Makalah Ernest [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MEMBAHAS BUKU PAUL ERNEST THE PHILOSOPHY OF MATHEMATICS EDUCATION



Diajukan : Sebagai Tugas Pada Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Matematika Dosen Pengampu : Dr. Izwita Dewi, M. Pd



OLEH : 1. 2. 3. 4. 5.



Ihsan Fuadi Syarifah Hanum Hsb Cut Yuniza Eviyanti Mashitah Puteri Rike Ahmadi



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2015



KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan RidhaNya tiada sehingga penyusunan makalah ini dapat terselesaikan dengan lancar. Makalah ini berjudul Membahas Buku Paul Ernest The Philosophy of Mathematics Education, merupakan tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Filsafat Pendidikan Matematika Ibu Dr. Izwita Dewi, M. Pd Dalam makalah ini penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan ataupun kelemahan dalam penyajian materi maupun penyusunan kalimatnya. Oleh karena itu, penulis dengan segala kerendahan hati mengharapkan kritik, usul serta saran dari dosen pengampu maupun dari rekan-rekan mahasiswa demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini benar bermanfaat kepada penulis maupun rekanrekan lainnya.



Medan, 22 Oktober 2015 Penulis



1



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR......................................................................................



i



DAFTAR ISI....................................................................................................



ii



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah..............................................................



1



B. Rumusan Masalah.......................................................................



2



C. Tujuan Penulisan ........................................................................



2



BAB II PEMBAHASAN A. Tujuan dan Ideologi Pendidikan Matematika..............................



3



1.



Sikap Epistemologi dan Etika.....................................................



3



a. Ideologi...................................................................................



3



b. Teori Perry..............................................................................



4



1). Dualisme............................................................................



5



2). Multiplicity........................................................................



5



3). Relativisme........................................................................



6



B. Matematika, Nilai dan Equal Oportunities (Kesempatan yang 1.



sama)............................................................................................



6



Matematika dan Nilai..................................................................



6



a. Pandangan Matematika Netral dan Bebas Nilai.....................



6



b. Pandangan Matematika Syarat Nilai dan Terikat Budaya......



9



c. Catatan Sejarah Pembentukan Matematika............................



9



d. Segala Bidang Pengetahuan Manusia Saling Berhubungan...



10



e. Batasan Budaya dan Muatan Nilai-nilai Matematika 11 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan..................................................................................



14



B. Saran............................................................................................



14



DAFTAR PUSTAKA



............................................15



2



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Masalah Filsafat merupakan induk dari segala ilmu pengetahuan, salah satunya adalah filsafat pendidikan matematika. Filsafat Pendidikan Matematika meliputi beberapa masalah inti pendidikan matematika mengenai ideologi, landasan, dan tujuannya. Demikian halnya dengan filsafat matematika. Filsafat matematika adalah cabang filsafat yang menyelidiki serta menjelaskan segala sesuatu terkait matematika. Filsafat matematika bertujuan untuk memberikan rekaman sifat dan metodologi matematika dan untuk memahami kedudukan matematika di dalam kehidupan manusia. Dalam ideologi matematika dan nilai matematika akan ditelusuri beberapa hal antara lain : apa ideologi matematika, apakah nilai matematika kehidupan



itu,



sejak



manusia,



apa



kapan



ideologi matematika itu muncul dalam



manfaat ideologi dan nilai matematika dalam



peradaban manusia, bagaimana pengaruh budaya dan kehidupan sosial manusia terhadap perkembangan matematika, serta banyak



pertanyaan-pertanyaan



lainnya yang menjadi tujuan yang hendak diselidiki. Matematika sebagai hasil pengamatan manusia terhadap



fenomena-fenomena yang terjadi dalam



kehidupan sehari-hari. Dari fenomena inilah muncul berbagai persoalan matematika yang pada waktu itu belum dikenal oleh manusia. Pada zaman yunani orang-orang mulai memikirkan persoalan-persoalan tersebut dan mendapatkan fakta bahwa matematika yang dilakukan sehari-hari itu adalah abstraksi dan idealisasi. Dari waktu ke waktu, pemikiran-pemikiran para filsuf serta ilmuwan zaman dahulu tersebut berdampak pada kehidupan zaman sekarang, baik dalam aspek kehidupan sosial budaya maupun dalam praktik pendidikan di sekolah. Oleh sebab



itu,



ideologi matematika dan nilai matematika begitu penting untuk



dipelajari.



