Makalah Hukum KB Fix [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan Negara dengan pertumbuhan penduduk terbesar serta menghadapi masalah jumlah dan kualitas sumber daya manusia (SDM) dengan kelahiran 5.000.000 per tahun. Untuk mengatasi peledakan yang tidak terkendali pemerintah mencetuskan program Keluarga Berencana. Esensi tugas program Keluarga Berenacana (KB) dalam hal ini telah jelas, yaitu menurunkan fertilitas agar dapat mengurangi beban pembangunan demi terwujudnya kebahagian dan kesejahteraan bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Program KB menurut UU No.10 tahun 1992 (tentang kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera) adalah upaya peningkatan kependudukan dan peran serta masyarakat melalaui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera. Program KB adalah bagian yang terpadu dalam program pembangunan nasional dan bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan ekonomi, spiritual, dan social budaya penduduk Indonesia agar dapat dicapai keseimbangan yang baik dengan kemampuan produksi nasional. Paradigma baru program Keluarga Brencana Nasional telah diubah visinya dari mewujudkan NKKBS menjadi visi untuk mewujudkan “Keluarga Berencana tahun 2015”. Keluarga yang berkualitas adalah keluarga yang sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun pro dan kontra mengenai penggunaan alat kontrasepsi sebagai upaya melaksanakan Keluarga Berencana masih menjadi salah satu topic utama yang diangkat oleh sebagian para ahli agama di Indonesia seperti kaum ulama. Sehingga pelaksanaan program KB masih harus dilihat dari pandangan hukum islam. Padahal telah jelas disebutkan bahwa tujuan umum untuk tiga tahun kedepan mewujudkan visi dan misi program KB yaitu membangun kembali dan melestarikan pondasi yang kokoh bagi pelaksana program KB di masa mendatang untuk mencapai keluarga berkualitas tahun 2015. 1.2 Tujuan dari penyusunan makalah : 1. Mengetahui definisi tentang Keluarga Berencana,makna Keluarga Berencana, dan Metode / Alat Kontrasepsi serta Hukum Penggunaannya 2. Mengetahui pandangan hukum Islam tentang Keluarga Berencana meurut pandangan Al-Qur’an, Al Hadist dan ulama. 3. Mengetahui pandangan 4 Mazhab tentang Keluarga Berencana 4. Mengetahui cara KB yang diperbolehkan dan yang dilarang oleh Islam



1



BAB II PEMBAHASAN



2.1 Pengertian Keluarga Berencana Keluarga Berencana berarti pasangan suami istri yang telah mempunyai perencanaan yang kongkrit mengenai kapan anaknya diharapkan lahir agar setiap anaknya lahir disambut dengan rasa gembira dan syukur dan merencanakan berapa anak yang dicita-citakan, yang disesuaikan dengan kemampuannya dan situasi kondisi masyarakat dan negaranya. 2.2 Pandangan Hukum Islam tentang Keluarga Berencana 1. Hukum Ber-KB KB secara prinsipil dapat diterima oleh Islam, bahkan KB dengan maksud menciptakan keluarga sejahtera yang berkualitas dan melahirkan keturunan yang tangguh sangat sejalan dengan tujuan syari`at Islam yaitu mewujudkan kemashlahatan bagi umatnya. Selain itu, Kb juga memiliki sejumlah manfaat yang dapat mencegah timbulnya kemudlaratan. Bila dilihat dari fungsi dan manfaat KB yang dapat melahirkan kemaslahatan dan mencegah kemudlaratan maka tidak diragukan lagi kebolehan KB dalam Islam.Namun persoalannya kemudian adalah : sejauh mana ia diperbolehkan? dan apa saja batasannya?. Hal tersebut akan terjawab pada penjelasan dibawah ini. 2. Makna Keluarga Berencana Para ulama yang membolehkan KB sepakat bahwa Keluarga Berencan (KB) yang dibolehkan syari`at adalah suatu usaha pengaturan/penjarangan kelahiran atau usaha pencegahan kehamilan sementara atas kesepakatan suami-isteri karena situasi dan kondisi tertentu untuk kepentingan (maslahat) keluarga. Dengan demikian KB disini mempunyai arti sama dengan tanzim al nasl (pengaturan keturunan). Sejauh pengertiannya adalah tanzim al nasl (pengaturan keturunan), bukan tahdid al nasl (pembatasan keturunan) dalam arti pemandulan (taqim) dan aborsi (isqot al-haml), maka KB tidak dilarang. Pemandulan dan aborsi yang dilarang oleh Islam disini adalah tindakan pemandulan atau aborsi yang tidak didasari medis yang syari`i. Adapun aborsi yang dilakukan atas dasar indikasi medis, seperti aborsi untuk menyelamatkan jiwa ibu atau karena analisa medis melihat kelainan dalam kehamilan, dibolehkan bahkan diharuskan. Begitu pula dengan pemandulan, jika dilakukan dalam keadaan darurat karena alasan medis, seperti pemandulan pada wanita yang terancam jiwanya jika ia hamil atau melahirkan maka hukumnya mubah. Kebolehan KB dalam batas pengertian diatas sudah banyak difatwakan , baik oleh individu ulama maupun lembagalembaga ke Islaman tingkat nasional dan internasional, sehingga dapat disimpulkan bahwa kebolehan KB dengan pengertian /batasan ini sudah hampir menjadi Ijma`Ulama. MUI (Majelis Ulama Indonesia) juga telah mengeluarkan fatwa serupa dalam Musyawarah Nasional Ulama tentang Kependudukan, Kesehatan dan Pembangunan tahun 1983. Betapapun secara teoritis sudah banyak fatwa ulama yang membolehkan KB dalam arti tanzim al-nasl, tetapi kita harus tetap memperhatikan jenis dan cara kerja alat/metode kontrasepsi yang akan digunakan untuk ber-KB.



