Makalah Epistimologi, Ontologi Dan Aksiologi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH PENGANTAR ILMU FILSAFAT “TATARAN KEILMUAN (EPISTEMOLOGI, ONTOLOGI, AKSIOLOGI)”



DOSEN PEMBIMBING Dr SIGIT SARDJONO, MS



DISUSUN OLEH



ELLY WIDYOWATI



(1221900174) /AKUNTANSI



ANITA SURYAWATI



(1221900158) /AKUNTANSI



YULIANA WATI



(1211508540) /MANAJEMEN



IDA RAHMAWATI



(1211508562) /MANAJEMEN



FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA 2019



DAFTAR ISI



DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii KATA PENGANTAR ........................................................................................ iii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ..........................................................................................1 B. Rumusan Masalah.....................................................................................1 C. Tujuan .......................................................................................................2 BAB II PEMBAHASAN A. Epistimologi ..............................................................................................3 B. Ontologi ....................................................................................................6 C. Aksiologi...................................................................................................9 BAB III KESIMPULAN ....................................................................................13 DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................14 PERTANYAAN .................................................................................................15



ii



KATA PENGANTAR



Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Tataran Keilmuan (Epistemologi, Ontologi Dan Aksiologi)“ Penulis memohon maaf jika masih banyak terdapat kekurangan pada makalah ini. Kritik dan saran membangun sangat berarti untuk kemajuan penulis. Semoga makalah ini bermanfaat sebagai sumber belajar bagi penulis dan pembaca.



Surabaya, 04 November 2019



Penulis



iii



1



BAB I PENDAHULUAN



A. LATAR BELAKANG Dalam perjalanan sejarah manusia, pemikiran filosofis senantiasa berkembang. Hal itu dikarenakan pemikiran merupakan hal yang paling mendasar dalam kehidupan manusia, bahkan merupakan ciri khas manusia. Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari anugerah akal yang dimiliki oleh manusia. Pemikiran filosofis sebagai induk dari semua ilmu. Di antara corak pemikiran manusia adalah pengetahuan tentang wujud, awal bermulanya hingga akhirnya. Oleh karena itu, buah pemikiran dari manusia melahirkan berbagai macam aliran dalam filsafat yakni, aliran empirisme, rasionalisme, idealisme, pragmatisme, eksistensialisme, positivisme, vitalisme, strukturalisme, post-strukturalisme dan lain-lain. Selain itu, permasalahan yang menjadi objek kajian (pembahasan) dalam filsafat mengalami perkembangan yang signifikan. Filsafat tidak hanya berhenti pada permasalahan wujud, tetapi juga merambah pada pembahasan berkenaan dengan ilmu. Selain itu, filsafat juga menyentuh tataran praktis, terutama berkaitan dengan moral. Perkembangan tersebut merupakan implikasi logis dari perkembangan pola pikir manusia itu sendiri. Hal tersebut tidak lain merupakan upaya untuk menemukan “kebenaran”. Pencarian terhadap kebenaran seiring dengan tujuan dari filsafat itu sendiri, yakni untuk mencari kebenaran yang hakiki. Dengan kata lain, mengetahui segala sesuatu yang ada sebagaimana adanya (problem ontologis). Tiga problem filosofis inilah —ontologi, epistemologi dan aksiologi— yang hingga kini masih menimbulkan perdebatan. Hal itu dikarenakan masing-masing aliran filsafat memiliki sudut pandang tersendiri berkaitan dengan ketiga hal tersebut. Oleh karena itu, pembahasan mengenai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi topic penting pembahasan penting dalam dunia Filsafat. Hal inilah yang menjadi alasan bagi penulis untuk mengetengahkan pembahasan tersebut dalam makalah ini.



B. RUMUSAN MASALAH



2



Dari uraian diatas, maka kami akan mengemukakan beberapa permasalahan pokok yang berkaitan dengan materi sebagai berikut : 1. Bagaimana tinjauan Epistemologi mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan? 2. Bagaimana tinjauan Ontologi mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan? 3. Bagaimana tinjauan Aksiologi mengenai sekularisasi ilmu pengetahuan?



