15 0 311 KB
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Sosiologi, manusia merupakan makhluk sosial, terhubung antara satu dengan lainnya dalam sebuah proses yang disebut interaksi sosial. Soerjono Soekanto, guru besar sosiologi-hukum dari Universitas Indonesia, mengemukakan bahwa interaksi sosial adalah kunci semua kehidupan sosial, tidak ada interaksi, tidak mungkin ada kehidupan bersama. 1 Sementara
dalam
proses
interaksi
sosial,
kontak
dan
komunikasi menjadi syarat utamanya.2 Dalam melakukan kontak dan komunikasi, bahasa menjadi mode atau alat untuk bertukar informasi, termasuk ide, gagasan, perasaan dari satu dengan lainnya.3 Dalam Antropoligi, bahkan ada sebuah teori yang menyebutkan bahwasannya bahasa merupakan unsur dari kebudayaan, di mana kebudayaan tidak akan dapat terbentuk tanpa adanya bahasa. Bahasa yang dimaksud adalah sebagai sebuah
sistem
yang
dapat
membuat
manusia
saling
1 Harwantiyoko, Neltje F. Katuuk, Pengantar Sosiologi dan Ilmu Sosial Dasar. Penerbit Gunadarma. Dipublikasikan kembali di http://elearning.gunadarma.ac.id dan diakses pada 15 November 2014. 2 Idem. 3 Douglas W. Maynard, Ansii Perakyla, Language and Social Interaction. Artikel diakses di https://www.ssc.wisc.edu pada 15 November 2014.
1
berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun
gerakan
(bahasa
isyarat),
dengan
tujuan
menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain.4 Dari tinjauan itu dapat diketahui bahwa pengaruh bahasa terhadap proses sosial serta evolusi kebudayaan sangat
besar.
Bahasa
menentukan
perkembangan,
pertumbuhan dan kemerosotan suatu peradaman manusia. Pada praktiknya di Indonesia, bahasa menjadi pemersatu bagi banyaknya bangsa-bangsa yang hidup di nusantara Indonesia. Dengan Bahasa Indonesia, seluruh etnis yang memiliki entitas bahasa tersendiri, akan tersatukan. Pada Kongres Pemuda Kedua yang diselenggarakan dua hari, 27-28 Oktober 1928, di Batavia (sekarang Jakarta), memberikan keputusan penting yang akhirnya memberikan semangat untuk menyatukan aneka ragam bangsa yang tersebar di seluruh pelosok kepulauan Indonesia. 5 Satu etry point keputusan Kongres Pemuda Kedua yang dikenal Sumpah Pemuda itu adalah pernyataan “Kami poetra dan poetri Indonesia
mendjoendjoeng
bahasa
persatoean,
Bahasa
4 Oky Candra, Unsur-Unsur dan Hasil Kebudayaan Indonesia. Artikel diakses dari http://okykidamori.blogspot.com/2013/03/unsur-unsur-danhasil-kebudayaan-di.html pada 15 November 2014. 5 Sumpah Pemuda, Ensiklopedia Wikipedia Berbahasa Indonesia Online. Artikel diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 15 November 2014.
2
Indonesia.” Bahasa Indonesia diyakini menjadi salah satu faktor penting bagi bangsa Indonesia meraih kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 silam. Hingga sekarang ini,
setelah
86
tahun
setelah
kelahirannya, Bahasa Indonesia terus berkembang, baik dalam hal ejaan, istilah, semantik hingga landasan legal formal terhadap bahasa itu sendiri. Dalam penggunaannya di bidang-bidang
profesional,
Bahasa
Indonesia
juga
berkembang dengan corak dan karakteristik tersendiri. Di antaranya di bidang hukum, muncul istilah Bahasa Hukum Indonesia yang diyakini memiliki kekhasan tersendiri.
Jika
dilihat dari sisi etimologis universal, dapat disimpulkan bahwa Bahasa Hukum Indonesia hanya digunakan untuk kepentingan hukum saja, seperti penatausahaan persoalan perdata dan pidana, praktik peradilan hingga soal pembentukan hukum perundang-undangan. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti dalam teori pemisahan kekuasaan Montesquieu,6 ada tiga otoritas besar yang berpengaruh, yakni legislatif (legislature), eksekutif (executive) dan yudikatif (judiciary). Sementara yudikatif, berkaitan erat dengan hukum dan peradilan yang sudah pasti akan selalu bersentuhan dengan seluruh aktivitas 6 Separation of Powers, Ensiklopedia Wikipedia Berbahasa Inggris Online. Artikel diakses dari http://en.wikipedia.org pada 15 November 2014.
3
seseorang sebagai warga negara. Di sisi lain, dalam praktik hukum dan peradilan di Indonesia, penulis menilai bahwa gaya dan karakteristik bahasanya berbeda dengan yang digunakan secara umum. Karena itu pula tidak semua orang, termasuk yang berpendidikan tinggi dari disiplin selain hukum, dapat dengan mudah memahami karakteristik hukum dan peradilan. Untuk menjalani profesi berkaitan dengan hukum dan peradilan, seperti hakim, jaksa, pengacara atau lainnya, yang paling tepat ‘right man on the right place’ adalah mereka yang secara khusus telah belajar dan mendalami bahasa hukum. Namun dalam mempelajari dan mendalami bahasa hukum, tentu tidak dibatasi kepada mereka yang dalam profesinya bersentuhan dengan hukum dan peradilan saja, melainkan masyarakat pada umumnya juga patut memahami. B. Rumusan Masalah Jika masyarakat pada umumnya saja sangat dianjurkan belajar bahasa hukum, apalagi mahasiswa yang tengah menempuh pendidikan hukum, seluk belum bahasa hukum harus dipahami sampai “di luar kepala”. Dalam tulisan ini rumusan masalah yang diajukan adalah: 1. Apa hubungan bahasa Indonesia dengan bahasa hukum Indonesia ?
4
2. Apa definisi, karakteristik, sejarah bahasa hukum Indonesia ? 3. Apa landasan penerapan bahasa hukum Indonesia ? 4. Apa urgensi dan problem penerapan bahasa hukum dalam praktik hukum di Indonesia ? C. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan karya tulis ini adalah untuk: 1. Memahami hubungan antara bahasa Indonesia dengan bahasa hukum Indonesia. 2. Mengetahui definisi, karakteristik, sejarah bahasa hukum Indonesia. 3. Mengetahui landasan penerapan bahasa hukum Indonesia. 4. Mengetahui urgensi dan problem penerapan bahasa hukum dalam praktik hukum di Indonesia. D. Manfaat Dengan karya tulis tentang Bahasa Hukum Indonesia ini maka
diharapkan
dapat
memberikan
manfaat
dalam
memperdalam pemahaman tentang ilmu-ilmu hukum serta praktiknya. Lalu karya tulis ini dapat menjadi acuan dalam penulisan-penulisan lain dengan tema terkait. BAB II PEMBAHASAN A. Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Resmi Negara Berdasarkan artikel yang termuat di dalam portal Badan Pengembangan
dan
Pembinaan
Bahasa
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia berjudul
5
Sekilas Tentang Sejarah Bahasa Indonesia7 disebutkan bahwa bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada saat itu, para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul
dalam
kerapatan
Pemuda
dan
berikrar
(1)
bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia, (2) berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan (3) menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ikrar para pemuda ini dikenal dengan nama Sumpah Pemuda. Unsur yang ketiga dari Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Pada
tahun
1928
itulah
bahasa
Indonesia
dikukuhkan
kedudukannya sebagai bahasa nasional. Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa
resmi
negara
sehari
setelah
bangsa
Indonesia
merdeka dari kolonialisme Jepang. Keesokan harinya setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, disahkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang didalamnya, pada Bab XV, Pasal 36, memuat bahwa bahasa negara ialah bahasa Indonesia.8 7 Sekilas Tentang Sejarah Bahasa Indonesia, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Diakses dari http://badanbahasa.kemdikbud.go.id pada 15 November 2014. 8 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Diakses melalui http://www.dpr.go.id pada 15 November 2014.
6
Sementara
Undang-Undang
Nomor
24
Tahun
2009
tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan memberi penegasan perihal penggunaan bahasa Indonesia dalam berbagai keperluan, baik lisan maupun tulisan.9 Pada pasal 31 undang-undang itu, disebutkan bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi Pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia. Bahasa Indonesia juga harus dipergunakan untuk keperluan nota kesepahaman atau perjanjian perseorangan ataupun kelembagaan yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan atau bahasa Inggris. Dalam perkembangannya, pertemuan dan ikrar pemuda tahun 1928 yang melahirkan kelahiran bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang menyatukan kemajemukan bahasa nusantara, bukan saja dijadikan sebagai momen kebangkitan pemuda, melainkan juga sebagai saat yang penting bagi lahirnya bahasa Indonesia. Karena itu di bulan berlangsungnya Sumpah Pemuda, Bulan Oktober, dijadikan sebagai Bulan Bahasa dan Sastra yang diperingati setiap tahunnya dengan diisi berbagai kegiatan. Pada bulan yang 9 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan. Diakses melalui http://www.dpr.go.id pada 15 November 2014.
7
sama, setiap lima tahun sekali, diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia.10 Kongres ini pertama kali digelar di Kota Solo tahun 1938, melibatkan unsur pemerintah, praktisi dan ahli
bahasa
dan
sastra
Indonesia
untuk
membahas
perkembangan bahasa dan sastra Indonesia dan rencana pengembangannya. Kegiatan terakhir berlangsung di Jakarta pada Oktober 2013 lalu dan merekomendasikan agar bahasa Indonesia dikembangkan menjadi bahasa internasional.11 Pada tahun 1947 lahir Instituut voor Taal en Cultuur Onderzoek (ITCO), sebuah lembaga yang khusus menangani masalah Indonesia.
bahasa, Tahun
merupakan 1948,
bagian
pemerintah
dari
Universitas
Republik
Indonesia
membentuk lembaga bernama Balai Bahasa di bawah Jawatan Kebudayaan,
Kementerian
Pendidikan,
Pengajaran,
dan
Kebudayaan. Pada tahun 1952, Balai Bahasa dimasukkan ke lingkungan
Fakultas
Sastra
Universitas
Indonesia
dan
digabung dengan ITCO menjadi Lembaga Bahasa dan Budaya. Selanjutnya, mulai 1 Juni 1959 lembaga ini diubah menjadi Lembaga Bahasa dan Kesusastraan di bawah
Departemen
10 Kongres Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Wikipedia Berbahasa Indonesia Online. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 16 November 2014. 11 Wahyu Wibowo, Bahasa Indonesia Sebagai (Embrio) Bahasa ASEAN ? Diakses melalui http://wahyuwibowo.blog.unas.ac.id pada 16 November 2014.
8
Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Pada tanggal 3 November
1966
lembaga
ini
berganti
nama
menjadi
Direktorat Bahasa dan Kesusastraan yang berada di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sejak 27 Mei 1969 lembaga itu kembali berubah nama
menjadi
Lembaga
Bahasa
Nasional
dan
secara
struktural berada di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan. Pada 1 April 1975 Lembaga Bahasa Nasional berganti nama menjadi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa yang kerap
disingkat
Pusat
Bahasa.
Kemudian
berdasarkan
Keputusan Presiden (Keppres) tahun 2000, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa berubah nama menjadi Pusat Bahasa. Lembaga ini berada di bawah naungan Sekretariat Jenderal Departemen Pendidikan Nasional dan menaungi Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang berada di dua puluh dua provinsi di Indonesia.12 Dalam praktiknya, Pusat Bahasa menjadi fasilitator atau pelaksana dalam berbagai kegiatan memeriahkan Bulan Bahasa dan Sastra. Selain itu juga menjadi penyelenggara Kongres
Bahasa
Indonesia
setelah
kemerdekaan.
Dari
lembaga bahasa ini lahir juga sejumlah karya penting seperti Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia
dan
Tesaurus
Bahasa
12 Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Ensiklopedia Wikipedia Berbahasa Indonesia Online. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 16 November 2014.
9
Indonesia Pusat Bahasa. Sementara dalam beberapa kali pelaksanaan Kongres Bahasa Indonesia, lahir sejumlah hasil riset penting tentang berbagai hal terkait bahasa Indonesia, seperti Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), Ragam Bahasa Indonesia, pembentukan istilah baru hingga masalah kajian tentang sejarah bahasa Indonesia. B. Sejarah dan Perkembangan Bahasa Indonesia Mengenai sejarah bahasa Indonesia, pada Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara lain, menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu.13 Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara. Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad VII. Bukti yang menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit berangka tahun 683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota Kapur berangka tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688 M (Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu 13 Putusan Kongres Bahasa Indonesia I – IX, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hal. 6. Dokumen diakses melalui http://badanbahasa.kemdikbud.go.id pada 16 November 2014.
10
Kuna. Bahasa Melayu Kuna itu tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah (Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor ditemukan
prasasti
berangka
tahun
942
M
yang
juga
menggunakan bahasa Melayu Kuno. Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa perhubungan antar suku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa antar suku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang datang dari luar Nusantara. Sementara informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang
belajar
agama
Budha
di
Sriwijaya,
antara
lain,
menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa yang bernama Koen-louen, Kou-luen, K’ouen-louen, Kw’enlun, K’un-lun,
yang
berdampingan
dengan
Kun’lun dan
Sanskerta.
Yang
dimaksud Koen-luen adalah bahasa perhubungan (lingua franca)
di
Kepulauan
Nusantara,
yaitu
bahasa
Melayu.
Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin jelas dari peninggalan kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis, seperti tulisan pada batu nisan di Minye Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun hasil susastra (abad ke-16 dan ke-17), seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-
11
Raja Pasai, Sejarah Melayu, Tajussalatin, dan Bustanussalatin. Bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya agama Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antar pulau, antar suku, antar pedagang, antar bangsa, dan antar kerajaan karena bahasa Melayu tidak mengenal tingkat tutur. Bahasa Melayu dipakai di mana-mana di wilayah Nusantara serta makin berkembang dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai
di
daerah
di
wilayah
Nusantara
dalam
pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa Melayu menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa Sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan
bahasa-bahasa
Eropa.
Bahasa
Melayu
pun
dalam
perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan dialek. Perkembangan
bahasa
mempengaruhi
dan
Melayu
di
mendorong
wilayah
Nusantara
tumbuhnya
rasa
persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komunikasi antar perkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa Melayu.14 14 Sekilas Tentang Sejarah Bahasa Indonesia, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Artikel diakses melalui http://badanbahasa.kemdikbud.go.id pada 16 November 2014. Conf. Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Wikipedia Berbahasa Indonesia Online. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada tanggal 15 November 2014 dan Wachit Nur Hidayati, Sejarah,
12
Beberapa peristiwa penting yang menjadi cikal bakal lahirnya bahasa Indonesia sebelum kemerdekaan Bangsa Indonesia adalah sebagai berikut : 1. Pada tahun 1908, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Commissie voor de Volkslectuur melalui Surat Ketetapan Gubernemen tanggal 14 September 1908 yang bertugas mengumpulkan dan membukukan cerita-cerita rakyat atau dongeng-dongeng yang tersebar di kalangan rakyat, serta menerbitkannya dalam bahasa Melayu setelah diubah dan disempurnakan.
Kemudian
pada
tahun
1917
diubah
menjadi Balai Pustaka. 2. Tanggal 16 Juni 1927, Jahja Datoek Kajo 15 menggunakan bahasa
Indonesia
pertamakalinya
dalam
dalam
pidatonya.
sidang
Hal
Volksraad,
ini
untuk
seseorang
berpidato menggunakan bahasa Indonesia. 3. Tanggal 28 Oktober 1928, Muhammad Yamin 16 secara resmi mengusulkan
agar
bahasa
Melayu
menjadi
bahasa
persatuan Indonesia.
Fungsi dan Kedudukan Bahasa Indonesia. Diakses melalui http://coretanwnh.blogspot.com pada 16 November 2014. 15 Lihat Jahja Datoek Kajo, Ensiklopedia Wikipedia Berbahasa Indonesia Online. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 17 November 2014. 16 Lihat Mohammad Yamin, Ensiklopedia Wikipedia Berbahasa Indonesia Online. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 17 November 2014.
13
4. Tahun 1933, terbit majalah Pujangga Baru 17 yang diasuh oleh Sutan Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah, dan Armijn Pane. Pengasuh majalah ini adalah sastrawan yang banyak memberi sumbangan terhadap perkembangan bahasa dan sastra Indonesia. Pada masa Pujangga Baru ini bahasa yang digunakan untuk menulis karya sastra adalah bahasa Indonesia yang dipergunakan oleh masyarakat dan tidak lagi dengan batasan-batasan yang pernah dilakukan oleh Balai Pustaka. 5. Tahun 1938, dalam rangka memperingati sepuluh tahun Sumpah
Pemuda,
diselenggarakan
Kongres
Bahasa
Indonesia I di Solo, Jawa Tengah. Dalam kongres tersebut dihasilkan beberapa keputusan yang sangat besar artinya bagi pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia. Keputusan tersebut, antara lain: mengganti Ejaan van Ophuysen, mendirikan Institut Bahasa Indonesia, dan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam Badan Perwakilan. 6. Tahun 1942-1945, masa pendudukan Jepang. Saat itu Jepang
melarang
pemakaian
bahasa
Belanda
yang
dianggapnya sebagai bahasa musuh. Penguasa Jepang terpaksa menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa 17 Lihat Poedjangga Baroe, Ensiklopedia Wikipedia Berbahasa Indonesia Online. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 17 November 2014.
14
resmi untuk kepentingan penyelenggaraan administrasi pemerintahan dan sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan,
sebab
bahasa
Jepang
belum
banyak
dimengerti oleh bangsa Indonesia. Hal yang demikian menyebabkan bahasa Indonesia mempunyai peran yang semakin penting. C. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia Bahasa merupakan alat komunikasi lingual manusia, baik secara terlisan maupun tertulis. Ini adalah fungsi dasar bahasa yang tidak dihubungkan dengan status dan nilai sosial. Setelah dihubungkan, bahasa tidak dapat ditinggalkan. Bahasa selalu mengikuti kehidupan manusia sehari-hari, baik sebagai anggota suku maupun anggota bangsa. Karena kondisi dan pentingnya bahasa itu, maka diberi ‘label’ secara eksplisit oleh pemakainya berupa kedudukan dan fungsi. Seminar Politik Bahasa Nasional yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25-28 Februari 1975 menghasilkan sejumlah rumusan,18 antara lain menegaskan bahwa dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) alat pemersatu berbagai-bagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial budaya 18 Masnur Muslich, Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia. Artikel diakses melalui http://muslich-m.blogspot.com pada 17 November 2014.
15
dan bahasanya, dan (4) alat perhubungan antar budaya antar daerah. Pertama, sebagai lambang kebanggaan nasional, bahasa Indonesia mendeskripsikan nilai-nilai sosial budaya luhur
bangsa
Indonesia.
Karena
keluhuran
nilai
yang
dicerminkan bangsa Indonesia, maka warga negara Indonesia harus bangga dalam menggunakannya. Kedua, lambang identitas nasional, bahasa Indonesia merupakan lambang bangsa Indonesia, menjelaskan bahwa bahasa Indonesia menjelaskan tentang identitas, baik sifat, perangai, dan watak bangsa
Indonesia.
Ketiga,
dengan
fungsi
yang
ketiga
memungkinkan masyarakat Indonesia yang beragam latar belakang sosial budaya dan berbeda-beda bahasanya dapat menyatu dan bersatu dalam kebangsaan, cita-cita, dan rasa nasib
yang
sama.
Dengan
bahasa
Indonesia,
bangsa
Indonesia merasa aman dan serasi hidupnya, sebab mereka tidak merasa bersaing dan tidak merasa lagi dijajah oleh masyarakat bangsa lain. Apalagi dengan adanya kenyataan bahwa dengan menggunakan bahasa Indonesia, identitas suku dan nilai-nilai sosial budaya daerah masih tercermin dalam bahasa daerah masing-masing. Kedudukan dan fungsi bahasa daerah masih tegar dan tidak bergoyah. Keempat, bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi antar sesama yang berbeda
etnis
dan
latar
belakang
bahasa,
sehingga
16
mungkinkannya
dapat
bertukar
pikiran
dan
saling
memberikan informasi. Bagi pemerintah, segala kebijakan dan strategi yang berhubungan dengan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan kemanan dengan mudah dapat diinformasikan kepada warganya. Sementara, bahasa Indonesia dalam kedudukan dan fungsinya sebagai bahasa resmi negara, berfungsi menjadi (1) bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan, (3) bahasa resmi di dalam perhubungan
pada
perencanaan
dan
tingkat
nasional
pelaksanaan
untuk
kepentingan
pembangunan
serta
pemerintah, dan (4) bahasa resmi di dalam pengembangan kebudayaan
dan
pemanfaatan
ilmu
pengetahuan
serta
teknologi modern. Pertama, fungsi bahasa resmi negara. Pertama kali sejak Indonesia resmi menjadi sebuah negara berdaulat adalah pada saat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia
pada
17
Agustus
1945
oleh
Soekarno
dan
Muhammad Hatta, di mana naskah proklamasi menggunakan bahasa Indonesia. Mulai saat itu dipakailah bahasa Indonesia dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan, baik dalam bentuk lisan maupun tulis, serta di dalam maupun di luar negeri.
Kedua, sebagai bahasa pengantar resmi
pendidikan. Di lembaga-lembaga pendidikan mulai dari taman
17
kanak-kanak
sampai
dengan
perguruan
tinggi,
bahasa
Indonesia digunakan dalam proses belajar mengajar. Sebagai konsekuensi pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan tersebut, maka materi pelajaran ynag berbentuk media cetak hendaknya juga berbahasa
Indonesia.
menerjemahkan
Hal
buku-buku
ini
dapat
yang
dilakukan
berbahasa
dengan
asing
atau
menyusunnya sendiri. Apabila hal ini dilakukan, sangatlah membantu peningkatan perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknolologi (iptek). Ketiga, dalam komunikasi pemerintahan secara nasional, baik secara tertulis maupun lisan, penyeragaman bahasa dalam bahasa Indonesia tentu akan lebih mengefektifkan dalam mencapai tujuan kerja pemerintah, yakni dalam hal pelayanan publik. Terakhir, sebagai fungsi pengembangan kebudayaan nasional, ilmu, dan teknologi, bahasa Indonesia terasa sekali manfaatnya. Kebudayaan nasional yang beragam itu, yang berasal dari masyarakat Indonesia yang beragam pula, rasanya tidak mungkin dapat disebarluaskan dan dinikmati masyarakat Indonesia dengan bahasa lain selain bahasa Indonesia.
Agar
jangkauan
pemakaiannya
lebih
luas,
penyebaran ilmu dan teknologi, baik melalui buku-buku pelajaran, buku-buku populer, majalah-majalah ilmiah maupun
18
media
cetak
lain,
menggunakan
bahasa
Indonesia.
Pelaksanaan ini mempunyai hubungan timbal-balik dengan fungsinya sebagai bahasa ilmu yang dirintis lewat lembagalembaga pendidikan, khususnya di perguruan tinggi. D. Ragam Bahasa Indonesia Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online 19 yang disebut dengan ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yg berbeda-beda menurut topik yg dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, dan orang yg dibicarakan, serta menurut medium pembicaraan. Dalam karya ilmiah Tri Wahyu,20 ragam bahasa menurut Bachman
adalah
variasi
bahasa
menurut
pemakaian,
berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicara. Pendapat Dendy Sugono, sehubungan dengan pemakaian bahasa Indonesia, timbul dua masalah pokok, yaitu penggunaan bahasa baku dan tidak baku. Dalam situasi resmi, seperti di sekolah, di kantor, atau di
dalam
pertemuan
resmi
digunakan
bahasa
baku.
19 Ragam, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kamus versi online/daring (dalam jaringan). Diakses melalui http://kbbi.web.id pada 17 November 2014. 20 Tri Wahyu R. N, SS. MM, Ragam dan Laras Bahasa. Diakses melalui http://t_wahyu.staff.gunadarma.ac.id pada 17 November 2014.
19
Sebaliknya dalam situasi tidak resmi, seperti di rumah, di taman, di pasar, tidak dituntut menggunakan bahasa baku. Dalam mengklasifikasikan ragam bahasa, para ahli dan peneliti bahasa memiliki pandangan yang beragam. Menurut Minto Rahayu,21 ragam bahasa diklasifikasikan berdasarkan perspektif penutur dan pemakaiannya. Dari sudut pandang penutur, ragam bahasa dapat dibedakan dari sisi daerah atau logat, pendidikan dan sikap penutur. Sedangkan dari jenis pemakaiannya, ragam bahasa dapat dilihat dari sisi bidang dan
pokok
pembicaraannya,
sisi
sarananya
dan
aspek
gangguan pencampuran. Aspek Penutur Dalam aspek logat, ragam bahasa akan terlihat dari tata bunyinya. Logat daerah memiliki ciri khas yang meliputi tekanan, turun naiknya nada, panjang pendeknya bunyi bahasa.
Contoh,
logat
Indonesia
yang
dilafalkan
dari
seseorang beretnis dan beraksesn Jawa dapat dikenali dari intonasi suara yang 'ngebas' atau bernada rendah. Meskipun dipengaruhi
adanya
perbedaan
kosa
kata
dan
variasi
gramatikal, namun bahasa Indonesia dengan dialek erat hubungannya dengan penutur.
21 Minto Rahayu, Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi. Diakses melalui http://books.google.co.id pada 17 November 2014.
20
Pada aspek pendidikan, ragam bahasa menyilangi ragam dialek dan memunculkan perbedaan jelas antara kaum berpendidikan formal dan yang tidak. Secara fonologis, tata bunyi Indonesia golongan kedua berbeda dengan kaum terpelajar. Contoh, bunyi /f/ dan gugus konsonan /ks/, tidak selalu terdapat dalam ujaran orang yang tidak atau hampir tidak bersekolah. Bentuk fadil, fakultas, film, fitnah, kompleks, diucapkan menjadi padil, pakultas, pilem, pitenah, komplek. Begitu pula dari sisi tata bahasa. Kalimat saya mau tulis surat ke pamanku, cukup jelas maksudnya. Tetapi bahasa yang terpelihara menurut bentuknya menjadi saya akan menulis surat itu kepada paman saya. Sedangkan dari sudut pandang sikap penutur, ragam bahasa
tercermin
dalam
cara
dan
gaya.
Pemilihannya
tergantung pad asikap penutur terhadap orang yang diajak bicara atau terhadap pembacanya. Sikap ini antara lain dipengaruhi oleh umur dan kedudukan yang disapa, pokok persoalan
yang
hendak
disampaikan,
dan
tujuan
penyampaian informasi. Bentuk ragam tersebut, misalnya, sikap kaku dan resmi, adab dingin, hambar hangat, akrab, atau santai yang tercermin dalam kosa kata dan tata bahasa. Aspek Pemakaian
21
Pada aspek bidang dan pokok bahasannya, ragam bahasa dipengaruhi oleh luasnya pergaulan, pendidikan, profesi
dan
pengalaman.
