Makalah Kegawatdaruratan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUGAS KELOMPOK MATA KULIAH KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN “PERILAKU KEKERASAN”



DISUSUN OLEH Dera Aprianti



P0 5120317 011



Sherly Melinda



P0 5120317 036



Dosen Pembimbing Ns. Ervan, S.Kep, M.Kep, Sp.Kep.J



PRODI SARJANA TERAPAN TK.III JURUSAN KEPERAWATAN POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN BENGKULU



KATA PENGANTAR



1



Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyusun makalah ini yang berjudul “Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan pada Pasien dengan Perilaku Kekerasan” dengan baik. Adapun maksud dan tujuan kami menyusun makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Kegawatdaruratan,penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Ns. Ervan, S.Kep, M.Kep, Sp.Kep.J selaku pembimbing materi dalam pembuatan makalah ini, serta kepada semua pihak yang telah mendukung dalam menyusun makalah ini. Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan yang terdapat dalam makalah ini.Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran kepada berbagai pihak untuk kami jadikan sebagai bahan evaluasi guna meningkatkan kinerja untuk kedepannya. Bengkulu, Maret 2020



Penulis



DAFTAR ISI Halaman Judul………………………………………………………….. 1



2



Kata Pengantar…………………………………………………………. 2 Daftar Isi………………………………………………………………… 3 BAB I Pendahuluan…………………………………………………….. 4 A. Latar belakang……………………………………………………



4



B. Tujuan……………………………………………………………. 5 C. Sistematika Penulisan……………………………………………. 5 BAB II Konsep Kegawatdaruratan…………………………………… A. Airway……………………………………………………………. 7 B. Breathing…………………………………………………………. 10 C. Circulation………………………………………………………..



12



D. Disability…………………………………………………………



13



E. Exposure…………………………………………………………. 15 BAB III Konsep Perilaku Kekerasan………………………………….. 16 A. Konsep Teori Perilaku Kekerasan……………………………….. 16 B. Konsep Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan Jiwa pasien dengan Perilaku Kekerasan………………………………………………. 20 C. Algoritma Perilaku Kekerasan…………………………………… 31 BAB IV Penutup………………………………………………………… A. Kesimpulan……………………………………………………….. B. Saran……………………………………………………………… Daftar Pustaka……………………………………………………………



BAB I PENDAHULUAN



3



A. Latar Belakang Asuhan keperawatan gawat darurat adalah rangkaian kegiatan praktek keperawatan gawat darurat yang diberikan kepada klien oleh perawat yang berkompeten di ruang gawat darurat. Asuhan keperawatan yang diberikan meliputi biologis, psikologis, dan sosial klien baik aktual yang timbul secara bertahap maupun mendadak (Dep.Kes RI, 2005). Pengkajian pada kasus gawat darurat dibedakan menjadi dua, yaitu : pengkajian primer dan pengkajian sekunder. Pertolongan kepada pasien gawat darurat dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan survei primer untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang mengancam hidup pasien, barulah selanjutnya dilakukan survei sekunder. Tahapan pengkajian primer meliputi : A: Airway, mengecek jalan nafas dengan tujuan menjaga jalan nafas disertai control servikal; B: Breathing, mengecek pernafasan dengan tujuan mengelola pernafasan agar oksigenasi adekuat; C: Circulation, mengecek sistem sirkulasi disertai kontrol perdarahan; D: Disability, mengecek status neurologis; E: Exposure, enviromental control, buka baju penderita tapi cegah hipotermia (Holder, 2002). Pengkajian yang dilakukan secara terfokus dan berkesinambungan akan menghasilkan data yang dibutuhkan untuk merawat pasien sebaik mungkin. Dalam melakukan pengkajian dibutuhkan kemampuan kognitif, psikomotor, interpersonal, etik dan kemampuan menyelesaikan maslah dengan baik dan benar. Perawat harus memastikan bahwa data yang dihasilkan tersebut harus dicatat, dapat dijangkau, dan dikomunikasikan dengan petugas kesehatan yang lain. Pengkajian yang tepat pada pasien akan memberikan dampak kepuasan pada pasien yang dilayani (Kartikawati, 2012). Oleh karena itu diperlukan perawat yang mempunyai kemampuan atau ketrampilan yang bagus dalam mengaplikasikan asuhan keperawatan gawat darurat untuk mengatasi berbagai permasalahan kesehatan baik aktual atau potensial mengancam kehidupan tanpa atau terjadinya secara mendadak atau tidak di perkirakan tanpa atau disertai kondisi lingkungan yang tidak dapat dikendalikan. Keberhasilan pertolongan terhadap penderita gawat darurat



4



sangat tergantung dari kecepatan dan ketepatan dalam melakukan pengkajian awal yang akan menentukan keberhasilan Asuhan Keperawatan pada system kegawatdaruratan pada pasien dewasa. Dengan Pengkajian yang baik akan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan. Aspek – aspek yang dapat dilihat dari mutu pelayanan keperawatan yang dapat dilihat adalah kepedulian, lingkungan fisik, cepat tanggap, kemudahan bertransaksi, kemudahan memperoleh informasi, kemudahan mengakses, prosedur dan harga (Joewono, 2003). B. Tujuan 1. Mampu menyebutkan mengenai konsep KGD 2. Mengetahui tentang konsep kegawatdaruratan jiwa : perilaku kekerasan 3. Mampu membuat konsep askep pada pasien kegawatdaruratan jiwa 4. Mampu membuat algoritma C. Sistematika Penulisan Halaman Judul Kata Pengantar Daftar Isi BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang B. Tujuan C. Sistemtika Penulisan BAB II Konsep Kegawatdaruratan A. Airway B. Breathing C. Circulation D. Disability E. Exposure BAB III Konsep Perilaku Kekerasan



