa hal yang harus di monitoring untuk menghindari reaksi alergi atau hal lain yang tidak diinginkan. Adapun hal-hal yang harus dipantau adalah : Pemantauan dilakukan pada tahap : 1.



Sebelum transfusi dimulai.



2.



Pada saat transfusi dimulai.



3.



15 menit sesudah transfusi dimulai.



4.



Setiap 1 jam selama transfusi.



5.



Setiap 4 jam setelah transfusi selesai. Pantau dengan ketat selama 15 menit pertama transfusi dan secara



teratur untuk mendeteksi tanda dan gejala awal reaksi yang berlawanan. 23



Periksa dan catat hal-hal berikut pada setiap tahap : 1.



Nadi



2.



Suhu



3.



Keadaan umum



4.



Tekanan darah



5.



Pernapasan



6.



Tanda-tanda alergi



7.



Keseimbangan cairan (masukan cairan secara oral dan intravena,



keluaran urin) Catat pula : 1. Waktu transfusi mulai. 2. Waktu transfusi selesai. 3. Volume dan jenis darah yang ditransfusi. 4. Efek samping lainnya.



2.8



Skrinning Transfusi darah merupakan jalur ideal bagi penularan penyebab



infeksi tertentu dari donor kepada resipien. Untuk mengurangi potensi transmisi penyakit melalui transfusi darah, diperlukan serangkaian skrining terhadap faktor-faktor risiko yang dimulai dari riwayat medis sampai beberapa tes spesifik. Tujuan utama skrining adalah untuk memastikan agar persediaan darah yang ada sedapat mungkin bebas dari penyebab infeksi dengan cara melacaknya sebelum darah tersebut ditransfusikan.26 Saat ini, terdapat tiga jenis utama skrining yang tersedia untuk melacak penyebab infeksi,yaitu uji Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay (ELISA/EIA), uji aglutinasi partikel, dan uji cepat khusus (Rapid Test) (Depkes RI, 2001). Dalam mempertimbangkan berbagai pengujian, perlu disadari data yang berkaitan dengan sensitivitas dan spesifitas masing-masing pengujian. Sensitivitas adalah suatu kemungkinan adanya hasil tes yang akan menjadi reaktif pada seorang individu yang terinfeksi, oleh karena itu sensitivitas pada 24



suatu pengujian adalah kemampuannya untuk melacak sampel positif yang selemah mungkin. Spesifisitas adalah suatu kemungkinan adanya suatu hasil tes yang akan menjadi non-reaktif pada seorang individu yang tidak terinfeksi, oleh karena itu spesifitas suatu pengujian adalah kemampuannya untuk melacak hasil positif non-spesifik atau palsu (Depkes RI, 2001). ELISA (sering diganti dengan singkatan EIA) merupakan metode skrining yang paling kompleks, tersedia dalam berbagai bentuk dan dapat digunakan untuk deteksi baik antigen maupun antibodi. Bentuk pengujian yang paling sederhana dan paling umum digunakan adalah dengan memanfaatkan antigen virus yang menangkap antibodi spesifik yang berada dalam sampel tes. Skrining untuk antigen dilakukan dengan menggunakan EIA sandwich. Perbedaan antara skrining antigen dan antibodi adalah bahwa skrining antigen menggunakan suatu sandwich antibodi-antigen-antibodi, tidak seperti skrining antibodi yang mencakup sandwich antigen-antibodiantigen (konjugat) (Depkes RI, 2001). Pengujian aglutinasi partikel melacak adanya antibodi spesifik dengan aglutinasi partikel yang dilapisi dengan antigen yang berkaitan. Aglutinasi partikel telah berkembang dari hemaglutinasi, yang menggantikan sel darah merah pembawa (karier) dengan partikel pembawa (karier) yang dibuat dari gelatin atau lateks, prinsipnya sama untuk hemaglutinasi dan pengujian untuk aglutinasi partikel. Salah satu manfaat utama tipe pengujian ini adalah tidak diperlukannya peralatan mahal. Pengujian ini tidak memiliki sejumlah tahap yang berbeda, tidak memerlukan peralatan mencuci dan dapat dibaca secara visual (Depkes RI, 2001). Pengujian cepat khusus (specialized rapid test) bersifat sederhana dan biasanya cepat dilakukan. Tipe ini menggabungkan kesederhanaan pengujian aglutinasi partikel dengan teknologi EIA (Depkes RI, 2001). Hasil pengujian dinyatakan dalam terminologi reaktif dan non-reaktif yang ditentukan berdasarkan suatu nilai cut-off yang sudah ditentukan. Untuk hasil yang tidak dapat diklasifikasikan secara jelas dinamakan samar-samar (equivocal) (Depkes RI, 2001). 25