2



3. Metode/ Alat Kontrasepsi dan Hukum Penggunaannya Ada lima 5 persoalan yang terkait dengan penggunaan alat kontrasepsi, yaitu : 1. Cara kerjanya, apakah mencegah kehamilan (man’u al-haml) atau menggugurkan kehamilan (isqat al-haml)? 2. Sifatnya, apakah ia hanya pencegahan kehamilan sementara atau bersifat pemandulan permanen (ta’qim)? 3. Pemasangannya, Bagaimana dan siapa yang memasang alat kontrasepsi tersebut? (Hal ini berkaitan dengan masalah hukum melihat aurat orang lain). 4. Implikasi alat kontrasepsi terhadap kesehatan penggunanya. 5. Bahan yang digunakan untuk membuat alat kontrasepsi tersebut. Alat kontrasepsi yang dibenarkan menurut Islam adalah yang cara kerjanya mencegah kehamilan (man’u al-haml), bersifat sementara (tidak permanen) dan dapat dipasang sendiri olrh yang bersangkutan atau oleh orang lain yang tidak haram memandang auratnya atau oleh orang lain yang pada dasarnya tidak boleh memandang auratnya tetapi dalam keadaan darurat ia dibolehkan. Selain itu bahan pembuatan yang digunakan harus berasal dari bahan yang halal, serta tidak menimbulkan implikasi yang membahayakan (mudlarat) bagi kesehatan. Alat/metode kontrasepsi yang tersedia saat ini telah memenuhi kriteria-kriteria tersebut diatas, oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa KB secara substansial tidak bertentangan dengan ajaran Islam bahkan merupakan salah satu bentuk implementasi semangat ajaran Islam dalam rangka mewujudkan sebuah kemashlahatan, yaitu menciptakan keluarga yang tangguh, mawardah, sakinah dan penuh rahmah. Selain itu, kebolehan (mubah) hukum berKB, dengan ketentuan-ketentuan seperti dijelaskan diatas, sudah menjadi kesepakatan para ulama dalam forum-forum ke Islaman, baik pada tingkat nasional maupun Internasional (ijma’al-majami). Sumber: Drs.H. Aminudin Yakub,MA-Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat 2.3 KB Menurut Pandangan Islam Pandangan Al-Qur’an Tentang Keluarga Berencana Dalam al-Qur’an banyak sekali ayat yang memberikan petunjuk yang perlu kita laksanakan dalam kaitannya dengan KB diantaranya ialah : Surat An-Nisa’ ayat 9: ‫وليخششش الذين لو تركوا من خلفهم ذرية ضعافا خافوا عليهم فليتقوهللاا واليقولوا سديدا‬ “Dan hendaklah takut pada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah. Mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”. Selain ayat diatas masih banyak ayat yang berisi petunjuk tentang pelaksanaan KB diantaranya ialah surat al-Qashas: 77, al-Baqarah: 233, Lukman: 14, al-Ahkaf: 15, al-Anfal: 53, dan at-Thalaq: 7. Dari ayat-ayat diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa petunjuk yang perlu dilaksanakan dalam KB antara lain, menjaga kesehatan istri, mempertimbangkan kepentingan anak, memperhitungkan biaya hidup brumah tangga. A.



3



B. Pandangan al-Hadits Tentang Keluarga Berencana Dalam Hadits Nabi diriwayatkan: )‫إنك تدر ورثك أغنياء خير من أن تدرهم عالة لتكففون الناس (متفق عليه‬ “sesungguhnya lebih baik bagimu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan dari pada meninggalkan mereka menjadi beban atau tanggungan orang banyak.” Dari hadits ini menjelaskan bahwa suami istri mempertimbangkan tentang biaya rumah tangga selagi keduanya masih hidup, jangan sampai anak-anak mereka menjadi beban bagi orang lain. Dengan demikian pengaturan kelahiran anak hendaknya dipikirkan bersama. C. Menurut Pandangan Ulama’ 1) Ulama’ yang memperbolehkan Diantara ulama’ yang membolehkan adalah Imam al-Ghazali, Syaikh al-Hariri, Syaikh Syalthut, Ulama’ yang membolehkan ini berpendapat bahwa diperbolehkan mengikuti progaram KB dengan ketentuan antara lain, untuk menjaga kesehatan si ibu, menghindari kesulitan ibu, untuk menjarangkan anak. Mereka juga berpendapat bahwa perencanaan keluarga itu tidak sama dengan pembunuhan karena pembunuhan itu berlaku ketika janin mencapai tahap ketujuh dari penciptaan. Mereka mendasarkan pendapatnya pada surat alMu’minun ayat: 12, 13, 14. 2) Ulama’ yang melarang Selain ulama’ yang memperbolehkan ada para ulama’ yang melarang diantaranya ialah Prof. Dr. Madkour, Abu A’la al-Maududi. Mereka melarang mengikuti KB karena perbuatan itu termasuk membunuh keturunan seperti firman Allah: ‫وال تقتلوا أوالدكم من إملق نحن نرزقكم وإياهم‬ “Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut (kemiskinan) kami akan memberi rizkqi kepadamu dan kepada mereka”. 2.4 Hukum Keluarga Berencana A. Menurut al-Qur’an dan Hadits Sebenarnya dalam al-Qur’an dan Hadits tidak ada nas yang shoreh yang melarang atau memerintahkan KB secara eksplisit, karena hukum ber-KB harus dikembalikan kepada kaidah hukum Islam, yaitu: ‫اال صل فى األشياء االباحة حتى يدل على الدليل على تحريمها‬ Tetapi dalam al-Qur’an ada ayat-ayat yang berindikasi tentang diperbolehkannya mengikuti program KB, yakni karena hal-hal berikut: • Menghawatirkan keselamatan jiwa atau kesehatan ibu. Hal ini sesuai dengan firman Allah: )195 : ‫وال تلقوا بأيديكم إلى التهلكة (البقرة‬ “Janganlah kalian menjerumuskan diri dalam kerusakan”. • Menghawatirkan keselamatan agama, akibat kesempitan penghidupan hal ini sesuai dengan hadits Nabi: ‫كادا الفقر أن تكون كفرا‬ “Kefakiran atau kemiskinan itu mendekati kekufuran”.  Menghawatirkan kesehatan atau pendidikan anak-anak bila jarak kelahiran anak terlalu dekat sebagai mana hadits Nabi: ‫وال ضرر وال ضرار‬ “Jangan bahayakan dan jangan lupa membahayakan orang lain. 4



