Makalah Epistimologi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

FILSAFAT ILMU EPISTEMOLOGI : PROSES PEMBENTUKAN ILMU Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu Dosen Pengampu : Dr. Jaka Isgiyarta, Ak, CA



Disusun oleh : Dinda Indira S



12030117420101



Hilda Anggraeni



12030117420074



Suhita Whini Setyahuni



12030117420059



PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG



2018KATA PENGANTAR Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Epistemologi : Proses Pembentukan Ilmu ” dengan baik dan tepat pada waktunya. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Tanpa bantuan dari semua pihak makalah ini tidak akan selesai tepat waktu. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu kami mengharapkan pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang membangun untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.



Semarang, Juli 2018



Penyusun



2|Page



DAFTAR ISI Halaman Judul........................................................................................... Kata Pengantar …………………………………………………………. Daftar Isi .................................................................................................... BAB I PENDAHULUAN A. Lat



i ii iii 1



ar Belakang ................................................................................. B.



Ru



musan Masalah ………………………………………………… C.



Tuju 2



an .............................................................................................. BAB II PEMBAHASAN A.



2



Kon 4



truktivisme Individual dan Sosial ............................................... B. Pengertian Epistemologi ………........................................................ C. Met ode untuk Memperoleh Pengetahuan .......................................... D.



Pro



blem Kebenaran dalam Epistemologi .......................................... E.



Just



7 9 10 11 12 21



ifikasi Epistemologi ..................................................................... F.



Epis 29



temolog Rasional-Kritis Popper .................................................. G.



Para



digma Gerakan Zaman Baru Capra ............................................ H.



Para



digma Thomas Kuhn ................................................................... BAB III PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................... B. Saran .............................................................................................. Daftar Pustaka …………………………………………………………



36 36 37



3|Page



4|Page



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Filsafat seringkali disebut oleh sejumlah pakar sebagai induk semang dari ilmuilmu. Filsafat merupakan disiplin ilmu yang berusaha untuk menunjukkan batasbatas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat dan lebih memadai. Filsafat telah mengantarkan pada sebuah fenomena adanya siklus pengetahuan sehingga membentuk sebuah konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur sebagai sebuah fenomena kemanusiaan. Masing-masing cabang pada tahap selanjutnya melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri. Ilmu-ilmu yang dimiliki oleh manusia berhubungan satu sama lain, dan tolok ukur keterkaitan ini memiliki derajat yang berbeda-beda. Sebagian ilmu merupakan asas dan pondasi bagi ilmu-ilmu lain, yakni nilai dan validitas ilmu-ilmu lain bergantung kepada ilmu tertentu, dan dari sisi ini, ilmu tertentu ini dikategorikan sebagai ilmu dan pengetahuan dasar. Sebagai contoh, dasar dari semua ilmu empirik adalah prinsip kausalitas dan kaidah ini menjadi pokok bahasan dalam filsafat, dengan demikian, filsafat merupakan dasar dan pijakan bagi ilmu-ilmu empirik. Begitu pula, ilmu logika yang merupakan alat berpikir manusia dan ilmu yang berkaitan dengan cara berpikir yang benar, diletakkan sebagai pendahuluan dalam filsafat dan setiap ilmu-ilmu lain, maka dari itu ia bisa ditempatkan sebagai dasar dan asas bagi seluruh pengetahuan manusia. Jika mempelajari filsafat ilmu, kita pasti menjumpai istilah “Epistemologi”. Yang merupakan salah satu cabang ilmu filsafat. Dan karena Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Epistemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas dan metode, dan kesahihan pengetahuan. sehingga dalam kesempatan kali ini akan dibahas lebih lanjut mengenai sumber-sumber epistemologi. Manusia pada dasarnya adalah makhluk pencari kebenaran. Manusia tidak pernah puas dengan apa yang sudah ada, tetapi selalu mencari dan mencari kebenaran yang sesungguhnya dengan bertanya-tanya untuk mendapatkan jawaban. 1|Page



Namun setiap jawaban-jawaban tersebut juga selalu memuaskan manusia. Ia harus mengujinya dengan metode tertentu untuk mengukur apakah yang dimaksud disini bukanlah kebenaran yang bersifat semu, tetapi kebenaran yang bersifat ilmiah yaitu kebenaran yang bisa diukur dengan cara-cara ilmiah. Secara terminologi, epistemologi berasal dari bahasa Yunani yaitu “episteme” yang berarti pengetahuan dan ‘logos” berarti perkataan, pikiran, atau ilmu. Kata “episteme” dalam bahasa Yunani berasal dari kata kerja epistamai, artinya menundukkan, menempatkan, atau meletakkan. Maka, secara harafiah episteme berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk menempatkan sesuatu dalam kedudukan setepatnya. Selain disebut dengan epistemologi, ilmu ini juga disebut dengan gnoseologi yang artinya teori pengetahuan. Epistemologi atau Teori Pengetahuan



yang



berhubungan



pengandaian-pengandaian,



dengan



dasar-dasarnya



hakikat serta



dari



ilmu



pertanggung



pengetahuan, jawaban



atas



pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.



Bagaimana kontruktivisme individual dan social ? Apakah pengertian epistemologi ? Bagaimana metode untuk memperoleh pengetahuan ? Bagaimana problem kebenaran dalam epistemologi ? Bagaimana justifikasi epistemologi ? Bagaimana epitemolog rasional-kritis Popper ? Bagaimana paradigma gerakan zaman baru Capra ? Bagaiman paradigma Thomas Kuhn ? Bagaimana epistemologi Imam Ghazali?



C. Tujuan Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4.



Untuk mengetahui kontruktivisme individual dan social Untuk mengetahui pengertian epistemologi Untuk mengetahui metode untuk memperoleh pengetahuan Untuk mengetahui problem kebenaran dalam epistemologi 2|Page



5. 6. 7. 8. 9.



Untuk mengetahui justifikasi epistemologi Untuk mengetahui epitemolog rasional-kritis Popper Untuk mengetahui paradigma gerakan zaman baru Capra Untuk mengetahui paradigma Thomas Kuhn Untuk mengetahui epistemologi filsafat Imam Ghazali.



3|Page



BAB II PEMBAHASAN A. Kontruktivisme Individual dan Sosial Epistemoligi merupakan cabang philoshophy yang mempelajari pengetahuan. Epistemologi mencoba untuk menjawab pertanyaan mendasar:



Apa yang



membedakan pengetahuan yang benar dari pengetahuan yang salah. secara, praktis pertanyaan-pertanyaan metodologi ilmu pengetahuan. Misalnya seperti : bagaimana kita bisa mengembangkan sebuah teori atau model yang lebih baik dari teori yang lain ?



Epistomologi di fokuskan pada telah tentang bagaimana cara ilmu



pengetahuan memperoleh kebenarannya, atau bagaimana cara mendapatkan pengetahuan yang benar, atau bagaimana seorang itu tahu apa yang mereka ketahui. Jadi dari sini tampaknya “ how” menjadi kata kunci dalam upaya menemukan “ rahasia “ di balik kemunculan konsep- konsep teoritis dalam suatu teori komunikasi. Banyak cara yang di lakukan dalam usaha menemukan esensi dari kata “ how “ tadi. Bila ditinjau menurut sejarah dari epistemology , maka terlihat adannya suatu kecenderungan yang jelas mengenai



bagaimana riwayat cara- cara menemukan



kebenaran (Pengetahuan), kendatipun riwayat di maksud memperlihatkan adannya banyak kekacauan perspektif yang posisinya saling bertentangan. Misalnya teori pertama pengetahuan, di titik beratkan pada keabsolutannya, dan karakternya yang permanan. Sedangkan teori berikutnya menaruh penekanannya pada kerelativitas atau situation (keadaan) depadance (keterangan keterangan) Kerelativitas pengetahuan tersebut berkembang secara terus menerus atau bervolusi, dan pengetahuan secara aktif campur tangan terhadap the wold



dan



subyek maupun obyeknya. Mulai dari filsuf Yunani. Dalam pandangan plato, pengetahuan adalah sebuah kesadaran mutlak, universal Ideas or Forms, Keberadaan bebas suatu subyek yang perlu di pahami. Aritoteles lebih menaruh penekanan pada metode logika dan empiric bagi upaya penghimpunan pengetahuan, dia masih menyetahui pandangan bahwa pengetahuan seperti itu merupakan sebuah apprehension of necessary and Universal). Mengtahui masa – masa Renaisans terhadap dua epistemological utama yang posisinya mendominasi filsafat, yaitu empiricism danretionalism. Epiricism (Empiricism) yaitu suatu etimologi yang memahami bahwa pengetahuan itu sebagai produk persepsi indrawi. 4|Page



Rationalism ( Rasionalisme ) meliat pengetahuan itu sebagai sebuah produk refleksi rasional. Pengetahuan terbaru yang di lakukan empirisme melalui eksperimen ilmu pengetahuan telah berimplikasi pada perkembangannya pandangan ilmu pengetahuan yang secara ekspisit dan implicit hingga sekarang nasih dipedomani oleh banyak ilmuan. Pedoman di maksud yaitu reflection- corespodence theory. Menurut pandangan ini pengetahuan di hasilkan dari sejenis pemetaan atau lefleksi obyek eksternal alat- alat pengamatan berbeda, menuju ke otakatau ke pikiran kita. Meskipun pengetahuan tidak mempunyai keberadaan a priori, seperti dalam konsepsi Plato, tetapi mesti di bangun dengan pengamatan, dalam arti bahwa setiap bagian dari pengetahuan yang di usulkan seharusnya benar- benar baik sesuai dengan bagian realitas eksternal. Menurut Kunt, pengetahuan itu di hasilkan dari organisasi data persepsi berdasarkan struktur kognitif bawaan, yang di sebutnya “ katagori” katagori mencangkup ruang , waktu, objek dankausalitas. Estimologi tersebut menerima ke- subyektifan konsep - konsep dasar, seperti ruang dan waktu , dan ketidakmungkinan untuk menjangkau kemurnian representasi objek dari sesuatu dalam dirinya. katagori a priori masih tetap bersifat statis atau given. Menurut epistemology pragmatis, pengetahuian terdiri dari model-model yang mencoba merepresikan lingkungan sedemikian rupa guna penyerdahanaan secara maksimal pemecahan masalah , secara maksimal menyerdehanakan pemecahan masalah. Pemahan demikian karena diasumsikan bahwa tidak ada model yang pernah bisadi harapkan untuk mampu menangkap semua informasi yang relavan, dan sekalipun model yang lengkap seperti itu ada, model tersebut mungkin akan sangat rumit untuk di gunakan dengan cara praktis apapun, Karena itu, kita harus menerima keadaan kesejajaran model- model yang berbeda, sekalipun model-model yang di maksud mungkin terlihat saling bertentangan, Ketentuan dasarnya adalah bahwa, model yang di gunakan sebaiknya menghjasilkan perkiraan (Melalui pengujian) yang benar (atau apprximete) atau problrm solfing, dan sederhana mungkin , petanyaan lebih jauh yaitu penyangkut tentang “The Ding an Sich“ atau realitas tertinggi di belakan model . Epistemologi pragmatis tidak memberikan jawaban jelas terhadap pertanyaan mengenai asal- usul pengetahuan atau model. Ada asumsi tersebut bahwa model di 5|Page



