Makalah KGD 9 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH PROSEDUR TINDAKAN BENCANA “Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat”



Disusun oleh : Alvira Nugiani Dendi Abdilah Jihan Saniah



PROGRAM STUDI D-3 AKADEMI KEPERAWATAN PEMERINTAH KABUPATEN CIANJUR TAHUN 2021-2022



1



KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan anugrah dari-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Prosedur Tindakan Bencana” ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita, Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita semua jalan yang lurus berupa ajaran agama islam yang sempurna dan menjadi anugrah terbesar bagi seluruh alam semesta. Penulis sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah yang menjadi tugas Keperawatan Gawat Darurat yaitu “ Prosedur Tindakan Bencana “ Disamping itu, kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kamu selama pembuatan makalan ini berlangsung sehingga dapat terealisasikanlah makalah ini. Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Kami mengharapkan kritik dan saran terhadap makalah ini agar kedepannya dapat kami perbaiki. Karena kami sadar, makalah yang kami buat ini masih banyak terdapat kekurangannya. Cianjur , Maret 2021   Penyusun



2



DAFTAR ISI



3



BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kehidupan masyarakat tidak terlepas dari terjadinya bencana. Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2007 Pasal 1 Ayat 1 tentang Penanggulangan Bencana, menyebutkan bahwa bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Pengesahan UU tersebut telah membawa dimensi baru dalam pengelolaan bencana di Indonesia. Dimensi baru dalam pengelolaan bencana tersebut yaitu masyarakat tidak lagi pasrah dan berdiam diri terhadap bencana, melainkan berperan aktif agar risiko dari terjadinya bencana dapat diminimalkan. Letak geografis Indonesia secara geologis berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik, yaitu Lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng IndoEurasia yang menyebabkan rawan terhadap terjadinya bencana. Berdasarkan kondisi iklimnya, Indonesia berada di daerah dengan iklim tropis yang terdiri dari dua musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Curah hujan yang tinggi maupun kemarau berkepanjangan juga dapat memicu terjadinya bencana. Kejadian-kejadian bencana besar yang terjadi akhir-akhir ini menjadikan masyarakat Kota Yogyakarta sadar bahwa bencana adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan. A. Rumusan masalah 4



1. Bagaimana cara penanganan becana ? 2. Bagaimana cara kerja sistem penangan bencana ? 3. Bagaimana proses penangan bencana ? B. Tujuan penulisan 1. Untuk mengetahui proses penanganan bencana. 2. Untuk mengetahui prosedur tindakan bencana. 3. Untuk mengetahui bagaimana cara penanganan bencana. C. Manfaat Penulisan 1. Untuk menambah pengetahuan mengenai prosedur tindakan bencana yang terjadi di masyarakat.



5



BAB II PEMBAHASAN A. Sistem Penanggulangan Bencana Terpadu Mulai tahun 1990 paradigma dalam penanggulangan bencana secara global/internasional telah bergeser dari upaya yang difokuskan pada saat terjadi bencana, sekarang lebih diperluas kepada upaya mengurangi resiko dan dampak bencana. Penanggulangan bencana diawali dengan menganalisis risiko bencana berdasarkan ancaman/bahaya dan kerentanan untuk meningkatkan kemampuan dalam mengelola dan mengurangi risiko serta mengurangi dampak bencana yang ditimbulkan. Manajemen bencana dilakukan bersama oleh semua pemangku kepentingan/stakeholder, lintas sektor dan dengan pemberdayaan masyarakat (BNPB, 2011). 1. Manajemen Penanggulangan Bencana Pada Fase Bencana Upaya



penanggulangan



bencana



mengikuti



tahapan/siklus



bencana.



Penanggulangan bencana pada tahap pra bencana dimulai jauh sebelum terjadi bencana;



dan



dalam



situasi



terdapat



potensi



terjadinya



bencana.