C. TUJUAN Adapun tujuan penbuatan makalah ini adalah : Membahas tentang dimensi kajian filsafat ilmu yang terbagi menjadi tiga poin utama, sehingga diharapkan dapat memahami pentingnya ilmu dalam kehidupan umat manusia.



3



BAB II PEMBAHASAN



Muara ilmu pengetahuan adalah filsafat ilmu (sciences of mother), demikian pula dalam ilmu hukum, bahwa ilmu hukum tidak dapat melepaskan diri dari ketiga kodrati besar yakni logika, etika dan estetika. Filsafat terhadap objek matrilnya; logika, etika dan estetika, yaitu akal untuk logika, budi untuk etika dan rasa untuk estetika. Socrates pernah berkata ; bahwa tugas filsafat bukan menjawab pertanyaan yang diajukan, melaikan mempersoalkan jawaban yang diberikan. Karenanya, penjelasan dalam filsafat meliputi ajaran ontologis (ajaran tentang hakekat), aksiologis (ajaran tentang nilai), ajaran epistimologis (ajaran tentang pengetahuan) serta ajaran teologis (ajaran tentang tujuan) untuk memperjelas secara mendalam sejauh dimungkinkan oleh pencapaian pengetahuan. Sebelum kita masuk dalam cangkupan filsafat hukum dan objek materiil filsafat hukum, telah dikatakan bahwa setiap objek matriil dari suatu disiplin ilmu pengetahuan bisa saja sama dengan objek matriil ilmu pengetahuan lain, sehingga pokok



bahasannya



saling bertumpang-tindih (covergency). Oleh



karenanya



terhadap filsafat hukum; ilmu hukum pidana, hukum acara pidana, hukum perdata, hukum acara perdata, hukum tata usaha negara, hukum administrasi negara, disamping yang lainnya, sama-sama membahas hukum sebagai objek matrilnya juga selalu bertumpang tindih oleh sebab itu disebut juga sebagai ilmu-ilmu hukum. Berkenaan dengan itu, Satjipto Rahadjo (1982 : 321) memberikan penjelasan tentang pengertian filsafat hukum terhadap objeknya yakni ; filsafat hukum itu mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat mendasar dari hukum. Gustav Radbruch (1952) merumuskannya dengan sederhana, yaitu bahwa filsafat hukum itu adalah cabang filsafat yang mempelajari hukum yang benar, sedangkan Langemeyer (1948) menyatakan pembahasan secara filosofis tentang hukum. Dengan demikian pengertian filsafat hukum pada tataran ontologi, epistimologi dan aksiologi, bahwa filsafat hukum bertujuan untuk mempelajari bagaimana filsafat digunakan untuk menemukan hukum secara hakiki.



A. Epistimologi



4



Pada tataran Epistimologi dalam filsafat hukum, akan mempersoalkan darimana unsur-unsur hukum itu datang (ada), selanjutnya bagaimana orang dapat memperoleh pengetahuan hukum dan bagaimana orang dapat merumuskan tentang struktur pengetahuan tentang ilmu-ilmu hukum. Untuk ilmu pengetahuan hukum, lahirlah pertanyaan mendasar yakni, untuk apa penggunaan hukum, apa batasan wewenang penelitian (jangkauan) hukum dan bagaimana hukum raharus diarahkan, serta bagaimana kita dapat memperoleh jaminan-jaminan hak dan kewajiban hukum pada taraf yang wajar. Sebagai suatu sistem ajaran, maka disiplin ilmu hukum mencangkup antara lain; pertama, ajaran yang menentukan apa yang



