Makalah - Fiqh Jinayah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hukum pidana atau fiqih jinayah merupakan bagian dari syari’at islam yang berlaku semenjak diutusnya Rosulullah. Oleh karenanya pada zaman Rosululah dan Khulafaur Rasyidin, hukum pidana islam berlaku sebagai hukum publik. Yaitu hukum yang diatur dan diterapkan oleh pemerintah selaku penguasa yang sah atau ulil amri. Hukum pidana menurut syari’at islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan setiap muslim dimanapun ia berada. Syari’at islam merupakan hukum yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim, karena syari’at islam merupakan bagian ibadah kepada Allah SWT. Namun dalam kenyataanya, masih banyak umat islam yang belum tahu dan paham tentang apa dan bagaimana hukum pidana islam itu, serta bagaimana ketentuanketentuan hukum tersebut seharusnya disikapi dan diterapkan dalam kehidupan seharihari. Maka pada kesempatan ini pemakalah akan mencoba menjelaskan apa itu fiqih jinayah atau hukum pidana islam dan beberapa aspek didalamnya Dalam hukum Islam ada yang dikenal dengan istilah jinayat (jinayah) merupakan salah satu dari bagian syari’at Islam, jinayah ini bermacam-macam jenis dan sebabnya. Dalam makalah ini kami mencoba untuk membahasnya sesuai dengan batas kemampuan yang kami miliki. 1.2 Rumusan Masalah a.



Apa pengertian Fiqh jinayah?



b.



Bagaimana Fiqh Jinayah dalam Alqur’an ?



c. Bagaimana Perkembangan Fiqh Jinayah ? 1.3 Tujuan Dan Manfaat Penulisan a. Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Fiqh Jinayah b. Untuk mengetahui pengertian dari Fiqh Jinayah c. Mengetahui tentang kajian fiqh jinayah dalam Alqur’an d. Mengetahui tentang Perkembangan Fiqh Jinayah



BAB II PEMBAHASAN



2.1    Pengertian Jinayah Secara bahasa kata jinaayaat adalah bentuk jama’ dari kata jinaayah yang berasal dari janaa dzanba yajniihi jinaayatan yang berarti melakukan dosa. Sekalipun isim mashdar (kata dasar), kata jinaayah dijama’kan karena ia mencakup banyak jenis perbuatan dosa. Kadang-kadang ia mengenai jiwa dan anggota badan, baik disengaja ataupun tidak. Menurut istilah syar’i, kata jinaayah berarti menganiaya badan sehingga pelakunya wajib dijatuhi hukuman qishash atau membayar denda. Tujuan disyari’atkannya adalah dalam rangka untuk memelihara akal, jiwa, harta dan keturunan. Ruang lingkupnya meliputi berbagai tindak kejahatan kriminal, seperti : Pencurian, perzinahan, homoseksual, menuduh seseorang berbuat zina, minum khamar, membunuh atau melukai orang lain, merusak harta orang dan melakukan gerakan kekacauan dan lain sebagainya. Di kalangan fuqaha’, perkataan jinayah berarti 1



perbuatan – perbuatan yang terlarang menurut syara’ . Selain itu, terdapat fuqaha' yang membatasi istilah jinayah kepada perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukumanhudud dan qishash –tidak termasuk perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman ta’zir.Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayah adalah jarimah, yaitu larangan – larangan syara’ yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir.



2.2    Jinayah Dalam Al-Qur`An Jinayah dibagi dalam 3 (tiga) aspek yaitu: 1) Jaraimul Qishash, adalah kejahatan yang dapat dikenai hukuman qishash atau diyat. Qishash artinya balasan yang sepadan, yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku seperti perbuatan yang telah dilakukannya kepada korban. Misalnya hukuman bagi pembunuh diqishash dengan cara dibunuh, hukuman bagi pelaku yang melukai yang menyebabkan orang lain cacat diqishash seperti perbuatannya (misalnya : qishash mata 1 .



Jazuli, H.A. 2000. Fiqh Jinayah Ed. 2, cet. 3. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Hal.60



dengan



mata,



tangan



dengan



tangan,



dan



seterusnya.



Qishash diatur dalam Al Quran antara lain: QS. Al Baqarah, 2:178



‫صاصُ فِي ْالقَ ْتلَى ْالحُرُّ بِ ْالحُرِّ َو ْال َع ْب ُد بِ ْال َع ْب ِد َواأْل ُ ْنثَى‬ َ ِ‫ب َعلَ ْي ُك ُم ْالق‬ َ ِ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ُكت‬ ٌ ِ‫ُوف َوأَدَا ٌء إِلَ ْي ِه بِإِحْ َسا ٍن َذلِكَ ت َْخف‬ ٌ ‫بِاأْل ُ ْنثَى فَ َم ْن ُعفِ َي لَهُ ِم ْن أَ ِخي ِه َش ْي ٌء فَاتِّبَا‬ ‫يف ِم ْن‬ ِ ‫ع بِ ْال َم ْعر‬ ‫ك فَلَهُ َع َذابٌ أَلِي ٌم‬ َ ِ‫َربِّ ُك ْم َو َرحْ َمةٌ فَ َم ِن ا ْعتَدَى بَ ْع َد َذل‬ “Hai orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapatkan pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksaan yang pedih”. QS. Al Maidah, 5:45



