Makalah Kelompok 4 Lembaga Amil Zakat [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH KELOMPOK4 “ Lembaga Amil Zakat “ Makalah ini dibuat untuk tugas mata kuliah LEMBAGA PEREKONOMIAN SYARIAH



Kelompok 4 Disusun oleh : 1. Muhammad Faqih AL Ghiffari ( 1930104164 ) 2. Kuspitaloka



( 1930104166 )



3. M Kurniawan Putra



( 1930104168 )



4. Rahma Ratih



( 1930104169 )



5. Arthur Rendi Chaniago



( 1930104 172 )



Dosen Mata Kuliah : ,HANA PERTIWI, Ssy. ME PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG TAHUN 2022



Abstrak Peraturan mengenai pengeluaran zakat di Mekah muncul pada tahun ke 9 Hijriah ketika dasar islam telah kokoh, wilayah Negara berekspansi dengan cepat dan orang berbondong-bondong masuk islam. Peraturan yang disusun meliputi sistem pengumpulan zakat, barang-barang yang dikenai zakat, batas-batas zakat dan tingkat persentase zakat dan untuk barang yang berbeda-beda. Pelaksanaan pengelolaan zakat di Indonesia telah diatur di dalam UU No.38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat BAB III Pasal 6 dan Pasal 7 menyatakan bahwa lembaga pengelola zakat di Indonesia terdiri dari dua macam, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). BAZ dibentuk oleh pemerintah, sedangkan LAZ didirikan oleh masyarakat. Lembaga pengelola zakat mempunyai peranan penting dalam mengelola zakat, di antaranya adalah proses perolehan zakat, penghimpunan zakat, penyaluran zakat, dan pendistribusian zakat. Dalam perkembangan zaman, pengelolaan zakat di Indonesia menghadapi beberapa kendala sehingga seringkali pengelolaannya masih belum optimal dalam perekonomian. Oleh karena itu beberapa kendala yang terjadi harus dipecahkan bersama dengan menciptakan strategi pengembangan yang dibutuhkan untuk mengembangkan dan memperbaiki pengelolaan zakat yang kini sedang mengalami permasalahan.



BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pelaksanaan zakat didasarkan pada firman Allah SWT yang terdapat dalam surat atTaubah ayat 60 dan ayat 103. Dalam surat at-Taubah ayat 60 dikemukakan bahwa salah satu golongan yang berhak menerima zakat adalah orang-orang yang bertugas mengurus urusan zakat (‘amilina ‘alaiha). Sedangkan dalam at-Taubah ayat 103 dijelaskan bahwa zakat itu diambil (dijemput) dari orang-orang yang berkewajiban untuk berzakat (muzakki) untuk kemudian diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya (mustahik). Pengelolaan zakat oleh lembaga pengelola zakat yang memiliki kekuatan hukum formal akan memiliki beberapa keuntungan, antara lain: Pertama, untuk menjamin kepastian dan disiplin membayar zakat. Kedua, untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat apabila berhadapan langsung untuk menerima zakat dari para muzaki. Ketiga, untuk mencapai efisiensi dan efektivitas, serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat. Keempat, untuk memperlihatkan syiar Islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan yang Islami. Sebaliknya, jika zakat diserahkan langsung dari muzaki kepada mustahik, meskipun secara hukum syariah adalah sah, akan tetapi disamping akan terabaikannya hal-hal tersebut diatas, juga hikmah dan fungsi zakat, terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan umat, akan sulit diwujudkan. Di Indonesia tujuan pengelolaan zakat dikemukakan dalam UU Bab II Pasal 5 bahwa: 1. Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntutan agama. 2. Meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. 3. Meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat. Dalam Bab III Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 dikemukakan bahwa organisasi pengelola zakat terdiri dari dua jenis, yaitu Badan Amil Zakat (Pasal 6) dan Lembaga Amil Zakat (Pasal 7). Selanjutnya pada bab tentang sanksi (Bab VIII) dikemukakan



pula bahwa setiap pengelola zakat yang karena kelalaiannya tidak mencatat dengan tidak benar tentang zakat, infaq, sedekah, hibah, wasiat, waris, dan kafarat, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 12, dan Pasal 11 Undang-undang tersebut, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan / atau denda sebanyak-banyaknya Rp.30.000.000 (tiga puluh juta rupiah). Sanksi ini tentu dimaksudkan agar BAZ dan LAZ yang ada di negara kita menjadi pengelola zakat yang kuat, amanah, dan dipercaya oleh masyarakat, sehingga pada akhirnya masyarakat secara sadar dan sengaja akan menyerahkan zakatnya kepada lembaga pengelola zakat.



Identifikasi Masalah Dengan melihat pentingnya lembaga pengelola zakat, untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar zakat maka yang penting untuk dibahas lebih lanjut adalah: 1. Apa Yang dimaksud pengertian dan konsep dasar zakat ? 2. Bagaimana sejarah zakat? 3. Bagaimana bentuk lembaga pengelola zakat di Indonesia? 4. Bagaimana strategi pengembangan pengelola zakat? 5. Apa Kendala yang dihadapi dalam pengelolaan zakat ?



Tujuan Pembahasan Dari pembahasan ini diharapkan : 1. Mampu memberikan gambaran mengenai pengertian dan konsep dasar zakat. 2. Mengetahui secara pasti sejarah zakat. 3. Mengetahui bentuk lembaga pengelola zakat di Indonesia. 4. Mengetahui strategi pengembangan pengelola zakat. 5. Mampu mengatasi kendala dalam pengelolaan zakat.



BAB II PEMBAHASAN



A. Pengertian dan Konsep Dasar Zakat Pelaksanaan zakat didasarkan pada firman Alloh SWT yang terdapat dalam surah AtTaubah : 60 ‫صلى‬



‫سبِي ِْل‬ ّ ‫َّللا َواب ِْن ال‬ ّ ِ ‫فى‬ ‫إِنه َما ال ه‬ ِ ‫يل ه‬ ِ ‫الرقَا‬ َ ‫فى‬ َ َ‫س ِكي ِْن َو ْالعَمِ ِليْن‬ َ ‫صد َ قَتُ ل ِْلفُقَ َرآءِ َو ْال َم‬ ِ ِ‫سب‬ ِ ‫ب َوالغ َِرمِ يْنَ َو‬ ِ ‫علَ ْي َها َو ْال ُم َؤلهفَ ِة قُلُو بُ ُه ْم َو‬ ‫ضةً ِ ّمنَ ه‬ ]٦.[ ‫علِي ٌم َحكِي ٌم‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ‫فَ ِري‬



