Makalah Hadis Ahkam [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH HADIS AHKAM TAYAMUM DAN MANDI JINABAT Diajukan sebagai Tugas Mata Kuliah Hadis Ahkam 1 Pada Program Studi Hukum Keluarga Islam yang diampu oleh Bapak Yandi Maryandi, S.HI.,M.Ag



Disusun Oleh : Kelompok 6 Laila Nisfi A - 10010118014 Seilla Nur Amalia Firdaus - 10010118017 Andini semantik S - 10010118022 Nely Puspita Sari - 10010118035 Yuni Juniarti - 10010118037 HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG 2019-2020



BAB I PENDAHULUAN Kebersihan merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah kehidupan, dimana dengan kebersihan hidup akan terasa nyaman dan aman. Kebersihan sendiri juga merupakan wujud nyata dari ibadah. Mandi Jinabat adalah meratakan atau menuangkan air dari kepala sampai ke seluruh tubuh, yang disertai dengan niat untuk menghilangkan atau mensucikan diri dari hadats besar yang ada pada dirinya. Mandi Jinabat tidak dapat dipisahkan pembahasannya dengan thaharah. Thaharah merupakan bahasan yang sangat penting dalam fiqih. Jika kita hendak melaksanakan sholat tetapi tidak thaharah terlebih dahulu maka sholatnya dapat dikatakan tidak sah. Dalam artian jika kita sholat tanpa bersuci terlebih dahulu maka sholat yang dilakukan sia-sia. Tetapi banyaksekali masyarakat sekarang yang kurang mengetahui tata cara mandi jinabat ataupun thaharah itu sendiri.



BAB II PEMBAHASAN A. Tayamum a. Pengertian Secara bahasa, tayammum itu maknanya adalah



‫القصد‬



al-qashdu, yaitu



bermaksud. Sedangkan secara syar`i maknanya adalah bermaksud kepada tanah atau penggunaan tanah untuk bersuci dari hadats kecil maupun hadats besar. Caranya dengan menepuk-nepuk kedua tapak tangan ke atas tanah lalu diusapkan ke wajah dan kedua tangan dengan niat untuk bersuci dari hadats.1 Tayamum adalah mengusap sebagian anggota badan tertentu dengan debusebagai pengganti wudhu’ atau mandi. Termasuk pengertian debu adalah abu, pasir halus, permukaan dinding, dan permukaan tanah kering.2 Arti tayamum menurut Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Syaukani menjelaskan: “Tayamum menurut arti bahasa ialah bermaksud (menyengaja). Sementara arti tayamum menurut syara’ ialah bermaksud menggunakan tanah (debu) untuk mengusap muka dan kedua telapak tangan dengan niat untuk melaksanakan salat dan selainnya.”3 Tayammum berfungsi sebagai pengganti wudhu` dan mandi janabah sekaligus. Dan itu terjadi pada saat air tidak ditemukan atau pada kondisi-kondisi lainnya yang akan kami sebutkan. Maka bila ada seseorang yang terkena janabah, tidak perlu bergulingan di atas tanah, melainkan cukup baginya untuk bertayammum saja. Karena tayammum bisa menggantikan dua hal sekaligus, yaitu hadats kecil dan hadats besar.4 b.



Hadis Tayamum



‫ف َع ْن أَيِب َر َج ٍاء‬ َ َ‫َخَبَرنَا َعْب ُد اللَّ ِه ق‬ َ َ‫بَاب َح َّد َثنَا َعْب َدا ُن ق‬ ٌ ‫َخَبَرنَا َع ْو‬ ْ ‫ال أ‬ ْ ‫ال أ‬ ِ َ ‫َن رس‬ ِ ِ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه‬ َ َ‫ق‬ َ ‫ال َح َّدثَنَا ع ْم َرا ُن بْ ُن ُح‬ َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َّ ‫ص نْي ٍ اخْلُ َزاع ُّي أ‬ ‫ك أَ ْن‬ َ ‫ص ِّل يِف الْ َق ْوِم َف َق‬ َ ‫ال يَ ا فُاَل ُن َم ا َمَن َع‬ َ ُ‫َو َس لَّ َم َرأَى َر ُجاًل ُم ْعتَ ِزاًل مَلْ ي‬ ِ ِ َ ‫ال ي ا رس‬ ‫ك‬ َ َ‫َص َابْتيِن َجنَابَةٌ َواَل َم اءَ ق‬ َ ‫ال َعلَْي‬ َ ُ‫ت‬ َ ‫ول اللَّه أ‬ ُ َ َ َ ‫ص لِّ َي يِف الْ َق ْوم َف َق‬ ِ ‫يك‬ َّ ِ‫ب‬ َ ‫الصعِي ِد فَِإنَّهُ يَ ْكف‬



Bab. Telah menceritakan kepada kami 'Abdan berkata, telah mengabarkan kepada kami 'Abdullah berkata, telah mengabarkan kepada kami 'Auf dari Abu Raja' berkata, telah menceritakan kepada kami 'Imran bin Hushain Al Khaza'i, bahwa Rasulullah shallallahu 1



Ahmad Sarwat, Lc. Fiqih Thaharah. Jakarta Selatan: DU Center Press. 2010. Hlm 145 Thalib, M. Tuntunan Thaharah Wudhu’, Mandi dan Tayamum. Bandung: Irsyad Baitus Salam. 2002. Hlm 159 3 Panitia Penyusun Kurikulum Pesantren Mahasiswa dan Calon Sarjana, Bimbingan Ibadah dalam Naungan Sunnah Rasul, Bandung: LSIPK UNISBA, 2012. Hlm 19 4 Ahmad Sarwat, Lc. Fiqih Thaharah. Jakarta Selatan: DU Center Press. 2010. Hlm 146 2



'alaihi wasallam melihat seorang menyendiri dan tidak ikut shalat bersama orang banyak, beliau lalu bertanya: "Wahai fulan, apa yang menghalangi kamu untuk shalat bersama orang-orang?" Maka orang itu menjawab: "Wahai Rasulullah, aku mengalami junub dan tidak ada air." Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wajib bagi kamu menggunakan tanah dan itu sudah cukup buatmu." (HR. Bukhari: 335, Sahih menurut Ijma' Ulama) Penjelasan : Tayamum dilakukan pada keadaan tertentu untuk menggantikan mandi atau wudhu’ ketika seseorang akan menjalankan sholat.5 Bahkan ada sebuah hadits yang menyatakan bahwa selama seseorang tidak mendapatkan air, maka selama itu pula dia boleh tetap bertayammum, meskipun dalam jangka waktu yang lama dan terus menerus.6



Dari Abi Dzar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Tanah itu mensucikan bagi orang yang tidak mendapatkan air meski selama 10 tahun". (HR. Abu Daud, Tirmizi, Nasa`i, Ahmad). Dalam kondisi yang teramat dingin dan menusuk tulang, maka menyentuh air untuk berwudhu adalah sebuah siksaan tersendiri. Bahkan bisa menimbulkan madharat yang tidak kecil. Maka bila seseorang tidak mampu untuk memanaskan air menjadi hangat walaupun dengan mengeluarkan uang, dia dibolehkan untuk bertayammum. Di beberapa tempat di muka bumi, terkadang musim dingin bisa menjadi masalah tersendiri untuk berwudhu`, jangankan menyentuh air, sekedar tersentuh benda-benda di sekeliling pun rasanya amat dingin. Dan kondisi ini bisa berlangsung beberapa bulan selama musim dingin. Tentu saja tidak semua orang bisa memiliki alat pemasan air di rumahnya. Hanya kalangan tertentu yang mampu memilikinya. Selebihnya mereka yang kekurangan dan tinggal di desa atau di wilayah yang kekurangan, akan mendapatkan masalah besar dalam berwudhu` di musim dingin. Maka pada saat itu bertayammum menjadi boleh baginya. Dalilnya adalah taqrir Rasulullah SAW saat peristiwa beliau melihat suatu hal dan mendiamkan, tidak menyalahkannya. 5



