MAKALAH Kep - Jiwa Kelompok 5 - 1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA II Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Kebutuhan Kusus Korban Pemerkosaan, Korban KDRT, korban Trafficking, Narapidana, Anak Jalanan Dosen Pengampu : Zumrotul Choiriyyah, S.Kep., Ns., M.Kes.-



KELOMPOK 9 1. Afifah Stya Ningrum 2. Ayu Galuh Wibowo



011191070 011191073



3. Apriliya Ayuningtyas 4. Diska Putri Letysia 5. Philia Widyawati 6. Hilda Iryana Atika K



011191032 011191096 011191088 011191021



Universitas Ngudi Waluyo Fakultas Kesehatan Prodi S1 Keperawatan 2021



1



KATA PENGANTAR



Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Kebutuhan Kusus Korban Pemerkosaan, Korban KDRT, korban Trafficking, Narapidana, Anak Jalanan’’. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun, selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Meski demikian, penulis menyadari masih banyak sekali kekurangan dan kekeliruan di dalam penulisan makalah ini, baik dari segi tanda baca, tata bahasa maupun isi. Sehingga penulis secara terbuka menerima segala kritik dan saran positif dari pembaca. Demikian apa yang dapat kami sampaikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk masyarakat umumnya.



Ungaran, 11 oktober 2021



Penulis



2



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR..........................................................................................................i DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii BAB I.....................................................................................................................................4 1.1 Latar Belakang.................................................................................................................4 1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................5 1.3 Tujuan..............................................................................................................................5 BAB II...................................................................................................................................6 2.1 Askep anak Dengan Kebutuhan Khusus Pemerkosaan...................................................6 2.2 Askep Anaa Dengan Kebutuhan Khusus KDRT.............................................................12 2.3 Askep Anak Dengan Kebutuhan Khusus Trafficking.....................................................17 2.4 Askep Anak Dengan Kebutuhan Khusus Narapidana.....................................................20 2.5 Askep Anak Dengan Kebutuhan Khusus Anak Jalanan..................................................24 BAB III..................................................................................................................................33 3.1 Kesimpulan......................................................................................................................33 3.2 Saran................................................................................................................................33 DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................34



3



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak merupakan anugrah dari Tuhan yang sangat dinantikan kehadirannya, namun tidak semua anak beruntung dengan mendapatkan kesempurnaan. Terdapat beberapa anak yang istimewa, berbeda dari yang lain yang harus mendapatkan perhatian khusus. Anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang memerlukan penanganan khusus yang berkaitan dengan kekhususannya.(Fadhli, 2010).Sama halnya dengan anak yang normal, anak yang berkebutuhan khusus juga harus memperhatikan, pertumbuhan dan perkembangan anak sangat penting bagi anak karena menentukan masa menentukan. Pemerkosaan adalah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang dinilai melanggar moral dan hukum. (Wigjosubroto dalam prasetyo, 1997) Umumnya klien dengan perilaku kekerasan dibawa dengan paksa ke rumah sakit jiwa. Sering tampak klien tampak secara tidak langsung disertai bentakan dan “pengawalan” oleh anggota keluarga bahkan polisi. Perilaku kekerasan seperti memukul anggota keluarga/orang lain, merusak alat rumah tangga dan marah-marah merupakan alasan utama yang paling banyak dikemukakan oleh keluarga. Penanganan yang dilakukan oleh keluarga belum mencukupi sehingga selama perawatan klien setidaknya sekeluarga mendapat pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien (manajemen perilaku kekerasan). Asuhan 2000 yang diberikan di rumah sakit jiwa terhadap perilaku kekerasan perlu ditingkatkan serta dengan perawatan intensif di rumah sakit umum. Asuhan Behaviour Behaviour (MPK) yaitu asuhan keperawatan yang bertujuan melatih klien mengontrol perilaku kekerasan dan pendidikan kesehatan tentang MPK pada keluarga. Seluruh asuhan, ini dapat menjadi pendekatan proses 2000-an. Masalah perdagangan manusia (Human Trafficking) bukan lagi hal yang baru, tetapi sudah menjadi masalah nasional dan internasional yang berlarut-larut, yang sampai saat ini belum dapat diatasi secara tepat, baik oleh pemerintah setiap Negara, maupun oleh organisasi-organisasi internasional yang dalam pegangan masalah perdagangan manusia tersebut. Peningkatan pertumbuhan penduduk di Indonesia saat ini mengakibatkan persaingan dalam dunia kerja yang semakin ketat, sehingga berdampak pada banyaknya 3 gerakan Berdasarkan data dari badan pusat statistik (2013), tingkat gerakan setiap bulan adalah sekita 5,92% dari jumlah angkatan kerja di Indonesia yang mencapai 121,2 juta orang. Banyaknya hal tersebut menyebabkan beberapa dari mereka menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan yang harus dipenuhi salah satunya adalah kebutuhan dasar yang dipenuhi dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya adalah kebutuhan untuk makan. Seseorang dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah akan mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan makan mereka sehari-hari. Tingkat ekonomi menengah ke bawah merupakan suatu hal yang perbuatan seseorang untukmemenuhi dorongan sosial yang memerlukan dukungan finansial sehingga berpengaruh pada kebutuhan hidup sehari-hari ( Afrinanda, 2009). Anak jalanan adalah anak-anak yang sebagian waktunya untuk bekerja di jalanan kawasan perkotaan. Sedangkan menurut Departemen Sosial RI, anak jalanan merupakan 4



anak yang berusia di bawah 18 tahun dan berada di jalan lebih dari 6 jam sehari dalam 6 hari dalam seminggu. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana Askep Anak Dengan Kebutuhan Khusus Korban Pemerkosaan ? 2. Bagaimana Askep Anak Dengan Kebutuhan Khusus KDRT ? 3. Bagaimana Askep Anak dengan Kebutuhan Khusus Korban Trafficking? 4. Bagaimana Askep Anak Dengan Kebutuhan Khusus Narapidana ? 5. Bagaimana Askep Anak Dengan Kebutuhan Khusus Anak Jalanan ?



1.3 Tujuan 1. Mengetahui Askep Anak Dengan Kebutuhan Khusus Korban Pemerkosaan 2. Mengetahui Askep Anak Dengan Kebutuhan Khusus KDRT 3. Mengetahui Askep Anak dengan Kebutuhan Khusus Korban Trafficking 4. Mengetahui Askep Anak Dengan Kebutuhan Khusus Narapidana 5. Mengetahui Askep Anak Dengan Kebutuhan Khusus Anak Jalanan



5



BAB II PEMBAHASAN 2.1 Asuhan Keperawatan Anak Dengan Kebutuhan Khusus Korban Pemerkosaan A. DEFINISI Pemerkosaan sebagai suatu kejahatan yang sering dikemukakan oleh Mulyana W.Kusumah, mengatakan “Pemerkosaan merupakan salah satu kejahatan yang mempunyai tingkatan seriusitas yang tinggi dan mengundang tumbuhnya “ fear of creme” (ketakutan pada kejahatan di dalam masyarakat). Tindakan pemerkosaan terhadap anak yang berkebutuhan khusus tersebut merupakan perbuatan yang melanggar berbagai norma yang ada tentunya juga melanggar hak asasi manusia (Andira, 2015) B. PENYEBAB (ETIOLOGI) Ada beberapa faktor penyebab terjadinya tindak pidana pemerkosaan terhadap anak berkebutuhan khusus yaitu faktor keluarga lingkungan, faktor seksualitas dan faktor kemajuan ilmu dan teknologi. a. Faktor keluarga dan lingkungan Lingkungan dan keluarga merupakan faktor yang paling terpenting dalam hal ini. Karena faktor keluarga dan lingkungan yang dapat membentuk seseorang menjadi pribadinya masing – masing. Di dalam sebauh keluargalah seorang anak didik untuk menjadi baik di dalam keluarga maupun di luar keluarga seperti di lingkungan. Kebebasan dan kelalaian orang tua dapat menjadi penyebab terjadinya kejahatan. Pengawasan yang kurang dari orang tua bagi putra – putrinya khususnya yang memiliki kebutuhan khusus sangatlah dibutuhkan. Mengingat banyaknya kejahatan yang meninpa anak berkebutuhan khusus atau difabel. Faktor lingkungan juga dapat membuat seseorang melakukan kejahatan. Karena pergaulan yang salah seseorang dapat melakukan hal – hal yang tidak masuk akal yang dapat membuat dirinya masuk ke jurang kesengsaraan. Faktor lingkungan dan keluarga sangatlah berpengaruh. b. Faktor Seksual 6