5



A. Konsep Teori Perilaku Kekerasan B. Konsep Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan Jiwa Pada Pasien dengan Perilaku Kekerasan C. Algoritma Perilaku Kekerasan BAB IV Penutup A. Kesimpulan B. Saran Daftar Pustaka



BAB II KONSEP KEGAWATDARURATAN



6



A. Airway Keadaan kurangnya darah yang teroksigenasi ke otak dan organ vital lainnya merupakan pembunuh pasien-pasien trauma yang paling cepat. Obstruksi airway akan menyebabkan kematian dalam hitungan beberapa menit. Gangguan pernapasan biasanya membutuhkan beberapa menit lebih lama untuk menyebabkan kematian dan masalah sirkulasi biasanya lebih memakanwaktu yang lebih lama lagi. Maka dari itu, penilaian airway harus dilakukan dengan cepat begitu memulai penilaian awal. (Greaves,2006) Menurut ATLS 2009, kematian-kematian dini yang disebabkan masalah airway, dan yang masih dapat dicegah, sering disebabkan oleh : 1.



Kegagalan mengetahui adanya kebutuhanairway



2.



Ketidakmampuan untuk membukaairway



3.



Kegagalan mengetahui adanya airway yang dipasang secarakeliru



4.



Perubahan letak airway yang sebelumnya telahdipasang



5.



Kegagalan mengetahui adanya kebutuhanventilasi



6.



Aspirasi isilambung



Tecapainya patensi airway merupakan hal yang sangat esensial dalam penanganan awal pasien-pasien gawat darurat. Penilaian tentang mampu atau tidaknya seseorang bernapas secara spontan harus dilakukan secara cepat. Menurut Bersten dan Soni (2009) dalam Higginson dan Parry (2013), untuk menilai patensi airway secara cepat dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan kepada pasien. Respon verbal yang normal menandakan dengan cepat kepada penolong bahwa pasien memiliki airway yang paten, sudah bernapas, dan otaknya sudah dalam keadaan diperfusi. Namun begitu, penilaian airway tetap penting untuk dilakukan. Apabila



7



pasien hanya dapat berbicara sepatah dua patah kata ataupun tidak respon, pasien kemungkinan dalam keadaan distress nafas dan membutuhkan pertolongan bantuan napas secaracepat. Dalam mengatasi obstruksi airway, terlebih dahulu dilakukan suctioning untuk mengeluarkan cairan saliva berlebih yang mungkin timbul akibat pangkal lidah yang terjatuh. (American College of Surgeons, 2009) Tindakan suctioning yang tepat dalam pemeliharaan airway dapat secara signifikan menurunkan kejadian aspirasi dan lebih banyak lagi hasil positif yang didapatkan. (Walter, 2002) Pada keadaan tidak sadarkan diri, penyebab tersering terhambatnya airway adalah pangkal lidah yang jatuh. Selain itu, penolong juga harus melakukan inspeksi tentang ada tidaknya benda-benda asing yang menghambat airway ataupun kemungkinan terjadinya fraktur fasial, mandibular ataupun trakeal/laringeal yang juga dapat menghambat bebasnya airway. Pasienpasien dalam keadaan penurunan kesadaran ataupun GCS (Glasgow Coma Score) yang nilainya 8 ke bawah perlu diberikan pemasangan airway definitif. Adanya gerakan-gerakan motorik tidak bertujuan juga biasanya mengindikasikan perlunya pemasangan airway definitif. (American College of Surgeons, 2009) Tanda obstruksi jalan nafas antara lain : •



Suara berkumur







Suara nafas abnormal (stridor,dsb)







Pasien gelisah karenahipoksia







Bernafas menggunakan otot nafas tambahan / gerak dadaparadoks







Sianosis Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan harus dikerjakan



dengan cepat dan tepat. Berbagai bentuk sumbatan pada airway dapat dengan segera diperbaiki dengan cara mengangkat dagu (chin lift maneuver) dan memiringkan kepala (head tilt) maneuver), atau dengan mendorong rahang bawah ke arah depan (jaw thrust maneuver). Airway selanjutnya dapat dipertahankan dengan orofaringeal (oropharyngeal airway) atau



8



nasofaringeal (nasopharingeal airway). Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka airway dapat menyebabkan atau memperburuk cedera spinal. Adanya suspek cedera pada spinal mengindikasikan dilakukannya tindakan imobilisasi spinal (in-line immobilization) (Haskell,2006).Teknikteknik mempertahankan airway: 1.



