Makalah Filsafat Islam [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

FILSAFAT ISLAM MAKALAH Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata kuliah : Falsafah Kesatuan Ilmu Dosen Pengampu : Koirul Anwar, S.Ag.,M.A.



Oleh:



Anna Zahiroh (1905046001) Fitra Istianaturrahman (1905046002) Annisa Azzahra (1905046003) Yulia Azmi Azizah(1905046004)



FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGRI WALISONGO SEMARANG 2020



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Berfikir adalah hal selalu di lakukanoleh manusia,dan berpikir pula merupakan keistimewaan yang di berikan oleh Allah SWT kepada kita manusi.Akal yang di berikan oleh nya merupakan suatu pembeda antara kita dan makhluk lainya. Para ilmuan ilmuan yang terkemuka memberikan definisi tentang ilmu filsafat namun masing masingdefinisi mereka berbeda akan tetapi tidak bertentangan ,bahkan saling mengisi dan melengkapi dan terdapat kesamaan yang saling memprtalikan semua definisi itu. Hal tersebut baik untuk menambah wawasan kita karna dngan mengetahui pengertian dari para ilmuan ilmuan sebelum kita, kita banyak belajar dari sana. Filsafat merupakan suatu upaya berfikir yang jelas dan terang tentang seluruh kenyataan, filsafat dapat mendorong pikiran kita untuk meraih kebenaran yang dapat membawa manusia kepada pemahaman, dan pemahaman membawa manusia kepada tindakan yang lebih layak. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana awal mula filsafat islam? 2. Bagaimana perkembangan filsafat Islam era klasik hingga modern? C. Tujuan Masalah 1. Mengetahui awal mula filsafat islam. 2. Mengetahui perkembangan filsafat islamera klasik hingga modern.



1



BAB II PEMBAHASAN A. Filsafat Islam 1. Pengertian Filsafat Islam Filsafat islam merupakan gabungan dari dua kata, yaitu filsafat dan islam. Secara estimologi filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaituphilein atau philos dan sophia. Kata philein atau philos berarti cinta (love) tapi dalam maknanya yang luas yakni berupa hasrat ingin tau seseorang terhadap kebijaksanaan, ilmu pengetahuan atau kebenaran.sedangkan kata shopia berarti kebijaksanaan (wisdom) sehingga secara sederhana filsafat adalah mencintai kebijaksanaan (the love of wisdom). Secara terminologi filsafat adalah kontemplasi atau mempelajari pertanyaan-pertanyaan penting mengenai eksistensi kehidupan yang berakhir dengan pencerahan dan pemaahaman (illumination and understanding). Kata filsafat mengisyaratkan dua kutub yaitu kutub aktifitas (ditunjuk kata kerja philein) dengan mengungkapkan aspirasi dan kesetaraan kepada sasaran yang belum dimiliki secara utuh dan kutub objek yang fikiran manusia mengarahkan pada diri, yaitu kebijaksanaan atau kebenaran (yang ditunjuk kata benda Sophias). Menurut tradisi filsafat yang tua setidak tidaknya berdasarkan tulisan-tulisan Diogenes laertio dan cicero, kata yunani philosophia pertama kali digunakan phytagoras untuk menyebut gerak pencarian akan kebijaksanaan dan kebenaran yang bisa dilakukan manusia. Sementara itu, kata Islam secara semantik berasal dari kata salima yang berarti menyerah, tunduk, dan selamat. Islam artinya menyerahkan diri kepada Allah, dan dengan menyerahkan diri kepada-Nya maka akan memperoleh keselamatan dan kedamaian. Dalam pengertian menyerah, maka semua mahkluk ciptaan Allah, gunung, samudra, udara, air,cahaya dan bahkan setan pada hakikatnya adalah islam. Dalam arti tunduk dan menyerah pada penciptanya.Pada hukum-hukum yang sudah ditetapkan dan berlaku pada dirinya sebagai sunatullah (termasuk hukum alam). Jadi filsafat islam atau Islamic phisopi pada hakikatnya adalah filsafat yang bercorak Islami. Islam menempati posisi sebagai sifat, corak, dan karakter dari filsafat.Filsafat Islam bukan thephilosopi of Islam.Maaksud dari filsafat islamialah 2



berfikir dengan bebas dan radikal namun tetap berada pada taraf normal yang mempunyai sifat, corak, serta karakter yang menyelamatkan dan memberi kedamaian hati. Filsafat islam tidaklah semata-semata bersifat rasional yang hanya bersandar pada analisis logis terhadap suatu peristiwa tetapi juga jejak sepiritual untuk memasuki



dimensi



keghaiban.



