Makalah - Budaya Hukum - Dot [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUGAS MATA KULIAH BUDAYA HUKUM



MAKALAH BUDAYA HUKUM MASYARAKAT DALAM PEMBAYARAN ANGSURAN PINJAMAN / KREDIT TERKAIT KREDIT BERMASALAH



Nama NIM Dosen Mata Kuliah



Oleh : : Putri Novalia : 2018010262030 : Dr. Bahrul Ilmi Yakub, SH.,MH : Ilmu Perancangan Undang - Undang



PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER HUKUM UNIVERSITAS JAYABAYA 2020



KATA PENGANTAR



Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Esa. Atas rahmat-Nya, makalah yang berjudul : “BUDAYA HUKUM MASYARAKAT DALAM PEMBAYARAN ANGSURAN PINJAMAN / KREDIT TERKAIT KREDIT BERMASALAH” telah terselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Tak lupa kami sampaikan terima kasih kepada dosen pengajar Pengantar Hukum Bisnis yang telah mengajari kami. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dari Dosen Pengajar Mata Kuliah Pengantar Budaya Hukum dan untuk memenuhi kebutuhan penyusun sebagai mahasiswa serta sebagai bahan diskusi. Selain itu, makalah ini ditunjukkan untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa/i Fakultas hukum, terhadap



budaya



hukum



masyatrakat



dalam



pembayaran



angsuran



pinjaman/kredit. Kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca. Semoga Allah SWT. selalu melimpahkan ridho, taufik, dan hidayah-Nya kepada kita semua.



Jakarta, 21 Oktober 2020



Penulis



i



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ...........................................................................



i



DAFTAR ISI ..........................................................................................



ii



BAB I



PENDAHULUAN .................................................................



1



A. Latar Belakang Masalah .................................................



1



B. Rumusan Penulisan ........................................................



4



C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan.....................................



5



TINJAUAN TEORITIS .........................................................



6



BAB II



A. Budaya Hukum ................................................................ .........................................................................................6 B. Penyelesaian Kredit Bermasalah di Indonesia ............... .........................................................................................7 BAB III



PEMBAHASAN A. Budaya



Hukum



Masyarakat



Dalam



Pembayaran



Angsuran Pinjaman / Kredit............................................. ........................................................................................11 B. Penegakan



Hukum



Dalam



Penegakan



Kredit



Bermasalah ..................................................................... ........................................................................................12 C. Keuntungan Penyelesaian Sengketa Menggunakan Alternative Dispute Resolution dan Arbitrase ................. ........................................................................................13 BAB IV



PENUTUP............................................................................



16



A. Kesimpulan .....................................................................



16



B. Saran ...............................................................................



16



DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. ii



iii



BUDAYA HUKUM MASYARAKAT DALAM PEMBAYARAN ANGSURAN PINJAMAN / KREDIT TERKAIT KREDIT BERMASALAH (Nama Mahasiswa) Mahasiswa Program Magister Hukum Universitas Jayabaya 2020



BAB I PENDAHULUAN A.



Latar Belakang Masalah Kegiatan pinjam - meminjam uang adalah salah satu kebutuhan manusia



dimana



kegiatan



ini



telah



dilakukan



masyarakat



sejak



masyarakat mengenal uang sebagai alat pembayaran. Hampir semua masyarakat telah menjadikan kegiatan pinjam - meminjam uang sebagai sesuatu yang sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan kegiatan perekonomiannya dan meningkatkan taraf kehidupannya. Bagi perkembangan ekonomi suatu negara, uang merupakan suatu kebutuhan. Bahkan bagi negara maju sekalipun, uang sangat berperan dalam perkembangan ekonomi negaranya. Hal ini disebabkan karena untuk menjalankan pembangunan, uang masih dianggap sektor yang paling vital menurut tinjauan ekonomi. Uang tersebut dapat digunakan untuk mendirikan usaha-usaha kecil dan digunakan untuk keperluan lainnya. Adapun salah satu cara untuk mendapatkan uang adalah melalui kredit. Kredit pada umumnya diberikan oleh perusahaan yang bergerak di sektor jasa keuangan, seperti perbankan, BPR (Bank Perkreditan Rakyat), perusahaan pembiayaan/financing, koperasi, dll. Kredit yang diberikan oleh bank mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam kehidupan perekonomian suatu negara, karena kredit yang diberikan secara selektif dan terarah oleh bank kepada nasabah dapat menunjang terlaksananya pembangunan sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat. 1