bangun dari bagian – bagian model lain, dan data empiris yang perolehannya di dasarkan pada prinsip coba- coba salah (trial and error) yang di lengkapi dengan beberapa heuristics atau ilham. pandangan yang lebih radikal di tawarkan oleh para penganut contructivism. Kalangan ini mengomsumsikan bahwa petahuan di bangun dari goresan subjek pengetahuan. Tidak ada sesuatu yang “Givens“ data atau fakta empiris yang objektif katagori- katagori bawaan sejak lahir atau struktur- struktur kognitif.



kita bisa membedakan dua pendekatan yang mencuba menghindari



“kemutlakan relativesme“ 1.



Pendekatan yang pertama di sebut konstruktivisme individual



(Individual constructivism)



dankedua



konstruktivesme social (Social



contrukctivisim) Kontruktivesme individual mengomsumsikan bahwa seorang individu mencoba mencapai koherensi di antara perbedaan potongan- potongan pengetahuan itu. pembuatan atau pengkintruksikan yang berhasil



dalam



mengitegerasikan potongan- potongan pengetahuan yang sebelumnya , tidak bertautan (Incoherent) akan di pelihara. 2. Kontruktivesme social memahami mufakat antara subyek berbeda swbagai ketentuan tertinggi untuk menilai pengetahuan. “ Kebenaran “ atau “ Kenyataan “ hanya akan di berikan terhadap pengontruksikan yang di setujui kebanyakan orang dari suatu kelompok masyarakat. Kriteria dasar ialah bahwa perbedaan mental entitas atau perbedan proses kejiwaan di dalamnya atau di antara individu-individu sebaiknya menjangkau semacam keseim, bangan. Melalui pendekatan Kontruktuvis tampak penekananya lebih banyak pada soal perubahan dan sifat relative dari pengetahuan, dan cara- cara mereka yangmengunggulkan kesepakatan social atau koherensi internal dalam menemukan kebenaran, ini menyebabkan mereka tetap masih memiliki ciri yang absolute. Dengan kata lain, ke absolutan ini di tandai oleh kebanyakan para konstruktivist bahwa pandangan sintetis yang di tawarkan oleh bentuk- bentuk yang berbeda atau epistomologi evolusioner. Pengkostruksikan itu merupakan sebuah proses yang terus berkelanjutan pada tingkatan- tingkatan yang berbeda, baik secara biologis maupun psikologis atau social. Dari pendekatan kontruktivis, dimana pengetahuan merupakan hasil kontruksi individu atau masyarakat, maka kita telah bergerak ke pendekatan memetik, yakni pendekatan yang melihat masyarakat dan individu yan di hasilkan oleh 6|Page



pengontruksikan melalui sebuah proses evolusi yang terus menerus sari frakmantasi independent



pengetahuan



yan



berkompetesi



demi



dominasi.



melalui



argumentasinya masing- masing, kalangan ilmuan kebenaran pada obyek ilmu, dank arena itu berkonsekuensi pada penteorisasian fenomena yang di hadapinnya. B. Pengertian Epistemologi Menurut Katsoff, bahwa ontologi dan epistemology merupakan hakikat kefilsafatan, artinya keduanya keduanya membicarakan mengenai kenyataan yang terdalam dan bagaimana mencari makna dan kebenaran. Sedangkan aksiologi berbagai mengenai maslah nilai- nilai atau etika dalam kaitannya dengan mencari makna dan kebenaran . sedangkan aksiologi bebicara mengenai maslah nilai-nilai atau etika dalam kaitannya dalam mencari kebahagiaan dan kedamaian bagi umat manusia. Secara etimologi, epistemology berasal dari bahasa Yunani yaitu episteme dan logos. Episteme artinya pengetahuan, logos biasanya dipakai untuk menunjuk pengetahuan sistematik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa epistemologi adalah pengetahuan sistematik tentang pengetahuan. Secara singkat dapat di katakan bawa epistemology merpakan salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan mengenai maslah hakikat pengetahuan. epistemology merupakan di siplin filsafat yang secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang pengetahuan. sedangkan pengetahuan yang tidak ilmiah adalah masih trgolong prilmiah, dalam hal ini , berupa pengetahuan hasil serapan inderawi yang secara positif atau di luar kesadaran, seperti ilhsam, intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh nabi). Dengan kata lain, pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar , aktif, sistematis, jelas prosesnya secara produral, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemudian di akhiri dengan verifikasi atau di ujikebenaran ( validitas) ilmiahnya. Pengetahuan yang pra ilmiah , sesungguhnya diperoleh secara sadar dan aktif, namun bersifat acak, yaitu tanpa metode, apalagi yang berupa intuisi, sehingga tdak di masukan dalam ilmu. pengetahuan pra ilmiah karena tidak di peroleh secara sistematis-metodologis ada yang cenderung menyebutkan sebagai pengetahuan” naluriah “. Tahap-tahap perkembangan pengetahuan dalam satu nafas, tercakup pula telaahan sifat yang menyangkut pertanyaan mengenai haklikat ilmu. Pertama, segi ontologism,yaitu tentang apa dan sampai di mana yang hendak di capai ilmu. Ini 7|Page



sejak awal kita sudah ada pegangan dan dan gejala sosial. Dalam hal ini yang menyangkut mempunyai eksistensi dalam dimensi ruang dan waktu, serta terjankau oleh pengalaman inderawi. Sampai fenomena dapat diopserfasi, dapat di ukur, dan datanya dapat di olah, diitepersi divervisikasi, kemudian di tarik kesimpulan, Dengan lain perkataan, tidak menggarap hal-hal yang gaib seperti soal surge atau nerakayang menjadi garapan ilmu keagamaan. Telahan kedua adalah dari segi epistimologi, yaitu meliputi aspek normative mencapai kesahihan pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek procedural, metode dan teknik dalam memperoleh darta empiris. Epistomologi juga di sebut sebagai cabang filsafat yang berelevansi dengan sifat dasar dan ruang lingkup pengetahuan, Pranggapan para-anggapan dan dasardasarnya, serta rehabilitas umum dari tuntutan akan pengetahuan. Epistomologi secara sederhana dapat di definisikan sbagai cabang filsafat yang mengkaji asal mula, struktur, metode dan validity pengetahuan . Epistemologi yang berkaitan dengan maslah- maslah yang meliputi 1. Filsafat, yaitu sebagai cabang filsafat yang berusaha mencari hakikat dan kebenaran pengetahuan. 2. Metode, sebagai metode bertujuan mengatur manusia untuk memperoleh pengetahuan. 3. Sistem, sebagai suatu sistem bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan itu sendiri. Masalah utama dari epistamologi adalah bagaimana cara memperoleh pengetahuan, Oleh karena itu masalah epitemologi bersangkutan dengan pertanyaan- pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan- pertanyaan kesilfasatan, perlu di perhatikan bagai mana dan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. C. Metode untuk Memperoleh Pengetahuan 1. Empirisme Empirisme adalah suatu cara atau metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke mengatakan bahwa pada waktu manusia dilahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa), dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalamn inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta membandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan sederhana tersebut. 8|Page



Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Berarti semua pengetahuan kita, betapapun rumitnya dapat dilacak kembali sampai kepada pengalamanpengalaman inderawi yang pertama-tama dapat diibaratkan sebagai atom-atom – paling menyusun obyek material. 2. Rasionalisme Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilaipengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna dan mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat di peroleh dengan akal budi saja. 3. Fenomenalisme Kant membuat uraian tentang pengalaman, barang sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinya sendiri merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu seperti keadaanya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada kita, artinya pengetahuan tentang gejala (Phenomenon). 4. Intusionalisme Menurut Bergson, intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan instuitif. D. Problem Kebenaran dalam Epistemologi Dalam hal ini Titus mencatat tiga persoalan pokok epistemologi sebagai penyelidikan filsafat terhadap pengetahuan, antara adalah : 1. Menyangkut watak pengetahuan Dengan pernyataan pokok : Apakah ada dunia yang benar-benar berada diluar pikiran kita, dan kalau ada apakah kita berada mengetahuinya? 2. Menyangkut sumber pengetahuan



9|Page



Dengan pertanyaaan pokok : Dari manakah pengetahuan yang benar itu datang? Atau apakah yang merupakan asal mula pengetahuan kita? Bagaimanakah cara kita mengetahui bila kita mempuyai pengetahuan? Apakah yang merupakan bentuk pengetahuan itu? Corak-corak pengetahuan apakah yang ada? Bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan? 3. Menyangkut kebenaran pengetahuan Dengan pertanyaan pokok: Apakah kebenaran dan kesesatan itu? Apakah kesalahan itu? Apakah pengetahuan kita benar? Dan bagaimana kita dapat membedakan antara pengetahuan yang benar dan pengetahuan yang sałah? Dalam membahas masalah-masalah epistemology, dipakai pendekatan secara terpadu, baik pola kefilsafatan maupun ilmiah, sebab dalam perkembangan epistemology terjadi integrasi antara kegiatan kefilsafatan dan kegiatan ilmiah, meskipun sulit untuk menentukan metodologi tunggal dalam meneliti epistemology.