B. Menurut 4 Mazhab  Pandangan Menurut Imam Syafi’I dan Mazhabnya Kita mengenal Keluarga Berencana sebagai media yang dipakai untuk mencegah kehamilan.Hal tersebut yang paling sering diperdebatkan dalam Islam. Hukum Keluarga Berencana dalam Mazhab Syafi’i dilihat dari 2 tujuan: 



KB permanen untuk membatasi keturunan (tahdῑd al-nasl)



Untuk merealisasikan program KB semacam ini maka pasien diharuskan alat kontrasepsi permanen. Dimana kemampuan seseorang untuk memiliki keturunan akan sirna. KB yang semacam ini hukumnya haram, sangat dilarang dalam agama, karena sangat menentang dengan tujuan dan inti dari sebuah pernikahan, yaitu untuk menciptakan keturunan sebanyak-banyaknya. Bahkan sangat menentang dengan anjuran rasulullah SAW dalam sebuah hadis yaitu: ‫القيامة يوم األنبياء بكم مكاثر فإني الولود الودود تزوجوا‬ Artinya: “Nikahilah perempuan yang penyayang dan dapat mempunyai anak banyak karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab banyaknya kamu dihadapan para Nabi nanti pada hari kiamat” [Shahih Riwayat Ahmad, Ibnu Hibban dan Sa’id bin Manshur dari jalan Anas bin Malik] 



KB yang bertujuan untuk menertibkan keturunan (Tandhiimu al-nasl).



Demi terlaksananya program Keluarga Berencana semacam ini pasien diharuskan untuk mengikuti jenis kontrasepsi yang reversible, yaitu metode kontrasepsi yang dapat dihentikan setiap saat tanpa efek lama di dalam mengembalikan kesuburan atau kemampuan untuk memiliki anak lagi. KB yang semacam ini memang tidak ada larangan khusus dalam syara’ sehingga mengharamkannya sebagaimana poin yang pertama, akan tetapi hukumnya makruh saja. Dan masih berada dalam ruang lingkup jawaz (boleh). Contoh metode pencegah kehamilan yang pernah dilakukan di zaman Rasulullah SAW adalah ‘azl, yakni melakukan persetubuhan dimana ketika suami akan ejakulasi maka zakarnya dicabut dari vagina kemudian ia ejakuliasi dan zakarnya diluar vagina. Namun praktek ini tidak dilarang oleh Rasul sebagaimana yang terpahami dari hadis berikut: ‫قال جابر عن الزبير أبي عن أبي حدثني هشام ابن يعني معاذ حدثنا المسمعي غسان أبو حدثني و‬ ‫ينهنا فلم وسلم عليه هللا صلى هللا نبي ذلك فبلغ وسلم عليه هللا صلى هللا رسول عهد على نعزل كنا‬ Artinya: Dari Jabir berkata "Kami melakukan ‘azl di masa Rasulullah SAW, dan Rasul mendengarnya tetapi tidak melarangnya”. (H.R Muslim). Sedangkan metode-metode baru yang lazim dilakukan sekarang dan belum pernah dilakukan di zaman Rasulullah SAW membutuhkan kajian yang mendalam dan melibatkan ahli medis dalam menentukan kebolehan atau keharamannya. 5



