Makalah Fistula. Fix [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Laporan Bedah PPDH Gelombang II Kelompok E



Hari/tanggal: Kamis/28 Maret 2019 Tempat: Kandang Fakultas Peternakan IPB Waktu : 12.00-13.00 WIB



LAPORAN BEDAH FISTULA PADA SAPI



Oleh:



Kelompok E PPDH Gelombang II 2018/2019 Di Bawah Bimbingan: Drh R. Harry Soehartono, MappSc., Ph.D



DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2019



PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi termasuk ke dalam golongan hewan ruminansia. Hewan ruminansia memiliki lambung yang dibagi menjadi empat bagian, yaitu retikulum (perut jala), rumen (perut beludru), omasum (perut bulu) dan abomasum (perut sejati) (Muslim et al. 2014). Dalam pencernaannya, ruminansia mengandalkan bantuan mikroba untuk melakukan pencernaan, terutama di dalam rumen. Rumen memiliki fungsi pencernaan fermentatif dalam sistem digesti, sehingga keberadaan mikroba sangatlah penting. Mikroba rumen memiliki sifat saling ketergantungan dan berintegrasi satu sama lainnya. Ekosistem mikroba akan terjaga ketika rumen tidak mengalami perubahan pakan (Kamra, 2005). Gangguan pada rumen dapat mengakibatkan penyakit yang memiliki dampak negatif pada keseimbangan populasi mikroba. Fistula rumen merupakan suatu proses melubangi rumen dan permukaan kulit di bagian fossa paralumbar kiri (flank) (Saeed et al. 2007). Fistula pada sapi dapat dilakukan dengan tujuan mengurangi rasa sakit pada abdomen sapi, pengukuran kecernaan, atau meningkatkan efektivitas pencernaan sapi. Proses fistula juga diikuti dengan kanulasi, yaitu penempatan tabung yang dapat dibuka dan ditutup untuk memungkinkan sampling dan mencegah kebocoran rumen (Girardi et al. 2017). Kanula yang digunakan harus memiliki ukuran yang sesuai sehingga tidak terlepas dari lubang fistula. Terdapat dua jenis kanula yang dapat digunakan, yaitu permanen dan non permanen. Fistula rumen umum digunakan oleh peternak untuk melihat status kecernaan sapi melalui sampling cairan rumen. Gangguan ekosistem mikroba juga dimudahkan dengan bantuan fistula. Pentingnya status higiene pada rumen, terutama ketika fistula dilakukan, berpengaruh terhadap status kesehatan sapi serta keberhasilan sampling cairan rumen. Pemasangan kanula secara benar dan manajemen kandang yang baik akan mencegah kontaminasi pada rumen. Sebaliknya, pemasangan kanula yang buruk dapat menyebabkan komplikasi, seperti peritonitis, kebocoran rumen, dehidrasi, malnutrisi, dan myiasis (Muzzi et al. 2009). Tujuan Tindakan rumenostomi pada sapi ini bertujuan membuat lubang serta memasang kanula pada fossa paralumbal kiri (flank) sapi. Pemasangan kanula diharapkan berguna untuk prosedur sampling cairan rumen yang diperlukan oleh pemilik sapi.