Rasionalitas



filsafat



islam



terletak



pada



kemampuannya menggunakan potensi berfikir secara bebas, radikal, dab berada pada tataran makna untuk menganalisis fakta-fakta empiric dari suatu kejadian, dalam bangunan sistem pengetahuan yang ilmiah. Sedangkan transendensinya terletak pada kesanggupkan mendayagunakan kalbu dan impuisi imajinatif, untuk menebus dan menyatu dalam kebenaran ghaib secaara langsung dan menjadi saksi kehadiran Allah dalam realitas kehidupan. Dalam contoh konkrit adalah filsuf al-farabi yang tudak hanya sekedar berfilsafat untuk mengantarkannya pendalaman logika yang rasional menyusun konsep-konsep kefilsafatan sebagai teori emanasi dan teori kenegaraan tetapi lebih jauh lagi ia masuk dalam pengalaman sepiritualitas dengan menjalani kehidupan shufi. Hal yang sama juga dilakukan Al-Ghazali dimana filsafatnya telah mengantarkannya pada pengalaman sepiritual dalam kehidupan social. Keduanya sesungguhnya tidak meninggalkan filsafat tetapi melalui filsafat keduanya memasuki dataran pengalaman sepiritualitas sehingga filasafatnya membawa pada keselamatan dan kedamaian.



2. Asal Mula Filsafat Islam Pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang masuk dalam pemikiran Islam, diakui banyak kalangan telah mendorong perkembangan filsafat Islam menjadi makin pesat.Meski demikian, menurut ditulis Oliver Leaman (l. 1950 M).1 Seorang orientalis asal Universitas Kentucky, USA, adalah suatu kesalahan besar jika menganggap bahwa filsafat Islam bermula dari proses penerjemahan teks-teks Yunani tersebut, atau hanya nukilan dari filsafat Aristoteles (384- 322 SM) seperti dituduhkan Ernest



1



Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, Terj. Amin Abdullah, (Jakarta: Rajawali, 1988), 8.



3



Renan (1823-1893 M), atau dari Neo-Platonisme seperti disampaikan Pierre Duhem (1861-1916 M).2 Ada beberapa hal yang harus diperhatian dalam hal ini, antara lain: Pertama, bahwa belajar atau berguru bukan berarti hanya meniru atau mengikuti semata. Perlu dipahami bahwa suatu ide atau gagasan dapat dibahas oleh banyak orang dalam berbagai macam fenomena. Seseorang berhak mengambil sebagian gagasan orang lain akan tetapi hal tersebut tidak dapat menghalangi dalam menampilkan teori atau filsafat sendiri. Aristoteles (384-322 SM), misalnya, jelas murid Plato (427-348 SM), tetapi ia mempunyai pandangan sendiri yang tidak dikatakan gurunya. Begitu pula Baruch Spinoza (1632-1777 M), walau secara jelas sebagai pengikut Rene Descartes (1596-1650 M), tetapi ia dianggap mempunyai pandangan filosofis yang berdiri sendiri.3 Hal semacam itu juga terjadi pada para filsuf Muslim, seperti Al-Farabi (870950 M) dan Ibnu Rusyd (126-1198 M) walau banyak dilhami oleh pemikiran filsafat Yunani, tetapi itu tidak menghalanginya untuk mempunyai pandangannya sendiri yang tidak sama dengan filsafat Yunani. Kedua, bahwa ide, gagasan, atau pemikiran, seperti yang disampaikan Karl A. Steenbrinkyaitu ekspresi dan hasil dari proses komunikasi sang tokoh dengan kondisi sosial lingkungannya.4Maksudnya adalah sebuah ide, gagasan, atau pengetahuan tidak dapatluput dari akar sosial, tradisi, dan keberadaan seseorang yang melahirkan ide atau pemikiran tersebut.Pemikiran filsafat Yunani dan Islam lahir dari keyakinan, budaya dan kondisi sosial yang berbeda-beda. Karena itu, menyamakan dua pemikiran yang lahir dari budaya yang berlainan adalah sesuatu yang tidak tepat, sehingga pada penjelasan karya-karya Muslim dengan cara terpisah dari berbagai faktor dan kondisi kultural juga akan menjadi suatu deskripsi yang tidak lengkapdan tidak dapat menjelaskan terkait transformasi besar yang sering terjadi saat batas-batas kultural sudah terlewati. Berdasarkan kenyataan itu, maka apa yang disebut sebagai transmisi filsafat Yunani ke Arab Islam pada dasarnya merupakan suatu proses panjang dan kompleks yang banyak dipengaruhi oleh keyakinan dan teologis para 2



