Makalah Etika Pelayanan Fisioterapi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH ETIKA PELAYANAN FISIOTERAPI



Disusun Untuk Memenuhi Tugas Martikulasi Profesi Fisioterapi Mengenai Etika Dan Profesi Fisioterapi



Riski Hastutiningsih 2019-0607-044



PROFESI FISIOTERAPI FAKULTAS FISIOTERAPI UNIVERSITAS ESA UNGGUL 2019



KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah etika pelayanan fisioterapi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk saya dan pembaca. Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik. Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.



Jakarta, 25 September 2019



Penyusun



A. Informed Consent Dalam berkas rekam medis pasien di rumah sakit terdapat satu lembaran yaitu lembar persetujuan tindakan medis. Lembaran ini akan diisi/diberi persetujuan oleh pasien atau keluarganya apabila telah mendapat penjelasan dari tenaga kesehatan. Proses pemberian penjelasan ini disebut sebagai informed consent. Istilah Informed consent dalam Undang-Undang Kesehatan kita tidak ada, yang tercantum adalah istilah persetujuan, menerima atau menolak tindakan pertolongan setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut. Informed consent secara harfiah terdiri dari dua kata yaitu informed dan consent. Informed berarti telah mendapat penjelasan atau informasi; sedangkan consent berarti memberi persetujuan atau mengizinkan. Dengan demikian informed consent berarti suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi. Atau dapat juga dikatakan informed consent adalah pernyataan setuju dari pasien yang diberikan dengan bebas dan rasional, sesudah mendapatkan informasi dari dokter dan sudah dimengerti olehnya Penyampaian informasi untuk melakukan tindakan medis lazim dikenal dengan istilah ‘informed consent’. Pelaksanaan informed consent tidak hanya mengikuti protap (prosedur tetap) tetapi sesungguhnya mempunyai pertanggungjawaban hukum. Landasarn hukum yang mengatur tentang informed consent diatur dalam peraturan kementrian kesehatan, yakni sebagai berikut: 



Informed consent atau persetujuan Medik/Informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien sesuai dengan pasal 1 (a) Permenkes RI Nomor 585/MEN.KES/PER/X/1989 2. Di mana pasal 1 (a) menyatakan bahwa persetujuan tindakan medik (informed consent) adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Informed consent mencakup peraturan yang mengatur perilaku dokter dalam berinteraksi dengan pasien. Interaksi tersebut melahirkan suatu hubungan yang disebut hubungan dokter-pasien.







Undang-Undang Kesehatan yang baru (UUK No. 36 Tahun 2009), informed consent (menggunakan istilah bukan informed consent) sudah lebih banyak disinggung. Misalnya pada pasal 8 yang berbunyi, “Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.



Adapun bentuk informed consent, dijelaskan sebagai berikut ini: Ada dua bentuk Informed consent yaitu: (1) dengan pernyataan (expression), dapat secara lisan (oral) dan secara tertulis (written); (2) dianggap diberikan, tersirat (implied) yaitu dalam keadaan biasa atau normal dan dalam keadaan gawat darurat. 1. Expressed consent adalah persetujuan yang dinyatakan secara lisan atau tulisan, bila yang akan dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan tindakan yang biasa. Sebaiknya pasien diberikan pengertian terlebih dahulu tindakan apa yang akan dilakukan. Misalnya, pemeriksaan dalam lewat anus atau dubur atau pemeriksaan dalam vagina, dan lain-lain yang melebihi prosedur pemeriksaan dan tindakan umum. Di sini belum diperlukan pernyataan tertulis, cukup dengan persetujuan secara lisan saja. Namun bila tindakan yang akan dilakukan mengandung resiko tinggi seperti tindakan pembedahan atau prosedur pemeriksaan dan pengobatan invasif, harus dilakukan secara tertulis. 2. Implied consent adalah persetujuan yang diberikan pasien secara tersirat, tanpa pernyataan tegas. Isyarat persetujuan ini ditangkap dokter dari sikap pasien pada waktu dokter melakukan tindakan, misalnya pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium, pemberian suntikan pada pasien, penjahitan luka dan sebagainya. Implied consent berlaku pada tindakan yang biasa dilakukan atau sudah diketahui umum. 3. Pendapat Mertokusumo, menyebutkan bahwa informed consent dari pasien dapat dilakukan dengan cara antara lain 6: (1) dengan bahasa yang sempurna dan tertulis; (2) dengan bahasa sempurna secara lisan; (3) dengan bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan; (4) dengan bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawan; (5) dengan diam atau membisu tetapi asal dipahami atau diterima oleh pihak lawan. B. Dasar-dasar Etika Fisioterapi Indonesia Fisioterapi dalam segala aktifitas profisional dan pelayanan kepada individu dan masyarakat harus selalu menjaga citra profesi berdasarkan kode etik yang telah ditetapkan oleh organisasi profesi fisioterapi, menjunjung tinggi kehormatan profesi dalam setiap perbuatan dan dalam keadaa apapun, mematuhi peraturan dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh organisasi profesi. Garis besar kode etika fisioterapi indonesia, antara lain: 1. Menghargai hak dan martabat individu. 2. Tidak bersikap diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada siapapun yang membutuhkan.