Kredit yang diberikan oleh bank sebagai sarana untuk mendorong pertumbuhan ekonomi baik secara umum maupun khusus untuk sektor tertentu. Adapun tujuan utama pemberian suatu kredit antara lain : 1. Mencari Keuntungan Bertujuan untuk memperoleh hasil dari pemberian kredit tersebut. Hasil tersebut terutama dari bentuk bunga yang diterima oleh bank sebagai balas jasa dan biaya administrasi kredit yang dibebankan kepada nasabah. 2. Membantu Usaha Nasabah Tujuan lainnya adalah untuk membantu usaha nasabah yang memerlukan dana, baik dana investasi maupun dana untuk modal kerja, maka pihak debitur akan dapat mengembangkan dan memperluas usahanya. 3. Membantu Pemerintah Bagi pemerintah semakin banyak kredit yang disalurkan oleh pihak perbankan maka semakin baik, semakin banyak kredit berarti adanya peningkatan pembangunan diberbagai sektor. 1 Dalam memberikan kredit, kreditur wajib memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang telah diperjanjikan. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, Kreditur harus melakukan penilaian yang cermat dan seksama terhadap karakter, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari debitur.2 Kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas - asas perkreditan yang sehat. Guna mengurangi resiko dalam pemberian kredit, maka diperlukan jaminan kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Namun demikian, meskipun perusahaan - perusahaan yang bergerak di sektor jasa keuangan yang dalam kegiatan usahanya memberikan penyaluran kredit/pinjaman kepada masyarakat tetap saja ada permasalahan mengenai kredit macet / Non Performing Loan, meskipun setiap perusahaan tersebut telah melaksanakan regulasi yang Kasmir. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 96. 1



Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, PT. Citra Adifa Bakti, Bandung, 2000, hlm. 365- 366. 2



2



sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan diawasi oleh pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan. Kredit macet atau non performing loan (NPL), menjadi salah satu penyakit yang bisa menghambat perkembangan sektor jasa keuangan. Apa yang menjadi penyebab terjadinya hal tersebut. Kredit macet disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor internal maupun eksternal. Faktor



internal 



penyebab



timbulnya



kredit



macet



adalah



penyimpangan dalam pelaksanaan prosedur perkreditan, itikad kurang baik dari pemilik, pengurus, atau pegawai bank, lemahnya sistem administrasi dan pengawasan kredit serta lemahya sistem informasi kredit macet. Sedangkan faktor eksternal penyebab timbulnya kredit macet adalah kegagalan usaha debitur, musibah terhadap debitur atau terhadap kegiatan usaha debitur, serta menurunnya kegiatan ekonomi dan tingginya suku bunga kredit. Berdasarkan data yang diperoleh penulis, diketahui bahwa r atio Kredit Bermasalah Indonesia dilapor kan perbankan sebesar 3.1 % pada



bulan Juni 2020. Rekor ini naik dibanding dengan tahun sebelumnya yaitu 3.0 % untuk bulan Mei 2020. Data Ratio Kredit Bermasalah Indonesia diperbarui bulanan, dengan rata - rata 3.0 % dari bulan Januari 2003 sampai bulan Juni 2020, dengan 210 (dua ratus sepuluh) observasi. 3 Hal tersebut sejalan dengan pernyataan dari Otoritas Jasa Keuangan yang menyatakan bahwa, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta kalangan perbankan membuka identitas debitur yang nakal kepada publik untuk memberikan efek jera. Kepala Eksekutif Perbankan sekaligus Anggota Dewan Komisioner OJK Heru Kristiyana menyampaikan : bahwa “membuka identitas debitur atau peminjam kredit tidak masuk dalam aturan kerahasiaan nasabah. Yang masuk dalam UU [Perbankan], kerahasiaan



nasabah



itu



deposan



atau



nasabah



Mengungkapkan berapa tabungan [nasabah] itu tidak boleh.”