Ibrahim Madkur, Fî al-Falsafah al-Islâmiyyah Manhaj wa Tat}bîquhu, I, (Mesir: Dâr al-Ma’ârif, T. Th), 26 Ibid. 4 Karel A. Steenbrink, Metodologi Penelitian Agama Islam di Indonesia: Beberapa Petunjuk Mengenai Penelitian Naskah Melalui Syair Agama dalam Beberapa Melayu dari Abad 19, (Semarang: LP3M IAIN Walisongo Semarang, 1985), 4 3



4



pelakunya, kondisi budaya yang melingkupi dan seterusnya. Termasuk dalam istilahistilah teknis yang secara konteks dan problem bahasa Arab dan ajaran Islam tidak akan lepas. Akibatnya, tugas rekonstruksi berbagai sumber Yunani untuk ilmu dan filsafat tidak mungkin selalu diharapkan dalam terjemahan secara jelas ke dalam sesuatu yang dianggap asli Yunani.Namun, harus mempertimbangkan aktivitas yang terjadi di luar teks. Begitu juga perluasan-perluasan, pengembangan dan penggarapan kembali ide-ide Yunani dari al-Kindi (801-878 M) sampai Ibnu Rusyd (1126-1198 M), bahkan Suhrawardi (1153-1191 M) dan sesudahnya tidak mungkin sepenuhnya dapat dipahami tanpa merujuk pada situasi-situasi kultural yang mengkondisikan arah dan karakter karya-karya tersebut.5 Ketiga, bahwa kenyataan sejarah mengungkapkan pemikiran rasional lebih dahulu ada dan mapan pada tradisi keilmuan muslim sebelum muncul filsafat Yunani. Dalam bukunya Philip K. Hitti (1986), meski karya-karya Yunani mulai diterjemahkan sejak masa kekuasaan Bani Umaiyah (661-750 M), tetapi buku-buku filsafatnya yang kemudian melahirkan al-Kindi (801-873 M) dan mulai digarap pada masa dinasti Abbasiyah (750-1258 M), khususnya pada masa khalifah al-Makmun (811-833 M) oleh Ja’far ibn Yahya al-Barmaki (767-803 M), Yuhana ibn Masawaih (777-857 M), dan Hunain ibn Ishaq (809-873 M).Pada era ini, sistem berpikir rasional telah berkembang pesat dalam masyarakat intelektual Arab-Islam, yakni dalam fiqh (yurisprudensi) dan kalam (teologi).Begitu pula dalam bidang fiqh, penggunaan nalar rasional dalam penggalian hukum (istinbat) dengan istilah-istilah seperti istihsan, istislah, qiyas, dan telah lazim digunakan. Tokoh-tokoh mazhab fikih yang melahirkan metode istinbat dengan menggunakan rasio seperti itu, diantaranya Abu Hanifah (699-767 M), Malik (716-796 M), Syafi’i (767-820 M) dan Ibnu Hanbal (780-855 M) hidup sebelum muncul filsafat Yunani. Hal tersebut menunjukan bahwa sebelum adanya logika dan filsafat Yunani, telah ada model pemikiran rasional filosofis yang berlangsung baik melalui tradisi keilmuan Islam, yakni dalam kajian teologis dan hukum maupun pemikiran rasional dari teologi dan hukum.Sehingga, inilah yang menyiapkan landasan bagi diterima dan berkembangnya logika dan filsafat Yunani dalam Islam, bukan sebaliknya.6 5



Sabra, “Apropriasi dan Naturalisasi Ilmu-Ilmu Yunani dalam Islam, Sebuah Pengantar”, dalam Jurnal alHikmah, (Edisi 6, Oktober 1992), 90 6 A. Khudori Soleh, 2014, Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam, ejournal, Vol.10, No. 1, 67.