3. Memberikan pelayanan professional secara jujur, berkompeten dan bertanggung jawab. 4. Mengakui batasan dan kewenangan profesi dan hanya memberikan pelayanan dalam lingkup profesi fisioterapi. 5. Menghargai hubungan multidisipliner dengan profesi pelayanan kesehatan lain dalam merawat pasien/klien. 6. Menjaga rahasia pasien/klien yang dipercayakan kepadanya kecuali untuk kepentingan hukum/pengadilan 7. Selalu memelihara standar kompetensi profesi fisioterapi dan selalu meningkatkan pengetahuan/ketrampilan. Memberikan kontribusi dalam perencanaan dan pengembangan pelayanan untuk meningkatkan derajat kesehatan individu dan masyarakat. a) Menghargai Hak dan Martabat Individu Menghargai hak dan martabat individu sebagai landasan dalam pelayanan profesional. Hubungan yang terjadi antar Fisioterapis dengan pasien/klien didasari sikap saling percaya dan menghargai hak masing-masing. Hak Pasien, antara lain: 1. Pasien/klien berhak atas pelayanan fisioterapi yang sebaik mungkin 2. Pasien/klien berhak atas perlindungan terhadap pelayanan yang tidak sesuai dan hanya menerima pelayanan yang bermanfaat 3. Pasien/klien berhak atas pelayanan fisioterapi yang menghargai privasi dan martabatnya d. Pasien/klien atau kuasa hukumnya berhak atas informasi yang cukup tentang hasil asesmen, pilihan terapi/tindakan dan resiko yang dapat ditimbulkan 4. Pasien/klien berhak atas pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk yang terbaik dalam pemeliharaan kesehatannya, sehingga bila dipandang perlu fisioterapis dapat merujuk kepada pihak lain/profesi lain yang lebih berkompeten. 5. Pasien/klien berhak menentukan dan membuat keputusan sendiri dalam hal : a) Memilih pelayanan fisioterapi atau alternatif lain b) Menghentikan terapi dan menerima ketidakmampuannya walaupun tindakan fisioterapi dapat meningkatkan keadaannya. Hak-hak fisioterapis, sebagai berikut: 1. Fisioterapis berhak atas kemandirian profesi dan otonomi



2. Fisioterapis berhak atas rasa bebas dari ancaman terhadap kehormatan, reputasi dan kompetensi serta hak untuk mendapatkan perlindungan dan kesempatan untuk membela diri terhadap gugatan sesuai keadilan 3. Fisioterapis berhak untuk bekerjasama dengan teman sejawat 4. Fisioterapis berhak menolak melakukan intervensi apabila dipandang bukan merupakan cara yang terbaik bagi pasien/klien. 5. Fisioterapis berhak atas jasa yang layak dari pelayananan profesionalnya. Hak Organisasi Ikatan Fisioterapi Indonesia, antara lain sebagai berikut: 1. IFI berhak atas loyalitas anggotanya dan memberi perlindungan diri dari pelecehan akibat pelayanan yang inkompeten, ilegal dan bertentangan dengan kode etik profesi fisioterapi. 2. IFI berhak atas nama baik dan menolak pelecehan dari siapapun. 3. IFI berhak atas pengajar fisioterapi yang berkualitas, kompeten dan berpengalaman dibidangnya. 4. IFI berhak atas praktek fisioterapi yang profesional dan menolak diajarkan secara semena-mena kepada individu atau kelompok lain. b) Tidak bersikap diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada siapapun yang membutuhkan 1) Fisioterapis memilikikewajiban moral untuk memberikan pelayanan kepada yang membutuhkan



tanpa



membedakan



umur,



jenis



kelamin,



suku/ras,



kondisi,agama/kepercayaan, politik dan status sosial ekonomi. 2) Fisioterapis harus selalu mempertimbangkan konsekuensi dari keputusan yang dipilih bagi individu dan masyarakat. 3) Fisioterapis dituntut untuk menghargai adat istiadat/kebiasaan dari pasien/klien dalam memberi pelayanan. Fisioterapis berkewajiban untuk berkarya mendukung kebijakan pelayanan kesehatan. c) Memberikan pelayanan professional secara jujur, berkompeten dan bertanggung jawab Tanggung jawab fisioterapis : 1) Fisioterapis mengemban tugas dan tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya dan memanfaatkan ketrampilan dan keahlian secara efektif untuk kepentingan individu dan masyarakat. 2) Fisioterapis dimanapun berada hendaknya selalu meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dilingkungannya.