Sedangkan
bidang,
contohnya
adalah agama, politik, teknologi, peragangan, seni rupa, olahraga, hukum, militer dan sebagainya. Setiap bidang tersebut memiliki kekhasan kosakata dan variasi tata bahasa. Berdasarkan perspektif sarananya, ragam bahasa terbagi menjadi dua, yakni ragam tulis dan lisan. Ragam lisan merupakan bahasa yang diujarkan oleh pemakai bahasa. Contoh ragam lisan standar adalah saat orang berpidato atau memberi sambutan, dalam situasi perkuliahan, ceramah. Ragam lisan tidak standar, misalnya dalam percakapan antar teman, di pasar, atau dalam kesempatan nonformal lainnya. Sedangkan ragam tulis adalah bahasa terditulis atau tercetak. Ragam tulis dapat berupa ragam tertulis standar maupun tidak standar yang bisa ditemukan pada buku, dokumen tertulis pemerintah, majalah, surat, surat kabar, poster, iklan dan sebagainya. Ragam yang mengalami gangguan pencampuran, ini ditandai dengan adnaya proses pencampuran bahasa slang atau tidak resmi yang tidak layak disebut bahasa baku. Misalnya jargon jablay yang tenar dan sering dipakai di kalangan remaja. Lalu kata lekong, dipakai oleh kalangan pria trans gender.
22
E. Ragam Bahasa Baku Dalam KBBI Online, yang disebut di antara makna baku adalah
pokok
atau
utama.
Sedangkan
ragam
baku,
didefinisikan sebagai ragam bahasa yang oleh penuturnya dipandang sebagai ragam yang baik (mempunyai prestise tinggi), biasa dipakai di kalangan terdidik, dalam karya ilmiah, dalam suasana resmi, atau dalam surat resmi (misalnya suratmenyurat dinas, perundang-undangan, karangan teknis).22 Bahasa Indonesia bukan sebuah sistem yang tunggal dan kaku. Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang hidup mempunyai banyak variasi, yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri dalam proses komunikasi. Variasi tersebut sejajar, dalam pengertian tidak ada yang lebih baik atau lebih tinggi dari pada yang lain. Namun, dalam hubungannya dalam komunikasi
resmi
ketentuan-ketentuan
perlu
dilakukan
khusus
tersebut
penggarisan ialah
berupa
standarisasi.
Dalam proses standarisasi itu, ada salah satu variasi yang diangkat untuk mendukung fungsi - fungsi tertentu tersebut. Variasi tersebut dinamakan bahasa standar atau bahasa baku. Untuk itu, bahasa baku perlu memiliki sifat kemantapan yang dinamis berupa kaidah dan aturan - aturan yang tepat. Selain variasi bahasa yang berstandar (baku), ada juga variasi 22 Ragam, Loc. Cit.
23
variasi lain yang tidak berstandar ( non standard ) atau tidak baku. Bahasa tidak baku tetap hidup dan berkembang sesuai fungsinya yaitu dalam pemakaian bahasa yang tidak resmi.23 Menurut Minto Rahayu,24 pembakuan bahasa dilakukan untuk memberikan dasar atau patokan bahasa yang benar, yang
berlaku
direalisasikan
untuk dalam
suatu
bahasa.
peraturan
Pembakuan
bahasa
kebahasaan
yang
menghasilkan bahasa baku. Bahasa baku diambil dari bahasa yang biasanya digunakan oleh kalangan orang berpendidikan, karena ragam baku memiliki kaidah kebahasaan paling lengkap dibanding ragam lainnya. Ragam bahasa ini juga sering dipakai dalam bahasa resmi kalangan profesional, seperti pejabat pemerintah, hakim, pengacara, wartawan, guru, dosen, pemimpin perusahaan, sastrawan, perwira dan sebagainya. Di Indonesia, pembakuan bahasa dilaksanakan oleh
pemerintah,
melalui
Badan
Pengembangan
dan
Pembinaan Bahasa atau Pusat Bahasa. Lembaga profesional lain mungkin saja berbeda corak dan gaya dalam tata bahasa bakunya, namun tetap mengacu ketetapan Pusat Bahasa.
23 Lihat Hamsiah Djafar, Variasi Bahasa Dengan Kaitannya Pembakuan Bahasa Indonesia. Volume I Nomor 1, Oktober 2012. Diakses melalui http://www.uin-alauddin.ac.id pada 17 November 2014. 24 Minto Rahayu, Loc.Cit.
24
Hamsiah Djafar25 menyebutkan ada lima fungsi ragam baku,
yakni
(1)
sebagai
alat
komunikasi
resmi,
(2)
kepentingan wacana teknis, (3) dipakai dalam pembicaraan resmi,
(4)
siaran
resmi,
dan
(4)
digunakan
dalam
berkomunikasi dengan orang yang dihormati. Sementara itu, Minto Rahayu mengemukakan bahwa fungsi ragam bahasa baku adalah (1) pemersatu, (2) pemberi kekhasan, (3) pembawa kewibawaan dan (4) sebagai kerangka acuan. Pendapat fungsi ragam baku tersebut sebenarnya merupakan teori Anton M. Moelyono, pakar bahasa dari Universitas Indonesia dalam karyanya yang diterbitkan tahun 1975. Fungsi
itu
Penggunaan
dilihat
dari
Bahasa
aspek
yang
sosial. 26
Baik
dan
Dalam Benar
Bahasa 27
juga
mengemukakan pendapat Harimurti Kridalaksana28 bahwa fungsinya adalah untuk komunikasi resmi, wacana teknis, pembicaraan di depan umum, dan pembicaraan dengan orang 25 Hamsiah Djafar, Loc. Cit. 26 Windu Anggara, et.al., Penggunaan Bahasa Yang Baik dan Benar. Artikel diakses melalui https://www.academia.edu pada 17 November 2014. Conf. Anton M. Moeliono, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Diakses melalui http://badanbahasa.kemdikbud.go.id pada 17 November 2014. 27 Ibid 28 Harimurti Kridalaksana, Ensiklopedia Wikipedia Berbahasa Indonesia Online. Diakses melalui https://id.wikipedia.org pada 17 November 2014.
25
yang dihormati.
Antila Purba29 ragam bahasa baku memiliki karakteristik tertentu yang telah dibuat para pakar bahasa, seperti Harimurti Kridalaksana, Anton M. Moeliono, dan Suwito. Dengan merangkup pendapat para ahli itu, Antila Purba menguraikan ciri-ciri ragam bahasa baku sebagai berikut: 1. Pelafalan sebagai bagian fonologi bahasa Indonesia baku adalah pelafalan yang relatif bebas dari atau sedikit diwarnai
bahasa
daerah
atau
dialek.
Misalnya,
kata
keterampilan diucapkan keterampilan bukan ketrampilan. 2. Bentuk kata yang berawalan me- dan ber- dan lain-lain sebagai bagian morfologi bahasa Indonesia baku ditulis atau diucapkan secara jelas dan tetap di dalam kata. Misalnya:
“Banjir
menyerang
kampung
yang
banyak
penduduknya itu.” 3. Konjungsi atau kata sambung sebagai bagian morfem bahasa Indonesia baku ditulis secara jelas dan tetap di dalam kalimat. Misalnya: “Sampai dengan hari ini ia tidak percaya kepada siapapun, karena semua diangapnya penipu.”
29 Antila Purba, Bahasa Indonesia B: Pemakaiannya Dengan Baik dan Benar, (Medan: Universitas Sumatera Utara Press, 2008) hal. 10-13.
26
4. Partikel -kah, -lah, dan –pun sebagai bentuk terikat yg digunakan untuk menekankan makna kata yg di depannya. Misalnya: “Bacalah buku itu sampai selesai!” 5. Preposisi atau kata yang biasa terdapat di depan nomina, misalnya dari, dengan, di, dan ke sebagai bagian bahasa Indonesia baku dituliskan secara jelas dan tetap dalam kalimat.
Misalnya:
“Saya
bertemu
dengan
adiknya
kemarin.” 6. Bentuk kata ulang atau reduplikasi morfologis bahasa Indonesia baku ditulis secara jelas dan tetap sesuai dengan fungsi dan tempatnya di dalam kalimat. Misalnya: “Rumahrumah
di
permukiman
padat
penduduk
itu
terbakar
kemarin.” 7. Kata ganti atau polaritas tutur sapa secara morfologis bahasa Indonesia baku ditulis secara jelas dan tetap dalam kalimat. Misalnya: “Saya – anda bisa bekerja sama di dalam pekerjaan ini.” 8. Pola kelompok kata kerja aspek + agen + kata kerja sebagai bagian kalimat bahasa Indonesia baku ditulis dan diucapkan secara jelas dan tetap di dalam kalimat. Misalnya: “Surat Anda sudah saya baca.” 9. Konstruksi atau bentuk sintesis sebagai bagian kalimat bahasa Indonesia baku ditulis atau diucapkan secara jelas dan
tetap
dalam
kalimat.
Misalnya:
saudaranya,
dikomentari, mengotori, harganya.
27
10.
Fungsi gramatikal (subyek, predikat, obyek) sebagai
bagian
kalimat
bahasa
Indonesia
baku
ditulis
atau
diucapkan secara jelas dan tetap dalam kalimat. Misalnya: “Kepala Kantor pergi ke luar negeri.” 11. Struktur kalimat baik tunggal maupun majemuk ditulis atau diucapkan secara jelas dan tetap sebagai bahagian kalimat bahasa Indonesia baku di dalam kalimat. Misalnya: “Mereka sedang mengikuti perkuliahan DasarDasar Akuntansi.” 12. Kosakata sebagai bagian semantik bahasa Indonesia baku ditulis atau diucapkan secara jelas dan tetap dalam kalimat. 13. Ejaan resmi sebagai bagian bahasa Indonesia baku ditulis secara jelas dan tetap baik kata, kalimat maupun tanda-tanda baca sesuai dengan Ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan. 14. Peristilahan baku sebagai bahagian bahasa Indonesia baku
dipakai
sesuai
dengan
Pedoman
Peristilahan
Penulisan Istilah yang dikeluarkan oleh Pemerintah melalui Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Minto Rahayu menjelaskan ada tiga karakteristik bahasa Indonesia baku, yakni : (1) Kemantapan dinamis, adalah sesuai dengan kaidah dan aturan yang tetap serta tidak dapat berubah setiap saat. Contohnya, morfem rusak dapat berubah menjadi perusak, tetapi bukan pengerusak. (2)
28
Kecerdasan bahasa, diwujudkan dalam kalimat, paragraf, dan satuan bahasa lain yang lebih besar mengungkap penalaran atau pemikiran yang teratur, logis dan masuk akal. Proses pencerdasan bahasa amat penting, karena pengenalan ilmu dan teknologi modern, yang kini umumnya masih bersumber dari bahasa asing, harus dapat berlangsung melalui ragam bahasa Indonesia baku. (3) Keseragaman. Keseragaman bahasa
baku
sampai
batas
tertentu
berarti
proses
penyeragaman kaidah, bukan penyamaan ragam bahasa atau penyeragaman variasi bahasa.30 Sementara,
Hamsiah
Djafar31
menguraikan
ciri-ciri
bahasa Indonesia baku sebagai berikut : 1. Memiliki ucapan baku (pada bahasa lisan: yaitu ucapan yang tidak terpengaruh oleh ucapan bahasa daerah dan dialek-dialek yang ada). 2. Memakai ejaan resmi; yaitu ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan (sebagai pedoman umum). 3. Memakai peristilahan resmi, yaitu pedoman
umum
pembentukan istilah. 4. Menghindari pemakaian unsur-unsur yang terpengaruh oleh bahasa-bahasa dialek atau bahasa tutur sehari-hari, baik leksikal maupun gramatikal. 5. Pemakaian susunan yang dipadukan. 30 Minto Rahayu, Loc. Cit. 31 Hamsiah Djafar, Loc. Cit.
29
6. Pemakaian
awalan
me-
dan
ber-
(bila
ada)
secara
konsisten. 7. Pemakaian partikel -lah, -kah, dan –pun (bila ada) secara konsisten. 8. Pemakaian urutan kata yang tepat adalah pola frase verbal (aspek - prilaku - tindakan) secara konsisten. 9. Pemakaian kata depan di dan ke ditulis terpisah dari kata yang diikutinya. 10. Pemakaian kata ganti orang yang berpasangan secara tepat. 11. Menghindari gejala bahasa F. Bahasa Indonesia Baik dan Benar Bahasa Indonesia yang baik, belum tentu benar dan bahasa Indonesia yang benar, belum tentu baik. “Gunakanlah bahasa Indonesia yang baik dan benar,” sebuah semboyan yang sering disuarakan di dunia pendidikan. Istilah bahasa Indonesia yang baik dan benar juga tercantum di pada pasal 1 ayat (1)
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia (Permendiknas) Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pedoman
Umum
Ejaan
Bahasa
Indonesia
yang
Disempurnakan, berbunyi : “Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, dipergunakan bagi instansi pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.” Permendiknas tersebut mempertegas Undang-Undang Republik Indonesia
30
Nomor
24
Tahun
2009
tentang
Bendera,
Bahasa,
dan
Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan yang di dalamnya mewajibkan bagi seluruh komponen bangsa Indonesia, baik di pemerintahan maupun swasta, untuk menggunakan bahasa Indonesia, baik dalam komunikasi kerja maupun dalam pembuatan dokumen-dokumen tertulis resmi. Walaupun mempertegas penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tetapi di dalam aturan tersebut tidak menjelaskan tentang makna baik dan benar. Isi Permendiknas No. 46/2009 hanya menyebut dan menjelaskan tata bahasa Indonesia sesuai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) tanpa merujuk secara jelas konsep bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mungkin karena itu Antila Purba 32 mengatakan bahwa makna semboyan tersebut tidak jelas. Slogan itu hanyalah suatu retorika yang tidak berwujud nyata, sebab masih diartikan bahwa di segala tempat kita harus menggunakan bahasa baku. Demikian juga, masih ada cibiran bahwa bahasa baku itu hanya buatan pemerintah agar bangsa ini dapat diseragamkan dalam bertindak atau berbahasa. Menurut Antila Purba, makna semboyan itu sering pula diartikan
bahwa
menggunakan
bahasa
Indonesia
harus
dengan ragam baku dan menghindarkan pemakaian nonbaku. Bahasa baku sama maknanya dengan bahasa yang baik dan 32 Antila Purba, Op.Cit., hal. 1, 13, 14.