Thalib, M. Tuntunan Thaharah Wudhu’, Mandi dan Tayamum. Bandung: Irsyad Baitus Salam. 2002. Hlm 160 6 Ahmad Sarwat, Lc. Fiqih Thaharah. Jakarta Selatan: DU Center Press. 2010. Hlm 149-150



ِ ‫ال احَتلَمت يِف لَيلَ ٍة ب ا ِرد ٍة يِف َغ زو ِة َذ‬ ِ ‫َع ْن َع ْم ِر َوبْ ِن الْ َع‬ َ‫الس ال‬ ُّ ‫ات‬ َ ْ ْ َ َ ْ ُ ْ ْ َ َ‫اص ق‬ ِ ِ ‫َش َف ْق‬ ‫الص ْب َح‬ ُّ ‫َص َحايِب‬ َ ‫ت أ َْهل‬ ُ ‫ص لَّْي‬ ُ ‫ِك َفَتيَ َّم ْم‬ ُ ‫ت إِن ا ْغتَ َس ْل‬ ُ ْ ‫س ِل فَأ‬ ْ ‫ت بِأ‬ َ َّ‫ت مُث‬ ِ َ‫فَ َذ َكروا ذ‬ ِ ‫ت‬ َ َ َ‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم َف َق َال ي‬ َ ‫ص لَّْي‬ َ ‫اع ْم ُر ْو‬ َ ِّ ‫لِك للنَّيِب‬ ُْ ِ ‫َخبر تُه بِالَّ ِذي مَنعيِن ِمن اْ ِإل ْغتِس‬ ِ‫ت إ‬ ‫ل‬ ‫ق‬ ‫و‬ ‫ال‬ ْ ‫يِّن‬ ُ َ ِ‫َص َحاب‬ ُ َ ْ‫ك َوأَن‬ ْ ‫بِأ‬ ْ ْ َ َ ْ ُ ْ َ ْ ‫ب فَأ‬ ٌ ُ‫ت ُجن‬ َ َ ْ ِ ِ ‫ك‬ َ ‫ض ِح‬ َ َ‫ت اهللَ َي ُق ْو ُل َوالَ َت ْقُتلُ ْوا أَْن ُف َس ُك ْم إِ َّن اهللَ َك ا َن بِ ُك ْم َرحْيمًا ف‬ ُ ‫مَس ْع‬ ِ ‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َومَلْ َي ُق ْل َش ْيءًا‬ َ ‫َر ُس ْو ُل اهلل‬ Dari ‘Amr bin Ash, dia berkata: “Pada malam yang (sangat) dingin dalam perang Dzatus Sulasil, aku bermimpi, lalu keluar mani. Aku khawatir sekirannya mandi, aku bisa celaka. Aku pun bertayamum, lalu mengimani shalat shubuh para sahabatku. Selanjutnya, mereka menceritakan hal itu kepada Nabi Saw., lalu beliau bertanya: ‘Ya ‘Amr, benarkah engkau mengimani sholat para sahabatmu, sedang engkau dalam keadaan junub?’ Akupun memberitahukan kepada beliau apa yang menghalangiku mandi dan aku berkata: ‘Sungguh aku telah mendengar firman Allah: Walaa taqtuluu anfusakum innallaha kaana bikum rahiimaa (Dan janganlah kalian membinasakan diri kalian. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada kalian-QS. An-Nisaa’ (4): 29) Rasulullah Saw pun tersenyum dan tidak bersabda apa-apa.” (HR Abu Dawud no. 283 CD dan Ahmad) Penjelasan: Beberapa keadaan yang membolehkan seseorang tayamum sebagai ganti mandi atau wudhu’ yaitu: a. b. c. d. e.



Sakit Dalam perjalanan Tidak mendapatkan air Terluka, dan Kedinginan



Hadis yang diriwayatkan Abu Dawud no. 284 CD adalah dha’if. Akan tetapi, orang yang terluka dibolehkan tayamum karena orang yang terluka termasuk kategori orang yang sakit, sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nisaa (4): 43 di atas.7 Kondisi yang lainnya yang membolehkan seseorang bertayammum sebagai penggati wudhu` adalah bila seseorang terkena penyakit yang membuatnya tidak boleh terkena air. Baik sakit dalam bentuk luka atau pun jenis penyakit lainnya. Tidak boleh terkena air itu karena ditakutnya akan semakin parah sakitnya atau terlambat kesembuhannya oleh sebab air itu. Baik atas dasar pengalaman pribadi maupun atas advis



7



Thalib, M. Tuntunan Thaharah Wudhu’, Mandi dan Tayamum. Bandung: Irsyad Baitus Salam. 2002. Hlm 164



dari dokter atau ahli dalam masalah penyakit itu. Maka pada saat itu boleh baginya untuk bertayammum.8



Dari Jabir ra berkata,"Kami dalam perjalanan, tiba-tiba salah seorang dari kami tertimpa batu dan pecah kepalanya. Namun (ketika tidur) dia mimpi basah. Lalu dia bertanya kepada temannya,"Apakah kalian membolehkan aku bertayammum ?". Temantemannya menjawab,"Kami tidak menemukan keringanan bagimu untuk bertayammum. Sebab kamu bisa mendapatkan air". Lalu mandilah orang itu dan kemudian mati (akibat mandi). Ketika kami sampai kepada Rasulullah SAW dan menceritakan hal itu, bersabdalah beliau,"Mereka telah membunuhnya, semoga Allah memerangi mereka. Mengapa tidak bertanya bila tidak tahu ? Sesungguhnya obat kebodohan itu adalah bertanya. Cukuplah baginya untuk tayammum ...(HR. Abu Daud 336, Ad-Daruquthuny 719).



ِ ِ َّ‫ال جاءرج ل إِىَل عُم ر بْن اخْلَط‬ ‫ال إِيِّن‬ َ ‫اب َف َق‬ َ ََ ٌ ُ ََ َ َ َ‫َع ْن َعْب دالرَّمْح َ ِن بْ ِن ْأب َزى ق‬ ِ ‫ب الْماء َف َقاع َّماربن ي‬ ِ ‫أَجنَبت َفلَم أ‬ ِ َّ‫ٍرلِعمربْ ِن اخْلَط‬ ‫اب‬ ‫اس‬ ‫ُص‬ َ ُُْ َ َ َ ْ ْ َْْ ََ ُ ‫ت‬ ُ ‫ص ِّل َوأ ََّماأَنَ ا َفتَ َم َّع ْك‬ َ ْ‫ت فَأ ََّماأَن‬ َ ْ‫أ ََماتَ ْذ ُك ُرأَنَّا ُكنَّايِف ْ َس َف ٍرأَنَ َاوأَن‬ َ ُ‫ت َفلَ ْم ت‬ ِ ‫فَص لَّيت فَ َذ َكر‬ َ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم َف َق‬ ُ ْ ُْ َ ُ‫ص لَّى اللَّه‬ َ ُّ ‫ال النَّيِب‬ َ ّ ‫ت للنَّيِب‬ ِ ِ ‫ض َو َن َف َخ‬ َ ‫إِمَّنَا َك ا َن يَ ْكفْي‬ َ َ‫ك َه َك َذاف‬ َ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِهبِ َك َّفْي ه األ َْر‬ َ ُّ ‫ب النَّيِب‬ َ ‫ض َر‬ ‫فِْي ِه َما مُثَّ َام َس َح هِبِ َما َو ْج َههُ َو َك َّفْي ِه‬ 8