3) Fisioterapis harus menjamin bahwa pelayanan yang diberikan, jenis, dosis, struktur organisasi dan alokasi sumber daya dirancang untuk pelayanan yang berkualitas sesuai dengan tuntutan kebutuhan individu, masyarakat, kolega dan profesi lain. 4) Fisioterapis hendaknya selalu mencari, memberi dan menerima informasi agar dapat meningkatkan pelayanan. 5) Fisioterapis harus menghindari praktek ilegal yang bertentangan dengan kode etik profesi. 6) Fisioterapis harus mencantumkan gelar secara benar untuk menggambarkan status profesinya 7) Fisioterapis wajib memberikan informasi yang benar kepada masyarakat profesi dan profesi kesehatan lainnya tentang fisioterapi dan pelayanan profesionalnya sehingga mereka menjadi tahu dan mau menggunakannya. 8) Fisioterapis dalam menentukan tarif pelayanan harus masuk akal dan tidak memanfaatkan profesi untuk semata-mata mencari keuntungan. 9) Jasa profesional yang diterima fisioterapis harus didapatkan dengan cara yang jujur. 10) Fisioterapis dalam memanfaatkan teknologi berdasarkan efektifitas dan efisiensi demi peningkatan kualitas pelayanan kesehatan individu dan masyarakat. Tanggung jawab organisasi profesi, antara lain: 1) Ikatan Fisioterapi Indonesia menjamin pelayanan yang diberikan secara jujur, komplit berdasarkan pada penelitian dan informasi aktual dalam rangka ikut meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. 2) Ikatan Fisioterapi Indonesia membuat dan memantau pelaksanaan standar profesi dalam praktek profesional. 3) Ikatan Fisioterapi Indonesia akan secara aktif mempromosikan profesi fisioterapi kepada masyarakat secara jujur. 4) Ikatan Fisioterapi Indonesia akan mengatur sumber daya yang ada secara efektif, efisien dan bertanggung jawab. 5) Ikatan Fisioterapi Indonesia memberikan dukungan kepada anggotanya untuk mendapatkan informasi pendidikan, program dan kebijakan organisasi. f.Ikatan Fisioterapi



Indonesia



penghasilan yang wajar.



memperjuangkan



agar



anggotanya



mendapatkan



6) Ikatan Fisioterapi Indonesia bertanggung jawab kepada anggotanya. d) Mengakui batasan dan kewenangan profesi dan hanya memberikan pelayanan dalam lingkup profesi fisioterapi 1) Fisioterapis memberikan pelayanan dan tindakan sesuai dengan pengetahuan dan ketrampilan yang dapat dipertanggungjawabkan. 2) Fisioterapis tidak akan melakukan aktifitas profesional yang dapat merugikan pasien/klien, kolega atau masyarakat. 3) Fisioterapis hendaknya selalu mensejajarkan pelayanannya dengan standar pelayanan pasien fisioterapi. 4) Fisioterapis dalam mengambil keputusan berdasarkan kepada pengetahuan dan kehati-hatian. 5) Fisioterapis



berkewajiban



menyumbangkan



gagasan,



pengetahuan



dan



ketrampilan untuk memajukan profesi dan organisasi. 6) Apabila fisioterapis memiliki pengetahuan dan pilihan yang kurang memadai untuk mengatasi kondisi tertentu, maka harus a) Meminta petunjuk dan saran kepada yang lebih berpengalaman pada kondisi yang tepat b) Merujuk pasien/klien kepada profesi atau lembaga lain yang tepat. Apabila fisioterapis menerima pasien/klien yang dirujuk kepadanya untuk konsultasi, maka ia tidak akan melakukan intervensi atau mengkonsulkan kepada kolega atau profesi lain tanpa persetujuan pasien/klien dan fisioterapis yang merujuk. e) Menghargai hubungan multidisipliner dengan profesi pelayanan kesehatan lain dalam merawat pasien/klien 1. Menyadari dengan sepenuhnya bahwa dalam melakukan intervensi terapeutik terhadap pasien/klien tidak dapat dilakukan sendiri tanpa peran serta pihak lainnya. 2. Menyadari bahwa dalam berinteraksi selalu timbul kesamaan persepsi dalam menangani kasus untuk perawatan kepada pasien/klien 3. Menyadari bahwa tunjuan Interaksi profesi khususnya kesehatan adalah memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien/klien agar pasien/klien memperoleh Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhannya secara legal, absah dan berkualitas. f) Menjaga rahasia pasien/klien yang dipercayakan kepadanya kecuali untuk kepentingan hukum/pengadilan



1. Informasi tentang pasien/klien dilarang untuk diberikan kepada orang atau pihak lain yang tidak berkepentingan tanpa persetujuan pasien/klien/kuasa hukumnya. 2. Pencatatan informasi selama kegiatan hendaknya tidak mencantumkan identitas pasien, kecuali ada persetujuan dari yang bersangkutan. 3. Informasi dapat diberikan apabila mempunyai kekuatan hukum atau bila diperlukan untuk keselamatan seseorang atau masyarakat. 4. Privasi pasien/klien harus tetap terjaga selama wawancara 5. Komputer atau catatan harus terlindung dari pihak yang tidak berkepentingan 6. Fisioterapis yang mengetahui terhadap informasi rahasia kolega/pasien/klien hanya akan membuka informasi tersebut bilamana sangat dibutuhkan. g) Selalu memelihara standar kompetensi profesi fisioterapi dan selalu meningkatkan pengetahuan/ketrampilan Tanggung jawab fisioterapis : 1. Fisioterapis bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan terkini. 2.