‫ف َواأْل ُ ُذ َن‬ َ ‫س َو ْال َعي َْن بِ ْال َعي ِْن َواأْل َ ْن‬ َ ‫َو َكتَ ْبنَا َعلَ ْي ِه ْم فِيهَا أَ َّن النَّ ْف‬ ِ ‫ف ِباأْل َ ْن‬ ِ ‫س بِالنَّ ْف‬ ‫ارةٌ لَهُ َو َم ْن لَ ْم‬ َ ‫ص َّد‬ َ َّ‫ق ِب ِه فَهُ َو َكف‬ َ َ‫صاصٌ فَ َم ْن ت‬ َ ِ‫ُوح ق‬ َ ‫بِاأْل ُ ُذ ِن َوالس َِّّن بِال ِّسنِّ َو ْال ُجر‬ ‫ون‬ َ ‫ك هُ ُم الظَّالِ ُم‬ َ ِ‫يَحْ ُك ْم بِ َما أَ ْن َز َل هَّللا ُ فَأُولَئ‬ “Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim ”. Sedangkan Diyat adalah ganti rugi akibat dari suatu perbuatan pidana (Jinayah). Misalnya, orang yang membunuh dengan tidak sengaja dihukum dengan diyat berupa memerdekakan hamba sahaya dan membayar 100 ekor unta kepada keluarga korban. Diyat diatur dalam Al Quran yaitu: QS. An Nisa, 4:92



‫َو َم ْن قَتَ َل ُم ْؤ ِمنًا َخطَأ ً فَتَحْ ِري ُر َرقَبَ ٍة ُم ْؤ ِمنَ ٍة َو ِديَةٌ ُم َسلَّ َمةٌ إِلَى أَ ْهلِ ِه‬ “dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaknya) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), 2. Jaraimul Had, adalah kejahatan yang dikenai had atau hudud. 3. Jaraimul Takzir, adalah kejahatan yang dapat dikenai takzir.



Jenis dan hukumannya sanksinya secara penuh ada pada wewenang penguasa (keputusan hakim) demi terealiasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan paling utama. Dalam penetapannya prinsip utama yang mejadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemadhorotan (bahaya), serta penegakannya harus sesuai dengan prinsip syar’i. Misalnya takzir atas maksiat, kemaslahatan umum, pelanggaran terhadap lingkungan hidup, pelanggaran lalu lintas, dan lain-lain. 2.3 Perkembangan Fiqh Jinayah Ilmu yang mempelajar hukum syariat yang bersifat amaliyah (perbuatan) yang di peroleh dari pada dalil dalil yan terperinci dari ilmu tersebut dinamakan ilmu fiqih, dari situlah rumusan hukum islam yang kita utarakan, dengan mudah kita dapat menarik kesimpulan yang mencakup segala macam perbuatan manusia. Umumnya pembahasan ilmu fiqih dalam buku-buku fiqih yang dijadikan sebagai pegangan terbagi dalam empat kelompok pesoalan besar, pertama persoalan ibadah, kedua persoalan muamalah meliputi persoalan jual beli dan lain lain, ketiga persoalan munakahat meliputi persoalan perkawinan dan dan lain lain, keempat persoalan jinayat yaitu persoalan hukum pidana atau lebih dikenal dengan fiqih jinayah.



2



Pada awal sejarah Islam, undang-undang hukum pidana langsung merujuk kepada petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah. Di samping itu, Nabi Muhammad Saw. juga bertindak sebagai hakim yang memutuskan perkara yang timbul dalam masyarakat. Dalam perkara pidana, Nabi Saw. memutuskan bentuk hukuman terhadap pelaku perbuatan pidana sesuai dengan wahyu Allah. Setelah Nabi Saw. wafat, tugas kepemimpinan masyarakat dan keagamaan dilanjutkan oleh “al-Kulafa’ar-Rasyidun” sebagai pemimpin umat Islam, yang memegang kekuasaan sentral. Masalah pidana tetap dipegang oleh khalifah sendiri. Dalam memutuskan suatu perkara pidana, khalifah langsung merujuk kepada alQur’an dan sunnah Nabi. Apabila terdapat perkara yang tidak dijelaskan oleh kedua sumber tersebut, khalifah mengadakan konsultasi dengan sahabat lain. Keputusan ini pun diambil berdasarkan ijtihad. Pada masa ini belum ada kitab undang-undang hukum pidana yang tertulis selain al-Qur’an.



