Makalah Kel 2 Paradigma [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH TEORI KOMUNIKASI Paradigma; Paradigma Positivistik, Paradigma Konstruktivistik, dan Paradigma Kritis



Kelompok 2 Anggota: 1. Surya Kuswara (07031282025165) 2. Bunga Ahsanatul Harumi (07031282025056) 3. Henny Wulandari (07031282025071) 4. Nyiayu Aisyah Dinar (07031182025028) Kelas C Indralaya 2020 Dosen Pengampu: Dr. Retna Mahriani, M.Si



PRODI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2021



KATA PENGANTAR



Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memlimpahkan rahmat dan karuni-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dalam rangka memenuhi penilaian tugas kelompok untuk mata kuliah Teori Komunikasi, dengan judul :“Paradigma; Paradigma Positivistik, Paradigma Konstruktivistik, dan Paradigma Kritis”. Kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna baik dalam segi penulisan maupun segi pendalaman materi. Maka dari itu, kami masih memerlukan kritik dan saran yang membangun untuk membuat hasil yang lebih baik ke depannya. Akhir kata, kami juga berharap bahwa makalah ini dapat memberikan banyak manfaat bagi para pembaca.



Palembang, 28 Agustus 2021



Penulis



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.....................................................................................................i DAFTAR ISI..................................................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................1 1.1 Latar Belakang................................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................. 2 1.3 Tujuan.................................................................................................................2 BAB II PEMBAHASAN................................................................................................3 2.1 Pengertian Paradigma........................................................................................3 2.2 Paradigma Positivistik........................................................................................4 2.3 Paradigma Konstruktivistik...............................................................................5 2.4 Paradigma Kritis.................................................................................................7 2.5 Kegunaan Mempelajari Paradigma....................................................................8 BAB III PENUTUP......................................................................................................10 3.1 Kesimpulan.......................................................................................................10 3.2 Saran.................................................................................................................10 DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................11



BAB I PENDAHULUAN



1.1



Latar Belakang Isitlah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas khun dalam bukunya



yang berjudul The Structure Of Scientific Revolutions. Khun melihat bahwa perkembangan ilmu pengetahaun bukanlah terjadi secara kumulatif, tetapi terjadi secara revolutif. Dalam masa tertentu ilmu sosial didominasi oleh suatu paradigma. Kemudiam terjadi pergantian dominasi paradigma, dari paradigma lama kemudian memudar kepada paradigma baru. Dalam hal ini, paradigma baru bukanlah kelanjutan dari paradigma lama. B. Aubrey Fisher adalah seorang pakar komunikasi yang terkenal dalam dekade terakhir. Fisher telah berhasil mencatat adanya beberapa paradigma yang berkembang pada beberapa dekade terakhir ini dalam ilmu komunikasi sesuai judul bukunya yaitu Perspective on Human Communication. Buku ini untuk pertama kali terbit pada tahun 1978. Di sana Fisher tidak lagi menggunakan istilah paradigma melainkan ‘perspektif’. Namun apa yang dimaksud dengan paradigma itu kurang lebih sama dengan perspektif. Justru perspektif boleh diartikan sebagai pendekatan, strategi intelektual kerangka konseptual, dan paradigma. Komunikasi sebagai suatu kajian diwarnai oleh multi paradigma. Feyerabend, 1975 (dalam Nurhadi, 2017) menyebut komunikasi sebagai ilmu yang di tandai oleh paradigma yang multi muka. Hal ini, membawa konsekuensi yang multi ragam pula pada metode pengkajian (penelitian) bagi komunikasi. Artinya metode penelitian komunikasi tidak hanya eksperimental, tetapi boleh juga historis, konstektual, eksploratif, fenomenologis, deskriptif dan sebagainya. Demikian pula boleh kualitatif maupun kuantitatif. Hal ini, tergantung pada perspektif yang dipakai. Pada dasarnya perbedaan antara perspektif yang satu dengan yang lainnya adalah perbedaan dalam mengkonseptualisasikan komunikasi. Beberapa ilmuwan juga mengemukakan beberapa pandangan tentang paradigma komunikasi, yaitu paradigma



1



positivistik (klasik), paradigma konstruktivistik, dan paradigma kritis. Ketiga paradigma ini berbeda satu sama lain dan mempunyai cirinya tersendiri. Pendekatan atau paradigma ini sangat penting, terutama dalam penelitian. Paradigma menjadi titik awal untuk menuju titik akhir yang akan kita tentukan. Hal ini dikarenakan untuk mengkaji komunikasi harus konsisten antara perspektif atau paradigma yang dianut dengan metode penelitian yang dipakai. Agar perspektif atau paradigma yang ada dalam komunikasi itu perlu dipahami dengan baik. Sehingga metode penelitian dan hasil penelitan akhir menghasilkan kesimpulan dan solusi yang sesuai dengan fenomena yang dikaji.