5



3. Polemik Seputar Filsafat Islam Terjadi perbedaan pendapat diantara para ilmuwan mengenai



penamaan



filsafat Islam, yakni apakah lebih layak disebut filsafat Arab atau memeng filsafat islam. Diantara penulis-penulis yang menamakan filsafat Arab ialah Maurice de Wulf Dalam bukunya Histoire de la philosophi mediavale (sejarah filsafat abad pertengahan). Lutfi as-Sayyid dari mesir juga memakai istilah tersebut dalam mukadimah terjemahannya terhadap buku Aristoteles: Etika untuk Nikomakus. Sedangkan penulis-penulis



yang menggunakan istilah filsafat islam adalah Max



Horten, De Bour, ghautier, dan Carra de vaux. Carrlo Nalinno termasuk salah seorang orientalis yang menggunakan istilah filsafat arab terhadap filsafat islam. Menurut Nalinno filsafat arab mencakup orang Persia, Tuku, Suriah, Mesir, Barbar Andalusia, dan lain-lain. Karena itu Nalinno berpendapat bahwa ilmu filsafat islam lebih layak disebut dengan ilmu filsafat arab karena filsafat islam ditulis dengan bahasa arab, Jadi Nalinno memberikan argumentasi melalui analisis bahasa. Sedangkan Courban tetap mempertahankan istilah filsaft islam. Menurut Courban jika berpegang dengan filsaft arab, maka pemikiran itu akan menjadi sempit, bahkan keliru. Karena itu , istilah yang paling tepat dan benar ialah filsafat dalam islam, atau filsafat islam, atau filsaft di negri-negri islam. Banyak orang yang menentang penamaan filsafat arab. Menurut Prof. Tarashand, penamaan filsafat arab sama sekali tidak sesuai, karena mereka yang menekuni bidang ilmu tersebut tidak semuanya orang arab, bahkan sebagian dari orang Persia atau orang-orang dari negri lain. Pemikiran filsafat tersebut tidak hanya dituangkan dalam bahasa Arab, tapi dalam bahasa-bahasa lain seperti bahasa Persia dan sebagainya. Suatu hal yang lebih penting lagi ialah, kenyataan bahwa filsafat tersebut tumbuh dari kebutuhan islam, pada argumentasinya dalam diskusi keagamaannya untuk mempertahankannya prinsip-prinsip ajarannya. Pada dasarnya filsafat tersebut menekankan perhatian terhadap kepentingan memperkokoh sendi-sendi akidah islam, atau untuk mengungkap dasar-dasar filsafatnya. 6



Sebenarnya perbedaan istilah itu hanya perbedaan namanya saja, sebab sebagaimana pun hidup dan suburnya pemikiran tersebut (filsafat) adalah dibawah naungan islam, kebanyakan karyanya ditulis dalam bahasa arab. Kalau yang dimaksud dengan istilah filsafat Arab ialah bahwa filsafat tersebut adalah hasil umat Arab semata-mata, maka tidak benar, sebab kenyataannya menunjukan bahwa islam telah mempersatukan berbagai umat, dan kesemuanya telah ikut serta dalam memberikan sumbangan dalam filsafat tersebut. Filsafat islam adalah bercorak islam bukaan hanya karena ia dibudidayakan didunia islam dan dikonstruksi oleh kaum muslim, melainkan juga karena menguraikan prinsip-prinsip dan menimba inspirasi dari sumber-sumber wahyu islam, serta menangani banyak persoalan dengan sumber-sumber dan klaim-klaim yang bertentangan dari para penentangnya.