Ahmad Sarwat, Lc. Fiqih Thaharah. Jakarta Selatan: DU Center Press. 2010. Hlm 150



Dari ‘Abdur Rahman bin Abza, dia berkata: Seorang laki-laki datang kepada ‘Umar bin AL-Khaththab, lalu bertanya: “Saya terkena junub, sedangkan air tidak ada (bagaimana aku harus berbuat?)” ‘Ammar bin Yasir berkata kepada ‘Umar bin AlKhaththab: “Tidaklah engkau ingat ketika aku dan engkau dalam suatu perjalanan? Ketika itu engkau tidak sholat (karena tidak ada air), sedang aku berguling-guling (ditanah), lalu sholat, kemudian hal itu aku ceritakan kepada Nabi saw. Lalu Nabi Saw., bersabda: ‘Sesungguhnya cukup bagimu berbuat begini,’ lalu Nabi Saw., menepukkan dua telapak tangannya ke tanah , lalu meniupnya, kemudian mengusapkannya pada muka dan kedua telapak tangannya.” (HR Bukhari no. 326 CD, Muslim, Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad) Penjelasan: Cara tayamum yang diajarkan oleh Rasulullah saw., adalah: a. Menepukkan dua telapak tangan ditanah (debu), lalu b. Meniup kedua telapak tangan, kemudian c. Mengusapkannya pada muka dan kedua telapak tangan.9 Tayamum dapat juga dengan menepuk debu yang ada pada dinding atau lainnya sebagaimana tersebut dalam hadist berikut:



ِ ِ ًّ ‫ث ب ِن‬ َ َ‫ي ق‬ ِّ ‫ص ا ِر‬ ُ‫ال أَْقبَ َل َر ُس ْو ُل اللَّه‬ ْ ‫َع ْن أَيِب ْ اجلَ ْه ِم بْ ِن احلَ ا ِر‬ َ ْ‫الص ًمةاأْل َ ن‬ ‫َعلَْي ِه َو َس لَّ َم ِم ْن حَنْ ِوبِْئ ِرمَجَ ٍل َفلَ ِقيَ هُ َر ُج ٌل فَ َس لَّ َم َعلَْي ِه َفلَ ْم َي ُر َّد َر ُس ْو ُل اللَّ ِه‬ َّ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلّ َم َعلَْي ِه َحىَّت أََقبَ َل َعلَى اجلِ َدا ِرفَ َم َس َح َو ْج َه هُ َويَ َديْ ِه مُث‬ َ ‫السالَ َم‬ َّ ‫َر َّد َعلَْي ِه‬ Dari Abul Jahm bin Al-Harits Ash-Shimmah Al-Amshari, dia berkata: “Ketika Rasulullah saw datang dari arah sumur jamal, ada seorang laki-laki yang bertemu beliau lalu memberi salam, tetapi Rasulullah saw tidak menjawabnya. Setelah beliau menghadap ke dinding, lalu mengusap muka dan kedua (telapak) tangannya (bertayamum), barulah beliau menjawab salam orang itu.” (HR. Muslim no. 554 CD, Bukari, Nasa’i, Abu Dawud, dan Ahmad) Bila ditemukan air, maka tayamum secara otomatis menjadi gugur. Yang harus dilakukan adalah berwudhu dengan air yang baru saja ditemukan. Yang jadi masalah bila seseorang bertayammum lalu shalat dan telah selesai dari shalatnya, tiba-tiba dia mendapatkan air dan waktu shalat masih ada. Apa yang harus dilakukannya? Para ulama mengatakan bahwa tayamum dan shalatnya itu sudah syah dan tidak perlu untuk mengulangi shalat yang telah dilaksanakan. Sebab tayammumnya pada saat itu memang benar, lantaran memang saat itu dia tidak menemukan air. Sehingga bertayammumnya sah. Dan shalatnya pun sah karena dengan bersuci tayammum. Apapun bahwa setelah itu 9



Thalib, M. Tuntunan Thaharah Wudhu’, Mandi dan Tayamum. Bandung: Irsyad Baitus Salam. 2002. Hlm 166-167



dia menemukan air, kewajibannya untuk shalat sudah gugur. Namun bila dia tetap ingin mengulangi shalatnya, dibenarkan juga. Sebab tidak ada larangan untuk melakukannya. Dan kedua kasus itu pernah terjadi bersamaan pada masa Rasulullah SAW.10



Dari Abi Said Al-Khudhri ra berkata bahwa ada dua orang bepergian dan mendapatkan waktu shalat tapi tidak mendapatkan air. Maka keduanya bertayammum dengan tanah yang suci dan shalat. Selesai shalat keduanya menemukan air. Maka seorang diantaranya berwudhu dan mengulangi shalat, sedangkan yang satunya tidak. Kemudian keduanya datang kepada Rasulullah SAW dan menceritakan masalah mereka. Maka Rasulullah SAW berkata kepada yang tidak mengulangi shalat,"Kamu sudah sesuai dengan sunnah dan shalatmu telah memberimu pahala". Dan kepada yang mengulangi shalat,"Untukmu dua pahala". (HR. Abu Daud 338 dan AnNasa`i 431) B. Mandi Jinabat a. Pengertian Mandi menurut pengertian agama adalah menyiramkan air secara merata keseluruh tubuh dari kepala sampai kaki, termasuk juga mandi janabat. Mandi seperti ini sudah mencakup wudhu’ sehingga tidak perlu wudhu’ lagi kalau hendak shalat selama belum batal.11 Mandi Menurut Fuqaha’ Pada dasarnya, mandi (al-ghasl) memiliki arti mengalirkan air suci keseluruh tubuh secara merata dengan cara-cara tertentu, merupakan salah satu cara bersuci dalam Islam. Para fuqaha’ mengkategorikan mandi ke dalam dua kategori,yaitu mandi wajib dan mandi sunnah.12 Mandi Jinabat menurut bahasa adalah : Mandi atau al-guslu berarti perbuatan yang dikerjakan oleh seseorang dengan cara mengguyurkan/menyiramkan air ke seluruh badannya disertai dengan menggosoknya. Adapun alat pembersih yang berupa sabun atau sampo jika dihubungkan dengan mandi dalam istilah fikih disebut al-ghislu. Sedangkan media yang digunakan seperti alghaslu.13 10



Ahmad Sarwat, Lc. Fiqih Thaharah. Jakarta Selatan: DU Center Press. 2010. Hlm 159 Thalib, M. Tuntunan Thaharah Wudhu’, Mandi dan Tayamum. Bandung: Irsyad Baitus Salam. 2002. Hlm 129 12 Khoiri. Antara Adat dan Syariat (Studi Tentang Mandi Safar di Tasik Nambus, Riau, ditinjau dari perspektif Islam). Jurnal Ilmiah Islam Futura, 196-210. 2017. Hlm 197 13 Panitia Penyusun Kurikulum Pesantren Mahasiswa dan Calon Sarjana, Bimbingan Ibadah dalam Naungan Sunnah Rasul, Bandung: LSIPK UNISBA, 2012. Hlm 13 11



Menurut istilah syarak mandi berarti : Menggunakan air yang mensucikan pada sekujur badan dengan cara yang ditentukan pula. (Abdul Rahman Al-Jaziri 1: 105) b. Hadis Mandi Jinabat Mandi Besar dan Hukum Junub



ِ ُ ‫ َك ا َن رس‬: ‫ وعن ع ِاء َش ةَ ر ِض ى اهلل عْنه ا قَ الَت‬١٠٥ ْ َ َْ َ َ ‫ول اهلل‬ َُُ َ َ ُ‫ص لَّى اهلل‬ َُ ِ ‫ وي وم اْجُل م‬, ‫ ِمن اْجلنَاب ِة‬: ‫علَي ِه وس لَّم ي ْغتَ ِس ل ِمن أَرب ٍع‬ ‫ َو ِم َن‬, ‫ت‬ َْ ْ ُ َ َ َ َ َْ َُ َ ْ َ َ َ َ َ ِ ِ ِ ِ َّ ‫ َو‬, ‫ود ُاو َد‬ َ‫ص َحهُ ابْ ُن ٌخَزمْيَة‬ َ ُ‫ َر َواهُ أَب‬. ‫ َوم ْن غُ ْس ِل اْملَيِّت‬, ‫ اْاحل َج َامة‬.