seharusnya dilakukan,



(preskriptif), dan yang kedua, yang senyatanya dilakuakan (deskriptif) didalam hidup. Sedangkan unsur-unsur hukum mencangkup unsur-unsur idiil serta unsurunsur riil. Epistimologi filsafat hukum berusaha membuat “dunia etis yang menjadi latar belakan yang tidak dapat diubah oleh panca indra”, sehingga filsafat hukum (pada tataran epistimologinya), menjadi suatu ilmu normatif , seperti halnya dengan ilmu politik hukum. Aspek epistimologi dalam filsafat hukum, berusaha untuk menyatakan bahwa unsu-unsur hukum merupakan objek pengetahuan ilmu hukum yang senantiasa teliti perkembangan dan persesuaiannya terhadap kondisi ruang dan waktunya dimana hukum diberlakukan serta segala sesuatu yang dapat mempengaruhi hubungan-hubungan hukum. Kajian epistemologi membahas tentang bagaimana proses mendapatkan ilmu pengetahuan, hal-hal apakah yang harus diperhatikan agar mendapatkan pengetahuan yang benar, apa yang disebut kebenaran dan apa kriterianya. Objek telaah epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang, bagaimana kita mengetahuinya, bagaimana kita membedakan dengan lainnya, jadi berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu mengenai sesuatu hal. Jadi yang menjadi landasan dalam tataran epistemologi ini adalah proses apa yang memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika, bagaimana cara dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni, apa yang disebut dengan kebenaran ilmiah, keindahan seni dan kebaikan moral.



5



Dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang dapat diandalkan tidak cukup dengan berpikir secara rasional ataupun sebaliknya berpikir secara empirik saja karena keduanya mempunyai keterbatasan dalam mencapai kebenaran ilmu pengetahuan. Jadi pencapaian kebenaran menurut ilmu pengetahuan didapatkan melalui metode ilmiah yang merupakan gabungan atau kombinasi antara rasionalisme dengan empirisme sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi. Banyak pendapat para pakar tentang metode ilmu pengetahuan, namun penulis hanya memaparkan beberapa metode keilmuan yang tidak jauh beda dengan proses yang ditempuh dalam metode ilmiah. Metode ilmiah adalah suatu rangkaian prosedur tertentu yang diikuti untuk mendapatkan jawaban tertentu dari pernyataan yang tertentu pula. Epistemologi dari metode keilmuan akan lebih mudah dibahas apabila mengarahkan perhatian kita kepada sebuah rumus yang mengatur langkah-langkah proses berfikir yang diatur dalam suatu urutan tertentu . Kerangka dasar prosedur ilmu pengetahuan dapat diuraikan dalam enam langkah sebagai berikut: a. Sadar akan adanya masalah dan perumusan masalah b. Pengamatan dan pengumpulan data yang relevan c. Penyusunan atau klarifikasi data d. Perumusan hipotesis e. Deduksi dari hipotesis f. Tes pengujian kebenaran (Verifikasi)



Keenam langkah yang terdapat dalam metode keilmuan tersebut masingmasing terdapat unsur-unsur empiris dan rasional. Menurut AM. Saefuddin bahwa untuk menjadikan pengetahuan sebagai ilmu (teori) maka hendaklah melalui metode ilmiah yang terdiri atas dua pendekatan: Pendekatan deduktif dan Pendekatan induktif. Kedua pendekatan ini tidak dapat dipisahkan dengan menggunakan salah satunya saja, sebab deduksi tanpa diperkuat induksi dapat dimisalkan sport otak tanpa mutu kebenaran, sebaliknya induksi tanpa deduksi menghasilkan buah pikiran yang mandul.



6



Proses metode keilmuan pada akhirnya berhenti sejenak ketika sampai pada titik “pengujian kebenaran” untuk mendiskusikan benar atau tidaknya suatu ilmu. Ada tiga ukuran kebenaran yang tampil dalam gelanggang diskusi mengenai teori kebenaran, yaitu teori korespondensi, koherensi dan pragmatis. Penilaian ini sangat menentukan untuk menerima, menolak, menambah atau merubah hipotesa, selanjutnya diadakanlah teori ilmu pengetahuan.