B. Perkembangan Filsafat Islam Era Klasik hinggaModern Mayoritas peneliti baik muslim maupun non-muslim berpendapat bahwa pemikian rasional filosofis Islam lahirbukan dari pihak luar melainkan dari kitab suci mereka sendiri, dari Al-Qur‘an, khususnya dalam kaitannya dengan upaya-upaya untuk menyesuaikan antara ajaran teks dengan realitas kehidupan sehari-hari. Pada awal mula perkembangan Islam, ketika Rasul SAW masih hidup, semua persoalan bisa diselesaikan dengan cara ditanyakan langsung kepada beliau, atau diatasi melalui jalan kesepakatakan diantara para cerdikiawan. Akan tetapi, hal itu tidak bisa lagi dilakukan setelah Rasul SAW wafat dan persoalan-persoalan semakin banyak dan juga rumit seiring dengan perkembangan Islam yang demikian cepat terutama di era modern saat ini yang dipengaruhi oleh budaya barat. Dengan adanya permasaalahan tersebut, jalan satu-satunya adalah kembali kepada ajaran teks suci, yaitu Al-Qur‘an dan melalui berbagai pemahaman. Dalam upaya untuk memahami ajaran al-Qur’an tersebut, minimal ada tiga model kajian resmi yang nyatanya mempunyai relevansi filosofis, antara ntara lain: 1.



Penggunaan takwil dalam mengungkap atau menjelaskan masalah-masalah yang sedang dibahas. Meski model ini diawasi secara ketat dan terbatas, tapi



7



pelaksanaannya jelas membutuhkan pemikiran dan perenungan mendalam, karena ia berusaha ‘keluar’ dari makna lahiriah (zahir) teks. 2.



Pembedaan antara istilah-istilah atau pengertian yang mengandung lebih dari satu makna (musytarak) dengan istilah-istilah yang hanya mengandung satu arti. Di sini justru lebih mendekati model pemecahan filosofis dibanding yang pertama.



3.



Penggunaan



qiyas



(analogi)



atas



persoalan-persoalan



yang



tidak



ada



penyelesaiannya secara langsung dalam teks.7 Sebagai contoh, apakah larangan menimbun emas dan perak (QS. al-Taubah: 34) itu hanya berlaku pada emas dan perak atau juga meliputi batu permata dan batu berharga? Apakah kata ‘mukmin’ dan ‘muslim’ dalam Al-Qur`an (yang secara bahasa Arab menunjuk makna laki-laki) juga mencakup wanita dan budak? Bersamaan dengan itu, dalam persoalan-persoalan teologis, para cerdikiawan muslim dituntut supaya mampu menyelaraskan pandangan-pandangan yang tampaknya kontradiktif dan juga rumit. Kemudian mensistematisasikannya dalam suatu ide atau gagasan metafisika secara utuh.Misalnya, bagaimana menyelaraskan antara sifat kemahakuasaan dan kemahabaikan Tuhan dalam kaitannya dengan sifat Maha Tahu-Nya atas segala tindak manusia untuk taat atau kufur agar dibalas sesuai dengan perbuatannya. Bagaimana menafsirkan secara tepat bahasa antropomorfis (menyerupai sifat-sifat manusia) Al-Qur‘an, padahal ditegaskan bahwa Tuhan tidak sama dengan makhluknya, tidak bertangan, tidak berkaki dan seterusnya. Semua itu menggiring para intelektual muslim periode awal, khususnya para teolog untuk berpikir rasional dan filosofis. Kenyatannya, metode-metode pemecahan yang diberikan atas masalah-masalah teologis tidak berbeda dengan model filsafat Yunani. Perbedaan di antara keduanya, menurut Leaman hanya terletak pada premispremis yang digunakan, bukan pada valid tidaknya tata caradalam penyusunan argumen. Yaitu, pemikiran teologi Islam didasarkan pada teks suci sedang filsafat Yunani didasarkan atas premis-premis logis, pasti dan baku. Menurut Ira M. Lapidus (1999), seorang orientalis asal Universitas California, USA, menyatakan bahwa filsafat Islam bukan sekedar bentuk analisis secara murni tetapi telah menjadi bagian dari agama.