“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, penguruspengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orangorang yang berutang, untuk jalan Alloh, dan orang-orang yang sdang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Alloh. Dan Alloh lagi Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. Juga pada firman Alloh SWT dalam surah At-Taubah : 103 ‫قلى‬ ‫صلى‬ َ ُ ‫صد َ قَةً ت‬ ]١٣[ ‫علِي ٌم‬ ‫ص ِّل عَلَ ْي ِه ْم‬ َ ‫سمِ ي ٌع‬ َ ُ ‫سكَنٌ له ُه ْم َوَّللاه‬ َ َ‫صلَوتَك‬ َ ‫إِ هن‬ َ ‫ط ِ ّه ُر هُ ْم َوتُزَ ّكِي ِه ْم بِ َها َو‬ َ ‫ُخ ْذ مِ ْن أ َ ْم َو ِل ِه ْم‬



“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” Dalam surah At-Taubah : 60 tersebut dikemukakan bahwa salah satu golongan yang berhak menerima zakat termasuk (mustahik zakat) adalah orang-orang yang bertugas mengurus urusan zakat (‘amilina ‘alaiha). Sedangkan dalam At-Taubah:103 dijelaskan bahwa zakat itu diambil dari orangorang yang berkewajiban untuk berzakat (muzakki) untuk kemudian diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya (mustahik). Yang mengambil dan yang menjemput tersebut adalah para petugas (‘amil).1 Zakat dari istilah fikih berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada orang-orang yang berhak. Legitimasi zakat sebagai kewajiban terdapat beberapa ayat dalam Al-Qur’an. Kata zakat dalam bentuk ma’rifah disebut 30 kali di dalam Al-Qur’an, 27 kali di antaranya disebutkan dalam satu ayat bersama shalat, dan sisanya disebutkan dalam konteks yang sama dengan shalat meskipun tidak di dalam satu ayat. Di



1



Didin Hafiduddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, (Jakarta:Gema Insani Press,2002), hal. 124-125



antara ayat tentang zakat yang cukup populer adalah surat Al-Baqarah ayat 110 yang berbunyi “Dan dirikanlah shalat dan tunaikan zakat”. Dalam sebuah hadits tentang penempatan Muaz di Yaman, Nabi berkata,”Terankan kepda mereka bahwa Allah mewajibkan sedekahyang dikenakan pada kekayaan orang-orang kaya”. Dalam beberapa ayat zakat diungkapkan dengan istilah sedekah. Sebenarnya sedekah berasal dari kata shidq yang berarti benar. Qadhi Abu Bakar bin Arai memppunyai pendapat yang sangat berharga tentang mengapa zakat dinamakan sedekah. Ia menyebutkn, “Kata sedekah berasal dari kata shidq, benar dalam hubungan dengan sejalannya perbuatan ucapan serta keyakinan”. Allah menggabungkan kata “memberi” dengan “membenarkan” dan “kikir” dengan “dusta” dalam Al-Qur’an surat Al-Lailayat 5-10 yang berbunyi, ”Siapa yang ‘memberi’ dan bertakwa serta ‘membenarkan’ adanya pahala yang terbaik. Kami sungguh memudahkan baginya jalan menuju bahagia. Tetapi siapa yang ‘kikir’ dan lupa daratan, serta ‘mendustakan’ adanya pahala yang terbaik, akan kami mudahkan baginya jalan kepada kemalangan. Dengan demikian sedekah berarti ‘kebenaran’ iman dan ‘’membenarkan’ adanya hari kiamat.” Oleh karana itu, Rasulullah SAW bersabda, “sedekah itu ukti”. Hadits ini bisa dikategorikan sebagai ‘sindiran’ kepada umat islam. Kebanyakan umat islam membenarkan Al-Qur’an dan al-Hadits sebagai dasar hukum yang mengatur perilaku hidup muslin akn tetepi kebanyakan dari kita ‘mengingkarinya’. Maka sedekah atau zakat merupakan bukti akan adanya pembenaran dengan keyakinan dari umat islam akan kebenaran Al-Qur’an dri umat islam akan kebenaran Al-Qur’an dan al-Hadits.2



B. Sejarah Zakat Zakat diwajibkan pada tahun ke 9 Hijriah. Akan tetapi ahli hadits memandang zakat telah diwajibkan sebelum tahun ke 9 Hijriah ketika Maulana Abdul Hasan berkata zakat diwajibkan setelah hijriah dan dalam kurun waktu lima tahun setelahnya. Sebelum diwajibkan, zakat bersifat sukarela dan belum ada peraturan khusus atau ketentuan hukum. Peraturan mengenai pengeluaran zakat di atas muncul pada tahun ke 9 Hijriah ketika dasar islam telah kokoh, wilayah Negara berekspansi dengan cepatdan orang berbindong-bondong masuk islam. Peraturan yang disusun meliputi sistem pengumpulan zakat, barang-barang 2



232.



Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta: Ekonisia, 2003), hal.



yang dikenai zakat, batas-batas zakat dan tingkat persentase zakat dan untuk barang yang berbeda-beda. Para pengumpul zakat bukanlah pekerjaan yang memerlukan waktu dan para pegawainya tidak diberikan gaji resmi, tetapi mereka mendapatkan bayaran dari dana zakat. Zakat dan ushr sebagai pendapatan utama bagi negara di masa Rasulullah SAW. Keduanya berbeda dengan pajak dan tidak diberlakukan seperti pajak. Zakat dan ushr merupakan kewajiban agama dan termasuk salah satu pilar islam. Pengeluaran untuk zakat sudah diuraikan secara jelas di dalam Al-Qur’an surat at-Taubah (9) ayatt 60 yang artinya: “Sesungguhnya, zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakannya budak-budak yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah mah mengetahui lagi maha bijaksana”. 3 Pengeluaran untuk zakat tidak dapat dibelanjakan untuk engeluaran umum negara. Lebih jauh lagi zakat secara fundamental adalah pajak lokal. Menurut Bukhari, Rasulullah SAW berkata kepada Muadz ketika ia mengirimnya ke Yaman sebagai pengumpul dan pemberi zakat , “ ...katakanlah kepada mereka (penduduk Yaman) bahwa Allah telah mewajibkan mereka membayar zakat yang akan diambbil dari orang kaya di antara mereka dan memberikannya kepada orang miskin di antara mereka”. Dengan demikian pemerintah pusat berhak menerima keuntungan dan hanya bila terjadi surplus yang tidak bisa didistribusikan lagi kepada orang-orang yang berhak, dan ditambah kekayaan yang dikumpulkan di Madinah, ibukota negara. Pada masa Rasullah zakat dikenakan pada hal-hal berikut: 1) Benda logam yang terbuat dari emas seperti koin, perkakas, ornamen atau dalam bentuk lainnya. 2) Benda logam yang terbuat dari perak seperti koin, perkakas, ornamen atau dalam bentuk lainnya. 3) Binatang ternak unta, sapi, domba, kambing. 4) Berbagai jenis barang dagangan termasuk budak dan hewan. 5) Hasil pertanian termasuk buah-buahan. 6) Luqta, harta benda yang ditinggalkan musuh. 7) Barang temuan.