1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Apa itu paradigma? 1.2.2 Apa itu paradigma positivistik? 1.2.3 Apa itu paradigma konstruktivistik? 1.2.4 Apa itu paradigma kritis? 1.2.5 Apa kegunaan mempelajari paradigma? 1.3 Tujuan 1.3.1 Untuk mengetahui apa itu paradigma 1.3.2 Untuk mengetahui apa itu paradigma positivistik 1.3.3 Untuk mengetahui apa itu paradigma konstruktivistik 1.3.4 Untuk mengetahui apa itu paradigma kritis 1.3.5 Untuk mengetahui kegunaan dari mempelajari paradigma



2



BAB II PEMBAHASAN 2.1



Pengertian Paradigma Istilah paradigma pertama kali dikenalkan oleh Thomas Khun dalam bukunya



yang berjudul The Structure Of Scientific Revolutions. Khun melihat bahwa perkembangan ilmu pengetahaun bukanlah terjadi secara kumulatif, tetapi terjadi secara revolutif. Dalam masa tertentu ilmu sosial didominasi oleh suatu paradigma. Kemudian terjadi pergantian dominasi paradigma, dari paradigma lama kemudian memudar kepada paradigma baru. Dalam hal ini, paradigma baru bukanlah kelanjutan dari paradigma lama. Untuk penyebutan paradigma sendiri bermacam-macam. Ada yang mengatakan paradigma, perspektif, tradisi, dan ada juga yang mengatakan mazhab. Masing-masing tokoh punya cara pengelompokkan paradigma atau perspektif tersendiri. Misalnya, Littlejohn dalam bukunya Human Of Communication, paradigmanya berupa 7 tradisi yaitu retorika, semiotika, cybernetika, sosiopsikologi, sosiokultural, dan fenomenologi. Sedangkan Aubrey Fisher dalam bukunya Teori Komunikasi, menyebutkan paradigma itu ada 4 (empat) mazhab atau perspektif yang digunakan untuk mempelajari teori komunikasi yaitu perspektif mekanistik, psikologi, pragmatis dan interaksional. Menurut Harmon (dalam Moleong, 2004: 49), paradigma adalah cara mendasar untuk melakukan persepsi, berpikir, menilai dan melakukan yang berkaitan dengan sesuatu secara khusus tentang realitas. Bogdan & Biklen (dalam Mackenzie & Knipe, 2006) menyatakan bahwa paradigma adalah kumpulan longgar dari sejumlah asumsi, konsep, atau proposisi yang berhubungan secara logis, yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian. Sedangkan Baker (dalam Moleong, 2004: 49) mendefinisikan paradigma sebagai seperangkat aturan yang (1) membangun atau mendefinisikan batas-batas; dan (2) menjelaskan bagaimana sesuatu harus dilakukan dalam batas-batas itu agar berhasil. Paradigma ibarat sebuah jendela tempat orang mengamati dunia luar, tempat orang bertolak menjelajahi dunia dengan wawasannya (world view), dan cara pandang kita terhadap dunia itu sendiri. Paradigma dapat diartikan sebagai: a) a set of assumption, and b) beliefs concerning: yaitu asumsi yang "dianggap" benar (secara



3



given). Berdasarkan definisi diatas, dapat kita simpulkan bahwa paradigma ialah suatu konsep, metode dan kaidah-kaidah aturan yang dijadikan suatu kerangka kerja pelaksanaan dalam sebuah penelitian. Kalau dalam bidang penelitian, paradigma adalah cara pandang peneliti terhadap realitas, objek penelitian, dan subjek penelitian. Dari ketiga itu akan dilihat, diamati, dan dihubungkan dengan teori pendukung sehingga memunculkan sebuah penelitian. Di sisi lain, paradigma ini menjadi alat bagi kita untuk merumuskan beberapa hal, yaitu (1) Apa yang harus kita pelajari, (2) Persoalan apa yang harus dijawab, (3) Bagaimana seharusnya menjawabnya, dan (4) Aturan apa yang harus diikuti untuk menginterpretasikan informasi yang kita peroleh. 2.2



