Makalah Ilmu Jarh Wa Al-Ta'Dil Dosen Pembingbing: Syarifuddin, M.Ag [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH ILMU JARH WA AL-TA’DIL DOSEN PEMBINGBING : SYARIFUDDIN,M.Ag



DISUSUN OLEH KELOMPOK 13: MUHAMAD ROIHAN AL AZHARI R. RIFKY DHIOTAMA KELAS 18 E STUDI HADITS



ii



KATA PENGANTAR Puji dan syukur saya panjatkan kehadiran Allah yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya.Karena berkat rahmat dan hidayah-Nya saya bisa menyelesaikan penyusunan makalah kelompok ini. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas kuliah STUDI HADITS, yang berjudul “ILMU JARH WA TA’DIL” Dalam penyusunan makalah ini saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu. Makalah ini telah disusun berdasarkan sumber-sumber yang ada, namun saya menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran demi perbaikan dan penyempurnaan akan saya terima dengan senang hati. Akhir kata saya ucapkan terima kasih.



iii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii DAFTAR ISI......................................................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang............................................................................................................4 B. Rumusan Masalah.......................................................................................................4 C. Tujuan Rumusan.........................................................................................................4 BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Ilmu Al Jarh Wa Al Ta’dil......................................................................5 B. Objek dan Kegunaan Ilmu Al Jarh Wa Al Ta’dil....................................................5 C. Lafadz-Lafadz dan Maratib Al Jarh Wa Al Ta’dil..................................................6 D. Tingkatan Al Jarh Wa Al Ta’dil................................................................................8 E. Metode Dalam Ilmu Al Jarh Wa Al Ta’dil...............................................................10 F. Contoh Pentarjihan dan Penta’dilan Hadits.............................................................12 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan...................................................................................................................15 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................16



4 BAB I PENDAHULUAN



I.



Latar Belakang Hadits sebagai sumber hukum Islam kedua setelah al Quran, sebelum diberlakukan terlebih dahulu harus mengalami proses transmisi dan verifikasi otensitas-legalitas yang selektif, sulit dan rumit. Dalam setiap fase perkembangannya, para generasi periwayatan (tabaqat) dapat dipastikan memiliki kriteria dan kualifikasi tertentu untuk sampai kepada keputusan bahwa suatu hadits benar-benar otentik berasal dari nabi dan dapat dijadikan dasar dan rujukan dalam pengambilan hukum suatu perkara. Bagi seseorang yang hendak mengkaji dalil-dalil syara’ dan metode istinbath hukumnya maka wajib baginya untuk mengetahui ilmu dan hukum yang berkaitan dengan obyek pembahasan



serta



kaidah-kaidahnya.Seorang



peneliti,



misalnya,



memandang



dan



menemukan adanya dua dalil yang dia anggap saling bertentangan (semisal, satu dalil menetapkan adanya hukum atas sesuatu, sementara dalil yang lain meniadakannya), maka diperlukan cara/ilmu untuk mengetahui cara-cara menolak pertentangan yang tampak secara lahiriah tersebut serta mengetahui metode tarjih antara dalil-dalil yang saling bertentangan tersebut.Karena pada hakekatnya dalil-dalil syara’ (al-Qur’an dan hadits) tersebut selaras dan tidak ada pertentangan diantaranya.Karena dalil-dalil tersebut datangnya dari Allah SWT. Untuk pembahasan kali ini agar tidak melebar, maka penulis hanya akan memfokuskan pada bagaimana hakikat dari metode tarjih dan bagaimana metode tarjih itu diberlakukan. II. Rumusan Masalah 1. Apa Pengertian Ilmu-Jarh Wa Al Ta’dil? 2. Apa Objek dan Kegunaan Ilmu Al-Jarh Wa Al Ta’dil? 3. Apa saja Lafadz-Lafadz Dan Maratib Al-Jarh Wa Al-Ta’dil? 4. Apa saja Tingkatan Al-Jarh wa At-Ta’dil?



