12 0 640 KB
MAKALAH KEPERAWATAN GAWAT DARURAT “ASUHAN KEPERAWATAN PADA VAP ( VENTILATOR ASSOSIAED PNOEUMONIA)”
NAMA KELOMPOK : 1.
Amalia Yuyun P
(201510201134)
2.
Vebrina Restyani P
(201510201135)
3.
Siwi Susanti W
(201510201136)
4.
Atik Apriyani
(201510201137)
5.
Desy Setyaningrum
(201510201138)
6.
Handoyo
(201510201167)
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA 2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT atas berkat rahmad dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada VAP ( Ventilator Assoaed Pneumonia)”.Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat Prodi S1 Keperawatan di Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta. Kami menyadari, sebagai mahasiswa yang masih dalam proses pembelajaran, penulisan dalam makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna penulisan makalah yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.
Yogyakarta, 27 Maret 2017
Penulis
ii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ......................................................................................................... i KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii DAFTAR ISI ...................................................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang ......................................................................................................... 4 B. Tujuan ...................................................................................................................... 5 C. Manfaat .................................................................................................................... 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Ventilator Associated Pneumonia (VAP)................................................... 7 B. Etiologi Ventilator Associated Pneumonia (VAP)................................................... 8 C. Epidemologi Ventilator Associated Pneumonia (VAP) ........................................... 8 D. Faktor Resiko Ventilator Associated Pneumonia (VAP) ......................................... 9 E. Patogenesis Ventilator Associated Pneumonia (VAP)............................................. 14 F. Penatalaksanaan Ventilator Associated Pneumonia (VAP) ..................................... 15 G. Pencegahan Ventilator Associated Pneumonia (VAP) ............................................ 16 H. Manifestasi Klinis Ventilator Associated Pneumonia (VAP) .................................. 17 I. Asuhan Keperawatan Ventilator Associated Pneumonia (VAP) ............................. 18 J. Analisis Jurnal .......................................................................................................... 27 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan .............................................................................................................. 29 B. Saran ........................................................................................................................ 29 DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ventilator associated pneumonia merupakan pneumonia yang terjadi pada pasien yang mendapat ventilasi mekanik ≥ 48 jam sejak pemasangan ventilator. Ventilator associated pneumonia (VAP) menjadi kasus kedua tersering pada kejadian infeksi nosokomial di unit perawatan intensif (ICU) dan terbanyak pada pasien yang mendapat ventilasi mekanik. Dari semua kejadian hospital-acquired pneumonia, 86% terkait dengan ventilasi mekanik (VM. VAP diperkirakan terjadi sekitar 9-27% dari semua pasien yang mendapat ventilasi mekanik dengan risiko tertinggi terjadi dalam lingkungan rumah sakit . Insidensi VAP berada dalam rentang 9% - 68%, bergantung pada metode diagnosis yang digunakan dan populasi (Guimaraes, 2006). VAP adalah komplikasi yang sering terjadi karena penggunaan ventilator bagi pasien gagal napas akut dan meningkatkan angka kesakitan, angka kematian . Menurut Anderson LJ (1994) dalam Guimaraes (2006), prevalensi VAP dilaporkan sebesar 20,5 – 34,4 / 1.000 VM. Angka mortalitas VAP dilaporkan berada dalam rentang 0 – 50%. Selain angka mortalitas tinggi, VAP juga meningkatkan lama rawat inap pasien (lenght of stays/LOS) dari empat menjadi tiga belas hari, serta biaya perawatan pasien dari $5,000 menjadi $20,000 per kasus. Mikroorganisme penyebab VAP banyak dan bervariasi. Kasus VAP terbanyak disebabkan oleh bakteri patogen yang normalnya berkolonisasi di orofaring dan gut atau yang didapat dari transmisi oleh pekerja medis dari lingkungan sekitar atau dari pasien lain Organisme penyebab VAP yang sering termasuk spesies Pseudomonas, staphylococcus, Enterobacteriaceae, streptococcus, spesies Haemophilus, dan bakteri tinggi resisten lainnya basil Gram-negatif. Streptococcus pneumoniae adalah patogen penyebab utama community-acqiured pneumonia. P.aeruginosa merupakan patogen utama yang mengalami resisten antibiotik yang menyebabkan VAP dan penyebab fatal dari VAP.
Pseudomonas mempunyai banyak faktor virulensi yang
terkait dengan peningkatan angka moralitas VAP. Acinetobacter menjadi
4
penting karena menyebabkan penjangkitan dan mudah tersebar dari satu pasien ke pasien lainnya. Bakteri muncul ini karena kemampuan bertahan di tangan para pekerja medis dan mati di lingkungan sekitar. Pasien yang mengalami VAP setidaknya memiliki tiga dari lima gejala, seperti demam, leukositosis, perubahan warna dan jumlah sputum, gambaran infiltrat baru pada radiografi, dan memburuknya kebutuhan oksigen. Patogenesis VAP terutama dikarenakan oleh invasi sekunder bakteri pada parenkim paru pasien yang mendapat ventilasi mekanik, melalui aspirasi sekresi gastric, kolonisasi traktus pencernaan, peralatan atau obat yang terkontaminasi. B. Rumusan Masalah 1.
Apa yang dimaksud Ventilator associated pneumonia ?
2.
Apa epidemologi Ventilator associated pneumonia ?
3.
Apa etiologi Ventilator associated pneumonia ?
4.
Apa faktor resiko Ventilator associated pneumonia ?
5.
Bagaimana patogenesis Ventilator associated pneumonia ?
6.
Bagaimana penatalaksanaan Ventilator associated pneumonia ?
7.
Bagaimana pencegahan Ventilator associated pneumonia ?
8.
Apa manifestasi klinis Ventilator associated pneumonia ?
9.
Bagaimana asuhan keperawatan pada VAP (Ventilator associated pneumonia) ?