2



Haliman,Hukum Pidana Syariat Islam (Jakarta,Bulan Bintang) hal 26



Beberapa contoh mengenai pelaksanaan jinayat masa Rasulullah, seperti kisah Ma’iz yang mengaku telah berzina padahal ia telah beristri sehingga ia dihukum rajam dan ia juga mengonsumsi khamr maka dicambuk 40 kali. Hukuman seperti ini berlanjut sampai masa kepemimpinan Abu Bakar. Namun pada masa Khalifah Umar ibn alKhattab banyak orang meminum khamr, sehingga Umar mengadakan musyawarah dengan para sahabat saat itu untuk menetapkan hukuman bagi peminum khamr yang diputuskan hukuman cambuk 80 kali.



3



Penerapan Hukum Islam bidang jinayat ini berlaku sampai dengan masa pemerintahan Bani Umayyah, Abbasiyyah, dan Turki Ustmani. Setelah masa-masa tersebut banyak Negara Islam pada umumnya menjadi jajahan Barat. Pengaruh penjajahan sangat terasa pada semua bidang, terutama hukum pidana Islam. Negaranegara Islam, kecuali Saudi Arabia pada umumnya tidak lagi menerapkan hokum pidana Islam. Perubahan terjadi paada abad ke-19 ketika pemikiran barat modern mulai memasuki dunia islam negara yang pertama kali memasukan unsur-unsur barat dalam undang-unndang hukum pidanannya adalah kerajaan turki utsmani, undang-undang hukum pidana yang mula-mula dikondifikasikan pada masa pemerintahan sultan mahmud II (1785-1839) pada tahun 1839 dibawah semangat piagam Gulhane. Dalam undnag-undang ini ditentukan bahwa setiap pekara yang besar, harus mendapat persetujuan dari sultan. Undang-undang ini kemudian diperbaharui pada tahun 1851 dan disempurnakan pada tahun 1858 undang-undang hukum pidana ini disusun berdasarkan pengaruh hukum pidana perancis dan italia undang-undang hukun pidana ini tidak memuat ketentuan hukum pidana islam, seperti Qisas terhadap pembunuhan, potong tangan terhadap pencurian dan hukuman rajam atas tindak hukum pidana Perumusan undang-undang hukum pidana diikuti oleh negara libanon menjiwai undang undang hukum pidana syuriah, perumusannya diawali dengan perbuatan komisi untuk membuat rancangan undang-undang hukum pidana Syuriah. Perumusan diawali dengan pembuatan komisi untuk membuata rancangan undang-undang hukum pidana syuriah padaa tahun 1949 pada tanggal 22 juni 1949 berdasarkan penettapan pemerintah no 148 rancangan tersebut disahkan menjadi undang-undang hukum pidana dan dinyatakan efektif berlaku pada bulan sepember 1949



3



Ibid hal 65



Kondifikasi hukum pidana islam lainnya berbeda beda sesuai dengan kebijakn pemerintahnya, arab saudi dan negara-negara diwilayah teluk lainnya memberlakukan syariat islam dalam undang-undang hukum pidananya diikuti oleh sundan, memberlakukan hukum pidanan islam pada bulan september 1983 sementara pakistan, mulai tahun 1988 juga mengadaka islamisasi hukum pidana, . di pakistan memberlakukan hukuman potong tangan dera dan ketentuan hukum pidan islam lainnya. Di indonesia, perumusan undang-undang hukum pidana islam belum dilakukan hingga kini, hanya diaceh yang mulai memberlakukannya hukum islam.



BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Secara bahasa kata jinaayaat adalah bentuk jama’ dari kata jinaayah yang berasal dari janaa dzanba yajniihi jinaayatan yang berarti melakukan dosa. Sekalipun isim mashdar (kata dasar), kata jinaayah dijama’kan karena ia mencakup banyak jenis perbuatan dosa. Kadang-kadang ia mengenai jiwa dan anggota badan, baik disengaja ataupun tidak. Menurut istilah syar’i, kata jinaayah berarti menganiaya badan sehingga pelakunya wajib dijatuhi hukuman qishash atau membayar denda. Di kalangan fuqaha’, perkataan jinayah berarti perbuatan – perbuatan yang terlarang menurut syara’. Jinayah dibagi dalam 3 (tiga) aspek yaitu 1. Jaraimul Qishash, adalah kejahatan yang dapat dikenai hukuman qishash atau diyat. Qishash artinya balasan yang sepadan, yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku seperti perbuatan yang telah dilakukannya kepada korban 2. Jaraimul Had, adalah kejahatan yang dikenai had atau hudud. 3. Jaraimul Takzir, adalah kejahatan yang dapat dikenai takzir. Jenis dan hukumannya sanksinya secara penuh ada pada wewenang penguasa (keputusan hakim) demi terealiasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan paling utama. Dalam penetapannya prinsip utama yang mejadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemadhorotan (bahaya), serta penegakannya harus sesuai dengan prinsip syar’i. 3.2 Saran Walaupun di Indonesia belum menganut Fiqh Jinayah secara penuh, sebagai umat muslim sudah seharusnya dan kewajiban kita mengetahui dan berusaha mengimplementasikan dalam hidup sehari-hari.