5 5. ApaMetode Dalam Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil? 6. ApaContoh Pentarjihan Dan Penta’dilan Hadits? III. Tujuan Masalah 1. Untuk Memahami Pengertian Ilmu-Jarh Wa Al Ta’dil 2. Untuk Mengetahui Objek dan Kegunaan Ilmu Al-Jarh Wa Al Ta’dil 3. Untuk Memahami Lafadz-Lafadz Dan Maratib Al-Jarh Wa Al-Ta’dil 4. Untuk Mengetahui Tingkatan Al-Jarh wa At-Ta’dil 5. Untuk Mengetahui Metode Dalam Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil 6. Untuk Memahami Contoh Pentarjihan Dan Penta’dilan Hadits



6 BAB II PEMBAHASAN



a. ILMU JARH WA AL-TA’DIL 1. PENGERTIAN ILMU AL-JARH WA AL-TA’DIL Al-jarh secara bahasa: isim mashdar yang berarti luka yang mengalirkan darah atau sesuatu yang dapat menggugurkan ke’adalahan seseorang. Al-jarh menurut istilah: yaitu terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke’adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya atau melemahkannya hingga kemudian ditolak1. At-Tajrih yaitu memberikan sifat kepada seorang perawi dengan sifat yang menyebabkan pendhaifan riwayatnya atau tidak diterima riwayatnya. Al-‘Adlusecara bahasa yaitu apa yang lurus dalam jiwa, lawan dari durhaka, dan seorang yang ‘adil artinya kesaksiannya diterima dan At-Ta’dil artinya mensucikannya dan membersihkannya. Al-‘Adlu menurut istilah yaitu orang yang tidak nampak padanya apa yang dapat merusak agamanya dan perangainya, maka oleh sebab itu diterima beritanya dan kesaksiannya apabila memenuhi syarat-syarat menyampaikan hadis. AtTa’dil yaitu pensifatan perawi dengan sifat-sifat yang mensucikannya, sehingga nampak ke’adalahannya, dan diterima beritanya. Maka ilmu al-Jarh dan al-Ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacatcacat yang dihadapkan pada para perawi dan tentang penta’dilannya dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka. 2. OBJEK DAN KEGUNAAN ILMU AL- JARH WA AL-TA’DIL Ilmu jarh wa al-ta'dil sangat berguna untuk menentukan kualitas perawi dan nilai hadisnya. Membahas sanad terlebih dahulu harus mempelajari kaidah-kaidah ilmu jarh 1



Mohammad Gufron, dan Rahmawati,Ulumul Hadits Praktis dan Mudah, (Yogyakarta: Teras, 2013), hlm. 63



7 wa al-ta'dil yang telah banyak dipakai para ahli, mengetahui syarat-syarat perawi yang dapat diterima, cara menetapkan keadilan dan kedhabitan perawi dan hal-hal lain yang berhubungan dengan bahasan ini. Seseorang tidak akan dapat memperoleh biografi, jika mereka tidak terlebih dahulu mengetahui kaidah-kadah jarh dan ta'dil, maksud dan derajat (tingkatan) istilah yang dipergunakan dalam ilmu ini, dari tingkatan ta'dil yang tertinggi sampai pada tingkatan jarh yang paling rendah.2 Jelasnya ilmu jarh wa ta'dil ini dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang perawi "dijarh" oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak. Sebaliknya bila dipuji maka hadisnya bisa diterima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi. Adapun informasi jarh dan ta'dilnya seorang rawi bisa diketahui melalui dua jalan, yaitu: a. Popularitas para perawi di kalangan para ahli ilmu bahwa mereka dikenal sebagai orang yang adil, atau rawi yang mempunyai 'aib. Bagi yang sudah terkenal dikalangan ahli ilmu tentang keadilannya, maka mereka tidak perlu lagi diperbincangkan lagi keadilannya, begitu juga dengan perawi yang terkenal dengan kefasikan atau dustanya maka tidak perlu lagi dipersoalkan. b. Berdasarkan pujian atau pen-tarjih-an dari rawi lain yang adil. Bila seorang rawi yang adil menta'dilkan seorang rawi yang lain yang belum dikenal keadiannya, maka telah dianggap cukup dan rawi tersebut bisa menyandang gelar adil dan periwayatannya bisa di terima. Begitu juga dengan rawi yang di tarjih.Bila seorang rawi yang mentarjihnya maka periwayatannya menjadi tidak bisa diterima. Sementara orang yang melakukan ta'dil dan tarjih harus memenuhi syarat sebagai berikut: berilmu pengetahuan, taqwa, wara', jujur, menjauhi sifat fanatik terhadap golongan dan mengetahui ruang lingkup ilmu jarh dan ta'dil ini. 3. LAFADZ-LAFADZ DAN MARATIB AL-JARH WA AL-TA’DIL Lafazh-lafazh yang digunakan untuk mentarjihkan dan menta’dilkan itu bertingkat. Menurut Ibnu Hatim, Ibnu Shalah, dan Imam An-Nawawi, lafazh-lafazh itu 2