Dewasa ini, penundaan kehamilan dan kelahiran anak biasanya terealisasi dengan penggunaan pil KB, penggunaan kondom bagi laki-laki atau spiral bagi wanita. Praktek ini dinilai lebih ramah dan tidak menimbulkan bahaya, baik penggunanya ataupun orang lain, termasuk sperma yang akan menjadi benih seorang anak. Praktek-praktek ini disamakan dengan ‘azal yang asal hukumnya adalah makruh. Namun, apabila ‘azal diperlukan maka hukumnya mubah. Seperti halnya karena takut terhadap bahaya yang diakibatkan dari rasa sakit waktu melahirkan, suami ingin menjaga kecantikan istri atau agar istri tidak terlihat gemuk, takut pekerjaannya bertambah berat apabila terlalu banyak anak yang harus dinafkahi. Apabila praktek-praktek ini tidak didasari alasan seperti diatas maka hukumnya adalah makruh. Namun praktek-preaktek diatas bisa menjadi tidak diperbolehkan apabila dilandasi dengan niat dan alasan yang salah, seperti takut miskin, dan takut mengganggu pekerjaan orang tua. Dengan kata lain, penilaian tentang Keluarga Berencana tergantung pada individu masingmasing. Contoh lain adalah berkontrasepsi dengan maksud berkonsentrasi dalam berkarier atau supaya hidup senang atau hal-hal lain yang serupa dengan itu, sebagaimana yang dilakukan kebanyakan wanita zaman sekarang, maka hal itu tidak boleh. Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan bahwa Keluarga Berencana diperbolehkan dengan alasan-alasan tertentu, misalnya untuk menjaga kesehatan ibu, mengatur jarak di antara dua kelahiran, untuk menjaga keselamatan jiwa dan kesehatan. Beberapa Ulama besar dalam mazhab Syafi’i memiliki pendapat yang tidak jauh berbeda tentang hukum pencegahan kehamilan, diantaranya adalah : 1. Imam Syibra Malisῑ, beliau membedakan antara yang mencegah kehamilan secara total dan yang mencegahnya secara kontemporer saja. Dimana yang pertama (permanen) dihukumi haram, sedangkan yang kedua (kontemporer) mubāh. Sama halnya dengan ‘azal yang hukumnya mubāh. 2. Imam Ramli, makruh hukumnya melakukan ‘azal meskipun dengan izin pasangan baik pasangan istri atau pun hamba sahayanya. Karena yang demikian merupakan \termasuk dalam bagian mencegah keturunan. 3. Ibrahim al-Bajuri, haram menggunakan alat kontrasepsi yang dapat mencegah kehamilan secara permanen. Adapaun alat kontrasepsi yang bersifat temporer (sementara) maka hukumnya boleh tetapi makruh. 4. Syaikh ‘Izzuddin bin Abdussalam, pernah menjawab sebuah pertanyaan mengenai hukum penggunaan obat untuk mencegah kehamilan, yaitu tidak boleh dan haram hukumnya. 5. Al-‘Imad bin yunus, beliau pernah ditanyakan mengenai hukum pencegahan kehamilan yang didasari oleh kemauan sesama pasangan yang merdekan, bolehkah menggunakan obat-obatan. Beliau menjawab tidak boleh. Sedangkan mengenai masalah pencegahan kehamilan yang tidak dilandasi dari kemauan kedua pihak pasangan beliau meberi fatwa yang sama dengan Syaikh ‘Izzuddin.



6



Namun demikian, hukum diatas bukanlah harga mati, dimana setiap ummat harus mengikutinya dalam situasi dan keadaan apapun. Islam tentunya sangat mentolerir umatnya yang memiliki alasan tertentu dan tidak memiliki kesanggupan untuk mentaati hukum diatas. Misalnya, menggunakan alat kontrasepsi ini dengan alasan bahwa penyakit yang diderita ibu menimbulkan resiko yang lebih besar bila harus melahirkan lagi bahkan bisa berefek kepada kematian. Dalam kondisi semacam ini, sang ibu seolah diharuskan untuk memilih satu dari 2 (dua) opsi masalah yang berbeda. Di satu sisi ia harus kehilangan kemampuannya untuk melahirkan lagi sebagai efek dari penggunaan alat kontrasepsi permanen, atau ia harus kehilangan nyawanya dengan tetap mempertahankan produktifitasnya untuk dapat melahirkan lagi dan tidak mengikuti program KB. Alasan ini tentunya memiliki pertimbangan sekaligus perhatian yang sangat besar dalam tatanan fikh, khususnnya dalam konteks fikh imam Syafi’i. Sehingga, penulis berasumsi bahwa kasus diatas bisa dikategorikan dalam bagian formulasi fikh (qaidah) imam syafi’i yang yang tertuang dalam satu qaidah Usul fikh yang berbunyi: ‫أخفهما ضررابارتكاب أعظمهما روعي مفسدتان تعارض اذا‬ Artinya: Apabila terjadi kontradiksi antara dua mafsadah (yang membahayakan) dan saling mengancam, maka yang diperhatikan adalah (mengesampingkan) yang paling besar bahayanya”. Maka dalam kondisi yang semacam ini, syara’ memberikan solusi kepada ibu tersebut dengan memberikan dua opsi yang berbeda.Yaitu dengan memilih salah satu dari dua hal yang membahayakan dirinya, yaitu pilihan yang konsekwensinya paling ringan. Dalam hal ini tentunya seorang ibu akan sangat bijaksana bila ia megutamakan keselamatannya sendiri dengan merelakan kehilangan produktifitasnya untuk melahirkan, dari pada harus membiarkan kemampuan tersebut sementara disisi lain akan mengancam jiwanya sendiri bahkan bisa mengakibatkan kematian. Sementara itu bila pengunaan perangkat-perangkat penunda kehamilan dapat menyebabkan kemandulan, seperti vasektomi (metode ber-KB dengan cara memotong atau mengikat Vas Deferen yaitu saluran yang mengangkut sel sperma dari testis menuju vesikula seminalis) yang dapat menjadikan seorang laki-laki tidak bisa menghasilkan sperma, Tubektomi (suatu kontrasepsi permanen untuk mencegah keluarnya ovum dengancara tindakan mengikat atau memotong pada kedua saluran tuba yang mampumenjadikan ovum yang matang tidak akan bertemu dengan sperma karena adanya hambatan pada tuban). Dengan demikian maka,membalik rahim, dan lainnya, telah sepakat para ulama untuk mengharamkan praktekpraktek tersebut, apabila pelaku KB tersebut tidak dalam kondisi emergency (dharurah). Karena, mencegah keturunan atau menjadikan seseorang tidak bisa memiliki ketururnan termasuk dalam kategori merubah ciptaan Allah SWT, yakni merubah dari kondisi bisa hamil menjadi tidak bisa hamil. Selain itu, menjaga keturunan merupakan bagian tujuan dari legislasi hukum-hukum dalam islam (maqāshid al-syar’iyah) yang wajib dijaga.