B. Ontologi



Sebelum kita masuk pada cangkupan dan kajian aspek ontologi filsafat hukum, maka kita perlu meletakan fungsi ontologi. Ajaran ontologi dalam filsafat ilmu, tidak membatasi jangkauannya hanya pada suatu wujud tertentu. Penelusuran ontologi mengkaji apa yang merupakan keseluruhan yang ada secara objektif ditangkap oleh panca indra, yaitu pada taraf metafisika akan mengkaji dan membicarakan problem watak yang sangat mendasar dari benda atau realitas yang ada dibelakang pengalaman yang langsung secara koperhensif, oleh karena itu, ontologi akan mencari dan mengkaji serta membicarakan watak realitas tertinggi (hakekat) atau wujud (being). Noeng Muhajir berpandangan bahwa objek telaah ontologi adalah yang ada tidak terikat pada sesuatu perwujudan tertentu, ontologi membahas tentang yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam semua bentuknya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa titik tolak kajian ontologi dalam filsafat ilmu akan mempersoalkan; apa objeknya, bagaimana hakekat dari keberadaan (wujud) objek tersebut, serta bagaimana perhubungan objeknya terhadap jangkauan penalaran (pikiran) dan deteksi panca indara manusia. Aspek Ontologi Filsafat Hukum, berusaha untuk menemukan objeknya, bagaiman kita dapat memahami wujud hukum yang sesungguhnya (makna tertinggi), sementara kita hanya mempersoalkan bahwa hukum harus “begini” dan hukum harus “begitu”, tanpa melihat apa sesungguhnya dari objek hukum itu sendiri. Dengan kata lain, filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Demikian pula menurut Abdul Ghafur Anshori bahwa objek filsafat hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai pada inti



7



atau dasarnya, yang disebut sebagai hakikat. Mengingat objek filsafat hukum adalah hukum, maka permasalahan dan pertanyaan yang dibahas oleh filsafat hukum itupun antara lain berkisar pada apa yang telah diuraikan diatas, seperti hubungan hukum dengan kekuasaan, hubungan hukum kodrat dan hukum positif, apa sebab orang mentati hukum, apa tujuan hukum, sampai pada masalah-masalah filsafat hukum yang ramai dibicarakan saat ini oleh sebahagian orang disebut sebagai masalah filsafat hukum kontemporer meskipun itu belum tentu benar, oleh karena masalah tersebut jauh sejak dulu telah diperbincangkan. Para filsuf terdahulu menjadikan tujuan hukum sebagai objek dalam kajian filsafat hukum. Objek pembahasan filsafat hukum bukan hanya tujuan hukum, melainkan masalah hukum yang mendasar sifatnya yang muncul didalam masyarakat yang memerluka suatu pemecahan, karena perkembangan filsafat hukum saat ini bukan lagi filsafat hukum para fisuf zaman yunani dan romawi. Pemikiran filsafat hukum selalu berupaya dinamis menembus permsalahan yang bersinggungan hukum, dan secara terus menerus mencari jawaban debalik apa yang telah tertuntaskan (ultimate). Pandangan fisafat hukum juga tidak secara langsung mempersoalkan hukum positif sebagai objek yang inti. Adalah Gustav Radbruch dengan tesis “Tiga Nilai Dasar Hukum”, yaitu Keadilan, Kegunaan dan Kepastian Hukum Oleh karena filsafat hukum secara ontologi bekerja diluar jangkauan yang mengikat. Ontologi filsafat hukum, pada prinsipntnya tidak hanya melihat hukum sebagai objeknya melainkan segala pola perilaku manusia, dasar dimana timbal balik hak dan kewajiban (manusia) berperan, serta hubungan timbal balik antara manusia dengan alam sekitarnya yang berkemungkinan bersentuhan (perlindungan) dengan kewajiban negara, pemerintah dan masyarakat. Menurut hemat kami, bahwa yang dimaksudkan dengan objek filsafat hukum yaitu, hak dan kewajiban, keadilan, perlindungan/pencegahan. Ditinjau dari segi ontologi, ilmu membatasi diri pada kajian yang bersifat empiris. Objek penelaah ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hal-hal yang sudah berada diluar jangkauan manusia tidak dibahas oleh ilmu karena tidak dapat dibuktikan secara metodologis dan empiris, sedangkan ilmu itu mempunyai ciri tersendiri yakni berorientasi pada dunia empiris.



8



Berdasarkan objek yang ditelaah dalam ilmu pengetahuan dua macam: 1. Obyek material (obiectum materiale, material object) ialah seluruh lapangan atau bahan yang dijadikan objek penyelidikan suatu ilmu. 2. Obyek Formal (obiectum formale, formal object) ialah penentuan titik pandang terhadap obyek material.