C. Tujuan a. Tujuan Umum Mengetahui definisi Ventilator associated pneumonia yang lebih luas b. Tujuan Khusus 1. Mengetahui definisi Ventilator associated pneumonia 2. Mengetahui epidemologi Ventilator associated pneumonia 3. Mengetahui etiologi Ventilator associated pneumonia 4. Mengetahui faktor resiko Ventilator associated pneumonia 5. Mengetahui patogenesis Ventilator associated pneumonia 6. Mengetahui penatalaksanaan Ventilator associated pneumonia 7. Mengetahui pencegahan Ventilator associated pneumonia 8. Mengetahui manifestasi klinis Ventilator associated pneumonia
5
9. Mengetahui asuhan keperawatan pada VAP (Ventilator associated pneumonia) D. Manfaat 1.
Untuk menyelesaikan tugas makalah perkuliahan keperawatan gawat darurat mengenai VAP (Ventilator associated pneumonia).
2.
Untuk melatih dan mengembangkan kemampuan mahasiswa dalam penulisan karya ilmiah.
3.
Untuk menambah dan mengembangkan pengetahuan mahasiwa dalam memberikan asuhan keperawatan.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1.
Ventilator Assosiaed Pneumonia a.
Definisi VAP Pneumonia terkait ventilator atau
Ventilator
Associated
Pneumonia (VAP) merupakan inflamasi parenkim paru yang disebabkan oleh infeksi kuman yang mengalami inkubasi saat penderita
mendapat
ventilasi
mekanis
dengan
menggunakan
ventilator mekanik. Pemberian ventilasi mekanis yang lama (lebih dari 48 jam) merupakan faktor penyebab pneumonia nosokomial yang paling penting. VAP didefinisikan sebagai pneumonia yang muncul lebih dari 48 jam setelah intubasi endotrakeal dan inisiasi ventilasi mekanis. Langer dkk, membagi VAP menjadi onset dini (early onset) yang terjadi dalam 96 jam pertama pemberian ventilasi mekanis dan onset lambat (late onset) yang terjadi lebih dari 96 jam setelah pemberian ventilasi mekanis. American College of Chest Physicians mendefinisikan VAP
sebagai suatu keadaan dengan
gambaran infiltrat paru yang menetap pada foto thoraks disertai salah satu gejala yaitu ditemukan hasil biakan darah atau pleura sama dengan mikroorganisme yang ditemukan pada sputum maupun aspirasi trakea, kavitas pada rongga thoraks, gejala pneumonia atau terdapat dua dari tiga gejala berikut, yaitu demam, leukositosis dan sekret purulen. VAP merupakan bagian dari pneumonia nosokomial, yaitu suatu infeksi pada parenkim paru yang disebabkan
oleh kuman-
kuman patogen yang sering ditemukan pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Pneumonia nosokomial terjadi pada pasien yang telah dirawat di rumah sakit selama lebih dari 48 jam, dimana periode inkubasinya tidak lebih dari 2 hari. Bagian dari pneumonia nosokomial, yaitu VAP, biasa terjadi pada pasien yang dirawat di ICU yang telah terintubasi atau menggunakan ventilator mekanik.
7
b. Etiologi Beberapa kuman di duga sebagai penyebab VAP. Berdasarkan hasil isolasi kuman pada pasien dengan diagnosis VAP, bakteri gram negatif sangat sering ditemukan, namun hasil isolasi dengan bakteri gram positif telah mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir, terutama pada neonatus. Bakteri penyebab VAP dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan onset atau lamanya pola kuman. Bakteri penyebab VAP pada kelompok I adalah kuman gram negatif (Enterobacter spp, Escherichia coli, Klebsiella spp, Proteus spp, Serratai marcescens), Haemophilus influenza, Streptococcus pneumonia, dan Methicillin Sensitive Staphylococcus Aureus (MSSA). Bakteri kelompok II adalah bakteri penyebab kelompok I ditambah kuman anaerob, Legionella pneumophilia dan Methicillin Resistan Staphylococcus Aureus
(MRSA). Bakteri penyebab
kelompok III adalah Pseudomonas aeruginosa, Acetinobacter spp, dan MRSA c.
Epidemologi VAP merupakan infeksi nosokomial kedua tersering dan menempati urutan pertama penyebab kematian akibat infeksi nosokomial pada pasien di ICU. Penelitian terbesar di Amerika Serikat dengan data lebih dari 9000 pasien menemukan bahwa VAP terjadi pada 9,3% penderita yang menggunakan ventilasi mekanis lebih dari 24 jam. Penelitian di Eropa menyimpulkan bahwa ventilasi mekanis dapat meningkatkan risiko pneumonia 3 kali lipat dibandingkan penderita tanpa ventilator, sedangkan di Amerika dilaporkan 24 kali lipat (Wirasiti, 2006). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa angka kejadian VAP dipengaruhi oleh usia, dengan 5 dari 1000 kasus dilaporkan pada pasien dengan usia kurang dari 35 tahun dan 15 dari 1000 kasus di temukan pada pasien dengan usia diatas 65 tahun. Penelitian terbaru menyebutkan VAP meningkatkan lama rawat pasien hingga 7 sampai 9 hari per pasien, menyebabkan peningkatan jumlah pasien
8
yang terkena infeksi di ICU hingga 25% dan juga meningkatkan penggunaan antibiotik hingga lebih dari 50% (Vincent, 2011). Hasil penelitian Kollef dkk. menyatakan bahwa penderita VAP yang disebabkan oleh kuman Pseudomonas aeruginosa, Acetinobacter spp
dan
Stenophomonas
maltophilia
meningkatkan angka
mortalitas secara bermakna (65%) dibandingkan penderita dengan onset lambat akibat kuman lain (31%) maupun tanpa pneumonia onset lambat (37%) (Wirasiti, 2006). d. Faktor resiko Beberapa faktor disebutkan dapat meningkatkan risiko VAP di ICU, diantaranya : 1) Profilaksis stress ulcer Pada pasien ICU, ulcer
antara
pilihan profilaksis
untuk
stress
lain sukralfat, H2-antagonis (histamine type 2
blockers /H2 Blockers), atau penghambat pompa proton/Proton Pump Inhibitors (PPI) (Vincent, 2011). Antasida dan H2-antagonis telah diidentifikasi sebagai salah satu faktor risiko VAP. Kedua obat tersebut memiliki kemampuan untuk menurunkan keasaman lambung dan juga meningkatkan volume dalam lambung (dalam kasus antasida) sehingga dapat memicu terbentuknya kolonisasi dalam gaster dan aspirasi isi lambung ke paru. Hal inilah yang menyebabkan penggunaan dua obat tersebut sebagai profilaksis stress ulcer dapat meningkatkan risiko terjadinya VAP (Marc, 2012). Pada sebuah meta-analisis tentang keamanan dan efektifitas PPI jika dibandingkan dengan H2-antagonis ditemukan bahwa tidak ada perbedaan antara PPI dan H2-antagonis jika dihubungkan dengan resiko VAP dan kematian di ICU (Vincent, 2011).