1



Pandangan pejoratif tentang konsep ideologi sebenarnya dapat ditelusuri dari sejarah dipergunakannya istilah ideologi sendiri. Istilah ini adalah derivasi dari ideologues yang muncul pasca Revolusi Perancis. Napoleon Bonaparte menggunakan istilah ideologi untuk menyerang lawan-lawan politiknya yang memiliki ide-ide yang tidak realistik berkaitan dengan kepentingan-kepentingan negara Perancis baru saat itu. Pemahaman ideologi ini terdapat pada teori Perry. Pada pendidikan matematika juga terdapat ideologi, yang dikenalnya dengan ideologi pendidikan matematika. Ideologi pendidikan matematika mengemukakan tentang bagaimana pendidikan matematika dapat diimplementasikan baik secara radikal, konservatif, liberal, dan demokrasi. Jadi akan menimbulkan beberapa pandangan mengenai pendidikan matematika itu sendiri. Ada beberapa pandangan mengenai matematika sebagai netral dan bebas nilai, hal ini dikaji dari dua pandangan yaitu dari kaum absolutis dan kritikan dari kaum konstruktivis, dari dua pandangan tersebut akan menimbulkan perkembangan pendidikan matematika yang pesat. B.



Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :



1. Apakah yang dimaksud dengan ideologi, ciri-ciri dan fungsi ideologi ? 2. Bagaimana pandangan teori Perry ? 3. Apa ideologi pendidikan matematika ? 4. Bagaimana pandangan matematika netral dan bebas nilai ? C.



Tujuan Makalah Tujuan makalah ini adalah untuk mengetahui :



1. 2. 3. 4.



Ideology, ciri-ciri dan fungsi ideologi Teori Perry Ideology pendidikan matematika Pandangan matematika netral dan bebas nilai



2



BAB II PEMBAHASAN A.



Tujuan dan Ideologi Pendidikan Matematika



1.



Sikap Epistemologi dan Etika Filosofi matematika yang berbeda memberikan hasil yang berbeda dalam



hal praktik pendidikan. Namun penyelidikan



atas



filosofi



hubungannya tidak



langsung,



sehingga



yang mendukung pengajaran matematika dan



kurikulum matematika membuat kita harus mempertimbangkan nilai-nilai, ideologi dan kelompok sosial yang menaatinya. a.



Ideologi Bagian ini membedakan berbagai ideologi yang menggabungkan kedua



pandangan epistemologi dan etis, karena konsep ideologi adalah pusat yang dapat memperjelas artinya. (William 1977). Memakai panutan ke Napoleon Bonaparte, dimana ditandai dengan berpikir revolusi, dianggap sebagai seperangkat gagasan yang tidak diinginkan mengancam "Suara dan berpikir yang masuk akal". Ini telah menyebabkan penggunaan merendahkan "ideologi" untuk teori fanatik atau teori masyarakat yang tidak praktis. Meskipun Marx pertama kali menggunakan istilah “Kesadaran palsu”, dimana seorang pemikir “membayangkan motif yang palsu atau motif nyata” (Meighan, 1986 : 174). Ia kemudian menggunakannya dalam arti yang dimaksud di sini. Dalam pengertian sosiologi sebuah ideologi adalah filsafat yang kaya nilai atau berpandangan luas (secara luas dan mendunia), sebuah sistem gagasan dan keyakinan yang saling mengunci satu sama lain. Dengan demikian ideologi yang dipahami disini menjadi sistem persaingan kepercayaan, menggabungkan kedua posisi nilai epistemologis dan moral tanpa merendahkan arti idiolgi itu sendiri. Mereka tidak dapat membandingkan isi pengetahuan sains dan matematika, tetapi untuk mendukung dan menyebarkan pengetahuan untuk berfikir mengilhami pemikiran kelompok masyarakat dengan mereka (Giddens, 1983 ; Althusser, 1971). Ideologi sering dipandang sebagai jalan berfikir nyata dengan penganut-penganutnya (Meighan, 1986), karena lapisan masyarakat sering tak terlihat untuk relasi yang besar dan mendominasi



3



masyarakatitu sendiri. (Giddens, 1983; Althusser, 1971). Namun perlakuan terhadap ideologi yang diberikan di sini menekankan aspek epistemologis, etika pendidikan dan kepentingan sosial, kekuasaan dan dominasi. Tujuan dari bab ini untuk menghubungkan filsafat umum dan pribadi dan pendidikan matematika. Sebagai tambahan atas filsafat yang secara eksplisit kita juga akan membahas system kepercayaan individu dan kelompok. Kepercayaan itu



tidak mudah terlepaskan dari konteks mereka seperti filosofi umum dan



menjadi bagian dari keseluruhan ikatan ideologi yang meliputi banyak komponen, termasuk epistemology pribadi, rangkaian nilai-nilai dan teori-teori pribadi lainnya. Sehingga dasar untuk membedakan ideologi kita menerapkan teori Perry (1970, 1981). Teori ini adalah teori psikologi tentang perkembangan sikap epistemologis individu dan etis dan juga merupakan teori struktural yang memberikan/ menyiapkan suatu kerangka kerja yang sesuai dengan berbagai macam filosofi yang berbeda dan rancangan nilai-nilai dapat dipasangkan. b.