Metodologi



dan



pendekatan



yang



dipergunakan



bersifat



komplementer-konsentris, dalam semangat multidisipliner. Untuk itu pendekatan yang relevan dalam multidisipliner epistemology adalah pendekatan historis dan tematis. Dengan pendekatan historis akan diamati problematic maupun teori-teori pengetahuan itu dalam perkembangan sejarahnya. Sementara pendekatan tematik perhatiannya akan ditujukan pada usaha mengkaji masalah-masalah dan isu-isu tertentu yang merupakan problem kefilsafatan, tetapi mungkin merupakan problem keilmiahan E. Justifikasi Epistemologi 1. Evidensi Evidensi adalah cara bagaimana kenyataan itu dapat hadir atau “perwujudan dari yang ada bagi akal". Konsekuensi dari pengertian itu adalah, bahwa evidensi sangatlah bervariasi. Akibat lebih lanjut adalah persetujuan yang dijamin oleh kehadiran yang ada yang bervariasi ini juga akan bervariasi. Seorang positvis mungkin menyatakan pengandaian bahwa masa depan adalah mirip dengan masa lampau. Namun evidensi yang menjamin kepastiannya bukanlah kepastian yang sedemikianrupa sehingga kejadian sebaliknya tidak terbayangkan. Evidensi dari perilaku manusia tentu berbeda dengan hal yang semata-mata bersifat fisik, sebab kepastian manusia adalah bersifat hipotesis. Misalnya saya yakin secara moral bahwa apabila supir bus itu normal maka ia tidak 10 | P a g e



menabrakkan mobilnya ke pohon. Kesaksian adalah saláh satu sumber dari keyakinan moral kepastiannya agak diremehkan. Namun banyak orang yang lebih yakin pada pernyataan - permyataan yang bersumber dari kesaksian daripada tentang hukum gravitasi. 2. Kepastian Kepastian dalam hal ini memuat kebenaran dasar atau sebut sebagai kebenaran-kebenaran primer. Prinsip pertama adalah suatu "kepastian desar yang mengungkapkan eksisiensi subjek". Subjek yang mengetahui tidak mesti identik dengan kegiatannya, ada perbedaan subjek dan aktivitasnya. Adanya kesadaran akan mandirinya subjek dan manunggalnya dengan aktivitasnya adalah penting, sebab ada beberapa aliran yang mengatakan bahwa pakarti adalah bundle of actions aliran ini memposisikan pakarti merupakan aksidensi dan bukan substansi. Kepastian dasar ini tidak saja merupakan jawaban yang mendasar terhadap berbagai macam sikap dan ajaran seperti skeptisisme dan relativisme, tetapi karena kepastian dasar merupakan dasarnya segala kepastian. 3. Keraguan Ada dua bentuk aliran yang mempertanyakan kepastian mengenai adanya kebenaran. Keduanya dapat dianggap sebagai aliran yang mempermasalahkan, meragukan dan mempertanyakan kebenaran dan adanya kebenaran. Pertama, aliran Skeptisisme-Doktriner berkeyakinan bahwa pengetahuan dan kebenaran itu tidak ada, yang kurang ekstrem mengatakan sesungguhnya tidak cara untuk mengetahui bahwa kita mempunyai pengetahuan. Misalnya ajaran ini menganjurkan agar orang tidak melibatkan diri dalam kegiatan intelektual tertentu karena mempunyai pendapat tentang sesuatu, maka hal ini mengandung kontradiksi, sebab ajaran untuk tidak melibatkan diri secara intelektual, adalah sudah merupakan kegiatan intelektual. Kedua, aliran Skepetisisme Metodik menyatakan bahwa pengetahuan dan kebenaran ada, tetapi tidak sebagai doktrin, melainkan sebagai metoda untuk menemukan kebenaran dan kepastian. Aliran ini merupakan jalan untuk menemukan kepastian kebenaran. F. Epitemolog Rasional-Kritis Popper



11 | P a g e



Permasalahan epistemologi tidak pernah berhenti sampai kapan pun, dikarenakan manusia hidup senantiasa berhajat kepada ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan memberikan kita kemudahan dalam menghadapi semua tantangan di alam semesta, dan sampai hari ini telah banyak penemuan dalam berbagai bidang ilmu yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sebut saja di bidang ilmu-ilmu sosial, kedokteran, biologi, farmasi, psilologi dan lain sebagainya. Penemuan dan lahirnya disiplin ilmu diperuntukkan bagi kelangsungan hidup manusia. Pemikiran pemikiran epitemologis telah membentuk tatacara berfikir dan melahirkan ilmu pengetahuan. Sehingga epistemologiis yang menjadi titik tolak maju mundurnya laju ilmu pengetahuan. Pada abad ke-20, pengaruh positivisme dan neo-positivisme telah mempengaruhi secara luas metode ilmu pengetahuan (epistemology). Sehingga menjadikan ilmu objek pragmatis, berorientasi pada manfaat semu semata dan mengabaikan tingkatan- tingkatan yang dicapai oleh daya imajinatif dan rasio manusia (metafisika, bahkan agama). Cara pandang manusia diarahkan kepada manfaat praktis dan sesaat saja, budaya konsumsi menjadikan manusia hanya mengutamakan diri sendiri. Menempatkan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang hanya memiliki hak untuk hidup. Ringkasnya semu makhluk hanya diperuntukkan bagi kelansungan hidup mantus sehingga menafikan eksistensi dari makhluk lainnya. Akan tetapi, di awal abad ini muncul seorang Popper yang mengajukan kritik terhadap positivisme yang bercorak deduktif-verifikatif. Dia mengemukakan solusi ilmu dengan epistemology yang dikenal dengan Konjektur dan Falsifikasi. 1. Induksi dan Verifikasi Pada dasarnya teori falsifikasi yang dibangun oleh Poper merupakan bantahan dan dan sanggahan dari induksi dan verifikasi yang banyak dikembangkan oleh para filsuf sebelumnya, sebut saja Francis Bacon (1561-1626) yang disebut disebut sebagai Bapak Ilmu Pengetahuan, sangat mengandaIkan metode induksi dalam menerima kebenaran sebuah teori, kemudian metode ini dikemas ulang oleh Jhon Stuart Mill (1806-1873). Teori apa saja yang akan dianggap benar dengan cara penarikan kesimpulan berdasarkan kepada metode induksi. Metode induksi berarti juga metode 'proses generalisasi'. Induksi dipahami dengan metode 12 | P a g e



pengetahuan yang bertitik pangkal pada pemeriksaan (eksperimen) yang teliti dan telaten mengenai data - data partikular, selanjutnya rasio bergerak menuju suatu penafsiran atas alam. Kemudian metode induksi terus menjadi asas oleh para ilmuan dan hampir tidak pernah diperdebatkan. Metode ini menjadi karakter dalam ilmu-ilmu pengetahuan dengan melakukan generalisasi dari hal-hal yang partikular, atau dikatakan juga metode induksi berangkat dari beberapa kasus partikular kemudian dipakai untuk menciptakan hukum umum dan mutlak perlu. Misalnya berdasarkan pengamatan terhadap beberapa angsa yang ternyata berwarna putih, maka dengan melakukan induksi dapat dibuat teori yang lebih umum bahwa semua angsa berwarna putih. Metode induksi ini terus mengalami perkuatan oleh para filsuf diantaranya Jhon S. Mill yang lebih khusus menyusun kerangka berpikir induktif sebagai metode ilmiah yang valid. Selanjutnya Popper juga dihadapkan oleh metode verifikasi, baik yang dikembangkan oleh filsuf dalam lingkaran Wina mau pun diluar Wina sendiri. Verifikasi telah memproklamirkan diri sebagai satu – satunya metode untuk menguji ilmuah atau tidaknya sebuah teori. Atau di katakan juga apakah sesuatu itu memiliki arti atau tidak memiliki arti., juga untuk menilai apakah suatu ilmu dapat disebut dengan ilmu sejati atau ilmu semu. Artinya jika suatu pernyataan atau dugaan dapat diverifikasi, maka ia berarti bermakna, sebaliknya apabila tidak dapat diverifikasi maka berarti ia tidak bermakna. Prinsip verifikasi menyatakan bahwa suatu proporsisi adalah bermakna jika ia dapat diuji dengan pengalaman dan dapat diverifikasi dengan pengamatan (observasi). Sebagai akibat dari prinsip tersebut maka filsafat tradisional, seperti pembahasan mengenai 'ada yang absolute', haruslah ditolak. Karena ungkapan ungkapannya melampaui pengalaman dan tidak dapat untuk diamati terlebih lagi untuk diuji, termasuk juga hal-hal yang berkenaan dengan teori mau pun metafisika. Bisa jadi prinsip yang dibangun dengan metode verifikasi telah mengantarkan ilmu pengetahuan sampai pada kemajuannya saat ini. Ilmu pengetahuan telah mencapai kemajuan yang sangat pesat bahkan dengan metode verifikasi memudahkan manusia untuk memperoleh jawaban dan solusi terhadap persoalan yang dihadapi dalam kehidupan manusia. Sehingga posisi ilmu dengan 13 | P a g e