31
benar. Hal ini terjadi karena konsep di dalam semboyan itu sangat kabur. Konsep yang benar atau semboyan yang benar adalah “Pergunakanlah bahasa Indonesia baku dengan baik dan benar.” Bahasa Indonesia baku dan nonbaku mempunyai kode atau ciri bahasa dan fungsi pemakaian yang berbeda. Kode atau ciri dan fungsi setiap ragam bahasa itu saling berkait. Bahasa Indonesia baku berciri seragam, sedangkan ciri bahasa Indonesia nonbaku beragam. Pemakaian bahasa yang mengikuti kaidah bahasa yang dibakukan atau yang dianggap baku adalah pemakaian bahasa Indonesia baku dengan benar adalah pemakaian bahasa yang mengikuti kaidah bahasa atau gramatikal bahasa baku.
Sebaliknya
pemakaian
bahasa
Indonesia
nonbaku
dengan benar adalah pemakaian bahasa yang tidak mengikuti kaidah bahasa atau gramatikal baku, melainkan kaidah gramatikal
nonbaku.
Pemakaian
bahasa
Indonesia
baku
dengan baik adalah pemakaian bahasa Indonesia yang mengikuti atau sesuai dengan fungsi pemakaian bahasa baku. Pemakaian bahasa Indonesia nonbaku dengan baik adalah pemakaian bahasa yang tidak mengikuti atau sesuai dengan fungsi pemakaian bahasa Indonesia nonbaku. Pemakaian bahasa Indonesia baku dengan baik dan benar adalah pemakaian bahasa yang sesuai dengan fungsi dan ciri kode
32
bahasa Indonesia baku. Pemakaian bahasa Indonesia nonbaku dengan baik dan benar adalah pemakaian bahasa yang sesuai dengan fungsi pemakaian dan ciri bahasa Indonesia nonbaku. Antila Purba berpendapat, konsep baik dan benar dalam pemakaian bahasa Indonesia baik baku maupun nonbaku saling
mendukung
saling
berkait.
Tidaklah
logis
ada
pemakaian bahasa Indonesia yang baik, tetapi tidak benar. Atau tidaklah logis ada pemakaian bahasa yang benar tetapi tidak baik. Oleh karena itu, konsep yang benar adalah pemakaian
bahasa
yang
baik
harus
juga
merupakan
pemakaian bahasa yang benar. Beberapa pendapat lain 33 membedakan istilah berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Menurut Venus, berbahasa Indonesia yang benar
adalah bahasa yang menerapkan kaidah yang konsisten. Sedangkan yang baik, bermakna bahasa yang mempunyai nilai rasa yang tepat dan sesuai dengan situasi pemakainya. Dalam makalah bahan ajar yang diterbitkan Universitas Airlangga, dijelaskan bahwa bahasa Indonesia yang baik adalah bahasa Indonesia yang mengandung ketepatan ragam 33 Yeti Mulyati, Tertib Berbahasa Indonesia. Universitas ndonesia. Diakses melalui http://file.upi.edu pada 17 November 2014. Penggunaan Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar, Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan (LP3) Universitas Airlangga. Diakses melalui http://aula.unair.ac.id pada 17 November 2014. Dan Nantia Rena Venus, S.S, M.I.Kom., Ragam Bahasa Indonesia. Artikel diakses melalui http://fudican.files.wordpress.com pada 17 November 2014.
33
bahasa,
sesuai
dengan
kebutuhan
komunikasi
yang
memperhatikan aspek (1) topik, (2) tujuan, (3) lawan bicara, (4) tempat, (5) logis, dan sesuai tata nilai masyarakat, dan (6) tersampaikannya informasi. Berbahasa Indonesia yang baik dan santun memperhatikan masyarakat pemakai bahasa dari aspek
etika,
budaya
dan
konvensi.
Sedangkan
bahasa
Indonesia yang benar adalah ragam bahasa yang memenuhi kriteria bahasa Indonesia yang benar, sesuai dengan : (1) tata bunyi (fonologi), (2) gramatikal atau sesuai tata pembentukan kata dan kalimat, (3) kosakata dan istilah, (4) ejaan, dan (5) makna. Sementara, Mulyati mendeskripsikan bahwa bahasa Indonesia yang baik adalah yang sesuai dengan kaidah sosial, dalam hal ini sosiolinguistik (berkaitan dengan ilmu tentang bahasa yang digunakan di dalam interaksi sosial) dan pragmatik
(berkenaan
dengan
syarat-syarat
yang
mengakibatkan serasi tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi). Sedangkan bahasa Indonesia yang benar adalah yang sesuai dengan kaidah kebahasaan, dalam hal ini fonologi (kebenaran bunyi), morfologi (kebenaran bentuk), sintaksis (kebenaran gramatika), semantik (kebenaran makna), dan wacana (kebenaran teks dan konteks). Paragraf Efektif
34
Menurut Mulyati, bahasa Indonesia yang baik dan benar haruslah memenuhi kriteria paragraf efektif dalam ragam lisan dan tulisnya.34 Paragraf atau alinea adalah satuan bentuk bahasa
yang
biasanya
merupakan
hasil
penggabungan
beberapa kalimat. Dalam penggabungan beberapa kalimat menjadi sebuah paragraf itu diperlukan adanya kesatuan dan kepaduan.
Yang
dimaksud
kesatuan
adalah
keseluruhan
kalimat dalam paragraf membicarakan satu gagasan saja. Yang dimaksud kepaduan adalah keseluruhan kalimat dalam paragraf secara kompak atau saling berkaitan mendukung satu gagasan itu. Paragraf yang efektif memenuhi dua syarat, yaitu: (1) adanya kesatuan makna (koherensi), (2) adanya kesatuan bentuk (kohesi), dan hanya memiliki satu pikiran utama. Sebuah makna
jika
paragraf seluruh
dikatakan kalimat
mengandung
dalam
paragraf
kesatuan itu
hanya
membicarakan satu ide pokok, satu topik, atau satu masalah saja. Jika dalam sebuah paragraf terdapat kalimat yang menyimpang dari masalah yang sedang dibicarakan, berarti dalam paragraf itu terdapat lebih dari satu ide atau masalah. Kesatuan bentuk paragraf atau kohensi terwujud jika aliran kalimat berjalan mulus, lancar, dan logis. Koherensi itu dapat 34 Yeti Mulyati, Ibid.
35
dibentuk dengan cara repetisi, penggunaan kata ganti, penggunaan
kata
sambung
atau
frasa
penghubung
antarkalimat. Paragraf yang baik harus hanya memiliki satu pikiran utama atau gagasan pokok. Jika dalam satu paragraf terdapat dua atau lebih pikiran utama, paragraf tersebut tidak efektif. Paragraf tersebut harus dipecah agar tetap memiliki hanya satu pikiran utama. Satu pikiran utama itu didukung oleh pikiran-pikran penjelas. Pikiran-pikiran penjelas ini lazimnya terwujud dalam bentuk kalimat-kalimat penjelas yang tentu harus selalu mengacu pada pikiran utama. G. Ejaan Dalam Bahasa Indonesia Ejaan35 adalah penggambaran
bunyi
bahasa
(kata,
kalimat, dan sebagainya) dengan kaidah tulisan (huruf) yang distandardisasikan dan mempunyai makna. Ejaan biasanya memiliki tiga aspek yaitu: - Aspek fonologis yang menyangkut penggambaran fonem -
dengan huruf dan penyusunan abjad. Aspek morfologis yang menyangkut penggambaran satuan-
-
satuan morfemis. Aspek sintaksis yang menyangkut penanda ujaran berupa tanda baca.
35 Ejaan, Ensiklopedia Wikipedia Berbahasa Indonesia Online. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada tanggal 18 November 2014. Conf. Eja, Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan. Diakses melalui http://kbbi.web.id pada tanggal 18 November 2014.
36
Ejaan
yang
menjadi
pedoman
umum
tata
bahasa
Indonesia adalah Ejaan Van Ophuijsen atau Ejaan Lama, berlaku sejak tahun 1901-1947. Lalu Ejaan Republik atau Edjaan Soewandi, berlaku tahun 1947-1972. Dan terakhir Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), berlaku sejak tahun 1972 sampai sekarang. Ejaan Van Ophuijsen36 dibakukan sebagai ejaan bahasa Indonesia yang pertama kali oleh Prof. Charles van Ophuijsen dibantu oleh Engku Nawawi gelar Sutan Makmur dan Moh. Taib Sultan Ibrahim. Hasil pembakuan mereka yang dikenal dengan Ejaan Van Ophuijsen ditulis dalam sebuah buku. Dalam kitab itu dimuat sistem ejaan Latin untuk bahasa Melayu di Indonesia. Van Ophuijsen
adalah
seorang
ahli
bahasa
berkebangsaan Belanda. Ia pernah jadi inspektur sekolah di maktab perguruan Bukittinggi, Sumatera Barat, kemudian menjadi
profesor
bahasa
Melayu
di
Universitas
Leiden,
Belanda. Setelah menerbitkan Kitab Logat Melajoe, van Ophuijsen
kemudian
menerbitkan
Maleische
Spraakkunst
(1910). Buku ini kemudian diterjemahkan oleh T.W. Kamil dengan judul Tata Bahasa Melayu dan menjadi panduan bagi pemakai bahasa Melayu di Indonesia. 36 Ejaan Van Ophuijsen, Ensiklopedia Wikipedia Berbahasa Indonesia Online. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 18 November 2014.
37
Ejaan Republik37 adalah ketentuan ejaan dalam bahasa Indonesia yang berlaku sejak 17 Maret 1947. Ejaan ini disebut juga
dengan edjaan Soewandi, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan kala itu. Ejaan ini mengganti ejaan sebelumnya, yaitu Ejaan Van Ophuijsen yang mulai berlaku sejak tahun 1901. Perbedaan antara ejaan Republik dengan ejaan Van Ophuijsen adalah sebagai berikut :
Huruf 'oe' menjadi 'u', seperti pada goeroe → guru.
Bunyi hamzah dan bunyi sentak yang sebelumnya dinyatakan dengan (') ditulis dengan 'k', seperti pada katakata tak, pak, maklum, rakjat.
Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2, seperti ubur2, ber-main2, ke-barat2-an.
Awalan 'di-' dan kata depan 'di' kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya. Kata depan 'di' pada contoh dirumah, disawah, tidak dibedakan dengan imbuhan 'di-' pada dibeli, dimakan. Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)38 berlaku pada tahun
1972, menggantikan Ejaan Republik. Ejaan ini mulai berlaku 37 Ejaan Republik, Ensiklopedia Wikipedia Berbahasa Indonesia Online. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 18 November 2014.
38
saat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dijabat Mashuri Saleh. EYD disahkan pada 23 Mei 1972. Sebelum EYD, Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, (sekarang Pusat Bahasa), pada tahun 1967 mengeluarkan Ejaan Baru (Ejaan LBK). Ejaan Baru pada dasarnya merupakan lanjutan dari usaha yang telah dirintis oleh panitia Ejaan Malindo. Para pelaksananya pun di samping terdiri dari panitia Ejaan LBK, juga dari panitia ejaan dari Malaysia. Panitia itu berhasil merumuskan suatu konsep ejaan yang kemudian diberi nama Ejaan Baru. Panitia itu bekerja atas dasar surat keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan no.062/67, tanggal 19 September 1967. Pada
23
Mei
1972,
sebuah
pernyataan
bersama
ditandatangani oleh Menteri Pelajaran Malaysia Tun Hussein Onn dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Mashuri.
Pernyataan
bersama
tersebut
mengandung
persetujuan untuk melaksanakan asas yang telah disepakati oleh para ahli dari kedua negara tentang Ejaan Baru dan Ejaan Yang
Disempurnakan.
Pada
tanggal
16
Agustus
1972,
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1972, berlakulah sistem ejaan Latin bagi bahasa Melayu ("Rumi" dalam istilah bahasa Melayu Malaysia) dan bahasa Indonesia. 38 Ejaan Yang Disempurnakan, Ensiklopedia Wikipedia Berbahasa Indonesia Online. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 18 November 2014.