Dalam mempertimbangkan masalah penularan penyakit melalui transfusi darah, perlu diingat bahwa seorang donor yang sehat akan memberikan darah yang aman. Donor yang paling aman adalah donor yang teratur, sukarela, dan tidak dibayar. Jelasnya bahwa para donor yang berisiko



terhadap



penyakit



infeksi



harus



didorong



agar



tidak



menyumbangkan darahnya (Depkes RI, 2001). The Food and Drug Administration (FDA) menyatakan semua darah lengkap dan komponen darah yang bisa ditransfusikan harus melalui tes serologis untuk sifilis berupa Veneral Disease Research Laboratory (VDRL) / Rapid Plasma Reagen Test (RPR), Treponema Pallidum Hema Aglutination Test (TPHA), antigen permukaan hepatitis B (HBsAg) dan antibodi terhadap human immunodeficiency virus (HIV), serta HIV (anti-HIV). FDA juga merekomendasikan pemeriksaan antibodi dari human T lymphotropic virus tipe I (anti-HTLV-I) dan antibodi terhadap virus hepatitis C (anti-HCV). Selain itu, FDA memikirkan untuk merekomendasikan pemeriksaan antibodi dari antigen inti (anti-HBc) (Public Health Service, 1991). Penemuan HBsAg dan hubungannya yang erat dengan virus hepatitis B, menjadikannya dasar dalam pengembangan penanda infeksi HBV yang sensitif dan spesifik. Selama infeksi akut dan kronik, HBsAg dihasilkan dalam jumlah banyak dan bisa diidentifikasikan di dalam serum 30-60 hari setelah terpapar HBV dan menetap untuk jangka waktu tertentu bergantung pada lamanya resolusi infeksi (Public Health Service, 1991). Uji



retrospektif



terhadap



darah



donor



dengan



menggunakan



perangkat skrining generasi pertama seperti imunodifusi untuk deteksi HBsAg, menemukan sebanyak 52-69% resipien dengan HBsAg positif akan menderita hepatitis B. Resipien yang menerima darah dari donor sukarela memiliki risiko lebih rendah terkena hepatitis pasca transfusi daripada donor yang dibayar. Kombinasi skrining generasi ketiga yang lebih sensitif dengan donor sukarela menurunkan angka hepatitis pasca transfusi sampai 0,3-0,9% transfusi pada pertengahan tahun 1970 (Public Health Service, 1991).



26



Tes serologis yang tersedia di pasaran saat ini seperti RIA dan EIA dapat melacak HBsAg dalam kadar kurang dari 0,5 ng/ml dengan sensitivitas >99%. Sejumlah kecil karier HBV dengan HBsAg dalam jumlah lebih kecil yang tidak terlacak mungkin hanya dapat dilacak dengan memeriksa antiHBc (Public Health Service, 1991). Public