Faktor sesual berhubungan dengan hasrat dan nafsu sesorang untuk melakukan hubungan seksual. Faktor seksualitas meupakan faktor terjadinya kejahatan pemerkosaan, hal ini disebabkan karena hasrat dari pelaku yang ingin melakukan hubungan seks dengan korban. Bagi pelaku yang sudah memiliki istri, ini terjadi karena tidak adanya kepuasan seksualitas yang tersalur saat berhubungan dengan sang istri. Kemudian pelaku melihat muridnya dan muncullah hasrat serta napsu yang begitu bergejolak sehingga pelaku melakukan tindakan pemekosaan. c. Faktor kemajuan ilmu dan teknologi Faktor telekomunikasi serta situs porno menjadi salah satu faktor utama. Dengan perkembangan telekomunikasi yang pesat menyebabkan kemudahan dalam mengakses situs porno melalui dunia maya atau internet. Kecanggihan alat telekomunikasi dan kemudahan dalam mengakses situs porno yang begitu mudah dapat menyebabkan terjadinya kejahatan. Karena tidak memiliki pasangan maka seseorang akan melampiaskan dengan orang lain bahkan orang yang tidak ia kenal sekalipun (Andira, 2015) C. UPAYA UNTUK MENCEGAH PEMERKOSAAN 1) Melakukan sosialisasi di sekolah – sekolah maupun di lingkungan masyarakat Pemberian sosialisasi yang dilakukan di sekolah – sekolah maupun di lingkungan masyarakat dengan bebagai cara seperti acara seminar atau hanya sekedar diskusi umum. Sosialisasi ini bertujuan untuk membuat masyarakat sadar akan hukum dan menghimbau bagi para orang tua agar memberikan yang ketat terhadap putra putrinya khususnya yang memiliki kebutuhan khusus. 2) Dengan meningkatkan sumber daya manusia Peningkatan sumber daya manusia dikarenakan masih minimnya pengetahuan dalam menangani kasus pemerkosaan terhadap anakberkebutuhan khusus. 3) Menyediakan petugas penyidik khusus dan juga menyediakan ruang khusus pelayanan khusus anak. Penyediaan petugas khusus dan juga ruang khusus pelayanan bagi anak ini bertujuan untuk memberikan ketenangan dan kenyaman pada saat dilakukan penyidikan terhadap anak. Ini dilakukan karena mental anak yang berbeda dengan mental orang dewasa. Dimana mental anak masih sangat sensitif di bandingakan mental orang dewasa. Anak - anak mudah merasa takut dengan hal baru yang 7



menimpanya khususnya anak yang memiliki kebutuhan khusus. Ini menyebabkan harus adanya perhatian khusus bagi anak- anak tersebut. 4) Untuk Orang Tua 



Cari tahu apakah sekolah anak memiliki program pencegahan pelecehan untuk anak dan guru. Jika tidak, mulailah adakan program tersebut.







Bicarakan dengan anak tentang pelecehan seksual. Waktu yang baik untuk melakukan hal ini adalah saat sekolahnya mensponsori sebuah program tentang pencegahan kekerasan seksual.







Ajarkan anak tentang privasi bagian-bagian tubuh.







Dengarkan ketika anak berusaha memberitahu sesuatu, terutama ketika ia terlihat sulit untuk menyampaikan hal tersebut.







Berikan anak waktu cukup sehingga anak tidak akan mencari perhatian dari orang dewasa lain.







Ketahui dengan siapa anak menghabiskan waktu. Jangan membiarkan anak menghabiskan waktu di tempat-tempat terpecil dengan orang dewasa lain atau anak-anak yang lebih tua. Rencanakan untuk mengunjungi pengasuh anak tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.







Beritahu seseorang jika mencurigai ada anak telah mendapat kekerasan seksual.







Pembekalan Ilmu Bela Diri



5) Untuk Anak Beritahukan anak agar : 



Jangan berbicara atau menerima pemberian dari orang asing.







Harus selalu meminta izin kepada orang tua jika akan pergi.







“ Katakan pada anak bahwa mereka harus segera melaporkan kepada bapak atau ibunya apabila ada orang yang menyentuh alat kelamin atau tubuh mereka dengan cara yang tidak mereka sukai.







Katakan pada anak agar berteriak atau kabur jika merasa terancam oleh orang yang tak dikenal.







Selalu berpakaian sopan dan menutup aurat







Jangan berjalan sendirian ditempat yang sepi







Mengunci kamar tidur saat berada didalamnya







Mengunci kamar mandi saat berada didalamnya 8







Mengganti baju pada tempat yang aman dan terlindungi.



D. DAMPAK KEKERASAN SEKSUAL (PEMERKOSAAN) PADA ANAK Kekerasan seksual terhadap anak berdampak pada fisik, psikologis dan tumbuh kembang anak sebagai generasi penerus bangsa di masa yang akan datang. 1. Dampak Psikologis a. Depresi Menyalahkan diri sendiri adalah salah satu efek jangka pendek dan jangka panjang paling umum, berfungsi sebagai keterampilan naluriah untuk mengatasi masalah



dengan



penghindaran



yang



mengambat



proses



penyembuhan.



Menyalahkan diri sendiri erat kaitannya dengan depresi. Depresi adalah gangguan mood yang terjadi ketika perasaan yang diasosiasikan dengan kesedihan dan keputusasaan terus terjadi berkelanjutan untuk jangka waktu yang lama hingga mengganggu pola pikir sehat. Depresi dan menyalahkan diri dapat merusak seseorang: minimnya motivasi untuk mencari bantuan, kurang empati, mengisolasi diri dari orang lain, kemarahan, dan agresi termasuk melukai diri sendiri dan/atau upaya bunuh diri. b. Sindrom Trauma Pemerkosaan Sindrom trauma pemerkosaan (Rape Trauma Syndrome/RTS) adalah bentuk turunan dari PTSD (gangguan stres pasca trauma), sebagai sesuatu kondisi yang mempengaruhi korban perempuan muda dan dewasa dari kekerasan seksual. Kekerasan seksual, termasuk perkosaan, dipandang oleh wanita sebagai situasi yang mengancam nyawa, memiliki ketakutan umum akan mutilasi dan kematian sementara serangan terjadi. c. Disosiasi Dalam istilah yang paling sederhana, disosiasi adalah pelepasan dari realitas. Disosiasi, merupakan salah satu dari banyak mekanisme pertahanan yang digunakan otak untuk mengatasi trauma kekerasan seksual. Disosiasi sering digambarkan sebagai pengalaman “ruh keluar dari tubuh”, di mana seseorang merasa tidak terikat dengan jasmaninya. Merasa kalau keadaan disekitarnya



9



tampak tidak nyata, tidak terlibat dengan lingkungan tempat ia berada, seolaholah seperti sedang menonton kejadian tersebut di televisi. 2. Dampak Fisik a. Gangguan makan Kekerasan seksual sangat mempengaruhi fisik korban, seperti: mempengaruhi persepsi diri terhadap tubuh dan otonomi pengendalian diri dalam kebiasaan makan. Beberapa korban akan menggunakan makanan sebagai pelampiasan dalam mengatasi trauma kekerasan seksual yang sudah dialaminya. Tindakan ini hanya memberikan perlindungan sementara, tetapi akan merusak tubuh dalam jangka panjang. b. Dyspareunia Dyspareunia adalah nyeri yang dirasakan selama atau setelah berhubungan Seksual (Neherta, 2017) E. PENATALAKSANAAN 1. Berikut, adalah hal- hal yang perlu diperhatikan saat berkomunikasi dengan anak korban kekerasan seksual : a) Jaga nada bicara Untuk mendapatkan informasi yang akurat dari anak bicaralah dengan nada santai. Karena percakapan yang dimulai dengan nada serius dapat menakut-nakuti anak. Sehingga anak akan cenderung menjawab dengan jawaban yang tidak benar, dan bukan jawaban yang sebenarnya. b) Berbicara secara langsung Berbicaralah secara langsung dengan anak tanpa perantara dan gunakan kosakata yang sesuai dengan umur anak. Cari kata yang memiliki banyak makna seperti, “apakah ada orang yang menyentuh kamu”. Kata “menyentuh” dapat memiliki arti yang lain, namun kata ini akrab di telinga anak. Sehingga anak akan merespon dengan pernyataan atau komentar yang dapat membantu dalam menyelidiki kasus, seperti, “tidak ada kok, hanya ibu yang menyentuh aku saat mandi,” atau, “hanya ayah, sepupu yang kadang-kadang menyentuhku?”. Kata ini cocok diajukan untuk anak yang belum mengerti baik-buruknya pelecehan 10