Paradigma Positivistik Secara historis paradigma positivistik muncul sejak abad ke 19 yang dibawa



oleh Auguste Comte pada teori hukum tiga tahap yaitu teologis, metafisik dan positivistik. Pada pola pemikiran positivistik mengalami kemajuan dibawa dan dikembangkan oleh Emile Durkheim pada kajianya yaitu fakta sosial (Durkheim, 1982, dalam Irwan, 2018). Paradigma positivistik adalah paradigma tertua dalam ilmu sosial. Karena ilmu sosial mengambil dari ilmu alam. Sebab sebelumnya, ilmu alam adalah ilmu dasar bagi segala ilmu. Jadi, segala metode pada ilmu alam digunakan pada berbagai metode ilmu lain. Dan pada saat itu memang riset pada ilmu alam itu menggunakan positivistik, yang mana metode yang sering digunakan yaitu kuantitatif dan cenderung meneliti sebab akibat dan hubungan-hubungan. Pada saat itu,



yang menggunakan paradigma



positivistik mempunyai alasan yang jelas kenapa dia menggunakan positivistik, yaitu mereka menganggap bahwa ilmu sosial akan memiliki kesuksesan yang sama seperti ilmu alam jika menggunakan metode ilmiah sebagaimana yg dilakukan ilmu alam yaitu meneliti terlebih dahulu sebab akibat dan hubungan-hubungannya. Dalam menjelaskan mengenai makna positivisme/positivistik, Auguste Comte sampai memuat beberapa distingsi yang sangat tajam. Yaitu antara ‘yang nyata dengan yang khayal’, ‘yang pasti dengan yang meragukan’, ‘yang tepat dengan yang kabur’, ‘kesahihan relatif dan kesahihan mutlak’ hingga pada konklusi ‘yang berguna dan yang



4



sia-sia’. Pandangan paradigma ini didasarkan pada hukum-hukum dan prosedurprosedur yang baku, (1) ilmu dianggap bersifat deduktif, berjalan dari hal yang umum dan bersifat abstrak menuju yang konkrit dan bersifat spesifik, (2) ilmu dianggap nomotetik, yaitu didasarkan pada hukum-hukum yang kausal yang universal. Pandangan positivistik ini memang terlihat sangat kaku, harena hanya menganggap bahwa jika ada aksi maka ada reaksi, ada sebab ada akibat. Jadi memang ada hal yang mempengaruhi sesuatu yang harus diukur dari bukti nyata. Karena ketika tidak ada data maka tidak bisa dikatakan benar/valid. Misal, saya bilang kalau si A itu positif covid. Hal tersebut tidak bisa dibilang benar jika saya tidak memiliki bukti/test yang valid seperti rekam medis. Atau misalnya, saya sebagai fans Kpop, saya melakukan penelitian tentang pengaruh artis korea sebagai brand ambassador untuk meningkatkan penjualan. Di dalam pandangan positivistik, peran saya sebagai fans kpop itu tidak dianggap penting, karena memang peran peneliti tidak bisa diikut campurkan dalam penelitian. Semuanya harus objektiv dan harus based on data real. Artinya, sebuah asumsi dan penelitian yang dilakukan harus berdasarkan hasil survei berupa quesioner. Karena quesioner ini adalah instrumen utama positivistik, dan peneliti itu hanya alat. Dalam positivistik ini peneliti dan obyek penelitian itu berjarak cukup jauh yang artinya tidak ada interaksi langsung dalam penelitiannya, melainkan lewat quesioner. Dan paradigma ini nanti akan menghasilkan penelitian kuantitatif. 2.3



Paradigma Konstruktivistik Karl Popper adalah seorang filsuf terbesar abad 20 asal Vienna dan Inggris. Karl



yang dibidang filsafat ilmu juga merupakan pencetus paradigma konstruktivistik (1973). Konstruktivistik berasal dari kata ‘konstruksi’ yang artinya bentukan atau rancangan. Menekankan bahwa pengetahuan yang telah ditangkap oleh manusia adalah konstruksi (bentukan, rancangan) manusia itu sendiri. (Von Glasersfeld, dalam Nurhadi, 2017). Pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamatan tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh yang dialaminya. Dalam hal ini, paradigma konstruktivistik lebih mengkaji soal pesan, di mana pesan dikonstruksikan (dibentuk), bagaimana pesan di konstruksikan atau disusun. Jika positivisme membicarakan mengenai komunikasi massa yang berlangsung satu arah,