105. “Aisyah RA menceritakan, bahwa Rasulullah SAW melakukan mandi besar



atas empat hal : disebabkan bersetubuh, pada hari jum’at, disebabkan sudah berbakam, dan sesudah memandikan mayit.”



‫ص ِة مُثَ َام ةَبْ ِن أُثَ ٍال ِعْن َد َما‬ َّ ِ‫ ىِف ق‬, ُ‫ َو َع ْن أَىِب ُهَر ْي َرةَ َر ِض َى اهللُ َعْن ه‬١٠٦ ِ ‫الرز‬ , ‫َّاق‬ َّ ‫ َر َواهُ َعْب ُد‬. ‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم أَ ْن َي ْغتَ ِس َل‬ ْ‫أ‬ َ ُّ ‫َس لَ َم َوأ ََم َرهُ النَّىِب‬ ‫َصلُهُ ُمَّت َف ٌق َعلَْي ِه‬ ْ ‫ َوأ‬. 106. “Abu Hurairah RA menceritakan kisah Tsumamah bin Utsal pada waktu dia masuk Islam, maka disuruh Nabi SAW agar dia mandi besar.”14 Keluar mani



‫ص لَّى‬ َ َ‫َع ْن َعلِ ٍّي ق‬ ُ ‫ت َر ُجاًل َم َّذاءً َو ُكْن‬ ُ ‫ ُكْن‬:‫ال‬ ْ ‫َس تَ ْحيِي أَ ْن أ‬ ْ‫تأ‬ َ َّ ‫َس أ ََل النَّيِب‬ ِ ِ ِ ِ ِ ‫تِه فَ أَمر‬ :‫ال‬ َ ‫َس َو ِد فَ َس أَلَهُ َف َق‬ ُ ْ َ َ‫اهللُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم ل َم َك ان ْابن‬ ْ ‫ت الْم ْق َد َاد بْ َن اأْل‬ ُ‫ضأ‬ َّ ‫«ي ْغ ِس ُل ذَ َكَرهُ َو َيَت َو‬ َ »



Dari ‘Ali ra., dia berkata: “Aku adalah seorang laki-laki yang sering keluar madzi, lalu aku bertanya kepada Nabi SAW atau hal itu ditanyakan kepada beliau, kemudian beliau bersabda: “Wudhu’ lah bila kelar madzi dan mandilah bila keluar mani.” (HR Ahmad no. 827 CD, Tirmidzi dan Ibnu Majah)



14



Kahar Masyhur, Bulughul Maram 1. RINEKA CIPTA. hlm. 45.



Keluar mani karena bersetubuh, mimpi, atau sebab yang lain diwajibkan mandi. Mani adalah cairan putih kental yang keluar dari kemaluan karena terjadi orgasme atau mimpi.15 Bersetubuh, baik keluar mani maupun tidak



ِ ِ َ َ‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه وس لَّم ق‬ َّ ‫َع ْن أَيِب ْ ُهَر ْي َر َةأ‬ َ ‫س َبنْي‬ َ ‫َن نَيِب َّ اهلل‬ َ ََ َ َ‫ال إ َذا َجل‬ ِ ‫ُشعبِها اأْل َ ب ِع مُثَّ جه َدها َف َق ْدوجب علَي ِه الْغُس ل ويِف ح ِدي‬ ‫ث َمطَ ٍر َوإِ ْن‬ َ ََ ْ َ ْ َُ ْ َْ َ َ َ َ ََ ‫مَلْ يُْن ِز ْل‬



Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Nabiyullah SAW pernah bersabda: “Apabila (seseorang) duduk di antara empat anggota badan istrinya, kemudian ia menyetubuhinya, ia wajib mandi.” Pada riwayat Mathar ada tambahan: “Meskipun tidak keluar mani.” (HR. Muslim no 525 CD dan Ahmad) Selesai haidh atau nifas



ِ َّ ‫عن ع ِاء َش ةَ أ‬ ِ ٍ ‫ت أَيِب ْ ُحَبْي‬ ْ َ‫ش َك ان‬ َّ ‫اض فَ َس أَلَت النَّيِب‬ َ َْ َ ‫َن فَاط َم ةَ بِْن‬ ُ ‫ت تُ ْس تَ َح‬ ِ َ‫ض ِة فَ ِإ َذاأَْقبل‬ ِ َ ‫ص لَّى اهلل َعلَي ِه وس لَّم َف َق‬ ‫ت‬ َ ‫ت بِاحْلَْي‬ ْ ‫ِر ٌق َولَْي َس‬ َ َ ْ ‫ال َذلِك ع‬ َ ََ ْ ُ ِ‫الصالََة وإِ َذاأَدبرت فَا ْغت ِسل‬ ِ ‫صلِّى‬ ‫و‬ ‫ى‬ َ ‫احْلَْي‬ َ َ َ ْ ََ ْ َ َّ ‫ضةُ فَ َدعي‬



Dari ‘Aisyah, bahwa Fatimah binti Abu Hubaisy pernah istihadhah, lalu ia bertanya kepada Nabi SAW kemudian beliau menjawab: “Itu adalah darah yang keluar dari urat, bukan haidh. Apabila engkau mengalami haidh, tinggalkan shalat dan bila telah selesai, mandilah dan kerjakan shalat.” (HR. Bukhari no. 309 CD, Muslim, Tirmidzi, Nada’I, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, Malik dan Darimi)



ِ ِ‫الن َفساء جَت ل‬ ِ َ‫عن أ ُِّم سلَمةَ قَالَت َكان‬ ِ ُّ ‫ت‬ ْ ْ َ ‫س َعلَى َع ْهد َر ُس ْول‬ ُ‫صلَّى اهلل‬ َ َ َْ ُ َ ُ ‫ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم أ َْربَعِنْي َ َي ْو ًما‬...



Dari Ummu Salamah, dia berkata: “Para wanita yang sedang nifas pada masa Rasulullah SAW berhenti mengerjakan shalat selama empat pukuh hari…..” (HR. Tirmidzi no. 129 CD, Ibnu Majah, Ahmad dan Darimi) Keterangan : Perempuan yang sedang haidh atau nifas diperintahkan berhenti mengerjakan shalat karena mereka sedang dalam hadats besar. Orang yang berhadats besar diwajibkan mandi terlebih dahulu bila akan mengerjakan shalat.16 Thalib, M. Tuntunan Thaharah Wudhu’, Mandi dan Tayamum. Bandung: Irsyad Baitus Salam. 2002. Hlm 132 16 Ibid, hlm 134-135 15