3



Ibid, hal. 233.



Di masa pemerintahan Abu Bakar, masalah keakuratan perhitungan zakat sangat diperhatikan seperti yang ia katakan pada Anas (seorang amil) bahwa, ”jika seorang yang harus memmbayar satu unta berumur setahun sedangkan ia menawarkan untuk memberikan seekor unta betina yang berumur dua tahun. Hal tersebut dapat diterima. Kolektor sakat akan mengembalikan 20 dirham atau dua kambing padanya. (sebagai kelebihan pembayarannya)”. Dalam kesempatan yang lain ia mengintruksikan pada amil yang sama bahwa kekayaan dari orang yang berbeda tidak dapat dipisahkan. Hal ini ditakutkan akan terjadi kelebihan pembayaran atau kekurangan penerimaan zakat. Abu Bakar mengambil langkah-langkah tegas untuk mengupulkan zakat dari semua umat islam termasuk Badui yang kembali memperlihatkan tanda-tanda



pembangkangan



sepeninggal Rasulullah SAW. Menurut Imam Suyut, ketika berita wafatnya Rasulullah SAW tersebar ke seluruh penjuru Madinah, banyak suku-suku Arab yang meninggalkan islam dan menolak membayar sakat. Abu Bakar memerintahkan pasukannya untuk menyerang sukusuku pembangkang tersebut. Umar bin Khattab memintanya untuk mencabut perintahnya itu, namun Abu Bakar berkata, “Aku akan memerangi mereka sekalipun mereka hanya menolak membayar satu kali zakat atau menolak memberikan kambing muda yang bisa mereka serahkan kepada Rasulullah SAW”. 4 Abu Bakar menyamakan seluruh rakyat dalam jumlah pembagian zakat. Salah seorang dari kaum musllimin datang kepadanya dan berkata, “Wahai pengganti Rasulullah, engkau telah membagi harta ini dengan menyamakan tiap orang, maka ada yang mendapatkan secara berlebihan sedangkan latar belakang mereka berbeda. Tidaklah engkau mengutamakan orang yang memiliki latar belakang terhormat,” Lalu Abu Bakar menjawab pertanyaan tersebut denga argumentasi demikian, “Adapun mengenai latar belakang seorang, aku tidak tahu akan hal itu. Aku tidak akan menyamakan antara orang yang memerangi Rasulullah SAW dan orang yang berperang bersamanya. Demi Tuhan, tidak seorangpun lepas dari haknya, dan tidak seorangpun memiliki hak otoritas atas orang lain, kecuali atas budak yang dimilikinya. Tidak ada perbedaan antara aku dengan kalian. Di rumah kita terdapat Kitabullah dan sumpah terhadap Rasulullah. Setiap individu memiliki latar belakang sendiri dan perjalanan hidup yang telah dilaluinya. Setiap orang memiliki jejak dalam sejarah islam serta pengorbanan dengan hartanya. Setiap orang mempunyai kebutuhan dalam islam.



4



Ibid, hal. 234.



Namun orang yang berhak menerima pemberian dari baitul maal dicata terlebih dahulu sebelum disampaikan, setelah meminta pendapat kaum muslimin”. Sebagaimana di masa Rasulullah SAW, pemerintahan Umar bin Khattab memposisikan zakat sebagi sumber pendapatan utama negara islam. Zakat dijadikan ukuran fiskal utama dalam rangka memecahkan masalah ekonomi secara umum. Pengenaan zakat atas harta berarti menjamin penanaman kembali dalam perdagangan dan perniagaan yang tidak perlu dilakukan dalam pajak pendapatan. Hal ini juga akan memberi keseimbangan antara perdagangan dan pengelualan. Dengan demikian dapat dihindari terjadinya suatu siklus perdagangan yang membahayakan. Semua surplus pendapatan dalam jumlah-jumlah tertentu harus diserahkan kepada negara, kemudian dana itu dikelola sedemikian rupa sehingga tak seorangpun yang memerlukan bantuan, perlu merasa malu mendapatkanal ini sumbangan. Hal ini juga berkaitan dengan hkuman berat bagi orang yang tidak mau membayar zakat sehingga orang tersebut dapat didenda sebesar 50% dari jumlah kekayaannya sebagaimana dinyatakan Rasulullah SAW sendiri, “Orang yang tidak mau membayar zakat akan saya ambil zakatnya dan setengah dari seluruh kekayaan”. Umar bin Khattab amat tegas terhadap masalah zakat, “ Demi Allah akan saya perangi mereka membedakan antara kewajiban ibadah dan kewajiban membayar zakatmkepada saya, wala hanya seekor anak kambing yang seharusnya itu teleh mereka bayark kepada Rasulullah, saya akan perangi mereka. Saya akan perangi mereka karena menolaknya”.5 Pada masa pemerintahan Usman bin Affan dilaporkan bahwa untuk mengamankan dari gangguan dan masalah dalam pemeriksaan kekayaan yang tidak jelas dari beberapa pengumpul yang nakal, Usman mendelegasikan wewenang kepada para pemilikuntuk menaksir kepemilikannya sendiri. Terkait dengan zakat, dalam sambutan Ramadhan biasanya ia mengingatkan, “Lihatlah bulan pembayaran zakat telah tiba. Barang siapa memilik properti dan utang biarkan ia untuk mengurangi dari apa yang dia miliki apa yang dia utang dan membayar zakat untuk proprti yang masih tersisa”. Pelaksanaan pemungutan zakat di masa pemerintahan Rasulullah SAW dan Khulaur Rasyidin menjadi bukti arti penting zakat bagi pembangunan negara. Sehingga, sebenarnya tidak beralasan bagi sebaian pendapat yang meragukan



keefektifan zakat dalam



meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Persoalan selama ini, zakat sering dikaitkan dengan



5



Ibid, hal. 235.



masalah politik, sebenarnya hal itu tidak terjadi jika satu sama lain meyakini bahwa zakat sebagai suatu kewajiban yang memiliki ungsi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik muslim dan non muslim (bagi non muslim tidak dikenakan zakat melainkan jizyah). Usaha untuk mengoptimalkan konsep zakat ini telah lama dilakukan di negara kita. Namun bersamaan dengan hal tersebut, banyak juga alasan sebagian masyarakat bukan saja pemerintah tetapi juga masyarakat islam sendiri untuk menolak urgensi dalam melegalisasikan peraturan zakat. Pasca jatuhnya pemerintah Soeharto mulai nampak peluang untuk membuat UU zakat. Melalui pemerintah Habibie dan didukung sejumlah tokoh masyarakat dibentuk tim untuk membuat UU Pengelolaan Zakat. Kemudian lahirlah UU No.38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat.6