Teori Perry Teori



Perry



menentukan



urutan



tahap



perkembangan,



seperti



memperbolehkan mengalami kesulitan, dan kemunduran dari tingkatan. Dalam bentuk sederhana diputuskan tiga tingkatan yaitu Dualisme, Multiplicity (keragaman) dan Relativisme. Teori-teori itu tidak berakhir di relativisme melainkan berlanjut dengan beberapa tingkatan komitmen. Namun tingkatan ini tidak mewakili restruksisasi kepercayaan-kepercayaan yang radikal, tidak seperti pertahanan dan pengintegrasian relativisme ke dalam seluruh kepribadian. Hal yang mendasari skema perry adalah asumsi bahwa perkembangan intlektual dan etika mulai tertanam dalam serangkaian keyakinan yang tidak dipetanyakan, berlangsung melalui beberapa tingkat kemajuan dimulai dari tingkat dasar yang kritis, dan kemudian kembali tertanam dengan sendirinya dalam suatu komitmen terhadap seperangkat prinsip intelektual dan etika. Jadi tiga tahap dibahas disini cukup untuk membedakan ideologi yang secara struktural berbeda.



4



1).



Dualisme Secara sederhana dualisme adalah suatu strukur yang terbagi dua cabang di



dunia ini yaitu baik dan buruk, benar dan salah, kita dan pandangan lainnya. Pandangan dualistic adalah ditandai dengan dikotomi-dikotomi yang sederhana dan kepercayaan yang absolute dan otoritas seperti sumber kebenaran, nilai-nilai dan kontrol. Sehingga dalam hal keyakinan epistemology. Dualisme menyiratkan pandangan absolutis dari pengetahuan dimana dibagi menjadi dua yaitu kebenaran dan kebohongan, tergantung pada otoritas, pengetahuan tidak dibenarkan secara rasional, tetapi dinilai dengan mengacu pada otoritas. Dalam hal keyakinan etika, dualisme berarti bahwa semua tindakan hanya dinilai atas benar atau salah. Semua masalah dipecahkan oleh ketulusan diri sendiri, otoritas dan ketaatan. Penyesuaian diri terhadap hak dan apa yang mereka inginkan. Keinginan/kemauan kekuasaan (will power) dan pekerjaan akan menghasilkan kongruensi aksi dan penghargaan. Dasar diri sendiri yang digambarkan hak anggota dan tradisional (Perry,1970). 2).



Multiplicity Suatu plurality dari “poin menjawab” pandangan atau evaluasi-evaluasi



berkenaan dengan masalah atau topik - topik yang serupa. Pluraliti ini dianggap sebagai satu kumpulan yang mempunyai cirri-cirri terpisah tanpa struktur internal atau hubungan eksternal,dalam artian siapapun berhak terhadap pendapatnya sendiri-dengan implikasi bahwa tidak ada penilaian dapat dibuat terhadap pendapat – pendapat tersebut (Perry, 1970). Pandangan-pandangan Multiplicity menyatakan suatu plurality ‘jawab’ adalah pendekatan-pendekatan atau perspektif-perspektif. Baik yang bersifat epistemologi atau etis, tetapi tidak memiliki suatu dasar masuk akal pilihan antara alternatif-alternatif.



5



3).



Relativisme Sudut pandang pluralitas, interpretasi, kerangka acuan, sistem nilai



kontijensi dimana sifat struktural dari konteks dan wujud-wujud memungkinkan adanya berbagai analisa, perbandingan dan evaluasi di Multiplicity. (Perry, 1970). Secara epistemology, Relativisme memerlukan pengetahuan, jawabanjawaban dan pilihan tergantung berdasarkan fitur dari konteksnya, kemudian dievaluasi/dibenarkan dengan prinsip-prinsip atau system aturan. Secara etis, tindakan-tindakan yang diinginkan atau tidak diinginkan dihakimi menurut konteks dan satu system yang sesuai dengan prinsip-prinsip. Sejumlah peneliti-peneliti pendidikan sudah menemukan, teori Perry Scheme untuk menjadikan kerangka yang bermanfaat, menggambarkan ahli dan pengembangan etis serta kepercayaan pribadi. Ini termasuk aplikasi-aplikasi tingkat yang dimengerti siswa dari teori system (Selner, 1986), pelajaran matematika di perguruan tinggi dan siswa menengah (Buerk, 1982; Stonewater Etal, 1988) dan guru yang berhubungan dengan system kepercayaan (Copes, 1982, 1988; Oprea dan Stonewater, 1987; Cooney dan Jone, 1988; Cooney, 1988; Ernest, 1989a). Jadi dengan demikian Teori Perry Scheme secara luas digunakan untuk menggambarkan filasafat-filsafat pribadi, terutama di matematika. B. Matematika, Nilai Dan Equal Oportunities (Kesempatan Yang Sama) 1.