Dr. Mahmud at- Thahan, “Metode Takhrij dan Penelitian Sanad Hadits”, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995, h:100



8 disusun secara bertingkat-tingkat yaitu 4 tingkatan, menurut Al-Hafizd Ad-Dzahaby dan Al-‘Iraqy menjadi 5 tingkatan, sedangkan Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan, yaitu sebagai berikut. Tingkat pertama, segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan, dengan menggunakan lafazh-lafazh yang af’alu al-ta’dil atau ungkapan lain yang mengandung ungkapan sejenis, misalnya “Orang yang paling tsiqat, orang yang paling kuat hapalannya”. Tingkatan kedua, memeperkuat ke-tsiqah-an rawi dengan membubuhi satu sifat yang menunjukan keadilan dan ke-dahbit-annya, baik sifatnya yang dihubungkan itu selafadz (dengan mengulangnya) maupun semakna, misalnya “Orang yang hafidz (lagi) petah lidahnya”. Tingkatan ketiga, menunjukan keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung arti’kuat ingatan’, misalnya “Orang yanghafizh (kuat hapalannya)” Tingkatan keempat, menunjukan keadilan dan kedlabitan, tetapi dengan lafadh yang tidak mengandung arti kuat ingatan dan adil, misalnya “Orang yang sangat jujur” Tingkatan kelima, menunjukan kejujuran rawi, tetapi dengan lafazh yang tidak terfaham adanya kedlabithan, misalnya “Orang yang berstatus jujur” Tingkatan keenam, menunjukan arti mendekati cacat. Seperti sifat-sifat tersebut diatas yang diikuti dengan lafadh “insya Allah”, atau lafadh tersebut di-tashir- kan (pengicilan arti), atau lafadh itu dikaitkan dengan suatu pengharapan, misalnya “Orang yang jujur, insya Allah” Para ahli ilmu mempergunakan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujjah. Adapun hadis-hadis para rawi yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan kelima dan keenam