9
Sukralfat telah dinyatakan sebagai obat alternatif untuk profilaksis stress ulcer karena obat ini tidak menurunkan keasaman lambung maupun meningkatkan volume dalam lambung secara signifikan
sehingga
mengurangi
risiko
aspirasi. Sukralfat
merupakan satu-satunya obat yang potensial mencegah stress ulcer tanpa menurunkan keasaman lambung. Walaupun sebuah penelitian double blind dengan sistem randomize trial gagal membuktikan
bahwa
pemberian
sukralfat dapat
mengurangi
risiko terjadinya VAP, sukralfat tetap menjadi obat pilihan untuk profilaksis stress ulcer karena memiliki risiko VAP lebih
kecil
jika dibandingkan dengan profilaksis stress ulcer
lainnya . Pada sebuah meta-analisis, penggunaan
ranitidin
memiliki risiko VAP 4% lebih tinggi daripada sukralfat. Namun, pemakaian
ranitidin memberikan
efek
proteksi
lebih
baik
terhadap kemungkinan perdarahan lambung pada pasien risiko tinggi
yang
memakai ventilator. Dapat disimpulkan bahwa
penggunaan sukralfat bisa mengurangi risiko VAP, seperti yang telah dibuktikan pada studi kasus terbaru, tapi disisi lain sukralfat bisa meningkatkan risiko perdarahan gastrointestinal (Marc,2012). 2) Intubasi Intubasi dan ventilasi mekanik bisa meningkatkan risiko VAP. Pemakaian intubasi yang tidak terlalu dibutuhkan harus sebisa mungkin dihindari. Ventilator non-invasif yang menggunakan sungkup muka bisa digunakan sebagai alternatif pada pasien ICU yang menggunakan ventilator karena memiliki risiko VAP yang lebih kecil jika dibandingkan dengan penggunaan ventilator invasif (Marc, 2012). 3) Lama/durasi penggunaan ventilator mekanik Beberapa
penelitian
telah
mengidentifikasi
lama/durasi
penggunaan ventilator sebagai salah satu faktor penting pemicu VAP.
Pada
pasien
dengan ventilasi mekanik, insiden VAP
10
meningkat seiring dengan lamanya ventilasi dan tidak konstan dari waktu ke waktu pemakaian ventilator. Risiko VAP tertinggi terdapat pada awal perawatan di rumah sakit. Pada sebuah penelitian kohort diperkirakan risiko VAP sebanyak 3% setiap hari
selama
minggu
pertama
dari ventilasi, 2% setiap hari
diminggu kedua, dan 1% setiap hari pada minggu ketiga dan seterusnya. Dapat disimpulkan, penurunan durasi penggunaan ventilator bisa menurunkan risiko VAP, khususnya jika penurunan durasi
dilakukan
di
minggu pertama atau minggu kedua
(Japoni,2011). 4) Aspirasi dan nutrisi Aspirasi isi lambung maupun dari orofaring yang telah terkontaminasi flora yang berkolonisasi adalah faktor penting dalam patogenesis VAP. Orofaring berperan penting dengan menjadi sumber kuman terbanyak penyebab VAP (Marc, 2012). 5) Posisi supin Studi terbaru menunjukkan pasien yang terintubasi memiliki risiko lebih tinggi mengalami
aspirasi
berada
(0 derajat)
dalam
posisi
supin
gastropulmoner jika
jika
dibandingkan
dengan posisi semirecumbent (45 derajat) (Vincent, 2011). Pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Torres dengan menginjeksikan bahan radioaktif melalui pipa nasogastrik secara langsung ke lambung dari 19 pasien dengan ventilator mekanik, ditemukan bahan radioaktif tersebut pada sekret endrobronkhial lebih banyak pada pasien dalam posisi supin daripada pasien dalam
posisi
semirecumbent.
Penelitian
lain
menemukan
mikroorganisme yang diisolasi dari lambung, faring dan sekret endobronkial sebanyak 32% jika diambil pada pasien dengan posisi semirecumbent dan 68% pada pasien dengan posisi supin (Cook DJ, 2012).
11
6) Nutrisi Enteral Nutrisi enteral telah diperhitungkan sebagai salah satu risiko terjadinya VAP, dikarenakan bisa meningkatkan risiko penurunan keasaman
lambung,
refluk
gastro-esofageal,
dan
aspirasi
gastropulmoner. Namun nutrisi parenteral, sebagai alternatif nutrisi enteral, disisi lain bisa meningkatkan risiko infeksi akibat pemakaian kateter (catheter-related infection), komplikasi pada daerah penusukan dan harga yang lebih mahal (Vincent, 2011). Penelitian klinis dan data terbaru menyarankan pemberian nutrisi
post-pilorik
atau
jejunal
untuk
mengurangi
risiko
aspirasi sehingga dapat menurunkan komplikasi infeksi jika dibandingkan dengan pemberian nutrisi intragastrik meskipun hal ini masih kontroversial (Fink MP, 2005). Sebuah meta-analisis dari 15 studi pada 753 pasien ICU akibat trauma, luka bakar dan operasi abdomen menemukan insiden infeksi yang lebih rendah secara
signifikan
serta
menurunkan lama rawat yang dihubungkan dengan pemberian nutrisi enteral lebih awal (early enteral feeding).