39
Di Malaysia, ejaan baru bersama ini dirujuk sebagai Ejaan Rumi Bersama (ERB). Pada waktu pidato kenegaraan untuk memperingati Indonesia
Hari
yang
Ulang
ke
Tahun
XXVII,
Kemerdakan
tanggal
17
Republik
Agustus
1972
diresmikanlah pemakaikan ejaan baru untuk bahasa Indonesia oleh Presiden Republik Indonesia. Dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972, ejaan tersebut dikenal dengan nama Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD). Ejaan tersebut merupakan hasil yang dicapai oleh kerja panitia ejaan bahasa Indonesia yang telah dibentuk pada tahun 1966. Ejaan Bahasa Indonesia
Yang
penyederhanaan
Disempurnakan
serta
penyempurnaan
ini dari
merupakan pada
Ejaan
Suwandi atau ejaan Republik yang dipakai sejak dipakai sejak bulan Maret 1947. Selanjutnya pada tanggal 12 Oktober 1972, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
menerbitkan
buku
"Pedoman
Umum
Ejaan
Bahasa Indonesia yang Disempurnakan" dengan penjelasan kaidah penggunaan yang lebih luas. Setelah itu, Menteri Pendidikan
dan
Kebudayaan
dengan
Keputusan
Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 27 Agustus 1975 Nomor 0196/U/1975 memberlakukan "Pedoman Umum Ejaan Bahasa
40
Indonesia
yang
Disempurnakan"
dan
"Pedoman
Umum
Pembentukan Istilah." Pada perkembangannya, Pedoman EYD telah dilakukan dua kali revisi. Revisi pertama tahun 1987, ditandai dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0543a/U/1987 tentang Penyempurnaan "Pedoman Umum
Ejaan
Bahasa
Indonesia
yang
Disempurnakan".
Keputusan menteri ini menyempurnakan EYD edisi 1975. Revisi
selanjutnya
pada
tahun
2009,
ditandai
dengan
terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan.
Dengan
dikeluarkannya
peraturan
menteri ini, maka EYD edisi 1987 diganti dan dinyatakan tidak berlaku lagi. H. Definisi, Karakteristik dan Cakupan Bahasa Hukum Indonesia Dalam beberapa artikel,39 dijelaskan bahwa bahasa hukum Indonesia merupakan salah satu ragam bahasa 39 Di antaranya Lita Tyesta A.L.W., Bahasa Perundang-undangan. Universitas Diponegoro. Artikel diakses melalui http://eprints.undip.ac.id pada 17 November 2014. Sherief Maronie, Pengertian dan Kegunaan Bahasa Hukum. Diakses melalui http://zriefmaronie.blogspot.com pada 17 November 2014. Sufriaman Amir,.S.H., Bahasa Hukum Indonesia dan Permasalahannya. Diakses melalui http://mankpermahimakassar.blogspot.com pada 17 November 2014. Muhammad Sood, Penggunaan Bahasa Hukum Dalam Penyusunan Peraturan Perundang-undangan. Diakses melalui http://muhammadsood.blogspot.com pada 17 November 2014.
41
Indonesia yang corak penggunaan bahasanya khas dalam dunia hukum. Bahasa hukum Indonesia masuk dalam kategori ragam bahasa fungsional. Ragam bahasa fungsional dikaitkan dengan profesi, lembaga, lingkungan kerja atau kegiatan tertentu lainnya. Ragam fungsional juga dikaitkan dengan keresmian keadaan penggunaannya. Ragam bahasa hukum seharusnya tetap memenuhi kaidah tata bahasa Indonesia yang baik dan benar. Menurut pandangan para ahli, karakteristik bahasa hukum Indonesia adalah sebagai berikut :40 1. Lugas dan eksak karena menghindari kesamaran dan ketaksaan. 2. Objektif dan menekan prasangka pribadi. 3. Memberikan definisi yang cermat tentang nama, sifat, dan kategori
yang
diselidiki
untuk
menghindari
kesimpangsiuran. 4. Tidak beremosi dan menjauhi tafsiran yang bersensasi. 5. Membakukan makna kata-katanya, ungkapannya, dan gaya paparannya berdasarkan konvensi. 6. Bercorak hemat, hanya kata yang diperlukan yang dipakai. 7. Bentuk, makna, fungsi kata ilmiah lebih mantap dan stabil daripada yang dimiliki kata biasa. Penggunaan bahasa hukum yang mencakup keilmuan, peradilan, peraturan perundang-undangan, dan sebagainya, harus tetap tunduk pada tata bahasa Indonesia yang berlaku. 40 Hendrik Manuhutu, Bahasa Hukum Indonesia: Pengembangan Hukum Nasional Perlu Didukung Penggunaan Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar. Artikel diakses melalui https://www.scribd.com pada 17 November 2014.
42
Jadi, kebakuan atau keresmian juga menjadi ciri otentik ragam bahasa hukum Indonesia. Rumusan
bahasa
Indonesia
hukum,
yakni
bahasa
Indonesia yang khusus dipakai dalam teori dan praktik hukum, di antara aturan tidak tertulis dan aturan tertulis, di dalam hukum adat atau hukum perundangan, di dalam karya tulis atau kepustakaan hukum, yang bersifat khas hukum dengan menggunakan bahasa sebagai alatnya, termasuk dalam ruang lingkup bahasa hukum. Cakupan hukum sangat luas, seluas pengertian hukum itu sendiri, bahasa yang digunakan dalam undang-undang, dalam praktik pengadilan, dalam karangankarangan tentang hukum, termasuk bahasa hukum. Bahasa hukum dibedakan menjadi dua macam, yakni bahasa hukum teoritis dan bahasa hukum praktis. Bahasa hukum teoritis ialah bahasa hukum yang bersifat ilmiah, yang digunakan
dalam
mempelajari
hukum
sebagai
ilmu
pengetahuan. Bahasa hukum praktis bahasa yang digunakan dalam
kaidah-kaidah
hukum
yang
mengatur
kehidupan
manusia dan masyarakat pada umumnya. Bahasa hukum teoritis, bahasa yang digunakan dalam karnagan-karangan ilmiah hukum, coraknya tidak terlalu jauh berbeda dengan karangan ilmiah pada umumnya. Ciri yang membedakan dari karangan ilmiah yang lain hanyalah istilah-istilah teknis yang
43
digunakan. Kekhasan bahasa hukum lebih banyak dijumpai dalam bahasa perundang-undangan. Kalau orang berbicara mengenai ciri-ciri yang ditunjuk pada umumnya ialah ciri bahasa perundang-undangan. I. Sejarah Perkembangan Bahasa Hukum Indonesia Rumusan tentang bahasa hukum Indonesia tersebut sebenarnya sudah dibahas dan diputuskan berlaku sejak Kongres Bahasa Indonesia (KBI) I tanggal 25-28 Juni 1938. Di arena kongres, Soekardjo Wirjopranoto41 memberikan saran kepada peserta kongres untuk membahas materi "Bahasa Indonesia
dalam
Badan
Perwakilan."
Materi
tersebut
dipaparkan dan berhasil dipertahankan Raden Pandji Soeroso42 dan menghasilkan keputusan penting yang menjadi embrio bahasa hukum Indonesia. Peserta KBI memutuskan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang sah untuk dalam ragam tulis peraturan perundang-undangan.43
41 Sukarjo Wiryopranoto adalah ahli dan praktisi hukum yang juga merupakan pahlawan pejuang kemerdekaan serta pahlawan nasional Indonesia. Sukarjo Wiryopranoto, Ensiklopedia Wikipedia Berbahasa Indonesia Online. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 18 November 2014. 42 Soeroso, Ensiklopedia Wikipedia Berbahasa Indonesia Online. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada 18 November 2014. 43 Putusan Kongres Bahasa Indonesia I – IX, Loc. Cit.
44
Dalam KBI ke-2 tanggal 28 Oktober - 2 November 1954, A.G.
Pringgodigdo
dan
Kuntjoro
Purbopranoto
berbicara
tentang Bahasa Indonesia dalam Perundang-undangan dan Administrasi. Dalam kongres tersebut menghasilkan tujuh keputusan penting, baik berupa saran kepada pemerintah maupun tentang tata bahasa hukum Indonesia. Keputusan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Supaya Pemerintah segera membentuk Panitia Negara, seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 145 UUDS, dengan ketentuan bahwa di samping tugas yang dimaksud dalam pasal tersebut, supaya kepada Panitia dibebankan juga kewajiban sebagai berikut : a. Mengadakan pembetulan/penyempurnaan,
yang
dipandang perlu dalam bahasa Indonesia di dalam Undang-undang. Undang-Undang Darurat, PeraturanPeraturan Pemerintah dan Peraturan-Peraturan Negara yang lain, misalnya: 1) Kata "kebutuhan", sebab kata ini adalah kata cabul dalam bahasa daerah; Umumnya, kata-kata cabul dari bahasa daerah janganlah dipergunakan. 2) Kata retributie (lihat Pasal 2 LN 1953 No. 4); demikian juga seperti kata-kata rel, ondernemeng dalam TLN No. 353, diimporteer, paberikasi rokok, di dalam TLN No. 350, legaliseer, aparatur, TLN 351, inrichting van
45
het onderwijs TLN 351; umumnya kata-kata asing yang
mudah
mendapat
penggantiannya
jangan
dipergunakan. b. Memeriksa bahasa rancangan Undang-Undang Darurat, dan Peraturan-Peraturan Negara yang lain, sebelum ditetapkan. c. Menjaga supaya istilah- istilah hukum bersifat tetap, terang,
dan
jangan
berubah
sebelum
mendapat
persetujuan Panitia tersebut. 2. Di dalam Panitia tersebut di Sub I didudukkan sebagai anggota selain daripada ahli-ahli hukum dan bahasa, juga ahli-ahli adat, ahliahli agama dan ahli-ahli hukum agama. 3. Di dalam Seksi Hukum dari Komisi Istilah hendaklah juga didudukkan ahli-ahli hukum agama sebagai anggota. 4. Untuk mencapai keseragaman istilah hukum yang dipakai dalam dunia ilmu hukum pada perguruan tinggi dan para sarjana
hukum
pada
waktu-waktu
yang
tertentu
mengadakan pertemuan. 5. Supaya pihak pemerintah tetap memakai istilah yang sama untuk satu pengertian hukum, misalnya: "atas kuasa Undang-Undang," (Undang-Undang Dasar Pasal 101 ayat 1) kontra "berdasarkan" dalam LN 1953 no.4. 6. Supaya sesuatu istilah senantiasa ditulis dalam bentuk yang sama, misalnya: "diubah", "dirubah", "dirobah", (LN 1954 No. 39). LN 1953 No. 4 Pasal 1). "Dewan Pemerintah
46
Harian", (TLN 353) kontra "Dewan Pemerintah Daerah", (UURI 1948 no. 22). 7. Menyetujui seluruhnya kesimpulan-kesimpulan dari no. 1 s/d
6,
yang
diperbuat
oleh
Saudara
Mr.
Koentjoro
Poerbopranoto pada akhir praeadvisnya, yang berbunyi sebagai berikut: a. Bahasa hukum Indonesia adalah bahagian dari bahasa umum Indonesia yang meliputi lapangan hukum dalam masyarakat Indonesia dan pemeliharaan hukum serta penyelenggaraan pengadilan oleh instansi-instansi yang diakui oleh undang-undang. Instansi-instansi itu adalah instansi-instansi resmi pengadilan, pun pula badanbadan atau petugas-petugas yang menurut adat dan agama diserahi penyelenggaraan hukum adat, dan hukum agama, termasuk Pengadilan Swapradja (di mana masih ada). b. Bahasa Indonesia
dalam
perundang-undangan
dan
administrasi adalah bahagian bahasa-hukum Indonesia tertulis, yang dipergunakan dalam perundang-undangan dan administrasi, yaitu oleh instansi-instansi resmi yang diserahi
dengan
penyelenggaraan
administrasi
dan
pembuatan peraturan perundang-undangan, termasuk pengitaban hukum (codificatie) dan pencatatan hukum (rechtsregistratie).
47
c. Persoalan-persoalan mengenai bahasa Indonesia pada umumnya pula terhadap dan pengaruh pada bahasa hukum (termasuk pula bahasa perundang-undangan dan bahasa administrasi) kita. d. Dalam mencari, menggali,
menghimpun,
dan
membentuk istilah hukum Indonesia seyogyanya dipakai dasar : 1) bahan-bahan dari bahasa daerah yang meliputi seluruh daerah Hukum Indonesia; 2) kata-kata istilah dari bahasa asing yang menurut sejarah
dan
pemakaiannya
sudah
memperoleh
kedudukan yang kuat dalam masyarakat Indonesia; 3) kata-kata istilah bentukan baru yang menurut perhitungan
baik
berdasarkan
isinya
maupun
pengucapannya dapat diterima dan dipahami oleh masyarakat umum. e. Dalam lapangan administrasi sangat besar gunanya kesamaan bentuk atau keseragaman guna melancarkan penyelesaian
surat-menyurat
dan
memudahkan
pemecahan soal yang dihadapi. Berhubung dengan itu lazimlah dipakai dalam administrasi cara penyelesaian soal yang disebut "afdoening volgens antecedent/ precedent." f. Adalah satu
keuntungan
besar
dalam
sejarah
kebudayaan bangsa kita bahwa sebagai salah satu hasil revolusi bangsa Indonesia telah dapat ditetapkan satu
48
bahasa kesatuan dan bahasa resmi, yaitu bahasa Indonesia. Dalam sebuah karya tulis Melody Violine,44 pada tanggal 25-27 November 1974, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) menyelenggarakan Simposium Bahasa dan Hukum. Tujuh orang ahli bahasa dan ahli hukum memberikan ceramah tentang bahasa hukum, yaitu Anton M. Moeliono,
Soetan
Takdir
Alisjahbana,
Mahadi,
Soetan
Mohamad Sjah, Rudjiati Muljadi, J.N. Siregar, dan Sabaruddin Amad. Ceramah-ceramah tersebut telah dibukukan oleh BPHN dengan judul “Simposium Bahasa dan Hukum.” Menurut sebuah artikel,45 Simposium Bahasa dan Hukum di USU menjadi wujud kegalauan guru besar ilmu hukum dari Universitas berbagai
Lampung, problem
Hilman
bahasa
Hadikusuma 46
hukum.