penabung. 4



https://www.ceicdata.com/id/indicator/indonesia/non-performing-loans-ratio https://finansial.bisnis.com/read/20200220/90/1204113/kredit-macet-ojk-minta-bankungkap-identitas-debitur-nakal 3 4



3



Berdasarkan Pasal 1 angka 28 UU No. 10/1998 tentang Perubahan atas Undang - Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan bahwa rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Hal ini sejalan dengan yang diatur dalam Pasal 40 ayat (1) Undang - Undang Perbankan



yang



mengatakan



bahwa



bank



wajib



merahasiakan



keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Jelas dalam undang - undang ini tidak diatur mengenai kerahasiaan identitas debitur. Debitur nakal yang dimaksud oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tersebut adalah peminjam kredit / debitur yang sebenarnya memiliki kemampuan



untuk



membayar



utang,



tetapi



lebih



memilih



tidak



mengangsur kewajibannya. Berdasarkan permasalahan yang disebutkan oleh penulis diatas, maka penulis mebuat makalah yang berjudul : “BUDAYA HUKUM MASYARAKAT DALAM PEMBAYARAN ANGSURAN PINJAMAN / KREDIT” B.



Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah yang di angkat dalam makalah ini adalah sebagai berikut : 1.



Bagaimanakah budaya masyarakat Indonesia terkait budaya hukum dalam membayar angsuran pinjaman/kredit ?



2.



Bagaimanakah aturan - aturan yang berlaku di Indonesia dalam menuyelesaikan kredit bermasalah ?



C.



Tujuan dan Kegunaan Penulisan Suatu penulisan harus mempunyai tujuan dan kegunaan tertentu yaitu sesuatu yang diharapkan atau suatu manfaat tertentu dari hasil



4



penulisan yang akan dilakukan. Adapun tujuan dan kegunaan penulisan ini, adalah sebagai berikut : 1.



Tujuan Penulisan a. Untuk mengetahui budaya masyarakat Indonesia terkait budaya hukum dalam membayar angsuran pinjaman/kredit. b. Untuk mengetahui mengenai aturan - aturan yang berlaku di Indonesia dalam menuyelesaikan kredit bermasalah.



2.



Kegunaan penulisan a. Kegunaan Teoritis Manfaat teoritis yang diharapkan dari penulisan ini, yaitu dapat memberikan



sumbangan



pemikiran



dalam



rangka



pengembangan di bidang ilmu hukum. b. Kegunaan Praktis Secara praktis, penelitian ini berguna bagi para pihak yang ingin mengetahui



tentang



budaya



hukum



membayar angsuran pinjaman/kredit.



BAB II TINJAUAN TEORITIS



5



masyarakat



dalam



A.



Budaya Hukum Secara leksikal, ’budaya’ diartikan sebagai pikiran, akal budi, adat istiadat, atau sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah. Sementara itu ada kata ’kebudayaan’ yang dimaknai sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat. Bisa juga diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.5 M. Friedman menyatakan, bahwa : “hukum merupakan sistem yang terdiri atas tiga komponen, yaitu : (1) Legal Subtance, yaitu norma - norma dan aturan - aturan yang digunakan secara institusional, beserta pola perilaku para pelaku dalam sistem hukum; (2) Legal Structure, yaitu lembaga - lembaga yang bertugas untuk menegakkan hukum, seperti kepolisian, dan peradilan (hakim, jaksa, dan pengacara); (3) Legal Culture, “budaya hukum”, yaitu kebiasaan, pandangan, cara bertindak dan berpikir dalam masyarakat umum yang dapat mempengaruhi kekuatankekuatan sosial menurut arah perkembangan tertentu. 6 Faktor anthropos berkaitan



dengan



manusia.