Penanggulangan bencana lebih diprioritaskan pada fase prabencana yang bertujuan untuk mengurangi resiko bencana. Sehingga semua kegiatan yang berada dalam lingkup pra bencana lebih diutamakan. Saudaraku, pada fase pra bencana, kegiatan penanggulangan bencana disebut jugatahap kesiapsiagaan bencana. Kesiapsiagaan bencana (preparedness) adalah aktivitasaktivitas dan langkah-langkah yang diambil sebelumnya untuk memastikan respons yang efektif terhadap dampak bahaya, termasuk dengan mengeluarkan peringatan dini yang tepat dan efektif dan dengan memindahkan penduduk dan harta benda untuk sementara dari lokasi yang terancam (ISDR, 2004 dalam MPBI, 2007) Dalam hal ini bisa diimplementasikan dengan adanya tim siaga, standar operasional tetap yang berkaitan dengan pengurangan risiko bencana dan rencana aksi komunitas yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan pengurangan risiko bencana. Kesiapsiagaan (preparedness) adalah aktivitas-aktivitas dan langkah-langkah



kesiapsiagaan



dilaksanakan



untuk



mengantisipasi



kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda dan berubahnya tata kehidupan masyarakat. Upaya 6



kesiapsiagaan dilakukan pada saat bencana mulai teridentifikasi akan terjadi, kegiatan yang dilakukan antara lain: 1) Pengaktifan



pos-pos



siaga



bencana



dengan



segenap



unsur



pendukungnya. 2) Pelatihan siaga/simulasi/gladi/teknis bagi setiap sektor penanggulangan bencana (SAR, sosial, kesehatan, prasarana dan pekerjaan umum). 3) Inventarisasi sumber daya pendukung kedaruratan 4) Penyiapan dukungan dan mobilisasi sumberdaya/logistik 5) Penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan terpadu guna mendukung tugas kebencanaan. 6) Penyiapan dan pemasangan instrumen sistem peringatan dini (early warning) 7) Penyusunan rencana kontinjensi (contingency plan) 8) Mobilisasi sumber daya (personil dan prasarana/sarana peralatan) Pada fase/tahap kesiapsiagaan ini, masanya panjang. Banyak sekali yang bisa dilakukan dan batas waktunya tidak dapat ditentukan. Tahap kesiapsiagaan ini akan berakhir atau berlanjut ke tahap berikutnya bila bencana terjadi. Karena itu pada fase kesiapsiagaan ini, kita membagi menjadi dua fase yaitu pencegahan bencana dan mitigasi. Mari kita simak uraian tentang pencegahan bencana dan mitigasi seperti yang akan dipaparkan di bawah ini. 



Pencegahan Bencana Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana. Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencanna pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang.







Mitigasi Mitigasi (mitigation) adalah langkah-langkah struktural dan non struktural yang diambil untuk membatasi dampak merugikan yang ditimbulkan bahaya alam, kerusakan lingkungan dan bahaya teknologi (ISDR, 2004 dalam MPBI, 2007). Mitigasi dapat dilakukan secara



7



struktural yaitu pembangunan infrastruktur sabo, tanggul, alat pendeteksi atau peringatan dini, dan dapat dilakukan secara non struktural seperti pelatihan dan peningkatan kapasitas di masyarakat. Tindakan mitigasi dilihat dari sifatnya dapat digolongkan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu mitigasi pasif dan mitigasi aktif. Tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi pasif antara lain adalah: 1) Penyusunan peraturan perundang-undangan 2) Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah. 3) Pembuatan pedoman/standar/prosedur 4) Pembuatan brosur/leaflet/poster 5) Penelitian/pengkajian karakteristik bencana 6) Pengkajian/analisis risiko bencana 7)



Internalisasi penanggulangan bencana dalam muatan lokal pendidikan



8) Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana 9) Perkuatan unit-unit sosial dalam masyarakat, seperti forum 10) Pengarusutamaan penanggulangan bencana dalam perencanaan pembangunan Sedangkan tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi aktif antara lain: 1. Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, bahaya, larangan memasuki daerah rawan bencana dan sebagainya. 2. Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang penataan ruang, ijin mendirikan bangunan (IMB), danperaturan lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana. 3. Pelatihan



dasar



kebencanaan



bagi



aparat



dan



masyarakat. 4. Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan bencana ke daerah yang lebih aman. 5. Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat.