verifikasinya telah menjadi komponen terpenting dalam menjaga kehidupan manusia di alam. Ilmu yang telah melalui verifikasi dipandang sebagai kebenaran yang absolute, sedangkan selainnya hanyalah dianggap sebagai pernyataanpernyataan semu yang menipu. 2. Konjektur : Membangun Hipotesis untuk Objektifitas Konjektur secara bahasa berarti dugaan, pra-konsepsi atau dapat juga disebut dengan asumsi. Konjektur dipandang oleh Propper sesuatu yang harus ada sebelum seseorang melakukan analisa terhadap suatu objek permasalahan. Dalam melakukan penelitian atau mencari jawaban terhadap satu masalah, seseorang harus memiliki konjektur (dugaan) dalam hipotesisnya (sebelum dilakukan penelitian). Sehingga Propper menyusun dua asaa dalam teorinya. Pertama, penyelidikan tidak boleh dimulai dengan usaha observasi yang memihak, tetapi justru harus fokus terhasap satu persoalan. Peneliti harus berttanya : apakah masalahnya? Apa solusi alternatifnya? Bagaimana kekuatan dan kelemahannya. Kedua, usaha untuk menemukan sebuah solusi tidak boleh merupakan usaha yang menghindari dari fakta yang ada ( hanya memilah fakta yang mendukung teori yang diyakini ) akan tetapi mestilah berpegang pada prinsip penggabungan antara dugaan yang berani dengan kritisisme yang tajam. Bahkan perkembangan ilmu pengetahuan pada dasarnya berlandaskan kepada konjektur yang dimiliki oleh para peneliti. Menurut Popper perkembangan ilmu dimulai dari usulan hipotesis yang imajinatif, yang merupakan insight individual dan terprediksikan apakah akan menjadi teori. Hipotesis imajinasi tersebut lebih berupa grand theory yang nantinya akan diuji untuk layak atau tidaknya ia dijadikan teori yang ilmiał. Teori pra-konsepsi tentunya menimbulkan pertanyaan bahwa seorang peneliti akan terlepas dari sikap objektifitasnya. Dikarenkan dia telah terikat oleh teori yang ia yakini, tentunya hal ini akan mempengaruhi proses dan hasil penelitian yang ia hadapi. Berkenaan dengan hal ini, Karl Popper mengatakan bahwa objektifitas seorang peneliti tidak harus terbebas dati pra-konsepsi. Malah sebaliknya objektifitas justru diperoleh dengan membuat jelas pra-konsepsi dan secara kritis membandingkan dengan teori lain Pra-konsepsi (konjektur) memiliki peran penting dalam penelitian yaitu sebagai upaya artikulasi terhadap persoalan yang diteliti. Dengan mengartikulasi 14 | P a g e



persolaan kita memiliki peluang untuk membandingkan dengan teori, mengkritisi dan membangun kemapanan teori baru. Ringkasnya, manusia pada dasarnya melakukan proses belajar dengan cara menduga dan melakukan penolakan. Proses mendukan adalah upaya untuk memunculkan jawaban sementara (konjektur), selanjutnya melakukan usaha penolakan terhadap pra-konsepsi atau dugaan. Apabila dugaan tersebut tidak tertolak, maka ia diyakini dapat dipandang sebagai teori sementara tang tentunya masih membuka peluang untuk terus diuji dan dibantah dalam upaya menuju kesempurnaan pengetahuan dan kebenaran 3. Demarkasi antara True Science dan Pseudo Scince Seperti telah disinggung di atas, Karl Popper bereaksi terhadap metode-metode filsafat ilmu yang telah lama berkembang sebelumnya. Disatu pihak ia bereaksi terhadap metode induksi yang ‘mempatenkan' dirinya sebagai metode ilmiah yang valid, dan dilain pihak ia juga berhadapan dengan metode verifikasi yang dikembangkan oleh filsuf-filsuf positivisme, khususnya pengaruh yang ditebarkan oleh para filsuf di lingkaran Wina. Untuk membantah kedua metode tersebut, Karl Popper mengangkat fokus bahasan dalam membedakan atau memisahkan antara pernyataan yang mengandung makna (meaningful) dan pernyataan yang tidak bermakna (meaningless), atau antara sains sejati (true science) dan sains semu (pseudo sains). Dalam pandangan tradisional tentang perbedaan antara sains sejati dan sains semu adalah, bahwa sains sejati berisikan hukum-hukum yang kebenarannya bisa dibuktikan melalui observasi (pengamatan) dan eksprimen (percobaan). Sebaliknya sains semu hanya berisikan fantasi yang tidak terbukti dengan fakta. Pemisahan antara kedua macam sains di atas dikenal dengan istilah demarkasi atau dapat juga diartikan dengan garis batas, dalam hal ini dipahami dengan ungkapan ilmiah dan tidak ilmiah sebuah pengetahuan. Persoalan demarkasi merupakan titik tolak Popper untuk membangun metodologi pengetahuannya. Ia menolak pandangan tradisional mengenai demarkasi yang dikembangkan oleh kalangan tradisional, dikarenakan Popper memandang bahwa ungkapan yang tidak bersifat ilmiah- tidak dapat dibuktikan dengan observasi dan eksprimen, memiliki kemungkin sangat bermakna (meaningful). Berapa banyak munculnya 15 | P a g e



teori – teori dalam ilmu pengetahuan, baik dalam ilmu alam maupun sosial, diawali oleh ungkapan-ungkapan yang imajinatif tanpa dapat diajukan eksperimen terhadapnya Hal ini disebabkan bahwa ungkapan imajinatif atau disebut juga insight individual bukan berasal dari penganatan partikular (observasi) yang kemudian berujung kepada proses generalisasi (induksi). Sebagai contoh, kemampuan manusia untuk membangun peradaban dan teknologi banyak lahir dari kemampuan atau ilham yang tidak diperoleh dengan metode induksi, akan tetapi muncul dalam tataran umum terlebih dahulu kemudian menjelma secara lebih nyata dalam hal-hal yang partikular. Dengan demikian, Popper lebih menyetujui metode deduksi yang sejatinya merupakan metode dalam mendapatkan ilmu pengetahuan. Dengan diketengahkannya metode deduksi maka membuka kembali makna ilmiah terhadap kajian-kajian yang selama ini disingkirkan oleh metode induksiverifikasi. Kajian dalam teologi dan metafisika dapat dihadirkan kembali dalam kerangka ilmu pengetahuan. Maka tidak serta merta seorang peneliti menjustifikasi bahwa suatu teori tidak ilmiah atau pun ilmiah hanya dengan berpatokan pada memiliki arti atau tidak memiliki arti, dikarenakan sejatnya segala sesuatu memiliki arti karna ia dapat dipahami. Lebih mendasar, Popper mengungkapkan kelemahan dalam metode induksi dan verifikasi, antara lain : 1) Prinsip verifikasi tidak pernah mungkin dapat digunakan untuk menyatakan kebenaran hukum-hukum umum, hukum- hukum umum dalam ilmu pengetahuan tdak pernah dapat diverifikasi. Karena, seperti halnya metafisika, harus diakui seluruh ilmu pengetahuan alam (yang sebagian besar terdiri dari hukum-hukum umum) adalah tidak bermakna 2) Berdasarkan prinsip verifikasi, metafisika disebut tidak bermakna, tetapi dalam sejarah dapat disaksikan bahwa acap kali ilmu pengetahuan lahir dari pandangan - pandangan metafisis atau bahkan mistis tentang dunia. Suatu ungkapan metafisis bukan saja bermakna tetapi bisa juga benar, meskipun baru menjadi ilmiah kalau sudah diuji. 3) Untuk menyelidiki bermakna tidaknya suatu ungkapan atau teori, lebih dulu harus bisa dimengerti, sebab bagaimana bisa dimengerti jika tidak bermakna. 16 | P a g e



Ketiga hal di atas menjadi landasan oleh Popper untuk mełakukan sanggahan terhadap verifikasi yang diklaim sebagai ciri utama teori ilmiah. Verifikasi hanya berupaya unuk menunjukkan kelebihan dari satu teori sehingga mengkaburkan sisi keburukan dan kesalahan yang dikandungnya, sebagai contoh tes atau uji terhadap teori hanya diberlakukan untuk membuktikan benarmya suatu teori dengan mengedepankan contoh-contoh yang mendukung kebenaran teori tersebut (proses ini berlangsung dengan metode induksi-genealisasi terhadap particular yang ada). Metode ini tentunya hanya menampilkan sisi baik dari sebuah teori berdasarkan akumulasi kebenaran yang sudah terencana. Sikap seperti ini merupakan karakter dari verifkasi induktif, di satu sisi yang paling terlihat akan menunjukan kebenaran suatu teori. Sebagai ilustrasi sederhana peneliti menyampaikan, hasil penelitiannya bahwa seluruh angsa berwarna putih, kemudian ia memperlihatkan 100 ekor angsa yang berwarna putih dan mengabaikan angsa-angsa lain yang tidak berwarna putih. Sehingga dengan demikian diakui secara ilmiah bahwa semua angsa berwarna putih. Hasil seperti ini tentunya merupakan kebenaran semu dan palsu. Melihat hal ini, Popper mengemukakan solusi terhadap masalah demarkasi (pemisahan antara ilmu sejati dan semu) dan ciri utama kebenaran ilmiah. Popper menaikkan ke permukaan metode deduksi dan teori falsifikasi yang sejatinya merupakan karakter ilmiah suatu teori. 4. Faisifikasi: Dugaan dan Penolakan Baik secata morfologis maupun semantik, perlu diuraikan bagaima kata falsifikasi. Falsifikasi secara otomatis terkandung pada falsibilitas. Kata falsify itu sendiri adalah kata jadian yang terbentuk dari kata sifat false yang berarti salah dan ditambahkan kepadanya akhiran ify yang berarti menyebabkan 'menjadi'. Adapun falsification adalah bentuk kata benda dari kata kerja falsify. Dengan demikian jelaslah bahwa kata sifat false diubah menjadi kata kerja dengan menambahkan akhiran ify sehingga jadi falsify dan dibendakan dengan menambahkan akhiran action sehingga ia berubah menjadi falsification yang dindonesiakan menjadi falsifikasi yang berarti 'hal pembuktian salah’. Facere merumuskan beberapa pengertian diantaranya 1) Cara memverifikasikan asumsi teoritis (hipotesis, teori) dengan menggunakan pelawannya, ini dilakukan dengan membandingkan asumsi bersangkutan dengan data yang diperoleh melalui eksperimen, falsifikasi 17 | P a g e



didasarkan pada postulat (dalil) logika formal, postulat itu berbunyi bahwa proposisi teoritis tidak terbukti bila pendapat sebaliknya turun dari aneka pernyataan yang cocok satu sama lain, kendatipun pernyataan- pernyataan yang digunakan itu didasarkan pada observasi. 2) Berdasarkan postulat logis ini Popper melawan prinsip verifikasi kaum neo-positivisme dengan prinsip falsifikasi, Popper menafsirkan prinsip falsifikasi bukan sebagai cara untuk menentukan komprehensibilitas dari suatu pernyataan ilmiah, tetapi sebagai suatu metode yang membedakan antara ilmiah dan tidak ilmiah. Popper menyatakan bahwa hanya pernyataan - pernyataan yang dapat dibuktikan dengan prinsip metode falsifikasi adalah ilmiah sedangkan yang tidak dapat dibuktikan dengan prinsip falsifikasi tidak ilmiah. Falsifikasi adalah lawan dari verifikasi. Istilah verifikasi dipakai oleh para ilmuwan dan filsuf yang menjadi anggota Lingkaran Wina yang memegang teguh metode induksi dan yang semisal dengan mereka. Sebaliknya, Popper tidak percaya pada induksi sama sekali meskipun dia benar-benar mempercayai empirisme. Sebelum lebih jauh, maka akan diperlihatkan bagaimana pengetahuan dan selanjutnya Popper menjawab persoalan demarkasi dan mengangkat falsifikasi dalam ranah filsafat ilmu. Dalam hal ini, akan dikemukakan bagaimana seorang memperoleh



pengetahauan



dan



selanjutnya



pengetahuan



tersebut



dapat



diputuskan ilmiah atau tidak ilmiah, atau hagian dari true sciences atau bagian dari pseudo scinces. Menurut Popper, manusia dalam memperoleh pengetahuan berdasarkan rasio yang ia miliki. Pandangan ini sesuai pandangan kaum rasionalis yang mengakui bahwa ada prinsip-prinsip dasar dunia tertentu yang diakui benar oleh manusia. Dari prinsip-prinsip ini diperoleh pengetahuan deduksi yang ketat tentang dunia. Prinsip-prinsip pertama ini bersumber dalam budi manusia dan tidak dijabarkan pengalaman, bahkan ada yang diialami dalam pengalaman emprisis bergantung pada prinsip - pinsip ini. Dengan demikian, pengetehuan muncul dalam diri seseorang atau dari insight individual (pengetahuan terdalam seseorang). Sehingga dengan demikian