Health



Service



merekomendasikan



semua



darah



dan



komponennya yang akan didonorkan harus melalui tes HBsAg dengan tes yang sudah mendapat lisensi FDA yaitu RIA atau EIA. Bila hasilnya tidak reaktif, unit tersebut diartikan tidak reaktif terhadap HBsAg dan produk tersebut bisa digunakan untuk kepentingan donor. Bila hasilnya reaktif, produk tersebut tidak dapat digunakan untuk donor dan untuk pemastian lebih lanjut, dilakukan neutralisasi yang bila hasilnya positif, individu tersebut untuk selamanya tidak diperbolehkan untuk menjadi donor (Public Health Service, 1991). Berbagai penelitian melaporkan bahwa HCV merupakan etiologi terbanyak hepatitis non-A non-B yang ditransmisikan secara parenteral di seluruh dunia. Penelitian retrospektif pada donor yang terlibat dalam transmisi hepatitis non-A non-B menemukan adanya anti-HBc dan/atau peningkatan kadar ALT bila dibandingkan dengan donor yang tidak menularkan hepatitis non-A non-B. Dari penelitian tersebut disarankan agar kedua jenis pemeriksaan di atas dilakukan untuk mengurangi insidens hepatitis non-A non-B pasca transfusi sebanyak 50%. Pada periode 19861988 terdapat penurunan persentase kasus hepatitis non-A non-B yang memiliki riwayat transfusi darah 6 bulan sebelumnya sebanyak 11% dari nilai 17% pada periode 1982-1985 (Public Health Service, 1991). Sebuah penelitian terakhir melaporkan 80% pasien dengan hepatitis non-A non-B pasca transfusi memiliki anti-HCV yang dapat terlacak oleh EIA. Rata-rata interval antara transfusi dengan serokonversi anti-HCV 18 minggu. Penelitian lain melaporkan terjadi serokonversi dalam waktu 6 bulan pada sebanyak 45% dari penderita hepatitis non-A non-B yang didapat (Public Health Service, 1991). 27



Sensitivitas dan spesifitas tes untuk anti-HCV yang tersedia saat ini belum dapat ditentukan. Tidak semua donor yang mengalami hepatitis C positif mengandung anti-HCV dalam darahnya. Sebanyak 25% pasien dengan hepatitis C pasca transfusi memberikan hasil negatif anti-HCV dengan EIA (Public Health Service, 1991). Prosedur skrining darah untuk anti-HCV berdasarkan FDA sama dengan skrining untuk HBsAg, hanya saja tidak dianjurkan untuk dilakukan pada plasma karena dapat memberikan efek yang tidak diharapkan pada produk plasma terutama immunoglobulin (Public Health Service, 1991). Pemeriksaan serologi untuk melacak antibodi T. pallidum penyebab sifilis digolongkan dalam 2 jenis yaitu pemeriksaan serologi yang menggunakan antigen non-treponemal (non-spesifik) seperti VDRL/RPR dan pemeriksaan serologi yang menggunakan antigen treponemal (spesifik), sangat sensitif dan mudah dilakukan yaitu TPHA (Public Health Service, 1991). Prinsip pemeriksaan VDRL/RPR, serum penderita yang mengandung antibodi bereaksi dengan suspensi antigen kardiolipin dan terbentuk flokulasi. Prinsip pemeriksaan TPHA, bila di dalam serum terdapat antibodi spesifik terhadap



T. pallidum akan bereaksi dengan eritrosit domba yang telah



dilapisi antigen. pallidum sehingga terbentuk aglutinasi. EIA juga telah dikembangkan untuk melacak antibodi spesifik, tetapi biaya skrining ini mahal jika dibandingkan dengan uji aglutinasi partikel.27 Jika hasil tes nontreponemal positif (VDRL/RPR), maka harus dilakukan uji konfirmasi dengan tes non-treponemal (TPHA) untuk menghindari hasil positif palsu (National Health and Medical Research Council,2002). HIV menyebabkan infeksi menetap, antigen HIV (p1, gp41) muncul setelah suatu periode tanpa tanda klinis yang dapat dilacak. Jangka waktu untuk melacak antigen HIV (p24 dan gp41) sangat singkat, tidak lebih dari 12 minggu. Anti-HIV baru timbul setelah antigen terlacak, umumnya pada 6-12 minggu setelah infeksi, walaupun bisa tertunda sampai satu tahun. Periode setelah infeksi dan sebelum anti-HIV yaitu anti-p24 (inti) dan anti-gp41 (pembungkus) dibuat, dinamakan periode jendela yang lamanya bervariasi. 28



Meskipun deteksi antigen HIV secara teoritis memberikan bukti infeksi tahap awal, pengujian ini tidak cukup sensitif, sehingga pengujian antigen HIV memiliki keterbatasan dalam manfaatnya pada skrining transfusi darah (Depkes RI, 2001). Laboratorium yang menguji 1-35 donasi per minggu sebaiknya menggunakan rapid test. Laboratorium yang menguji 35-60 donasi per minggu sebaiknya menggunakan metoda uji aglutinasi partikel dan yang menguji lebih dari 60 donasi per minggu sebaiknya menggunakan EIA (Depkes RI, 2001).