Pada



dasarnya



manusia bukanlah mahluk rasional yang sudah selesai dan sempurna. Artinya, manusia perlu berkarya agar dapat membuat dunianya menjadi lebih bermakna. Potensi manusia inilah yang menjadikannya sebagai agen kebudayaan yang kreatif. Faktor kedua, yaitu oikos, yang berarti alam atau lingkungan tempat manusia melakukan proses kreativitasnya. Lingkungan inilah yang menjadi medan perjuangan manusia, sehingga muncul hubungan antara manusia dan alam sekitarnya. Faktor ketiga adalah tekne, yakni akar kata dari teknologi sebagai sarana/prasarana yang dgunakan manusia dalam membantunya mengelola  kehidupannya. Hukum dapat saja dipandang sebagai tekne apabila dipahami sebagai alat untuk mencapai tujuan kehidupan bermasyarakat yang lebih Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 2005, hlm. 169 170. E.K.M. Masinambow, (ed), Hukum dan Kemajemukan Budaya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hlm. 1 5 6



6



baik. Faktor terakhir atau keempat adalah ethnos, yaitu komunitas. Karya manusia yang sebaik apapun, termasuk hukum positif yang dibuat oleh manusia, tidak akan bermakna jika tidak didukung oleh semangat kolektif. Hukum yang baik harus dilahirkan karena memang dikehendaki oleh masyarakat dan diterapkan sebagai konsekuensi dari kesepakatan sosial. Dari paparan tersebut, nampak jelas bahwa antara kebudayaan, budaya hukum, antropologi hukum dan sosiologi hukum mempunyai kaitan yang erat, yaitu ingin melihat hukum dari segi manusia atau masyarakat. Perubahan budaya hukum itu tidak saja berlaku dikalangan masyarakat yang modern tetapi juga dikalangan masyarakat sederhana atau masyarakat pedesaan, walaupun terjadinya perubahan itu tidak sama cepat, tergantung pada keadaan, waktu dan tempat. Masalah penegakkan hukum adalah masalah dan tanggungjawab semua orang yang hidup bermasyarakat, oleh karena itu, budaya hukum merupakan salah satu faktor yang harus diperhitungkan dalam penegakkan hukum.. B.



Penyelesaian Kredit Bermasalah di Indonesia Setiap penyaluran kredit oleh kreditur tentu mengandung resiko, karena adanya keterbatasan kemampuan manusia dalam memprediksi masa yang akan datang, untuk itu bank harus merencanakan sedemikian rupa dan berusaha untuk menekan resiko munculnya kredit bermasalah. Pihak bank juga perlu menilai kelayakan usaha dari debitur dan juga diperlukan



adanya



pengelolaan



dan



pengawasan,



sehingga



kesinambungan usaha perbankan tetap terjaga. Dalam menyalurkan kredit kepada masyarakat tidak keseluruhan dana yang disalurkan tersebut dapat dikembalikan seluruhnya atau sebagaimana mestinya, maka hal inilah yang menjadi penyebab timbulnya kredit bermasalah. Kredit bermasalah dapat diartikan sebagai ketidak sanggupan debitur untuk melunasi pinjamannya kepada bank berupa angsuran pokok dari pinjaman beserta bunganya, serta biaya lain dimana mengalami kegagalan karena deviasi (penyimpangan) sehingga tidak



7



sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati yang akhirnya dapat membawa kerugian kepada kreditur. Kredit bermasalah timbul tidak dengan seketika melainkan secara bertahap dimana terjadi penurunan berbagai aspek yang dimiliki debitur yang berakhir dengan ketidak mampuan debitur membayar kreditnya. Kredit macet adalah suatu keadaan dimana debitur baik perorangan atau perusahaan tidak mampu membayar kredit bank tepat pada waktunya. Di dunia kartu kredit, kredit macet merupakan kredit bermasalah dimana pengguna kartu kredit tidak mampu membayar minimum pembayaran yang telah jatuh tempo lebih dari 3 (tiga) bulan. Di dunia perbankan, kredit macet lebih dikenal dengan nama Non-Performing Loan (NPL). 7 Penyelesaian kredit bermasalah dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu : 1.