9 hanya dapat ditulis, dan baru dapat dipergunakan bila dikuatkan oleh hadis periwayat lain. Orang yang di-tajrih menurut tingkat pertama sampai dengan tingkat keempat, hadisnya tidak dapat dibuat hujjah sama sekali. Adapun orang-orang yang di-tajrih-kan menurut tingkatan kelima dan keenam, hadisnya masih dapat di pakai sebagaiI’tibar ( tempat pembading ). Untuk menerima pen-tajrih-an ata pen-ta’dil-an, ada yang harus diperhatikan, yaitu apabila kita temui sebagai ahli jarhdan ta’dil, dalam men-jarh seorang rawi, kita tidak perlu segera menerima pen-tajrih-annya tersebut, tetapi hendaklah menyelidiki terlebih dahulu.Jika pen-tajrih-an itu membawa kegoncangan yang hebat, kendati yang men-tajrih-kan adalah ulama-ulama yang mahsyur, pen-tajrih-annya tersebut tidak boleh diterima.Sebab, setelah kita adakan penelitian, terkadang sebab-sebab yang digunakan untuk men-tajrih-kannya tidak kuat sehingga kita tidak bisa menolak pen-jarh-annya. Hal ini disebabka adanya kemungkinan-kemungkinan antara lain adalah, si-jahr sendiri termasuk orang yang di-tarjih-kan orang lain, sehingga pen-tajrih-annya dan penta’dil-annya tidak harus segera kita terima, selama orang- orang lain tidak menyutujuinya. Kemungkinan yang lain bisa terjadi bahwa si jahr termasuk orang yang terlebih dahulu dalam men-tajrih-kan seseorang. Adapun pen-tajhrih-an yang dilakukan oleh kebanyakan ahli tajrih dan ta’dil, lebih ringan. Jadi riwayat yang kemungkinan di terima adalah bukan berdasarkan banyak dan sedikitnya orang yang menilai,tetapi terlibih dahulu berdasrkan kualitas orang yang menilainya. 4. TINGKATAN AL-JARH WA AL-TA’DIL Para perawi yang meriwayatkan hadits bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi keadilannya, kedlabithannya, dan hafalan mereka.Di antara mereka ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula yang sering lupa dan salah padahal mereka orang yang „adil dan amanah; serta ada juga yang berdusta dalam hadits.Maka Allah menyingkap perbuatannya ini melalui tangan para ulama‟ yang sempurna pengetahuan mereka.Oleh karena itu, para ulama‟ menetapkan tingkatan Jarh dan Ta‟dil, dan lafadh-lafadh yang menunjukkan pada setiap



10 tingaktan.Tingkatan Ta‟dil ada enam tingkatan, begitu pula dengan Jarh (ada enam tingkatan).



a) Tingkatan At-Ta’dil Tingkatan Pertama, Yang menggunakan bentuk superlatif dalam penta‟dil-an, atau dengan menggunakan wazan af‟ala dengan menggunakan ungkapanungkapan seperti : “Fulan kepadanyalah puncak ketepatan dalam periwayatan” atau “Fulan yang paling tepat periwayatan dan ucapannya” atau Fulan orang yang paling kuat hafalan dan ingatannya”. Tingkatan Kedua, Dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ke-tsiqah-annya, keadilannya, dan ketepatan periwayatannya, baik dengan lafadh maupun dengan makna; seperti :tsiqatun-tsiqah, atau tsiqatun-tsabt, atau tsiqah dan terpercaya (ma‟mun), atau tsiqah dan hafizh. Tingkatan Ketiga, Yang menunjukan adanya pentsiqahan tanpa adanaya penguatan atas hal itu, seperti: tsiqah, tsabat, atau hafizh. Tingkatan Keempat, Yang menunjukkan adanya keadilan dan kepercayaan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian. Seperti :Shaduq, Ma‟mun (dipercaya), mahalluhu ash-shidq (ia tempatnya kejujuran), atau laa ba‟sa bihi (tidak mengapa dengannya). Khusus untuk Ibnu Ma‟in kalimat laa ba‟sa bihi adalah tsiqah (Ibnu Ma‟in dikenal sebagai ahli hadits yang mutasyaddid, sehingga lafadh yang biasa saja bila ia ucapkan sudah cukup untuk menunjukkan ketsqahan perawi tersebut). Tingkatan Kelima, Yang tidak menunjukkan adanya pentsiqahan ataupun celaan; seperti : Fulan Syaikh (fulan seorang syaikh), ruwiya „anhul-hadiits (diriwayatkan darinya hadits), atau hasanul-hadiits (yang baik haditsnya). Tingkatan



Keenam,



Isyarat



yang



mendekati



celaan



(jarh),



seperti:



ShalihulHadiits (haditsnya lumayan), atau yuktabu hadiitsuhu (ditulis haditsnya.) Hukum Tingkatan-Tingkatan Ini  Untuk tiga tingkatan pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian mereka lebih kuat dari sebagian yang lain.