DAFTAR PUSTAKA Al Faruk, Asadulloh. 2009. Hukum  Pidana Dalam  Sistem  Hukum  Islam. Bogor ghalia Audan Abd al- Qadir 1963 Al- tasyri al-jina al-islami muqaran bi Alqanun al wadhi, maktabah dar al-urubah Jazuli, H.A. 2000. Fiqh Jinayah Ed. 2, cet. 3. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Haliman, 1970 Hukum Pidana Syariat Islam,bulan bintang Jakarta http://www.fkip-uninus.org/index.php/artikel-fkip-uninus-bandung/arsip-artikel/70fiqih-jinayah



KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, nikmat dan petunjukNyalah penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul “Fiqh Jinayah” Solawat beriring salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia kealam penuh kemuliaan dengan berlandaskan kepada ajaran agama Islam yang berpedoman kepada Al-Qur’an dan sunnah rasul. Dengan selesainya makalah ini yang berjudul “Fiqh Jinayah” ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah membantu. Semoga bantuan dan dorongan serta bimbingan yang telah diberikan kepada penulis baik secara langsung menjadi amal baik serta diterima oleh Allah SWT. Amin. Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna dan masih banyak kekeliruan baik isi maupun penulisan. Oleh karena iu kepada semua pihak diharapkan memberi saran dan kritik demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis harapkan makalah ini semoga bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.



Muara Bulian, Oktober 2017 Penulis



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ……………………………………………………. DAFTAR ISI ……………………………………………………………… BAB I PENDAHULUAN



BAB II



BAB III



i ii



1.1 Latar Belakang …………………………………………….



1



1.2 Rumusan Masalah …………………………………………



1



1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan ……………………………



1



PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Fiqh Jinayah ……………………………………



2



2.2 Fiqh Jinayah Dalam Al Qur’an …………………………….



2



2.3 Perkembangan Fiqh Jinayah ……………………………….



4



PENUTUP 3.1 Kesimpulan ………………………………………………….



7



3.2 Saran …………………………………………………………



7



MAKALAH FIQH JINAYAH Dosen Pembimbing : Asiah, S.Ag.M.Sy.



Disusun Oleh : Kelompok 1 



Inda Fitari



NIM. 1522 101







Alfian Jani Panjaitan



NIM.



YAYASAN PENDIDIKAN (YPI) SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) MUARA BULIAN TAHUN AKADEMIK 2017/2018



PENGERTIAN, MACAM-MACAM  DAN PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA ISLAM (FIQIH JINAYAH) Hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh jinayah. Fiqh jinayah adalah segala ketentuan hukum nengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil hukum yang terperinci dari Alquran dan hadis (Dede Rosyada, 1992: 86). Tindakan kriminal adalah tindakan kejahatan yang mengganggu ketenteraman umum serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan. Hukum Pidana Islam merupakan syariat Allah SWT yang mengandung kemaslahatan dalam kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Syariat dimaksud, secara materiil mengandung kewajiban asasi bagi setiap manusia untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi syariat, yaitu menempatkan Allah SWT sebagai pemegang segala hak-hak, baik yang ada pada diri sendiri maupun yang ada pada orang lain. Setiap orang hanya pelaksana yang berkewajiban memenuhi perintah Allah SWT. Perintah Allah SWT dimaksud, harus ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain. Al-Quran merupakan penjelasan Allah SWT tentang syariat, sehingga disebut AlBayan (penjelasan). Penjelasan dimaksud secara garis besar mempunyai empat cara dan sala satunya adalah Allah SWT memberikan penjelasan dalam bentuk nash (tekstual) tentang syariat sesuatu, misalnya: orang yang membunuh tanpa hak hukumnya harus dibunuh oleh keluarga korban atas adanya putusan dari pengadilan. Orang berzina harus dicambuk 100 kali bagi pelaku yang berstatus pemuda dan pemudi. Namun, bagi pelaku yang berstatus janda atau duda dan/ atau sudah menikah hukumannya adalah dirajam. Demikian juga perbuatan yang berkaitan dengan peminum khamar, pencurian, perampokan, penuduhan berzina, dan orang murtad. Hal-hal seperti itu dijelaskan sanksi hukumnya di dalam Al-Quran. (Dalam writing and speaking/presenting “pengertian hokum pidana islam”). Jarimah (ar: al-jarimah = delik atau perbuatan pidana atau tindak pidana). Perbuatan yang dilarang syara’ dan pelakunya diancam oleh Allah SWT dengan hukuman hadd (bentuk tertentu) atau takzir (pelanggaran yang jenis dan bentuk hukumannya di delegasikan syara’ kepada hakim/penguasa). Yang dimaksud dengan larangan syara’ adalah melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam hukuman oleh syara’ atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan dan diancam hukuman oleh syara’ bagi yang meninggalkannya.