Matematika dan Nilai



a.



Pandangan Matematika Netral dan Bebas Nilai. Filsafat absolutis berkomitmen dengan keyakinan mutlak pada obyektifitas



dan netralitas pada matematika serta memuat nilai, sebab, sebagaimana telah kita lihat,dalam matematika ada nilai – nilai implicit. Abstrak dinilai lebih konkret, formal daripada informal, objektif



daripada subjektif, pembenaran atas



penemuan, rasionalitas atas intuisi, akal daripada emosi, umum daripada khusus, teori daripada praktek, pemikiran daripada karya tangan, dan seterusnya. Ini merupakan banyak nilai-nilai yang jelas dari matematika. Terdapat banyak yang lahir dari matematikawan, seperti yang dianut oleh sebagian besar budaya Inggris dan Barat.



6



Menurut pengikut paham Absolutisme, nilai-nilai ini menyangkut matematika dan budaya mereka, dan bukan wilayah tujuan matematika itu sendiri. Diklaim bahwa nilai-nilai absolutis dimasukkan ke matematika, baik secara sadar atau tidak sadar, melalui definisi lapangan. Dengan kata lain, semua perspektif absolutisme akan diakui sebagai pengetahuan matematika yang dapat dipercaya yang harus memenuhi nilai- nilai. Dalil matematika dan buktinya, produk-produk dari wacana matematika formal sebagai matematika yang sah, penemuan matematika, praktek matematikawan dan produk lainnya dan proses wacana matematika informal dan tidak profesional. Setelah aturan pembatasan disiplin ditetapkan dengan cara ini, maka dapat mengklaim bahwa matematika adalah netral dan bebas nilai. Untuk tempat nilai-nilai ada aturan yang menentukan hal yang diterima. Setelah mengidentifikasi nilai-nilai ini, pertanyaannya adalah, bagaimana bisa jadi terang-terangan sebuah pandangan yang bermuatan nilai matematika klaim yang netral dan bebas nilai? Jawaban dari absolutis adalah bahwa nilai-nilai ini perhatian matematikawan dan kebudayaan mereka, dan bukan tujuan bidang matematika itu sendiri. Hal ini menyatakan bahwa isi dan metode-metode matematika, dengan sifatnya, membuatnya abstrak, umum, formal, objektif, rasional, teoretis, dan peduli dengan pembenaran. Itu adalah sifat teori pengetahuan ilmiah, termasuk matematika. Tidak ada yang salah dengan konkret, informal, subyektif, khusus, atau konteks penemuan, menurut pandangan ini. Hanya saja bukan sience, dan pasti bukan matematika (Popper, 1979). Setelah aturan pembatasan dari disiplin dibentuk dengan cara ini, daripada yang dapat secara sah diklaim bahwa matematika adalah netral dan bebas nilai. Untuk menggantikan nilai-nilai ada aturan yang menentukan apa yang diterima. Preferensi, choises, implikasi sosial dan semua nilai-nilai expreesions semua dihilangkan dengan aturan eksplisit dan objektif. Bahkan, nilai-nilai yang ada di balik pilihan aturan, membuat mereka hampir unchallengeable. Oleh hanya melegitimasi tingkat wacana formal seperti matematika, itu masalah merendahkan nilai-nilai arelm yang definitionally di luar matematika.



7



Nilai matematika telah berkembang sebagai bagian dari disiplin dengan kuat adalah sendiri dalam logika dan estetika. Jadi akan masuk akal untuk mengklaim bahwa nilai-nilai ini tidak melakukan apa pun tetapi explicitely melayani kepentingan sosial kelompok. Namun demikian, apakah sengaja atau tidak, kenyataannya adalah bahwa nilai-nilai ini tidak melayani kepentingan kelompok yang istimewa. Mereka keuntungan laki-laki atas perempuan, kulit putih atas kulit hitam, dan kelas menengah atas kelas bawah, dalam hal keberhasilan dan prestasi akademik di sekolah matematika. Hal ini mendorong kepentingan yang lebih istimewa dalam masyarakat, karena fungsi sosial khusus matematika sebagai 'penyaring kritis' dalam hal akses ke profesi dibayar paling baik (Menjual, 1973, 1976). Dengan demikian nilai-nilai rahasia matematika melayani dominasi budaya masyarakat oleh satu sektor. Tanggapan absolute untuk mengisi ini adalah bahwa matematika adalah obyektif dan netral dan bebas-nilai. Setiap nilai yang tersirat dalam matematika tidak mewakili pilihan atau preferensi tetapi sangat penting untuk sifat perusahaan. Matematika adalah ilmu pengetahuan ofn abstrak, formal dan objektif, itu terutama berkaitan dengan umum, dengan teori dan dengan pembenaran. Dari dirinya sendiri, matematika tidak memiliki preferensi sosial. Kebetulan bahwa sektor-sektor tertentu dari populasi, yaitu kulit putih, laki-laki dan anggota kelas menengah intrincally lebih siap untuk demandsof studi matematika. Gaya kognitif mereka mewujudkan sifat digambarkan sebagai nilai-nilai matematika. Lebih lanjut, menurut perspektif ini, ini didukung oleh bukti-bukti sejarah, karena hampir semua matematikawan besar milik grup ini. Argumen ini dapat dikritik di beberapa titik. Pertama-tama, ini adalah premis bahwa matematika adalah netral. Kedua, acara jika premis ini itu harus diberikan, ada asumsi tersembunyi bahwa pengajaran matematika juga netral, dan tidak dapat mengimbangi sifat m atematika. Sebaliknya, saya berpendapat bahwa secara intrinsik allteaching nilai-ladenand dapat dibuat untuk melayani agalitarian (atau lainnya) prinsip-prinsip. Ketiga, ada asumsi bahwa underparticipation berbagai kelompok sosial dalam matematika merupakan konsekuensi dari karakter intrinsik mereka. Hal ini ditunjukkan di bawah ini untuk menjadi pernyataan tidak berdasar perspektif