Tindakan Non Litigasi Tindakan pada masalah kredit macet ini umumnya dilakukan tanpa campur tangan pengadilan, yaitu dengan cara : a) Restrukturisasi Kredit Restrukturisasi merupakan upaya untuk dapat menyelamatkan kredit. Hal ini didasarkan pada Undang - Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang - Undang No. 10 Tahun 1998. Kemudian diubah lagi dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 2/15/PBI/2000 tanggal 12 Juni 2000 tentang perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/150/Kep/Dir tanggal 12 November 1998 tentang Restrukturisasi Kredit Kemudian pada tahun 2005 dikeluarkan aturan baru oleh Bank Indonesia yakni Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/3/DPNP tanggal 31 Januari 2005 tentang Kualitas Aktiva Produktif, lalu Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/190/DPNP/IDPnP tanggal 26 April 2005,



Kredit Macet: Pengertian Ilustrasi dan Efek Negatifnya, https://www.cermati.com/artikel/kredit-macet-pengertian-ilustrasi-dan-efek-negatifnya 7



8



dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/319/DPNP/IDPnP tanggal 27 Juni 2005 tentang Kebijakan Restrukturisasi Kredit. 8 b) Penyerahan Jaminan Secara Sukarela Penyerahan agunan secara sukarela diatur dalam Pasal 12 A Undang - Undang Perbankan yang menentukan sebagai berikut : 9 1) Bank umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan umum maupun diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual diluar lelang dari pemilik agunan dalam hal Nasabah Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya. 2) Ketentuan mengenai tata cara pembelian agunan dan pencairannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih



lanjut



dalam



Peraturan



Pemerintah.



Berdasarkan



penjelasan Pasal 12 A ayat (1) UU Perbankan menentukan bahwa “Pembelian agunan oleh bank melalui pelelangan dimaksudkan untuk membantu bank agar dapat mempercepat penyelesaian kewajiban nasabah debiturnya. Dalam hal bank sebagai pembeli agunan nasabah debiturnya, status bank adalah sama dengan pembeli bukan bank lainnya. Bank dimungkinkan dimaksudkan



membeli agar



agunan



dapat



diluar



mempercepat



pelelangan penyelesaian



kewajiban Nasabah debiturnya” . 2.



Tindakan Litigasi Penyelesaian melalui jalur litigasi dapat dilakukan melalui upaya hukum, diantaranya :



Djoni S. Gazali, dan Rachmadi Usman, 2010, Hukum Perbankan, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 306 9 Undang - Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. 8



9



a) Melaksanakan eksekusi hak tanggungan / fiducia berdasarkan Undang - Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dan Undang - Undang No. 42 Tahuun 1999 tentang Fiducia b) Melakukan gugatan wanprestasi di Pengadilan Negeri dan/atau gugatan pailit di Pengadilan Niaga. c) Membuat laporan polisi apabila ditemukannya dugaan tindak pidana perbankan, pemalsuan surat/dokumen, penipuan, dsb



BAB III PEMBAHASAN



10



A.



Budaya Hukum Masyarakat Dalam Pembayaran Angsuran Pinjaman / Kredit Setiap pinjaman/kredit tentunya ada pihak kreditur dan pihak debitur yang didasarkan atas perjanjian. Dimana dalam suatu perjanjian harus berdasarkan atas kesepakatan antar para pihak. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat sahnya suatu perjanjian adalah sebagai berikut : sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal. Sepakat dan kecakapan merupakan syarat subjektif, sedangkan hal tertentu dan sebab yang halal adalah syarat objektif. Dalam suatu perjanjian tentunya ada klausula terkait hak dan kewajiban