Head-tilt Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan horizontal, kecuali pada pembersihan airway dimana bahu dan kepala pasien harus direndahkan dengan posisi semilateral untuk memudahkan drainase lendir, cairan muntah atau benda asing. Kepala diekstensikan dengan cara meletakkan satu tangan di bawahleherpasien dengan sedikit mengangkat leher ke atas. Tangan lain diletakkan pada dahi depan pasien sambil mendorong / menekan ke belakang. Posisi ini dipertahankan sambil berusaha dengan memberikan inflasi bertekanan positif secara intermitten. (Alkatri, 2007)



2. Chin-lift Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian secara hati – hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari tangan yang sama, dengan ringan menekan bibir bawah untuk membuka mulut, ibujari dapat juga diletakkan di belakang gigi seri (incisor) bawah dan, secara bersamaan, dagu dengan hati – hati diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan hiperekstensi leher. Manuver ini berguna pada korban trauma karena tidak membahayakan penderita dengan kemungkinan patah ruas rulang leher atau mengubah patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang dengan cedera spinal. (Nasution,2009) 3. Jaw-thrust Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada mandibula, jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada angulus



9



mandibula, jari tengah dan telunjuk kanan dan kiri beradapada ramus mandibula sedangkan ibu jari kanan dan kiri berada pada mentum mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas melewati molar pada maxila (Arifin, 2012).



Jaw-thrust maneuver dengan in-line immobilization (sumber :Advance Trauma Life Support – Student Course Manual, 2009)



B. Breathing Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang baik terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. (American College of Surgeons, 2009) Ventilasi adalah pergerakan dari udara yang dihirup kedalam dengan yang dihembuskan ke luar dari paru. Pada awalnya, dalam keadaan gawat darurat, apabila teknik-teknik sederhana seperti head-tilt maneuver dan chin-lift maneuver tidak berhasil mengembalikan ventilasi yang spontan, maka penggunaan bag- valve mask adalah yang paling efektif untuk membantu ventilasi (Higginson dan Parry,2013). Teknik ini efektif apabila dilakukan oleh dua orang dimana kedua tangan dari salah satu penolong dapat digunakan untuk menjamin kerapatan yang baik.



10



(American



College



Berikut adalah



of



Surgeons,



cara



melakukan



2009). pemasangan



bag-valve mask (Arifin, 2012): 1. Posisikan kepala lurus dengantubuh 2. Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila sungkup muka dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada kebocoran) 3. Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagianmulut) 4. Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus mandibula, jari manis dan tengah memegang ramus mandibula, ibu jari dan telunjuk memegang dan memfiksasi sungkupmuka. 5. Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala pasien 6. Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah dipasangkan 7. Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama (tangan kanan dan kiri memegang mandibula dan sungkup muka bersama-sama) 8. Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar,rasa) 9. Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi sungkup muka, sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang bag (kantong) reservoir sekaligus pompa nafas bantu (squeeze-bag).



11



Penilaian ventilasi yang adekuat atau tidak dapat dilakukan dengan melakukan metode berikut (American College of Surgeons, 2009) : -



Look : Lihat naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan dinding dada yang adekuat. Asimeteri menunjukkan pembelatan (splinting) atau flail chest dan tiap pernapasan yang dilakukan dengan susah (labored breathing) sebaiknya harus dianggap sebagai ancaman terhadap oksigenasipenderita.



-



Listen : Dengar adanya pergerakan udara pada kedua sisi dada. Penurunan atau tidak terdengarnya suara nafas pada satu atau kedua



hemitoraks merupakan tanda akan adanya cedera dada. Hati-hati terhadap adanya laju pernafasan yang cepat – takipnea mungkin menunjukkan kekurangan oksigen. -



Gunakan pulse oxymeter. Alat inimampu memberikan informasi tentang saturasi oksigen dan perfusi perifer penderita, tetapi tidak memastikan adanya ventilasi yangadekuat.



Pada



saat



penilaian



sebelumnya



dilakukan,



penolong



harus



mengetahui dan mengenal ciri-ciri gejala dari keadaan-keadaan yang sering muncul dalam masalah ventilasi pasien gawat darurat seperti tension pneumothorax, massive hemothorax, dan open pneumothorax (Arifin, 2012).



C. Circulation Masalah sirkulasi pada pasien-pasien trauma dapat diakibatkan oleh banyak jenis perlukaan. Volume darah, cardiac outptut, dan perdarahan adalah masalah sirkulasi utama yang perlu dipertimbangkan. (American College of Surgeons,2009) Dalam menilai status hemodinamik, ada 3 penemuan klinis yang dalam hitungan detik dapat memberikan informasi tentang ini :



12



a. Tingkat Kesadaran Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang akan mengakibatkan penurunan kesadaran (jangan dibalik, penderita yang sadar belum tentu normovolemik). b. WarnaKulit Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia. Penderita trauma yang kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas, jarang yang dalam keadaan hipovolemia. Sebaliknya, wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat, merupakan tanda hipovolemia. c. Nadi Periksalah pada nadi yang besar seperti



Femoralis atau Karotis



(kiri- kanan) untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Nadi yang tidak



cepat,



kuat



dan



teratur



biasanya



merupakan



tanda



normovolemia (bila penderita tidak minum obat beta-blocker). Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia, walaupun dapat disebabkan keadaan yang lain. Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan bahwa normovolemia. Nadi yang tidak teratur biasanya merupakan tanda gangguan jantung. Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan tanda diperlukannya resusitasi segera. Perdarahan eksternal harus cepat dinilai, dan segera dihentikan bila ditemukan dengan cara menekan pada sumber perdarahan baik secara manual maupun dengan menggunakan perban elastis. Bila terdapat gangguan sirkulasi harus dipasang sedikitnya dua IV line, yang berukuran besar. Kemudian lakukan pemberian larutan Ringer laktat sebanyak 2 L sesegera mungkin (American College of Surgeons, 2009).