TINJAUAN PUSTAKA Fistula rumen merupakan tindakan pembedahan dengan membuat lubang permanen pada fossa paralumbal ruminansia hingga mencapai rumen. Fistula rumen umumnya disertai dengan pemasangan kanula dengan tujuan untuk eksperimental dan penanganan kasus bloat kronis. Pemasangan kanula dimaksudkan untuk mencegah kebocoran isi gas dan rumen selama interval pengambilan sampel. Tindakan eksperimental dengan pemasangan kanula pada rumen memudahkan dalam mengukur tingkat kecernaan pakan pada sapi dengan berbagai perlakuan (Girardi et al. 2017). Fistula ideal adalah fistula yang menutup sempurna di sekitar kanula dan mencegah kebocoran cairan rumen periode eksperimental. Beberapa komplikasi dapat terjadi setelah implantasi kanula permanen, melonggarnya kanula, ukuran fistula membesar karena nekrosis jaringan, dan peritonitis kebocoran isi rumen. Kebocoran sejumlah besar isi rumen dapat menyebabkan hewan mengalami dehidrasi dan malnutrisi, menyebabkan lesi kulit, menimbulkan bau yang tidak sedap dan meningkatkan kejadian miasis pada bagian luka (Rafee et al. 2015). Komplikasi postoperasi berupa peritonitis dapat dicegah dengan melakukan penjahitan peritoneum dan otot dengan dinding rumen yang menunjang perlekatan yang kuat sehingga mencegah kebocoran isi rumen ke dalam kavitas peritoneum. Perlekatan yang kuat antara kulit, otot dan rumen dapat terjadi apabila teknik penjahitan dilakukan dengan tepat dan infeksi sekunder dapat dicegah dengan pemberian antibotik dan teknik operasi yang legeartis. Penentuan diameter fistula juga perlu diperhatikan untuk mencegah terlepasnya kanula dari lubang fistula (Grovum 1998). Lidocaine HCL Lidocaine HCl sediaan anestesi lokal golongan amino amide dengan rumus kimia C14H22N2O.HCl (2-(Diethylamino)-2’-6’-acetoxylidide monohydrochloride) dengan berat molekul 234.34 mol/g. Lidocaine adalah anestetik lokal kuat sediaan anestesi lokal kuat yang diberikan secara topikal maupun parenteral dan dalam kadar yang cukup dapat menghambat hantaran impuls pada saraf yang dikenai (Kamaluddin dan Munaf 2009). Cara kerja lidocaine yaitu bergabung dengan reseptor spesifik yang terdapat pada kanal natrium menyebabkan terjadinya blokade pada kanal tersebut dan mengakibatkan hambatan gerakan ion melalui membran sehingga konduksi impuls saraf terhambat (Sunaryo 2004). Lidocaine diabsorbsi secara komplit segera setelah diberikan secara parenteral, di metabolisme dengan cepat di hati, mengalami dealkilasi oleh enzim pseudokolin esterase membentuk monoethyleglicyn xylidide dan glycinexylidide yang kemudian dapat di metabolisme lebih lanjut menjadi monoethyle glycine dan xylidide. Sebanyak kurang lebih 90% dari dosis lidocaine yang disuntikkan ke dalam tubuh diekskresikan melalui urin dalam berbagai bentuk metabolit dan kurang dari 10% dieksresikan dalam bentuk yang tidak berubah (Catterall dan Mackie 2008). Lidocaine digunakan secara parenteral untuk anestesi infiltrasi, blokade saraf, dan anastesi epidural atau anestesi kaudal. Penggunaannya secara topikal