7



Oliver Leaman, PengantaR…, 9.



8



Pasang surut filsafat Islam yang berkembang pasca penerjemahan atas buku-buku Yunani, pertama kali dikenalkan oleh al-Kindi (806- 875).Dalam Kata Pengantar untuk buku ‘Filsafat Utama’ (al-Falsafah al-Ûla), yang dipersembahkan pada khalifah alMu`tashim (833-842 M), al-Kindi menulis tentang objek bahasan dan kedudukan filsafat, serta ketidaksenangannya pada orang-orang yang anti filsafat.Meski demikian, karena begitu dominannya kaum fukaha ditambah masih minimnya referensi filsafat yang telah diterjemahkan dan yang disampaikan al-Kindi tidak begitu bergema. Meski demikian, al-Kindi telah memperkenalkan persoalan baru dalam pemikiran Islam dan mewariskan persoalan filsafat yang terus hidup sampai sekarang, diantaranya: bagaimana terjadinya penciptaan alam semesta, bagaimana arti dan pembuktian keabadian jiwa, dan juga berhubungan dengan astrologi serta terjadinya yang berkaitan dengan pengetahuan Tuhan. Akan tetapi, perkembangan pemikiran filsafat yang begitu pesat berkat dukungan penuh dari para khalifah Bani Abbas (750- 1258 M) ini, khususnya sejak al-Makmun (811-833 M), kemudian mengalami sedikit hambatan pada masa khalifah al-Mutawakil (847- 861 M). Hambatan ini disebabkan oleh adanya penentangan dari sebagian kalangan ulama salaf, seperti Imam Ibnu Hanbal (780-855 M) dan orang-orang yang sepikiran dengannya.Mereka menunjukkan sikap yang tidak kenal kompromi terhadap ilmu-ilmu filosofis. Menurut George N. Atiyeh (1983), seorang peneliti dari Universitas America di Beirut, Libanon, penentangan kalangan salaf tersebut disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya: 1. Adanya kekhawatiran di sebagian kalangan ulama fiqh bahwa ilmu-ilmu filosofis akan menyebabkan berkurangnya rasa hormat umat Islam terhadap ajaran agamanya. 2. Adanya kenyataan bahwa mayoritas dari mereka yang menerjemahkan filsafat Yunani atau mempelajarinya adalah orang-orang non-Muslim, penganut Machianisme, orang-orang Sabia, dan sarjana muslim penganut mazhab Batiniyahyang esoteris, yang itu semua mendorong munculnya kecurigaan atas segala kegiatan intelektual dan perenungan yang mereka lakukan.



9



3. Adanya usaha untuk melindungi umat Islam dari pengaruh Machieanisme Persia khususnya, maupun paham-paham lain yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran Islam yang ditimbulkan dari pikiran-pikiran filosofis. Kecurigaan dan penentangan kaum salaf terhadap ilmu-ilmu filsafat memang bukan tanpa dasar.Pada faktanya, memang tidak sedikit tokoh muslim yang belajar filsafat dan akhirnya justru meragukan dan bahkan menyerang ajaran Islam. Sebagai contoh, Yahya ibn Ishaq al-Rawandi (827-911 M) bahwa ia menolak konsep kenabian setelah belajar filsafat. Menurutnya, prinsip kenabian bertentangan dengan akal sehat, begitu pula tentang syariat-syariat yang dibawanya, karena semua itu telah bisa dicapai oleh akal; akal dengan kemampuannya sendiri sebagai sesuatu yang dianugerahkan Tuhan pada manusia telah mampu mengapai apa yang benar dan salah, yang baik dan jahat, dan seterusnya.8 Dalam filsafat Islam, nalar tersebut pada era keemasannya selalu meliputi antara teks dengan pembahasan, prinsip dasar dengan cabang-cabangnya, ghoib dan yang tampak, logika dengan pengalaman pemikiran dan kenyataan, faktor internal dengan eksternal, dan kesementaaraan dengan keabadian.Dengan adanya hal tersebut, dapat memproduksikebenaran secara nalar dan rasio menggunakan teks dan realitas secara bersama-sama maupun bergantian.9 Akan tetapi, di era modern ini, antara nalar dan rasio sudah mulai pudar.Alasannya, moderenitas dan eksistensi yang berproses pada nalar dan kreativitas yang dibawa oleh budaya barat dan perubahan peradaban modern mengakibatkan terjebak pada keterbelakangan dan kebodohan.Pemikiran barat menunjukan pemikirakn kreatif dalam memperbaharui dirinya dengan merubah metodologi maupun memperbaharui tekniknya yang berorientasi pada lapangan studi baru, ilmu pengetahuan, cakrawala makna dan bentuk-bentuk komunikatif kebenaran. Ditambah lagi dengan dominasi dalam kekuatan dan kemampuan mempengaruhi karakteristik .hal tersebut yang menjadi ancaman di era modern ini, kecuali dengan meningkatkan nalar kritis dengan melepaskan dari dari yang berbentuk negative.