Untuk mengkaji lebih mendalam hakekat obyek empiris, maka ilmu membuat beberapa asumsi (andaian) mengenai objek itu. Asumsi yang sudah dianggap benar dan tidak diragukan lagi adalah asumsi yang merupakan dasar dan titik tolak segala pandang kegiatan. Asumsi itu perlu sebab pernyataan asumtif itulah yang memberikan arah dan landasan bagi kegiatan penelaahan. Ada beberapa asumsi mengenai objek empiris yang dibuat oleh ilmu, yaitu: Pertama, menganggap objekobjek tertentu mempunyai kesamaan antara yang satu dengan yang lainnya, misalnya dalam hal bentuk, struktur, sifat dan sebagainya. Kedua, menganggap bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Ketiga, determinisme yakni menganggap segala gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Asumsi yang dibuat oleh ilmu bertujuan agar mendapatkan pengetahuan yang bersifat analitis dan mampu menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang tertangguk dalam pengalaman manusia. Asumsi itupun dapat dikembangkan jika pengalaman manusia dianalisis dengan berbagia disiplin keilmuan dengan memperhatikan beberapa hal; Pertama, asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin keilmuan. Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis. Kedua, asumsi harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya” bukan “bagaimana keadaan yang seharusnya”. Asumsi pertama adalah asumsi yang mendasari telaah ilmiah, sedangkan asumsi kedua adalah asumsi yang mendasari moral. Oleh karena itu seorang ilmuan harus benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda maka berbeda pula konsep pemikiran yang dipergunakan. Suatu pengkajian ilmiah hendaklah dilandasi dengan asumsi yang tegas, yaitu tersurat karena yang belum tersurat dianggap belum diketahui atau belum mendapat kesamaan pendapat.



9



Pertanyaaan mendasar yang muncul dalam tataran ontologi adalah untuk apa penggunaan pengetahuan itu? Artinya untuk apa orang mempunyai ilmu apabila kecerdasannya digunakan untuk menghancurkan orang lain, misalnya seorang ahli ekonomi yang memakmurkan saudaranya tetapi menyengsarakan orang lain, seorang ilmuan politik yang memiliki strategi perebutan kekuasaan secara licik.



C. Aksiologi



Yang menjadi objek kajian filsafat pada tataran aksiologi adalah bagaimana manusia dalam penerapan pengetahuan itu, dapat mengklasifikasinya, tujuan pengetahuan dan perkembangannya. Pada taraf tertinggi, aksilogi filsafat hukum akan mempersoalkan bagaiman hukum itu berfungsi secara ideal. Nilai, azas dan norma (azas objektif hukum yang bersifat moral, Azas objektif hukum yang bersifat Rasional, dan Azas subjektif hukum yang bersifat Moral dan Rasional) yang merupakan unsur-unsur hukum. Pengertian azas hukum adalah prinsip-prinsip yang dianggap dasar atau fundamen hukum atau pengertian dan nilai-nilai yang menjadi titik tolak pembentukan undang-undang dan interpretasi undang-undang atau prinsip-prinsip yang merupakan kedudukannya yang lebih tinggi dari pada hukum yang ditentukan manusia. Aksiologi filsafat hukum pada kebanyakan (masyarakat) umumnya dikenal dengan peranan hukum, dimana dasar keadilan dan kepastian hukum menjadi pilar yang seyogianya ditopang dengan segenap keseimbangan hukum. Tidak bermaksud untuk memadukan antara aksiologi filsafat hukum dan penemuan hukum, namun pada kausalitasnya penerapan hukum, unsur-unsur penemuan hukum merupakan kosekwesi dari penerapan hukum secara empirik. Sudikno Mortokusumo berpandangan bahwa, jikalau mencari hukumnya, arti sebuah kata maka dicari terlebih dahulu dalam undang-undang, karena undang-undang bersifat autentik, berbentuk tertulis, dan menjamin kepastian hukum. Nilai (value) merupakan salah satu cabang filsafat yaitu axiologi (filsafat nilai). Nilai biasanya digunakan untuk menunjukan kata benda yang abstrak yang dapat dinyatakan sebagga keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Demikian pula, Bahanuddin Salam menyatakan bahwa, melalui teori pengetahuan kita sudah sampai pada teori nilai yaitu teori yang