8



ideologi tertentu. Terakhir, ada argumen historis. Hal ini dapat ditolak dengan alasan bahwa representasi-bawah di dalam sejarah matematika oleh kelompokkelompok yang telah diberi akses ke sana, yang akan diharapkan.



b.



Pandangan Matematika Syarat Nilai dan Terikat Budaya Pandangan konstruktivisme matematika Sosial sebagai produk kegiatan



manusia terorganisir, selama kali. Semua bidang pengetahuan yang berbeda adalah ciptaan manusia, interkoneksi oleh asal-usul bersama mereka dan sejarah. akibatnya, matematika seperti sisa pengetahuan budaya-terikat, dan dijiwai dengan nilai-nilai pembuat dan konteks budaya mereka.



c.



Catatan Sejarah Pembentukan Matematika Catatan sejarah pembuatan matematika, bukan hanya jalur kiri dengan



pendekatan matematika sebagai kebenaran yang lebih dekat. Ini catatan masalah yang diajukan, dan konsep-konsep, proposisi, bukti-bukti dan teori dibuat, dinegosiasikan dan dirumuskan oleh individu-individu dan kelompok untuk melayani tujuan dan kepentingan mereka. Sebagai konsekuensi dari pandangan ini, karena filsafat absolut telah mendominasi lapangan, adalah bahwa sejarah matematika perlu ditulis ulang dalam non-teleologis, non-Eropa-sentris-cara. pandangan absolutis matematika sebagai



kebenaran



yang



diperlukan



secara



implisit



berasumsi



bahwa



penemuannya hampir ditakdirkan dan matematika modern merupakan hasil tak terelakkan. Koreksi ini perlu, untuk matematika modern tidak lebih dalam hasil tak terelakkan dari sejarah dari manusia modern adalah hasil yang tak terelakkan. Banyak sejarah matematika, seperti Eves (1953), mempromosikan pandangan Eropa-sentris disederhanakan perkembangannya. Para pakar seperti Yusuf (1987) telah mengkritik sejarah ini, dan menunjukkan betapa jauh lebih luas



9



dan banyak tradisi dan fokus penelitian dan pengembangan matematika, di pusatpusat budaya dan peradaban sepanjang sejarah dunia. Sejarah



matematika



konstruktivis



sosial



perlu



menunjukkan



apa



matematika, filsafat, sosial dan politik kekuatan kreasi drive tertentu, atau blok mereka. Sebagai contoh, Henry (1971) berpendapat bahwa penciptaan kalkulus adalah dalam 'genggaman Descartes, tetapi bahwa ia menghindari masalah karena untuk pendekatan yang tak terbatas akan menghujat. Kurang spekulatif, peningkatan jumlah studi, seperti Restivo (1985), MacKenzie (1981) dan Richards (1980, 1989) menunjukkan kekuatan saling bekerja dalam sejarah sosial matematika, yang bergantung pada posisi sosial dan kepentingan peserta, bukan pada murni objektif dan kriteria.



d.



Segala Bidang Pengetahuan Manusia Saling Berhubungan Sosial contructivism dimulai dari premis bahwa semua pengetahuan yang



dihasilkan oleh aktivitas intelkctual manusia, menyediakan sebuah kesatuan genetik



yang



mendasari



untuk



semua



bidang



pengetahuan



manusia.



konstruktivisme sosial juga terletak pembenaran pengetahuan semua pada landasan bersama, yaitu perjanjian manusia. Jadi baik dari segi asal-usulnya dan dasar pembenaran, pengetahuan manusia memiliki kesatuan fundamental (mendasar), dan semua bidang pengetahuan manusia dengan demikian saling berhubungan.