Sebaliknya,
pemberian nutrisi enteral yang lebih awal (early enteral feeding) bisa meningkatkan risiko VAP. Pada sebuah studi yang dilakukan oleh Artinian dkk., ditemukan adanya peningkatan risiko VAP yang dihubungkan dengan pemberian nutrisi
enteral,tapi tidak
meningkatkan risiko kematian. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pada pasien ICU keuntungan pemberian nutrisi enteral berbanding lurus dengan peningkatan risiko VAP (Vincent, 2011). 7) Modulasi oleh kolonisasi Kolonisasi bakteri pada saluran pernapasan atas merupakan salah
satu faktor
penyebab
terjadinya
VAP.
Kolonisasi
orofaringeal yang ditemukan pada pasien ICU telah diidentifikasi sebagai faktor risiko independen penyebab VAP yang disebabkan bakteri enterik gram negatif dan Pseudomonas aeruginosa.
12
Modulasi dari kolonisasi orofaringeal bisa dicegah dengan pengunaan beberapa antiseptik seperti chlorhexidine gluconate, iseganan,
atau
povidone
iodine, dimana chlorhexidine lebih
banyak diteliti (Vincent, 2011). Chlorhexidine merupakan salah satu antiseptik
pada
operasi,
terutama
digunakan
pada
kedokteran gigi. Obat ini mempunyai aktivitas antiseptik yang kuat, bersifat bakteriostatik untuk kuman gram positif maupun gram negatif, walaupun ada beberapa kuman gram negatif yang resisten. Chlorhexidine digunakan sebagai alternatif penggunaan antibiotik yang dapat memicu terjadinya resistensi kuman (Syarif.A, 2007). 8) Antibiotik sistemik Peran antibiotik sistemik dalam kejadian VAP masih belum jelas. Namun, penggunaan antibiotik di rumah sakit sering
dihubungkan dengan meningkatnya risiko VAP dan
resistensi antibiotik. Sebuah penelitian kohort yang dilakukan pada 320
pasien
menyimpulkan
bahwa
penggunaan
antibiotik
sebelumnya merupakan salah satu variabel yang berhubungan dengan kejadian VAP bersama dengan pasien dengan gagal organ, usia lebih dari 60 tahun, dan posisi kepala tertentu. Namun,
penelitian lainnya
menemukan bahwa penggunaan
antibiotik pada 8 hari pertama bisa menurunkan angka kejadian VAP dengan onset dini (early onset). Meskipun demikian, sebagian besar ahli berpendapat bahwa penggunaan antibiotik sebelumnya pada pasien ICU meningkatkan risiko infeksi dengan patogen yang resisten dan hanya memperlambat kejadian VAP (Porzecanski, 2012). 9) Pembedahan Pasien pasca pembedahan memiliki risiko lebih tinggi terkena
VAP. Penelitian Cunnion pada pasien dewasa di ICU
menunjukkan bahwa pasien pasca pembedahan di ICU lebih banyak yang terkena VAP daripada pasien non-bedah. VAP pada
13
pasien
pasca
bedah
dikaitkan
dengan
beberapa
kondisi,
seperti: penyakit yang mendasari, kadar albumin preoperatif yang rendah, riwayat merokok, lamanya perawatan preoperatif, dan prosedur operasi yang lama. Tidak semua
pasien
pasca
operasi dengan ventilator mekanik di ICU memiliki risiko yang sama untuk terkena VAP karena hal ini juga dipengaruhi oleh lokasi
dan indikasi operasi. Pasien yang mengalami operasi
kardiotoraks dan operasi akibat trauma(biasanya kepala) memiliki risiko lebih besar terkena VAP dibandingkan operasi pada lokasi tubuh lainnya (Chastre J, 2002). e.
Patogenesis Patogenesis
VAP
sangat
kompleks.
Kollef
menyatakan
insiden VAP tergantung pada lamanya paparan lingkungan dan penggunaan alat kesehatan tertentu, dan faktor risiko lain. Faktorfaktor risiko ini meningkatkan kemungkinan terjadinya VAP dengan cara meningkatkan terjadinya kolonisasi traktus aerodigestif oleh mikroorganisme patogen dan meningkatkan terjadinya aspirasi sekret yang terkontaminasi ke dalam saluran napas bawah. Kuman dalam aspirat tersebut akan menghasilkan biofilm di dalam saluran napas bawah dan di parenkim paru. Biofilm tersebut akan memudahkan kuman untuk menginvasi parenkim
paru
lebih
lanjut
sampai
kemudian terjadi reaksi peradangan di parenkim paru. Cook dkk. menunjukkan bahwa lambung adalah reservoir utama kolonisasi dan aspirasi mikroorganisme. Hal dapat dipengaruhi beberapa faktor seperti pemakaian obat yang memicu kolonisasi bakteri (antibiotika dan pencegah/ profilaksis stress ulcer), posisi pasien yang datar, pemberian nutrisi enteral, dan derajat keparahan penyakit pasien (Cook DJ, 2012). Saluran pernapasan normal memiliki berbagai mekanisme pertahanan paru terhadap infeksi seperti glotis dan laring, refleks batuk, sekresi trakeobronkial, gerak mukosilier, imunitas humoral serta sistem fagositik. Pneumonia akan terjadi apabila pertahanan tersebut terganggu dan adanya invasi mikroorganisme virulen. Sebagian besar
14
VAP disebabkan oleh aspirasi kuman patogen yang berkolonisasi dipermukaan mukosa orofaring, dimana intubasi akan mempermudah masuknya kuman dan menyebabkan kontaminasi sekitar ujung pipa endotrakeal pada penderita dengan posisi terlentang. Selain itu, VAP dapat pula terjadi akibat makroaspirasi lambung. Bronkoskopi serat optik, penghisapan lendir sampai trakea maupun ventilasi manual dapat mengkontaminasi kuman patogen kedalam saluran pernapasan bawah (Wirasiti, 2006). f.