Hilman
terhadap kemudian
menerbitkan sebuah karya tulis berjudul “Bahasa Hukum Indonesia.”
Edisi
perdananya
terbit
tahun
1984.
Buku
44 Melody Violine, Bahasa Hukum. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 2008. Diakses melalui http://lontar.ui.ac.id pada 17 November 2014. 45 Panduan Memahami Laras Bahasa Hukum, Hukum Online. Diakses melalui http://www.hukumonline.com pada 17 November 2014. 46 Hilman Hadikusuma, Blog Tokoh Lampung. Artikel diakses melalui http://paratokohlampung.blogspot.com pada 17 November 2014.
49
tersebut
berisi penjelasan istilah-istilah yang digunakan
dalam berbagai cabang bidang hukum, misalnya hukum ketenagakerjaan, hukum pidana, dan hukum acara. Setelah karya hilman mewarnai ilmu bahasa hukum Indonesia, muncul karya Ab Massier berjudul van Recht naar hukum: Indonesische juristen en hun taal 1915-2000’ (2003), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris The Voice of Law in Transition: Indonesian Jurist and Their Language, 1915-2000. Karya ilmiah Ab Massier dibuat sebagai disertasi untuk menyelesaikan pendidikannya di bidang bahasa hukum di Universitas Leiden, Belanda. Bertahun-tahun setelah karya Prof. Hilman dan Ab Massier, barulah terbit satu dua karya yang mencoba merumuskan bahasa hukum. Sekadar contoh, layaklah
disebut
buku
“Bahasa
Hukum
&
Perundang-
Undangan” karya Nico Ngani yang diterbitkan tahun 2012.47 Pada tataran praktis, pelatihan-pelatihan legislasi yang dilakukan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) atau ‘suncang’ yang dilakukan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan
Kementerian
Hukum
dan
HAM,
menyajikan topik bahasa hukum dalam sesi khusus. Tetapi dalam bentuk karya cetak, telaah bahasa hukum mungkin terbilang dengan jari. 47 Panduan Memahami Laras Bahasa Hukum, Loc. Cit.
50
Buku terbaru dan isinya lebih praktis adalah karya Junaiyah H. Matanggui. ‘Bahasa Indonesia untuk Bidang Hukum dan Peraturan Perundang-Undangan’, begitu judul buku yang diterbitkan Grasindo ini. Dibanding buku-buku terdahulu, karya Junaiyah mungkin lebih praktis. Mudah dipahami bukan saja orang hukum, tetapi juga orang ‘luar’ yang ingin memahami bahasa hukum.48 Sifat pragmatikal buku Junaiyah dapat dipahami karena sang penulis punya latar belakang bekerja di Pusat Bahasa, dan selama 18 tahun (1986-2004), membantu pemerintah di bidang litigasi. Pengalamannya merapikan bahasa peraturan perundang-undangan membuat Junaiyah punya kekayaan contoh-contoh kesalahan penggunaan kata dalam kalimat perundang-undangan. Bahasa hukum bukanlah bahasa baru. Kaidah kalimat, bentuk kata, kosa kata, dan tata tulisnya tak berbeda sama sekali dari bahasa Indonesia pada umumnya. Bedanya, bahasa yang dipakai dalam bidang hukum menggunakan istilah, kosakata tertentu, dan gaya penyampaian sesuai kebutuhan dan kelaziman yang berlaku di bidang hukum. Model bahasa demikian, yang lazim dipakai dalam bidang tertentu seperti hukum, disebut laras bahasa. Penulis 48 Karya terbaru tentang bahasa hukum Indonesia berikut rangkumannya. Ibid.
51
yakin kaidah tata bahasa yang digunakan untuk bidang hukum dan peraturan perundang-undangan sana sekali tidak berbeda dari kaidah yang digunakan pada ragam resmi pada umumnya. Misalnya: (i) kata terpilih harus kata yang baku; (ii) harus melambangkan konsep dengan tepat, lazim, dan saksama; (iii) struktur kalimat harus benar, lugas, jelas, dan masuk akal; (iv) kata dan kalimat harus bermakna tunggal atau monosemantis, tidak boleh ambigu, tidak boleh memiliki tafsiran ganda; dan (v) komposisinya harus lazim di bidang hukum. Bahasa
Indonesia
perundang-undangan
bidang
hukum
merupakan
dan
salah
peraturan
satu
bentuk
penggunaan bahasa Indonesia ragam resmi karena dipakai untuk menuliskan hukum dan peraturan resmi. Kalimat di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan, kata penulis, pada umumnya mirip formula. Bagaimana formula kalimat itu, antara lain, sudah disinggung dalam UndangUndang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Maria
Farida
Indrati,
Guru
Besar
Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang kini hakim konstitusi, memuat satu bab khusus mengenai bahasa peraturan
perundang-undangan
dalam
bukunya
‘Ilmu
Perundang-Undangan: Proses dan Teknik Pembentuknnya’.
52
Bab ini sebenarnya berasal dari makalah Prof. A. Hamid Attamimi
pada
Kongres
Bahasa
Indonesia
VI,
Oktober-
November 1993. J. Landasan Yuridis Bahasa Hukum Secara umum, eksistensi bahasa Indonesia dilandasi atas Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pada Bab XV pasal 36 dan pasal 36c.
Pasal 36 berbunyi:
“Bahasa negara ialah bahasa Indonesia,” dan pasal 36c berbunyi: “Ketentuan lebih lanjut tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan diatur dengan undang-undang.” Amanah
di
dalam
UUD
1945
tersebut
kemudian
diejawantahkan ke dalam peraturan perundang-undangan lainnya, di antaranya yakni: 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.49 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.50
49 Salinan UU No. 24 Thn. 2009 diakses melalui http://badanbahasa.kemdikbud.go.id pada tanggal 18 November 2014. 50 Salinan UU No. 12 Thn. 2011 diakses melalui http://luk.staff.ugm.ac.id pada tanggal 18 November 2014.
53
3. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 21 Tahun 2001 Tanggal 18 Juli 2001 tentang Teknik Penyusunan dan Materi Muatan Produk-Produk Hukum Daerah.51 4. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan.52 Beberapa hal penting dalam peraturan perundangundangan tersebut yang perlu digarisbawahi adalah : 1. Pada Bab III UU Nomor 12 Tahun 2011 berbunyi : “Bahasa Peraturan Perundang-undangan pada dasarnya tunduk pada kaidah tata bahasa Indonesia, baik pembentukan kata,
penyusunan
pengejaannya.
kalimat, teknik
Namun
bahasa
penulisan,
Peraturan
maupun
Perundang-
undangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan
atau
kejelasan
pengertian,
kelugasan,
kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum baik dalam perumusan maupun cara penulisan. 2. Sedangkan dalam UU No. 24 Tahun 2009 : 51 Salinan 4 Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 21 Tahun 2001 diakses melalui http://storage.jak-stik.ac.id pada 18 November 2014. 52 Salinan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor. 46 Tahun 2009 diakses melalui http://www.luk.staff.ugm.ac.id pada tanggal 18 November 2014.
54
Pasal 26 : “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam
peraturan perundang-undangan.” Pasal 27 : “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam
dokumen resmi negara.” Pasal 31 : (1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan negara,
instansi
pemerintha
Republik
Indonesia,
lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara
Indonesia.
(2)
Nota
kesepahaman
atau
perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan / atau bahasa Inggris. 3. Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 21 Tahun 2001 Tanggal 18 Juli 2001: a. Ragam bahasa yang dapat dipakai dalam menyusun produk-produk
hukum
di
Daerah
adalah
Perundang-undangan dengan kriteria : Ragam bahasa perundang-undangan
Bahasa termasuk
Bahasa Indonesia yang tunduk kepada kaidah tata bahasa Indonesia yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat maupun pengejaannya. Ragam corak
bahasa dan
perundang-undangan
gaya
khas
yang
berdiri
mempunyai kejernihan
pengertian, kelugasan, kebakuan dan keserasian. Jika merumuskan ketentuan peraturan perundangundangan, maka pilihan kalimat yang lugas dalam 55
arti kalimatnya tegas, jelas dan mudah ditangkap pengertiannya,
tidak
berbelit-belit
dan
objektif.
Kalimat yang dirumuskan tidak menimbulkan salah tafsiran atau menimbulkan pengertian yang berbedabeda setiap pembaca. Hindari pemakaian istilah yang pengertiannya sedemikian kabur dalamm hubungan kalimat kurang jelas. Istilah yang dipakai sebaiknya sesuai dengan pengerttian yang biasa dipakai dalam bahasa sehari-hari. Upaya pemberian arti kepada istilah yang menyimpang dan arti yang biasa dipakai pada umumnya. Contoh: Pertanian meliputi pula
peternakan dan perikanan. Hindari pemakaian : 1) Beberapa istilah yang berbeda untuk pengertian yang
sama.
pendapatan
Contoh:
Istilah
digunakan
gaji,
untuk
upaya,
pengertian
penghasilan. 2) Satu istilah untuk beberapa pengertian yang berbeda. Contoh: Istilah penangkapan diartikan
juga penahanan atau pengamanan. Untuk mendapatkan kepastian hukum, istilah dan arti dalam
Peraturan
Pelaksanaan
harus
disesuaikan
dengan istilah dan arti. Yang dipakai dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya. Contoh: Pengertian pajak Daerah harus disesuaikan
56
dengan istilah pajak Daerah dalam undang-undang
Nomor 34 Tahun 2000. Apabila istilah tertentu dipakai berulang-ulang, maka untuk
menyederhanakan
perundang-undang
susunan
dapat
dibuat
peraturan
definisi
yang
tempatkan dalam Bab (tentang) ketentuan umum. Contoh: Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut pajak adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
yang
digunakan
penyelenggaraan
untuk
pemerintahan
membiayai
Daerah
dan
Pembangunan Daerah. Jika Istilah tertentu dipakai berulang-ulang, maka untuk menyederhanakan susunan suku kata dalam peraturan perundang-undangan dapat menggunakan singkatan
atau
akronim.
Contoh:
(1)
Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah menjadi APBD. (2) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah menjadi
BAPPEDA. Singkatan nama atau badan atau lembaga yang belum begitu dikenal umum dan bila tidak dimuat dalam
ketentuan
Umum,
maka
setelah
tulisan
57
lengkapanya, singkatannya dibuat diantara tanda kurung. Contoh: 1) Badan Koordinasi Survai dan Pemetakan Nasional
(Bakosurtanal) 2) Kredit Usaha Tani (KUT) Dianjurkan sedapat mungkin menggunakan istilah pembentukan Bahasa Indonesia. Pemakian (adopsi) istilah
asing
yang
banyak
dipakai
dan
sudah
disesuaikan ejaanya dengan kaidah bahasa Indonesia dapat dipertimbangkan dan dibenarkan, jika istilah asing itu memenuhi syarat: 1) Mempunyai konotasi yang cocok; 2) Lebih singkat bila dibandingkan
dengan
padanannya dalam bahasa Indonesia; 3) Lebih mudah tercapainya kesepakatan; 4) Lebih mudah dipahami dari pada terjemahannya Bahasa Indonesia. Contoh : Apresiasi ( memberikan penilaian atau penghargaan ), Devaluasi ( penurunan nilai mata uang ), Devisa ( alat-alat pembayaran luar negeri ). b. Pilihan kata atau Istilah Pemakaian kata paling. Untuk menyatakan pengertian paling.
maksimum
Hindari
kata
(relatif)
digunakan
sekurang-kurangnya
kata dalam
merumuskan norma ketentuan pidana atau norma yang
menyangkut
bataan waktu.
Contoh:
“…
Diancam dengan pidana kurungan paling lama 6
58
(enam
)
bulan
atau
denda
paling
banyak
Rp
5.000.000,- ( lima juta rupiah ).” Pemakaian kata kecuali. Untuk menyatakan makna tidak termasuk dalam golongan digunakan kata kecuali. Kata kecuali ditempatkan diawal kalimat jika yang kecualikan induk kalimat. Conoh: “Kecuali A dan B, setiap orang memberikan kesaksian didepan
sidang di pengadilan.” Pemakaian kata disamping.
Untuk menyatakan
makna termasuk, dapat digunakan kata disamping. Contoh:
“Disamping
menjadi
pidana
terpindana juga dikenal denda.” Pemakaian kata jika dan kata
maka.
penjara, Untuk
menyatakan makna pengandaian atau kemungkinan digunakan kata jika atau frasa dalam hal. Gunakan kata jika bagi kemungkinan atau keadaan yang akan terjadi lebih dari sekali dan setelah anak kalimat diawali kata maka. Contoh: “Jika perusahaan itu melanggar kewajiban yang dimaksudkan dalam ...,
maka ...” Pemakaian kata apabila. Untuk menyatakan atau menunjukkan
uraian
atau
penegasan
waktu
terjadinya sesuatu, sebaiknya menggunakan kata apabila atau bila. Contoh: “Salah satu pihak dalam
59
perjanjian, apabila pada waktu perjanjian ini dibuat
terdapat unsur paksaan, kekhilafan dan penipuan.” Pemakaian kata dan, atau, dan atau. (1) Untuk menyatakan sifat yang kumulatif digunakan kata dan. Contoh: “A dan B wajib memberikan …” ; (2) untuk
menyatakan
sifat
alternatif
atau
ekslusif
digunakan kata atau. Contoh: “A atau B wajib memberikan...”