Akibatnya,



menurut



konstruktivisme



sosial,



pengetahuan



matematika dihubungkan terkait dengan bidang pengetahuan lain dan melalui bagian akarnya, juga syarat nilainya, diakui menjadi bidang pengetahuan lainnya karena terhubung dengan mereka. Ini bertentangan langsung dengan tradisi Anglo-Amerika di epistemologi, menurut yang membenarkan dasar dari berbagai cabang pengetahuan adalah sepenuhnya berbeda. Misalnya, Hirst dan Peters (1970) dan Hirst (1974) berpendapat bahwa pengetahuan dibagi menjadi 'bentuk' otonomi berbeda, masing-masing karakteristik sendiri yang unik dan konsep mereka, hubungan, tes



10



kebenaran dan kriteria verifikasi, dan metodologi dan prosedur. Jadi, menurut pandangan ini, ada cukup berbeda metode pembenaran, diterapkan dalam berbagai bidang pengetahuan. Berbagai bentuk pengetahuan dapat dilihat pada perkembangan tingkat rendah dalam wilayah umum pengetahuan kita tentang dunia sehari-hari. Dari cabang ini ada formulir yang dikembangkan, mengambil unsur-unsur tertentu dalam pengetahuan umum kita sebagai dasar, telah berkembang dalam cara yang berbeda (Brown et al, 1981, halaman 230, penekanan ditambahkan). Jadi epistemologis pendekatan tradisional bahkan mengakui asal-usul bersama dari semua pengetahuan manusia dalam budaya kita bersama, bahkan jika berarti pembenaran bervariasi di berbagai cabang pengetahuan kurang paralel konservatif pandangan



konstruktivis



sosial



pengetahuan



ditemukan



di



daerah



lain



penyelidikan, termasuk cabang filsafat, sosiologi dan psikologi, seperti kita lihat pada Bab 5. Satu paralel tersebut dapat ditemukan di pos-strukturalis 'benua modern' atau 'post-modernis' filsuf, seperti Foucault (1972) dan Lyotard (1984). Ini penulis mengambil keberadaan budaya manusia sebagai titik awal. Foucault berpendapat bahwa pembagian pengetahuan modern yang berlaku saat ini adalah konstruksi, yang didefinisikan dari wacana sosial tertentu). Lyotard (1984 menganggap semua pengetahuan manusia terdiri dari narasi, masing-masing dengan legitimasi kriteria mereka sendiri. Apa pemikir kedua contoh adalah tradisi intelektual baru yang menegaskan bahwa semua pengetahuan manusia adalah saling berhubungan melalui substratum kultural bersama, sebagai konstruktivisme sosial menegaskan.



e.



Batasan



Budaya



Dan



Muatan



11



Nilai-Nilai



Matematika



12



13



14



15



16



Karena matematika adalah berkaitan dengan semua pengetahuan manusia, yaitu budaya terikat dan dijiwai dengan nilai-nilai dari para pembuat dan konteks budaya mereka. Konsekuensinya, meliputi kehidupan sosial dan budaya (Davis dan Hersh, 1988). Ini berarti bahwa dasar untuk lokasi budaya matematika diperlukan. Shirley (1986) mengusulkan bahwa matematika dapat dibagi menjadi formal dan informal, yang diterapkan dan matematika murni, menggabungkan



17



distincions ini mendorongnya untuk empat kategori aktivitas matematis, masingmasing termasuk sejumlah praktik-praktik yang berbeda. Sebagai berikut : 1.



Matematika Formal-murni, termasuk matematika penelitian universitas, dan banyak dari matematika diajarkan di sekolah.



2.



Matematika



Formal-diterapan,



berpengaruh



baik



keluar



lembaga



pendidikan dan seterusnya, seperti bekerja dengan statistik di industri. 3.



Matematika Informal-murni terlibat dalam lembaga-lembaga sosial di luar matematika, yang mungkin disebut 'budaya' matematika murni.



4.



Matematika Informal-diterapan, terdiri dari berbagai macam mathemtics tertanam dalam kehidupan sehari-hari, kerajinan, adat istiadat atau bekerja. Dowling (1988) menawarkan richermodel konteks aktivitas matematika