C. Sejarah Pelaksanaan Zakat di Indonesia



Di awali dari sejarah masa politik Hindia Belanda terhadap agama yang dicantumkan dalam beberapa pasal dari “indisce Stastsregelin”, di anataranya pada pasal 134 ayat 2 yang mengarah pada policy of religion neutrality, yaitu pelumpuhan syariat secara keseluruhan. Politik agama netral mengakibatkan pemerintah Hindia Belanda tidak melakukan campur tangan dalam urusan agama, kecuali untuk suatu kepentingan. Kontekstualisasi kepentingan tersebut dibentuk dalam ketertiban masjid, zakat dan fitrah, naik haji, nikah, talak, rujuk danpengajaran agama islam. Seperti tercantum dalam bijblad Nomor 1892 tanggal 4 Agustus 1893 yang berisi kebijakan pemerintah Hindia Belanda untuk mengawasi pelaksanaaan zakat dan fitrah yang dilaksanakan oleh para penghulu atau naib untuk menjaga dari penyelewengan keuangan. Kemudian pada bijblad Nomor 6200 tanggal 28 Februari 1905 berisi larangan bagi segenap pegawai pemerintahan maupun priyayi bumi putra turut campur dalam pelaksanaan zakat fitrah. 7 Politik netral di zaman Kolonial Belanda tetap berlaku di masa penjajahan Jepang, sampai masa Indonesia merdek tradisi pengumpulan zakat oleh petugas-petugas jamaat urusan agamamasih terus berlangsung. Perubahan untuk pengaturan zakat mengalami dinamika sejalan dengan peta perpolitikan Indonesia. Sehingga sampai tahun 1968 zakat dilaksanakan oleh umat islam secara perorangan atau melalui kyai, guru-guru ngaji dan juga 6



Ibid, hal. 236. Amiruddin Inoed dan Aflatun Mukhtar dkk, Anatomi Fiqh Zakat, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2005), hal. 125 7



melalui lembaga-lembaga keagamaan dan belum ada suatu badan resmi yang dibentuk oleh pemerintah (kecuali di Aceh yang sudah diatur badan zakat sejak tahun 1959). Pasca 1968 adalah tahun yang sangat penting bagi sejarah pelaksanaan zakat di Indonesia, karena sejak tahun tersebut pemeriintah mulai ikut serta manangani pelaksanaan zakat. Dasar intervensi pemerintah dari seruan presiden di dalam pidato peringatan Isra’ Mi’raj di Istana Neggara pada tanggal 26 Oktober 1968 , dimana beliau menganjurkan pelaksanaan zakat secara lebih intensif untuk menunjang pembangunan negara, dan presiden siap menjadi amil zakat nasional. Seruan tersebut ditindaklanjuti dengan keluarnya Surat Perintah Presiden No.07/PRIN/1968 tanggal 31 Oktober 1968 yang memerintahkan Alamsyah Azwar Hamid, danAli Afandi untuk membantu presiden dalam administrasi penerimaan zakat seperti di maksud dalam seruan presiden pada peringattan Isa’ Mi’raj tanggal 26 Oktober 1968 tersebut.8 Perkembangan intervensi pemeriintah Indonesia dalam memberikan pendidikan manajemen zakat yang profesional terus dilaksanakan hingga kini. Tercatat beberapa peraturan yang pernah di buat di antaranya yang paling terakhir. 1. UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. 2. Keputusan menteri Agama RI No. 373/2003 tentang pelaksanaan UU No.38 tahun 1999 tentang pengelolan zakat sebagai upaya menyadarkan masyarakat muslim untuk menunaikan zakat. 3. Keputusan Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D/291 tahun 2000 tentang pedoman teknis pengelolaan zakat.9 Dalam perkembangan pelaksanaan zakat di Indonesia tampak kecenderungan baru yang merupakan perubahan ciri dari pelaksanaan zakat tersebut. Pada tanggal 29 Mei 2002 Presiden RI meresmikan silaturahmi dan rapat koordinasi nasional ke 1 Badan Amil Zakat Nasional dan Lembaga Amil Zakat seluruh Indonesia di Istana Negara. Dalam pidatonya, presiden menekankan agar Badan Amil Zakat baik di tingkat Nasional maupun daerah, ataupun pengurus Lembaga Amil Zakat baik ditingkat nasional maupun daerah, ataupun pengurus Lembaga Amil Zakat untuk tidak ragu-ragu bekerja sama dengan Menteri Agama, Menteri Keuangan, Menteri Negara Koperasi dan usaha Kecil dan Menengah maupun menteri terkait lainnya.10 8



Ibid., hal. 126 Ibid., hal. 127 10 Ibid., 128 9



D. Persyaratan Lembaga Pengelola Zakat Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya Fiqh Zakat, menyatakan bahwa seseorang yang ditunjuk sebagai amil zakat atau pengelola zakat, harus memiliki beberapa persyaratan sebagai berikut: Pertama: Beragama Islam. Zakat adalah salah satu urusan utama kaum muslimin yang termasuk Rukun Islam ketiga, karena itu sudah saatnya apabila urusan penting kaum muslimin ini diurus oleh sesama muslim. Kedua : Mukallaf yaitu orang dewasa yang sehat akal pikirannya yang siap menerima tanggung jawab mengurus urusan umat. Ketiga : Memiliki sifat amanah atau jujur. Sifat ini sangat penting karena berkaitan dengan kepercayaan umat. Artinya para muzakki akan dengan rela menyerahkan zakatnya melalui lembaga pengelola zakat, jika lembaga ini memang patut dan layak dipercaya. Keamanahan ini diwujudkan dalam bentuk transparansi (keterbukaan) dalam menyampaikan laporan pertanggungjawaban secara berkala dan juga ketepatan penyalurannya sejalan dengan ketentuan syariah Islamiyah. 11



E. Organisasi Lembaga Pengelola Zakat Di Indonesia



Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat Bab III pasal 6 dan pasal 7 menyatakan bahwa lembaga pengelola zakat di Indonesia terdiri atas dua kelompok institusi yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). BAZ di bentuk pemerintah, sedangkan LAZ dibentuk oleh masyarakat.12 Berdasarkan keputusan Menteri Agama Republik Indonesia tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat disebut dalam pasal 2 mengenai susunan organisasi poin 3 badan amil zakat mempunyai susunan hierarki mulai dari BAZ nasional yang berkedudukan di ibu kota negara, BAZ provinsi berkedudukan di ibu