Fisioterapis secara terus menerus meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan profesi melalui literatur dan pendidikan.



3. Fisioterapis bertanggung jawab menggunakan teknik yang mereka kuasai, oleh karena itu hendaknya a. Mendelegasikan hanya kepada fisioterapis yang kualifait. b.



Memberikan instruksi yang jelas kepada pasien/klien, keluarga, asisten dan pihak lain apabila dipandang perlu.



4. Fisioterapis sebagai pemilik institusi pelayanan harus memastikan bahwa karyawannya mampu untuk menerima tanggung jawabnya. 5. Fisioterapis sebagai pemilik institusi pelayanan hendaknya memberikan kepada karyawannya untuk berkembang sebagai fisioterapis professional. 6. Fisioterapis dalam melakukan penelitian harus mengikuti kebijakan yang ditetapkan oleh Ikatan Fisioterapi Indonesia. h) Memberikan kontribusi dalam perencanaan dan pengembangan Pelayanan untuk meningkatkan derajat kesehatan individu dan masyarakat. 1. Fisioterapis mempunyai tugas dan kewajiban untuk bekerjasama dengan profesi lain dalam perencanaan dan pengelolaan pelayanan agar mampu memberikan pelayanan yang optimal bagi kesehatan individu dan masyarakat.



2. Fisioterapis hendaknya menyesuaikan diri dengan profesionalisme dan melengkapi diri dengan ketrampilan yang memadai untuk perencanaan dan pengelolaan dalam situasi tertentu yang dihadapinya, sehingga sadar akan keberadaan pelayanannya dalam konteks sosial dan ekonomi secara menyeluruh. 3. Fisioterapis mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan dan mendukung penelitian untuk perencanaan dan pengembangan. 4.



Fisioterapis memberikan dorongan dan dukungan kepada sejawat dalam menyusun perencanaan pelayanan dan strategi pengembangan.



C. Peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan kesehatan Hukum pelayanan kesehatan di atur dalam undang-undang, antara lain: 1. UU No 29 / 2004 ttg Praktik kedokteran 2. UU No 36 / 2009 ttg kesehatan 3. UU No 44 / 2009 ttg Rumah sakit 4. UU No 24 / 2011 ttg BPJS 5. UU No 36 /2014 ttg Tenaga Kesehatan 6. Perpres No 77 / 2015 ttg PedomanOrganisasi Rumah sakit 7. PMK No 290 / 2008 ttg Persetujuan Tindakan Kedokteran 8. PMK No 290 / 2008 ttg Persetujuan tindakan kedokteran 9. PMK No 80 / 2013 ttg Pekerjaan dan praktik Fisioterapis 10. PMK No 65 / 2015 ttg Standar Pelayanan Fisioterapi D. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2015 Mengatur tentang standar pelayanan fisioterapi, dengan penjelasan sebagai berikut: Menimbang : Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Pasal 66 ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Standar Pelayanan Fisioterapi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);



2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607); 3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 46 Tahun 2013 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 977); 4. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 80 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pekerjaan dan Praktik Fisioterapis (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1536); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG STANDAR PELAYANAN FISIOTERAPI Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Standar Pelayanan Fisioterapi adalah pedoman yang diikuti oleh fisioterapis dalam melakukan pelayanan fisioterapi. 2. Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan/atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang rentang kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis dan mekanis) pelatihan fungsi, dan komunikasi. 3. Fisioterapis adalah setiap orang yang telah lulus pendidikan fisioterapi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 4. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. 5.