8 9



Ibrahim Madkur, Fî al-Falsafah al-Islâmiyyah, 85 Ali Harb, Nalar Kritis Islam Kontemporer, (Jogjakarta: IRCiSoD,2012), 111-113



10



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berfilsafatmenjadi ungkapan eksistensi pada diri sendiri. Dalam hal ini, berfilsafat itu menjadi satu kesatuan dalam diri manusia karena manusia memiliki akal dalam berfikir sehingga dapat mengetahui makna yang dalam mendapatkan jawaban dan solusi dalam hidup. Namun, perlu diperhatikan bahwa berfilsafat perlu pedoman agar tidak menyesatkan dan berdampak negative.Pada asal mulanya, manusia berfilsafat bertujuan supaya mendapatkan pencerahan dan pemahaman.Sehingga adanya Islam dalam keterkaitan berfilsafat sangatlah penting agar berfilsafat memiliki pedoman dan sumber yang terperinci. Filsafat Islam merupakan filsafat yang tidak didasarkan atas filsafat Yunani yang masuk melalui tradisi keilmuan Islam dalam proses terjemahan melainkan melalui sumber-sumber khazanah Islam sendiri karena adanya kebutuhan terkait hal tersebut. Meski demikian, harus diakui juga bahwa hasil terjemahan karya-karya Yunani telah membantu dalam perkembangan filsafat Islam lebih pesat.Di era klasik hingga modern, filsafat Islamterkait dengan memahami dan menjelaskan ajaran al-Qur’an secara rasional filosofis.Sehingga perlu usaha dalam menyelaraskan antara wahyu dan rasio, antara agama dan filsafat, bukan memisahkannya seperti yang sering dituduhkan oleh sebagian kalangan. Dan adanya peradaban budaya barat yang masuk, mestinya tidak mengganggu dalam perkembangan filsafat islam yang sudah hidup sejak dulu.



B. Saran Dalam makalah ini penulis berharap agar pembaca mengetahui tentang filsafat Islam yang kaitannya dengan pelajaran falsafah kesatuan ilmu. Penulis juga menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu, mohon diberikan sarannya.Semoga makalah ini dapat bermanfaat.



11



DAFTAR PUSTAKA



Oliver Leaman, Jakarta: Rajawali, 1988 Pengantar Filsafat Islam, Terj. Amin Abdullah Ibrahim Madkur, Mesir: Dâr al-Ma’ârif, T. Th Fî al-Falsafah al-Islâmiyyah Manhaj wa Tat}bîquhu, I, Karel A. Steenbrink, Semarang, 1985 Metodologi Penelitian Agama Islam di Indonesia: Beberapa Petunjuk Mengenai Penelitian Naskah Melalui Syair Agama dalam Beberapa Melayu dari Abad 19 . Sabra, “Apropriasi dan Naturalisasi Ilmu-Ilmu Yunani dalam Islam, Sebuah Pengantar”, dalam Jurnal al-Hikmah, (Edisi 6, Oktober 1992) A. Khudori Soleh, 2014, Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam, ejournal, Vol.10, No. 1, Ali Harb, Jogjakarta: IRCiSoD,2012 Nalar Kritis Islam Kontemporer, praktik. Cet1:Jakarta. Gema Insani Pers.



12