Penatalaksanaan Penatalaksanaan optimal pada pasien yang dicurigai VAP membutuhkan tindakan yang cepat dan tepat dengan pemberian antimikroba/antibiotik pengambilan
dan perawatan
sampel
mikrobiologi
menyeluruh.
Walaupun
harus dilakukan
sebelum
memulai terapi, hal ini tidak boleh menunda pemberian antibiotik. Sebagian besar penelitian menunjukkan penundaan pemberian terapi yang efektif menyebabkan peningkatan angka kematian. Pemberian antibiotik harus disesuaikan dengan epidemiologi dan pola kuman setempat. Pada pasien dengan
early
onset VAP yang sebelumnya
belum pernah menerima terapi antibiotik bisa diberikan
monoterapi
dengan generasi ketiga sefalosporin. Sedangkan pasien yang terkena VAP setelah penggunaan ventilator mekanik jangka
panjang dan telah pernah menggunakan
antibiotik sebelumnya memerlukan antibiotik kombinasi agar dapat mengatasi patogen yang potensial (Chen YY, 2012). Kurang lebih 50% antibiotik yang diberikan di ICU adalah ditujukan untuk
infeksi
saluran
pernapasan.
Luna
dkk.
menyebutkan bahwa pemberian antibiotik yang adekuat sejak awal dapat meningkatkan angka ketahanan hidup penderita
VAP
pada
saat data mikrobiologik belum tersedia. Penelitian di Perancis, menunjukkan bahwa hasil pemeriksaan rutin biakan kuantitatif melalui aspirasi endotrakeal dapat mengidentifikasi pemberian antibiotika
15
pada 95% penderita VAP sambil menunggu hasil biakan BAL (Luna CM, 2003). Penelitian lainnya oleh Fowler dkk. memberikan hasil bahwa penderita yang mendapatkan pengobatan penisilin anti-pseudomonas ditambah penghambat β-laktamase serta aminoglikosida memiliki angka kematian lebih rendah. Piperasilin-tazobaktam banyak
merupakan
antibiotik
yang
paling
digunakan (63%) diikuti golongan fluorokuinolon (57%),
vankomisin
(47%), sefalosporin (28%) dan aminoglikosida (25%).
Singh dkk.
menyatakan bahwa siprofloksasin sangat efektif pada
sebagian besar kuman
Enterobacteriaceae,
Haemophilus influenza
dan Staphylococcus aureus. Pemberian antibiotika dapat dihentikan setelah 3 hari pada penderita dengan kecendrungan VAP rendah (CPIS < 6) (Jaime C, 2013). g.
Pencegahan Beberapa penelitian telah berhasil membuktikan keberhasilan strategi- strategi tertentu dalam mencegah kejadian VAP. Olson dkk. melaporkan
bahwa silvercoated
tube
mengurangi
pembentukan
biofilm sehingga dapat mengurangi kolonisasi kuman dengan angka risiko kecil, selain itu juga memperlambat durasi kolonisasi internal dari 1,8 ± 0,4 menjadi 3,2 ± 0,8 hari. Penderita di ICU yang mendapatkan pengaliran subglotik intermiten memiliki insiden VAP lebih
rendah
secara
bermakna
dibandingkan
dengan
kontrol.
Pengurangan penggunaan antibiotik di ICU juga dapat menurunkan insiden pneumonia nosokomial akibat resistensi obat. Salah satu intervensi yang berkaitan dengan penurunan insidensi VAP dan penggunaan antibiotik adalah ventilasi non invasif pada penderita gagal napas akut (Olson ME, 2012). Secara umum, pencegahan terhadap VAP dibagi menjadi 2 kategori, yaitu strategi farmakologi yang bertujuan untuk menurunkan kolonisasi saluran cerna terhadap kuman patogen serta strategi non farmakologi
yang
bertujuan untuk menurunkan kejadian aspirasi
16
(Mandell LA, 2012).Intervensi pencegahan VAP menurut Iregui Kollef tahun 2002 diantaranya : 1.
Intervensi dengan tujuan mencegah kolonisasi saluran cerna : a.
Mencegah penggunaan antibiotik yang tidak perlu
b.
Membatasi profilaksis stress ulcer pada penderita risiko tinggi
c.
Menggunakan sukralfat sebagai profilaksis stress ulcer
d.
Menggunakan antibiotik untuk dekontaminasi saluran cerna secara selektif
e.
Dekontaminasi dan menjaga kebersihan mulut
f.
Menggunakan antibiotik yang sesuai pada penderita risiko tinggi
2.
g.
Selalu mencuci tangan sebelum kontak dengan penderita
h.
Mengisolasi penderita risiko tinggi dengan kasus MDR
Intervensi dengan tujuan utama mencegah aspirasi: a.
Menghentikan penggunaan pipa nasogastrik atau pipa endotrakeal segera mungkin
b.
Posisi penderita semirecumbent atau setengah duduk
c.
Menghindari distensi lambung berlebihan
d.
Intubasi oral atau non-nasal
e.
Pengaliran subglotik
f.
Pengaliran sirkuit ventilator
g.
Menghindari reintubasi dan pemindahan penderita jika tidak diperlukan
h.
Ventilasi masker noninvasif untuk mencegah intubasi trakea
i.
Menghindari penggunaan sedasi jika tidak diperlukan
h. Manifestasi klinis
Demam
Leukosit
Secret purulent
Kavitasi pada foto torak
Nilai oksigenasi PaO2/FiO2 mmHg kurang dari 240 dan tidak terdapat ARDS.
17
i.
Asuhan Keperawatan Ventilator Associated Pneumonia (VAP) 1) KASUS Seorang pasien laki-laki berusia 59 tahun dirawat di ICCU dengan terpasang endotrakeal tube. Dengan keluhan sesak nafas, pasien mengalami batuk yang tidak efektif sejak 2 minggu yang lalu dan disertai sputum yang kental dalam jumlah yang banyak. Pasien tampak gelisah dan tampak pucat. Pasien mengatakan bahwa sebelumnya pernah dirawat dirumah sakit dengan diagnosa medis Hipertensi. Hasil pemeriksaan didapatkan ada suara nafas tambahan dan terdapat cuping hidung. TD : 164/110 mmHg, N : 119x/menit, RR : 28x/menit, S : 39 C. Hasil Labratorium AGD Ph : 7,63 PCO2 : 47,0 PO2 : 96,9 SO2% : 99,3 Hco3 : 15,3
FORMAT ASUHAN KEPERAWATAN No 1.