seksual. Apabila menggunakan kata “menyakiti” tidak akan mengarahkan anak untuk memberi informasi yang diharapkan. c) Yakinkan anak bahwa mereka tidak bersalah Pastikan anak tahu bahwa ia tidak akan dihukum atau dimarahi. Biarkanlah anak hanya mengetahui bahwa ibunya mengajukan pertanyaan karena khawatir, bukan karena mengetahui adanya kemungkinan pelecehan seksual. d) Tetap tenang Tetaplah tenang, karena anak akan melihat perilaku orang yang ada didepannya sebagai isyarat bahwa mereka akan baik-baik saja. Yakinkan anak bahwa ia akan baik-baik saja dan katakan bahwa ia bukan “barang yang rusak”. e) Kembalikan rasa aman pada anak Memulihkan keamanan anak merupakan hal yang sangat penting. Karena kekerasan seksual pada anak dapat membuatnya kehilangan kontrol, sehingga orangtua harus memberikan perlindungan kepada anak. Orangtua juga dapat membantu anak merasa aman dengan menunjukkan kesediaan dari orang tua untuk melindungi privasinya. 2. Berikan kepada anak sebanyak 4 kali pertemuan dengan media pembelajaran yang berbeda- beda (bervariasi), yaitu : presentasi, dan diskusi memakai sketsa cerita bergambar, role play, film video singkat dan cerita sketsa bergambar. Untuk setiap pelaksanaan hanya memerlukan waktu 2 jam pelajaran, yaitu 50 menit. 2.2 Asuhan Keperawatan Anak Dengan Kebutuhan Khusus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga ) A. DEFINISI Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 1 menyebutkan bahwa Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dan lingkup rumah 11



tangga. Undang-undang tersebut menyebutkan bahwa kasus kekerasan dalam rumah tangga adalah semua jenis kekerasan (baik fisik maupun psikis) yang dilakukan oleh anggota keluarga terhadap anggota keluarga yang lain (baik suami kepada isteri, maupun kekerasan yang dilakukan oleh isteri kepada suami atau Ayah terhadap anak, atau ibu terhadap anaknya dan kekerasan yang dillakukan oleh seorang anak terhadap ayah atau ibunya). tetapi yang dominan menjadi korban kekerasan adalah istri dan anak oleh sang suami (Manumpahi et al., 2016) Kekerasan seksual yang terjadi pada anak dalam lingkup keluarga ditandai sebagai suatu kontak gejala dan tindakan antara anak dan orang dewasa atau orang yang lebih tua dimana anak berada dalam kendali atau kekuasaan yang dijadikan alat kepuasan. Kejahatan ini termasuk dalam kejahatan pidana dan perdata di mana orang dewasa secara langsung terlibat dalam aktivitas seksual yang mengeksploitasi anak di bawah umur dengan tujuan kepuasan hasrat sesaat (Setyaningrum & Arifin, 2019).



B. Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Bentuk tindakan KDRT yang sering terjadi di dalam masyarakat dalam UU RI No. 23 tahun 2004 disebutkan bahwa kekerasan meliputi, yang pertama berupa kekerasan fisik yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh, sakit, atau bahkan luka berat, misalnya yaitu pemukulan, penamparan, penusukan, dll. Yang kedua adalah berupa kekerasan psikis yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya kepercayaan diri, kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Misalnya yaitu berupa ancaman pembunuhan, ancaman hidupnya tidak akan tenang, dll. Yang ketiga adalah dalam bentuk kekerasan seksual yang terbagi menjadi 2 macam yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah satu seseorang dalam lingkup rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu. Dan yang keempat adalah berupa penelantaran rumah tangga yaitu meninggalkan atau membiarkan keluarga tanpa ada nafkah sedikitpun kepadanya ataupun dengan tidak memberikan kabar apapun kepada pihak tersebut mengenai kepergiannya. Misalnya seorang suami yang meninggalkan istri dan anaknya karena terjadi pertengkaran dalam keluarga tersebut, namun setelah jangka waktu yang lama tidak ada kabar dan tidak ada pemenuhan kebutuhan pada keluarganya. 12



C. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga Perlindungan hukum bagi korban kejahatan merupakan bagian dari perlindungan masyarakat yang dapat diwujudkan melalui berbagai upaya seperti pemberian restitusi dan kompensasi dan perlindungan hukum bagi korban tindak kekerasan. Perbedaan kompensasi dan restitusi yakni kompensasi merupakan permintaan korban dan dibayar oleh masyarakat dalam bentuk atau pertanggungjawaban masyarakat dan negara untuk korban



akibat



tindak



kekerasan.



Sedangkan



restitusi



merupakan



bentuk



pertanggungjawaban yang sifatnya lebih cenderung mengarah ke pidana yang dipertanggungjawabkan oleh terdakwa sebagai terpidana. Perlindungan korban dapat bersifat



langsung



(konkret)



dan



tidak



langsung



(abstrak)



dan



pemberian



pertanggungjawaban dapat berupa materi maupun non materi. D. Dampak Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga Bagi Anak dan Perempuan Bentuk tindak kekerasan dalam rumah tangga yang pertama adalah kekerasan fisik yang dapat mengakibatkan korban kekerasan mengalami rasa sakit baik luka di bagian dalam maupun luka di bagian luar. Kedua, kekerasan psikis bagi korban sebagai akibat dari perilaku atau perbuatan yang menyebabkan korban tidak berdaya, rasa takut yang berlebihan ,hilangnya rasa percaya diri, dan beban mental karena kegelisahan dan permasalahan yang selalu muncul baik dalam hati maupun pikirannya. Ketiga, kekerasan seksual merupakan tindak kekerasan yang menimbulkan korbannya mengalami depresi, rasa takut karena perbuatan yang tidak disukai oleh korban disertai adanya sikap pemaksaan maupun penganiayaan. Keempat, penelantaran dalam rumah tangga yang dapat menimbulkan korbannya merasa tidak dilindungi, tidak mendapat perhatian, bahkan tidak memperoleh hak sebagaimana mestinya. Tindak Kekerasan yang terjadi terhadap perempuan dan anak dalam rumah tangga tidak hanya berdampak pada kondisi fisik akan tetapi juga kondisi psikologis. Anak yang mendapat tindak kekerasan dalam rumah tangga cenderung memiliki sikap tertutup yang dipenuhi oleh rasa takut. Setiap perbuatan yang menimbulkan tekanan, ancaman, tindakan criminal termasuk dalam problematika sosial. Kondisi seperti ini amat sanga menyakitkan dan cenderung menimbulkan tekanantekanan yang berakibat pada terganggunya psikis seseorang. E. Upaya Pemulihan Terhadap Korban Kekerasan



13



Setelah diketahui bahwa korban mengalam tindak kekerasan, maka korban mempunyai hak-hak untuk mendapatkan upaya pemulihan. Dalam hal ini pihak keluarga dan masyarakat diharapkan tidak memandang buruk korban akibat kekerasan yang justru akan mempengaruhi kondisi psikis korban karena mendapat asumsi- asumsi yang buruk dari lingkungan sekitar. Pemerintah dan lembaga kesehatan atau medis berperan aktif dalam mendukung jalannya upaya pemulihan. Pelaksanaan upaya ini harus dilaksanakan secara terkoordinasi dan terpadu baik dari sector tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten. Tidak hanya pemulihan bagi korban, demi kelancaran proses pelaksanaan pemulihan korban akibat kekerasan perlu adanya kerjasama antar instansi pemerintah dan keterlibatan masyarakat. Penyelenggaraan pemulihan merupakan suatu tindakan yang dilakukan kepada korban tindak kekerasan melalui suatu pelayanan dan pendampingan kepada korban. Pelayanan dan pendampingan tersebut diantaranya pelayanan tenaga kesehatan, pendampingan korban, konseling, bimbingan rohani dan resosialisasi.Bentukbentuk pelayanan dijelaskan sebagai berikut : Pertama, melaui pelayanan kesehatan. Korban kekerasan berhak atas pelayanan pemulihan dan mendapatkan tindakan medis khususnya dari tenaga kesehatan. Kedua, pendampingan korban. Pendampingan korban dalam hal ini adalah dengan melakukan konseling terhadap korban kekerasan. Ketiga, pemberian konseling. Pemberian konseling dilakukan oleh tenaga ahli yang berkaitan dengan kemampuan pemahaman psikologis diri untuk membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh korban kekerasan. Keempat, melalui bimbingan rohani. Bimbingan rohani bertujuan untuk memberikan penjelasan dan arahan terkait hak dan kewajiban kepada Tuhan yang harus dilakukan oleh korban kekerasan sebagai penguatan iman dan takwa sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Kelima, pelayanan resosialisasi. Resosialisasi merupakan sebuah pelayanan yang dilakukan oleh lembaga instansi sosial dengan memberi arahan kepada korban kekerasan agar korban dapat kembali melaksanakan fungsi sosialnya dalam kehidupan bermasyarakat. F. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Pasal 20 tentang perlindungan anak, bahwa yang berkewajiban dan bertanggung-jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak adalah negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua. Pasal 21 dan 25 dalam UU ini juga mengatur lebih jauh terkait perlindungan dan tanggung jawab terhadap anak. Dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan 14