11 12



Didin Hafiduddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, hal.127 Ibid, hal. 130



kota provinsi, BAZ daerah berkedudukan di ibukota kabupaten, dan terakhir BAZ kecamatan yang berkedudukan di ibu kota kecamatan.13 Susunan organisasi Lembaga Pengelola Zakat, seperti BAZ adalah sebagai berikut: 1) Badan Amil Zakat terdiri atas Dewan Pertimbangan, Komisi Pengawas dan Badan Pelaksana. 2) Dewan Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi unsur ketua, sekretaris dan anggota. 3) Komisi Pengawas sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi unsur ketua, sekretaris dan anggota. 4) Badan Pelaksana sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) meliputi unsur ketua, sekretaris, bagian keuangan, bagian pengumpulan bagian pendistribusian, dan pemberdayaan. 5) Anggota pengurus Badan Amil Zakat terdiri atas unsur masyarakat dan unsur pemerintah. Unsur masyarakat terdiri atas unsur ulama, kaum cendekia, tokoh masyarakat, profesional dan lembaga pendidikan yang terkait. 14



F. Jaringan Kerja BAZ/LAZ dengan Masjid



Cakupan wilayah kerja BAZ biasanya sangat terbatas, artinya budget amil akan sangat terkuras bila harus menjaring daerah-daerah pelosok yang biasanya justru menuntut perhaatian. Sedangkan justifikasi fiqih menetapkan hak amil hanya 1/8 atau 12,5% saja dari dana yang terkumpul. Alokasi dana ini akan cukup minim untuk biaya operasional yang dikembangkan oleh BAZ, padahal besaran1/8 ini sangat tergantung kepada besaran hasil pengumpuan dana zakat itu sendiri. Efektivitas kerja BAZ/LAZ dapat dikendalikan pengoptimalannya jika bisa bertumpu pada jaringan yang mapan untuk pengelolaan informasi.15 Sebagaimana yang dicantumkan dalam UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat disebutkan dalam pasal 2 mengenai susunan organisasi poin 3 badan amil zakat



13 M. Arief Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat:Mengomunikasikan Kesadaran Dan Membangun Jaringan (Jakarta:Kencana,2006), hal. 138 14 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, hal. 240. 15 M. Arief Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat:Mengomunikasikan Kesadaran Dan Membangun Jaringan, hal.144



mempunyai susunan hierarki. Maka jika dikaitkan dengan konsep jaringan masjid chart hierarki organisasinya secara sederhana dapat diilustrasikan sebagai berikut : Stuktur Organisasi



Dengan susunan yang sedemikian rupa masjid akan menjadi tulang punggung pendataan dan penyaluran berikut pendistribusian dana zakat, untuk kemudian ditransfer ke BAZ kecamatan, kemudian ditransfer lagi ke BAZ Daerah dan begitu seterusnya sampai ke BAZ Nasional. Dengan begitu BAZ Kecamatan akan dengan mudah memetakan daerahnya sendiri, kemudian Provinsi dan terakhir Nasional. Jika jaringan organisasional yang mentransfer data pihak surplus dan defisit muslim secara baik maka tentunya-paling tidak: a. Pemerintah Indonesia akan dengan mudah melihat peta kantong-kantong kemiskinan di Indonesia berikut potensi kelompok surplus. b. Pendayagunaan dana zakat yang terkumpul bisa dilakukan dengan lembaga amil terdekat yang berkoordinasi dengan masjid sebagai institusi peribadatan resmi umat islam.



c. Karena zakat menganut sistem haul, maka data yang ditransfer berikut pendanaannya akan mengalami perubahan (up-dating) setiap tahunnya. Dengan begitu pemantauan dapat dilaksanakan dengan mudah oleh pusat.16



Secara Hierarkis, pembentukan Badan Amil Zakat dilakukan dengan urutan sebagai berikut: a. Tingkat Nasional dibentuk oleh Presiden atas usul Menteri Agama. b.



Tingkat provinsi oleh Gubernur atas usul Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi.



c. Tingkat Kabupaten atau Daerah Koota oleh Bupati atau Walikota atas usul Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten atau kota. d. Tingkat Kecamatan oleh Camat atas usul Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan.17



Sedangkan Pola distribusi produktif zakat adalah sebagai berikut:



Keterangan: 1. Muzaki membayar zakat kepada BAZ/LAZ.



16 17



Ibid., hal. 148 Amiruddin Inoed dan Aflatun Mukhtar dkk, Anatomi Fiqh Zakat, hal.128



2. BAZ/LAZ menyalurkan kepada mustahik 1 untuk dimanfaatkan sebagai modal usaha. 3. Usaha untung maka mustahik mengembalikan modalnya kepada BAZ/LAZ. 4. Usaha rugi maka mustahik tidak perlu mengembalikan modalnya. 5. BAZ/LAZ menerima modal kembali dari mustahik yang mengalami keuntugan dalam usaha. 6. BAZ/LAZ memilih menyalurkan kembali kepada mustahik untuk penambahan modal. 7. BAZ/LAZ memilih menyalurkan modal kepada mustahik 2 untuk dimanfaatkan sebagai modal usaha dan begitu seterusnya.18



G. Badan-badan Zakat Kontemporer Husein Syahatah dalam Cara Praktis Menghitung Zakat (2005;80), didunia Islam terdapat berbagai bentuk badan zakat. Diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Badan-badan zakat negeri, sebagaimana yang terdapat di kerajaan Saudi Arabia, Sudan, Libia, dan Iran. Badan-badan ini bertugas mengumpulkan zakat secara paksa berdasarkan undang-undang. 2. Badan-badan zakat otonom, sebagaimana yang terdapat di Kuwait, Qatar, dan Bahrain. Badan-badan ini memiliki kebijaksanaan yang otonom dalam pemasukan dan pengeluaran. Badan-badan ini mendapat dukungan dari negara dan bekerja dibawah pengawasan pemerintah. Pembayaran zakat melalui badan-badan ini bersifat sukarela. 3. Asosiasi-asosiasi dan insitusi-institusi sosial swasta yang independen. Institusi-institusi ini memiliki kebijaksanaan yang independen dalam mengelola zakat, dan bekerja dibawah pengawasan pemerintah. Institusi-institusi ini mengumpulkan zakat dari individu-individu dan perusahaan-perusahaan, lalu menyalurkannya kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya secara syar’i. pembayaran zakat melalui institusi-institusi ini bersifat sukarela. 4. Panitia-panitia zakat di masjid-masjid, badan-badan, perusahaan-perusahaan dan sebagainya. Panitia-panitia ini mengumpulkan zakat dari individu-individu secara sukarela dan menyalurkannya kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya. Kita wajib mendukung dan bekerjasama dengan panitia-panitia ini. 18



M. Arief Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat:Mengomunikasikan Kesadaran Dan Membangun Jaringan, hal.167



Badan-badan zakat kontemporer yang disebutkan diatas harus memiliki independensi yang sempurna dalam pemasukan dan pengeluaran, dan harus tunduk dibawah pengawasan syariat dan keuangan yang dilakukan oleh para ahli yang terpercaya. Kita mengharap adanya kerjasama yang saling melengkapi diantara badan-badan zakat pada tingkat daerah, nasional, dan internasional, demi mewunjudkan tujuan kewajiban berzakat.19



H. Fungsi dan Tugas Pokok Pengurus BAZ a. Dewan Pertimbangan 1. Fungsi Memberikan pertimbangan, fatwa, saran dan rekomendasi kepada Badan Pelaksana dan Komisi Pengawas dalam pengelolaan Badan Amil Zakat, meliputi aspek syariah dan aspek manajerial.