10



menyelidiki proses dan isi penilaian yaitu proses-proses yang mendahului, mengiringkan malahan menentukan semua kelakuan manusia. Oleh karena, hukum dalam tataran aksiologi filsafat hukum pada fase ketiga tahapan pembedahan hukum (Fungsi Filsafat Hukum) maka, keadilan hukum, kepastian hukum, jaminan hak dan kewajiban serta hubungan-hubungan hukum merupakan ruang bersekutunya unsur-unsur hukum, yang menjadi alasan objektif ke-dinamisasian hukum itu berproses. Berkaitan dengan etika, moral, dan estetika, ilmu itu dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok : 1. Ilmu Bebas Nilai Dalam tahap perkembangan ilmu ini berada pada ambang kemajuan karena pikiran manusia tak tertundukkan pada akhirnya ilmu menjadi suatu kekuatan sehingga terjadilah dehumanisasi terhadap seluruh tatanan hidup manusia. Menghadapi fakta seperti ini ilmu pada hakekatnya mempelajari alam dengan mempertanyakan yang bersifat seharusnya, untuk apa sebenarnya ilmu itu dipergunakan, dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan dan ke arah mana perkembangan keilmuan ini diarahkan. Pertanyaan ini jelas bukan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuan seangkatannya, namun ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah dua kali mengalami perang dunia dan bayangan perang dunia ketiga. Pertanyaan ini tidak dapat dielakkan dan untuk menjawab pertanyaan ini maka ilmu berpaling kepada hakekat moral. Masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat destruktif para ilmuan terbagi dalam dua pendapat. Golongan pertama menginginkan ilmu netral dari nilai-nilai baik secara ontologis, epistemologis, maupun aksiologis. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu hanya terbatas pada metafisik keilmuan, namun dalam penggunaannya harus berlandaskan pada moral. Dari pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa, ilmu yang dibangun atas dasar ontologi, epistemologi dan aksiologi haruslah berlandaskan etika sehingga ilmu itu tidak bebas nilai. 2. Teori tentang nilai Pembahasan tentang nilai akan dibicarakan tentang nilai sesuatu, nilai perbuatan, nilai situasi, dan nilai kondisi. Segala sesuatu kita beri nilai.



11



Pemandangan indah, akhlak anak terhadap orang tuanya dengan sopan santun, suasana lingkungan dengan menyenangkan dan kondisi badan dengan nilai sehat. Ada perbedaan antara pertimbangan nilai dengan pertimbangan fakta. Fakta berbentuk kenyataan, ia dapat ditangkap dengan pancaindra, sedang nilai hanya dapat dihayati. Walaupun para filosof berbeda pandangan tentang defenisi nilai, namun pada umumnya menganggap bahwa nilai adalah pertimbangan tentang penghargaan. Pertimbangan fakta dan pertimbangan nilai tidak dapat dipisahkan, antara keduanya karena saling memengaruhi. Sifat-sifat benda yang dapat diamati juga termasuk dalam penilaian. Jika fakta berubah maka penilaian kita berubah ini berarti pertimbangan nilai dipengaruhi oleh fakta. Fakta itu sebenarnya netral, tetapi manusialah yang memberikan nilai kedalamannya sehingga ia mengandung nilai. Karena nilai itu maka benda itu mempunyai nilai. Namun bagaimanakah criteria benda atau fakta itu mempunyai nilai. Teori tentang nilai dapat dibagi menjadi dua yaitu nilai etika dan nilai estetika, Etika termasuk cabang filsafat yang membicarakan perbuatan manusia dan memandangnya dari sudut baik dan buruk. Adapun cakupan dari nilai etika adalah: Adakah ukuran perbuatan yang baik yang berlaku secara universal bagi seluruh manusia, apakah dasar yang dipakai untuk menentukan adanya norma-norma universal tersebut, apakah yang dimaksud dengan pengertian baik dan buruk dalam perbuatan manusia, apakah yang dimaksud dengan kewajiban dan apakah implikasi suatu perbuatan baik dan buruk. Nilai etika diperuntukkan pada manusia saja, selain manusia (binatang, benda, alam) tidak mengandung nilai etika, karena itu tidak mungkin dihukum baik atau buruk, salah atau benar. Contohnya dikatakania mencuri, mencuri itu nilai etikanya jahat. Dan orang yang melakukan itu dihukum bersalah. Tetapi kalau kucing mengambil ikan dalam lemari, tanpa izin tidak dihukum bersalah. Yang bersalah adalah kita yang tidak hati-hati, tidak menutup atau mengunci pintu lemari. Adapun estetika merupakan nilai-nilai yang berhubungan dengan kreasi seni, dan pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan seni atau kesenian. Kadang estetika diartikan sebagai filsafat seni dan kadang-kadang prinsip yang berhubungan dengan estetika dinyatakan dengan keindahan.