5



pada konstruktivisme cenderung ke arah komunikasi antar personal yang menginginkan terjadinya komunikasi dua arah. Sehingga subjek (peneliti) sebagai faktor sentral (instrumen) dalam kegiatan wawancara. (Nurhadi, 2017). Di sisi lain, paradigma ini memiliki jargon berupa meaningful social action yang artinya kegiatan sosial yang bermakna. Menurut paradigma konstruktivistik, kehidupan sosial itu tidak seobjektif seperti yang diinginkan paradigma positivistik. Tapi, masing-masing orang memiliki makna, memiliki pengertian terhadap realitas sosial di lingkungannya yang tidak bisa di objektifikasi secara keseluruhan. Maka, realitas sosial itu subjektif menurut pemahaman dan pengalaman dari masing-masing orang yang hidup di dalam realitas sosial tersebut. Contohnya, kalau positivistik dia melihat gambaran secara umum bahwa seluruh desa yang ada di sini membela Jokowi. Sedangkan konstruktivistik dia tidak melihat gambaran secara umum, tetapi melihat satu persatu (individu). Misalnya ada seorang guru, dokter, kepala karang taruna, kemudian kita teliti mereka sendirian, kira-kira pilihan politiknya akan kemana, mengapa memilih itu. Selain itu, paradigma ini menganggap bahwa dunia penting dan berarti karena ada manusia yang memaknainya. Kalau positivistik untuk melihat fenomena sosial itu sebagai sesuatu yang objektif. Tetapi kalau konstruktivistik harus melihat fenomena sosial sebagai sesuatu yang subjektif, berdasarkan konstruksi pemikiran dan pemahaman manusia. Oleh karena itu, paradigma ini menekankan bahwa ilmu bukan didasarkan pada hukum dan prosedur yang baku, melainkan setiap gejala atau peristiwa bisa jadi memiliki makna yang berbeda dan bersifat induktif. Induktif ini berjalan dari yang spesifik menuju ke yang umum dan abstrak. Misalnya, untuk memahami sebuah HP, mungkin dalam paradigma positivistik menilai bahwa HP adalah alat berkomunikasi, tapi dalam paradigma konstruktivisme kita akan melihat bahwa HP itu berdasarkan orang yang memaknainya. Tidak bisa dan tidak boleh dalam pendekatan ini untuk mengeneralisir semua orang. Adapun contoh lain, yaitu: Semua yang punya HP ada game di dalamnya, semua remaja yang punya HP suka main game, dan semua orang yang suka main game rata-rata kuliahnya molor. Ini adalah paradigma positivistik. Kalau paradigma konstruktivistik dia akan mengatakan orang yang main game belum tentu dia akan molor. Tapi, ini berkaitan dengan makna orang tersebut



6



terhadap games. Jadi, makna orang yang dipentingkan. Sehingga untuk memahami dunia adalah dengan cara memahami manusia yang hidup di dalamnya. Dari paradigma konstruktivistik ini nanti menghasilkan penelitian kualitatif. Penelitiannya langsung terjun ke lapangan untuk mengumpulkan data dengan cara observasi secara langsung, interview atau wawancara secara mendalam untuk mencari penjelasan tentang peristiwa-peristiwa sosial atau budaya didasarkan pada perspektif dan pengalaman orang yang diteliti. Data-data inilah nanti berbentuk kalimat atau disebut juga data kualitatif. 2.4