2. Tugas Pokok a. Memberikan garis-garis kebijakan umum Badan Amil Zakat. b. Mengesahkan rencana kerja dari Badan Pelaksana dan Komisi Pengawas. c. Mengeluarkan fatwa syariah baik diminta maupun tidak berkaitan dengan hukum zakat yang wajib diikuti oleh pengurus Badan Amil Zakat d. Memberikan pertimbangan, saran dan rekomendasi kepada Badan Pelaksana dan Komisi Pengawas baik diminta maupun tidak e. Memberikan persetujuan atas laporan tahunan hasil kerja Badan Pelaksana dan Komisi Pengawas. f.



Menunjuk Akuntan Publik.20



b. Komisi Pengawas 1. Fungsi 19



Husein Syaahatah, Cara Praktis Menghitung Zakat, (Jakarta:Penerbit Kalam Pustaka), hal.



20



Didin Hafiduddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, hal. 131



80



Sebagai pengawas internal lembaga atas operasional kegiatan yang dilaksanakan Badan Pelaksana



2. Tugas pokok a. Mengawasi pelaksanaan rencana kerja yang telah disahkan b. Mengawasi pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan Dewan Pertimbangan c. Mengawasi operasional kegiatan yang dilaksanakan Badan Pelaksana, yang mencakup pengumpulan pendistribusian dan pendayagunaan. d. Melakukan pemeriksaan operasional dan pemeriksaan syariah.21



c. Badan Pelaksana 1. Fungsi Sebagai pelaksana pengelolaan zakat



2. Tugas pokok a. Membuat rencana kerja b. Melaksanakan operasional pengelolaan zakat sesuai rencana kerja yang telah disahkan dan sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan c. Menyusun laporan tahunan d. Menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada pemerintah Bertindak dan bertanggung jawab untuk dan atas nama Badan Amil Zakat kedalam maupun keluar.22



I. Strategi Pengembangan dalam Pengelolaan Zakat Dalam proses pengelolaan dana zakat yang dijalankan baik oleh BAZ maupun LAZ dimulai dari proses perencanaan perolehan zakat, strategi penghimpuanan, rencana penyaluran serta komposisi distribusi, dan berakhir dengan pertanggungjawaban. Penilaian atas tahapan pengelolaan zakat kemudian melahirkan kebijakan korektif yang harus dijalankan oleh Badan Pelaksana dengan pengawasan oleh Komisi Pengawas. Kebijakan



21 22



Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, hal. 241. Ibid, hal. 241.



korektif ini diambil untuk digunakan sebagai dasar bagi langkah-langkah pengembangan lebih lanjut. Penilaian kinerja tidak dilakukan terhadap salah satu fungsi saja melainkan seluruh fungsi sebagai satu kesatuan sistem. Semua pakar manajemen sependapat bahwa program pengembangan mustahil akan dapat diwujudkan dengan hasil memadai tanpa kesiapan internal yang tepat. Dalam konteks ini, fungsi litbang boleh jadi merupakan sebuah kebutuhan mutlak bagi sebuah organisasi yang sadar akan tantangan dan kebutuhan pengembangan: peran litbang dalam konteks ini secara fokus lebih dihadapkan pada analisis kondisi dan tren. Prasyarat lainnya yang dibutuhkan bagi proses pengembangan adalah fungsi pengendalian. BAZ dan LAZ juga tidak mempunyai mekanisme kontrol yang ketat sehingga tidak sedikit pula diantara mereka kurang menjalankan amanah (kepercayaan) yang diberikan masyarakat. Empat bentuk kontrol sosial yang utama mencakup (1) kompetisi, (2) peraturan pemerintah, (3) pengaruh dari kelompok luar, dan (4) pengendalian diri sendiri. Selain secara internal oleh Komisi Pengawas, pengawasan terhadap kegiatan lembaga amil zakat secara eksternal juga dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat. Namun, pengawasan eksternal ini bisa dilaksanakan apabila LAZ yang bersangkutan bersikap terbuka dengan pengelolaan keuangannya dan menaati peraturan perundangan yang berlaku, penerapan prinsip syariah dan kinerja lembaga secara keseluruhan. Pengawasan eksternal secara aktif oleh masyarakat diperlukan, mengingat lembaga amil zakat merupakan organisasi publik dan mengingat hal itu apapun keberhasilan yang dicapai memang semestinya dipublikasikan secara terbuka. LAZ harus berani melakukan publikasi secara terbuka melalui media massa dan sekaligus meyakinkan kinerja pengembangan program pemberdayaan, serta membanguan dan memperbesar kepercayaan para muzakki, di samping tentunya yang paling utama sebagai bentuk pertanggungjawaban publik. 23 Beberapa strategi pengembangan dalam pengelolaan zakat adalah: 1. Membudayakan Kebiasaan Membayar Zakat Harus mulai dicanangkan gerakan membayar zakat melalui tokoh-tokoh agama atau bahkan dengan cara memasang iklan di media massa baik cetak maupun elektronik. Selain itu harus mulai membiasakan sedari dini kepada para pelajar agar mau menyisihkan sebagian rezekinya untuk berbagi dengan sesama dengan melatih 23