13



D. Disability Menjelang akhir dari primary survey, dilakukan suatu pemeriksaan neurologis yang cepat. Pemeriksaan neurologis ini terdiri dari pemeriksaan tingkat kesadaran pasien, ukuran dan respon pupil, tanda-tanda lateralisasi, dan tingkat cedera korda spinalis. (American College of Surgeons, 2009) Tingkat kesadaran yang abnormal dapat menggambarkan suatau spektrum keadaan yang luas mulai dari letargi sampai status koma. Perubahan apapun yang mengganggu jaras asending sistem aktivasi retikular dan sambungannya yang sangat banyak dapat menyebabkan gangguan tingkat kesadaran. (Smith, 2010) Cara cepat dalam mengevaluasi status neurologis yaitu dengan menggunakan AVPU, sedangkan GSC (Glasgow Coma Scale) merupakan metode yang lebih rinci dalam mengevaluasi status neurologis, dan dapat dilakukan pada saat surveysekunder. AVPU,yaitu: A : Alert V : Respon to verbal P : Respon to pain U :Unrespon GSC (Glasgow Coma Scale) adalah sistem skoring yang sederhana untuk menilai tingkat kesadaran pasien. 1. Menilai “eye opening” penderita (skor 4-1) Perhatikan apakah penderita: a. Membuka mataspontan b. Membuka mata jika dipanggil, diperintah ataudibangunkan c. Membuka mata jika diberi rangsangan nyeri (dengan



14



menekan ujung kuku jaritangan) d. Tidak memberikanrespon 2. Menilai “best verbal response” penderita (skor 5-1) Perhatikan apakah penderita: a. Orientasi baik dan mampuberkomunikasi b. Disorientasi ataubingung c. Mengucapkan kata-kata tetapi tidak dalam bentukkalimat d. Mengerang (mengucapkan kata -kata yang tidak jelasartinya) e. Tidak memberikanrespon 3. Menilai “best motor respon” penderita (skor 6-1) Perhatikan apakah penderita: a. Melakukan gerakan sesuaiperintah b. Dapat melokalisasi rangsangannyeri c. Menghindar terhadap rangsangannyeri d. Fleksi abnormal(decorticated) e. Ektensi abnormal(decerebrate) f. Tidak memberikanrespon Range skor : 3-15 (semakin rendah skor yang diperoleh, semakin jelek kesadaran) E. Exposure Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa punggung dengan memiringkan pasien dengan cara log roll. Selanjutnya selimuti penderita dengan selimut kering dan hangat, ruangan yang cukup hangat dan diberikan cairan intra-vena yang sudah dihangatkan untuk mencegah agar pasien tidak hipotermi. (Nasution, 2009)



15



KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN DENGAN PERILAKU KEKERASAN A. Konsep Teori 1. Pengertian Perilaku Kekerasan Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan hilangnya kendali perilaku seseorang yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain, atau lingkungan.Perilaku kekerasan pada diri sendiri dapat berbentuk melukai diri untuk bunuh diri atau membiarkan diri dalam bentuk penelantaran diri. Perilaku kekerasan pada orang adalah tindakan agresif yang ditujukan untuk melukai atau membunuh orang lain. Perilaku kekerasan pada lingkungan dapat berupa perilaku merusak lingkungan, melempar kaca, genting, dan semua yang ada di lingkungan. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tidak terkontrol (Kusumawati dan Hartono, 2010) Perilaku kekerasan merupakan bagian dari rentang respons marah yang paling maladaptif, yaitu amuk.Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respons terhadap kecemasan (kebutuhan yang tidak terpenuhi) yang dirasakan sebagai ancaman.(Stuart dan Sundeen, 1991).Amuk merupakan respons kemarahan yang paling maladaptif yang ditandai dengan perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai hilangnya kontrol, yang individu dapat merusak diri sendiri, orang lain, atau lingkungan (Keliat, 1991). 2. Rentang Respon Marah Adaptif Asertif



Maladaptif Frustasi



Pasif Agresif Amuk



Keterangan: a. Asertif



: Kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain



b. Frustasi



: Kegagalan mencapai tujuan, tidak realitas/terhambat.



16



c. Pasif



: Respons



lanjutan



yang



pasien



mengungkapkan perasaan. d. Agresif



: Perilaku destruktif tapi masih terkontrol.



e. Amuk



: Perilaku destruktif yang tidak terkontrol.



3. Gejala atau tanda marah (perilaku) a. Emosi 1) Tidak adekuat 2) Tidak aman 3) Rasa terganggu 4) Marah (dendam) 5) Jengkel b. Intelektual 1) Mendominasi 2) Bawel 3) Sarkasme 4) Berdebat 5) Meremehkan c. Fisik 1) Muka merah 2) Pandangan tajam 3) Napas pendek 4) Keringat 5) Sakit fisik 6) Penyalahgunaan zat 7) Tekanan darah meningkat d. Spiritual 1) Kemahakuasaan 2) Kebijakan/kebenaran diri 3) Keraguan 4) Tidak bermoral 5) Kebejatan 6) Kreativitas terlambat



e. Sosial



17



tidak



mampu



1) Menarik diri 2) Pengasingan 3) Penolakan 4) Kekerasan 5) Ejekan 6) Humor



4. Proses Terjadinya Marah Ancaman atau kebutuhan Stres Cemas Marah Merasa kuat



Mengungkapkan secara vertikal



Menantang



Menjaga keutuhan



Masalah tidak selesai Marah berkepanjangan



Merasa tidak adekuat



Menantang orang lain



Lega



Mengingkari Marah



ketegangan menurun



Marah tidak terungkap



Rasa Marah Teratasi Muncul Rasa Bermusuhan Rasa Bermusuhan Menahun Marah pada diri sendiri