12



Uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa penilaian baik dan buruk terletak pada manusia itu sendiri. Namun dalam Islam penilaian baik dan buruknya sesuatu mempunyai nilai yang universal yaitu al-Qur’an dan hadis.



13



BAB III KESIMPULAN



Dari uraian di atas kita bisa mengetahui betapa luasnya objek kajian filsafat mulai dari masalah ontologis, epistemologis hingga aksiologis. Tiga cabang utama filsafat tersebut merupakan masalah yang paling fundamental dalam kehidupan. Ia memberikan sebuah kerangkan berpikir yang sangat sistematis. Hal itu dikarenakan ketiganya merupakan proses berpikir yang diawali dengan pembahasan “Apa itu kebenaran?”, “Bagaimana mendapatkan kebenaran?”, dan “Untuk apa kebenaran tersebut (aplikasinya) dalam kehidupan sehari-hari?” Hal tersebut mengindikasikan bahwa filsafat layak dikatakan sebagai induk dari semua ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu-ilmu lain akan mengalami hambatan tanpa peranan filsafat. Hal itu dikarenakan semua permasalah mendasar dari seluruh ilmu adalah problem filosofis. Hal tersebut harus segera dipecahkan sebagai langkah awal untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan sekunder. Dengan kata lain, pada dasarnya semua ilmu pengetahun tidak terlepas dari tiga problem filosofis tersebut (ontologis, epistemologis dan aksiologis). Artinya semua ilmu pengetahuan pasti berbicara tentang apa yang menjadi objek kajiannya, bagaimana cara mengetahuinya dan apa manfaatnya buat kehidupan manusia. Demikianlah makalah singkat, yang mengangkat tema fundamental dalam dunia filsafat, ini. Kami mengharapkan tulisan ini bisa menjadi bahan pertimbangan demi perkembangan pemikiran manusia. Sehingga, buah pemikiran tersebut dapat melahirkan peradaban besar. Perbedaan pendapat berkaitan dengan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi di kalangan filosof semata karena berdasaekan pada aliran filsafat yang mereka anut. Tetapi, semua itu harus kita apresiasi karena merupakan tahapan pencarian “kebenaran yang hakiki”. Hal itu dikarenakan ilmu pengetahun berbicara tentang peluang dan prediksi. Walaupun, sesungguhnya terdapat kebenaran absolut, tetapi hanya Realitas Absolut yang mengetahui hal itu. Kita sebagai manusia yang memiliki akal dan hati nurani hanya berupaya mencapai kebenaran tersebut sampai akhir hayat dan mengaplikasikannya untuk kemaslahatan umat manusia.



14



DAFTAR PUSAKA Zilullah, Wa ode.2019. Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi sebagai Landasan Penelaahan Ilmu. https://www.academia.edu/7155203/Ontologi_Epistemologi_dan_Aksiologi_sebag ai_Landasan_Penelaahan_Ilmu (diakses tanggal 04 November 2019)



Bakri. 2010.Tinjauan Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi mengenai : Sekurasi Ilmu Pengetahuan. https://mrbthoan.wordpress.com/2010/12/27/tinjauan-ontologiepistemologi-dan-aksiologi-mengenai-sekularisasi-ilmu-pengetahuan/ (diakses 04 November 2019) Almadili, Ahmad Gozali. 2011. Filsafat Ilmu. http://islamiceducation001.blogspot.com/2019/02/filsafat-ilmu.html (diakses tanggal 04 November 2019) Madilis, Hasan. 2011. Filsafat Hukum dalam Kajian Aspek Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi. http://jambilawclub.blogspot.com/2011/03/filsafat-hukum-dalam-kajianaspek.html (diakses tanggal 04 November 2019)



15



PERTANYAAN



1.