11  Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka boleh ditulis, dan diuji kedlabithan mereka dengan membandingkan hadits 3  mereka dengan hadits-hadits para tsiqah yang dlabith. Jika sesuai dengan hadits mereka, maka bisa dijadikan hujjah. Dan jika tidak sesuai, maka ditolak. Sedangkan untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja, bukan untuk pengujian, karena mereka tidak dlabith.4 b) Tingkatan Al-Jarh Tingkatan Pertama, Yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam tingkatan al-jarh seperti :layyinul-hadiits (lemah haditsnya), atau fiihi maqaal (dirinya diperbincangkan), atau fiihi dla‟fun (padanya ada kelemahan). Tingkatan Kedua, Yang menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi dan tidak boleh dijadikan sebagai hujjah; seperti : “Fulan tidak boleh dijadikan hujjah”, atau “dla‟if, atau “ia mempunyai hadits-hadits yang munkar”, atau majhul (tidak diketahui identitas/kondisinya). Tingkatan Ketiga, Yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis haditsnya, seperti : “Fulan dla‟if jiddan (dla‟if sekali)”, atau “tidak ditulis haditsnya”, atau “tidak halal periwayatan darinya”, atau laisa bi-syai-in (tidak ada apa-apanya). (Dikecualikan untuk Ibnu ma‟in bahwasannya ungkapan laisa bisyai-in sebagai petunjuk bahwa hadits perawi itu sedikit). Tingkatan Keempat, Yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsua hadits, seperti : Fulan muttaham bil-kadzib(dituduh berdusta) atau “dituduh memalsukan hadits”, atau “mencuri hadits”, atau matruk (yang ditinggalkan), ataulaisa bi tsiqah (bukan orang yang terpercaya). Tingkatan Kelima, Yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya; seperti :kadzdzab (tukang dusta), atau dajjal, atau wadldla‟ (pemalsu hadits), atau yakdzib (dia berbohong), atau yadla‟ (dia memalsikan hadits). Tingkatan Keenam, Yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, 3



Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu‟l-Hadits……. h. 310-311 4 Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu‟l-Hadits……. h. 268



12 dan ini seburuk-buruk tingkatan; seperti : “Fulan orang yang paling pembohong”, atau “ia adalah puncak dalam kedustaan”, atau “dia rukun kedustaan”. Hukum Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh  Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan sebagai hujjah terhadap hadits mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja. Dan tentunya orang untuk tingkatan kedua lebih rendah kedudukannya daripada tingkatan pertama.  Sedangkan empat tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh ditulis, dan tidak dianggap sama sekali.5 5. METODE DALAM ILMU AL-JARH AL-TA’DIL Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dua ketetapan. Pertama, dengan kepopuleran di kalangan para ahli ilmu bahwa ia dikenal sebagai seorang yang adil (Bisy-Syuhrah). Seperti terkenalnya sebagai para ahli ilmu bagi Asysyafi’I, Ahmad bin Hambal, dan sebagainya. Oleh karena itu, mereka sudah terkenal sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu sehingga tidak perlu diperbincangkan lagi tentang keadilannya. Kedua, dengan pujian dari seorang yang adil (tazkiyah), yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil yang semula rawi yang di-ta’dil-kan itu belum terkenal sebagai rawi yang adil. Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah ini dapat dilakukan oleh: 1. Seorang perawi yang adil, jadi tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang menta’dilkan. Sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat (hadist). Oleh karena itu, jumlah tersebut tidak menjadi syarat pula untuk menta’dilkan seorang rawi. Demikian menurut pendapat para fuqaha’ yang mensyaratkan sekurang-kurangnya dua orang dalam mentazkiyah seorang rawi.



5



Mahmud Ath-Thahan, Taisir Musthalah Al-Hadits, h. 152-154. As-Suyuti, Tadrib ar-Rawi, h. 229-233.