Marah pada orang lain /lingkungan



Depresi psikosomatik



Agresif/mengamuk



18



Gambar.Konsep Marah (Beck, Rawlins, Williams, 1986: 447 dikutip oleh Keliat dan Sinaga, 1991:8) 5. Proses terjadinya amuk Amuk merupakan respons kemarahan yang paling maladaptif yang ditandai dengan perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai hilangnya kontrol, yang individu dapat merusak diri sendiri, orang lain, atau lingkungan (Keliat, 1991).Amuk adalah respons marah terhadap adanya stres, rasa cemas, harga diri rendah, rasa bersalah, putus asa, dan ketidakberdayaan. Respons



marah



dapat



diekspresikan



secara



internal



atau



eksternal.Secara internal dapat berupa perilaku yang tidak asertif dan merusak diri, sedangkan secara eksternal dapat berupa perilaku destruktif agresif. Respons marah dapat diungkapkan melalui tiga cara yaitu (1) mengungkapkan secara verbal, (2) menekan, dan (3) menantang. Mengekspresikan rasa marah dengan perilaku konstruktif dengan menggunakan katakata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti orang lain akan memberikan kelegaan pada individu. Apabila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku agresif dan menentang, biasanya dilakukan karena ia merasa kuat. Cara ini menimbulkan masalah yang berkepanjangan dan dapat menimbulkan tingkah laku yang destruktif dan amuk.



19



B. Konsep Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan pada pasien dengan perilaku kekerasan 1. Triase Tahapan triase dilakukan rapid assessment/screening assessment yang dilakukan berdasarkan protap. Pengkajian ini harus meliputi nama pasien, tanggal lahir, nomor tanda pengenal (KTP/ SIM/paspor), alamat, nomor telepon, serta nama dan nomor telepon orang terdekat pasien yang dapat dihubungi. Selain itu, juga disertakan tanda vital dan keluhan utama dengan skor RUFA untuk menentukan perlu tidaknya dirawat di unit UPIP dan bila dirawat untuk menentukan level/fase intensif pasien. Sementara pihak medis melakukan pengkajian dengan menggunakan skala GAF a. Fase Intensif I (24 Jam Pertama) 1) Prinsip tindakan a) Penyelamatan hidup (life saving). b) Mencegah cedera pada pasien, orang lain, dan lingkungan. 2) Indikasi Pasien dengan skor 1–10 skala RUFA. 3) Pengkajian Hal-hal yang harus dikaji adalah sebagai berikut. a) Riwayat perawatan yang lalu. b) Psikiater/perawat jiwa yang baru-baru ini menangani pasien (bila memungkinkan). c) Diagnosis gangguan jiwa di waktu yang lalu yang mirip dengan tanda dan gejala yang dialami pasien saat ini. d) Stresor sosial, lingkungan, dan kultural yang menimbulkan masalah pasien saat ini. e) Kemampuan dan keinginan pasien untuk bekerja sama dalam proses perawatan. f) Riwayat pengobatan dan respons terhadap terapi, yang mencakup jenis obat yang didapat, dosis, respons terhadap obat, efek samping dan kepatuhan minum obat, serta daftar



20



obat terakhir yang diresepkan dan nama dokter yang meresepkan. g) Pemeriksaan kognitif untuk mendeteksi kerusakan kognitif atau neuropsikiatrik. h) Tes kehamilan untuk semua pasien perempuan usia subur. Pengkajian lengkap harus dilakukan dalam 3 jam pertama. Selain itu, pasien harus sudah diperiksa dalam 8 jam pertama. Pasien yang berada dalam kondisi yang sangat membutuhkan penanganan



harus



segera



dikaji



dan



bertemu



dengan



psikiater/petugas kesehatan jiwa dalam 15 menit pertama. 4. Intervensi 4) Intervensi untuk fase ini adalah observasi ketat, yakni sebagai berikut. a) Bantuan



pemenuhan



kebutuhan



dasar



(makan,



minum,



perawatan diri). b) Manajemen pengamanan pasien yang efektif (jika dibutuhkan). c) Terapi modalitas yang dapat diberikan pada fase ini adalah terapi musik. 5) Evaluasi a) Evaluasi dilakukan setiap sif untuk menentukan apakah kondisi pasien memungkinkan untuk dipindahkan ke ruang intensif II. b) Bila kondisi pasien di atas 10 skala RUFA maka pasien dapat dipindahkan ke intensif II. b. Fase Intensif II (24–72 Jam Pertama) 1) Prinsip tindakan a) Observasi lanjutan dari fase krisis (intensif I). b) Mempertahankan pencegahan cedera pada pasien, orang lain, dan lingkungan. 2) Indikasi Pasien dengan skor 11–20 skala RUFA 3) Intervensi