daripada ini, bangunan pada karya Foucault dan Bernstein. Dia membedakan empat fieldsas satu dimensi dari model. Ini adalah bidang Produksi (penciptaan). Recontextualization (guru retorika dan pedagogis represantion) Reproduksi (kelas praktek) dan operasionalisasi (penerapan dan pelaksanaan pengetahuan matematika). Dimensi kedua terdiri dari empat 'karir' atau lokasi sosial praktek matematika. Ini adalah Akademik (pendidikan tinggi) Sekolah Kerja dan Terpopuler (konsumen atau domestik). Hasilnya adalah sebuah model rinci dari berbagai ruang sosial, praktik dan wacana matematika (enam belas dalam semua) yang mengakui keabsahan dari banyak aspek non-akademis matematika . Dengan memasukkan berbagai konteks ini matematika kita mengakui apa yang D'Ambrosio (1985,1985 a) istilah 'ethnomthematis'. Menurut tesis Uskup (1988, 1988a) tertanam budaya seperti matematika, dalam kegiatan paticular naik fromcounting, lokasi, mengukur, merancang, bermain dan explaining are akar budaya dari semua matematika. Dowling (1988) menyatakan bahwa identifikasi tersebut adalah ilusi invarians budaya. Namun demikian, ada kesepakatan bahwa lebih dari mathematicsis akademis tradisional sah. Hasil dari pandangan matematika merupakan sebuah tantangan bagi dominasi budaya abstrak, matematika yang didominasi laki-laki putih. Karena jika laki-laki matematika diakui sebagai genunine matematika, maka matematika tidak lagi menjadi milik kaum elit. Sebaliknya, matematika adalah karakteristik



18



manusia universal, yang seperti bahasa, adalah cultural birthright dari semua orang. Sebagai bagian dari budaya masyarakat, matematika memberikan kontribusi pada keseluruhan tujuan. Itu adalah untuk membantu orang memahami kehidupan dan dunia, dan untuk menyediakan alat untuk berurusan dengan berbagai pengalaman manusia. Sebagai bagian dari budaya, matematika melayani tujuan-tujuan secara keseluruhan ini. Tapi di setiap bagian berbeda dan dapat diberikan peran dan bagian-bagian yang berbeda untuk bermain, sebagai contibution untuk tujuan-tujuan ini. Dengan demikian tujuan dalam mathemtucs mungkin budaya religius, artistik, praktis, teknologi, penelitian demi dirinya sendiri, dan begitu seterusnya. Apapun itu, budaya matematika masing – masing mungkin melayani tujuannya sendiri secara efisien dan baik, karena telah berkembang untuk memenuhi kebutuhan tertentu dan selamat. Akibatnya, mathemtics budaya dari masing-masing sama-sama berharga, karena semua budaya sama-sama valid. Tapi ini merupakan kekeliruan untuk berpendapat bahwa matematika akademis barat lebih berharga atau efficienct dari pada matematika dari budaya lain. Klaim dari nilai atau matematika mengasumsikan efisiensi sistem nilai. Setiap kebudayaan memiliki nilai-nilai yang merupakan bagian dari pandangan dunia, keseluruhan tujuan dan maksud yang memberikan kepada para anggotanya. Setiap kebudayaan, seperti setiap individu, memiliki hak integritas. Denan demikian pada sistem nilai-nilai budaya dari masing-masing sama-sama berlaku. Dalam istilah absolute, tidak ada dasar untuk menyatakan bahwa sistem nilai-nilai dari satu kebudayaan atau masyarakat lebih unggul daripada semua orang lain. Hal ini tidak bisa menegaskan, oleh karena, bahwa matematika Barat lebih unggul daripada yang bentuk lain karena kekuasaan yang lebih besar atas alam. Ini kesalahan dengan mengasumsikan bahwa nilai-nilai budaya Barat dan matematika bersifat universal. Pengakuan sifat terikat budaya matematika pasti mengarah ke pengakuan sifat sarat nilai. Pengakuan dari budaya sifat terikat matematika pasti mengarah ke pengakuan nilainya lden alam. Ada literatur yang berkembang yang mengakui nilai-nilai yang tersirat dalam matematika, dan kebutuhan pemeriksaan critial



19



mereka. Bell di al (1973) mengangkat isu-isu keterlibatan militer dalam matematika, dan mengangkat isu-isu moral. Baru-baru ini penulis seperti Maxwell (1984), Restivo (1985), Ernest (1986), Uskup (1988), dan Evans (1988) telah mengangkat pertanyaan tentang nilai-nilai yang tersirat dalam matematika, terutama dari sudut pandang eductionl.



20



BAB III KESIMPULAN A. Saran 1. Ciri-ciri ideologi adalah sebagai berikut : a. Mempunyai derajat yang tertinggi sebagai nilai hidup kebangsaan dan kenegaraan b. Mewujudkan suatu asas kerohanian, pandangan dunia, pedoman hidup yang dipelihara, diamalkan, dilestarikan kepada generasi berikutnya, diperjuangkan dan dipertahankan dengan kesediaan berkorban. 2. Teori Perry menyatakan sebuah urutan tahap perkembangan, dan memungkinkanuntuk penetapan pada, serta mundur dari tingkat tersebut. Agar sederhana kita anggap hanyatiga tahap, Dualisme, Multiplisitas serta Relativisme. 3. Ideologi pendidikan matematika mengemukakan tentang bagaimana pendidikan matematika dapat diimplementasikan baik secara radikal, konservatif, liberal ,dan demokrasi. 4. Secara umum diakui bahwa isi dan metode matematika formal, karena hakikatnya, membuat matematika menjadi abstrak, umum, formal, objektif, rasional, dan teoretis. Ini adalah hakikat ilmu pengetahuan dan matematika. Dengan pendekatan ini kaum absolutis membangun matematika formal yang dianggapnya sebagai netral dan bebas nilai (Shirley, 1986).