dalam rumah tangga pada pasal 2 terkait ruang lingkup pada pasal ini juga mencakup keberadaan anak untuk dilindungi dari kekerasan dalam rumah tangga. Perlindungan hukum terhadap anak juga ditampilkan implisit dalam undang-undang perlindungan saksi dan korban. UU Nomor 13 tahun 2006 pada pasal 5 ayat 1 butir a yakni “seorang saksi atau korban berhak: memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya “. Adapun hal yang harus dipahami lagi untuk mencegah kekerasan terhadap anak ialah prinsip perlindungan terhadap anak. Prinsip nondiskriminasi, prinsip yang terbaik bagi anak (the best interest of the child), prinsip hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak, dan prinsip menghargai pandangan anak. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan Anak: “ Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasaan dan diskriminasi”. Kewajiban dan tanggung jawab Negara dan Pemerintah dalam usaha perlindungan anak diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak pasal 21 s/d 24 yakni: 1) Menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin,etnik, budaya, dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental; 2) Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak; 3) Menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara umum bertanggung jawab terhadap anak dan mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak; 4) Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak. G. Langkah dan Solusi Antisipatif Bagi Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Langkah solusi antisipatif agar anak tidak menjadi korban adalah dengan terlebih dahulu menganggap permasalahan ini adalah suatu tindak pidana dan merupakan kejahatan yang serius, tentunya apabila hal itu sudah ada dalam pola pikir masyarakat akan serta merta membentuk prilaku untuk melindungi perempuan dan anak. Ini yang perlu mendapat langkah aktif dan berusaha menyingkap kejahatan ini sampai tuntas agar 15



efek jera bagi pelaku itu ada dan menjadi preseden bagi oknum yang akan menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak untuk memikirkan perbuatan itu. (Kobandaha, 2017) H. PENATALAKSANAAN 1. Pendidikan Pendidikan memegang peran kunci dalam mengangkat permasalahan kekerasan dalam rumah tangga dari masalah privat menjadi masalah umum, jadi penurunan kekerasan dalam rumah tangga bisa terjadi bila anggota masyarakat sendiri bertanggungjawab untuk mendidik lingkungannya, yaitu melalui pendidikan yang sensitif gender. Pendidikan di sekolah-sekolah adalah jalur yang efektif dalam upaya ini, misalnya dengan memasukkan tema-tema sensitif gender dalam kurikulum di sekolah. Hal tersebut merupakan salah satu contoh bagaimana pendidikan dapat mempengaruhi pembentukan diri. 2. Hukum Penanganan bidang hukum harus pula diperhatikan dalam masalah kekerasan dalam rumah tangga ini, karena semua bentuk kekerasan merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Kekerasan tersebut adalah kejahatan terhadap martabat kemanusiaan dan juga perbuatan yang mengakibatkan tidak terciptanya keluarga yang bahagia. Itulah sebabnya negara memberikan perlindungan kepada masyarakat, khususnya korban, agar terhindar dan terbebas dari kekerasan, serta pemulihan terhadap korban kekerasan. Agar para korban merasa aman dalam proses hukum maka diperlukan advokasi dan pendampingan. Hal ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa percaya diri korban dan pemulihan kondisi psikis korban, sehingga dalam menjalankan proses-proses hukum dengan sehat dan tanpa adanya tekanan apapun. 3. Kesehatan Proses menangani kekerasan jalur kesehatan ini, dibedakan atas penanganan fisik, psikis, dan seksual. Penanganan korban secara fisik: yaitu dengan memberikan pelayanan khusus di rumah sakit. Bagi korban kekerasan psikis, dapat ditangani dengan segala aspek misalnya wawancara konseling dan rumah aman. Wawancara konseling diharapkan dapat terpecahkan masalah korban yang ditangani oleh orang yang ahli, melalui percakapan itu



16



akan tercapai pengambilan keputusan dan langkah-langkah yang tepat untuk bersikap dan bertindak. Untuk menangani korban kekerasan seksual upaya penanganannya hampir sama dengan korban kekerasan fisik, yaitu melalui rumah sakit dan instansi terkait yang memberikan pelayanan, menjamin penegakan dan perwujudan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, akan tetapi lebih menekankan pada aspek seksual dan reproduksi perempuan. (Dian Tri Puspitasari, 2015).



2.3 Asuhan Keperawatan Anak dengan Kebutuhan Khusus Korban Trafficking A. Definisi Trafficking adalah bentuk modern dari perbudakan manusia, dan merupakan bentuk pelanggaran hukum dan HAM yang tidak dapat ditolerir sehingga perlu diberantas (Diyanayati, 2013). Definisi perdagangan manusia dibangun secara berbeda oleh beberapa organisasi internasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), International Organization of Migration (IOM), dan International Labor Organization (ILO). Definisi dari PBB menyatakan bahwa elemen utama dalam perdagangan manusia ialah penggunaan ancaman, penipuan, dan pemaksaan (United Nations Office On Drugs and Crime [UNODC], 2019). Pemerintah Indonesia mendefinisikan perdagangan manusia dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Pasal 1 sebagai tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memeroleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi (Undang-Undang Republik Indonesia, 2007). B. Bentuk-Bentuk Trafficking 1. Perbudakan dalam bentuk buruh migran. 17



2. Perbudakan dalam bentuk perdagangan anak. 3. Perbudakan dalam pernikahan. 4. Perbudakan di lingkungan kerja resmi. C. Faktor Penyebab Penyebab terjadinya trafficking dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni kondisi internal dan eksternal. 1. Kondisi Internal : Masyarakat kurang mendapatkan informasi, kemiskinan, budaya materialistik, dan lemahnya kontrol sosial masyarakat. 2. Kondisi eksternal : Lemahnya pengawasan aparat, lemahnya tindakan hukum, dan D. Dampak/ Pengaruh Trafficking Human 1. Dampak Psikologi dan Kesehatan Mental a. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) ada 3 tipe gejala yang sering terjadi pada PTSD, yaitu: 



Pengulangan pengalaman trauma







Penghindaran dan emosional yang dangkal







Sensitifitas yang meningkat, ditunjukkan dengan susah tidur.



b. Kecemasan Kecemasan adalah kebingungan, kekhawatiran pada sesuatu yang akan terjadi dengan penyebab yang tidak jelas dan dihubungkan dengan perasaan tidak menentu dan tidak berdayan c. Ketidak berdayaan Ketidak berdayaan adalah persepsi yang menggambarkan perilaku seseorang yang tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap hasil, suatu keadaan dimana individu kurang dapat mengendalikan kondisi tertentu atau kegiatan yang baru dirasakan. 2. Dampak Sosial 



Secara sosial para perempuan korban trafficking teralenasi, karena sejak awal direkrut, diangkut atau ditangkap oleh jaringan trafficker mereka sudah



18



disekap, diisolir agar tidak berhubungan dengan dunia luar atau siapapun sampai mereka tiba ditempat tujuan 



Persoalan sosial yang sangat tragis dan semakin meningkatkan stress dan depresi para korban adalah ketika keluarga dan masyarakat menolak untuk menerima mereka kembali. Selain itu, para pria sering melihat perempuan korban trafficking sebagai orang yang kotor, telah ternodai dan karena itu menolak untuk menikahi mereka.



3. Dampak Kesehatan Fisik 



Secara fisik, cedra aktual para perempuan korban trafficking terjadi, karena mereka mengalami kekerasan fisik dan seksual.







Mereka tidak memiliki gizi yang cukup dan dikenakan penyiksaan secara brutal pada fisik dan psikis, apabila mereka tidakmemberikan pelayanan seksual yang diinginkan pelanggan (“lelaki hidung belang”) atau karena penolakan para korban terhadap eksploitasi seksual.







Korban sering tidak memiliki akses ke perawatan medis yang memadai dan tinggal dilingkungan yang najis dan tidak layak.