21



Intervensi untuk fase ini adalah observasi frekuensi dan intensitas yang lebih rendah dari fase intensif I. Terapi modalitas yang dapat diberikan pada fase ini adalah terapi musik dan terapi olahraga. 4) Evaluasi a) Evaluasi dilakukan setiap sif untuk menentukan apakah kondisi pasien memungkinkan untuk dipindahkan ke ruang intensif III. b) Bila kondisi pasien di atas skor 20 skala RUFA, maka pasien dapat dipindahkan ke intensif III. Bila di bawah skor 11 skala RUFA, maka pasien dikembalikan ke fase intensif I. c. Fase Intensif III (72 Jam–10 Hari) 1) Prinsip tindakan a) Observasi lanjutan dari fase akut (intensif II). b) Memfasilitasi perawatan mandiri pasien 2) Indikasi Pasien dengan skor 21–30 skala RUFA. 3) Intervensi Intervensi untuk fase ini adalah sebagai berikut. a) Observasi dilakukan secara minimal. b) Pasien lebih banyak melakukan aktivitas secara mandiri. c) Terapi modalitas yang dapat diberikan pada fase ini adalah terapi musik, terapi olahraga, dan terapi keterampilan hidup (life skill therapy). 4) Evaluasi a) Evaluasi dilakukan setiap sif untuk menentukan apakah kondisi pasien memungkinkan untuk dipulangkan. b) Bila kondisi pasien diatas skor 30 skala RUFA, maka pasien dapat dipulangkan dengan mengontak perawat CMHN terlebih dahulu. Bila di bawah skor 20 skala RUFA, maka pasien dikembalikan ke fase intensif II, serta jika di bawah skor 11 skala RUFA, maka pasien dikembalikan ke fase intensif I.



22



2. Pengkajian Pengkajian pasien dengan masalah keperawatan perilaku kekerasan di ruang UPIP terbagi dalam tiga kelompok berdasarkan skala RUFA.



Aspek



Perilaku



Intensif I 24 jam (Skor



Intensif II 24-72 Jam



1-10)



(Skor 11-20)



Melukai orang



diri lain,



lingkungan,



sendiri,



Menentang,



merusak



mata melotot



mengancam,



Intensif III 72 Jam-10 hari (skor 21-30) Menentang



mengamuk,



menentang, mengancam, mata melotot Verbal



Emosi



Bicara



kasar,



intonasi



Bicara



kasar,



intonasi



sedang,



tinggi, menghina orang



sedang, menghina orang



menghina



lain, menuntut, berdebat



lain, menuntut, berdebat



berdebat



Labil, mudah tersinggung,



Labil, mudah tersinggung,



Labil,



ekspresi tegang, marah-



ekspresi tegang, dendam



tersinggung,



marah, dendam, merasa



merasa tidak aman



tegang,



tidak aman.



Fisik



Intonasi



orang



lain,



mudah merasa



ekspresi tidak



aman.



Muka merah, pandangan



Pandangan tajam, tekanan



Pandangan



tajam,



darah meningkat



tekanan darah menurun.



pendek,keringat



napas



tajam,



(+),



tekanan darah meningkat



Tabel. Kelompok Pengkajian Masalah Keperawatan Perilaku Kekerasan



3. Asuhan Keperawatan Intensif I (24 Jam Pertama) a. Tindakan keperawatan 1) Tujuan Pasien tidak membahayakan dirinya, orang lain, dan lingkungan. 2) Tindakan



23



a) Komunikasi terapeutik 



Bicara dengan tenang.







Vokal jelas dan nada suara tegas.







Intonasi rendah.







Gerakkan tidak tergesa-gesa.







Pertahankan posisi tubuh.







Jaga jarak 1–3 langkah dari pasien.



b) Siapkan lingkungan yang aman 



Lingkungan tenang.







Tidak



ada



barang-barang



yang



berbahaya



atau



singkirkan semua benda yang membahayakan. c) Kolaborasi 



Ukur tanda vital, seperti tekanan darah, nadi, dan suhu.







Jelaskan secara singkat pada pasien tentang tindakan kolaborasi yang akan dilakukan.







Berikan obat-obatan sesuai standar medik seperti transquiliser sesuai program terapi. Pengobatan dapat berupa suntikan valium 10 mg IM/IV 3–4 × 1 amp/hari dan suntikan Haloperidol (Serenace) 5 mg, 3–4 × 1 amp/ hari.



 d)



Pantau keefektifan obat-obatan dan efek sampingnya.



Observasi pasien setiap 15 menit sekali. Catat adanya peningkatan atau penurunan perilaku (yang harus diperhatikan oleh perawat terkait dengan perilaku, verbal, emosi, dan fisik).



e) Jika perilaku pasien tidak terkendali dan semakin tidak terkontrol, serta terus mencoba melukai dirinya sendiri, orang lain, dan merusak lingkungan, maka dapat dilakukan tindakan pembatasan gerak. Jika perilaku masih tidak terkendali, maka dapat



dilakukan



pengekangan.



Tindakan



merupakan tindakan akhir yang dapat dilakukan. f) Tindakan pembatasan gerak/pengekangan



24



pengekangan







Jelaskan tindakan yang akan dilakukan bukan sebagai hukuman melainkan untuk mengamankan pasien, orang lain, dan lingkungan dari perilaku pasien yang kurang terkontrol.







Siapkan ruang isolasi/alat pengekang (restrain).