7



Melihat dari aspek lain, KB juga bisa dihubungkan dengan beberapa masalah yang hampir menyerupainya, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh para ulama dalam beberapa literature klasik. Yaitu, masalah hukum mematikan sperma setelah terjadinya penetrasi kedalam vagina.Yang lazim disebut dengan ilqā`u al-nuthfah. Ilqā`ual-nuthfah merupakan suatu usaha untuk menghambat terjadinya pembuahan didalam rahim setelah terjadinya penetrasi . Usaha ini lebih dikenal dengan aborsi apabila usaha pencegahan tersebut terjadi setelah terbentuknya spermatozoa (nuthfah) menjadi segumpalan daging (‘alaqah) atau telah ditiupkannya ruh. Beberapa ulama memberi pandangan mengenai masalah ini, yaitu:. 1. Imam Ramli, tidak diharamkan mematikan sperma atau janin selama belum ditiupkan ruh kedalam janin tersebut. 2. Imam Al-Ghazalῑ, haram karena sperma setelah menetap dalam rahim maka ia akan berubah menjadi ‘alaqah( segumpal daging), karena menurut beliau tindakan semacam ini tergolong kedalam jināyah. Semetara ‘azal tidaklah seperti demikian. 3. Muhibbuththibri mengatakan, telah terjadi pebedaan pendapat diantara para ulama tentang hukum mematikan nuthfah sebelum sampai usia 40 hari. Ada yang berpendapat padanya tidak sebut hukum menggugurkan anak dan al-wa`du.dan ada juga yang mengatkan bahwa nuthfah tersebut tetap dihormati sehingga tidak boleh melakukan usaha-usaha untuk merusaknya setelah nuthfah tersebut menetap dalam rahim. Sementara ‘azal tidak dilarang karena pencegahan kehamilan dengan cara ‘azal terjadi sebelum menetap dalam rahim. 4. Imam Al-Zarkasyi, dalam komentar beberapa ulama fuzala`, Al-karasibiy pernah berkata: Aku bertanya kepada Abu bakar Bin Abi Sa’id Al-Furatiy tentang seseorang yang memberi obat untuk menggugurkan kandungan hamba sahayanya. Maka ia menjawab selama yang digugurkan tersebut masih berbentuk nuthfah maka dibolehkan. 5. Abu Ishāk Al-Marwazῑ, (Mazhab Hanafi) berpandangan lain, menurutnya bahwasanya boleh bagi seorang majikan (sayyid) memberikan obat-obatan kepada amah-nya untuk menggugurkan janin yang ada dalam kandungannya selama masih berbentuk ‘alaqah atau mudhghah. Namun ada kemungkinan bahwa kebolehan ini hanya diperuntukkan kepada sayyid yang memiliki hamba, dengan tujuan supaya miliknya terjaga. 6. Sulaiman Al-Bujairimi, Pendapat yang mu’tamad (pendapat yang menjadi pegangan dalam mazhab syafi’i) adalah tidak diharamkan. Yang haram hanyalah mematikan segumpalan daging yang telah ditiupkan ruh. Dapat disimpulkan bahwasanya mencegah kehamilan dengan alat kontrasepsi hukumnya makruh, bila dilakukan dengan tujuan menertipkan keturunan (Tanzim al-nasl). Dan haram hukumnya jika untuk memutuskan keturunan (Tahdidu al-nasl). Sementara bila menggunnakan alat kontrasepsi yang cara kerjanya dengan mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menggugurkan kandungan atau janin yang telah ditiupkan ruhnya maka sepakat Ulama mazhab syafi’i mengharamkannya. -----------8







Pandangan Menurut Imam Hanafi dan Madzhabnya



Imam Abu Hanifah dan kedua muridnya, Abu Yusuf dan Muhammad asy-Syaibani mengizinkan melakukan al-azl dengan catatan ada persetujuan dari isterinya. Ulama modern madzhab Hanafiyah berpendapat tentang kebolehan al-azl tanpa harus izin dari isterinya sebab terdapat suatu alasan (udzur), semisal mereka (suami dan isteri) sedang ada di perjalanan jauh, berada di kawasan perang yang mengakibatkan khawatir akan anak jika isteri melahirkan, atau sebab buruknya perilaku isteri yang kemudian akan melangsungkan perceraian dan khawatir jika ia hamil. At-Tahâwî (m. 933 M.) berpendapat bahwa melakukan al-azl tidak dilarang. Ketika mereka bertanya kepada Nabi SAW tentang hal itu, beliau tidak melarangnya. Sedangkan menurut Al-Kasânî (m.1197 M.) melakukan al-„azl tanpa ada persetujuan dari isteri “tidak disukai” atau makruh hukumnya. Ia menerangkan bahwa ejakulasi adalah jalan untuk mendapatkan anak dan ini adalah hak isteri; sedangkan melakukan al-azl dapat merebut haknya itu. Namun jika si isteri memberikan persetujuan, barulah al-azl diperbolehkan (tidak makruh). Begitu juga menurut pendapatnya AlMarghînanî (m. 1197 M.) berpendapat bahwa melakukan al-azl diperbolehkan dengan catatan ada persetujuan dari isterinya. Lalu kemudian Al-Bâberti menguatkan pendapat AlMarghînanî tentang harus ada izin dari si isteri terlebih dahulu. Ia mengingatkan bahwa Ibnu Mas’ud pernah ditanyai tentang hal ini dan ia jawab, “Tidak ada salahnya dengan itu”. AlKamâl ibn al-Humam (m.1457 M.), dalam kitabnya Syarkh Fath al-Qadîr, menyatakan bahwa al-azl diizinkan oleh mayoritas ulama (âmmat al-ulamâ). Setelah menjelaskan sikap mayoritas ulama tentang perlunya persetujuan isteri dalam al-azl, ia menambahkan bahwa persetujuannya dapat diabaikan dalam kondisi dan realitas kehidupan yang buruk atau di saat terdapat sebuah kekhawatiran akan melahirkan anak yang nakal dan lain sebagainya yang cenderung mengandung kemafsadatan terhadap kedua pasangan dan keturunannya. Salah satu ulama madzhab Hanafiyah, yaitu Ibn Nujaim (m.1562 M.) mengukuhkan bahwa pendapat ulama yang benar adalah bolehnya al-azl dengan adanya persetujuan dari isteri. Ia mendukuung ketetapan bahwa persetujuan isteri dapat diabaikan dalam masa-masa yang tidak baik. Bahkan menurutnya wanita juga boleh menutup rahimnya sebagaimana praktekpraktek yang dilakukan dalam masa Ibn Nujaim dan ia menganggap praktek itu diperbolehkan dengan catatan ada persetujuan dari suaminya. Tulisannya merupakan rujukan pertama tentang penggunaan pessary (alat pencagah kehamilan yang dimasukkan ke dalam farji, semacam spiral) di masa dini. Begitu juga menurut pendapat Ibn Abidîn (abad ke-19) persetujuan dari isteri dapat diabaikan bilamana ada dalam masa-masa yang tidak mendukung, termasuk bilamana pasangan pasangan itu sedang melakukan perjalanan yang meletihkan dan panjang. Ia juga merujuk pada prinsip “Taghayyur al-Ahkâm bi Taghayyur al-Azminah (berubahnya hukum dengan sebab berubahnya waktu)”. Syekh Abd al-Majîd Sâlim seorang Mufti Besar Mesir akhirnya mengeluarkan fatwa di tahun 1937 dengan meringkaskan hukum dari madzhab Hanafi. Beliau mengukuhkan bahwa penggunaan al-azl atau tindakan lain guna mencegah kehamilan diizinkan dengan adanya persetujuan dari isterinya. Namun persetujuan ini dapat diabaikan pada saat-saat kerusakan agama, untuk mengelakkan dari lahirnya anak yang nakal.