para



pihak,



oleh



karenanya



setiap



para



pihak



wajib



melaksanakan hak dan kewajibannya tersebut. Terkait budaya hukum masyarakat dalam pembayaran angsuran pinjaman/kredit di Indonesia diketahui bahwa tidak semua masyarakat yang menerima pinjaman/kredit tidak melaksanakan kewajibannya membayar angsuran kepada kreditur. Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang telah penulis sebutkan pada Bab I makalah ini. Dari hasil penelusuran penulis melalui daring, diketahui bahwa rasio kredit bermasalah di Indonesia cenderung meningkat setiap tahunnya dan penyaluran kredit mengalami pelambatan. Sesuai dengan Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 18-19 Desember 2019, NPL perbankan pada Oktober meningkat jadi 2,73 persen (gross) dan 1,25 persen (nett). "Non Performing Loan (NPL) memang secara gross dan nett kami pandang masih rendah, ternyata grossnya ini sedikit meningkat tapi nettnya tetap rendah," ujar Perry di Gedung BI, Kamis (19/12). Sebagai informasi, Non Performing Loan (NPL) pada Oktober 2019 meningkat dibanding bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 2,66 persen (gross) atau 1,18 persen (net). Non Performing Loan (NPL) pada Oktober 2019 juga merupakan posisi tertinggi sepanjang 2019. 10 https://www.merdeka.com/uang/data-bi-kredit-macet-meningkat-penyaluranpembiayaan-perbankan-melambat.html 10



11



Data peningkatan Non Performing Loan (NPL) tersebut adalah sebagai bukti bahwa belum adanya itikad baik dari debitur untuk melaksanakan kewajibannya membayar angsuran kepada bank/kreditur, selain dari fakto - faktor lain yang menyebabkan kredit bermasalah/macet. Berdasarkan hasil penelitian penulis, diketahui bahwa faktor - faktor yang menyebabkan kurangnya budaya masyarakat dalam membayar angsuran pinjaman/kredit oleh karena belum adanya penegakan hukum dan/atau aturan - aturan yang tegas dan pasti mengenai penyelesaian kredit bermasalah. Sebagai contoh adalah sampai dengan saat ini belum ada aturan hukum yang jelas dan pasti terkait penyelesaian kredit dengan dilakukan penyerahan jaminan secara sukarela / agunan yang diambil alih (AYDA) secara sukarela. Sehingga hal tersebut menyebabkan masyarakat tidak mau/menunda kewajibannya membayar angsuran pinjaman. Selain daripada hal tersebut, apabila bank akan menyelesaikan kredit macet melalui jalur hukum / litigasi pun belum tentu akan memperoleh hasil yang setimpal, karena biaya penyelesaian kredit macet melalui litigasi (pengadilan negeri/pengadilan niaga, kepolisian, dan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang) memerlukan biaya yang cukup tinggi. B.



Penegakan Hukum Dalam Penegakan Kredit Bermasalah Menurut Lawrence Meir Friedman, seorang ahli sosiologi hukum dari Stanford University, ada empat elemen utama dari sistem hukum (legal system), yaitu :11 1.



Isi Hukum (Legal Substance)



2.



Struktur Hukum (Legal Structure)



3.



Budaya Hukum (Legal Culture)



4.



Dampak Hukum (Legal Impact) Menurut Lawrence Meir Friedman berhasil atau tidaknya Penegakan



hukum bergantung pada: Substansi Hukum, Struktur Hukum/Pranata Hukum dan Budaya Hukum. Pertama : Substansi Hukum: Dalam teori 11



Op.Cit , E.K.M. Masinambow, Hlm. 1



12



Lawrence Meir Friedman hal ini disebut sebagai sistem substansial yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan atau aturan baru yang mereka susun. 1.



Substansi Hukum (Legal Substance) Subtansi hukum bisa dakatakan sebagai norma, aturan, dan perilaku