18 | P a g e



pengetahauan dalam tataran teologis, metafisis bahkan mistis sekalipun dapat dianggap sebagai ungkapan (pengelahuan yang bermakna (meaninglul)). Persoalan selanjutnya adalah bagaimana untuk membuktikan pengetahuan tersebut, apakah ia merupakan teori ilmiah atau ilmu sejati, atau la tidak ilrniah dan hanya merupakan pengetahuan semu belala. Untuk ini Popper mengajukan kriteria ilmiah setidaknya pengetahuan adalah kemampuannya atau kualitasnya untuk diuji dalam lingkup; bisa diuji (testability), bisa disalahkan (falsibility), dan bisa disangkal (refutability). Maka dengan konsep keterujian dan penolakan ia menjawab persoalan demarkasi, apabila teori dapat diuji dan memenuhi kompenen untuk disangkal maka ia telah memenuhi syarat keilmuan. Perlu ditekankan bahwa tes terhadap teori bukan berorientasi mencari pendukung kebenaran suatu teori akan tetapi tes dilakukan dengan prinsip falsifikasi, yaitu upaya untuk membantah, menyangkal dan menolak teori tersebut. maka Popper lebih memilih hipotesa untuk menyebut teori yang diuji, dikarenakan ia akan selamanya hanya berupa hipotesa (dugaan sementara) yang akan terus menerus diuji. Inilah prinsip ilmu sejati, dan tentunya seorang ilmuwan sejati tidak akan takut untuk menghadapi penolakan, bantahan, kritik, terhadap hipotesa yang dikemukakannya. Bahkan sebaliknya, ia akan terus mengharapkan sanggahan untuk tercapai kebenaran sejati. Karakter berpikir Popper banyak dilandaskan oleh pengamatannya dalam bidang ilmu alam, dimana pada masanya kemapanan fisika Newton dapat digugurkan oleh teori relativitas Einstein. Maka dengan demikian, ilmu mencapai hasil yang terus mendekati kebenaran. Dan secara sadar diakui bahwa hal ini berawal dari pengetahuan terdalam manusia yang menjelma menjadi suatu hipotesa, kemudian mengalami kritikan terus – menerus sepanjang masa sehingga memunculkan hipotesa baru nantinya juga terbuka untuk terus dikritisi. Pandangan ini menunjukan bahwa proses pengembangan ilmu bukanlah diawali dengan membantah setiap pengetahuan sebelum duji, dan juga bukan dengan proses akumulasi, dalam arti mengumpulkan bukti – bukti positif untuk mendukung suatu teori, sebagaiman pandangan neo-positivisme. Bagi Popper, proses pengembangan ilmu adalah dengan jalan eliminasi terhadap kemungkinan kekeliruan dan kesalahan ( error elmination). Semakin sebuah teori dapat bertahan dari penyangkalan dan penolakan maka ia akan semakin kokoh dalam keilmuan, 19 | P a g e



ini juga disebut Popper sebaga teori pengokohan. Teori inilah yang kemudian mengantarkan Popper dipandang sebagai filsuf sekaligus Epitemolog Rasional – Kritis. G. Paradigma Gerakan Zaman Baru Capra Sejak berkembangnya hipotesa Relativitas Einstein, dunia fisika mengalami pergolakan



paradigma.



Struktur



paradigma



lama



yang



didasarkan



pada



paradigma Cartesian dan Newton mengalami pergeseran. Semua batasan-batasan absout yang ditegakkan oleh Cartesius dan Newton di dalam rumus-rumus “ilmu pasti”-nya mulai dipertanyakan, bahkan diruntuhkan oleh pemikiran-pemikiran dan rumus-rumus relativisme yang merupakan “ilmu relatif”. Bahkan setelah perkembangan fisika nuklir, yang merupakan aplikasi dari hipotesa Einstein, telah berhasil menelurkan beberapa hasil tertentu, maka hipotesa Einstein semakin menekan teori-teori fisika Newton.



Beberapa ahli fisika



modern, dengan segera dan senang hati menerima paradigma baru ini untuk diperkembangkan lebih lanjut. Beberapa di antara para tokoh tersebut adalah fisikawan modern seperti Stephen Hawkings dan Fritjof Capra. Di dalam makalah ini secara khusus akan disoroti paradigma yang dipaparkan oleh Capra, dimana ia mengkaitkan sains dengan pemikiran Tao dari Lao Tze. Fritjof Capra memulai teorinya dengan sejumlah asumsi dasar, yang menjadi suatu paradigma bagi seluruh pemakaian sainsnya. Sekalipun ia berusaha untuk mencari dukungan untuk asumsi-asumsi yang ditegakkannya, terlihat sekali di beberapa bagian, justru asumsi- asumsi itulah yang mewarnai interpretasinya terhadap realita sejarah sains. 1.



Fisika Cartesian dan Newtonian kadaluarsa



Bagi Capra, fisika Cartesian dan Newtonian telah salah memandang alam semesta. Seluruh materi hanya dianggap sebagai benda mati. Dengan argumentasinya ini, Capra menyerang pendekatan Cartesian, Newtonian dan sekaligus menyerang Kekristenan, dengan asumsi bahwa pandangan dunia materi itu mati adalah salah, dan bahwa Tuhan memerintah dunia inipun juga salah. Capra beranggapan bahwa dunia ini terdiri dari materi yang hidup, sehingga seluruh paradigma Cartesian dan Newtonian sama sekali tidak dapat dipakai lagi. 20 | P a g e



Akibatnya paradigma sains perlu diganti dengan paradigma dari sains modern, yang mengacu kepada teori Relativitas.



2.



Relasi erat fisika modern dan mistisisme timur



Fisika Modern dimulai oleh Galileo, yang bercirikan kombinasi antara pengetahuan empiris dengan matematika. Oleh karena itu, Capra melihat Galileo sebagai bapak dari Sains Modern. Tetapi ia juga melihat bahwa akar dari perkembangan sains bermula dari filsafat Gerika, khususnya dari arus pikir Milesian, yang dapat dikatakan sangat mirip dengan konsep pikir monistis dan organis dari filsafat India dan Cina kuno. Mereka sama-sama percaya adanya Prinsip Ilahi yang mengatasi semua Tuhan dan manusia.Oleh karena itu, Capra melihat Sains Modern kembali kepada perpaduan dengan Mistisisme Timur. Untuk itu paradigma Sains Modern berbeda (berubah) dari paradigma Sains Barat kuno. Ciri dari paradigma Sains Modern adalah “mekanistik”, sedangkan pandangan dunia timur adalah “organik”. Capra menyoroti sains, khususnya Sains Modern bukan lagi sebagai paradigma



yang



dipegang



suatu



selama



permasalahan



rasional,



seperti



ini dikalangan ilmuwan, tetapi lebih



melihatnya sebagai suatu “jalur hati” 3.



Kesamaan pendekatannya: Relativisme.



Problema penggabungan kedua bidang besar, menurut Capra haruslah dipandang dengan terlebih dahulu menyelesaikan pengertian “mengetahui” dan bagaimana pengetahuan itu diekspresikan. Akibatnya kita sulit menyadari akan keterbatasan dan relativitas pengetahuan konseptual kita.



Kita



akan



sulit



membedakan antara realitas yang sesungguhnya dari konsep atau simbol realita itu, yang diutarakan oleh pengetahuan konseptual kita. Menurut Capra, disinilah Mistisisme Timur memberikan jalan keluar untuk kita tidak perlu bingung lagi. Untuk ini, paradigma pengetahuan kita harus diubah, dari pengetahuan konseptual menuju kepada pengetahuan eksperimental, agar kita dapat langsung bertemu dengan realita itu sendiri. Pengetahuan eksperimental ini melampaui pengetahuan intelektual dan juga persepsi inderawi. Oleh karena itu, Capra 21 | P a g e



mengusulkan untuk menggabungkan kedua sistem pengetahuan. Dan Capra melihat bahwa sebenarnya, kedua sistem ini saling tumpang tindih di dua dunia (realm) tersebut. Disini Capra melangkah lebih jauh dengan meletakkan pengetahuan intuitif (intuitive knowledge)



di



atas



pengetahuan



rasional,



bahkan riset rasional. Memang kemudian, ia mengatakan bahwa wawasan intuitif tidak terpakai di dunia fisika, kecuali ia bisa diformulasikan di dalam kerangka kerja matematis, yang didukung dengan suatu penafsiran dalam bahasa yang gamblang. 4.



Natur yang holistik dan organik.