Fikih Jinayah. Sebagian ahli fikih mengidentikkan jarimah dengan jinayah (aljinayah). Secara etimologi al-jinayah berarti perbuatan pidana yang dilakukan seseorang dan hasil yang diakibatkannya. Oleh sebab itu, jinayah bersifat umum, meliputi seluruh perbuatan pidana. Berdasarkan pengertian inilah ulama fikih menggunakan istilah “fikih jinayah” sebagai salah satu bidang ilmu fikih yang membahas persoalan perbuatan pidana beserta hukumannya. Menurut Abdul Qadir Audah, dalam terminologi syarak jinayah mengandung bahasan perbuatan pidana yang luas, yaitu pelanggaran terhadap jiwa, harta atau yang lainnya. Jumhur ulama, menggunakan istilah jinayah untuk pelanggaran yang menyangkut jiwa dan anggota badan, yaitu pembunuhan, pemukulan, dan ijhad. Sedangkan, sebagian ulama lainnya, membatasi pengertian jinayah pada jarimah hudud dan jarimah kisas. Dengan demikian, istilah jarimah dan jinayah dalam terminologi syara’ adalah sama. Oleh karena itu, penamaan fikih jinayah sebagai bidang ilmu yang membahas berbagai bentuk perbuatan/tindak pidana dalam Islam dewasa ini adalah benar, dan sejalan dengan pengertian dan kandungan jarimah. Al-Qanun al-Jaza’i. Undang-undang yang mengatur balasan atau hukuman terhadap perbuatan pidana. Al-qanun al-jaza’i disebut juga al-qanun al-‘uqubat (dari kata al-‘uqubah yang berarti hukuman). Undang-undang ini termasuk kedalam hukum publik, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat dan negara sebagai pemegang kekuasaan. Dalam fikih Islam, pembahasan al-qanun al-jaza’i termasuk kedalam ruang lingkup fikih jinayah, karena secara khusus undang-undang ini mengatur tentang hukuman terhadap pelaku perbuatan pidana (jarimah). Tujuannya adalah untuk melindungi anggota masyarakat dari kejahatan orang lain. Ruang Lingkup. Persoalan yang dibahas dalam al-qanun al-jaza’i mencakup segala perbuatan/tindak pidana (delik) yang dilarang syariat Islam dan hukuman (sanksi) yang dijatuhkan terhadap pelakunya. Perbuatan/tindak pidana tersebut dapat diklasifikasi atas tiga macam, yaitu jarimah hudud, kisas/diat dan takzir. Masing-masing mempunyai sanksi atau ancaman hukuman yang berbeda-beda. Hudud (bentuk jamak dari hadd = batasan) adalah ketentuan perbuatan pidana yang telah ditetapkan Allah tentang macam, batasannya, dan sanksi hukuman terhadap pelanggarnya. Yang termasuk dalam jarimah hudud antara lain pencurian (QS.5:38); zina (QS.24:2); dan menuduh orang lain berzina (QS.24:4). Terhadap ketentuan ini umat Islam hanya melaksanakannya saja sesuai yang dijelaskan nas.



Qisas/diat adalah perbuatan pidana yang juga ditentukan macamnya oleh Allah SWT, tetapi pelaksanaanya diserahkan sepenuhnya kepada manusia. Jadi manusia memiliki dan mempunyai alternatif untuk memilih jenis hukuman yang akan dijatuhkan terhadap pelaku perbuatan pidana tersebut. Qisas/diat berhubungan dengan masalah jiwa dan raga seseorang, seperti pembunuhan dan penyiksaan. Dalam hal ini, apabila terjadi pembunuhan terhadap seseorang, maka keluarga korban berhak memilih alternatif hukuman, yakni menuntut balas terhadap pelaku dengan hukuman yang serupa (Qisas) atau meminta denda sebagai penyesalan dari pihak pelaku kepada keluarga korban (diat). Bahkan kalau keluarga korban memaafkan pelaku tanpa menuntut balasan apa-apa, maka pelaku terbebas dari saksi hukuman (QS.2:178). Takzir adalah ketentuan hukuman berbentuk pengajaran yang tidak dijelaskan secara tegas oleh nas, tetapi perlu dijatuhkan terhadap pelaku. Menurut ulama fikih, yang berhak untuk menentukan hukuman takzir ini adalah pemerintah. Hukuman ini dijatuhkan berdasarkan pertimbangan ketertiban dan kemaslahatan masyarakat. Jadi, hukuman takzir sebenarnya cukup luas. Selain yang dijelaskan dalam al-Qur’an dan sunah, pemerintah memiliki kewenangan untuk menetapkan hukuman takzir terhadap pelaku perbuatan pidana yang bukan termasuk hudud dan qisas/diat. Sebagai ‘ulill-amri, pemerintah berhak memutuskan sesuai dengan pertimbangan situasi dan kondisi masyarakatnya. Di sinilah peluang pemerintah untuk merumuskan undang-undang hukum pidana yang dengan semangat nas. Karena itu, dalam perumusan undang-undang hukum pidana Islam perlu ijtihad oleh pemerintah. Namun demikian, ada kaidah atau asas yang perlu diperhatikan dalam perumusan hukum pidana ini. Pertama, asas bahwa hukuman tidak dapat berlaku surut kebelakang. Artinya, tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dihukum kecuali ada undang-undang yang mengaturnya. Ini disebut juga dengan asas legalitas. Jadi, pebuatan yang dilakukan sebelum dilarang oleh undang-undang tidak dapat dikenakan sanksi hukum. Kedua, asas bahwa pemerintah tidak dapat menafsirkan secara luas nas alQur’an maupun as-Sunnah yang berkaitan dengan hukum pidana. Pemerintah tidak boleh menerima pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum pidana Islam. Perkembangan Fiqh Jinayah