yaitu untuk tindakan kateterisasi uretra, sistoskopi dan pemasangan pipa endotrakeal sebelum bronkoskopi, dan pruritus di daerah anogenital. Indikasi lainnya yaitu untuk menurunkan iritabilitas jantung sehingga dapat digunakan sebagai obat antiaritmia (Sunaryo 2004). Dosis yang berlebihan dapat menyebabkan kematian akibat fibrilasi ventrikel jantung (Nahak 2013). Tolfenamic acid (Tolfedin) Obat anti inflamasi non steroid (NSAID) adalah kelompok obat yang digunakan untuk mengatasi nyeri, inflamasi dan demam. Tingginya tingkat konsumsi terhadap NSAID dapat menimbulkan efek samping terhadap gastrointestinal. Tolfedin atau tolfenamic acid (N-(2-methyl-3-chlorphenyl)anthranilic acid) merupakan analgesik untuk terapi penyakit kronis pada sistem lokomotor pada anjing dan pengobatan simptomatik seperti demam pada kucing. Sifatnya sebagai obat antiflogistik, antipiretik dan analgesik sehingga dapat digunakan untuk indikasi luas lainnya. Tolfenamic acid dapat digunakan sebagai analgesia dalam pre- dan post-operatif (Krause dan Tacke 2010). NSAID mengurangi rasa sakit dan inflamasi dengan cara memblok siklooksigenase (COX), yaitu enzim yang dibutuhkan untuk memproduksi prostaglandin. Kebanyakan NSAID menginhibisi dua siklo-oksigenase yaitu COX-1 dan COX-2 (Schellack 2012). Enzim COX-2 kebanyakan ditemui pada persendian dan tulang yang berhubungan dengan rasa sakit dan peradangan. NSAID dapat menyebabkan perdarahan karena menginhibisi COX-1 yang merupakan enzim penting pada perlindungan mukosa terhadap asam lambung (Ari dan Makmun 2014). Amoksisilin Antibiotika yang paling banyak digunakan untuk terapi infeksi bakteri ialah antibiotika golongan β-laktam terutama penisilin dan turunannya. Amoksisilin (C16H19N3O5S) merupakan salah satu turunan penisilin yang sering digunakan (Pandean et al. 2013). Amoksisilin adalah antibiotik spektrum luas yang digunakan untuk pengobatan infeksi saluran nafas, saluran empedu, gastroenteritis, meningitis dan infeksi karena Salmonella sp. seperti demam tifoid. Keuntungan amoksisilin yaitu cepat diabsorpsi dalam saluran cerna. Amoksisilin bersifat bakterisid dan bekerja dengan cara menghambat sintesis dinding sel (Tjay dan Rahardja 2007). Penicillin G Penicillin G (C16H18N2O4S) merupakan obat hewan yang sering digunakan pada sapi dan babi di Amerika. Antibiotik ini sering digunakan untuk mengobati pneumonia bakterial, infeksi saluran nafas atas seperti rhinitis atau faringitis dan juga blackleg pada ruminansia (Li et al. 2014). Penicillin G digunakan dalam bentuk garam natrium atau kaliumnya ketika digunakan dalam rute administrasi intravena (IV), sedangkan penicillin G procaine digunakan via intramuscular (IM) dan subkutan (SC) pada sapi dan babi (Ranheim et al. 2002). Penicillin merupakan antibiotik golongan β-laktam. Penicillin bekerja dengan cara



menghambat sintesis dinding sel bakteri (Petri 2011 dalam Brunton, Chabner, Knollman 2011).



TINJAUAN KASUS Pemeriksaan Fisik Hewan Anamnesa Sapi bernama Jayi akan digunakan untuk tujuan penelitian di kandang Fakultas Peternakan IPB sehingga diminta untuk dibuatkan fistula dan dipasang dengan kanula. Signalement Hewan Nama hewan : Jayi Jenis hewan : Sapi Ras/Breed : FH Warna rambut dan kulit : Hitam putih Jenis kelamin : Jantan Bobot badan : 350 kg Umur : 1.5 tahun Tanda khusus : No. ID Eartag Kanan 317460 Status Present Keadaan Umum Perawatan : Baik Habitus/tingkah laku : Jinak Gizi : Baik Pertumbuhan badan : Baik Sikap berdiri : tegak ada keempat kaki Suhu : 38.4°C Frekuensi nafas : 60 x/menit Frekuensi nadi : 32 x/menit Adaptasi lingkungan :baik/adaptif Kepala dan Leher Inspeksi Ekspresi wajah : Tenang Pertulangan kepala : Simetris Posisi tegak telinga : Tegak keduanya Posisi kepala : Tegak, lebih tinggi dari dada Palpasi Turgor kulit : < 3 detik Mata dan Orbita Kiri Palpebrae : Membuka sempurna Cilia : Keluar sempurna Conjunctiva : Rose-basah-licin Membran nictitans : Keluar/terlihat Sclera : Putih Cornea : Bening Iris : Tidak ada perlekatan