;
(3)
Untuk
menyatakan
sifat
alternatif ataupun kumulatif digunakan frasa dan
atau. Contoh: “A dan atau B dapat memperoleh...” Untuk menyatakan istilah hak digunakan kata berhak. Contoh: “Setiap Pegawai Negeri Sipil berhak
untuk mendapat pensiun.” Untuk menyatakan kewenangan, digunakan kata dapat atau kata boleh. Kata dapat merupakan kewenangan
yang
sedangkan
kata
seseorang.
Untuk
melekat
boleh
pada
tidak
melekat
menyatakan
digunakan kata wajib. Contoh: 1) Menteri Dalam Negeri
seseorang,
istilah
dapat
pada
diri
kewajiban
memberikan
pertimbangan/penghargaan/sanksi kepada setiap
PNS di jajaran Departemen Dalam Negeri. 2) Setiap warga negara wajib membayar pajak. Untuk menyatakan istilah sekedar kondisi atau persyarakatan,
digunakan
kata
harus.
Contoh:
“Untuk menduduki suatu jabatan tertentu seseorang
60
calon
pejabat
harus
terlebih
dahulu
mengikuti
pendidikan penjenjangan.” Untuk menyangkal suatu kewajiban atau kondisi yang diwajibkan digunakan frasa tidak diwajibkan atau tidak wajib. Contoh: “Warga negara yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin tidak diwajibkan
untuk pemilihan umum.” c. Teknik Pengacuan Untuk mengacu ayat atau pasal lain, digunakan frasa sebagaimana dimaksud dalam. Contoh: “… sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal 18...” Jika mengacu ke peraturan lain, pengacuan dengan urutan pasal, ayat dan judul peraturan perundangundangan. Contoh: “ … sebagaimana dimaksid dalam Pasal 28 ayat (3) Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan.” Usahakanlah agar setiap
pasal
atau
kebulatan
ketentuan tanpa mengacu ke Pasal lain. Pengacuan dilakukan dengan mencantumkan secara singkat materi pokok yang diacu. Contoh: “Izin penggalian tambang batubara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18...” Pengacuan hanya boleh dilakukan ke paraturan yang
tingkatnya sama atau lebih tinggi. Pengacuan dilakukan dengan menyebutkan secara tegas nomor dari pasal atau ayat yang diacu dan
61
hindarkan penggunaan frasa pasal yang terdahulu atau asal tersebut diatas atau Pasal ini. Contoh: “Panitia Pemilihan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3), bertugas....” Jika ketentuan dari pengaturan yang diacu memamg dapat diperlakukan seluruhnya, maka istilah tetap berlaku digunakan. “Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah yang telah ada terkait dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (92) dan Peraturan Daerah tentang Retribusi yang telah ada yang tekait dengan Pasal 18 ayat
(3)
masih
diberlakukannya
tetap
Peraturan
Undang-Undang ini.” Pernyataannya tetap
berlaku Daerah
berlaku
sebelum
berdasarkan
dengan pengertian
bahwa digunakan jika ketentuan yang diacu itu sebagaian diberlakukan atau diberlakukan dengan perubahan. Contoh: “Pertauran Daerah tentang Pajak Daerah selain
sebagaimana
dinyatakan
tetap
dimaksud
berlaku
1
pada
(satu)
ayat
tahun
(1) sejak
berlakunya Undang-undang Nomor 34 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.”
62
4. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2009 : a. Pasal 1 : (1) Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan,
pemerintah,
dipergunakan
swasta,
dan
bagi
instansi
masyarakat
dalam
penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. (2) Pedoman
Umum
Ejaan
Bahasa
Indonesia
yang
Disempurnakan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini. b. Lampiran Permendiknas No. 46 Tahun 2009 memuat tentang pedoman tentang : 1) Pemakaian Huruf Abjad, meliputi:
(1) Huruf Abjad,
(2) Huruf Vokal, (3) Huruf Konsonan, (4) Huruf Diftong, (5) Gabungan Huruf Konsonan, (6) Huruf Kapital, (7) Huruf Miring, (8) Huruf Tebal. 2) Penulisan Kata, meliputi: (1) Kata Dasar, (2) Kata Turunan, (3) Bentuk Ulang, (4) Gabungan Kata, (5) Suku Kata, (6) Kata Depan di, ke, dan dari, (7) Partikel, (8) Singkatan dan Akronim, (9) Angka dan Bilangan, (10) Kata Ganti ku-, kau-, -ku, -mu, dan – nya, (11) Kata si dan sang. 3) Pemakaian Tanda Baca, meliputi : (1) Tanda Titik [. ], (2) Tanda Koma [, ],
(3) Tanda Titik Koma [ ; ], (4)
Tanda Titik Dua [ : ], (5) Tanda Hubung [ - ], (6) Tanda Pisah [ -- ], (6) Tanda Seru [ ! ], (7) Tanda Tanya [ ? ], (8)
63
Tanda Elipsis [ … ], (8) Tanda Petik [“ “], (9) Tanda Petik Tunggal [ ‘ ‘], (10) Tanda Kurung [( )],
(11) Tanda
Kurung Siku ([ ]), (11) Garis Tanda Mirin [ / ], Tanda Penyingkat atau Apostrof [']. 4) Penulisan Unsur Serapan. K. Urgensi Penerapan Bahasa Hukum Bahasa Hukum adalah bahasa aturan dan peraturan yang bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan, untuk mempertahankan kepentingan umum dan kepentingan pribadi di dalam masyarakat. Namun dikarenakan bahasa hukum adalah bagian dari bahasa Indonesia yang modern, maka
dalam
penggunannya
harus
tetap,
terang,
monosemantik, dan memenuhi syarat estetika dan etika bahasa Indonesia. Karakteristik bahasa hukum Indonesia terletak pada istilah-istilah, komposisi, gaya bahasanya, dan kandungan artinya yang khusus. Bahasa hukum yang dipergunakan sekarang masih bergaya orde lama, masih banyak yang kurang sempurna dari sisi semantik, bentuk dan komposisi kalimatnya. Hal tersebut dikarenakan para sarjana hukum di masa lalu, tidak pernah mendapatkan pelajaran bahasa hukum yang khusus dan tidak pula memperhatikan dan
64
mempelajari
syarat-syarat
dan
kaidah-kaidah
bahasa
Indonesia.53 Kelemahan itu timbul karena bahasa hukum yang dipakai dalam seluruh cakupan hukum, menggunakan istilah berasal dari hukum Belanda. Para kalangan terpelajar dari Belanda yang pertamakali membuat peraturan-peraturan di bumi pertiwi. Para ahli hukum Belanda ini tentu lebih menguasai tata bahasa Belanda daripada tata bahasa pribumi saat itu. Bahasa
hukum Belanda
lebih
mewarnai
hukum
di
Indonesia karena dalam sejarahnya bangsa Indonesia lama di bawah
kendali
Perdagangan
bangsa
Hindia
Belanda.
Timur
Pada
saat
(Vereenigde
Kongsi
Oostindische
Compagnie atau VOC) didirikan tahun 1602 dan berkuasa dengan didukung militer Belanda,54 terbit peraturan dagang dalam menyelesaikan perkara istimewa perkara Istimewa yang harus disesuaikan dengan kebutuhan para pegawai VOC di
daerah-daerah
memutuskan
yang
perkara
dikuasainya,
perdata
dan
disamping pidana.
dapat
Peraturan-
peraturan tersebut dibuat dan diumumkan berlakunya melalui plakat. Pada tahun 1642 plakat-plakat tersebut disusun secara 53 54 Vereenigde Oostindische Compagnie, Ensiklopedia Wikipedia Berbahasa Indonesia Online. Diakses melalui http://id.wikipedia.org pada tanggal 18 November 2014.
65
sistimatis dan diumumkan dengan nama Statuta van Batavia (peraturan dasar Batavia) dan pada tahun 1766 diperbaharui dengan nama Niewe Bataviase Statuten (peraturan dasar Batavia yang baru). Aturan-aturan yang dibuat Belanda itu pun terus berkembang, bahkan sampai pada masa penjajahan Jepang, sebagian tetap berlaku, selama tidak bertentangan dengan Kekaisaran Jepang.55 Diantara warisan hukum Belanda yang pernah dan masih berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut:56 No. Tahu n 44 1941
Judul
Terkait Reglemen Diperbarui Indonesisch
219 1937
Peraturan
Indonesia
Yang
(Herziene Reglement)
-
Terjemahan Convention No. 45 Concerning the Employment of Women on Underground Work in Mines of All Kinds
55 Saifudin, D.J., S.H., Pembaharuan Warisan Hukum Belanda di Indonesia. Diakses melalui http://saifudiendjsh.blogspot.com pada tanggal 18 November 2014. 56 Daftar Peraturan Peninggalan Hindia Belanda Perpustakaan Elektronik Fakultas Hukum, Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado. Diakses melalui http://hukum.unsrat.ac.id pada 18 November 2014.
66
595 1934
Ordonansi
Pengaturan
Perusahaan
1934
(Bedrijsreglementeering Ordonnantie
117 1933
1934)
-
Tidak berlaku lagi menurut
UU
No
5/1984
tentang
Perindustrian
Terjemahan Convention No. 27 Concerning The Marking Of the Weight on Heavy Packages Transported
75 1933
by Vessels Reglemen
Pencatatan
Sipil
Bagi Bangsa Indonesia Kristen Jawa,
Madura,
Staatsblad
74 1933
Terjemahan Ordonansi Indonesia
53 1929
1933
Minahasa No
75
-
Perkawinan Kristen
Jawa,
menurut
UU
Minahasa dan Ambon (HOCI)
23/2006
tentang
Staatsblad
Administrasi
1933
di
Tidak berlaku lagi
No
74
-
Terjemahan Convention No.19 Concerning Equality
of
Treatment
No
Kependudukan
for
National and Foreign Workers as
419 1927
Regards
Workmen's
Compensation for Accidents Indische Bedrijven Wet (tidak
Digantikan
oleh
67
227 1927
berlaku lagi) Reglemen Hukum Seberang
487 1926
UU No 19/2003 Daerah
(Rechtsreglement
Buitengewesten) Ordonansi Hukuman Bersyarat (Voorwaardelijke
226 1926
Veroordeeling) Ordonansi
448 1925
(Hinderordonnantie) Indonesische
Gangguan
Comptabiliteitswet
-
447 1925
Terjemahan Indonesische Staatsregeling, -
556 1924
Terjemahan Hukum perdata dan dagang untuk Golongan Timur Asing selain Tionghoa, S. 1924 No
1917
556 - Terjemahan Ordonansi Bersyarat
(Voorwaardelijke
Invrijheidstelling,
1917
Pelepasan
S.
749 - Terjemahan Reglemen
1917
Penjara
(Gestichtenreglement),
1915
-
1917 - 708 - Terjemahan KUHPidana (Wetboek
S.
van
Putusan
68
Strafrecht)
-
Terjemahan
Mahkamah
Staatsblad 1915 - 732 jo UU
Konstitusi No 013-
No.1 Thn 1946 dan perubahan
022/PUU-
lain
IV/2006 ... Pasal 134,
Pasal
136
bis, dan Pasal 137 KUHPidana bertentangan dengan UUD 1945 ... UU No.2/Pnps/1964 Tata
-
Cara
Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan
Oleh
Pengadilan
Di
Lingkungan Peradilan
Umum
dan Militer. 600 1912 190 1908
Copyright Law 1912 Instruksi Lelang
189 1908
instructie) - Terjemahan Peraturan Lelang (Vendu-
(Vendu-
69
158 1898
reglement) - Terjemahan Peraturan Perkawinan Campuran, S. 1898 - 158 -
25 1849
1848
Terjemahan Reglemen Catatan Sipil Untuk Golongan Eropa Ketentuan-ketentuan Berlakunya
tentang
dan
Peralihan
Perundang-undangan (Staatsblad
1847
1848
Terjemahan Reglement
op
Rechtvordering
1847
-
Baru 10)
-
de
(Staatsblad
1847 - 52) - Terjemahan Burgerlijk Wetboek (Staatsblad
Buku I Bab Kedua
1847
23)
Bagian Kedua dan
Terjemahan KUHPerdata Buku I
Bab Ketiga, tidak
| Buku II | Buku III | Buku IV
berlaku
Keseluruhan
-
KUHPerdata
lagi
menurut
UU
No
23/2006
tentang
(sumber:
Administrasi
http://legislasi.mahkamahagun
Kependudukan
g.go.id/)
Buku II sepanjang yang
mengenai
bumi,
air
serta
70
kekayaan yang
alam
terkandung
didalamnya, kecuali ketentuanketentuan mengenai hypotheek masih
yang berlaku
pada
mulai
berlakunya Undang-undang ini, dicabut oleh UU
No
5/1960
Ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana tersebut
dalam
Buku II sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak
atas
tanah
71
beserta
benda-
benda
yang
berkaitan dengan tanah, dinyatakan tidak berlaku lagi oleh
UU
No
4/1996 1847
Wetboek (Staatsblad
1847
van
Koophandel
1847
-
23)
-
Terjemahan Reglement op de rechterlijke organisatie en het beleid der justitie (Staatsblad 1847 - 23) -
1847
Terjemahan Algemene Bepalingen
van
Wetgeving
voor
Indonesie
(Staatsblad
1847
-
23)
-
27 1834
Terjemahan Ordonansi
46 1828
(Overschrijvingsordonnantie Peraturan Untuk Majelis
Balik
Nama
Pengurusan Harta Peninggalan Di Jakarta
72
Harus diakui, dibanding dengan bahasa asing yang kaya dengan istilah, maka bahasa Indonesia masih miskin dalam istilah. Sehingga dalam menterjemahkan istilah Belanda para sarjana hukum membuat istilah sendiri, hal ini menyebabkan seringkali terdapat pemakaian istilah yang tidak sesuai dengan maksud sebenarnya. Adakalanya dua atau lebih istilah hukum asing diterjemahkan hanya dengan satu istilah atau satu istilah diterjemahkan menjadi beberapa istilah hukum Indonesia. Untuk mengatasi kekeliruan pengertian, maka seringkali didapati dalam kepustakaan hukum penulisnya mencatumkan bahasa aslinya di dalam tanda kurung.57 Terjemahan itu kadang-kadang menimbulkan pertanyaan bagi orang awam. Misalnya, istilah didalam hukum adat yang disebut kawin lari, sebagai terjemahan dari vlucthuwelijk dan wegloophuwelijk. Tentu orang awam berpikir, tidak ada kawin lari. Yang dimaksud kawin lari adalah berlarian untuk kawin yang dilakukan oleh bujang gadis seperti berlaku di Batak, Lampung
dan
Bali.