Perkembangannya dalam Islam. Pada awal sejarah Islam, undang-undang hukum pidana langsung merujuk kepada petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah. Di samping itu, Nabi Muhammad Saw. juga bertindak sebagai hakim yang memutuskan perkara yang timbul dalam masyarakat. Dalam perkara pidana, Nabi Saw. memutuskan bentuk hukuman terhadap pelaku perbuatan pidana sesuai dengan wahyu Allah. Setelah Nabi Saw. wafat, tugas kepemimpinan masyarakat dan keagamaan dilanjutkan oleh “alKulafa’ar-Rasyidun” sebagai pemimpin umat Islam, yang memegang kekuasaan sentral. Masalah pidana tetap dipegang oleh khalifah sendiri. Dalam memutuskan suatu perkara pidana, khalifah langsung merujuk kepada alQur’an dan sunah Nabi Saw. Apabila terdapat perkara yang tidak dijelaskan oleh kedua sumber tersebut, khalifah mengadakan konsultasi dengan sahabat lain. Keputusan ini pun diambil berdasarkan ijtihad. Pada masa ini belum ada kitab undang-undang hukum pidana yang tertulis selain al-Qur’an . Pada era Bani Umayyah (661-750) peradilan dipegang oleh khalifah. Untuk menjalankan



tugasnya,



khalifah



dibantu



oleh



ulama



mujtahid.



Berdasarkan



pertimbangan ulama, khalifah menentukan putusan peradilan yang terjadi dalam masyarakat. Khalifah yang pertama kali menyediakan waktunya untuk hal ini adalah Abdul Malik bin Marwan (26 H - 86 H/647 M -705 M). Kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz (63 H – 102 H/682 M - 720 M). Pada masa ini, belum ada kitab undang-undang hukum pidana yang bersifat khusus. Pedoman yang dipakai adalah al-Qur’an, sunah Nabi Saw., dan ijtihad ulama. Pengaruh pemikiran asing juga belum memasuki pemikiran pidana Islam Perubahan terjadi pada abad ke-19 ketika pemikiran Barat modern mulai memasuki dunia Islam. Negara yang pertama kali memasukkan unsur-unsur Barat dalam undang-undang hukum pidananya adalah Kerajaan Turki Usmani. Undangundang hukum pidana yang mula-mula dikodifikasi adalah pada masa pemerintahan Sultan Mahmud II (1785-1839) pada tahun 1839 di bawah semangat Piagam Gulhane. Dalam undang-undang ini ditentukan bahwa setiap perkara yang besar, putusannya harus mendapat persetujuan Sultan. Undang-undang ini kemudian diperbarui pada tahun 1851 dan disempurnakan pada tahun 1858. Undang-undang hukum pidana ini disusun berdasarkan pengaruh hukum pidana Perancis dan Italia. Undang-undang hukum pidana ini tidak memuat ketentuan hukum pidana Islam, seperti kisas terhadap pembunuhan, potong tangan terhadap pencurian, dan hukuman rajam atas tindak pidana zina.