Limbus : Rata Pulpil : Sesuai ukuran Refleks pupil : Ada Vasa injectio : Tidak ada Mata dan Orbita Kanan Palpebrae : Membuka sempurna Cilia : Keluar sempurna Conjunctiva : Rose-basah-licin Membran nictitans : Keluar/terlihat Sclera : Putih Cornea : Bening Iris : Tidak ada perlekatan Limbus : Rata Pulpil : Sesuai ukuran Refleks pupil : Ada Vasa injectio : Tidak ada Mulut dan Rongga Mulut Rusak/luka bibir : Tidak ada perlukaan Mukosa : Rose-licin-basah Gigi geligi : Tidak ada karang gigi Lidah : Rose, tidak ada perlukaan Leher Perototan leher : Teraba Trachea : Teraba, cincin lengkap Esofagus : Kosong, tdak ada sisa makanan Telinga Posisi :tegak keduanya Bau :bau khas serumen Permukaan daun telinga :halus Krepitasi :tidak ada Refleks panggilan :ada Thoraks: Sistem Pernafasan Inspeksi Bentuk rongga thoraks : Simetris Tipe pernafasan : Abdominal Ritme : Teratur Intensitas : Tidak ada perubahan Frekuensi : 32 x/menit Perkusi Lapang paru-paru : Tidak ada perluasan Gema perkusi : Nyaring Auskultasi Suara ikutan antara in dan ekspirasi : tidak ada Palpasi Penekanan rongga thoraks : Tidak ada reaksi sakit Palpasi intercostalis : Tidak ada reaksi batuk Thoraks: Sistem Peredaran Darah Inspeksi



Ictus cordis Perkusi Lapang jantung Auskultasi Frekuensi Intensitas Ritme Suara sistol dan diastol Ekstrasistolik Sinkronisasi pulsus dan jantung Abdomen dan Organ Pencernaan Inspeksi dan auskultasi Besar Bentuk Legok lapar Rumen Peristaltik usus Palpasi Frekuensi gerakan rumen Anus Sekitar anus Refleks spincther ani Kebersihan daerah perineal



: Tidak ada : Tidak ada perbesaran : 59 x/menit : Kuat : Teratur : Jelas : Tidak ada : Sinkron



: Tidak ada perubahan : Simetris : Masuk ke dalam : Terdengar : Tidak terdengar : 7 x/5 menit



: Kotor : Ada : Kotor



Alat Perkemihan dan Kelamin (Urogenitalis) Jantan Preputium : Bersih, tidak ada perlukaan Penis : Rose,tidak ada kelainan Gland penis Besar : Tidak ada perubahan Bentuk : Tidak ada perubahan Sensitivitas : Sensitif Warna : Pink rose Kebersihan : Bersih Srotum : Tidak ada kelainan Urethra : Tidak ada kelainan Alat Gerak Ispeksi Perototan kaki depan : Simetris, tidak ada rasa sakit Perototan kaki belakang : Simetris, tidak ada rasa sakit Spasmus otot : Tidak ada Tremor : Tidak ada Sudut persendian : Tidak ada kelainan Cara bergerak-berjalan : Koordinatif Cara bergerak-berlari : Koordinatif Palpasi Struktur pertulangan : Simetris Kaki kiri depan : Simetris, kokoh



Kaki kanan depan Kaki kiri belakang Kaki kanan belakang Konsistensi pertulangan Reaksi saat palpasi Letak rasa sakit Palpasi Limfoglandula poplitea Ukuran Konsistensi Lobulasi Perlekatan Panas Kesimetrisan Kestabilan pelvis Konformasi Kesimetrisan Tuber ischii Tuber coxae



: Simetris, kokoh : SImetris, kokoh : Simetris, kokoh : Keras, tidak ada kelainan : Tidak ada reaksi sakit :-



: Tidak ada perubahan : Kenyal : Berlobus : Tidak ada : Suhu sama dengan kulit sekitar : Simetris : Tegak : Simetris : Teraba : Teraba