29



BAB III KESIMPULAN



Transfusi darah adalah proses mentransfer darah atau darah berbasis produk dari satu orang ke dalam sistem peredaran darah orang lain. Komponen darah terdiri dari sel darah dan plasma, sehingga dengan adanya komponen yang beragam tersebut maka sediaan transfusi pun dibuat beragam untuk memenuhi kebutuhan pasien melalui pengolahan darah dari pendonor secara maksimal. Penggantian darah dapat optimal apabila pemilihan jenis darah yang digantikan tepat dan sesuai kondisi pasien pada saat itu, dengan mempertimbangkan komplikasi yang dapat terjadi dalam reaksi transfusi darah penggantian darah ataupun komponen-komponen darah merupakan suatu tindakan yang sangat berarti bagi pasien sesuai dengan tujuan utama transfusi yaitu



memelihara dan mempertahankan kesehatan donor,



memelihara keadaan biologis darah atau komponen agar lebih bermanfaat, memelihara dan mempertahankan volume darah yang normal pada peredaran darah (stabilitas peredaran darah). mengganti kekurangan komponen seluler atau kimia darah, meningkatkan oksigenasi jaringan, memperbaiki fungsi hemostatis.



30



DAFTAR PUSTAKA



Surgenor SD, hampers MJ, Corwin HL. Optimizing Red Blood Cell Transfusion Practice. In: Yearbook of Intensive Care and Emergency Medicine,Vincent JL (ed). Berlin: Springer;2001:309-15.



Greenburg AG. Intraoperative and Postoperative Transfusion. In : Text Book of Critical Care, Ayres SM (ed). Third edition. Philadelphia: W.B.Saunders Company;1996:1415-23.



Daniel Victor. Sejarah Transfusi Darah. Diunduh pada tanggal 1 November 2013. Available at http://id.scribd.com/doc/114378108/Sejarah-TransfusiDarah. C Waitt, P Waitt, M Pirmohamed. Intravenous Therapy. Postgrad. Med. J. 2004; 80; 1-6



American Society of Anesthesiologists. Practice guidelines for blood component therapy. Anesthesiology 1996;84:732-47.



WHO. The clinical use of blood: handbook. Geneva, 2002. Didapat dari URL:http://www.who.int/bct/Main_areas_of_work/Resource_Centre/CUB/ English/Handbook.pdf.



National Blood Users Group. A guideline for transfusion of red blood cells in surgical patients. Irlandia, Januari 2001. Didapat dari URL: http://www.doh.ie/pdfdocs/blood.pdf.



31



Agarwal N, Murphy JG, Cayten CG, Stahl WM. Blood transfusion increases the risk of infection after trauma. Arch Surg. 1993 ;128:171-6; discussion 176-7.



Moore FA, Moore EE, Sauaia A. Blood transfusion: An independent risk factor for postinjury multiple organ failure. Arch Surg 1997;132:620-4; discussion 624-5.



Zallen G, Offner PJ, Moore EE, Blackwell J, Ciesla DJ, Gabriel J, et all. Age of transfused blood is an independent risk factor for postinjury multiple organ failure. Am J Surg 1999;178:570-2.



Departemen Kesehatan RI. Buku pedoman pelayanan transfusi darah: skrining untuk penyakit infeksi. Modul 2. Jakarta, April 2001:1,13-5,25-6,2733,36.



Public Health Service. Guidelines for screening donors of blood, plasma, organs, tissues, and semen for evidence. Recommendations and Reports 1991;40:1-17.



National Health and Medical Research Council, Australasian Society of Blood Transfusion. Clinical practice guidelines on the use of blood components (red blood cells, platelets, fresh frozen plasma, cryoprecipitate). Australia: NHMRC-ASBT, 2002;1-75.



32