Perumusan undang-undang hukum pidana diikuti oleh Libanon. Diawali dengan pembentukan sebuah komisi yang bertugas membuat rancangan undang-undang hukum pidana pada tahun 1944. Dalam penyusunannya, Libanon banyak mengadopsi undangundang hukum pidana Barat seperti Perancis, Jerman dan Swiss. Undang-undang hukum pidana Libanon menjiwai undang-undang hukum pidana Suriah. Perumusannya diawali dengan pembuatan komisi untuk membuat rancangan undang-undang hukum pidana Suriah pada tahun 1949. Pada tanggal 22 Juni 1949 berdasarkan Penetapan Pemerintah No. 148 rancangan tersebut disahkan menjadi undang-undang hukum pidana dan dinyatakan efektif berlaku pada bulan September 1949. Kodifikasi hukum pidana di negara-negara Islam lainnya berbeda-beda sesuai dengan kebijakan pemerintahnya. Arab Saudi dan negara-negara di wilayah Teluk lainnya memberlakukan syariat Islam dalam undang-undang hukum pidananya. Diikuti oleh Sudan, memberlakukan hukum pidana Islam pada bulan September 1983. Sementara Pakistan, mulai tahun 1988 juga mengadakan Islamisasi hukum pidana, Pakistan memberlakukan hukuman potong tangan, dera, dan ketentuan hukum pidana Islam lainnya. Di Indonesia, perumusan undang-undang hukum pidana Islam belum dilakukan hingga kini, karena hukum pidana yang masih berlaku masih peninggalan hukum pidana Barat (Belanda).



BAB 1 PENDAHULUAN 1.



Latar Belakang  Perbuatan manusia yang dinilai sebagai pelanggaran atau kejahatan kepada sesamanya baik secara fisik maupun nonfisik, seperti membunuh, mencuri, menuduh dan sebagainya adalah wilayah pembahasan fiqh jinayah.Tertera pada kitab-kitab klasik bahwa pembahasan jinayat ini hanya berputar pada perbuatan dosa yang berkaitan dengan objek badan dan jiwa saja. Adapun perbuatan dosa selain sasaran badan dan jiwa, misalnya kejahatan terhadap harta, agama, negara dan lain-lain tidak terkategorikan jinayat, melainkan menjadi sub pembahasan sendiri. Ulama-ulama Muta’akhirin menghimpunnya dalam bagian khusus yang dinamai Fiqh Jinayat, yang dikenal dengan Hukum Pidana Islam. Di dalamnya terhimpun pembahasan semua jenis pelanggaran atau kejahatan manusia dengan berbagai sasaran, badan, jiwa, harta benda, kehormatan, nama baik, negara, tatanan hidup, dan lingkungan hidup.   Pada awal sejarah Islam, undang-undang hukum pidana langsung merujuk kepada petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah. Di samping itu, Nabi Muhammad Saw. juga bertindak sebagai hakim yang memutuskan perkara yang timbul dalam masyarakat. Dalam perkara pidana, Nabi Saw. memutuskan bentuk hukuman terhadap pelaku perbuatan pidana sesuai dengan wahyu Allah. Setelah Nabi Saw. wafat, tugas kepemimpinan masyarakat dan keagamaan dilanjutkan oleh “al-Kulafa’ar-Rasyidun” sebagai pemimpin umat Islam, yang memegang kekuasaan sentral. Masalah pidana tetap dipegang oleh khalifah sendiri.  



1. 2. 3. 4.



Rumusan Masalah Bagaimana bentuk sejarah fiqh jinayah pada masa Rasulullah ? Apa saja perkembangan sejarah fiqih jinayah ? Bagaiamana jinayah yang ada di indonesia ?  



BAB II PEMBAHASAN 1.



Sejarah Fiqh Jinayah masa Rasulullah Ilmu yang mempelajar hukum syariat yang bersifat amaliyah (perbuatan) yang di peroleh dari pada dalil dalil yan terperinci dari ilmu tersebut dinamakan ilmu fiqih, dari situlah rumusan hukum islam yang kita utarakan, dengan mudah kita dapat menarik kesimpulan yang mencakup segala macam perbuatan manusia. Umumnya pembahasan ilmu fiqih dalam buku-buku fiqih yang dijadikan sebagai pegangan terbagi dalam empat kelompok pesoalan besar, pertama persoalan ibadah, kedua persoalan muamalah meliputi persoalan jual beli dan lain lain, ketiga persoalan munakahat meliputi persoalan perkawinan dan dan lain lain, keempat persoalan jinayat yaitu persoalan hukum pidana atau lebih dikenal dengan fiqih jinayah.[1]   Pada awal sejarah Islam, undang-undang hukum pidana langsung merujuk kepada petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah. Di samping itu, Nabi Muhammad Saw. juga bertindak sebagai hakim yang memutuskan perkara yang timbul dalam masyarakat. Dalam perkara pidana, Nabi Saw. memutuskan bentuk hukuman terhadap pelaku perbuatan pidana sesuai dengan wahyu Allah. Setelah Nabi Saw. wafat, tugas kepemimpinan masyarakat dan keagamaan dilanjutkan oleh “al-Kulafa’ar-Rasyidun” sebagai pemimpin umat Islam, yang memegang kekuasaan sentral. Masalah pidana tetap dipegang oleh khalifah sendiri. Dalam memutuskan suatu perkara pidana, khalifah langsung merujuk kepada al-Qur’an dan sunnah Nabi. Apabila terdapat perkara yang tidak dijelaskan oleh kedua sumber tersebut, khalifah mengadakan konsultasi dengan sahabat lain. Keputusan ini pun diambil berdasarkan ijtihad. Pada masa ini belum ada kitab undang-undang hukum pidana yang tertulis selain al-Qur’an. Beberapa contoh mengenai pelaksanaan jinayat masa Rasulullah, seperti kisah Ma’iz yang mengaku telah berzina padahal ia telah beristri sehingga ia dihukum rajam dan ia juga mengonsumsi khamr maka dicambuk 40 kali. Hukuman seperti ini berlanjut sampai masa kepemimpinan Abu Bakar. Namun pada masa Khalifah Umar ibn alKhattab banyak orang meminum khamr, sehingga Umar mengadakan musyawarah dengan para sahabat saat itu untuk menetapkan hukuman bagi peminum khamr yang diputuskan hukuman cambuk 80 kali.[2] Penerapan Hukum Islam bidang jinayat ini berlaku sampai dengan masa pemerintahan Bani Umayyah, Abbasiyyah, dan Turki Ustmani. Setelah masa-masa tersebut banyak Negara Islam pada umumnya menjadi jajahan Barat. Pengaruh penjajahan sangat terasa pada semua bidang, terutama hukum pidana Islam. Negara-negara Islam, kecuali Saudi Arabia pada umumnya tidak lagi menerapkan hokum pidana Islam.  