nyata manusia yang berada pada sestem itu, di dalam subtansi hukum ada istilah “ produk” yaitu suatu keputusan yang baru di susun dan baru di buat yang mana di sini di tekankan pada suatu hukum akan di buat jika melalui peristiwa terlebih dahulu. Seperti tertulis pada KUHP pasal 1 di tentukan “tidak ada suatu perbuatan pidana yang dapat di hukum jika tidak ada aturan yang mengaturnya”, system ini sangat mempengaruhi system hukum di Indonesia. Peluang besar bagi seorang pelanggar hukum untuk lari dari sebuah sanksi dari tindakan yang menyalahi hukum itu sendiri. Sudah banyak kasus yang terjadi di Indonesia, yang di sebabkan lemahnya system yang sehingga para pelanggar hukum itu seolah meremehkan hukum yang ada. Subtanci hukum juga mencakup hukum yang hidup (living law), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undangundang (law books). Sebagai negara yang masih menganut sistem Civil Law Sistem atau sistem Eropa Kontinental (meski sebagaian peraturan perundang-undangan juga telah menganut Common Law). Masalah yang di sebabkan subtansi karna Indonesia masih menggunakan hukum eropa continental jadi hukum nya itu menganut sisitem yang belanda dan hukum itu pun di buat sejak dulu, contoh seorang pencuri ayam di malang mencuri ayam  di kota A, dan di kota B itu sudah berbeda sansi yang di terima . nah itu lah salah satu kelemahan dari hukum yang kita anut di bangsa ini. 2.



Struktur Hukum (Legal Structure)



13



Struktur hukum , yaitu kerangka bentuk yang permanen dari sistem hukum yang menjaga proses tetap berada di dalam batas - batasnya. Struktur terdiri atas: jumlah serta ukuran pengadilan, jurisdiksinya (jenis perkara yang diperiksa serta hukum acara yang digunakan), termasuk di dalam struktur ini juga mengenai penataan badan legislatif. Teori



Lawrence



Meir



Friedman



yang



Kedua



:



Struktur



Hukum/Pranata Hukum: Dalam teori Lawrence Meir Friedman hal ini disebut sebagai sistem Struktural yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik. Struktur hukum berdasarkan Undang - Undang No. 8 Tahun 1981 meliputi; mulai dari Kepolisian, Kejaksaan,



Pengadilan



dan



Badan



Pelaksana



Pidana



(Lapas).



Kewenangan lembaga penegak hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Hukum tidak dapat berjalan atau tegak bila tidak ada aparat penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan independen. Seberapa bagusnya suatu peraturan perundang - undangan bila tidak didukung dengan aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanya angan - angan. Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan penegakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya mentalitas aparat penegak hukum diantaranya lemahnya pemahaman agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak transparan dan lain sebagainya. Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor penegak hukum memainkan peran penting dalam memfungsikan hukum. Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikian juga, apabila peraturannya buruk sedangkan kualitas penegak hukum baik, kemungkinan munculnya masalah masih terbuka. Masalah yang ditimbulkan dari struktur hukum yaitu sekarang banyak kasus penyelewengan kewenangan di ranah penegak hukum kepolisian yang banyak melakukan pelanggaran contohnya, banyak polisi lalu lintas yang menyalahi aturan seperti melakukan Tilang tapi akhirnya minta uang, 14



dan melakukan pengoperasian tapi taka da surat izin dan lain sebagainnya. Sebagai Penegak hukum seharunya bisa menjadi wadah penampung aspirasi masyarakat ini malah menjadi musuh nyata bagi masyarakat, lihat saja sekarang masyarakat ak lagi mempercayai eksintensi penegak hukum di negri ini.  3.



Budaya Hukum (Legal Culture) Budaya hukum ini pun dimaknai sebagai suasana pikiran sosial dan



kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan.  Selanjutnya Friedman merumuskan budaya hukum sebagai sikap - sikap dan nilai-nilai yang ada hubungan dengan hukum dan sistem hukum, berikut sikap - sikap dan nilai-nilai yang memberikan pengaruh baik positif maupun negatif kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum. Demikian juga kesenangan atau ketidak senangan untuk berperkara adalah bagian dari budaya hukum. Oleh karena itu, apa yang disebut dengan budaya hukum itu tidak lain dari keseluruhan



faktor



yang



menentukan



bagaimana



sistem



hukum



memperoleh tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat umum. Maka secara singkat dapat dikatakan bahwa yang disebut budaya hukum adalah keseluruhan sikap dari warga masyarakat dan sistem nilai yang ada dalam masyarakat yang akan menentukan bagaimana seharusnya hukum itu berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Berdasarkan teori yang disebutkan diatas, maka diketahui bahwa untuk mewujudkan penegakan hukum yang baik, maka harus didukung oleh