E. Pencegahan dan Penanggulangan Human Trafficking Tiga strategi penanggulangan traffcking yang di lakukan pemerintah : 1. Korban traffcking harus di lindungi 2. Pelaku harus di hukum berat 3. Mengembangkan jejaring kelembagaan dengan aliansi global untuk menghapus trafficking. Pemerintah Indonesia telah berusaha melakukan berbagai upaya untuk menangani masalah child trafficking yang terjadi di Indonesia. Berikut beberapa dasar dalam pencegahan dan penanggulangan Human Trafficking : 1.



Undang-undang yang relevan untuk memberikan perlindungan kepada korban trafiking, UU No.37/1997 tentang Hubungan Luar Negeri : Undang-undang ini dapat digunakan untuk melindungi orang Indonesia yang diperjualbelikan diluar negeri.



2.



Undang no 21. Tahun 2007, Tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. 19



3.



Undang No. 23 Tahun 2005 tentang Perlindungan Anak pun melarang perdagangan anak. Dimana Tujuan dari perlindungan anak sendiri disebutkan dalam Pasal 3 UU No. 23 Th 2005 : “Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.”



4.



UNICEF, Convetion On Right Of The Child. (Konvensi Hak-hak Anak)



5.



Undang-undang No. 4 (1979) Tentang Kesejahteraan Anak



6.



Adanya RPSA (Rumah Perlindungan Sementara Anak), dimana fungsi dari RPSA ini adalah: 



Pemberian pelayanan segera bagi anak yang menghadapi tindak kekerasan dan perlakuan selah (emergency service).







Perlindungan (Protection).







Pengembalian keberfungsian sosial anak agar dapat melaksanakan perannya secara wajar (rehabilitiasoan).







Pemulihan kondisi mental anakakibat tekanan dan trauma (revovery).







Advokasi.







Penyatuan kembali anak pada keluarga asli, keluarga pengganti, lembaga lainnya (reunifikasi).



2.4 Asuhan Keperawatan Anak Dengan Kebutuhan Khusus Narapidana A. PENGERTIAN Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di lembaga pemasyarakatan, yaitu seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum (UU No.12 Tahun 1995). B. ETIOLOGI Faktor-faktor penyebab kejahatan sehingga sesorang menjadi narapidana adalah: 1) Faktor ekonomi  Sistem Ekonomi Sistem ekonomi baru dengan produksi besar-besaran, persaingan bebas, menghidupkan konsumsi dengan jalan periklanan, carapenjualan modern dan lain-lain, yaitu menimbulkan keinginan 20



untuk memiliki barang dan sekaligus mempersiapkan suatu dasar untuk kesempatan melakukan penipuan-penipuan.  Pendapatan Dalam keadaan krisis dengan banyak pengangguran dan gangguan ekonomi nasional, upah para pekerja bukan lagi merupakan indeks keadaan ekonomi pada umumnya. Maka dari itu perubahan-perubahan harga pasar (market fluctuations) harus diperhatikan.  Pengangguran Di antara faktor-faktor baik secara langsung atau tidak, mempengaruhi terjadinya kriminalitas, terutama dalam waktu- waktu krisis, pengangguran dianggap paling penting. Bekerja terlalu muda, tak ada pengharapan maju, pengangguran berkala yang tetap, pengangguran biasa, berpindahnya pekerjaan dari satu tempat ke tempat yang lain, perubahan gaji sehingga tidak mungkin membuat anggaran belanja, kurangnya libur, sehingga dapat disimpulkan bahwa pengangguran adalah faktor yang paling penting. 2) Faktor Mental  Agama Kepercayaan hanya dapat berlaku sebagai suatu anti krimogemis bila dihubungkan dengan pengertian dan perasaan moral yang telah meresap secara menyeluruh. Meskipun adanya faktor-faktor negatif , memang merupakan fakta bahwa norma- norma etis yang secara teratur diajarkan oleh bimbingan agama dan khususnya bersambung pada keyakinan keagamaan yang sungguh, membangunkan secara khusus dorongan-dorongan yang kuat untuk melawan kecenderungan kriminal.  Bacaan dan film Sering orang beranggapan bahwa bacaan jelek merupakan faktor krimogenik yang kuat, mulai dengan roman-roman dari abad ke-18, lalu dengan cerita-cerita dan gambar-gambar erotis dan pornografi, buku-buku picisan lain dan akhirnya cerita- cerita detektif dengan penjahat sebagai pahlawannya, penuh dengan kejadian berdarah. Pengaruh crimogenis yang lebih langsung dari bacaan demikian ialah gambaran suatu kejahatan tertentu dapat berpengaruh langsung dan suatu cara teknis tertentu kemudian dapat dipraktekkan oleh si pembaca. Harian- harian yang mengenai bacaan dan kejahatan pada umumnya juga dapat berasal dari koran-koran. Di samping bacaanbacaan tersebut di atas, film (termasuk TV) dianggap menyebabkan pertumbuhan kriminalitas tertutama kenakalan remaja akhir- akhir ini. 3) Faktor Pribadi  Umur Meskipun umur penting sebagai faktor penyebab kejahatan, baik secara yuridis maupun kriminal dan sampai suatu batas tertentu berhubungan dengan faktor-faktor seks/kelamin dan bangsa, tapi faktor-fakto tersebut pada akhirnya merupakan pengertian- pengertian 21











netral bagi kriminologi. Artinya hanya dalam kerjasamanya dengan faktor-faktor lingkungan mereka baru memperoleh arti bagi kriminologi. Kecenderungan untuk berbuat antisocial bertambah selama masih sekolah dan memuncak antara umur 20 dan 25, menurun perlahanlahan sampai umur 40, lalu meluncur dengan cepat untuk berhenti sama sekali pada hari tua. Kurve/garisnya tidak berbeda pada garis aktivitas lain yang tergantung dari irama kehidupan manusia. Alkohol Dianggap faktor penting dalam mengakibatkan kriminalitas, seperti pelanggaran lalu lintas, kejahatan dilakukan dengan kekerasan, pengemisan, kejahatan seks, dan penimbulan pembakaran, walaupun alcohol merupakan faktor yang kuat, masih juga merupakan tanda tanya, sampai berapa jauh pengaruhnya. Perang Memang sebagai akibat perang dan karena keadaan lingkungan, seringkali terjadi bahwa orang yang tadinya patuh terhadap hukum, melakukan kriminalitas. Kesimpulannya yaitu sesudah perang, ada krisis-krisis, perpindahan rakyat ke lain lingkungan, terjadi inflasi dan revolusi ekonomi. Di samping kemungkinan orang jadi kasar karena perang, kepemilikan senjata api menambah bahaya akan terjadinya perbuatan-perbuatan kriminal.



C. MASALAH KESEHATAN 1. Kesehatan Mental Menurut data dari Bureau of justice, 1999 kira-kira 285.000 tahanan dilembaga pemasyarakatan mengalami gangguan jiwa. Penyakit jiwa yang sering dijumpai adalah skozofrenia, bipolar affective disorder dan personality disorder. Karena banyak yang mengalami ganguan kesehatan jiwa maka pemerintah harus menyediakan pelayanan kesehatan mental. 2. Kesehatan fisik Perawatan kesehatan yang paling penting adalah penyakit kronis dan penyakit menular seperti HIV, Hepatitis dan Tuberculosis.  HIV Angka kejadian HIV diantara para narapidana diperkiraan 6 kali lebih tinggi daripada populasi umum. Tingginya angka infeksi HIV ini berkaian dengan perilaku yang beresiko tinggi seperti penggunaan obat-obaan, sexual intercourse yang tidak aman dan pemakaian tato. Pendekatan yang dilakukan utnuk menekan angka kejadian yaitu dengan dilakukannya penegaan dan program pendidikan kesehatan mengenai HIV dan AIDS.  Hepatitis Hepatitis B dan C meningkat lebih tinggi dariopada populasi umum walaupun data yang ada belum lengkap. Hal ini berkaitan dengan penggunaan obat-obat lewat suntikan, tato, imigran dari daerah dengan insiden hepatitis B dan C tinggi. National Commision on Correctional Healt Care (NCCHC) menyarankan agar dilakukan skrining pada 22







semua tahanan dan jika diindikasikan maka harus segera diberikan pengobatan. NCCHC juga merekomendasikan pendidikan bagi semua staf dan tahanan mengenai cara penyebaran, pencegahan, pengobatan dan kemajuan penyakit. Tuberculosis Angka TB tiga kali lebih besar di LP dibanding populasi umum. Hal ini terkait dengan kepadatan penjara dan ventilasi yang buruk, yang mempengaruhi penyebaran penyakit.