METODE Waktu dan Tempat Operasi dilaksanakan pada hari Minggu, 28 Maret 2019 bertempat di Kandang Sapi Fakultas Peternakan IPB, Bogor, Jawa Barat. Alat dan Bahan Alat Alat yang digunakan pada operasi ini adalah clipper, syringe, kapas, kassa, tampon, scalpel, tang arteri anatomis, tang arteri sihurgis, Alice forceps, gunting lurus, gunting bengkok, jarum, benang, pinset sihurgis, pinset anatomis, klem besi, kanula/ karet fistula rumen, apron plastik operator, haircap dan gloves. Bahan yang digunakan adalah alkohol 70%, betadine iodine solution, Lidocaine 2%, antibiotik Betamox, antibiotik Penicillin, Tolfedin, gusanex (antiektoparasit), antispetik Detol, Prosedur Operasi Pre-operasi Preparasi Peralatan Operasi Peralatan operasi (alat bedah minor) direndam didalam air sabun pada suhu lingkungan karena air panas akan mengkoagulasi zat protein. Alat-alat yang direndam disikat dan dibilas hingga bersih, kemudian dikeringkan dengan menggunakan tissue/lap bersih.



Kemudian bak peralatan bedah minor dibungkus dengan 2 lapis kain dengan cara lapis kain pertama dengan cara sisi kain dilipat dengan urutan sisi yang paling dekat dengan tubuh, sisi sebaliknya, sisi kanan kemudian sisi kiri. Pembungkusan dilanjutkan dengan lapis kain kedua (posisi kain berbentuk belah ketupat), urutan lipatan yaitu sisi yang paling dekat dengan tubuh, sisi kanan, sisi kiri, dan sisi yang paling jauh. Bagian yang dilipat disisakan (seperti lidah) untuk memudahkan asisten operator membuka bungkusan alat. Peralatan bedah disterilisasi menggunakan sinar UV selama 60 menit. Persiapan dan Preparasi Hewan Hewan dipuasakan selama kurang lebih 12 jam sebelum tindakan operasi dilakukan. Sapi diukur terlebih dahulu bobot badannya untuk menentukan dosis berbagai sediaan obat yang akan diberikan pada pre operasi, operasi, dan post operasi. Preparasi hewan diawali dengan memeriksa status kesehatan hewan dengan memeriksa suhu (°C), frekuensi napas (kali/menit), frekuensi jantung (kali/menit), Capillary Refill Time (CRT) dan warna mukosa. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui kelayakan hewan tersebut untuk melanjutkan operasi. Setelah seluruh evaluasi dilakukan, rambut di area flank kiri dicukur, lalu dibersihkan dengan sabun, alkohol dan betadine iodine. Selanjutnya dilakukan penandaan area yang akan dibuat fistula dan disuntikkan anestetikum lokal Lidocaine 2% pada daerah lumbal dan sekitar area orientasi fistula. Setelah itu penting untuk memastikan kulit dibius dengan memeriksa sensasi dengan jarum hipodermik.



Gambar 1 Persiapan pre operasi sapi dan penandaan area fistula



Operasi Teknik operasi Setelah sapi diapstikan teranastesi lokal di area orientasi fistula, sayat kulit bulat sempurna dengan diameter yang sama dengan diameter tengah kanula atau sedikit lebih kecil. Otot yang disayat adalah m. abdominal oblique externus. Semua pembuluh darah diligasi dengan baik untuk mencegah pendarahan. Selanjutnya m. abdominal oblique internal dan m. abdominal transvesus disayat dan dikuakkan. Setiap sayatan lapisan otot dijahit dengan lapisan otot/kulit di atasnya untuk membantu adhesi daerah perlukaan. Selanjutnya peritoneum disayat dan dijahit/disatukan dengan otot. Setelah rumen terlihat, rumen sedikit ditarik dan dieksplor daerah rumen yang akan difistula. Bagian yang difistula dari rumen adalah saccum caudodorsal yaitu daerah yang tidak begitu banyak pembuluh darah besar. Kemudian dinding rumen dijahit atau ditautkan pada otot di dinding abdomen. Setiap daerah sayatan pada lapisan otot perlu diberikan antibiotik topikal berupa Penicillin.