Organisasi Profesi adalah wadah untuk berhimpun Fisioterapis di Indonesia. Pasal 2



Pengaturan Standar Pelayanan Fisioterapi bertujuan untuk: a. memberikan acuan bagi penyelenggaraan pelayanan Fisioterapi yang bermutu dan dapat dipertanggungjawabkan;



b. memberikan acuan dalam pengembangan pelayanan Fisioterapi di fasilitas pelayanan kesehatan; c. memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi Fisioterapis dalam menyelenggarakan pelayanan Fisioterapi; dan d. melindungi pasien/klien sebagai penerima pelayanan Fisioterapi. Pasal 3 1) Standar Pelayanan Fisioterapi meliputi penyelenggaraan pelayanan, manajemen pelayanan, dan sumber daya. 2) Standar Pelayanan Fisioterapi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diterapkan dalam pemberian pelayanan kepada pasien/klien pada semua kasus. 3) Penatalaksanaan pada masing-masing kasus disusun oleh Organisasi Profesi dan disahkan oleh Menteri. 4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Standar Pelayanan Fisioterapi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 4 1) Menteri Kesehatan, Gubernur, Bupati/Walikota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan dan penerapan Standar Pelayanan Fisioterapi sesuai dengan kewenangan masing-masing. 2) Dalam melakukan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Kesehatan, Gubernur, Bupati/Walikota dapat melibatkan organisasi profesi. 3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk: a. meningkatkan mutu pelayanan Fisioterapi; dan b.



mengembangkan pelayanan Fisioterapi yang efisien dan efektif.



4) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui: a. advokasi dan sosialisasi; b. pendidikan dan pelatihan; dan/atau c.



pemantauan dan evaluasi.



Pasal 5 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku: a. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 378/Menkes/SK/IV/2008 tentang Pedoman Pelayanan Rehabilitasi Medik di Rumah Sakit, sepanjang mengatur pelayanan fisioterapi; b. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 517/MENKES/SK/VI/2008 tentang Standar Pelayanan Fisioterapi di Sarana Kesehatan; dan c. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 778/MENKES/SK/VIII/2008 tentang Pedoman Pelayanan Fisioterapi di Sarana Kesehatan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 6 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. E. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2013 Peraturan perundang-undangan PMK Republik Indonesia No.80 Tahun 2013, dijelaskan sebagai berikut: Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2013 Tentang penyelenggaraan pekerjaan dan praktek fisioterapi. Menimbang : a. bahwa Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1363/Menkes/SK/XII/2001 tentang Registrasi dan Izin



Praktik Fisioterapis sudah tidak sesuai dengan



perkembangan kebijakan tenaga kesehatan; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 23 ayat (5) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Penyelenggaraan Pekerjaan dan Praktik Fisioterapis; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116 Tambaran Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);



2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); 4. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia



Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara



Republik Indonesia Nomor 5072); Peraturan ... 5. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3637); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 7. Keputusan



Menteri



Kesehatan



Republik



Indonesia



Nomor



517/Menkes/SK/VI/2008 tentang Standar Pelayanan Fisioterapi di Sarana Kesehatan; 8. Keputusan



Menteri



Kesehatan



Republik



Indonesia



Nomor



778/Menkes/SK/VIII/2008 tentang Pedoman Pelayanan Fisioterapi di Sarana Kesehatan; 9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1144/Menkes/ Per/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 585) sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2013 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 741) ; 10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 46 Tahun 2013 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 977);



11. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 67 Tahun 2013 tentang Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1320) MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PENYELENGGARAAN PEKERJAAN DAN PRAKTIK FISIOTERAPIS.



BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Fisioterapis adalah setiap orang yang telah lulus pendidikan fisioterapi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 2. Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan/atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang rentang kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis dan mekanis) pelatihan fungsi, komunikasi. 3. Fasilitas



Pelayanan



Kesehatan



adalah



tempat



yang



digunakan



untuk



menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. 4. Surat Tanda Registrasi Fisioterapis yang selanjutnya disingkat STRF adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Pemerintah kepada Fisioterapis yang telah memiliki sertifikat kompetensi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 5. Surat Izin Praktik Fisioterapis yang selanjutnya disingkat SIPF adalah bukti tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan praktik pelayanan Fisioterapi secara mandiri dan/atau pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan. 6. Surat Izin Kerja Fisioterapis yang selanjutnya disingkat SIKF adalah bukti tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan pekerjaan Fisioterapi pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan. 7. Standar Profesi Fisioterapis adalah batasan kemampuan minimal yang harus dimiliki/dikuasai oleh Fisioterapis untuk dapat melaksanakan pekerjaan dan



praktik pelayanan fisioterapi secara profesional yang diatur oleh Organisasi Profesi. 8. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. 9. Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia yang selanjutnya disingkat MTKI adalah lembaga yang berfungsi untuk menjamin mutu tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan. 10. Majelis Tenaga Kesehatan Provinsi yang selanjutnya disingkat MTKP adalah lembaga yang membantu pelaksanaan tugas MTKI. 11. Organisasi Profesi adalah Ikatan Fisioterapis Indonesia. Pasal 2 Dalam Peraturan Menteri ini diatur segala sesuatu yang berkaitan dengan tindakan yang harus dilaksanakan oleh Fisioterapis dalam melaksanakan pekerjaan dan praktik Pelayanan Fisioterapi. BAB II PERIZINAN Bagian Kesatu Kualifikasi Fisioterapis Pasal 3 1) Berdasarkan pendidikannya Fisioterapis dikualifikasikan sebagai berikut: a. Fisioterapis Ahli Madya; b. Fisioterapis Sarjana Sains Terapan; c. Fisioterapis Profesi; dan d. Fisioterapis Spesialis. 2) Fisioterapis Ahli Madya sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 huruf a merupakan lulusan Program Diploma Tiga Fisioterapi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3) Fisioterapi Sarjana Sains Terapan sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 huruf b merupakan lulusan Program Diploma Empat atau Sarjana Terapan Fisioterapi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 4) Fisioterapis Profesi sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 huruf c merupakan lulusan Program Profesi Fisioterapi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.