Sign and Sympton/Data Do : 1. Pasien mengalami batuk tidak efektif 2. Pasien tampak gelisah 3. Terdapat sputum yang kental dalam jumlah banyak 4. Terdapat suara tambahan 5. Hasil pemeriksaan didapatkan : -
TD : 164/110 mmHg
-
N : 119x/menit
-
RR : 28x/menit
-
S : 39 C.
18
Problem Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas
Etiology Peningkatan Produksi Sekret
Ds : 1. Pasien mengatakan sesak nafas 2. Pasien mengatakan batuk sejak 2 minggu yang lalu 3. Pasien mengatakan bantuk disertai dengan sputum yang kental dan banyak
2.
Do : 1. Pasien tampak gelisah dan pucat
Gangguan Pertukaran Gas
Ketidakseimbangan ventilasi perfusi
2. Terdapat cuping hidung 3. Hasil pemeriksaan didapatkan : -
TD : 164/110 mmHg
-
N : 119x/menit
-
RR : 28x/menit
-
S : 39 C.
4. Hasil Laboratorium didapatkan : AGD : -
Ph : 7,63
-
PCO2 : 47,0
-
PO2 : 96,9
-
SO2% : 99,3
-
Hco3 : 15,3
Ds : 1. Pasien mengatakan pusing saat bangun tidur 3.
Do : 1.
Pasien terpasang Endotrakeal Tube
2.
Hasil pemeriksaan didapatkan : -
TD : 164/110 mmHg
-
N : 119x/menit
-
RR : 28x/menit
-
S : 39 C.
19
Resiko Tinggi Pemasangan Terjadinya Infeksi endotrakeal tube Saluran Nafas
Ds : 1. Pasien mengatakan gelisah dan tidak bisa tidur
PRIORITAS 1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d peningkatan produksi sekret ditandai : Do : -
Pasien mengalami batuk tidak efektif
-
Pasien tampak gelisah
-
Terdapat sputum yang kental dalam jumlah banyak
-
Terdapat suara tambahan
-
Hasil pemeriksaan didapatkan : 1. TD : 164/110 mmHg 2.
N : 119x/menit
3. RR : 28x/menit 4. S : 39 C. Ds : -
Pasien mengatakan sesak nafas
-
Pasien mengatakan batuk sejak 2 minggu yang lalu
-
Pasien mengatakan bantuk disertai dengan sputum yang kental dan banyak
2. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi perfusi ditandai :
Do : -
Pasien tampak gelisah dan pucat
-
Terdapat cuping hidung
-
Hasil pemeriksaan didapatkan : 1. TD : 164/110 mmH 2. N : 119x/menit 3. RR : 28x/menit
20
4. S : 39 C. -
Hasil Laboratorium didapatkan : AGD : 1. Ph : 7,63 2. PCO2 : 47,0 3. PO2 : 96,9 4. SO2% : 99,3 5. Hco3 : 15,3
Ds : Pasien mengatakan pusing saat bangun tidur 6.Resiko tinggi terjadinya infeksi saluran nafas b.d pemasangan endotrakeal tube ditandai : Do : -
Pasien terpasang Endotrakeal Tube
-
Hasil pemeriksaan didapatkan : 1. TD : 164/110 mmHg 2. N : 119x/meni 3. RR : 28x/meni 4. S : 39 C
Ds : -
Pasien mengatakan gelisah dan tidak bisa tidur
21
FORMAT PERENCANAAN KEPERAWATAN No
Diagnosa Keperawatan
1
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d peningkatan produksi sekret
2.
Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi perfusi
Rencana Keperawatan Tujuan Rencana Tindakan Keperawatan Setelah diberikan Rencana Tidakan: asuhan a. Posisikan pasien keperawatan untuk memaksimalkan selama 1 x 24 vetilasi. jam, jalan nafas b. Lakukan fisioterapi dapat kembali dada bila perlu. efektif dengan c. Lakukan section pada kriteria hasil: pipa trakeostomi. a. Rentang nafas d. Kolaborasi pemberian normal. terapi untuk b. Tidak terjadi membantu aspirasi. mengencerkan sekret. c. Tidak ada e. Auskultasi suara dispnea. nafas, catat adanya suara tambahan.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam diharapkan gangguan pertukaran gas dapat teratasi dengan kriteria hasil : a. Adanya peningkatan ventilasi dan oksigenisasi yang adekuat b. Tidak terjadi sianosis
22
a. Monitor respirasi dan status O2 b. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction c. Monitor tanda hipoksia dan hiperkapneu d. Monitor hasil la AGD e. Kolaborasi pemberian terapi yang sesuai
Rasional Tindakan
a. Posisi semifowler untuk mencegah sefluks dan aspirasi bakteri dari lambung ke dalam saluran nafas. b. Untuk membantu mengalirkan secret. c. Untuk mempertahankan patesi jalan nafas, memudahkan penghilangan sekret jalan nafas. d. Membantu pengenceran sekresi agar mudah dikeluarkan. e. Untuk mengetahui adanya suara nafas tambahan menunjukan jalan nafas yang tidak paten. a. Untuk memonitor status pernafasan pasien b. Untuk menjaga patensi jalan nafas c. Untuk mencegah teradinya hipoksia dan hiperkapnea d. Untuk melihat adanya gangguan metabolik dan respiratorik e. Untuk memberikan terapi yang sesuai dengan kebutuhan klien
3.