Gambar 2 Fistula rumen sudah terbentuk dan siap dipasangkan kanula Setelah dipastikan tidak ada perdarahan, lalu isi rumen dikeluarkan. Selanjutnya kanula dibersihkan dengan antiseptik dan dipasangkan pada lubang fistula. Setelah dipastikan fistula tidak lepas, area fistula disemprotkan dengan Gusanex untuk mencegah adanya insekta di area luka. Lalu injeksi antiradang Tolfedine dan antibitotik Betamox dilakukan untuk mencegah infeksi sekunder pada post operasi.



1. Betamox (1.5 mg/ ml, IM) Dosis = 45 ml/450kg Volume = 45 ml/450 kg x 350 kg= 35 mL 2. Tolfedine (8 mg/100ml, IM) Dosis = 1 mL/40kg Volume = 1mL/40 kg x 350 Kg = 8.75 mL



Monitoring dan Maintenance Pemeriksaan keadaan umum dilakukan setiap 15 menit sekali. Parameter yang diamati adalah suhu, frekuensi napas, dan frekuensi jantung. Pemberian



maintenance obat juga dilakukan apabila hewan sudah mulai menunjukkan tandatanda kesakitan ketika operasi masih berlangsung. Hasil Monitoring Selama Operasi Fistula pada Sapi Selama berjalannya proses operasi fistula pada sapi dengan nomor ID 317460, kondisi fisik sapi selalu dipantau (dimonitoring). Salah satu tujuan dari monitoring ini yaitu untuk mengetahui kapan efek anastesi yang diberikan pada sapi tersebut akan mulai menghilang dan apakah diperlukannya maintenance dengan sediaan yang sama agar operasi masih memenuhi kesrawan dari sapi tersebut. Pemeriksaan yang dilakukan selama monitoring yaitu pemeriksaan frekuensi jantung, frekuensi nafas, suhu tubuh, CRT, dan mukosa mulut sapi. Setelah dilakukan pre anestesi, kondisi sapi mulai dari frekuensi nafas dan frekuensi jantung dapat terbilang cukup normal dan stabil. Suhu tubuh sapi juga mulai menurun. Namun kondisi CRT dan mukosa mulut sapi masih menunjukkan hasil yang normal. Hasil CRT yaitu < 2 detik dan mukosa mulut sapi masih berwarna rose. Pada menit ke- 20 hingga menit ke-60 kondisi frekuensi jantung dan nafas sapi masih stabil yaitu berada pada kisaran 68 – 72x/menit dan 36 – 39x/menit. Suhu tubuh sapi pada menit ke- 20 hingga menit ke- 60 berangsurangsur meningkat kembali ke suhu normal. Kondisi CRT dan mukosa mulut sapi masih bagus pada menit ini. Kemudian pada menit ke-70 hingga selesai peroses operasi dimenit ke- 90, frekuensi jantung serta frekuensi nafas sapi mulai mengalami kenaikan. Hal tersebut menandakan bahwa efek anestesi pada sapi sudah mulai hilang sehingga sapi mulai merasa adanya respon sakit yang ditandai juga dengan tingkah laku sapi yang lebih aktif (meronta-ronta). Pada menit ke- 70 hingga menit ke- 90 ini, suhu tubuh sapi juga sudah mulai normal dan stabil yaitu berada pada kisaran 38.3 ᵒC – 38.5 ᵒC. Hal tersebut juga menandakan bahwa efek anestesi lokal yang dihasilkan dari pemberian Lidocaine dapat bertahan selama 60 menit (1 jam). Hasil grafik dari frekuensi jantung, frekuensi nafas, dan suhu tubuh sapi pada saat di operasi dapat diihat pada Gambar 6 dan Gambar 7. 100



kali per menit



80 60 Frekuensi Jantung



40 20 0 0



Gambar 6



10



20



30



40 50 60 Menit ke-



70



80



90



Grafik frekuensi jantung dan frekuensi nafas sapi ID 317460 pada saat pre operasi dan operasi