5) Fisioterapis Spesialis sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 huruf d merupakan lulusan Program Spesialis Fisioterapi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Bagian Kedua Sertifikat Kompetensi Fisioterapis dan STRF Pasal 4 1) Fisioterapis untuk dapat melakukan pekerjaan dan praktiknya harus memiliki STRF. 2) Untuk dapat memperoleh STRF sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Fisioterapis harus memiliki sertifikat kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 3) STRF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh MTKI dengan masa berlaku selama 5 (lima) tahun. 4) STRF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 5) Contoh STRF sebagaimana tercantum dalam Formulir I terlampir yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 5 STRF yang telah habis masa berlakunya dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan. Bagian Ketiga SIPF dan SIKF Pasal 6 1) Fisioterapis dapat menjalankan praktik pelayanan Fisioterapi secara mandiri atau bekerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. 2) Fisioterapis yang menjalankan praktik pelayanan Fisioterapi secara mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus merupakan Fisioterapis Profesi atau Fisioterapis Spesialis. 3) Fisioterapis Ahli Madya atau Fisioterapis Sains Terapan hanya dapat bekerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. 4) Fisioterapis Ahli Madya atau Fisioterapis Sains Terapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus bekerja di bawah pengawasan Fisioterapis Profesi atau Fisioterapis Spesialis.



5) Dalam hal tidak terdapat Fisioterapis Profesi atau Fisioterapis Spesialis, Fisioterapis Ahli Madya atau Fisioterapis Sains Terapan dapat melakukan Pelayanan Fisioterapi secara berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain yang ada di Fasilitas Pelayanan Kesehatan tempat Fisioterapis Ahli Madya atau Fisioterapis Sains Terapan yang bersangkutan bekerja. Pasal 7 1) Fisioterapis Profesi atau Fisioterapis Spesialis yang melakukan praktik Pelayanan Fisioterapi secara mandiri dan bekerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib memiliki SIPF. 2) Fisioterapis Ahli Madya atau Fisioterapis Sains Terapan yang melakukan pekerjaan Pelayanan Fisioterapi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib memiliki SIKF. Pasal 8 1) SIPF atau SIKF diberikan kepada Fisioterapis yang telah memiliki STRF. 2) SIPF atau SIKF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota. 3) SIPF atau SIKF sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku untuk 1 (satu) tempat. Pasal 9 1) Untuk memperoleh SIPF atau SIKF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Fisioterapis harus mengajukan permohonan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota dengan melampirkan: a. fotocopy ijazah yang dilegalisir; b. fotocopy STRF; c. surat keterangan sehat dari dokter yang memiliki Surat Izin Praktik; d. surat pernyataan memiliki tempat kerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan atau tempat praktik pelayanan Fisioterapi secara mandiri; e. pas foto berwarna terbaru ukuran 4X6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar berlatar belakang merah; f. rekomendasi dari kepala dinas kesehatan kabupaten/kota atau pejabat yang ditunjuk; dan g. rekomendasi dari Organisasi Profesi.



2) Apabila SIPF atau SIKF dikeluarkan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota, persyaratan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f tidak diperlukan. 3) Contoh surat permohonan memperoleh SIPF atau SIKF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Formulir II terlampir yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Contoh SIPF dan SIKF sebagaimana tercantum dalam Formulir III dan Formulir IV terlampir yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 10 1) Fisiopterapis warga negara asing dapat mengajukan permohonan memperoleh SIKF setelah: a. memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9; b.



melakukan evaluasi dan memiliki surat izin kerja dan izin tinggal serta persyaratan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan



c. memiliki kemampuan berbahasa Indonesia. 2) Fisioterapis Warga Negara Indonesia lulusan luar negeri dapat mengajukan permohonan memperoleh SIPF atau SIKF setelah: a. memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9; dan b. melakukan evaluasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 11 1) SIPF atau SIKF berlaku sepanjang STRF masih berlaku dan dapat diperpanjang kembali selama memenuhi persyaratan. 2) Fisioterapis yang akan memperbaharui SIPF atau SIKF harus mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.