Umrotul Khasanah, Manajemen Zakat Modern: Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat, (Malang:UIN Maliki, 2010), hal. 216



para generasi muda sedari dini, maka akan mampu menjadi suatu budaya yang built in di dalam jiwa mereka pada saat mereka telah memiliki kemampuan untuk mencari nafkah. Rasa empati dan sosial pun akan timbul dari budaya membayar zakat ini. Sosialisasi kebiasaan membayar zakat harus dilakukan secara serentak dan dengan koordinasi yang matang antar lembaga, agar dapat menjadi budaya positif di masyarakat. Himbauan moral harus selalu dikumandangkan baik oleh tokoh-tokoh formal di masyarakat maupun tokoh informal. 2. Penghimpunan yang cerdas Pada masa sekarang strategi penghimpunan yang tradisional sudah tidak dapat dipergunakan lagi, yaitu strategi penghimpunan yang hanya tunggu bola, menunggu datangnya muzaki yang datang ke tempat amil. Saat ini amil harus mau untuk lebih bekerja keras dalam menghimpun dana masyarakat, stategi yang dipakai adalah strategi jemput bola, yaitu amil harus mendatangi dan mendekati para muzakki agar mau menyisihkan sebagian dananya untuk sesama. 3. Perluasan Bentuk Penyaluran Pola-pola penyaluran tradisional yang selama ini banyak diterapkan oleh lembaga pengelola zakat masjid atau tradisional harus diubah agar bentk penyaluran yang ada mampu menjadikan manusia tersebut menjadi mandiri dan tidak tergantung kepada pihak lain. Janganlah selalu memberi mereka ikan, akan tetapi mereka harus pula diberi kail agar mereka pada akhirnya mampu memperoleh ikan mereka sendiri, bahkan mereka mampu memberi ikan yang mereka peroleh kepada pihak lain. Hal ini menimbulkan implikasi bahwa zakat akan mampu menciptakan kemaslahatan dan kemudharatn bagi umat. 4. Sumber Daya Manusia yang Berkualitas Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan salah satu prasyarat agar suatu lembaga amil zakat untuk semakin berkembang dan mampu mendayagunakan dana zakat yang mereka miliki agar berguna bagi kemaslahatan umat. Lembaga amil zakat harus mampu memberikan penghargaan yang seimbang sesuai dengan prestasi kerja para staf pengelola, agar meeka mau menjadikan amil tersebut menjadi profesi yang bergengsi dan menyenangkan. Profesi amil mempunyai dua dimensi yang berbeda uaitu di satu sisi mereka mencari materi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan di sisi lain mereka bekerja sambil beribadah mengamalkan ilmunya untuk kemaslahatan umat.



Sehingga sungguh tepat perubahan paradigma pengelolaan dana zakat, yaitu tidak berdasarkan manajemen Lillahi ta’ala, melainkan manajemen yang profesional, akuntabel, amanah, dan memiliki integritas yang tinggi dimana nilai-nilai tersebut telah built in di dalam jiwa setiap pengelola zakat. Sehingga pengelolaan dana zakat akan menjadi semakin berdayaguna bagi masyarakat. 5. Fokus dalam Program Seringkali kelemahan para lembaga pengelola zakat saat ini adalah mereka memiliki ambisi untuk menjangkau seluruh aspek kehidupan, hal ini berakibat pada tidak



fokusnya



program-program



yang



mereka



lakukan.



Sehingga



dapat



mengakibatkan tujuan utama pendayagunaan zakat untuk mengentaskan mustahik dari jurang kemiskinan justru tidak menjadi optimal. Lembaga amil zakat yang memiliki fokus utama terhadap suatu sektor tertentu akan lebih efektif dalam pengelolaan. 6. Cetak Biru Pengembangan Zakat Setiap elemen dan institusi yang terkait dengan pengembangan dan pengelolaan zakat di Indonesia haruslah secara bersama-sama dengan pemerintah merumuskan suatu arahan dan target-target jangka pendek, menengah maupun panjang dari pengelolaan zakat di Indonesia agar zakat mampu berdayaguna dan dapat mensejahterakan serta memakmurkan masyarakat. Apabila institusi keuangan lain sudah memiliki suatu cetak biru pengembangan zakat, maka institusi zakat pun wajib memiliki cetak biru pengembangan zakat. Namun untuk menyatukan semua elemen tersebut idealnya pemerintah turut mengambil peranan yaitu dengan membentuk satu kementerian khusus yang bertugas untuk mengelola zakat.24



J. Kendala Menurut data yang telah tercatat potensi zakat di Indonesia luar biasa besar. Secara matematis, dana zakat minimal dapat dihimpun sebesar Rp6,5 trilyun per tahun. Itu belum termasuk infak, sedekah, serta wakaf. Jika semuanya dapat dihimpun akan diperoleh jumlah zakat yang fantatis. Angka itu memang baru potensi belum menjadi kenyataan, akibat masih lemahnya sistem kerja organisasi amil zakat.



24



Pada kenyataannya, saat ini baru bisa



Nurianto Al Arif, https://nuriantoalarif.wordpress.com/2008/12/21/7/, diakses 2 Desember 2015



terkumpul dana zakat sebesar lebih kurang Rp 150 milyar per tahun, atau baru sekitar 2,3%. Maka, timbul pertanyaan: mengapa sejauh ini masih relatif kecil dana zakat yang terhimpun? Dalam observasi yang dilakukan di kota-kota besar di Jawa terungkap bahwa hal itu lebih disebabkan oleh titik lemah organisasi dalam aspek pencitraan. Tidak sedikit organisasi amil zakat bercitra negatif sehingga kepercayaan muzakki terhadap organisasi tersebut rendah.25 Berdasarkan hal tersebut beberapa kendala umum yang sering dihadapi oleh lembaga amil zakat adalah: 1. Minimnya sumber daya manusia yang berkualitas Pekerjaan menjadi seorang pengelola zakat (amil) belumlah menjadi tujuan hidup atau profesi dari seseorang, bakan dari lulusan ekonomi syariah sekalipun. Para pemuda ini meskipun dari lulusan ekonomi syariah lebih memilih untuk berkarir di sektor keuangan seperti perbankan atau asuransi, akan tetapi hanya sedikit orang yang memilih untuk berkarir menjadi pilihan hidup dari para pemuda kita, karena tidak ada daya tarik berkarir disana. Padahal lembaga amil membutuhkan banyak sumber daya manusia yang berkualitas agar pengelolaan zakat dapat profesional, amanah, akuntabel dan transparan. Karena sesungguhnya kerja menjadi seorang amil mempunyai dua aspek tidak hanya aspek materi semata namun aspek sosial juga sangat menonjol. Ada beberapa kriteria pengelola zakat agar mampu menjadi suatu lembaga zakat agar menjadi suatu lembaga zakat yang profesional, yaitu (1) amanah, (2) manajemen skills, (3) ikhlas, (4) leadership skills, (5) inovatif, (6) no profit motives. 2. Pemahaman fiqh amil yang belum memadai Masih minimnya pemahaman fiqh zakat dari para amil masih menjadi salah satu hambatan dalam pengelolaan zakat. Sehingga menjadi fiqh hanya dimengerti dari segi tekstual semata bukan konteksnya. Banyak para amil terutama yang masih bersifat tradisional, mereka sangat kaku memahami fiqh, sehingga tujuan utama zakat tidak tercapai. Sebenarnya dalam penerapan zakat di masyarakat yang harus diambil adalah ide dasarnya, yaitu bermanfaat dan berguna bagi masyarakat serta dapat memberikan kemaslahatan bagi umat dan mampu menjadikan mustahik tersebut pribadi yang mandiri dan tidak tergantung oleh pihak lain. 25



hal. 223



Umrotul Khasanah, Manajemen Zakat Modern: Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat,