Sebelum melaksanakan shalat Jum’at



ِ ِ ِ ٍِ ِ ‫َن رسو َل‬ ‫ب‬ َ َ‫ ق‬،‫اهللﷺ‬ ٌ ‫ال غُ ْس ُل َي ْوم اجلُ ُم َعة َواج‬ ْ ُ َ َّ ‫َع ْن أَيِب َسعْيد اخلُ ْد ِري أ‬ ‫علَى ُك ِّل حُمْتَلِ ٍم‬. َ Dari Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “Mandi Jum’at itu wajib bagi tiap-tiap orang yang sudah baligh.” (HR. Tujuh Ahli Hadits) Dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra., sungguh Rasulullah SAW pernah bersabda: “Jika seorang di antara kalian akan mendatangi shalat Jum’at, hendaklah ia mandi.” (HR. Bukhrai no. 828 CD) Dari Samurah, ia berkata: “Rasulullah SAW pernah bersabda: ‘Barang siapa wudhu’ pada hari Jum’at, maka itu telah mencukupi, dan barang siapa mandi, itu adalah lebih utama.’”(HR. Abu Daud no. 300 CD) Hadits pertama bersifat umum, yang maksudnya semua orang Islam yang sudah baligh, baik laki-laki maupun perempuan, diwajibkan mandi pada hari Jum’at. Hadits kedua menjelaskan secara lebih khusus bahwa orang Islam yang diwajibkan mandi pada hari Jum’at yang dimaksud pada Hadits pertama adalah orang-orang yang pergi shalat Jum’at. Artinya sebelum beranngkat ke tempat shalat Jum’at mereka wajib mandi. Adapun Hadits ketiga menjelaskan bahwa orang yang batal setelah mandi Jum’at diperbolehkan memilih salah satu diantara dua, yaitu mandi lagi atau wudhu’ saja. Jika dia mandi lagi, amal ini lebih baik. Artinya dia mendapatkan pahala lebih besar daripada sekadar wudhu’.17 Syarat Mandi Dari Jubair bin Muth’im, dia berkata: “Kami pernah berbincang-bincang pada masa Nabi SAW tentang mandi janabat, lalu Rasulullah bersabda: ‘Adapun aku, cukup mengambil air sepenuh dua telapak tangan, lalu aku tuangkan ke atas kepalaku tiga kali, kemudian aku siramkan air ke seluruh tubuhku.’” (HR. Ahmad no. 16149 CD) Penjelasan:



17



Ibid, hlm 135-136



Rasulullah SAW dalam hadits di atas menjelaskan bahwa syarat mandi janabat adalah terbasahinya seluruh tubuh dengan air. Apabila kita telah menyiramkan air secara merata ke seluruh tubuh, berrati kita telah mandi janabat.18 Dari ‘Aisyah, ia berkata: “Adalah Rasulullah SAW apabila mandi janabat, beliau memulai dengan mencuci kedua (telapak) tangannya, kemudian menuangkan air dengan tangan kanannya pada tangan kirinya guna mencuci kemaluannya, kemudian beliau ‘wudhu sebagaimana ‘wudhu untuk shalat, kemudian mengambil air, lalu beliau masukkan jari-jarinya ke pangkal rambut. Setelah beliau rasakan merata, beliau menuangkan air sepenuh kedua telapak tangan ke atas kepalanya tiga kali, kemudian beliau meratakan airnya ke seluruh tubuh, lalu mencuci kedua kakinya.” (HR. Muslim no. 474 CD, Bukhrai, Nasa’i, Ahmad dan Darimi) Dari Maimunah dia berkata: “Saya pernah menyediakan air kepada Rasulullah SAW untuk mandi janabat. Beliau mencuci kedua telapak tangannya dua kali atau tiga kali. Selanjutnya, beiau masukkan tangannya ke dalam bejana (mengambil air), lalu beliau tuangkan (air) pada kemaluannya dan membersihkannya dengan tangan kiri, kemudian beliau gosokkan tangan kirinya di tanah dengan sunggguh-sungguh, kemudian beliau wudhu’ seperti wudhu’ untuk shalat, lalu menuangkan air sepenuh kedua telapak tangan ke atas kepalanya tiga kali, lalu membasuh seluruh badannya. Selanjutnya, beliau berpindah tempat, lalu membasuh kedua kakinya. Aku pun memberikan kepada beliau handuk, tetapi ditolaknya.” (HR. Muslim no, 476 CD, Bukhrai, Tirmidzi, Nasa’I, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan Darimi) Penjelasan: Dua Hadits di atas menjelaskan praktek mandi janabat yang ducontohkan Rasulullah SAW secara rinci, praktek mandi janabat -baik yang wajib maupun yang sunnah- adalah sebagai berikut:



18



Ibid



a.



Mencuci kedua telapak tangan;



b.



Mencuci kemaluan;



c.



Menggosokkan tangan ke tanah;



d.



Wudhu';



e.



Memasukkan air menggunakan jari-jari ke pangkal rambut sampai dirasakan merata;



f.



Menuangan air ke atas kepala tiga kali



g.



Menyiramkan air ke seluruh badan; dan



h.



Mencuci kedua kaki. Menggosokkan kulit kepala/pangkal rambut adalah cara meratakan air ke



seluruh kulit kepala. Apabila air sudah merata tanpa menggosokkan pada pangkal rambut tidak perlu di gosok. Oleh karena itu, perintah menggosok kulit kepala/pangkal rambut sebagaimana disebutkan dalam Hadits berikut, hukumnya sunnah, bukan wajib. Dari ‘Ali ra. Dia berkata: “Saya pernah mendengar Nabi SAW bersabda: ‘Barang siapa membiarkan pangkal rambutnya tidak terkena air ketika mandi janabat, Allah akan memperlakukan dia begini dan begini di neraka.’” ‘Ali ra. Berkata: “Oleh karena itu, aku selalu menyela-nyela pangkal rambutku.” (HR. Ahmad no. 689 CD, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Darimi) Ketika mandi disunnahkan memulai pembasuhan dari anggota badan sebelah kanan, kemudian sebelah kiri sebagaimana dijelaskan dalam Hadits berikut ini.



Dari ‘Aisyah, dia berkata: “Adalah Rasulullah SAW apabila mandi janabat, beliau minta air dari satu bejana besar, lalu beliau mengambil air dengan telapak tangannya, kemudian memulai dengan (membasuh) kepalanya yang sebelah kanan, kemudian sebelah kirinya, kemudian beliau mengambil air dengan kedua telapak tangannya dan menuangkan di atas kepalanya.” (HR. Nasa’I no. 421 CD, Bukhari, Muslim dan Abu Dawud) Rasulullah SAW mengingatkan kita untuk tidak telanjang bulat ketika mandi di tempat terbuka, tetapi hendaklah menggunakan kain basahan. Apabila telanjang bulat, hendaklah mandi di tempat tertutup.



Dari Ya’la, bahwa Rasulullah SAW pernah melihat seorang mandi di tempat terbuka tanpa mengenakan kain basahan. Beliau pun naik mimbar, memuji dan mengagungkan Allah, lalu bersabda: “Sesungguhnya Allah Maha Pemalu dan Maha Tertutup (tidak terlihat). Dia menyukai sifat malu dan tidak terlihat celanya. Oleh karena itu, jika seseorang di antara kalian mandi, hendaklah di tempat yang tertutup.” (HR. Abu Dawud no. 3497 CD, Nasa’I dan Ahmad)



Dari ‘Aisyah, sesungguhnya pernah ada seorang wanita bertnya kepada Nabi SAW tentang cara mandi setelah selesai haidh, lalu beliau mengajarkan kepadanya cara mandi. Beliau bersabda: “Ambillah sepotong (kain) yang diberi harum-haruman, lalu bersucilah dengan kain itu.” Wanita tersebut bertanya: “Bagaimana aku harus bersuci?” Beliau menjawab: “Bersucilah dengan kain itu.” Wanita tersebut bertanya lagi: “Bagaimana caranya?” Beliau menjawab: “Subhaanallah! Bersucilah kamu (dengan kain itu).” (Aisyah berkata): “Aku pun menarik wanita it uke hadapanku, lalu aku katakana: ‘Kamu letakkan di tempat bekas darah haidh.’” (HR. Bukhari no. 309 CD, Muslim dan Nasa’i) Penjelasan: Perempuan sehabis haidh atau nifas hendaklah membersihkan kemaluannya dengan kain sebelum mandi. Kain pembersih ini untuk mengontrol apakah darah haidhnya sudah benar-benar berhenti atau belum. Bila ternyata pada kain pembersih tersebut masih tersisa bercak-bercak darah, berarti masa haidh atau nifasnya belum habis.