Pasal 12 1) Fisioterapis hanya dapat melakukan pekerjaan dan/atau praktik paling banyak di 2 (dua) tempat kerja/praktik. 2) Permohonan SIPF atau SIKF kedua dapat dilakukan dengan menunjukan bahwa yang bersangkutan telah memiliki SIPF atau SIKF pertama. 3) Dalam keadaan tertentu berdasarkan kebutuhan pelayanan kesehatan dan jumlah Fisioterapis, pemerintah daerah kabupaten/kota setempat dapat memberikan SIPF atau SIKF kepada Fisioterapis sebagai izin melakukan pelayanan Fisioterapis yang ketiga.



4) SIPF atau SIKF sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya berlaku di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. 5) Untuk mengajukan permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Fisioterapis selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, harus juga melampirkan: a. SIPF atau SIKF yang pertama dan kedua; b. Surat persetujuan atasan langsung bagi Fisioterapis yang bekerja pada instansi/Fasilitas Pelayanan Kesehatan; dan c. surat rekomendasi dari dinas kesehatan provinsi setempat. BAB III PELAKSANAAN PELAYANAN FISIOTERAPIS Pasal 13 Fisioterapis yang memiliki SIPF atau SIKF dapat melakukan pelayanan Fisioterapi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan berupa: a. puskesmas; b. klinik; c. rumah sakit; dan/atau d. Praktik Fisioterapi mandiri. Pasal 14 Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang mengizinkan Fisioterapis yang tidak memiliki SIPF atau SIKF untuk melakukan pelayanan Fisioterapi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan tersebut. Pasal 15 1) Fisioterapis yang akan melakukan pelayanan Fisioterapi secara mandiri harus memenuhi persyaratan sarana, dan peralatan sesuai dengan kebutuhan pelayanan Fisioterapi. 2) Sarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa ruang praktik yang terdiri dari ruang intervensi, ruang tunggu, dan kamar mandi/WC yang memenuhi persyaratan kesehatan. 3) Peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:



a. peralatan administrasi berupa meja, kursi, alat tulis kantor, catatan tindakan fisioterapis dan formulir rujukan; b. peralatan pemeriksaan sekurang-kurangnya berupa meteran gulung, goniometer, tensimeter dan stetoskop; dan c. peralatan intervensi sekurang-kurangnya berupa tempat tidur atau matras. Pasal 16 1) Dalam menjalankan Praktik, Fisioterapis memiliki kewenangan untuk melakukan pelayanan fisioterapi meliputi: a. asesmen fisioterapi yang meliputi pemeriksaan dan evaluasi; b. diagnosis fisioterapi; c. perencanaan intervensi fisioterapi; d. intervensi fisioterapi; dan e. evaluasi/re-evaluasi/re-assessmen/revisi. 2) Dalam melakukan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), fisioterapis dapat menerima pasien langsung atau berdasarkan rujukan dari tenaga kesehatan lainnya. 3) Fisioterapis Ahli Madya hanya dapat memberikan pelayanan fisioterapi atas dasar prosedur baku sesuai pedoman pelayanan fisioterapi. 4) Fisioterapis Sarjana Sains Terapan dapat menerima pasie n langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk memberikan pelayanan gangguan gerak dan fungsi yang meliputi: a. pelayanan yang bersifat promotif dan preventif; b. pelayanan untuk memelihara kebugaran, memperbaiki dan memelihara postur, dan melatih irama pernafasan c. pelayanan dengan keadaan aktualisasi rendah dan bertujuan untuk pemeliharaan; dan d. pelayanan pada cidera olahraga. 5) Pemberian pelayanan selain pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) termasuk yang berkaitan dengan pengobatan, penyembuhan dan pemulihan kesehatan atas rujukan tenaga kesehatan lain, hanya dapat dilakukan oleh Fisioterapis Sarjana Sains Terapan dengan supervisi fisioterapi profesi atau fisioterapi spesialis. 6) Fisioterapis profesi dapat menerima pasien langsung sebagaimana dimaksud ayat (2) untuk memberikan pelayanan gangguan gerak dan fungsi tubuh pada organ dan/atau



sistem nuromusculer, musculoskeletal, cardiovaskuler dan respirasi serta integument sepanjang rentang kehidupan. 7) Fisioterapis spesialis dapat menerima pasien langsung sebagaimana dimaksud ayat (2) untuk memberikan pelayanan gangguan gerak dan fungsi tubuh berdasarkan spesialisasinya. Pasal 17 Pelayanan fisioterapi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dilaksanakan oleh Fisioterapis dengan memenuhi Standar Profesi Fisioterapis. Pasal 18 1) Dalam melaksanakan pelayanan Fisioterapi, Fisioterapis wajib melakukan pencatatan. 2) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disimpan selama 5 (lima) tahun. Pasal 19 Dalam melaksanakan pelayanan Fisioterapi, Fisioterapis mempunyai hak: a. memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan pelayanan Fisioterapi sesuai dengan Standar Profesi Fisioterapis; b. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien dan/atau keluarganya; c. melaksanakan pelayanan sesuai dengan kompetensi; d. menerima imbalan jasa profesi; e. dan memperoleh jaminan perlindungan terhadap risiko kerja yang berkaitan dengan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 20 Dalam melaksanakan pelayanan fisioterapi, fisioterapi mempunyai kewajiban: a. menghormati hak pasien/klien; b. merujuk kasus yang tidak dapat ditangani; c. menyimpan rahasia pasien/klien sesuai dengan peraturan perundang-undangan; d. memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien/klien dan pelayanan yang dibutuhkan dalam lingkup tindakan Fisioterapi; e. meminta persetujuan tindakan Fisioterapi yang akan dilakukan;