38.6 38.4



◦C



38.2 38 37.8 37.6 37.4 37.2 0



10



20



30



40



50



60



70



80



90



Menit ke-



Gambar 7 Grafik suhu tubuh sapi ID 317460 pada saat pre operasi dan operasi



Hasil Monitoring Post Operasi Fistula pada Sapi Sapi bernomor ID 317460 tetap dimonitoring kondisinya selama empat hari post operasi. Setiap harinya, sapi post operasi dimonitoring sebanyak dua kali yaitu pada pagi dan sore hari. Selama post operasi, sapi diberikan terapi berupa antibiotik amoxicillin sebanyak 10 mL yang diberikan melalui rute intramuskular (im). Pemberian antibiotik ini berfungsi untuk mencegah terjadinya infeksi pada luka jahitan. Kondisi sapi post operasi fistula pada hari ke-1 menunjukkan hasil yang terbilang normal dengan kisaran frekuensi jantung 56 - 72 x/menit, frekuensi nafas 32 – 46 x/menit, suhu tubuh 37.7 – 38.5 °C, CRT < 2 detik, dan mukosa mulut sapi yang berwarna rose. Luka jahitan sapi post operasi menunjukkan hasil yang kering dan tidak terjadinya infeksi. Tidak hanya pemeriksaan fisik serta luka jahitan saja yang dimonitoring post operasi, namun nafsu makan dan minum serta feses sapi juga dimonitoring. Selama post operasi, nafsu makan dan minum sapi cukup stabil dan baik. Begitupun juga feses sapi yang masih dalam kondisi normal yaitu dengan skor 3. Hasil grafik dari frekuensi jantung, frekuensi nafas, dan suhu tubuh sapi pada post opersi dapat diihat pada Gambar 8 dan Gambar 9. 80



70



Kali per menit



60 50 40 Frekuensi Detak Jantung



30 20 10 0 1 (P)



1 (S)



2 (P)



2 (S) 3 (P) Hari ke-



3 (S)



4 (P)



4 (S)



Gambar 8 Grafik frekuensi jantung dan frekuensi nafas sapi ID 317460 pada saat post operasi 39.5 39



◦C



38.5



38 37.5 37 1 (P)



1 (S)



2 (P)



2 (S)



3 (P)



3 (S)



4 (P)



4 (S)



Hari ke-



Gambar 9 Grafik suhu tubuh sapi ID 317460 pada saat post operasi



Manajemen Post-operasi Manajemen post operasi yang dilakukan adalah melakukan pemeriksaan fisik selama 3 hari berturut-turut. Kemudian pemberian antibiotic amoxicillin 10 ml 2 hari sekali selama seminggu untuk menghindari adanya infeksi sekunder oleh bakteri. Pemberian gusanex di sekeliling fistula agar tidak dihinggapi lalat dan keadaannya tetap kering. Mengurangi terjadinya kontaminasi bakteri akibat personil yang mengambil cairan rumen tidak hati-hati sehingga terkoyaknya lubang perut dan terjadi kebocoran. Cairan rumen yang keluar disekitar lubang akan mengundang lalat untuk bertelur dan terjadi infeksi. Membatasi konsumsi pakan agar kanula tidak terlepas akibat terdorong oleh isi rumen yang berlebih (Suwandi 2000).



SIMPULAN Operasi fistula dan pemasangan kanula pada sapi bertujuan untuk memudahkan dalam mengambil sampel isi rumen. Proses pembedahan dilaksanakan secara legeartis mulai dari handling saat preparasi hewan hingga monitoring postoperasi. Keberhasilan pemasangan kanula ditandai dengan tidak terjadi komplikasi postoperasi, hasil yang baik pada monitoring kesehatan sapi postoperasi dan kanula tidak terlepas dari fistula.