Wudhu Sebelum Mandi



َّ ‫ َع ْن َع ِاء َشةَ َز ْو ِج النَّيِب ِّ ﷺ أ‬٤٨ ۲‫َن النَّيِب َّ ﷺ َكا َن إِ َذا ا ْغتَ َس َل ِم َن‬ ِ َّ ِ‫ضأُ ل‬ ِ ‫َصابِ َعهُ يِف الْ َم ِاء‬ َّ ‫اجْلَنَابَِة بَ َدأَ َفغَ َس َل يَ َديْ ِه مُثَّ َيَت َو‬ َ ‫لصالَة مُثَّ يُ ْدخ ُل أ‬



ٍ ‫ث غُر‬ ‫هِب‬ ِِ َّ‫ف بِيَ َديْ ِه مُث‬ َ ‫ُص‬ ُّ ‫ص‬ ُ َ‫ول َش ْع ِر ِه مُثَّ ي‬ ُ ‫َفيُ َخلِّ ُل َا أ‬ َ َ َ‫ب َعلَى َرأْسه ثَال‬ ِ ‫يض الْ َماءَ َعلَى ِج ْل ِد ِه ُكلِّ ِه‬ ُ ‫ يُف‬. 248. “Dari Aisyah -istri Nabi SAW- bahwa apabila beliau mandi junub, beliau memulainya



dengan



mencuci



kedua



tangannya.



Kemudian



berwudhu



sebagaimana wudhu untuk shalat, kemudian beliau memasukkan jari-jari tangannya ke dalam air, setelah itu menggosokkannya di sela-sela rambutya. Kemudian ia menyiram kepalanya sebanyak tiga kali cidukan, setelah itu meratakan (menyiramkan) air keseluruh tubuhnya.” Keterangan Hadits : (Wudhu sebelum mandi), maksudnya disukai berwudhu sebelum mandi wajib. Imam Syafi’i mengatakan dalam kitabnya, Al Umm, “Allah SWT mewajibkan mandi secara mutlak (tanpa batas) dengan tidak menyebutkan satu perbuatan pun yang harus dilakukan sebelumnya. Bagaimana pun cara seseorang mandi, maka itu sudah cukup dengan syarat ia membasuh (mengalirkan air) ke seluruh tubuhnya. Adapun cara yang paling baik adalah sebagaimana yang diriwayatkan Aisyah.”19



‫( َك ا َن إِذَا ا ْغتَ َس َل‬Apabila beliau mandi), yakni memulai mandi. Lafazh ‫ِم ْن‬ pada kalimat



‫ ِم َن اجْلَنَابَِة‬berfungsi sebagai keterangan sebab (sababiyah).



‫( بَ َدأَ َفغَ َس َل يَ َديْ ِه‬Beliau



memulainya dengan mencuci kedua tangannya)



Kemungkinan maksudnya adalah membersihkan tangannya dari kotoran, sebagaimana yang akan dijelaskan dalam hadits Maimunah. Ada kemungkinan juga bahwa mencuci kedua tangan ini termasuk hal yang disyaratkan sebagaimana ketika bangun tidur. Kemungkinan terakhir ini dikuatkan dengan riwayat Ibnu Uyainah dari Hisyam, yang menambahkan lafazh,



‫َقْب َل أَ ْن يُ ْد ِخلَ ُه َم ا ىِف ا ِإلنَ ِاء‬



Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari Syarah Shahih Al-Bukhari. Cet1, Jakarta : Pustaka Azzam, 2002. hlm. 389. 19



(Sebelum ia memasukkan keduanya ke dalam bejana). Demikian diriwayatkan oleh Imam Syafi’i dan Tirmidzi. Ia juga menambahkan,



ِ ُ‫مُثَّ َي ْغس ُل َف ْر َج ه‬



(Kemudian ia mencuci kemaluannya). Demikian juga diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Mu’awiyah seperti dikutip oleh Abu Dawud dari Hammad bin Zaid, keduanya dari Hisyam.



Tambahan keterangan ini merupakan hal yang sangat berharga, karena dengan mencuci kemaluan terlebih dahulu dapat lebih memberi rasa aman bagi seseorang untuk tidak menyentuhnya saat mandi.



‫لص الَِة‬ َّ ‫( َك َم ا َيَت َو‬Sebagaimana wudhu untuk shalat). Pernyataan ini َّ ِ‫ض أُ ل‬



sebagai langkah untuk menghindari timbulnya pemahaman, bahwa yang dimaksud wudhu di sini adalah berdasarkan makna secara bahasa (yaitu sekedar



membersihkan anggota badan). Tidak tertutup kemungkinan bahwa berwudhu sebelum mandi merupakan sunah tersendiri, dimana anggota wudhu wajib pula dibasuh bersama seluruh badan ketika mandi. Ada pula kemungkinan anggota badan yang telah dibasuh saat wudhu tidak perlu dibasuh kembali saat mandi, maka seseorang harus berniat mandi wajib ketika mencuci anggota wudhu yang pertama.20



‫َفيُ َخلِّ ُل هِب َا‬



(Setelah itu menggosokkannya), yakni menggosokkan jari-jari



tangannya yang sudah dimasukkan ke dalam air. Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Kemudian beliau mengambil air, setelah itu memasukkan jari-jari tangannya ke akar-akar rambut.” Dalam riwayat Tirmidzi dam Nasa’i dari Ibnu Uyainah dikatakan, “Kemudian beliau memercikkan air ke rambutnya.”



‫ول َش ع ِر ِه‬ َ ‫ُص‬ ُ ‫( أ‬Di



sela-sela rambutnya), maksudnya rambut kepala beliau



SAW. hal ini didukung oleh riwayat Hammad bin Salamah dari Hisyam sebagaimana dinukil oleh Baihaqi dengan lafazh, “Beliau menyela-nyela



Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari Syarah Shahih Al-Bukhari. Cet1, Jakarta : Pustaka Azzam, 2002. hlm. 390. 20



kepalanya yang sebelah kanan dengan jari tersebut sampai ke akar rambut, kemudian ia melakukan hal yang sama pada bagian kepala sebelah kiri.”21



ٍ ‫ث غُر‬ ٍ ‫ غُر‬adalah bentuk plural (jamak) ‫ف‬ ‫ال‬ ‫ث‬ (Tiga kali cidukan). Lafazh ‫ف‬ َ َ َ َ َ dari kata



ٌ‫ غُْرفَة‬, dan ukuran satu ٌ‫( غُْرفَة‬cidukan) itu sendiri adalah sama dengan



banyaknya air yang dapat ditampung oleh telapak tangan manusia. Lafazh ini menerangkan disukainya menyiram air kebadan ketika mandi sebanyak tiga kalitiga kali. Imam Nawawi mengatakan, “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini kecuali pendapat yang ditemukan oleh Al Marwardi, dimana beliau berkata, “Tidak dianjurkan mengulang-ulang (siraman) ketika mandi.” Aku (Ibnu Hajar) katakan, “Pendapat ini dikemukakan pula oleh Syaikh Abu Ali As-Sanji dalam kitab Syahrul furu’ serta Imam Al Qurthubi. Adapun lafazh tiga kali dalam riwayat ini mereka memahaminya, bahwa setiap cidukan digosokan pada salah satu bagian kepala. Di akhir pembahasan tentang hadits Maimunah akan disebutkan tambahan mengenai masalah ini.