9







Pandangan Menurut Imam Maliki dan Mazhabnya



Jumhur ulama Mazhab Maliki berpendapat boleh melakukan (Al –Azl) untuk mencegah kehamilan dengan syarat mendapatkan izin dari istri. Sebagian ulama mutaakhirin dari mazhab maliki berpendapat boleh mengabaikan izin istri asal ada ganti ruginya (kompensasi). Di dalam kitab Al-Muwattha’, imam Malik meriwayatkan enam hadits yang menerangkan (Al –Azl). Seperti haidts Rasulullah : Artinya : Tidak ada yang akan membahayakan kalian jika tidak melakukannya, karena sesungguhnya terlahir atau tidaknya seorang bayi sudah merupakan takdir. (H.R Abu Daud). Sehubungan dengan itu Imam Malik mengatakan, “Seorang lelaki tidak boleh melakukan (Al –Azl) terhadap perempuan yang merdeka, kecuali dengan se izinnya”. Imam Ibnul Jauzi mengatakan. ”adapun mengenai (Al –Azl), Ia boleh-boleh saja, namun tergantung pada persetujuan istri, walaupun Imam Syafi’I membolehkannya secara mutlak. Imam Al-Abdari yang masyhur denngan nama Al-Mawaq menukil dari Ibnu Arafah bahwa ia membolehkan (Al –Azl) dan mensyaratkan adanya izin dari istri yang merdeka. Sang istri boleh mengambil uang sebagai ganti rugi (kompensasi) dari izinnya. Ia juga boleh membatalkan izinnya kapan saja ia kehendaki, dengan mengembalikan semua yang pernah dia ambil. Pembahasan tentang pendapat Ulama Malikiyah dengan perkataan Imam ‘Ulaisy, Ia adalah salah seorang ulama mazhab dari kalangan Mutaakhirin. Di dalam kitabnya, “Fathul ‘Aliyyil Malik Fil Fatwa ‘Ala Madzhabil Imam Malik”. Di sebutkan tanya jawab berikut ini. Pertanyaan pertama : “Bagaimana pendapat tuan mengenai (Al –Azl) yang di lakukan terhadap istri dan sahaya perempuan karena khawatir dia hamil, apakah hal itu di perbolehkan”? Jawaban : “seorang suami boleh melakukan (Al –Azl) terhadap istrinya jika snag istri ridha”. Pertanyaan kedua: “Bagaimana pendapat tuan kalau seorang istri meminta harta sebagai kompensasi atas persetujuannya terhadap (Al –Azl), Apakah di bolehkan”? Jawaban : “Hal tersebut di perbolehkan. Jika ia membatalkan persetujuannya, ada yang mengatakan bahwa sang istri harus mengembalikan semua harta (kompensasi) yang ia ambil”. Pertanyaan ketiga : “bagaimana pendapat tuan tentang penggunaan obat-obatan untuk mencegah kehamilan”? Jawaban : “tidak boleh mengonsumsi obat untuk mencegah kehamilan”.  Pandangan Menurut Imam Hambali dan Mazhabnya Menurut jumhur fuqaha dari Mazhab hambali melakukan (Al –Azl) terhadap istri adalah boleh, baik si istri masih kecil maupun telah dewasa. Dengan syarat, ia mengizinkannya. Imam Ahmad mengatakan, sebagaimana yang di riwayatkan oleh Abu Daud, “ Tidak boleh melakukan (Al –Azl) terdahap istri yang merdeka, kecuali ia mengizinkannya. Dari beberapa pendapat di atas keseluruhannya mengatakan bahwa hukum (Al –Azl) adalah boleh di lakukan, namun demikian terdapat beberapa pendapat lain yang mengatakan bahwa (Al –Azl) adalah haram. Pendapat ini di anut oleh kalangan Zhahiriyah. Di dalam kitab Al-Mahalli Ibnu Hazm mengatakan, “ Di larang (haram) melakukan (Al –Azl) terhadap istri yang merdeka dan juga terhadap sahaya perempuan”. Landasan dalilnya adalah hadits yang di riwayatkan dari muslim dari ubadillah bin Said dari Abdullah bin Yazid Al-Maqbari 10