Resiko Tinggi Terjadinya Infeksi Saluran Nafas Berhubungan Dengan Pemasangan Pipa Trakeostomi.
pernafasan c. Nilai AGD dalam rentang normal d. TTV dalam rentang normal Setelah dilakukan Rencana tindakan: tindakan a. Monitor TTV. keperawatan b. Lakukan perawata selama 1 x 24 mulut dan perawatan jam diharapkan pipa trakeostomi. suhu tubuh c. Observasi adanya pasien dapat tanda infeksi. kembali normal d. Berikan kompres dengan kriteria hangat di dahi dan hasil: axial bila ada a. Suhu tubuh peningkatan suhu dalam rentang tubuh. normal e. Kolaborasi pemberian (36,5®C – antipiretik jika ada 37,5®C). peningkatan suhu. b. Tidak ada f. Kolaborasi pemberian perubahan antibiotik jika warna kulit. ditemukan adanya c. TTV dalam tanda dan gejala rentang infeksi. normal.
23
a. Mengetahui data dasar pasien. b. Mencegah perkembangan bakteri patogen di mulut dan area sekitar pipa trakeostomi. c. Menilai tanda infeksi. d. Kompres hangat membantu menurunkan suhu tubuh. e. Antipiretik membantu menurukan suhu tubuh. f. Antibiotik membantu menean pertumbuhan kuman dan bakteri.
FORMAT IMPLEMENTASI DAN EVALUASI Hari/Tanggal Senin, 2 April 2019
Jam 12.00
Implementasi a. Memposisikan pasien untuk memaksimalkan vetilasi. b. Melakukan fisioterapi dada bila perlu. c. Melakukan section pada pipa trakeostomi. d. Berkolaborasi pemberian terapi untuk membantu mengencerkan sekret. e. Melakukan auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan.
Evaluasi S: 1. Pasien mengatakan masih sesak nafas O: 1. Pasien tampak gelisah 2. Masih terdapat sputum 3. Hasil pemeriksaan didapatkan : - TD : 164/110 mmH - N : 119x/menit - RR : 28x/menit - S : 39 C. A: Masalah keperawatan Ketidakefektifan bersihan jalan nafas belum teratasi P: a. Memposisikan pasien untuk memaksimalkan vetilasi. b. Melakukan fisioterapi dada bila perlu. c. Melakukan section pada pipa trakeostomi. d. Berkolaborasi pemberian terapi untuk membantu mengencerkan sekret. e. Melakukan auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan.
Selasa, 3 April 2019
09.0
a. Memonitor respirasi dan status O2 b. Mengeluarkan sekret dengan batuk atau suction c. Memonitor tanda hipoksia dan hiperkapneu d. Memonitor hasil la AGD e. Berkolaborasi pemberian terapi yang sesuai
24
S: a.Pasien mengatakan masih sesak nafas O: a.Masih terdapat sputum kental b.Pasien tampak gelisah c.Hasil pemeriksaan didapatkan - TD : 164/110 mmH
- N : 119x/menit - RR : 28x/menit - S : 39 C. A:Masalah keperawatan gangguan pertukaran gas belum teratasi P: a. Memonitor respirasi dan status O2 b. Mengeluarkan sekret dengan batuk atau suction c. Memonitor tanda hipoksia dan hiperkapneu d. Memonitor hasil la AGD e. Berkolaborasi pemberian terapi yang sesuai
Rabu, 4 April 2019
11.00
a. Memonitor TTV. b. Melakukan perawata mulut dan perawatan pipa trakeostomi. c. Mengobservasi adanya tanda infeksi. d. Memberikan kompres hangat di dahi dan axial bila ada peningkatan suhu tubuh. e. Berkolaborasi pemberian antipiretik jika ada peningkatan suhu. f. Berkolaborasi pemberian antibiotik jika ditemukan adanya tanda dan gejala infeksi.
25
S: a. Pasien mengatakan susah tidur O: a. Pasein terpasang ETT b. Hasil pemeriksaan didapatkan : - TD : 164/110 mmH - N : 119x/menit - RR : 28x/menit - S : 39 C. A: Masalah keperawatan Resiko Tinggi Infeksi pasien belum teratasi P: a. Memonitor TTV. b. Melakukan perawata mulut dan perawatan pipa trakeostomi. c. Mengobservasi adanya tanda infeksi. d. Memberikan kompres hangat di dahi dan axial bila ada peningkatan suhu tubuh. e. Berkolaborasi pemberian antipiretik jika ada peningkatan suhu.
f. Berkolaborasi pemberian antibiotik jika ditemukan adanya tanda dan gejala infeksi.
26
j.
Analisis Jurnal 1. Identitas jurnal Nama Artikel
: Hubungan Perawat tentang pencegahan ventilator
Associated Penumonia (VAP) dengan peningkatan angka VAP di ruang ICU rumah sakit sari asih karawaci tanggerang. Nama pengarang
: Dewi Firiandan Puspa wira santi.
Jurnal
: Kesehatan
Volume
:-
No.
:-
Tahun terbit
: 2016
2. Tujuan penelitian : Untuk mengetahui tingkat pengetahua perawat dalam pencegahan terjadinya peningkatan angka kejadian VAP dalam pemasangan ETT 3. Metode penelitian : a. Rancangan Penelitian Metode penelitian ini menggunakan analitik dengan pendekatan cross sectional yang bertujuan untuk memperoleh hasil kuantitas h ubungan pengetahuan perawat tentang pencegahan VAP dengan peningkatan angka VAP di ruang ICU rumah sakit sari asih karawaci tanggerang. b. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat yang berada di ruang ICU rumah sakit sari asih karawaci tanggerang. c. Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 13 responden yaitu perawat yang berada di ruang ICU rumah sakit sari asih karawaci tanggerang. d. Waktu Penelitian Waktu penelitian adalah 1 bulan yang dimulai dari pengumpulan data pada 13 febuari 2016 dan dilanjutkan dengan penelitian serta proses pengolahan data 13 maret 2016.