ِ ‫يض‬ ُ ‫(مُثَّ يُف‬Setelah itu ia meratakan), maksudnya mengalirkan air keseluruh tubuh. Lafazh ini dijadikan dalil oleh orang yang tidak mewajibkan menggosok badan saat mandi, dan konteks kesimpulan ini dengan hadits tersebut cukup jelas. Namun Al Marizi mengatakan, “Lafazh ini tidak dapat dijadikan hujjah untuk menyatakan tidak wajibnya menggosok badan saat mandi, karena lafazh



artinya



‫( َغ َس َل‬mencuci).



‫اض‬ َ َ‫أَف‬



Sementara mencuci itu sendiri menjadi obyek



perselisihan.” Aku katakan.” Kelemahan perkataan ini cukup jelas.” wallahum a’lam. Aku (Ibnu Hajar) katakan, “Ada riwayat yang shahih menyebutkan hal tersebut, yakni hadits yang dinukil oleh Imam Nasa’i dan Baihaqi dari riwayat Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari Syarah Shahih Al-Bukhari. Cet1, Jakarta : Pustaka Azzam, 2002. hlm. 391. 21



Abu Salamah dari Aisyah bahwa ia menggambarkan cara Nabi SAW mandi junub, dimana disebutkan dalam hadist tersebut, ‘kemudian ia berkumur-kumur tiga kali, memasukkan air ke hidung tiga kali, mencuci muka tiga kali, tangan tiga kali, dan kemudian menyiram kepalanya tiga kali.’”22



‫( َعلَى ِج ْل ِد ِه ُكلِّ ِه‬Keseluruh tubuhnya) Penegasan ini memberi makna, bahwa beliau SAW meratakan (air) ke seluruh bagian tubuhnya ketika mandi setelah melakukan hal-hal di atas. Ini menguatkan kemungkinan pertama bahwa wudhu merupakan sunah yang tersendiri sebelum mandi. Oleh karena itu orang yang mandi junub harus berniat untuk wudhu jika ia berhadats, sedangkan bila tidak berhadats maka ia berniat sunah mandi. Kesimpulan seperti itu dapat ditarik dari makna lahiriah perkataan Aisyah RA, “Sebagaimana beliau berwudhu untuk shalat.” Lafazh inilah yang diriwayatkan secara akurat dari Aisyah melalui jalur periwayatan ini. Akan tetapi telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Muawiyah dari Hisyam, ia berkata di bagian akhir, “Kemudian ia mengalirkan ai ke seluruh tubuh, kemudian mencuci kedua kakinya.”23 Hadits riwayat Abu Muawiyah ini juga dapat dijadikan dalil bolehnya memisah-misahkan wudhu. Ada kemungkinan yang dimaksud dalam riwayat Abu Muawiyah “Kemudian beliau mencuci kedua kakinya”, adalah beliau mengulangi mencuci keduanya untuk menyempurnakan mandi setelah sebelumnya beliau mencuci kedua kaki tersebut ketika berwudhu. Sehingga perkataan ini sesuai dengan lafazh hadits di bab ini yaitu,



ِ ‫ض َعلَى ِج ْل ِد ِه ُكلِّ ِه‬ ُ ‫( مُثَّ يُفْي‬Kemudian beliau



menyiramkan air ke seluruh tubuhnya).



Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari Syarah Shahih Al-Bukhari. Cet1, Jakarta : Pustaka Azzam, 2002. hlm. 392. 23 Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari Syarah Shahih Al-Bukhari. Cet1, Jakarta : Pustaka Azzam, 2002. hlm. 393. 22



ِ ُ ‫ض أَ َر ُس ْو ُل اهلل ﷺ ُو‬ َ ‫ت َت َو‬ ْ َ‫ َع ْن َمْي ُم ْونَ ةَ َز ْو ِج النَّيِب ِّ ﷺ قَ ال‬٢٤٩ ُ‫ض وءَه‬ ِ َّ ِ‫ل‬ ِ ِ ‫اض َعلَْي ِه‬ َ َ‫َص ابَهُ م َن اْألَذَى مُثَّ أَف‬ َ ‫لص الَة َغْي َر ِر ْجلَْي ه َو َغ َس َل َف ْر َج هُ َو َم ا أ‬ ‫ الْ َماءَ مُثَّ حَنَّى ِر ْجلَْي ِه َفغَ َسلَ ُه َما َه ِذ ِه غُ ْسلُهُ ِم َن اجْلَنَابَِة‬. 249. Dari Maimunah istri Nabi SAW, ia berkata, “Rasulullah SAW berwudhu seperti wudhu untuk shalat tetapi tidak membasuh kedua kakinya, dan beliau mencuci kemaluannya serta kotoran-kotoran yang melekat padanya, setelah itu beliau menyiramkan air ke badannya. Kemudian beliau memindahkan kedua kakinya (dari tempat semula) lalu mencucinya. Demikianlah cara beliau mandi junub.” Keterangan Hadits :



‫لص الَِة َغْي َر ِر ْجلَْي ِه‬ َّ ِ‫ض ْوءَهُ ل‬ ُ ‫( ُو‬Berwudhu seperti wudhu untuk shalat tetapi



tidak membasuh kedua kakinya) Di sini dijelaskan secara tegas tentang mengakhirkan mencuci kedua kaki ketika wudhu untuk mandi wajib. Jadi hadits ini bertentangan dengan makna lahiriah riwayat Aisyah. Tetapi keduanya dapat dipadukan dengan cara memahami hadits Aisyah dalam pengertian majaz (kiasan) seperti yang telah dijelaskan, atau dikatakan bahwa hadits itu menceritakan peristiwa pada kesempatan lain.24 Memisahkan Mandi dan Wudhu



َّ ‫َويُ ْذ َك ُر َع ِن ابْ ِن عُ َمَر أَنَّهُ َغ َس َل قَ َد َمْي ِه َب ْع َد َما َج‬ ُ ‫ف َو‬ ُ‫ض ْوءُه‬ Disebutkan dari Ibnu Umar, bahwa ia mencuci kedua kakinya setelah air wudhunya kering.



Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari Syarah Shahih Al-Bukhari. Cet1, Jakarta : Pustaka Azzam, 2002. hlm. 394. 24