13 2. Setiap orang yang dapat diterima periwayatannya, baik ia laki-laki maupun perempuan dan baik orang yang merdeka maupun budak. Selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat mengadilkannya. Penetapan tentang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui dua jalan : 1. Berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta dikalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya. 2. Berdasarkan pentarjihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebabsebabnya dia cacat. Demikian ketetapan yang dipegang oleh para Muhadditsin. Sedang menurut para fuqaha sekurang-sekurangnya harus ditarjihkan oleh orang laki-laki yang adil. Ada beberapa masalah yang berhubungan dengan men-ta’dil-kan dan menjarh-kan seorang rawi, diantaranya apabila penilaian secara mubham (tak disebutkan sebab-sebabnya)



dan



ada



kalanya



munfasar



(disebutkan



sebab-sebabnya).



Tentangmubham ini diperselisihkan oleh para ulama, dalam beberapa pendapat, yaitu : 1. Men-ta’dil-kan tanpa menyebutkan sebab-sebabnya dapat diterima, karena sebab itu banyak sekali, sehingga kalau disebutkan semuanya tentu akan menyibukkan saja. Adapun men-tarjih-kan tidak diterima, kalau tidak menyibukkan sebabsebabnya, karenajarh itu dapat berhasil dengan satu sebab saja. Dan karena orangorang itu berlainan dengan mengemukakan sebab jarh, hingga tidak mustahil seorang men-tarjih-kan menurut keyakinannya, tetapi tidak dalam kenyataan. Jadi, agar jelas apakah ia tercatat atau tidak, perlu disebutkan sebab-sebabnya. 2. Untuk ta’dil, harus disebutkan sebab-sebabnya, tetapi menjarhkan tidak perlu. Karena sebab-sebab menta’dilkan itu bisa dibuat-buat, hingga harus diterangkan, sedangkan mentarjihkan tidak bisa dibuat-buat. 3. Untuk kedua-duanya, harus disebutkan sebab-sebabnya. 4. Untuk kedua-keduanya, tidak perlu disebutkan sebab-sebabnya. Sebab si jarh dan mu’addil sudah mengenal seteliti-telitinya sebab-sebab tersebut. Di antara sebab



14 munculnya kriteria mubham dan mufassar karena terjadi perbedaan pemahaman tentang penilaian terhadap rawi. Masalah berikutnya adalah perselisihan dalam menentukannya mengenai jumlah orang yang dipandang cukup untuk men-ta’dil-kan dan men-jarh-kan rawi. Sebagaimana berikut : 1. Minimal dua orang, baik dalam soal syahadah maupun dalam soal riwayah. 2. Cukup seorang saja, dalam soal riwayah bukan dalam soal syahadah. Sebab bilangan tersebut tidak menjadi syarat dalam penerimaan hadis, maka tidak pula dalam men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan rawi. Berlainan dalam soal syahadah. 3. Cukup seorang saja, baik dalam soal riwayah maupun dalam soal syahadah Adapun kalau ke-adalah-annya itu diperoleh atas dasar pujian orang banyak atau dimasyhurkan oleh ahli-ahli ilmu, tidak diperlukan lagi orang yang men-ta’dil-kan (muzakky = mua’dil). Seperti Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hambal, dan lain-lain 6. CONTOH PENTARJIHAN DAN PENTA’DILAN HADITS Ada beberapa syarat bagi orang yang men-ta’dil-kan (mu’addil) dan orang yang menjarah-kan(fajrih),yaitu : 1. Berilmu pengetahuan. 2. Takwa. 3. Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosadosa kecil dan makruhat-makruhat). 4. Jujur 5. Menjauhi fanatik golongan. 6. Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan untuk men-takhrij-kan