Namun bukan berarti para amil diberikan kesempatan untuk berijtihad dan berkereasi tanpa batas, mereka tetap harus berusaha melakukan terobosan-terobosan baik pengelolaan zakat, agar tetap sesuai dengan syariah. Sistem pengawasan yang terdapat di semua institusi keuangan syariah termasuk di dalamnya institusi pengella zakat, mewajibkan adanya unsur Dewan Pengawas Syariah di dalam struktur organisasinya yang berfungsi untuk melakukan pengawasan terhadap pengelolaan manajemen agar tidak menyimpang dari aturan syariat. 3. Rendahnya kesadaran masyarakat Masih minimnya kesadaran membayar zakat dari masyarakat menjadi salah satu kendala dalam pengelolaan dana zakat agar dapat berdayaguna dalam perekonomian. Karena sudah melekeat dalam benak sebagian kaum muslim bahwa perintah zaat itu hanya diwajibkan pada bulan Ramadhan saja itupun masih terbatas pada pembayaran zakat fitral. Padahal zakat bukanlah sekedar ibadah yang diterapkan pada bulan Ramadhan semata, melainkan juga dapat dibayarkan pada bulan-bulan selain Ramadhan. Sehingga ide dasar zakat untuk kemaslahatan umat telah bergeser mendai sekedar ibadah ritual semata yang dikerjakan bersamaan dengan ibadah puasa. Terdapatnya syarat haul menandakan bahwasanya zakat tersebut tidak mengenal pembayaran pada satu bulan tertentu saja, melankan setiap bulan zakat dapat dibayarkan. Apabila kesadaran masyarakat akan pentingnya zakat bagi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran umatApabila kesadaran masyarakat akan pentingnya zakat bagi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran umat sudah semakin baik, hal ini akan berimbas pada peningkatan penerimaan zakat. 4. Teknologi yang digunakan Penerapan teknologi yang ada pada suatu lembaga zakat masih sangat jaduh bila dibandingkan dengan yang sudah diterapkan institusi keuangan. Hal ini turut menjadi salah satu kendala penghambat kemajuan pendayagunaan zakat. Teknologi yang diterapkan pada lembaga amil masih terbatas pada teknologi standar biasa. Sistem n menengah atas yang notabenenya memiliki dana berlebih. Mobilitas tinggi membutuhkan teknologi tinggi yang menunjang pula, bila lembaga amil zakat mampu melakukan inovasi dalam memberikan kemudahan kepada muzakki, maka akan semakin mampu mempertinggi proses penghimpunan dana. 5. Sistem informasi zakat



Inilah salah satu hambatan utama yang menyebabkan zakat belum mampu memberikan pengaruh yang signifikan dalam perekonomian. Lembaga amil zakat yang ada baelum mampu mempunyai atau menyusun suatu sistem informasi zakat yang terpadu antar amil. Sehingga para lembaga amilzakat ini saling terintegrasi satu dengan lainnya. Sebagai contoh penerapan ini adalah pada database muzakki dan mustahik. Dengan adanya sistem informasi ini tidak akan terjadi pada muzakki yang sama didekati oleh beberapa lembaga amil, atau mustahik yang sama diberi bantuan oleh beberapa lembaga amil zakat. Namun bukan berarti dengan adanya sistem informasi zakat ini, maka tidak ada lagi rahasia dan strategi khas antar institusi. Sebab kehadiran sistem informasi zakat adalah hanya untuk mempermudah mengenali titik-titik lokasi yang telah digarap oleh suatu lembaga dan titk lokasi mana yang belum menerima bantuan. Hal ini dapat mencegah dimana akan terdapat lokasi pemberdayaan yang gemuk dan ada lokasi yang kurus. Karena tujuan utama kehadiran lembaga amil zakat selain untuk mengelola dana zakat, namun harus pula mampu mengkoordinasikan agar zakat tersebut manfaat dan pengaruhnya dapat terasa bagi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi sistem informasi ini haruslah dikelola oleh suatu institusi independen dan idealnya dikelola oleh negara.26



26



Nurianto Al Arif, https://nuriantoalarif.wordpress.com/2008/12/21/7/, diakses 2 Desember 2015



BAB III PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan seperti berikut ini: Zakat merupakan kewajiban agama dan termasuk rukun islam yang ke tiga dan wajib dikeluarkan oleh setiap muslim yang memiliki harta lebih. Zakat juga terdapat dalam surat atTaubah ayat 60 dan ayat 103. Dalam mengurus zakat diperlukan lembaga pengelola zakat supaya zakat dapat disalurkan kepada orang yang berhak menerimanya. Lembaga pengelola zakat terbagi menjadi dua yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Tujuan dari pembentukan lembaga tersebut yaitu untuk memudahkan pendistribusian zakat. Akan tetapi dalam lembaga pengelola zakat di Indonesia masih terdapat beberapa kendala di antaranya yaitu banyaknya organisasi amil zakat yang berjalan sendiri-sendiri sehingga potensi zakat yang sangat besar kurang dapat dimanfaatkan secara terarah dan merata. Di sisi lain, hal itu juga disumbang oleh faktor angka kemiskinan dan tingkat pengangguran yang dari hari ke hari semakin naik. Selain itu, pemahaman fiqih seorang amil yang belum memadai, rendahnya kesadaran masyarakat akan pembayaran zakat, sistem informasi zakat yang belum maksimal. Kendala inilah yang membuaat dana zakat kurang terkumpul secara maksimal dan penyalurannya pun juga belum sesuai dengan yang diharapkan. Dari kendala tersebut dibutuhkan strategi yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi dalam lembaga pengelola zakat. Di antaranya adalah, meningkatkan pengawasan terhadap badan pengelola zakat, membentuk gerakan membayar zakat yang di prakarsai oleh tokoh-tokoh agama setempat supaya masyarakat sadar betapa pentingnya dalam membayar sistem informasi zakat, meperbaiki pola-pola penyaluran zakat, dan lainlain.



DAFTAR PUSTAKA



Al Arif, Nurianto. https://nuriantoalarif.wordpress.com/2008/12/21/7/. Hafiduddin, Didin. Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani Press. 2002. Inoed, Amiruddin dan Aflatun Mukhtar dkk. Anatomi Fiqh Zakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005. Khasanah, Umrotul. Manajemen Zakat Modern: Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat. Malang:UIN Maliki. 2010. Mufraini, M. Arief. Akuntansi dan Manajemen Zakat: Mengomunikasikan Kesadaran Dan Membangun Jaringan. Jakarta: Kencana. 2006. Syahatah, Husein. Cara Praktis Menghitung Zakat. Jakarta: Penerbit Kalam Pustaka. 2005. Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah. Yogyakarta: Ekonisia. 2003.