dari Said bin Abu Ayyub dari Abu Aswad, dia adalah anak yatimnya Urwah dari Urwah bin Zubair. Dari Aisyah Ummul Mukminin dari Judamah binti Wahab, saudara perempuan Ukasyah, bahwa Judamah mengatakan : “ Saya berada di sekitar majelis Rasulullah yang sedang di hadiri banyak orang, lalu mereka bertanya tentang (Al –Azl) kepada beliau, lalu beliau bersabda, “ Yang demikian itu adalah penguburan hidup – hidup yang terselubung”. Lalu beliau membacakan Firman Allah dalam Surat At-Takwir Ayat 8. 2.5 Cara KB yang Diperbolehkan dan Yang Dilarang oleh Islam 1) Cara yang diperbolehkan Ada beberapa macam cara pencegahan kehamilan yang diperbolehkan oleh syara’ antara lain, menggunakan pil, suntikan, spiral, kondom, diafragma, tablet vaginal , tisue. Cara ini diperbolehkan asal tidak membahayakan nyawa sang ibu. Dan cara ini dapat dikategorikan kepada azl yang tidak dipermasalahkan hukumnya. Dari salah satu kasus yang telah dipaparkan diatas Banyak hal yang seyogyanya membuat kita ragu tentang masalah KB ini. Untuk lebih mendalami Masalah ini berikut uraian – uraian yang dapat disampaikan:  Alasan tidak diperbolehkannya KB Hukum KB bisa haram jika menggunakan alat atau dengan cara yang tidak dibenarkan dalam syariat islam. Ada beberapa ulama yang menolak KB dengan alasan antara lain, yaitu: 1. KB sama dengan pembunuhan bayi. 2. KB merupakan tindakan tidak wajar (non-alamiah) dan bertentangan dengan fitrah. 3. KB mengindikasikan pada ketidakyakinan akan perintah dan ketentuan Tuhan. 4. KB berarti mengabaikan doa Nabi agar umat islam memperbanyak jumlahnya. 5. KB akan membawa petaka konsekuensi-konsekuensi sosial. 6. KB adalah suatu jenis konspirasi Imperialis Barat terhadap negara-negara yang berkembang. 7. KB dilakukan karena niat yang tidak baik misalnya takut mengalami kesulitan ekonomi dan susah mendidik anak. Para ulama sepakat bahwa menggunakan metode KB yang bersifat permanen hukumnya haram. Metode permanen adalah metode yang bersifat mantap, yang meliputi tindakan : 1. Vasektomi atau vas Ligation 2. Tubektomi atau Tubal Ligation (operasi ikat saluran telur) 3. Histerektomi (operasi pengangkatan rahim) Ulama mengharamkan metode kontrasepsi permanent ini karena menilainya sebagai bentuk pengebirian yang dilarang oleh Rasulullah saw. Sesuai dengan sabda Rasulullah : Tidaklah termasuk golongan kami (umat islam) orang yang mengebiri orang lain atau mengebiri dirinya sendiri. Disamping itu, tindakan sterilisasi juga dianggap sebagai mengubah firth kejadian manusia yang dilarang dalam islam. 11



2) Cara yang dilarang Ada juga cara pencegahan kehamilan yang dilarang oleh syara’, yaitu dengan cara merubah atau merusak organ tubuh yang bersangkutan. Cara-cara yang termasuk kategori ini antara lain, vasektomi, tubektomi, aborsi. Hal ini tidak diperbolehkan karena hal ini menentang tujuan pernikahan untuk menghasilakn keturunan.  Alasan diperbolehkannya KB Menurut kelompok ulama yang membolehkan, dari segi nash, tidak ada nash yang sharih secara eksplisit melarang ataupun memerintahkan ber-KB. Mereka juga beralasan dari sudut pandang ekonomi dan kesehatan, antara lain, sebagai berikut: a. Untuk memberikan kesempatan bagi wanita beristirahat antara dua kehamilan. b. Jika salah satu atau kedua orang pasangan suami istri memiliki penyakit yang dapat menular. c. Untuk melindungi kesehatan ibu. d. Jika keuangan suami istri tidak mencukupi untuk membiayai lebih banyak anak. e. Imam al-ghazali menambahkan satu lagi, yaitu menjaga kecantikan ibu. Secara umum lembaga-lembaga fatwa di Indonesia menerima dan membolehkan KB. Majelis Ulama Indonesia menjelaskan, bahwa ajaran islam membenarkan Keluarga Berencana. Argumen yang membolehkannya adalah untuk menjaga kesehatan ibu dan anak, pendidikan anak agar menjadi anak yang sehat, cerdas, dan sholeh. Majelis Tarjih Muhamadiyah memandang KB sebagai jalan keluar dari keadaan mendesak, dibolehkan sebagai hukum pengecualian, yakni: a. Untuk menjaga keselamatan jiwa atau kesehatan ibu. b. Untuk menjaga keselamatan agama, orang tua yang dibebani kewajiban mencukupi keperluan hidup keluarga dan anak-anaknya. c. Untuk menjaga keselamatan jiwa, kesehatan atau pendidikan anak-anak. Ulama-ulama NU termasuk memperbolehkan KB didasarkan pada prinsip kemaslahatan keluarga (Mashalihul Usrah) bagi pengembangan kemaslahatan umum (al-mashalihul ‘Ammah). Sedangkan menurut ulama PERSIS, KB dalam pengertian pengaturan jarak kelahiran hukumnya ibadah, dan tidak terlarang. Bagi Negara, program KB dapat mengurangi beban negara. Contohnya sebelum tahun 1990 diprediksikan, tanpa program KB jumlah penduduk Indonesia tahun 2000 akan mencapai 285 juta jiwa. Namun dengan program KB, sensus pada tahun itu menunjukkan jumlah penduduk hanya 205 juta jiwa. Artinya, ada penghematan energi, pangan, dan sumber daya lain yang semestinya digunakan oleh 80 juta jiwa. Oleh karena itu program KB terus digalakkan oleh pemerintah.  Macam-macam Alat Kontrasepsi Dalam pelaksanaan KB harus menggunakan alat kontrsepsi yang sudah dikenal diantaranya ialah: 1. Pil, berupa tablet yang berisi progrestin yang bekerja dalam tubuh wanita untuk mencegah terjadinya ovulasi dan melakukan perubahan pada endometrium. 2. Suntikan, yaitu menginjeksikan cairan kedalam tubuh. Cara kerjanya yaitu menghalangi ovulasi, menipiskan endometrin sehingga nidasi tidak mungkin terjadi dan memekatkan lendir serlak sehingga memperlambat perjalanan sperma melalui canalis servikalis. 12