27
e. Variabel independent Pengetahuan
perawat
tentang
pencegahan
ventilator
Associated
Pneumonia (VAP) f. Variabel dependent Peningkatan angka VAP di ruang ICU rumah sakit sari asih karawaci tanggerang. 4. Hasil penelitian Hasil penelitian berdasarkan Analisis Univariat dapat dilihat bahwa pengetahuan perawat dengan kategori baik sebanyak 10 orang (77%) dengan tidak ada peningkatan anka VAP sebanyak 9 orang (90%) dan sisanya sebnayak 1 orang (10%) dengan ada peningkatan tingkat VAP dengan kategori kurang sebanyak 3 orang (23%) dengan adanya tidak ada peningkatan angka VAP sebanyak 10 orang (33,3%) dan sisanya sebanyak 2 orang (6,7%) dengan ada peningkatan VAP. 5. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan disajikan pada bab sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan mengenai “hubungan pengetahuan perawat tentang pencegahan VAP dengan peningkatan angka VAP di ruang ICU Rumah sari sari asih karawaci tanggerang sebagai berikut : 1. Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan tentang pencegahan VAP sebagian besar dalam kategori baik (77%). 2. Distribusi frekuensi kejadian (VAP) dengan angka CPIS ,6 di rumah sakit sari asih karawaci tanggerang yaitu sebnayak 10 orang (77%). 3. Ada hubungan yang signifikan tingkat
pengetahuan tentang
pencegahan Ventilator Associated Pneumonia (VAP) di ruang ICU rumah sakit asih karawaci tanggerang.
28
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Pneumonia terkait ventilator atau Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan inflamasi parenkim paru yang disebabkan oleh infeksi kuman yang mengalami inkubasi saat penderita mendapat ventilasi mekanis dengan menggunakan ventilator mekanik. Pemberian ventilasi mekanis yang lama (lebih dari 48 jam) merupakan faktor penyebab pneumonia nosokomial yang paling penting. Ventilator associated pneumonia (VAP) menjadi kasus kedua tersering pada kejadian infeksi nosokomial di unit perawatan intensif (ICU) dan terbanyak pada pasien yang mendapat ventilasi mekanik.
B. Saran Dalam memberikan perawatan kepada penderita Ventilator Associated Pneumonia (VAP) perawat harus mengerti konsep dasar dan konsep keperawatan untuk kesembuhan pasien yang optimal.
29
DAFTAR PUSTAKA Clare M, Hopper K. Mechanical Ventilation: Indications, Goals, and Prognosis. Compendium (Serial on Internet) 2005 (cited 1 Oktober 2012);2:195-07. Available from: cp.vetlearn.com/media Koenig SM, Truwit JD. Ventilator associated pneumonia: diagnosis, treatment, and prevention. Clinical Microbiology Reviews (Serial on Internet) 2006 (cited 1 Oktober 2012); 19: 63757 Chen YY, Chen LY, Lin SY, Chou P, Liao SY, Wang FD. Surveillances on secular trends of incidence and mortality for deviceassociated infection in the ICU setting at a tertiary medical center in Taiwan. BMC Infectious Disease (Serial on Internet) 2012 (cited 1 Oktober 2012); 12:209. Available from : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22963041 Hunter JD. Ventilator associated pneumonia. Postgrad Med J(Serial on Internet) 2006 (cited 1 Oktober 2012); 82: 172-8. Available from: http://pmj.bmj.com/content/82/965/172.full Bénet T, Allaouchiche B , Argaud L and Vanhems P. Impact of surveillance of hospital acquired infection on the incidence of ventilator- associated pneumonia in intensive care unit: a quasi experimental study. Critical Care (Serial on Internet) 2012 (cited 1 Oktober 2012);16: 161. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22909033 Luna CM, Blanzaco D, Niederman MS, Matarucco W, Baredes NC, Desemery P, et al. Resolution of ventilator-associated pneumonia: prospective evaluation of the clinical pulmonary infection score as an early clinical predictor of outcome. Crit Care Med 2003; 31: 676-82 Marc J, Marin H, Jesse B. Risk Factor for VentilatorAssociated Pneumonia: From Epidemiology to Patient Management. Oxford J(Serial on Internet). 2004 (cited 1 Oktober 2012); 38;1141-9. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15095221 Nursalam, 2013, Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Jakarta: Salemba medika Rosyida NIP. Hubungan metode suction pada pasien terpasang ventilator terkait kejadian infeksi nosokomial ventilator-associater
30
pneumonia(VAP). Library of Public Health Faculty Airlangga University (Serial on Internet) 2011 (cited 1 Oktober 2012) Wirasiti D, Nawas A. Pneumonia pada penderita dengan ventilator di instalasi perawatan intensif. J resp Ind 2006;26(3):150-58 Vincent JL, Abraham E, Kochanek P, Moore FA, Fink MP. Textbook of Critical Care Sixth Edition. China: Elsevier Sunders 2011;p.328-479 Wiryana M. Ventilator associated pneumonia. J Peny Dalam (Serial on Internet) 2007 (cited: 1 Oktober 2012) ;8(3):254-65 Japoni A, Vazin A, Davarpanah MA, Ardakani MA, Alborzi A, Japoni S, et al. Ventilator associated pneumonia in Iranian intensive care unit. J Cook DJ, Meade MO, Hand LE, McMullin JP. Toward understanding evidence uptake: semirecumbency for pneumonia prevention. Crit Care Med (Serial on Internet) 2002 (cited 5 Oktober 2012) ;30:1472-7. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12130964 Chan EY, Ruest A, Meade MO, Cook DJ. Oral Dekontamination for prevention of pneumonia in mechanically ventilated adult: systematic review and meta-analysis. BMJ (serial on Internet) 2007 (cited 1 Oktober 2012);334:889. Available from: http://www.bmj.com/content/334/7599/889.short Syarif A, Ari E, Arini S, Armen M, Azalia A, Bahroelim B, dkk. Farmakologi dan terapi. Edisi ke 5. Jakarta: Gaya baru, 2007;p.517522. https://www.academia.edu/34028286/KEJADIAN_VENTILATOR_ASSOCIATED_PNE UMONIA_VAP_PADA_KLIEN_DENGAN_VENTILASI_MEKANIK_MENGGUNAKAN_IND IKATOR_CLINICAL_PULMONARY_INFECTION_SCORE_CPIS_ https://e-journal.unair.ac.id/JNERS/article/view/3975
31