f. membantu program Pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat; dan g. mematuhi standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional Fisioterapis. BAB IV PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 21 1) Menteri, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, MTKI, dan MTKP melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pekerjaan dan praktik Fisioterapis dengan mengikutsertakan Organisasi Profesi. 2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk meningkatkan mutu pelayanan Fisioterapi yang diberikan oleh Fisioterapis. Pasal 22 1) Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib melaporkan Fisioterapis yang bekerja dan berhenti bekerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatannya pada tiap triwulan kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dengan tembusan kepada Organisasi Profesi. 2) Kepala dinas kesehatan kabupaten/kota wajib melaporkan Fisioterapis yang bekerja di daerahnya setiap 1 (satu) tahun kepada kepala dinas kesehatan provinsi. Pasal 23 1) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud Pasal 21, Menteri, pemerintah daerah provinsi atau kepala dinas kesehatan provinsi dan pemerintah daerah kabupaten kota/kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dapat memberikan tindakan administratif kepada Fisioterapis yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan penyelenggaraan pekerjaan dan praktik Fisioterapis dalam Peraturan Menteri ini. 2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berupa: a. teguran lisan; b. teguran tertulis; dan/atau c. pencabutan SIPF dan/atau SIKF.



Pasal 24 1) Pemerintah daerah kabupaten/kota atau kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dapat merekomendasikan pencabutan STRF kepada MTKI terhadap Fisioterapis yang melakukan pekerjaan dan praktik Fisioterapi tanpa memiliki SIPF atau SIKF. 2) Pemerintah daerah kabupaten/kota atau kepala dinas kabupaten/kota dapat mengenakan sanksi teguran lisan, teguran tertulis sampai dengan pencabutan izin Fasilitas Pelayanan Kesehatan kepada pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang mempekerjakan Fisioterapis yang tidak memiliki SIPF atau SIKF. BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 25 Fisioterapis yang telah memiliki SIPF berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1363/Menkes/SK/XII/2001 tentang Registrasi dan Izin Praktik Fisioterapis dinyatakan telah memiliki STRF sampai dengan masa berlakunya berakhir sesuai ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 46 Tahun 2013 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan. Pasal 26 1) Fisioterapis yang bekerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan telah memiliki SIPF berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1363/Menkes/SK/XII/2001 tentang Registrasi dan Izin Praktik Fisioterapis dinyatakan telah memiliki SIPF atau SIKF berdasarkan Peraturan Menteri ini sampai dengan masa berlakunya berakhir. 2) Fisioterapis yang melaksanakan praktik pelayanan Fisioterapi secara mandiri dan telah memiliki



SIPF



berdasarkan



Keputusan



Menteri



Kesehatan



Nomor



1363/Menkes/SK/XII/2001 tentang Registrasi dan Izin Praktik Fisioterapis, SIPF yang bersangkutan masih tetap berlaku sampai dengan masa berlakunya berakhir. Pasal 27 1) Fisioterapis Ahli Madya atau Fisioterapis Sarjana Sains Terapan yang telah melakukan praktik pelayanan Fisioterapi secara mandiri sebelum diterbitkannya Peraturan Menteri ini, masih dapat melakukan pekerjaannya paling lama 7 (tujuh) tahun sejak Peraturan Menteri ini diundangkan.



2) Fisioterapis Ahli Madya atau Fisioterapis Sarjana Sains Terapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap diberikan SIPF berdasarkan Peraturan Menteri ini. Pasal 28 Standar Profesi Fisioterapis yang ditetapkan oleh Organisasi Profesi masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri ini dan belum ditetapkan yang baru oleh Organisasi Profesi. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 29 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku: a. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1363/Menkes/SK/XII/2001 tentang Registrasi dan Izin Praktik Fisioterapis; dan b. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 376/Menkes/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Fisioterapis, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 30 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan peraturan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA https://novalandawisda.blogspot.com/2016/03/pmk-no-65-tahun-2015-tentangstandar.html http://www.mipa-farmasi.com/2018/08/permenkes-no-80-tahun-2016-tentangpenyelenggaraan-pekerjaan-asisten-tenaga-kesehatan.html http://dianikac.blogspot.com/2016/05/kode-etik-fisioterapi-indonesia.html