D. PENATALAKSANAAN 1) Psikoterapi Terapi kerja baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi dengan orang lain, penderita lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya ia tidak mengasingkan diri lagi karena bila ia menarik diri ia dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik. Dianjurkan untuk mengadakan permainan atau latihan bersama. 2) Keperawatan Terapi aktivitas kelompok dibagi empat, yaitu terapi aktivitas kelompok stimulasi kognitif/persepsi, terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori, terapi aktivitas kelompok stimulasi realita dan terapi aktivitas kelompok sosialisasi). Dari empat jenis terapi aktivitas kelompok diatas yang paling relevan dilakukan pada individu dengan gangguan konsep diri harga diri rendah adalah terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi.Terapi aktivitas kelompok (TAK) stimulasi persepsi adalah terapi yang mengunakan aktivitas sebagai stimulasi dan terkait dengan pengalaman atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok, hasil diskusi kelompok dapat berupa kesepakatan persepsi atau alternatif penyelesaian masalah. 3) Terapi kerja Terapi kerja atau terapi okupasi adalah suatu ilmu dan seni pengarahan partisipasi seseorang untuk melaksanakan tugas tertentu yang telah ditetapkan. Terapi ini berfokus pada pengenalan kemampuan yang masih ada pada seseorang, pemeliharaan dan peningkatan bertujuan untuk membentuk seseorang agar mandiri, tidak tergantung pada pertolongan orang lain (Riyadi dan Purwanto, 2010). Terapi kerja pada anak yaitu Keterampilan. Agar narapidana anak menjadi terampil dan juga sebagai bekal baginya setelah kembali kemasyarakat nantinya, kepada mereka di berikan latihan kerja. Pemberian latihan kerja ini dapat dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan sedangkan tempat penentuan kerja dan jenis pekerjaan yang akan diberikan kepada narapidana ditetapkan oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan. Latihan kerja ini berupa latihan kerja di bidang pertanian, Perkebunan, Pengelasan, Penjahitan dan lain sebagainya.



2.5 Asuhan Keperawatan Anak Dengan Kebutuhan Khusus Anak Jalanan A. PENGERTIAN 23



Anak Jalanan Anak jalanan atau sering disingkat anjal adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, namun masih memiliki hubungan dengan keluarganya. Pengertian anak jalanan telah banyak dikemukakan oleh banyak ahli. Secara khusus, anak jalanan menurut PBB adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya dijalanan untuk bekerja, bermain atau beraktivitas lain. Menurut Departmen Sosial RI (1999), pengertian tentang anak jalanan adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun yang karena berbagai faktor, seperti ekonomi, konflik keluarga hingga faktor budaya yang membuat mereka turun ke jalanan. Anak jalanan tinggal di jalanan karena dicampakkan atau tercampakkan dari keluarga yang tidak mampu menanggung beban karena kemiskinan dan kehancuran keluarganya. Umumnya anak jalanan bekerja sebagai pengasong, pemulung, tukang semir, pelacur anak dan pengais sampah. Tidak jarang menghadapi resiko kecelakaan lalu lintas, pemerasan, perkelahian, dan kekerasan lain. Anak jalanan lebih mudah tertular kebiasaan tidak sehat dari kultur jalanan, khususnya seks bebas dan penyalahgunaan obat. UNICEF mendefinisikan anak jalanan sebagai those who have abandoned their home, school, and immediate communities before they are sixteen yeas of age have drifted into a nomadic street life (anak-anak berumur di bawah 16 tahun yang sudah melepaskan diri dari keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat terdekat, larut dalam kehidupan yang berpindah-pindah). Anak jalanan merupakan anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya. Hidup menjadi anak jalanan bukanlah pilihan yang menyenangkan, melainkan keterpaksaan yang harus mereka terima karena adanya sebab tertentu. Secara psikologis mereka adalah anak-anak yang pada taraf tertentu belum mempunyai bentukan mental emosional yang kokoh, sementara pada saat yang sama mereka harus bergelut dengan dunia jalanan yang keras dan cenderung berpengaruh bagi perkembangan dan pembentukan kepribadiannya. Aspek psikologis ini berdampak kuat pada aspek sosial. Penampilan anak jalanan yang kumuh, melahirkan pencitraan negatif oleh sebagian besar masyarakat terhadap anak jalanan yang diidentikan dengan pembuat onar, anak-anak kumuh, suka mencuri, dan sampah masyarakat yang harus diasingkan. B. ETIOLOGI Di Indonesia penyebab meningkatnya anak jalanan dipicu oleh krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998. Pada era tersebut selain masyarakat mengalami perubahan secara ekonomi, juga menjadi masa transisi pemerintahan yang menyebabkan begitu banyak permasalahan sosial muncul. Secara langsung dampak krisis ekonomi memang terkait erat dengan terjadinya peningkatan jumlah anak jalanan di beberapa kota besar di Indonesia. Hal ini akhirnya memberikan ide-ide menyimpang pada lingkungan sosial anak untuk mengekploitasi mereka secara ekonomi, salah satunya dengan melakukan aktivitas di jalanan. Abu Huraerah (2006:78) menyebutkan beberapa penyebab munculnya anak jalanan, antara lain: 1. Orang tua mendorong anak bekerja dengan alasan untuk membantu ekonomi keluarga. 2. Kasus kekerasan dan perlakuan salah terhadap anak oleh orang tua semakin meningkat sehingga anak lari ke jalanan. 24



3. Anak terancam putus sekolah karena orang tua tidak mampu membayar uang sekolah. 4. Makin banyak anak yang hidup di jalanan karena biaya kontrak rumah mahal/meningkat. 5. Timbulnya persaingan dengan pekerja dewasa di jalanan, sehingga anak terpuruk melakukan pekerjaan berisiko tinggi terhadap keselamatannya dan eksploitasi anak oleh orang dewasa di jalanan. 6. Anak menjadi lebih lama di jalanan sehingga timbul masalah baru. 7. Anak jalanan jadi korban pemerasan, dan eksploitasi seksual terhadap anak jalanan perempuan. C. MASALAH KESEHATAN Anak jalanan adalah anak-anak yang tersisih, marginal, dan teralienasi dari perlakuan kasih sayang karena kebanyakan dalam usia yang relatif dini sudah harus berhadapan dengan lingkungan kota yang keras, dan bahkan sangat tidak bersahabat. Menurut Handayani yang dikutip oleh Abu Huraerah, anak-anak jalanan ditantang oleh risiko yang mau tidak mau harus dihadapi saat mereka berada di jalanan. Resiko-risiko yang dapat diidentifkasi adalah: 1. Menjadi korban kekerasan (pemerasan, penganiayaan, eksploitasi seksual, penangkapan, dan perampasan modal kerja) 2. Kelangsungan hidup terancam, kurang/salah gizi, stagnasi perkembangan (mental) 3. Internalisasi perilaku/ sikap yang menyimpang (meminum minuman keras, penyalahgunaan obat, tindak kriminal, destruktif, dan seks bebas) 4. Ancaman tidak langsung (zat polutan, kecelakaan lalu lintas, HIV/AIDS), 5. Keterkucilan dan stigmatisasi sosial. D. SOLUSI UNTUK MENGATASI ANAK JALANAN Menurut Nugroho ada tiga pendekatan untuk mengatasi masalah anak jalanan, yaitu: 1. Pendekatan Penghapusan (abolition) Lebih mendekatkan pada persoalan struktural dan munculnya gejala anak jalanan. Anak jalanan adalah produk dari kemiskinan, dan merupakan akibat dari bekerjanya sistem ekonomi politik masyarakat yang tidak adil. Untuk mengatasi masalah anak jalanan sangat tidak mungkin tanpa menciptakan struktur sosial yang adil dalam masyarakat. Pendekatan ini lebih menekankan kepada perubahan struktur sosial atau politik dalam masyarakat, dalam rangka melenyapkan masalah anak jalanan. 2. Pendekatan Perlindungan (protection) Mengandung arti perlunya perlindungan bagi anak-anak yang terlanjur menjadi anak jalanan. Karena kompleksnya faktor penyebab munculnya masalah kemiskinan, maka dianggap mustahil menghapus kemiskinan secara tuntas. Untuk itu anak-anakyang menjadi korban perlu di lindungi dengan berbagai cara, misalnya:melalui perumusan hukum yang melindungi hak-hak anak. Fungsionalisasi lembaga pemerintah, LSM dan lembaga-lembaga sosial 25