Paradigma Kritis Paradigma kritis pada dasarnya adalah paradigma ilmu pengetahuan yang



meletakkan epistemologi kritik Marxisme dalam seluruh metodologi penelitiannya. Fakta menyatakan bahwa paradigma kritis yang diinspirasikan dari teori kritis tidak bisa melepaskan diri dari warisan Marxisme dalam seluruh filosofi pengetahuannya. Teori kritis pada satu pihak merupakan salah satu aliran ilmu sosial yang berbasis pada ide-ide Karl Marx dan Engels (Denzin, dalam 2000: 279-280). Paradigma kritis ini mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern, pandangan paradigma ini menekankan pada ilmu bukan didasarkan pada hukum dan prosedur yang baku, tetapi untuk membongkar ideologi-ideologi yang sudah ada. Pendekatan ini mendefinisikan ilmu komunikasi sebagai suatu proses yang secara kritis berusaha mengungkap the real structure dibalik ilusi, yang dinampakkan dunia materi, dengan tujuan membantu membentuk suatu kesadaran sosial agar memperbaiki dan merubah kondisi kehidupan manusia. Paradigma kritis diartikan sebagai sebuah paradigma alternatif terkait kemasyarakatan yang tujuannya mengkritisi dan menjustifikasi yang ada di masyarakat serta memberikan alternatif pengetahuan untuk bisa menghasilkan tatanan sosial yang lebih baik. Asumsi dasar dalam paradigma kritis berkaitan dengan keyakinan bahwa ada kekuatan tersembunyi dalam masyarakat yang begitu berkuasa mengontrol proses komunikasi masyarakat. Ini berarti paradigma kritis melihat adanya “realitas” di balik kontrol komunikasi masyarakat.



7



Tradisi kritis ini percaya bahwa apa yang disandikan (dipesankan) oleh media massa merupakan kontrol dari penguasa. Tradisi kritis itu membangun kecurigaan. Kita harus curiga terhadap segala sesuatu. Contohnya Omnibus Law. Omnibus Law itu karna pemerintah ingin agar investasi itu mudah di Indonesia. Sehingga tenaga kerja harus dipermurah, dan ijin-ijin harus dipermudah. Itu kan logis, ketika investasi masuk ke Indonesia maka banyak tenaga kerja yang akan terserap. Itu menurut paradigma positivistik. Tidak dengan paradigma kritis, kritis itu sama seperti mahasiswa yang demo. Omnibus law itu ada karena adanya orang-orang yang memiki modal dan kekuasaan tertentu di pemerintah maupun DPR yang ingin tujuannya sendiri itu tercapai sehingga dia harus memasukkan pasal-pasal di dalam omnibus law. Jadi, kita harus memiliki kecurigaan terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh pemerintah, bahwa pasti ada yang diuntungkan dari setiap produk yang dimunculkan oleh pemerintah. Jadi, itu adalah tradisi kritis/paradigma kritis. Contoh lain misalnya kajian media massa pada ilmu komunikasi, pendekatan kritis tidak hanya melihat bagaimana proses kerja wartawan ke lapangan dan membuat berita untuk diterbitkan. Namun juga melihat bagaimana konteks atau suasana sosial, politik, budaya hingga ekonomi saat berita itu dibuat. Bahkan juga mengeksplorasi siapa yang menjadi narasumbernya, kenapa harus dia menjadi narasumbernya, kenapa narasumber A lebih banyak dimuat daripada Narasumber B. 2.5



Kegunaan dari mempelajari paradigma Adapun kegunaan dari mempelajari paradigma ini adalah: 1. Kita dapat mengetahui cakupan dan batasan penelitian yang dilakukan oleh seseorang. Sebuah penelitian sosial tidak bisa mencakup semua kondisi yang ada di dunia ini. Oleh karena itu, paradigma tertentu mengindikasikan cakupan penelitian yang khusus, wilayah tertentu, atau kondisi tertentu. Misal, ketika seorang akademisi meneliti pengaruh media sosial terhadap perilaku anti sosial di Jakarta. Maka ia tidak bisa di generalisir terjadi di seluruh daerah Indonesia. Meskipun kajian tersebut dapat digunakan sebagai dasar argumen ketika terjadi perilaku anti sosial yang terjadi di Makasar.



8



2. Paradigma dapat menunjukkan kepada kita posisi peneliti atas obyek penelitian. Secara umum, kita dapat menjawab bahwa penelitian positivistik dapat mengarahkan posisi peneliti berjarak cukup jauh dengan obyek penelitiannya. Berjarak disini maksudnya antara peneliti dan objek penelitian itu tidak ada interaksi langsung, melainkan lewat survey berupa quesioner. Hal ini berbeda



dengan



penelitian



konstruktivistik



maupun



penelitian



yang



menggunakan paradigma kritis yang penelitinya semakin mendekat dan semakin mendalami jiwa manusia yang dikaji, alias melakukan interaksi secara langsung. 3. Paradigma