DAFTAR PUSTAKA Ari F, Makmun D. 2014. Current prevention and management of non steroid anti inflammatory drugs associated gastroenteropathy. Indonesian Journal of Gastroenterology, Hepatology, and Digestive Endoscopy. 15(3):161-169. Catterall W, Mackie K. 2008. Anestetik Lokal. Edisi ke-10. Jakarta (ID): Buku Kedokteran EGC. Girardi AM, Sousa SS, Sabes, AF, Bueno GM, Modolo TJC, Bonacin YDS, Pimenta BDS, Marques JA. 2017. One-stage rumen fistulation with permanent silicone cannula in sheep. Nucleus Animalium. 9(1): 91-96. Grovum WI. 1998. An improved rumen cannulation technique to minimize leakage. Acta Vet Scand Suppl. 86:225-228. Kamaluddin MT, Munaf S. 2009. Obat Anestesi Lokal. Jakarta (ID): Universitas Sriwijaya Fakultas Kedokteran Departemen Farmakologi. Kamra, D. N. 2005. Rumen Microbial Ecosystem. Current Science, Vol. 89, No 1. Krause M, Tacke S. 2010. Clinical application of tolfenamic acid (Tolfedine) in dogs and cats. Kleintierpraxis. 55(9):484-489. Li M, Gehring R, Tell L, Baynes R, Huang Q, Riviere JE. 2014. Interspecies mixed-effect pharmacokinetic modeling of penicillin G in cattle and swine. Antimicrobial agents and chemotherapy. 58(8):4495-4503. Marongiu ML. 2012. A Bird’s Eye View of Veterinary Medicine. London (UK): InTech. Muslim G, Sihombing JE, Fauziah S, Abrar A, Fariani A. 2014. Aktivitas Proporsi Berbagai Cairan Rumen dalam Mengatasi Tannin dengan Tehnik In Vitro. Jurnal Peternakan Sriwijaya. 3(1): 25-36. Muzzi LAL, Muzzi RAL, Gabellini ELA. Técnica de fistulação e canulação do rúmen em bovinos e ovinos. Ciência e Agrotecnologia. 33: 2059-2064. Nahak MM. 2013. Shock anafilaksis akibat anestesi lokal menggunakan lidocaine. Jurnal Kesehatan Gigi. 1(2): 106-114. Pandean F, Tjitrosantoso H, Goenawi LR. 2013. Profil pengetahuan masyarakat kota Manado mengenai antibiotika amoksisilin. Jurnal Ilmiah Farmasi. 2(2):67-71. Petri WA. 2011. Penicillins, cephalosporins, and other β-lactam antibiotics. Dalam: Brunton L, Chabner B, Knollman B. 2011l. Goodman and Gilman's The Pharmacological Basis of Therapeutics. 12th Ed. New York (US): McGraw-Hill. Rafee MA, Sinha SK, Saxena AC. 2015. Fistulation and cannulation of the rumen in buffaloes: comparision of two methods. Int J Vet health Sci Res. 3(3): 64-65. Ranheim B, Ween H, Egeli AK, Hormazabal V, Yndestad M, Soli NE. 2002. Benzathine penicillin G and procaine penicillin G in piglets: comparison of intramuscular and subcutaneous injection. Vet Res Commun. 26:459-465. Saeed, A, PIR-MOHAMMADI R, POUR-HASANI F. A two-stage rumen cannulation technique in sheep. Journal of Animal and Veterinary Advances. 6(1): 29-32.



Schellack N. An overview of gastropathy induced by nonsteroidal anti inflammatory drugs. S Afr Pharm J. 79:12-18. Sunaryo. 2004. Anestetik Lokal. Jakarta (ID): Universitas Indonesia Fakultas Kedokteran Bagian Farmakologi. Suwandi, dan I K. 2000. Teknik Pemasangan Fistula Rumen pada Domba. Bogor (ID): Balai Penelitian Ternak. Tjay TH, Rahardja K. 2007. Obat-Obat Penting. Jakarta (D): PT Elex Media Komputindo. Ventoquinol. 2018. Tolfedine CS. [Internet]. [diunduh pada 2019 April 4]. Tersedia pada: www.vetoquinol.com.au/products/productionanimals/tolfedine-cs. Wintarsih I, Prasetyo BF, Madyastuti R, Sutardi LN, Akbari RA. 2017. Obatobatan untuk Hewan Kecil. Bogor (ID): IPB Press.