Kalau
di
Makassar
dikenal
dengan
silariang. Contoh lain didalam istilah hukum perdata, dalam istilah hukum perdata Belanda ada dikenal verbindtenis, ada yang menterjemahkan perikatan ada yang menterjemahkan perjanjian. Ada juga istilah hukum Belanda overeenkomst, ada 57 Sherief Maronie, Loc. Cit.
73
yang
menterjemahkan
menterjemahkan
perjanjanjian,
persetujuan.
Hal
itu
ada
yang
tentu
akan
membingungkan orang awam dan bagi mereka yang baru belajar hukum. Begitupula dalam hukum pidana terdapat istilah hukum Belanda yang disebut straafbaarfeit, ada yang menterjemahkan peristiwa pidana, ada yang menterjemahkan perbuatan pidana, dan ada pula yang menterjemahkan tindak pidana. Sedangkan maksud sebenarnya adalah peristiwa yang dapat dihukum. Kemudian ada istilah yang telah menadarah daging di kalangan hukum ialah barangsiapa, terjemahan dari kata
Hij
die,
yang
dimaksud
tentunya
bukan
barang
kepunyaan siapa, tetapi dia yang (berbuat) atau siapapun yang berbuat. Dengan demikian jelaslah bahwa penggunaan ragam bahasa
hukum
urgen
diaplikasikan.
Pertama,
untuk
menyempurnakan penerjemahan dan penafsiran teori-teori hukum yang banyak mengadopsi bangsa asing sehingga dapat mencapai tujuan ideal dalam aplikasinya. Kedua, kekhasan teori dan praktik hukum terkadang bertentangan dengan semantik dan tata bahasa Indonesia.
Misalnya,
apabila ada kalimat yang berbunyi “Badu memukul Tatang, maka menurut ketentuan ilmu bahasa “Badu” Badu adalah subyek, memukul adalah predikat dan “Tatang” adalah obyek.
74
Tetapi didalam kalimat ilmu hukum “Tatang itu tidak mungkin menjadi obyek, tetapi ia adalah subyek (hukum) oleh karena ia adalah manusia. Di dalam ilmu hukum hanyalah benda atau yang bukan subyek hukum yang menjadi obyek hukum.” L. Problem Penerapan Bahasa Hukum Mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang bahasa Indonesia, maka bahasa hukum Indonesia harus tunduk gramatika bahasa Indonesia yang telah ditetapkan. Karakteristik keresmian atau kebakuan harus tetap ada dalam penggunaan ragam lisan dan tulisan bahasa hukum Indonesia. Permasalahannya, dalam
banyak kajian, dalam praktik
penggunaan bahasa hukum Indonesia banyak ditemukan ketidaksesuaian dengan tata bahasa Indonesia, juga dengan karakteristik bahasa hukum lainnya. Misalnya, ketidakjelasan makna dan kalimat yang ditemukan di dalam teks peraturan perundang-undangan. Terkadang kekhasan dan corak bahasa hukum Indonesia dijadikan legitimasi bagi para pelaku hukum untuk tetap mempertahankan kebenaran penggunaan bahasa hukum, meski secara terang bertentangan dengan kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Persoalan tersebut terjadi dilatarbelakangi hal-hal berikut :
75
1. Praktisi yang berkenaan dengan hukum tidak sepenuhnya memahami tata bahasa Indonesia. Dalam mempelajari disiplin ilmu hukum atau yang belajar secara khusus di bidang
hukum
atau
yang
terkait,
tidak
diharuskan
mendalami tata bahasa Indonesia. 2. Penggunaan bahasa hukum yang bertentangan dengan tata bahasa Indonesia seolah telah menjadi konvensi. Mengubahnya berarti melawan kebiasaan yang sudah ada, walaupun kebiasaan tersebut tidak berdampak baik kepada tujuan ideal hukum. 3. Bahasa Indonesia berkembang lambat. Masih banyak istilah di dunia hukum yang selama ini merujuk bahasa asing, belum ditemukan padanan kata yang sempurna dalam terjemahnya. 4. Peraturan perundang-undangan
mengharuskan
seluruh
aktivitas berkaitan dengan praktik hukum resmi dengan menggunakan bahasa Indonesia, tetapi tidak secara tegas memberikan sanksi bagi pelanggarnya. 5. Bahasa hukum yang sulit dipahami masyarakat awam seolah menjadi stigma identitas bahasa hukum yang tetap dipertahankan. Perubahan secara mendasar atas tata bahasa hukum Indonesia menjadi tantangan tersendiri, sebab pasti memunculkan polemik. Berikut ini adalah kajian-kajian terhadap penggunaan ragam bahasa dalam praktik hukum yang bertentangan
76
dengan pedoman tata bahasa Indonesia yang diputuskan pemerintah : 1. Sebuah artikel berjudul Bahasa Ragam Hukum dan Sanksi Hukum di Indonesia,58 menguraikan beberapa pasal dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2007 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Sekertaris Desa Menjadi Pegawai Negeri Sipil yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagai bahasa hukum yang baik dan benar. Bab II Pasal
3
ayat
3,
tidak
memiliki
kejelasan
keterangan tentang identitas pangkat/golongan yang diperoleh Sekretaris Desa yang memiliki ijazah lebih tinggi dari Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Pada ayat itu hanya disebutkan
bahwa
pangkat/golongan
ruang
sesuai
dengan ijazah SLTA. Bab V Pasal 12 ayat 3. Diksi istilah dibebankan pada kalimat dimaksud
“Biaya pada
ujian ayat
penyetaraan (2)
dibebankan
Kabupaten/Kota,” tidak tepat.
sebagaimana pada
APBD
Kata dibebankan pada
kalimat di atas memiliki pengertian seolah-olah ada pihak lain yang mestinya melakukan kewajiban dalam 58 Bahasa Ragam Hukum dan Sanksi Hukum di Indonesia,
Anneahira.com. Artikel diakses melalui http://www.anneahira.com pada 20 November 2014.
77
memenuhi melakukan
biaya
ujian
kewajiban
penyetaraan, tersebut
namun
sehingga
tidak biaya
penyetaraan diberikan sebagai beban kepada pihak APBD Kabupaten/Kota. 2. Berita berjudul “Bahasa
Hukum
Harus
Lugas
Agar
Menimbulkan Kepastian Hukum,” mengungkapkan adanya ketidakjelasan redaksi di dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.59 Ahli sastra bahasa Prof. Siti Chamamah pada sidang Jusial Review di Gedung
Mahkamah
Konstitusi,
pada
27
Juni
2014.
Chamamah menilai di dalam UU Praktik Kedokteran tidak terdapat
kejelasan,
ketegasan,
keteraturan
dan
keterukuran tata bahasa. Khususnya dalam Bab IX tentang Pembinaan dan Pengawasan, pasal 71-73. Chamamah berpendapat, ketiga pasal itu terdapat ketidakberuntunan pola
pikir.
Berada
di
dalam
bab
Pembinaan
dan
Pengawasan, Chamamah berpendapat seharusnya ketiga pasal itu fokus kepada subyek dokter dan dokter gigi. “Kenapa tiba-tiba Pasal 73 ayat 1 dan ayat 2 mengatur tentang ‘setiap orang’?” kata Chamamah. Sementara di bagian penjelasan, Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 hanya tertulis kata “Cukup jelas.” Dari segi bahasa, undang59 Bahasa Hukum Harus Lugas Agar Menimbulkan Kepastian Hukum, Hukumonline.com. Artikel diakses melalui http://www.hukumonline.com pada tanggal 20 November 2014.
78
undang ini kurang mempertimbangkan kaidah bahasa, ragam bahasa resmi. Berikut adalah isi ketiga pasal yang dipersoalkan tersebut : Pasal 71, isinya memerintahkan pemerintah pusat, Konsil Kedokteran Indonesia, pemerintah daerah dan organisasi profesi untuk membina serta mengawasi praktik kedokteran sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-masing.
Praktik
kedokteran
sendiri
berarti
rangkaian tindakan yang dilakukan dokter dan dokter
gigi terhadap pasien. Pasal 72 menyatakan pembinaan dan pengawasan praktik kedokteran itu diarahkan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, melindungi masyarakat atas tindakan yang diberikan dokter dan dokter gigi. Serta
untuk
memberikan
kepastian
hukum
bagi
masyarakat, dokter, dan dokter gigi. Pasal 73 ayat (2) menyatakan, “Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara memberikan
pelayanan
kepada
lain dalam
masyarakat
yang
menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.” 3. Karya ilmiah berjudul “Penulisan Bahasa Hukum Indonesia Menurut Ejaan Yang Disempurnakan dan Penerapan Dalma Pembuatan Berita Acara dan Putusan,” karangan Drs.
79
Abdul Aziz, MH.I.60 menemukan banyak kesalahan tata bahasa di dalam pembuatan berita acara dna putusan pengadilan. Pada kesimpulannya, Abdul Aziz menyarankan agar semua orang, termasuk praktisi hukum, termasuk aparat kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan , mematuhi kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Pedoman yang ada selama ini yang menyimpang dari kaidah EYD harus ditinggalkan karena pedoman seperti itu hanya mengacaukan, bahkan merusak perkembangan bahasa Indonesia di tanah air. Pedoman ataupun petunjuk teknis dalam
penulisan
pembuatan
berita
putusan
acara
dapat
persidangan
dipergunakan
ataupun sepanjang
pedoman tersebut disepakati oleh berbagai pihak yang tentu saja diharapkan melibatkan sebagian kalangan ahli bahasa Indonesia dan yang tidak kalah penting bagi mereka yang memahami bahasa hukum.
BAB II PENUTUP A. Kesimpulan 60 Drs. Abdul Aziz, MH.I., Penulisan Bahasa Hukum Indonesia Menurut Ejaan Yang Disempurnakan dan Penerapan Dalma Pembuatan Berita Acara dan Putusan. Artikel diakses melalui http://www.pta-padang.go.id pada tanggal 20 November 2014.
80
Bahasa Indonesia merupakan warisan leluhur bangsa Indonesia, yang tercipta pada Hari Sumpah Pemuda, tanggal 28 Oktober 1928. Bahasa Indonesia resmi menjadi bahasa negara,
berikut
tata
bahasanya
yang
tertuang
dalam
pedoman ejaan yang telah ditetapkan pemerintah. Dalam peraturan
perundang-undangan,
bahasa
Indonesia
harus
dipergunakan seluruh warga negara Indonesia. Bahasa Indonesia memiliki banyak ragam, salah satunya adalah ragam bahasa hukum yang masuk ke dalam kategori ragam fungsional, dan memiliki corak dan karakteristik tersendiri. Ragam bahasa hukum telah menjadi diskursus sejak Kongres Bahasa Indonesia (KBI) I dan keputusannya menjadi rekomendasi atas pembuatan Undang-Undang Dasar. Dalam penggunaannya secara lisan dan tulisan, ragam bahasa hukum tetap tunduk terhadap pedoman tata bahasa Indonesia yang berlaku. Penggunaan ragam bahasa hukum Indonesia dipayungi sejumlah peraturan perundang-undangan yang berlaku, yakni: (1) Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945, (2) UndangUndang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera,
Bahasa,
dan
Lambang
Negara,
serta
Lagu
Kebangsaan, (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
81
undangan, (4) Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 21 Tahun 2001 Tanggal 18 Juli 2001 tentang Teknik Penyusunan dan Materi Muatan Produk-Produk Hukum Daerah, (5) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan. Dalam penerapan bahasa hukum seperti diamanahkan di dalam
peraturan
permasalahannya.
perundang-undangan, Diantaranya
adalah
ternyata latar
banyak belakang
pendidikan para praktisi hukum tidak banyak yang memahami tata bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sehingga di dalam banyak kajian, ditemukan kesalahan tata bahasa dalam penulisan
peraturan
perundang-undangan,
keputusan
pengadilan, berita acara, kenotarisan dan sebagainya. B. Saran Seharusnya Indonesia
dalam
penerapan
bahasa
hukum
di
benar-benar memperhatikan kaidah tata bahasa
yang berlaku. Jika format bahasa hukum yang salah kaprah itu sudah menjadi konvensi, maka sepatutnya dicarikan solusi agar dilakukan penyesuaian. Memang
banyak
faktor
yang
mempengaruhi
‘ketidaktaatan’ penggunaan bahasa hukum di Indonesia. Namun jika seluruh unsur pelaku hukum memiliki niat untuk 82
melakukan
perubahan,
maka
dapat
dipastikan
bahasa
Indonesia akan semakin berwibawa. Bahasa Indonesia adalah identitas
bangsa
Indonesia,
maka
hormatilah
dengan
menggunakannya dengan baik dan benar.
83