Lakukan kontrak untuk mengontrol perilakunya.



b. Jika tindakan pengekangan dilakukan, maka lakukan hal berikut. 1) Lakukan pengikatan pada ekstremitas dengan petunjuk ketua tim. 2) Lakukan observasi pengekangan dengan skala RUFA setiap 2 jam. 3) Perawatan pada daerah pengikatan. a) Pantau kondisi kulit yang diikat, seperti warna, temperatur, sensasi. b) Lakukan latihan gerak pada tungkai yang diikat secara bergantian setiap dua jam. c) Lakukan perubahan posisi pengikatan. 4) Libatkan dan latih pasien untuk mengontrol perilaku sebelum ikatan dibuka secara bertahap. 5) Kurangi pengekangan secara bertahap, misalnya ikatan dibuka satu per satu secara bertahap. 6) Jika pasien sudah mulai dapat mengontrol perilakunya, maka pasien sudah dapat dicoba untuk bersama dengan pasien lain dengan terlebih dahulu membuat kesepakatan yaitu jika kembali perilakunya tidak terkontrol maka pasien akan diisolasi atau pengekangan kembali. c. Tindakan keperawatan untuk kelurga. 1) Tujuan a) Keluarga mampu mengenal masalah perilaku kekerasan pada anggota keluarganya. b) Keluarga mampu memahami proses terjadinya masalah perilaku kekerasan. c) Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami masalah perilaku kekerasan.



25



d) Keluarga mampu mempraktikkan cara merawat pasien dengan perilaku kekerasan di level intensif I. 2) Tindakan keperawatan a) Diskusikan tentang pengertian perilaku kekerasan. b) Diskusikan tentang tanda dan gejala perilaku kekerasan. c) Diskusikan tentang penyebab dan akibat dari perilaku kekerasan. d) Diskusikan cara merawat pasien dengan perilaku kekerasan dengan cara mengajarkan teknik relaksasi napas dalam. e) Jelaskan tentang terapi obat pasien pada level intensif I. d. Evaluasi Evaluasi respons umum adapatasi pasien dilakukan setiap akhir sif oleh perawat.Pada pasien perilaku kekerasan evaluasi meliputi hal sebagai berikut. 1) Perilaku, seperti menentang, mengancam, mata melotot. 2) Verbal, seperti bicara kasar, intonasi sedang, menghina orang lain, menuntut, dan berdebat. 3) Emosi, seperti labil, mudah tersinggung, ekspresi tegang, merasa tidak aman. 4) Fisik, seperti pandangan tajam, tekanan darah masih meningkat. e. Rujukan Hasilnya adalah jika kondisi tersebut tercapai, perawatan dilanjutkan pada level intensif II, sedangkan jika tidak tercapai, maka pasien tetap berada di perawatan level intensif I. f. Dokumentasi Dokumentasikan semua tindakan yang sudah dilaksanakan dan hasil evaluasi dari tindakan tersebut.Sertakan juga alasan tindakan dari pembatasan



gerak/pengekangan



dan



pembatasan gerak/pengekangan. 4. Asuhan Keperawatan Intensif II (25–72 Jam) a. Tindakan keperawatan



26



alasan



penghentian



dari



1) Tujuan Pasien tidak membahayakan dirinya, orang lain, dan lingkungan. 2) Tindakan a) Komunikasi terapeutik 



Bicara dengan tenang.







Vokal jelas dan nada suara tegas.







Intonasi rendah.







Gerakkan tidak tergesa-gesa.







Pertahankan posisi tubuh.







Jaga jarak 1–3 langkah dari pasien.



b) Siapkan lingkungan yang aman 



Lingkungan tenang.







Tidak ada barang-barang yang berbahaya atau singkirkan semua benda yang membahayakan.



c) Kolaborasi 



Berikan



obat-obatan



sesuai



standar



medik



seperti



transquiliser sesuai program terapi. Pengobatan dapat berupa suntikan valium 10 mg IM/IV 3–4 × 1 amp/ hari dan suntikan Haloperidol (Serenace) 5 mg, 3–4 × 1 amp/hari. 



Jelaskan pada pasien jika ada perubahan dalam terapi medis seperti penambahan obat oral.







Pantau keefektifan obat-obatan dan efek sampingnya.



d) Buat



perjanjian



dengan



pasien



untuk



mempertahankan



perilakunya. 



Bantu pasien menggunakan kontrol diri yang diperlukan, seperti latihan mengendalikan emosi secara fisik, misalnya memukul sansak.







Latih pasien minum obat secara teratur dengan prinsip lima benar (benar nama pasien, benar nama obat, benar cara minum obat, benar waktu minum obat, dan benar



27



dosis obat) disertai penjelasan guna obat dan akibat berhenti minum obat.



3) Evaluasi Evaluasi respons umum adaptasi pasien dilakukan setiap akhir sif oleh perawat.Pada pasien perilaku kekerasan evaluasi meliputi berikut. a) Perilaku, seperti menentang, mengancam, mata melotot. b) Verbal, seperti bicara kasar, intonasi sedang, menghina orang lain, menuntut, dan berdebat. c) Emosi, seperti labil, mudah tersinggung, ekspresi tegang, merasa tidak aman. d) Fisik: pandangan tajam, tekanan darah masih meningkat. 4) Rujukan Hasilnya yaitu jika kondisi tersebut tercapai, perawatan dilanjutkan pada level intensif III, sedangkan jika tidak tercapai, maka pasien tetap berada di perawatan level intensif I. 5) Dokumentasi Dokumentasikan semua tindakan yang sudah dilaksanakan dan hasil evaluasi dari tindakan tersebut serta alasan tindakan dari pembatasan gerak atau pengekangan. 5. Asuhan Keperawatan Intensif III (72 Jam–10 Hari) a. Tindakan Keperawatan 1) Tujuan Pasien tidak melakukan tindakan kekerasan. 2) Tindakan a) Komunikasi terapeutik. 