3. Susuk KB, levermergostrel. Terdiri dari enam kapsul yang diinsersikan dibawah kulit lengan bagian dalam kira-kira sampai 10 cm dari lipatan siku. Cara kerjanya sama dengan suntik. 4. AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim) terdiri atas lippiss loop(spiral) multi load terbuat dari plastik harus dililit dengan tembaga tipis cara kerjanya ialah membuat lemahnya daya sperma untuk membuahi sel telur wanita. 5. Sterelisasi (Vasektomi/ tubektomi) yaitu operasi pemutusan atau pengikatan saluran pembuluh yang menghubungkan testis (pabrik sperma) dengan kelenjar prostat (gudang sperma menjelang diejakulasi) bagi laki-laki. Atau tubektomi dengan operasi yang sama pada wanita sehingga ovarium tidak dapat masuk kedalam rongga rahim. Akibat dari sterilisasi ini akan menjadi mandul selamanya. Alat-alat konrasepsi lainnya adalah kondom, diafragma, tablet vagmat, dan tiisu yang dimasukkan kedalam vagina. Disamping itu ada cara kontrasepsi yang bersifat tradisional seperti jamuan, urut dsb.



13



BAB III PENUTUP



3.1 Kesimpulan Kontribusi Program Keluarga Berencana Nasional tersebut dapat dilihat dalam pelaksanaan program Making Pregnancy Safer sehingga Keluarga Berencana merupakan upaya pelayanan kesehatan preventive yang paling dasar dan utama. Namun dalam pelaksanaannya, timbul perdebatan dari kaum ulama Islam serta pihak-pihak yang bersangkutan terhadap jalannya program KB ini yang mempertimbangkan tentang hukum penggunaan alat kontrasepsi / ber-KB dari sudut pandang hukum Islam. Program keluarga berencana dilaksanakan atas dasar sukarela serta tidak bertentangan dengan agama, kepercayaan dan moral Pancasila. Dengan demikian maka bimbingan, pendidikan serta pengarahan amat diperlukan agar masyarakat dengan kesadarannya sendiri dapat menghargai dan, menerima pola keluarga kecil sebagai salah satu langkah utama untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Oleh karena itu pelaksanaan program keluarga berencana tidak hanya menyangkut masalah tehnis medis semata-mata, melainkan meliputi berbagai segi penting lainnya dalam tata hidup dan kehidupan masyarakat. 3.2 Saran Demikian makalah ini penulis buat. Menyadari bahwa tugas makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu segala kritik dan saran yang konstruktif selalu diharapkan demi kesempurnaan tugas makalah ini. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penggarapan tugas makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan berbagai pihak yang membutuhkan. Wassalamu’alaikum Wr,Wb



14



DAFTAR PUSTAKA Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (PT Toko Gunung Agung : Jakarta. 2008) M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah (PT Raja Grafindo Persada: Jakarta. 2007) Prof. Abdurrahman Umran, Islam dan KB (PT Lentera Basritama: jakarta. 2017) Drs. Musthafa Kamal, Fiqih Islam (Citra Karsa Mandiri: Yogyakarta. 2002) Dr. H. Chuzamah, T. Yangro dkk. (ed), Problematika Hukum Islam Kontemporer (Pustaka Firdaus: Jakarta. 2002) Abul Fadl Mohsin Ebrahim, Aborsi, Kontrasepsi dan Mengatasi Kemandulan (Mizan: Bandung. 2009) Luthfi As-syaukani, Politik, Ham dan Isu-isu Fiqih Kontemporer (Pustaka Hidayah: Bandung. 2006) Dr. Thariq At – Thawari “ KB cara islam “.Aqwam Jembatan Ilmu. Syihabuddin Ahmad Ibn Hajar al-Haitamῑ, Tuhfat al-Muhtaj bi syarh al-Mināj, Jld. VII, Cet. I, (Beirut: Dar al-Fikr ,2013) BKKBN Kota Bantul, “Vasektomi Adalah Metode Ber-KB Yang Diperbolehkan MUI”, Artikel Fiqh (online), (2013), http://bkk.bantulkab.go.id, diakses 17 Desember 2013. Muslim Ibn Al-Hujjaj, Syarh Muslem, (Maktabah Syamilah ishdar 3.8 v. 10600, 2009) Imam Ramli, Nihāyatul Muhtāj ila syarhi al-minhāj, Jld VIII, Cet. III ( Bairut: Dar alkutub al-‘ilmiyah, 2003) Ibrahim al-Bajurῑ, Hasyiyah al-Bajurῑ, Jld. I, Cet (Jakarta: Haramain, tt)



15