ِ ‫ول‬ ِ ‫ت لِرس‬ ٍ َّ‫ َع ِن ابْ ِن َعب‬٦٥ ۲‫اهلل ﷺ َم اءًا‬ َ َ‫اس ق‬ َ ‫ت َمْي ُم ْونَةُ َو‬ ْ َ‫ قَ ال‬: ‫ال‬ ُ َ ُ ‫ض ْع‬ ِ ‫ي ْغتَ ِس ل‬ ‫غ‬ َ ‫غ َعلَى يَ َديْ ِه َفغَ َس لَ ُه َما َم َّرَتنْي ِ َم َّرَتنْي ِ أ َْو ثَالَثًا مُثَّ أَْف َر‬ َ ‫بِه فَ أَ ْفَر‬ ُ َ ِِ‫نِه علَى مِش ال‬ ِ ِ ِ ‫ض‬ ‫م‬ ‫ض‬ ‫م‬ ‫ض‬ ‫َر‬ ‫أل‬ ‫بِا‬ ‫ه‬ ‫د‬ ‫ي‬ ‫لِك‬ ‫د‬ ‫ه‬ ‫كِري‬ ‫ا‬ ‫ذ‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫س‬ ‫غ‬ ‫ف‬ ‫ه‬ َّ َّ ‫مُث‬ ‫مُث‬ َ َ ْ َ َ َ َ َ َ ‫َبْيمْي‬ َ َ َ َُ ْ ُ َ َََ ‫غ َعلَى‬ َ ‫اسَتْن َش َق مُثَّ َغ َس َل َو ْج َه هُ َويَ َد يْ ِه َو َغ َس َل َرأْ َس هُ ثَالَثًا مُثَّ أَْف َر‬ ْ ‫َو‬ ِِ ِِ ِ ‫س َل قَ َد َم ْي ِه‬ َ َ‫َج َسده مُثَّ َتنَ َّحى م ْن َم َقامه َفغ‬ 265. Diriwayatkan dari ibnu abbas ia berkata,”Maimunah berkata, ‘Aku meletakan air untuk mandi Rasulullah SAW, maka ia menuangkannya kedua tangan nya kemudian mencucinya dua atau tiga kali. Kemudian beliau menuangkan (air) dengan tangan kanan ke tangan kiri, lalu membasuh kemaluannya. Kemudian beliau menggosokan tangannya ketanah, lalu berkumurkumur dan memasukan air kehidung serta mengeluarkannya, Kemudian beliau membasuh wajah dan kedua tangannya, dan membasuh kepala tiga kali. Kemudian ia menyiram seluruh tubuhnya, setelah itu ia berpindah tempat dan mencuci kedua kakinya.” Keterangan Hadits : (Memisahkan mandi dan wudhu) maksudnya tentang kebolehan nya. Ini merupakan pendapat imam Syafi’i yang baru. Ia berhujjah bahwasanya Allah SWT mewajibkan membasuh semua anggota (badan), maka siapa saja yang sudah membasuhnya berati ia telah melaksanakan kewajibanya ( tanpa memperdulikan) apakah ia (membasuhnya) dengan cara terpisah atau berurutan. Ini diperkuat lagi dengan perbuatan ibnu Umar. Ini juga merupakan pendapat ibnu Musayyab, Atha’ dan sejumlah ulama lain.25 Memulai Mandi dengan Bagian Kanan Kepala



Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari Syarah Shahih Al-Bukhari. Cet1, Jakarta : Pustaka Azzam, 2002. hlm. 426-427. 25



ِ ِ ِ ‫عن‬٢٧٧ ‫ت إِ ْح َدانَا‬ ْ َ‫َص اب‬ ْ َ‫ص فيَّةَ بِْنت َش ْيبَةَ َع ْن َعاء َش ةَ قَ ال‬ َ ‫ت ُكنَّا إِ َذا أ‬ َ َْ ِ ِ ِ ‫ِّها‬ ْ ‫َخ َذ‬ َ ‫َجنَابَ ةٌ أ‬ َ ‫ت بِيَ َد ْي َها ثَالَثًا َف ْو َق َرأْس َها مُثَّ تَ أْ ُخ ُذ بِيَ د َها َعلَى ش ق‬ ِ ‫ِّها األَيْ َس ِر‬ ْ ‫ اْألَمْيَ ِن َوبِيَ َد َها اْأل‬. َ ‫ُخَرى َعلَى شق‬ 277. Dari Shafiyah binti Syaibah dari Aisyah RA, ia berkata, “Jika salah seorang dari kami mengalami junub, ia mengambil (air) dengan kedua tangannya tiga kali ke atas kepalanya, lalu membasahi bagian kanannya dengan salah satu tangan dan bagian kiri dengan tangan yang lain.” Keterangan Hadits : Hadits ini digolongkan sebagai hadits yang langsung dari Nabi SAW (marfu), karena secara lahiriah Nabi telah menyaksikan. Ini adalah metode Al Bukhari. Perkataan sahabat, “Kami melakukan ini” mengandung hukum langsung dari Nabi SAW; baik disebutkan bahwa kejadian di zaman Nabi atau tidak. Ini juga merupakan pendapat Al Hakim. Jika dikatakan. bahwa hadits ini menunjukkan mendahulukan badan bagian kanan dan bukan bagian kanan kepala, maka bagaimana hadits ini sesuai dengan judul bab ini? Al Karamani menjawab, “Maksud bagian kanan seseorang, adalah bagian kanan mulai dari kepala hingga kaki. Maka, nampaklah kesusuaian antara hadits dengan judul bab di atas.” Yang nampak dari maksud Imam Bukhari adalah, beliau memahami bahwa tiga kali siraman tersebut masing-masing adalah untuk bagian kepala, sebagaimana disebutkan dalam bab “Orang yang memulai dengan hilab” Di situ jelas disebutkan “ia memulai dari bagian kanan kepalanya,” wallahu a’lam.26 Tidurnya Orang yang Junub



Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari Syarah Shahih Al-Bukhari. Cet1, Jakarta : Pustaka Azzam, 2002. hlm. 452-453 26



ِ ‫ول‬ ِ َّ‫َن عُم ر بْن اخْلَط‬ ۲‫اهلل ﷺ أ ََي ْر‬ َ ‫اب َس أ ََل َر ُس‬ َ َ َ َّ ‫ َع ِن ابْ ِن عُ َم َر أ‬٨٧ ‫َح ُد ُك ْم َف ْلَي ْر قُ ْد َو ُه َو‬ َّ ‫ال َن َع ْم إِذَا َت َو‬ َ َ‫ب ؟ ق‬ َ ‫ض أَ أ‬ َ ‫قُ ُدأ‬ ٌ ُ‫َح ُدنَا َو ُه َو ُجن‬ ‫ب‬ ٌ ُ‫ُجن‬ 287. Diriwayatkan dari ibnu Umar bin Khathab bertanya kepada Rasulullah, “ Apakah salah seorang dari kami (boleh) tidur dalam keadaan junub?” Beliau berkata, “Ya, jika ia telah berwudhu, maka kehendaklah ia tidur (meski) dalam keadaan junub,” Adapun kesesuaian hadits dengan judul bab dapat dilihat dari sisi; apabila seorang yang junub boleh tidur di rumah, maka boleh juga tinggal di dalamnya meski tidak tidur, karena dua hal tersebut tida berbeda.atau dapat juga dikatakan bahwa tidurnya orang yang junub berkonsekuensi terdapat bolehnya orang yang terjaga untuk menetap di rumah meski dalam keadaan junub, sebab orang yang tidur dalam keadaan junub pasti pernah terjaga, minimal saat ia berwudhu sebelum tidur. Tidak ada perbedaan dalam masalah ini. Bab tentang tidurnya orang yang junub hanya ada dalam naskah Karimah dan tidak di temukan pada naskah-naskah yang lain. Adapun selain naskah Karimah, hadits Ibnu Umar ini disebutkan langsung setelah bab sesudahnyah, yaitu bab “Orang junub berwudhu kemudian tidur.” Orang yang Junub Berwudhu lalu Tidur



ِ ۲‫ َكا َن النَّيِب ُّ ﷺ إِ َذا َأر َاد أَ ْن َينَ َام‬: ‫ت‬ ْ َ‫ َع ْن عُْر َو َة َع ْن َعاء َشةَ قَال‬٨٨ ‫لصالَِة‬ َّ ‫ب َغ َس َل َف ْر َجهُ َوَت َو‬ َّ ِ‫ضأَ ل‬ ٌ ُ‫ َو ُه َو ُجن‬. 288. Diriwayatkan dari Urwah dari Aisyah ia berkata, Biasanya Nabi SAW jika mau tidur sedang iandalam keadaan junub, maka beliau mencuci kemaluannya dan berwudhu seperti wudhu hendak shalat.”



Keterangan Hadits: Sebagaimana wudhu yang dilakukan oleh seseorang yang akan melaksanakan shalat,bukan berati ia berwudhu karena hendak mengerjakan shalat. Hanya saja yang dimaksud adalah wudhu dalam pengertiaan syariat bukan ditinjau dari segi bahasa.27



Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari Syarah Shahih Al-Bukhari. Cet1, Jakarta : Pustaka Azzam, 2002. hlm 473-474. 27