Bicara dengan tenang.







Vokal jelas dan nada suara tegas.







Intonasi rendah.



28







Gerakkan tidak tergesa-gesa.







Pertahankan posisi tubuh.







Jaga jarak 1–3 langkah dari pasien.



b) Siapkan lingkungan yang aman. 



Lingkungan tenang.







Tidak ada barang-barang yang berbahaya atau singkirkan semua benda yang membahayakan.



c) Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan. 



Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik.







Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara psikologis.







Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara sosial.







Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara spiritual.







Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara intelektual.







Diskusikan bersama pasien perilaku yang biasa dilakukan pada saat marah secara verbal terhadap orang lain, diri sendiri, dan lingkungan.







Diskusikan bersama pasien akibat perilakunya.







Diskusikan bersama pasien cara mengontrol perilaku kekerasan secara sosial/verbal (menyatakan secara asertif rasa marahnya), spiritual (sholat/ berdoa sesuai keyakinan pasien), dan obat.



d) Kolaborasi 



Berikan obat-obatan sesuai standar atau program terapi medis yaitu obat oral seperti Haloperidol 5 mg 3 × 1 tablet/hari dan artane atau arkine 2 mg 3 × 1 tablet/hari.







Pantau keefektifan obat-obatan dan efek sampingnya.







Observasi tanda-tanda vital setiap 8 jam.



29



e) Observasi 



Observasi perilaku dalam 24 jam.







Libatkan dalam terapi aktivitas kelompok.



b. Tindakan keperawatan untuk keluarga. 1) Tujuan Keluarga dapat merawat pasien di rumah. 2) Tindakan a) Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien. b) Diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan (penyebab, tanda dan gejala, serta perilaku yang muncul dan akibat dari perilaku tersebut). c) Diskusikan bersama keluarga kondisi-kondisi pasien yang perlu segera dilaporkan kepada perawat, seperti melempar atau memukul benda/orang lain. d) Latih keluarga merawat pasien dengan perilaku kekerasan. 



Anjurkan keluarga untuk memotivasi pasien melakukan tindakan yang telah diajarkan oleh perawat.







Ajarkan keluarga untuk memberikan pujian kepada pasien bila pasien dapat melakukan kegiatan tersebut secara tepat.







Diskusikan



bersama



keluarga



tindakan



yang



harus



dilakukan bila pasien menunjukkan gejala perilaku kekerasan. 



Buat perencanaan pulang bersama keluarga.



3) Evaluasi Evaluasi respons umum adaptasi pasien dilakukan setiap akhir sif oleh perawat.Pada pasien perilaku kekerasan evaluasi meliputi hal berikut. a) Perilaku, seperti menentang, mengancam, mata melotot. b) Verbal, seperti bicara kasar, intonasi sedang, menghina orang lain, menuntut, dan berdebat.



30



c) Emosi, seperti labil, mudah tersinggung, ekspresi tegang, merasa tidak aman. d) Fisik,



seperti



pandangan



tajam,



tekanan



darah



masih



meningkat. 4) Rujukan Hasilnya adalah jika kondisi tersebut tercapai, maka perawatan dilanjutkan pada keluarga dan dirujuk ke perawat CMHN. 5) Dokumentasi Dokumentasikan semua tindakan yang sudah dilaksanakan dan hasil evaluasi dari tindakan tersebut serta surat rujukan. C. Algoritma



31



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Asuhan keperawatan gawat darurat adalah rangkaian kegiatan praktek keperawatan gawat darurat yang diberikan kepada klien oleh perawat yang berkompeten di ruang gawat darurat. Asuhan keperawatan yang diberikan meliputi biologis, psikologis, dan sosial klien baik aktual yang timbul secara bertahap maupun mendadak (Dep.Kes RI, 2005). Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain : 1. Menyerang atau menghindar (fight of flight) 2. Menyatakan secara asertif (assertiveness) 3. Memberontak (acting out) 4. Perilaku kekerasan Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan B. Saran Perawat hendaknya menguasai asuhan keperawatan pada klien dengan masalah perilaku kekerasan sehingga bisa membantu klien dan keluarga dalam mengatasi masalahnya. Perilaku kekerasan dapat di cegah dengan 1. Selalu berfikir positif akan segala hal 2. Selalu mendekatkan diri pada tuhan yang maha esa 3. Menyibukkan diri dengan kegiatan positif 4. Jangan mencoba sesuatu yang tidak baik



32



33



DAFTAR PUSTAKA Keliat, Ana Budi. Dkk. 2009. Model Praktik Keperawatan professional Jiwa, Jakarta; EGC Keliat, Ana Budi. Dkk. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Jakarta; EGC Yosep, Iyus. 2007.  Keperawatan Jiwa. Bandung; Refika AditamaStuart GW, Sundeen. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta; EGC Yusuf Ah., dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika Purwadianto, Agus, dkk, 2000. Kegawatdaruratan Medik. Jakarta: Binarupa Aksara Brunner dan Suddarth, 2001, Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8, Vol. II, EGC: Jakarta Oman, Kathleen S. 2008.  Panduan Belajar Keperawatan Emergensi. Jakarta: EGC P.H, Diah.2016. Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Perilaku Kekerasan. Fakultas Ilmu Kesehatan UMP P., Nindita. Penatalaksanaan Kgawatdaruratan Psikiatri. RS Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang



34