digunakan untuk menentukan cara menjawab problem



research. Ketika kita menggunakan paradigma kritis, maka kita harus cukup memelihara kecurigaan terhadap setiap perubahan sosial sebagai akibat dari manipulasi penguasa terhadap masyarakat miskin dan tertindas. Berbeda dengan paradigma positivistik misalnya, menganggap perubahan sosial sebagai proses objektif menuju titik keseimbangan dalam masyarakat. 4. Menunjukkan suatu nilai yang dianut peneliti. Peneliti positivistik hanya menganggap media massa memberitakan sesuatu secara objektif, ia adalah potret realitas yang memberitakan realitas peristiwa yang ada di lingkungan sekitar sesuai dengan keadaannya. Tetapi, peneliti kritis menganggap media massa sebagai sumber dominasi kekuasaan di masyarakat.



9



BAB III PENUTUP 3.1



Kesimpulan Paradigma merupakan cara pandang, konsep, dan yang menjadi dasar dalam



sebuah penelitian yang pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Khun, paradigma juga menghasilkan banyak perspektif-perspektif yang sering digunakan untuk mengkaji fenomena sosial yang ada. Paradigma mempunyai tiga ragam, yaitu; Paradigma Positivistik, merupakan paradigma yang menghasilkan metode penelitian kuantitatif dimana paradigma ini mementingkan bukti data nyata pada setiap objek penelitian dan memang terlihat sangat kaku karena beranggapan bahwa jika ada aksi maka ada reaksi, ada sebab ada akibat dan suatu hal harus diukur dari bukti nyata, maka dari itu, jika tidak ada data maka tidak bisa dikatakan benar/valid. Paradigma selanjutnya adalah Paradigma Konstruktivistik yang pertama kali dicetuskan oleh Karl Popper, paradigma ini menghasilkan metode penelitian kualitatif serta beranggapan masing-masing orang memiliki makna, memiliki pengertian terhadap realitas sosial di lingkungannya yang tidak bisa di objektifikasi secara keseluruhan serta paradigma ini menekankan bahwa ilmu bukan didasarkan pada hukum dan prosedur yang baku, melainkan setiap gejala atau peristiwa bisa jadi memiliki makna yang berbeda dan bersifat induktif. Paradigma yang terakhir adalah Paradigma Kritis yang dikenalkan oleh Karl Marx, paradigma ini menekankan pada ilmu bukan didasarkan hukum dan prosedur yang baku, tetapi untuk membongkar ideologi-ideologi yang sudah ada dan memiliki tradisi kritis dimana sering menimbulkan rasa curiga akibat adanya keyakinan bahwa ada kekuatan tersembunyi dalam masyarakat yang begitu berkuasa mengontrol proses komunikasi masyarakat. 3.2



Saran Setelah mempelajari mengenai ragam paradigma maka kita disarankan agar



dapat mengaplikasikan dengan baik paradigma yang sesuai pada fenomena yang akan kita teliti dan agar lebih mengerti mengenai materi paradigma diharapkan agar terus membaca dan mencari tahu informasi lebih rinci dalam berbagai literatur maupun sumber bacaan di internet untuk mendapatkan pengetahuan dan hasil yang lebih baik di masa depan.



10



DAFTAR PUSTAKA



Butsi, F.I. (2019). Memahami Pendekatan Positivis, Konstruktivis, dan Kritis dalam Metode Penelitian Komunikasi. Jurnal Ilmiah Komunikasi:Communique, Vol.2 ,No. 1. http://ejurnal.stikpmedan.ac.id/index.php/JIKQ/article/view/27/25 Irwan. (2018). Relevansi Paradigma Positivistik dalam Penelitian Sosiologi Pedesaan. Jurnal Ilmu Sosial, Vol.17 ,No.1. https://ejournal.undip.ac.id/index.php/ilmusos/article/download/18510/13630#:~: text=Secara%20historis%20bahwa%20paradigma%20positivistik,sosial%20(Du rkheim%2C%201982) Muslim. (2016). Varian-Varian Paradigma, Pendekatan, Metode, dan Jenis Penelitian dalam Ilmu Komunikasi. Jurnal Wahana, Vol.1, No.10. https://journal.unpak.ac.id/index.php/wahana/article/viewFile/654/557 Nurhadi, Z.F. (2017). Teori Komunikasi Kontemporer. Penerbit Kencana : Jakarta



11