Contoh Pentarjihan dari segi sanad



15 Pertama, Perawi salah satu dari dua hadits yang bertentangan jumlahnya lebih banyak dalam tingkatan-tingkatannya dibandingkan hadits yang lain. Maka, hadits yang dibawakan perawi yang lebih banyak lebih kuat dibandingkan hadits yang dibawakan perawi yang lebih sedikit jumlahnya.Contoh : ‫حدثنا حفص بن عمر ثنا شعبة عن أبي إسحاق عن عاصم بن ضمرة عن علي رضي هللا عنه‬ ‫أن النبي صلى هللا عليه وسلم كان يصلي قبل العصر ركعتين‬ ”Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin ’Umar : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Abi Ishaq, dari ’Ashim bin Dlamrah, dari ’Ali bin Abi Thalibradliyallaahu ’anhu : ”Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam shalat (sunnah) sebelum ’asar sebanyak dua raka’at”. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1272). Syu’bah dalam sanad hadits ini telah menyelisihi beberapa perawi lain yang meriwayatkan dari Abu Ishaq (As-Sabi’y), dari ’Ashim bin Dlamrah, dari ’Ali radliyallaahu ’anhu tentang shalat sunnah sebelum ‘Asar Nabi SAW; dimana mereka semua menyebutkan empat raka’at [Diriwayatkan oleh Ahmad no. 650, Ibnu Majah no. 1161, dan At-Tirmidzi no. 429; shahih]. Para perawi tersebut antara lain : Sufyan AtsTsauri, Israil bin Yunus bin Abi Ishaq (cucu dari Abu Ishaq), dan Yunus bin Abi Ishaq (anak dari Abu Ishaq)[14].             Jika kita mengambil metode tarjih dalam pembahasan ini, kedudukan shalat sunnah sebelum ‘Asar empat raka’at lebih kuat dibandingkan dua raka’at.             Kedua, Perawi salah satu dari dua hadits lebih tsiqah, lebih dlabth, lebih hati-hati dalam periwayatan, dan lebih sedikit salahnya daripada perawi yang lain. Maka, riwayat pertama lebih kuat dibandingkan riwayat yang kedua.Contoh :             Ketiga, Perawi salah satu dari dua hadits merupakan pihak yang mempunyai kisah (shahibul-qishshah).Maka, riwayat perawi ini lebih kuat daripada yang lainnya.Contoh : ‫ تزوجني رسول هّللا صلى هّللا عليه وسلم ونحن حالالن‬: ‫عن ميمونة قالت‬ Dari Maimunah, ia berkata : “Rasulullah SAW menikahiku, dan kami berdua dalam keadaan halal (setelah selesai ihram)” (HR. Abu Dawud no. 1843; shahih). Riwayat di atas bertentangan dengan riwayat Ibnu ‘Abbas ra.: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم تَ َز َّو َج َم ْي ُموْ نَةَ َوه َُو ُمحْ ِر ٌم‬ َ ‫ي‬ َّ ِ‫أَ َّن النَّب‬ ”Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam menikahi Maimunah dalam keadaan ihram” (HR. Al-Bukhari no. 1837 dan Muslim no. 1410).



16             Jika kita melakukan tarjih atas dua riwayat di atas, maka riwayat Maimunah ra.dimenangkan atas riwayat Ibnu ‘Abbas ra.ma. Hal ini dikarenakan ia berstatus sebagai si empunya kisah yang menceritakan pengalamannya[15].             Ibnul-Musayyib rahimahullah berkata : ‫وهم أ بن عباس في تزويج ميمونة وهو محرم‬             “Ibnu ’Abbas telah keliru dalam (meriwayatkan) pernikahan Nabi dengan Maimunah dalam keadaan ihram” (HR. Abu Dawud no. 1845; shahih).             Keempat, Perawi salah satu dari dua hadits merupakan pihak yang mengetahui secara langsung apa yang diriwayatkannya, sedangkan perawi yang lain tidak. Maka, riwayat pertama lebih kuat dibandingkan riwayat yang kedua.Contoh : ‫تزوج رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ميمونة وهو حالل‬   : ‫عن أبي رافع قال‬ ‫وبنى بها وهو حالل وكنت أنا الرسول بينهما‬  Dari Abu Raafi’, ia berkata : “Rasulullah SAW menikahi Maimunah dalam keadaan halal (telah selesai ihram) serta membina rumah tangga dengannya dalam keadaan halal. Adapun aku waktu itu sebagai utusan antara keduanya” (HR. At-Tirmidzi no. 841).             Jika hadits ini sah maka riwayat Abu Raafi’ ini dimenangkan atas riwayat Ibnu ‘Abbas (sebagaimana contoh dalam no. 3 di atas), karena Abu Raafi’ merupakan perantara (safiir) antara Rasulullah SAW dan Maimunah, dan yang menerima pernikahan Maimunah dari beliau SAW[16].             Kelima, Perawi salah satu dari dua hadits termasuk istri-istri Rasulullah SAW. Maka ia didahulukan/dikuatkan dari yang lain dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan kehidupan/hubungan suami istri. Contoh  : ‫ أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬: -‫عن عائشة وأم سلمة – رضي هللا عنهما‬ ‫كان يدركه الفجروهو جنب من أهله ثم يغتسل ويصوم‬  Dari Aisyah dan Ummu Salamah ra.ma bahwasannya Rasulullah SAWpernah mendapati fajar telah terbit dan ketika itu beliau dalam keadaan junub setelah bercampur dengan istrinya.  Kemudian beliau mandi dan berpuasa”  (HR. Al-Bukhari no. 1926 dan Muslim no. 1109). ‫أن أبا هريرة يقول من أصبح جنبا أفطر ذلك اليوم‬