faktor



-



faktor



lainnya,



yaitu



Substansi



Hukum,



Struktur



Hukum/Pranata Hukum dan Budaya Hukum. Dalam hal ini masih ada sebagian dari masyarakat Indonesia khusunya bagi yang memiliki pinjaman/kredit pada perusahaan jasa keuangan seperti perbankan, BPR (Bank Perkreditan Rakyat), perusahaan pembiayaan, koperasi, dll belum mempunyai budaya hukum yang baik terkait kewajibannya membayar angsuran pinjaman/kredit kepada krediturnya berdasarkan perjanjian.



15



Hal tersebut dikarenakan aturan - aturan/kebijakan - kebijakan pemerintah belum dapat mengakomodir penyelesaian kredit bermasalah secara jelas dan pasti dan menimbulkan celah - celah hukum yang dapat menunda/membatalkan penyelesaian kredit bermasalah yang akan dilakukan oleh kreditur.



BAB IV PENUTUP 16



A.



Kesimpulan Dalam makalah ini, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut : 1.



Masayarakat Indonesia belum memiliki budaya hukum yang baik dalam hal kewajibannya membayar angsuran kepada kreditur, hal tersebut dapat terlihat dari kenaikan setiap tahunnya angka kredit bermasalah/macet di Indonesia berdasarkan data dari Bank Indonesia. Salah satu faktor penyebab kurangnya budaya hukum masyarakat



Indonesia



dalam memenuhi



kewajibannya



dalam



membayar angsuran pinjaman/kredit adalah masih belum adanya aturan - aturan/kebijakan - kebijakan pemerintah belum dapat mengakomodir penyelesaian kredit bermasalah secara jelas dan pasti



dan



menimbulkan



celah



-



celah



hukum



yang



dapat



menunda/membatalkan penyelesaian kredit bermasalah yang akan dilakukan oleh kreditur. 2.



Untuk mewujudkan penegakan hukum yang baik, maka harus didukung oleh faktor - faktor lainnya, yaitu Substansi Hukum, Struktur Hukum/Pranata Hukum dan Budaya Hukum.



B.



Saran Adapun saran - saran dari penulis adalah sebagai berikut : 1. Pemerintah harus membuat aturan - aturan /kebijakan - kebijakan yang jelas dan pasti dalam hal penegakan hukum terkait penyelesaian kredit macet / bermasalah, agar masyarakat menjadi paham mengenai konsekuensinya apabila tidak melaksanakan kewajibannya membayar angsuran kepada kreditur. 2. Masyarakat harus memiliki kesadaran hukum dan budaya hukum yang baik untuk memenuhi kewajibannya membayar angsuran kepada kreditur berdasarkan perjanjian, oleh karena apabila debitur melakukan wanprestasi, hal tersebut jelas merugikan banyak pihak khususnya bagi



17



kreditur, dan secara luas tentunya merugikan juga bagi dirinya sendiri dan pemerintah.



18



DAFTAR PUSTAKA



A.



Buku - buku :



Djoni S. Gazali, dan Rachmadi Usman, 2010, Hukum Perbankan, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 306 E.K.M. Masinambow, (ed), Hukum dan Kemajemukan Budaya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hlm. 1 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 2005, hlm. 169 170. Kasmir. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 96. Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, PT. Citra Adifa Bakti, Bandung, 2000, hlm. 365- 366.



B.



Peraturan perundang - undangan : Kitab Undang - Undang Hukum Perdata Undang - Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.



C.



Website https://www.ceicdata.com/id/indicator/indonesia/non-performing-loans-



ratio https://finansial.bisnis.com/read/20200220/90/1204113/kredit-macet-ojkminta-bank-ungkap-identitas-debitur-nakal https://www.merdeka.com/uang/data-bi-kredit-macet-meningkatpenyaluran-pembiayaan-perbankan-melambat.html Kredit Macet: Pengertian Ilustrasi dan Efek Negatifnya, https://www.cermati.com/artikel/kredit-macet-pengertian-ilustrasi-dan-efeknegatifnya



iii