B.



Saran Adapun saran yang penyusun ajukan terkait pembahasan diatas adalah :



1.



Diharapkan dengan adanya kejelasan tentang teori perry tentang ideology dan filsafat pribadi matematika, serta matematika, nilai dan equal opportunities.



2.



Diharapkan para pembaca dapat termotivasi untuk terus menggali makna pendidikan seutuhnya guna mencapai tujuan pendidikan nasional.



21



DAFTAR PUSTAKA Althusser, L. (1971). Ideology and ideological state apparatutes, in Lenin and Philosophy and Other Essays, London, New Left Books. Brown, S. Fauvel, J. and Finnegan, R. (1981). Coenceptions of Inquiry, London, Methuen, in association with the Open University Press. Buerk, D. (1982). An Experience with Some Able Women Who Avoid Mathematics, For The Learning of Mathematics, 3, 2, pp. 19–24. Bishop, A.J. (1988). Mathematical Enculturation, Dordrecht, North Holland, Kluwer. Copes, L. (1982). The Per r y Development Scheme: a Metaphor for Lear ning and Teaching Mathematics, For the Learning of Mathematics, 3, 1, pp. 38–44. Copes, L. (1988). The Perry Development Scheme and its Implications for Teaching Mathematics, in Pereira-Mendoza (1988), pp. 131–141. Cooney, T.J. and Jones, D.A. (1988). The Relevance of Teachers and Students Beliefs for Research in Mathematics Teacher Education, presented at PME 12 Conference, 20–25 Juli 1988, Veszprem, Hungary. D’ambrosio, U. (1985) Socio-cultural bases for Mathematics Education, Campinas, Brazil, UNICAMP. E ve s , H. (1953). An Introduction to the History of Ma th em at i cs , New York, Holt Rinehart and Winston. Ernest, P. (1989a). Mathematics-Related Belief Systems, paper presented at Psychology of Mathematics Education Conference 13, 9–13 July 1989, Paris. Ernest, Paul. (1990). The Philosophy of Mathematics Education. University of Exeter : School of Education Foucault, M. (1972) The Archaelogy of Knowledge, London, Tavistock. Giddens, A. (1983) Four Theses on Ideology, Candian Journal of Political and Social Theory, 7, 1–2, pp. 18–21. Hirst, P.H. and Peters, R.S. (1970). The Logic of Education, London, Routledge & Kegan Paul.



22



Henry, J. (1971). Essays on Education , Harmondsworth, Penguin Hirst, P.H. (1974). Knowledge and the Curriculum, London, Routledge & Kegan Paul. Hersh, R. (1988) .Mathematics Has a Front and a Back, paper presented at Sixth International Congress of Mathematics Education, Budapest, July 27August 4, 1988 Joseph, G.G. (1987) . Foundations of Eurocentrism in Mathematics, Class, 28, 3, pp. 13–28.



Race and



Lyotard, J.F. (1984). The Postmodern Condition : A Report on Knowledge, Manchester, Manchester University Press. Mackenzie, D. (1981). Statistics in Britain, 1865–1930, Edinburgh, University of Edinburgh Press. Meighan, R. (1986).A Sociology of Education, Eastbourne, Holt, Rinehart and Winston. Perry, W.G. (1970). Forms of Intellectual and Ethical Development in the Collage Years : A Schem, New York, Holt, Rinehart and Winston. Popper, K.R. (1979). Objective Knowledge (Rivised Edition), Oxford, Oxford University Press. Perry, W.G. (1981). Cognitive And Ethical Growth : The Making Of Meaning, in Chickering (1981), pp.76–116. Richards, J.L. (1980). The Art and Science of British Algebra : A Study in the Perception of Mathematical Truth, Historia Mathematica, 7, 3, pp. 343-365. Richards, J.L. (1989) Mathematical Visions, London, Academic Press. Sels, L. (1973) ‘High school mathematics as the critical filter in the job market’, Proceedings of the Conference on Minority Graduate Education, Berkeley, University of California, pp. 37–49. Sels, L. (1976). The Mathematics Filter And The Education Of Women And Minorities, Presented At Annual Meeting of American Association for the Advancement of Science, Boston, February 1976. Shirley, L. (1986). Editorial, International Study Group on the Relations Between the History and Pedagogy of Mathematics Newsletter, No. 13, 2–3.



23



Williams, R. (1977). Ideology, in Open University (1977) The Curriculum and Cultural Reproduction (E202 Schooling and Society Units 18, 19 & 20), Milton Keynes, Open University Press, pp. 122–123.



24