Fisika baru ini dimulai dengan keharusan kita mengadopsi pandangan yang lebih penuh, menyeluruh dan ‘organik’ terhadap natur. Untuk itu kembali Capra menekankan perlunya kita meninggalkan paradigma lama dari fisika klasik. Pada tingkat lanjut, Capra memasukkan konsep Panteisme dari Mistisisme Timur sebagai paradigma sains, yaitu memandang seluruh keberadaan sebagai keberadaan tunggal, yang menyatu dan tidak perlu dan tidak bisa diperbedakan lagi. Capra mengacu bahwa manusia sering tidak menyadari realita seperti ini, karena manusia selalu membagi-bagi dunia ini di dalam berbagai obyek dan peristiwa. Capra mengakui perlunya



pembagian



ini



untuk



menjalankan



kehidupan sehari-hari, tetapi itu semua bukanlah unsur fundamental dari realita. Capra melanjutkan bahwa sifat interkoneksi (saling berelasi dan bergantung) di dalam sains berkembang ke berbagai bidang, sampai ke parapsikologi. Dengan ini Capra melihat seluruh fenomena dunia ini bersifat semu, dan realita dasar pada hakekatnya tunggal. Realita sains bisa bersatu dengan dunia paranormal. Dengan penerimaan Panteisme dan Mistisisme merasuki dunia sains, maka seluruh realita materi kini dilihat sebagai realita yang hidup. Pergerakan elektron dalam molekul-molekul kayu diinterpretasikan sebagai kehidupan materi. Dengan lebih tajam lagi, dapat dikatakan bahwa benda-benda yang selama ini dianggap mati, kini dianggap hidup, bahkan setara dengan manusia. Gagasan ini memiliki implikasi yang luas. Urbanus Weruin, dalam makalah ilmiahnya, melihat bahwa memandang alam sebagai benda mati telah berakibat 22 | P a g e



fatal bagi ekologi. Manusia seolah-olah boleh mengeksploitasi alam semaunya. Sebagai alternatifnya, ia menyodorkan paradigma dari Mistisisme Timur untuk melestarikan lingkungan hidup. Memandang alam sebagai “makhluk hidup” bahkan setara dengan manusia, akan menjadikan manusia menyayangi alam dan bisa menyatu dengan alam. 5.



Seluruh realita sains tidak bertentangan



Karena semua realita pada dasarnya tunggal, maka tidak mungkin ada satupun fenomena yang bisa dipertentangkan. Semua dualism, seperti pagi dan petang, hidup dan mati, dsb. Haruslah dilihat hanya sebagai dua sisi dari satu realita tunggal.



Disini



seluruh



konsep



pembagian,



keteraturan,



keterbatasan,



kekhususan, tidak boleh lagi membatasi perkembangan pemikiran sains dan cara mengerti realita dunia ini. Capra berargumen, justru karena pemikiran akan struktur keteraturan, maka manusia tidak pernah bisa mengerti pergerakan elektron, sampai manusia menerima bahwa pergerakan elektron memang pergerakan yang tidak bisa diduga dan tidak pasti adanya. Capra juga menekankan bahwa di dalam paradigma Sains Modern ini, kekosongan dan kepenuhan (emptiness and form) bukan dua hal yang bertentangan lagi, tetapi lebih merupakan satu realita tunggal. PENERIMAAN PARADIGMA CAPRA Paradigma Capra mendapat sambutan dari banyak orang, karena paling tidak ia memberikan beberapa hal yang dapat dianggap positif bagi dunia sains khususnya dan dunia luas pada umumnya. Beberapa diantaranya, adalah: 1. Dukungan Hipotesa Relativitas Einstein Paradigma Newton dan Cartesian memang mendapatkan pukulan berat dan



jatuh dengan terbuktinya beberapa bagian dari hipotesa Einstein.



Hipotesa Einstein telah memaksa hukum mekanika Newton mengalami perbaikan jika ingin diterapkan kepada materi-materi yang bergerak dengan kecepatan sangat tinggi (seperti gerak elektron atau gelombang elektromagnetik). Akibatnya, dimensi ruang dan waktu yang menjadi batasan di dalam paradigma Newton, kini direlasikan menjadi suatu relasi relatif melalui hipotesa Einstein. Suksesnya perkembangan hipotesa Einstein di dalam memperkembangkan ilmiah nuklir (yang memang memiliki unsur pergerakan elektromagnetik dan 23 | P a g e



gerak elektron yang berkecepatan sangat tinggi), menjadikan hipotesa ini seolah-olah boleh disahkan menjadi suatu teori mekanika baru yang dapat diterapkan di semua bidang dan semua benda. Akibatnya, paradigma Newton dan Cartesian tidak mendapatkan tempat sama sekali di percaturan Sains Modern. 2. Manusia sebagai Pusat Dasar utama pemikiran paradigma baru ini adalah penolakan terhadap pandangan penciptaan dunia ini oleh Tuhan yang berdaulat. Einstein, Capra, menolak pandangan ini. Mereka berargumentasi bahwa dengan melihat alam ini sebagai ciptaan, maka alam menjadi materi yang mati yang terbatas dan terikat oleh hukum kausalitas. Sebagai alternatif, mereka memilih melihat manusialah dengan intuisinya menjadi pusat dari segala pemikian sains dan interpretasi alam. Disini semangat humanisme diangkat ke puncaknya. Pikiran ini sangat disenangi oleh masyarakat modern, yang memang pada hakekatnya memang sudah menolak Tuhan dan ingin mengembangkan pemikiran



humanisme



memungkinkan



manusia



setinggi-



tingginya.



memperkembangkan



Paradigma sains



Capra



sambil mencapai



tujuan humanisme-nya, dimana manusia tidak perlu mengakui Tuhan sebagai Pencipta Alam semesta atapun Pengatur pergerakan sejarah manusia. Paradigma Capra sekaligus menjunjung tinggi manusia ke posisi Tuhan. Manusialah yang menjadi penentu segala sesuatu. Intuisi (yang didukung dengan Mistisisme Timur) diagungkan sebagai dasar penentu pergerakan dan perkembangan sains (bahkan ke semua bidang ilmu). 3. Relativitas Paradigma Sains Dengan dobrakan Thomas Kuhn, dunia sains dituntut untuk meginterpretasi ulang perkembangan sejarahnya. Kuhn melihat bahwa sains bukanlah merupakan suatu pergerakan sinambung dari sains-normal (normal-science), tetapi lebih merupakan loncatan paradigma, sebagai akibat terjadinya revolusi-sains (science-revolution). Maka dunia sains merupakan dunia pergolakan teori-teori sains yang bergerak dari satu paradigma ke paradigma lain.



24 | P a g e



Teori Kuhn membuka wawasan untuk melihat sains sebagai teori yang senantiasa berkembang dan berubah, seturut paradigma yang mendasarinya. Dunia modern yang bersifat relatif sangat menyukai gagasan Kuhn ini. Dunia modern sudah mengalami traumatik akibat konsep kemutlakkan, yang dipegangnya sejak Pencerahan di abad ke XVII, gugur di dalam Perang Dunia I dan II. Semangat kemutlakkan berbalik menjadi semangat pragmatis dann relatif. Masyarakat modern menuduh keyakinan akan kemutlakkan yang telah menyebabkan timbulnya peperangan.



Sebaliknya,



semangat



relativitas



dan



pertikaian



dan



pragmatis akan



menolong manusia lebih luwes dan bersahabat. Semangat ini saling mempengaruhi timbal balik dengan timbulnya paradigma sains Capra. 4. Kehidupan Materi Sejak manusia meninggalkan Tuhan dan menuju ke Ateisme, maka tanpa sadar manusia mengalami kekeringan rohani. Selama sekitar satu abad manusia mencoba bertahan, tetapi pada akhirnya manusia mau tidak mau menyadari tidak terhindarnya manusia bertemu dengan realita metafisika. Namun, manusia tidak rela kembali kepada Tuhan, sehingga akhirnya mereka



lebih cenderung untuk mengadopsi Mistisisme Timur, yang



memberikan kepuasan metafisika, tanpa perlu mengakui Tuhan yang berdaulat dan manusia yang berdosa. Dengan menerima Mistisisme Timur, yang berkembang pesat di tengah pikiran Barat dari sejak sekitar tahun 1960an, paradigma sains Capra segera mendapatkan tempat pula. Bahkan dapat dikatakan Capra sendiri telah terlebih dahulu berpindah ke paradigma Mistisisme Timur, dan dengan paradigma itu ia merekonstruksi ulang seluruh teori sainsnya. Itu alasan paradigma sains Capra tidak mengalami kesulitan penerimaan di tengah masyarakat yang memang telah mempunyai paradigma yang sama. Di samping itu, rusaknya ekosistem, meluasnya polusi dan munculnya berbagai dampak negatif perkembangan teknologi modern, menjadikan manusia dengan senang hati berpindah ke paradigma Capra, yang dilandasi pikiran Mistisisme Timur. Pikiran Mistisisme Timur dianggap dapat membuat manusia lebih mencintai alam dan memperhatikan lingkungan. 25 | P a g e



Berbagai slogan, seperti “back to nature” mengajak masyarakat modern memandang alam sebagai kesatuan



dengan



dirinya



sendiri,



sehingga



manusia bisa lebih memelihara kelestarian lingkungannya. TINJAUAN KRITIS Namun, untuk begitu saja menerima paradigma Capra kita perlu mempertimbangkan beberapa hal secara serius. 1.Paradigma Capra sebagai Paradigma Gerakan Zaman Baru. Pendekatan Capra yang mengawinkan filsafat Barat dengan Mistisisme Timur dikenal saat ini sebagai perkembangan filsafat Barat yang terbaru, yang berkembang sejak tahun 1960- an hingga saat ini, yang diberi julukan Gerakan Zaman Baru (New Age Movement). Arus ini merupakan kelanjutan dari perkembangan filsafat Modernisme dan Pasca- Modernisme, yang kecewa pada pendekatan-pendekatan Barat selama ini. Mereka berasumsi bahwa pendekatan Barat telah gagal membawa manusia menuju kepada kebahagiaan dan kesejahteraan hidup yang seutuhnya. Oleh sebab itu, mereka mulai beralih dan mencoba mengawinkan



pikiran



mereka



dengan



pikiran



Timur,



yang



bersifat Mistis (Monistis dan Panteis). Dengan pengambilan langkah ini, jelas paradigma baru ini segera akan melawan seluruh konsep dan kebenaran Kristen, yang melihat Tuhan sebagai Pencipta Alam semesta, beserta segala isinya. Jika ditelusur secara mendalam, justru di dalam pembicaraan paradigma Capra ini, persoalan bergeser justru menjadi masalah verifikasi religius. Capra membawa dunia dan alam fisika ke dalam format mistik dan panteistik, dimana manusia akan dibawa melihat alam sebagai bagian atau diri Tuhan. Alam dan dunia fisika tidak lagi dilihat sebagai ciptaan Tuhan, yang dicipta menurut rancangan dan kehendak Tuhan, dan harus dipertanggung jawabkan kembali kepada Tuhan, melainkan sebagai alam yang bergerak bebas liar semaunya sendiri tanpa perlu keterikatan pada Penciptanya (karena tidak ada konsep pencipta dalam pikiran Capra). Alam juga tidak dilihat sebagai alam yang bersifat materi dan mati, tetapi dilihat sebagai “yang hidup,” sehingga alam tidak lagi di posisi bawah dari tatanan semesta dan hubungan antara Tuhan, manusia dan alam, tetapi menjadi sejajar, atau bahkan menggantikan