B . perkembangan fiqih Jinayah Perubahan terjadi paada abad ke-19 ketika pemikiran barat modern mulai memasuki dunia islam negara yang pertama kali memasukan unsur-unsur barat dalam undangunndang hukum pidanannya adalah kerajaan turki utsmani, undang-undang hukum pidana yang mula-mula dikondifikasikan pada masa pemerintahan sultan mahmud II (1785-1839) pada tahun 1839 dibawah semangat piagam Gulhane. Dalam undnagundang ini ditentukan bahwa setiap pekara yang besar, harus mendapat persetujuan dari sultan. Undang-undang ini kemudian diperbaharui pada tahun 1851 dan disempurnakan pada tahun 1858 undang-undang hukum pidana ini disusun berdasarkan pengaruh hukum pidana perancis dan italia undang-undang hukun pidana ini tidak memuat ketentuan hukum pidana islam, seperti Qisas terhadap pembunuhan, potong tangan terhadap pencurian dan hukuman rajam atas tindak hukum pidana Perumusan undang-undang hukum pidana diikuti oleh negara libanon menjiwai undang undang hukum pidana syuriah, perumusannya diawali dengan perbuatan komisi untuk membuat rancangan undang-undang hukum pidana Syuriah. Perumusan diawali dengan pembuatan komisi untuk membuata rancangan undang-undang hukum pidana syuriah padaa tahun 1949 pada tanggal 22 juni 1949 berdasarkan penettapan pemerintah no 148 rancangan tersebut disahkan menjadi undang-undang hukum pidana dan dinyatakan efektif berlaku pada bulan sepember 1949 Kondifikasi hukum pidana islam lainnya berbeda beda sesuai dengan kebijakn pemerintahnya, arab saudi dan negara-negara diwilayah teluk lainnya memberlakukan syariat islam dalam undang-undang hukum pidananya diikuti oleh sundan, memberlakukan hukum pidanan islam pada bulan september 1983 sementara pakistan, mulai tahun 1988 juga mengadaka islamisasi hukum pidana, . di pakistan memberlakukan hukuman potong tangan dera dan ketentuan hukum pidan islam lainnya. Di indonesia, perumusan undang-undang hukum pidana islam belum dilakukan hingga kini, hanya diaceh yang mulai memberlakukannya hukum islam.



BAB III Kesimpulan   1.



Pada awal sejarah Islam undang-undang hukum pidana langsung merujuk kepada petunjuk al-Quran dan as-sunnah, di samping itu Nabi Muhammad Saw, Juga bertindak sebagai hakim yang memutuskan pekara yang timbul dalam masyarakat. 2. Implementasi Hukum islam sudah pernah dilakukan oleh beberapa kerajaan islam dijawa pada abad ke 16 hanya saja pada masa kolonial sehingga sekarang hukum pidana islam nyaris tidak pernah diterapkan, kecuali di nanggro aceh Darussalam  



DAFTAR PUSTAKA Haliman, 1970 Hukum Pidana Syariat Islam,bulan bintang Jakarta Audan Abd al- Qadir 1963 Al- tasyri al-jina al-islami muqaran bi Alqanun al wadhi, maktabah dar al-urubah http // http://www.republika.co.id /berita/8119/jinayah   [1] Haliman,hukum pidana syariat islam (jakarta,bulan bintang) hal 26 [2] Ibid hal 65