lainnya. Perlindungan ini senada dengan pendapat pemerintah melalui departemen sosial, praktisi-praktisi LSM dan UNICEF di mana tanggal 15 Juni 1998 membentuk sebuah lembaga independent yang melakukan perlindungan pada anak. Lembaga perlindungan anak (LPA) membentuk LA tersebut didasarkan pada prinsip dasar terbentuknya embrio LPA, yaitu :  Anak di fasilitasi agar dapat melaporkan keadaan dirinya.  Menghargai pendapat anak.  LPA bertanggung jawab kepada masyarakat bukan kepada pemerintah.  Accountability Menurut Nugroho, sisi negatif dari pendekatan perlindungan tersebutadalah strategis perlindungan hanya akan menjadi ajang kepentingan para elitdan tokoh masyarakat sehingga berimplikasi pada tidak tuntasnyapenyelesaian problem anak jalanan. Produkproduk hukum yang dirumuskan sebagai wujud bagi perlindungan terhadap anak. 3. Pendekatan Pemberdayaan (empowerment) Menekankan perlunya pemberdayaan bagi anak jalanan. Pemberdayaan ini bermaksud menyadarkan mereka yang telah menjadi anak jalanan agar menyadari hak dan posisinya dalam konteks social, politik ekonomi yang abadi di masyarakat. Pemberdayaan biasanya di lakukan dalam bentuk pendampingan. Yang berfungsi sebagai fasilitator, dinamisator, katalisator bagi anak jalanan. Pemberdayaan ini dikatakan berhasil jika anak jalanan berubah menjadi kritis dan mampu menyelesaikan permasalahannya secara mandiri. Selain itu ada cara lain yang mampu mengatasi masalah anak jalanan, yaitu sebagai berikut :  Melakukan pembatasan terhadap arus urbanisasi (termasuk arus masuknya anak-anak) ke Jakarta, dengan cara operasi yustisi, memperkuat koordinasi dengan daerah asal, pemulangan anak jalanan ke daerah asal dll.  Melakukan identifikasi terhadap akar permasalahan guna menyelesaikan masalah anak jalanan tersebut dengan menyentuh pada sumber permasalahannya. Sebagai contoh: banyak diantara anak jalanan yang menjadi tulang punggung keluarganya. Jika ini yang terjadi, maka pemerintah tidak bisa hanya melatih, membina atau mengembalikan si anak ke sekolah. Tapi lebih dari itu, pemerintah harus melakukan pendekatan dan pemberdayaan ekonomi keluarganya.  Mengembalikan anak jalanan ke bangku sekolah.  Memberikan perlindungan kepada anak jalanan tanpa terkecuali. UU nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak menyatakan bahwa perlindungan anak perlu dilakukan dengan tujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan 26



diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.  Menciptakan program-program yang responsif terhadap perkembangan anak, termasuk anak jalanan.  Melakukan penegakan hukum terhadap siapa saja yang memanfaatkan keberadaan anak-anak jalanan. Membangun kesadaran bersama bahwa masalah anak jalanan sesungguhnya merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua.



2.6 Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Kebutuhan Kusus Korban Pemerkosaan, Korban Kdrt, Korban Trafficking, Narapidana, Anak Jalanan 1) PENGKAJIAN a. Identitas klien meliputi Nama, umur, jenis kelamin, tanggal dirawat, tanggal pengkajian, nomor rekam medis b. Faktor predisposisi merupakan faktor pendukung yang meliputi faktor biologis, faktor psikologis, sosial budaya, dan faktor genetic. c. Faktor presipitasi merupakan faktor pencetus yang meliputi sikap persepsi merasa tidak mampu, putus asa, tidak percaya diri, merasa gagal, merasa malang, kehilangan, rendah diri, perilaku agresif, kekerasan, ketidak adekuatan pengobatan dan penanganan gejala stress pencetus pada umunya mencakup kejadian kehidupan yang penuh dengan stress seperti kehilangan yang mempengaruhi kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain dan menyebabkan ansietas. d. Psikososial yang terdiri dari genogram, konsep diri, hubungan social dan spiritual e. Status mental yang terdiri dari penampilan, pembicaraan, aktifitas motorik, alam perasaan, afek pasien, interaksi selama wawancara, persepsi, proses pikir, isi pikir, tingkat kesadaran, memori, tingkat kosentrasi dan berhitung, kemampuan penilaian, dan daya tilik diri. f. Mekanisme koping: koping yang dimiliki klien baik adaptif maupun maladaptive g. Aspek medik yang terdiri dari diagnosa medis dan terapi medis 2) DIAGNOSA KEPERAWATAN 27



1. 2. 3. 4. 5. 6.



Harga Diri Rendah Situasional Resiko Harga Diri Rendah Situsional Gangguan Interaksi Sosial Gangguan Tumbuh Kembang Resiko Gangguan Perkembangan Resiko Gangguan Pertumbuhan



3) PERENCANAAN KEPERAWATAN (Tujuan, Kriteria Hasil, dan Tindakan Keperawatan) No 1



Diagnosa (SDKI) Harga diri rendah situasional (D.0087)



Tujuan dan Kriteria Hasil (SLKI) Harga Diri (L.09069) Setelah dilakukannya perawatan 2x24 jam diharapkan harga diri rendah situsional menurun dengan kriteria hasil : 1. Penilaian diri positif dipertahankan pada skala 3 dan ditingkatkan pada skala 5 2. Perasaan memiliki kelebihan atau kemamuan positif dipertahankan pada skala 3 dan ditingkatkan pada skala 5 3. Penerimaan penilaian positif terhadap diri sendiri dipertahankan pada skala 3 dan ditingkatkan pada skala 5 4. Perasaan malu dipertahankan 28



Intervensi (SIKI) Manajemen Prilaku ( I.12463) Observasi  Identifikasi harapan untuk mengendaliakn prilaku. Terapeutik  Diskusikan tanggung jawab terhadap prilaku  Ciptakan dan pertahankan lingkungan dan kegiatan perawatan konstiten setiap dinas  Tingkatkan aktifitas fisik sesuai kemampuan  Biacara dengan nada rendah dan tenang  Cegah prilaku pasif dan agresif Edukasi  Informasikan kekeluarga bahwa keluarga sebagai dasar



2



pada skala 3 dan ditingkatkan pada skala 5 5. Perasaan tidak mampu melakukan apapun dipertahankan pada skala 3 dan ditingkatkan pada skala 5 Resiko harga diri Citra Tubuh (L.09067) rendah situasional Setelah dilakukannya (D.0102) perawatan 2x24 jam diharapkan resiko harga diri rendah situsional menurun dengan kriteria hasil : 1. Verbalisasi perasaan negatif tentang perubahan tubuh dipertahankan pada skala 3 dan ditingkatkan pada skala 5 2. Verbalisasi kekhawatiran pada penolakan/reak si orang lain dipertahankan pada skala 3 dan ditingkatkan pada skala 5 3. Hubungan sosial dipertahankan pada skala 3 dan ditingkatkan pada skala 5



29



pembentukkan kognitif



Dukungan Penampilan Peran (I. 13478) Observasi  Identifikasi berbagai peran dan periode transisi sesuai tingkat perkembangan  Identifikasi peran yang ada dalam keluarga  Identifikai adanya peran yang tidak terpenuhi Terapeutik  Fasilitasi adaptasi peran keluarga terhadap perubahan peran yang tak di inginkan  Fasilitasi bermain peran dalam mengataisipasi reaksi orang lain terhadap prilaku  Fasilitasi diskusi tentang adaptasi peran saaat anak



3



Gangguan tumbuh Status Perkembangan kembang (D.0106) (L.10101) Setelah dilakukannya perawatan 2x24 jam diharapkan gangguan tumbuh kembang menurun dengan kriteria hasil : 1. Keterampilan/ prilaku sesuai usia dipertahankan pada skala 3 dan ditingkatkan pada skala 5 2. Respon sosial dipertahankan pada skala 3 dan ditingkatkan pada skala 5 3. Kontak mata dipertahankan pada skala 3 dan ditingkatkan pada skala 5 4. Pola tidur dipertahankan pada skala 3 dan 30



meninggalkan rumah  Fasilitasi harapan dengan keluarga dalam peran timbal balik Edukasi  Diskusikan perilaku yang dibutuhkan untuk perkembangan peran  Diskusikan strategi positif untuk mengelola perubahan peran Perawatan Perkembangan (I.10339) Observasi  Identifikasi pencapaian tumbuh kembang anak Terapeutik  Pertahankan lingkungan yang mendukung perkembangan optimal  Motivasi anak berinteraksi dengan anak lain  Sediakan aktivitas yang memotivasi anak berinteraksi dengan anak lainnya  Dukung anak mengekspresikan diri melalui penghargaan positif atau