26 | P a g e



posisi Tuhan (karena posisi Tuhan ditiadakan). Jelas bahwa hal ini mendobrak total seluruh paradigma dasar sains yang seharusnya. 2.Rusaknya Definisi dan Metodologi Sains Sains atau ilmu pengetahuan alam, sesuai dengan namanya, merupakan penelitian atau penyelidikan manusia untuk mengerti alam dan semua gejala yang ada di dalamnya, sehingga dunia fisika ini bisa berguna bagi manusia. Untuk itu, beberapa dasar asumsi ditegakkan untuk membangun paradigma sains yang kukuh. Del Ratzsch, dalam bukunya Philosophy of Science, memberikan aspekaspek dasar ilmu pengetahuan, yaitu: (1) merupakan disiplin ilmu yang berunsur teoritis, (2) bersifat rasional, memiliki penjelasan natural, dan (3) bersifat obyektif dan terbukti secara empiris. Dengan ini, pendekatan ilmu pengetahuan alam (natural) haruslah dibatasi di wilayah yang empiris dan natural. Namun, jika diperhatikan secara seksama, paradigma Capra yang sudah diwarnai Mistisisme Timur, telah mencampurkan beberapa aspek yang sulit dikatakan ilmiah lagi. Capra telah mencampur dunia fisika dengan dunia metafisika dan ia juga mencampur antara hasil pengujian empiris dengan dugaan-dugaan metafisika (antara ilmiah sejati dengan ilmiah semu). Paham ini sebenarnya bukanlah hal yang baru, tetapi telah mengikuti perkembangan pemikiran Mistis, baik di Timur maupun di Barat, yang telah ditolak oleh Kekristenan. Benar sekali komentar ahli fisika, pemenang hadiah Nobel untuk bidang fisika, Steven Weinberg: “Meskipun sudah mengenal pengetahuan modern, tetapi setiap kali ada temuan atau ada sesuatu yang berhubungan dengan parapsikologi, masyarakat awam maupun ilmuwan beramai-ramai membicarakannya dan berusaha turut menyelidikinya. Ini namanya langkah mundur ke permulaan lagi. Pertanyaan yang kemudian muncul, dunia macam apakah yang kita diami sekarang ini?” Gejala ini dengan sendirinya menimbulkan kerisauan ilmiah. Del Ratzsch menyoroti percampuran dua dunia ini (sains dan mistis) mengakibatkan pencampuran dari dua pendekatan dan dua kenyataan yang berbeda. Pendekatan terhadap dunia metafisika seharusnya berbeda dengan 27 | P a g e



pendekatan terhadap dunia fisika. Dunia metafisika berada di luar wilayah ilmu pengetahuan fisika, sehingga harus diakui adanya keterbatasan di dalam wilayah ilmu pengetahuan fisika ini. Oleh karena itu, Ratzsch menekankan keterbatasan ilmu pengetahuan agar kebenaran ilmiah dapat tetap terjamin. Banyaknya distorsi yang telah dikemukakan Ratsch di dalam bukunya, mengharuskan ia menguraikan batasan ilmiah secara lebih teliti. Oleh sebab itu, di dalam bukunya ia mengemukakan apa yang ada di dalam dan di luar batasan ilmu pengetahuan. Ketika Capra menginterpretasi alam, paradigmanya telah menyesatkan kesimpulan yang didapatnya. Ketika ia menganggap reaksi alam sebagai “makhluk hidup” (living creature), Capra telah meloncat secara iman menurut konsep Mistisisme Timurnya. Kekacauan seperti ini akan menjadi bumerang yang menghancurkan dunia sains sendiri. 3. Rusaknya Batasan Sains Di dalam paradigma Sains-Mistis Capra, batasan menjadi kabur. Seolah-olah seluruh alam semesta menjadi tidak terbatas, penggunaan teori-teori atau hipotesa-hipotesa sains bisa diterapkan di segala bidang secara tanpa batas. Pengetahuan Sains-Mistis berasumsi bahwa hipotesa Einstein berlaku dan bisa diterapkan di semua materi, tanpa memperhitungkan keterbatasan sifat materi itu sendiri. Ketika mengacu kepada paradigma baru, Capra seolah berusaha menghapus sama sekali semua paradigma lama, padahal keadaan semacam itu tidak mungkin dilakukan (dan iapun di beberapa aspek mengakuinya). Dengan menyadari keterbatasan sains, maka sains akan mawas diri.Disini Capra sendiri mengalami dualisme yang ia tentang dan tidak mau dia akui. Pola sains yang dualistik dan kontadiktif seperti ini akan merusak pola sains sendiri, dan pada akhirnya akan merusak seluruh perkembangan ilmiah di masa yang akan datang. Ia akan merupakan faktor



perusak-diri-sendiri



(self-defeating



factor) yang akan meruntuhkan paradigma itu sendiri. H. PARADIGMA THOMAS KUHN Sepanjang berjalannya sejarah, berbagai pandangan epistemologis beserta outputnya yang berupa ilmu pengetahuan dianggap sebagai kebenaran absolute. 28 | P a g e



Kalangan ilmuwan meyakini bahwa mereka menjunjung dan berbagi nilai-nilai kebenran yang sama ketika meneliti sesuatu, sebab itu hasilnya yang berupa ilmu pengetahuan adalah sebuah kebenaran. Pandangan ini kemudian goncang ketika Thomas Kuhn mencecar dunia ilmiah dengan pandangannya yang tak lazim. Diantaranya tentang bias dan subyektivisme yang pasti terjadi dalam proses menghasilkan ilmu pengetahuan. Huhn yang lahir dengan nama Thomas Samuel Kuhn adalah putra dari Samuel l Kuhn dan Annette stroock. Ia dilahirkan pada 18 juli 1922 di Cincinnati, ohio amerika serikat. Dia mendapat gelar B.S di dalam ilmu fisika dari Harvard University pada tahun 1943 dan M.S. Pada tahun 1946. Khun belajar sebagai fisikawan namun baru menjadi pengajar setelah mendapatkan Ph.D dari Harvard pada tahun 1949. Tiga tahunnya dalam kebebasan akademik sebagai Harvard Junior Fellow sangat penting dalam perubahan perhatiannya dari ilmu fisika kepada sejarah(dan filsafat) ilmu. Dia kemudian diterima di Harvard sebagai asisten profesor pada pengajaran umum dan sejarah ilmu atas usulan presiden Universitas James Conant (Aprillin, 2010). Setelah meninggalkan Harvard dia belajar di Universtitas Berkeley di California sebagai pengajar di departemen filosofi dan sains. Dia menjadi profesor sejarah ilmu pada 1961. Di berkeley ini dia menuliskan dan menerbitkan bukunya yang terkenal The Structure Of Scientific Revolution pada tahun 1962. Pada tahun 1964 dia menjadi profesor filsafat dan sejarah seni di Princeton pada tahun 1964-1979. Kemudian di MIT sebagai professor filsafat. Tetap di sini hingga 1991(Muslih, 2004). Pada tahun 1994 dia mewawancarai Niels Bohr sang fisikawan sebelum fisikawan itu meninggal dunia. Pada tahun 1994, Kuhn didiagnostik dengan kanker dari Bronchial tubes. Dia meninggal pada tahun 1996 di rumahnya di Cambridge Massachusetts. Dia menikah dua kali dan memiliki tiga anak. Kuhn mendapat banyak penghargaan di bidang akademik. Sebagai contohnya dia memegang posisi sebagai Lowel lecturer pada tahun 1951, Guggeheim fellow dari 1954 hingga 1955, Dan masih banyak penghargaan lain (Muslih, 2004). Karya Kuhn cukup banyak, namun yang paling terkenal dan mendapat banyak sambutan dari filsuf ilmu dan ilmuan adalah The Structure of Scientific Revolution,sebuah buku yang terbit pada tahun 1962, dan direkomendasikan 29 | P a g e



sebagai bahan bacaan dalam kursus dan pengajaran berhubungan dengan pendidikan, sejarah, psikologi, riset dan sejarah serta filsafat sains. Kuhn menjelaskan tentang apa dan bagaimana sebuah ilmu pengetahuan terbentuk, dan bagaimana ilmu pengetahuan itu diyakini sebagai kebenaran oleh para ilmuan kembangkan serta kritik dari Kuhn mengenai hal-hal dan alasan tentang alternative yang bisa dilakukan beserta argumentasi yang ia bangun, antara lain adalah : 1. Ide tentang paradigm Paradigama adalah terma pokok Kuhn dalam bukunya the structure. Paradigma sering diartikan sebagai “cara berpikir” , “pendekata terhadap masalah”, “model, pola, ideal”, atau “dasar untuk menyeleksi problemproblem dan pola untuk memecakhan problem riset”. Kuhn menekankan bahwa