17 Bahwasannya Abu Hurairah pernah berkata : “Barangsiapa yang pada waktu subuh dalam keadaan junub, maka ia telah berbuka pada hari itu” (HR. Malik no. 299, Ibnu Hibban no. 3486, dan yang lainnya; shahih).             Hadits pertama lebih dimenangkan atas hadits kedua, sebab ‘Aisyah dan Ummu Salamah lebih mengetahui perihal junub Nabi SAWdibanding dengan Abu Hurairah ra.i



18



BAB III PENUTUP Kesimpulan Hadits sebagai salah satu pedoman Islam kini tidak hanya sebagai suatu alat legitimasi belaka.Tapi hadits kini telah menjadi suatu ilmu tersendiri (‘Ulumul Hadits) yang patut untuk dipelajari dan dikaji umat Islam pada khususnya dan manusia yang cinta ilmu pada umumnya. Sebagai salah satu khazanah keilmuan Islam, hadits memiliki beberapa cabang ilmu,  salah satunya adalah ilmu al-jarh wa ta’dil. Yaitu cabang dari ‘ulumul hadits yang membahas tentang celaan dan pujian kepada para periwayat hadits.Telah meninggalnya mereka para periwayat membuat kita tidak mudah untuk menelitinya. Dari kitab-kitab yang mengkaji ilmu  inilah kita bisa mengetahui tsiqoh tidaknya mereka. 



Dari sini kita bisa tahu bahwa kepedulian para ulama ahli hadits untuk menjaga dan membentengi risalah yang agung ini dari upaya-upaya pemalsuan dan kepentingan-kepentingan yang hanya mementingkan kelompok saja.Dan dari sini pula kita bisa tahu bahwa keilmuan dalam Islam begitu hebat, begitu besar karena para ulama hanya mengharap ridho Allah semata.Karena inilah yang diwariskan Rasulullah SAW untuk kita umatnya hingga akhir zaman.



19



DAFTAR PUSTAKA 1 Mohammad Gufron, dan Rahmawati,Ulumul Hadits Praktis dan Mudah, (Yogyakarta: Teras, 2013), hlm. 63 2 .Dr. Mahmud at- Thahan, “Metode Takhrij dan Penelitian Sanad Hadits”, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995, h:100 3. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu‟l-Hadits……. h. 310-311 4.Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu‟l-Hadits……. h. 268 5.Mahmud Ath-Thahan, Taisir Musthalah Al-Hadits, h. 152-154. As-Suyuti, Tadrib arRawi, h. 229-233.



Ahmad Nahrawi Abdus-Salam al-Indunisi, Ensiklopedia imam Syafi’i, (Jakarta: PT Mizan Publika,2008), hal.368



i