4



ditingkatkan pada skala 5 5. Kemarahan dipertahankan pada skala 3 dan ditingkatkan pada skala 5 Risiko gangguan Kontrol Risiko perkembangan (L.09076) ((D.0107) Setelah dilakukannya perawatan 2x24 jam diharapkan risiko gangguan perkembangan menurun dengan kriteria hasil : 1. Verbalisasi Umpatan dipertahankan pada skala 3 dan ditingkatkan pada skala 5 2. Verbalisasi keinginan bunuh diri dipertahankan pada skala 3 dan ditingkatkan pada skala 5 3. Verbalisasi rencana bunuh diri dipertahankan pada skala 3 dan ditingkatkan pada skala 5 4. Verbalisasi kehilangan hubungan yang penting dipertahankan pada skala 3 dan ditingkatkan pada skala 5 5. Alam perasaan 31



umpan balik Edukasi  Ajarkan orang tua untuk berinteraksi dengan anaknya Promosi Perkembangan Anak (I.10340) Observasi  Identifikasi kebutuhan khusus anak dan kemampuan adaptasi anak Terapeutik  Fasilitasi hubungan anak dengan teman sebaya  Dukung anak berinteraksi dengan anak lain  Dukung anak mengekspresikan perasaannya secara positif  Dukung anak dalam bermimpi atau fantasi sewajarnya  Berikan mainan sesuai dengan usia anak



5



depresi dipertahankan pada skala 3 dan ditingkatkan pada skala 5 Risiko gangguan Status Pertumbuhan pertumbuhan (L.10102) (D.0108) Setelah dilakukannya perawatan 2x24 jam diharapkan risiko gangguan pertumbuhan menurun dengan kriteria hasil : 1. Berat badan sesuai usia dipertahankan pada skala 3 dan ditingkatkan pada skala 5 2. Panjang/tinggi badan sesuai usia dipertahankan pada skala 3 dan ditingkatkan pada skala 5 3. Kecepatan pertambahan berat badan dipertahankan pada skala 3 dan ditingkatkan pada skala 5 4. Asupan nutrisi dipertahankan pada skala 3 dan ditingkatkan pada skala 5



Manajemen Nutrisi (I.03119) Observasi  Identifikasi status nutrisi  Identifikasi alergi dan intoleransi makanan  Identifikasi makanan yang disukai  Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrisi  Monitor asupan makanan  Monitor berat badan Terapeutik  Sajikan makanan yang menarik dan suhu yang sesuai  Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi  Berikan makanan tinggi protein dan kalori  Berikan suplemen makanan



4) EVALUASI Tahap evaluasi merupakan tahap menilai efektivitas dari intervensi keperawatan yang sudah dilakukan, apakah perilaku yang dinyatakan dalam tujuan sudah dicapai atau belum. Intervensi dikatakan efektif jika perilaku setelah 32



implementasi sudah sesuai dengan tujuan, sehingga terjadi perilaku adaptasi yaitu integrasi, kompensasi, dan kompromi. Dikatakan integrasi jika fungsi dan struktur dari proses kehidupan terpenuhi kebutuhannya. Jika tujuan keperawatan belum tercapai, maka perlu cari masalahnya, apakah tujuan yang buat tidak realistik atau tidak dapat diterima. Mungkin juga intervensi yang dipilih memerlukan pendekatan yang berbeda. Untuk itu proses keperawatan akan kembali lagi dari tahap awal/tahap pertama.



33



BAB III PENUTUP 1.1 Kesimpulan Pemerkosaan adalah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan seorang laki laki terhadap perempuan dengan cara yang dinilai melanggar moral dan hokum. ( wigjosubroto dalam prasetyo, 1997). Merupakan tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemukulan, kerendahan hati, dan lain-lain) kekerasan yang menyebabkan atau penyebab lain menyebabkan penderitaan atau penderitaan orang, dan hingga batas tindakan tertentu binatang dapat dianggap sebagai kekerasan, tergantung pada situasi dan nilai-nilai social yang terkait dengan kekejaman terhadap binatang (Gunawan Wibisono, 2009 ). Traffcking merupakan pengiriman, penampungan, penerimaan seseorang dengan ancaman, pemaksaan,penculikan dan cerita dengan cara mengeksploitasi untuk memperoleh persetujuan menggunakan orang yang berkuasa yang meliputi adopsi, pemekerjaan, motif eksploitasi seks dan transplantasi organ. Narapidana adalah orang-orang sedang menjalani kurungan atau saksi lainnya, menurut undang-undang. Pengertian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang yang sedang menjalani hukuman karena tindak pidana) atau terhukum. Anak jalanan adalah yang berusia 5 18 tahun maupun perempuan yang baik sepanjang waktunya untuk bekerja di jalanan perkotaan, memiliki komunikasi yang minimal atau sama 65 tidak pernah berkomunikasi dengan keluarga dan kurangnya pengawasan, perlindungan, dan bimbingan sehingga terkena gangguan kesehatan dan psikologi. 1.2 Saran Saran Kami bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan makalah diatas dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat dipertanggung jawabkan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk penulisan makalah di masa yang akan datang. Semoga makalah ini memberikan manfaat atau bahkan hikmah bagi penulis, pembaca, atau keseluruhan.



34



DAFTAR PUSTAKA Andira, L. N. (2015). Tinjauan kriminologi tindak pidana perkosaan terhadap anak berkebutuhan khusus di sukoharjo. 4(2), 208–218. Neherta, M. (2017). Intervensi Pencegahan Kekerasan Seksual terhadap Anak. In Jurnal Kebidanan. https://www.pdfdrive.com/intervensi-pencegahan-kekerasan-seksualterhadap-anak-intervensi-pencegahan-kekerasan-e103738013.html Dian Tri Puspitasari. (2015). PENANGANAN ANAK KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI PUSAT PELAYANAN TERPADU “SERUNI” KOTA SEMARANG PERSPEKTIF BIMBINGAN KONSELING ISLAM. Angewandte Chemie International Edition, 6(11), 951–952., 5–24. Kobandaha, M. (2017). PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA. Jurnal Hukum Unsrat, 23(8), 82–91. https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jurnalhukumunsrat/article/viewFile/15070/14635 Manumpahi, E., Goni, S. Y. V. ., & Pongoh, H. W. (2016). Kajian Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Psikologi Anak Di Desa Soakonora Kecamatan Jailolo Kabupaten Halmahera Barat. E-Journal “Acta Diurna,” 5(1), 1. https://media.neliti.com/media/publications/90227-ID-kajian-kekerasan-dalam-rumahtangga-terh.pdf Setyaningrum, A., & Arifin, R. (2019). Analisis Upaya Perlindungan dan Pemulihan Terhadap Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) Khususnya Anak-Anak dan Perempuan. JURNAL MUQODDIMAH : Jurnal Ilmu Sosial, Politik Dan Hummaniora, 3(1), 9. https://doi.org/10.31604/jim.v3i1.2019.9-19 Diyanayati, Kissumi. 2013. Implementasi Model Pelayanan Sosial Penanggulangan Masalah Trafficking. Jurnal PKS Vol 12 No 1 Kiling, I. and Kiling-Bunga, B., 2020. Motif, dampak psikologis, dan dukungan pada korban perdagangan manusia di Nusa Tenggara Timur. Jurnal Psikologi Ulayat, 6(1), pp.83101. Soraya, A., Rusyidi, B. and Irfan, M., 2015. PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK KORBAN TRAFFICKING. Prosiding Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, 2(1). 35



UNICEF, Convetion On Right Of The Child. (Konvensi Hak-hak Anak) Fitri Maharani, S. (2019). DUKUNGAN SOSIAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT DEPRESI PADA NARAPIDANA ANAK. Jurnal keperawatan jiwa 6 (2), 83-90. PPNI. (2018). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator Diagnostik, Edisi 1. Jakarta. PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan Keperawatan, Edisi 1. Jakarta. PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan Edisi 1. Jakarta. Bambang, B.S. 1993. Meninos de Ruas dan Kemiskinan. Child Labour Corner Neswletter. Huraerah, Abu. 2006. Kekerasan Pada Anak. Bandung: Penerbit Nuansa. Lutya, T.M. 2010. Lifestyle and Routine Activities of South African Teenegers at Risk of being Trafficked for Involuntary Prostitution. Pretotia: University of Petrotia. Silva, Teresita L. 1996. Community Mobilization for The Protection and Rehabilitation of Street Children. Philippines: Childhope Asia Philippines. Sumardi, S. 1996. Child Protection. Jakarta: Institut Social Jakarta.



36