paradiga



tidak



dapat



disederhanakan



menjadi



sekelompok



kepercayaan atau daftar peraturan saja. Karena sesungguhnya para ilmuwan harus mempelajarinya dengan cara melakukannya, secara mental dengan berpikir tentang konsep yang digunakan dilapangan ilmu pengetahuan tertentu secara fisik dengan memanipulasi material untuk memunculkan fenomena. Kuhn berpandangan bahwa sejarah ilmu pengetahuan mudah dikenali sebagai periode stabil yang ia sebut sebagai normal science, Aktivitas yang terpisahpisah dan tidak terorganisasi yang mengawali pembentukan suatu ilmu akhirnya menjadi tersusun dan terarah pada suatu paradigma tunggal yang telah dianut oleh suatu masyarakat ilmiah, suatu paradigma yang terdiri asumsi-asumsi teoritis yang umum dari hukum-hukum serta teknik-teknik untuk penerapannya diterima oleh para anggota komunitas ilmiah, keadaan seperti inilah yang dikatakan dalam tahapan paradigma normal sains (Chalmers, 1983). Para ilmuan akan menjelaskan dan mengembangkan paradigma dalam usaha mempertanggung-jawabkan dan menjabarkan perilaku beberapa aspek yang relevan dengan dunia nyata ini, sebagaimana diungkapkan lewat hasil-hasil eksperimen. Physica karya Aristoteles, Almagest karya Ptolemaeus, Principia dan Opticks karya Newton, Electricity karya Franklin, Chemistry karya Lavoisier dan Geology karya Lyell, pencapaian mereka cukup baru belum pernah ada sebelumnya sehingga dapat menghindarkan kelompok penganut 30 | P a g e



yang kekal dari mempersaingkan cara melakukan kegiatan ilmia (Kuhn, 1989). Ilmuan-ilmuan yang risetnya didasarkan atas paradigma bersama terikat pada kaidah-kaidah dan standar-standar praktek ilmiah yang sama. Contoh konsep yang disepakati pada tahapan normal sains ini adalah pada abad ke-18 paradigma disajikan tentang Optik karya Newton yang mengajarkan bahwa cahaya adalah partikel yang sangat halus yang diterima oleh komunitas ilmiah pada zaman tersebut(Kuhn, 1989). Dari penjelasan di atas bisa dikatakan pada tahap ini tidak terdapat sengketa pendapat mengenai hal-hal fundamental di antara para ilmuan, sehingga paradigma tunggal diterima oleh semuanya. Paradigma tunggal yang telah diterima tersebut dilindungi dari kritik dan falsifikasi sehingga ia tahan dari berbagai kritik dan falsifikasi. Hal ini menjadi ciri yang membedakan antara normal science dan pra science (Chalmers, 1983). Menurut muslih (2004), normal science melibatkan usaha terperinci dan terorganisasi untuk menjabarkan paradigma dengan tujuan memperbaiki keseimbangannya dengan alam (fenomena) dengan memecahkan teka-teki science, baik teka-teki teoritis maupun teka-teki eksperimental. Teka-teki teoritis meliputi perencanaan dan mengembangkan asumsi yang sesuai untuk penerapan status hokum Teka-teki eksperimental meliputi perbaikan keakuratan observasi dan pengembangan teknik eksperimen sehingga mampu menghasilkan pengukuran yang dapat dipercaya. Dalam tahap normal science ini terdapat tiga fokus bagi penelitian sain faktual, yaitu : a) Menentukan fakta yang penting b) Menyesuaikan fakta dan teori. Upaya menyesuaikan fakta dengan teori ini lebih nyata ketergantungannya pada paradigma. Eksistensi paradigma itu menetapkan dan menyusun masalah-masalah yang harus dipecahkan; ( seringkali paradigma itu secara implisit terlibat langsung di dalam desain peralatan yang mampu memecahkan masalah tersebut ). c) Mengartikulasikan teori paradigma dengan memecahkan beberapa ambiguitasnya yang masih tersisa dan memungkinkan pemecahan masalah yang sebelumnya hanya menarik perhatian saja (Yudi, 2010) 31 | P a g e



2.



Kritik atas ambiguitas terma paradigma a) Ide tentang revolusi ilmu pengetahuan Kuhn melawan konsepsi yang lebih umum, dengan menyataka bahwa ilmuan sesungguhnya adalah sosok pemikir yang tidak obyektif dan tidak independen. Bahkan mereka adalah individu konservatif yang menerima apa yang telah mereka pelajari dan menggunakan apa yang mereka ketahui untuk menyelesaikan suatu persoalan sesuai apa yang dituntun oleh teori. Mereka secara mendasar adalah puzzle solver atau pemecah puzzle yang bertujuan untuk menyingkap ulang apa yang telah mereka ketahui lebih lanjut. Mereka adalah orang yang berusaha keras untuk memecahkan masalah dengan panduan pengetahuan dan teknik yang sudah ada. Kuhn menyatakan bahwa normal scoence sesungguhnya melemahkan fondasi keilmuan sendiri. Ia menyatakan bahwa penelitian tidka ditunjukan untuk menyingkap apa yang belum diketahui, tatapi sebagai bentuk pengabdian yang dipaksakan atas kerangka konseptual yang diberikan pendidik



professional. b) Kritik atas ide tentang revolusi ilmu pengetahuan Perubahan pada ilmu pengetahuan secara praktis dan realistis adalah revisi secara bertahap dan berkali-kali, bukan seperti apa yang dicontohkan di The Structure yang berupa revolusi yang dramatis dan radikal. c) Ide tentang incommensurability Untuk menguatkan klaim bahwa tidak ada piranti percobaan dan penelitian yang dapat membantu ilmuwan untuk menentukan paradigma mana yang benar, Kuhn memberikan argument bahwa percobaan gestalt menampilkan bagaimana sangat dimungkinkan seorang ilmuwan melihat dunia dengan pandangan yang begitu berbeda setelah mengganti paradigma. d) Kritik terhadap incommensurability Kritik kordig menyatakan bahwa tesis Kuhn tentang incommensurability sangat radikal sehingga hal ini membuat tidak mungkin untuk menjelaskan konfrontasi atas teori-teori ilmiah yang sering muncul. Pada fakta amatlah dimungkinkan revolusi dan perpindahan paradigma pada 32 | P a g e



ilmu pengetahuan dan masih dimungkinkan ketika hal itu terjadi, sebuah teori yang berdasar paradigma yang berbeda dapat dibandingkan dan dikonfrontasikan dalam rangka penelitian. Mereka yang mendukung tesis incommensurability seharusnya membatalkan dukungannya karena mereka sesungguhnya mengakui atas ketidak berlanjutan berbagai paradigma, sebab mereka memaksakan perubahan radikal pada hal 3.



tersebut. Kritik-kritik lain atas the structure a) Symposium mengenai the structure Kritik dari symposium diantaranya berdasarkan presentasi simposion



disamping juga beberapa esai. b) The structure sangat eropasenteis Arun bala menyatakan bahwa the structure sangat kental dengan nuansa eropasentris sebagai sebuah karya keilmuan, walaupun disisi tertentu membuka pintu untuk peran multicultural dalam studi sejarah keilmuan. 4. Dukungan atas ide-ide Kuhn a) Massimiano Bucchi Ia menyatakan bahwa munculnya paradigma menjadi sinyal bahwa sector penelitian yang bersifat kosolifatif perlu menjadi sebuah disiplin ilmiah. Pendapatnya pula bahwa sains dan paradigma secara efektif sama, karena sesungguhnya paradigmaadalah konsensus kolektif dari definisi yang tidak lain merupakan sebuah ilmu pengetahuan. b) Peter Dear Ia membela secara khusus filosofis Kuhn dimana sejarawan ilmu selalu menghindari prasangka. c) Alexander Bird Ia berpendapat teori Kuhn adalah teori asli. Ia berpendapat adanya dua dampak dari teori Kuhn terhadap ilmu-ilmu sosial yaitu ;  Perubahan dalam diri ilmu sosial-persepsi  Saran peran baru dan materi untuk ilmu-ilmu social Disamping kritik dan dukungan terhadap karya Kuhn, The Structure of Science



Revolutions,



ada



baiknya



untuk



berhati-hati



memilah



argumentasi yang dibangun Kuhn di dalamnya, agar tidak terjatuh pada pemikiran “tidak ada kebenaran absolut” dan terjebak dalam ranah relativisme. Karena sesungguhnya, karya Kuhn justru secara implisit mengakui adanya sebuah absolutitas dalm dunia keilmuan. 33 | P a g e



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Ilmu-ilmu yang dimiliki oleh manusia berhubungan satu sama lain, dan tolok ukur keterkaitan ini memiliki derajat yang berbeda-beda. Sebagian ilmu merupakan asas dan pondasi bagi ilmu-ilmu lain, yakni nilai dan validitas ilmuilmu lain bergantung kepada ilmu tertentu, dan dari sisi ini, ilmu tertentu ini dikategorikan sebagai ilmu dan pengetahuan dasar. Epistemologi (teori pengetahuan) mengkaji seluruh tolok ukur ilmu-ilmu manusia, termasuk ilmu logika dan ilmu-ilmu manusia yang bersifat gamblang, merupakan dasar dan pondasi segala ilmu dan pengetahuan. Walaupun ilmu logika dalam beberapa bagian memiliki kesamaan dengan epistemologi, akan tetapi, ilmu logika merupakan ilmu tentang metode berpikir dan berargumentasi yang benar, diletakkan setelah epistemologi. Metode dalam memperoleh pengetahuan adalah empirisme, rasionalisme, fenomenalisme, dan intusionisme. Persoalan epistemologi sangat dipandang serius sedemikian sehingga filosof Yunani, Aristoteles, berupaya menyusun kaidah-kaidah logika sebagai aturan dalam berpikir dan berargumentasi secara 34 | P a g e



benar yang sampai sekarang ini masih digunakan. Lahirnya kaidah itu menjadi penyebab berkembangnya validitas akal dan indra lahir sedemikian sehingga untuk kedua kalinya berakibat memunculkan keraguan terhadap nilai akal dan indra lahir di Eropa, dan setelah Renaissance dan kemajuan ilmu empiric. B. Saran Dalam makalah ini sebenarnya kami belum terlalu memuat berbagai pengetahuan, masih banyak kekurangan yang kami bahas dalam makalah ini, oleh karena itu kami sebagai pembuat makalah meminta, jangan hanya membaca atau berfokus pada makalah yang kami buat ini, masih banyak referensi-referensi yang berbobot dalam menguraikan penjelasan sesuai judul dalam makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA Fautanu,Idzam. 2012. ” Filsafat Ilmu : Teori dan Aplikasi”, Jakarta : Referensi Subeno, Sutjipto. “Paradigma Sains-Mistis Fritjof Capra”, Jakarta: STTRII, 1995 (tidak diterbitkan)



35 | P a g e