8



6. Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalurjalur evakuasi jika terjadi bencana. 7. Pembuatan bangunan struktur yang berfungsi untuk mencegah, mengamankan dan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana, seperti: tanggul, dam, penahan erosi pantai, bangunan tahan gempa dan sejenisnya.



Adakalanya



digolongkan



menjadi



nonstruktural



(berupa



kegiatan mitigasi



mitigasi yang



peraturan,



ini



bersifat



penyuluhan,



pendidikan) dan yang bersifat struktural (berupa bangunan dan prasarana). Demikianlah penjelaan tentang manajemen penanggulangan bencana pada fase kesiapsiagaan.



Segera



setelah



bencana



terjadi,



dimulailah fase tanggap darurat atau tindakan. 2. Manajemen Penanggulangan Bencana Pada Fase Pasca Bencana Setelah fase bencana /tanggap darurat teratasi, fase berikutnya adalah fase ‘pasca bencana’. Manajemen penanggulangan bencana pada fase pasca bencana ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu fase pemulihan/recovery dan fase rekonstruksi/ rehabilitasi. Berikut adalah uraiannya, mari kita simak. 



Fase Pemulihan Fase pemulihan sulit dibedakan secara akurat dari dan sampai kapan, tetapi fase ini merupakan fase dimana individu atau masyarakat dengan kemampuannya sendiri dapat memulihkan fungsinya seperti sediakala (sebelum terjadi bencana). Orang-orang melakukan perbaikan darurat tempat tinggalnya, pindah ke rumah sementara, mulai masuk sekolah ataupun bekerja kembali sambil memulihkan lingkungan tempat tinggalnya. Kemudian mulai dilakukan rehabilitasi lifeline dan aktivitas untuk membuka kembali usahanya. Institusi pemerintah juga mulai memberikan kembali pelayanan secara normal serta mulai menyusun rencana-rencana untuk rekonstruksi sambil terus memberikan bantuan kepada para korban. Fase ini bagaimanapun juga hanya merupakan fase pemulihan dan tidak sampai mengembalikan fungsi-fungsi normal seperti



9



sebelum bencana terjadi. Dengan kata lain, fase ini merupakan masa peralihan dari kondisi darurat ke kondisi tenang. Tahap pemulihan meliputi tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Upaya yang dilakukan pada tahap rehabilitasi adalah untuk mengembalikan kondisi daerah yang terkena bencana yang serba tidak menentu ke kondisi normal yang lebih baik, agar kehidupan dan penghidupan masyarakat dapat berjalan kembali. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan meliputi: a. Perbaikan lingkungan daerah bencana b. Perbaikan prasarana dan sarana umum c. Pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat d. Pemulihan sosial psikologis e. Pelayanan kesehatan f. Rekonsiliasi dan resolusi konflik g. Pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya h. Pemulihan keamanan dan ketertiban i. Pemulihan fungsi pemerintahan j. 



Pemulihan fungsi pelayanan publik Fase Rekonstruksi Setelah fase tanggap darurat terlewati, berikutnya adalah



fase



rekonstruksi/



rehabilitasi/rekonstruksi merupakan



fase



mengembalikan



juga



dimana



rehabilitasi. tidak individu



fungsifungsinya



dapat atau



seperti



Jangka



waktu



ditentukan,



namun



masyarakat sebelum



fase ini



berusaha



bencana



dan



merencanakan rehabilitasi terhadap seluruh komunitas. Tetapi, seseorang atau masyarakat tidak dapat kembali pada keadaan yang sama seperti sebelum



mengalami



bencana,



sehingga



dengan



menggunakan



pengalamannya tersebut diharapkan kehidupan individu serta keadaan komunitas pun dapat dikembangkan secara progresif. Sedangkan tahap rekonstruksi merupakan tahap untuk membangun kembali sarana dan prasarana yang rusak akibat bencana secara lebih baik dan sempurna. Oleh sebab itu pembangunannya harus dilakukan melalui suatu perencanaan yang didahului oleh pengkajian dari berbagai ahli dan sektor terkait. a. Pembangunan kembali prasarana dan sarana



10



b. Pembangunan kembali sarana sosial masyarakat c. Pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat d. Penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan tahan bencana e. Partisipasi



dan



peran



serta



lembaga



dan



organisasi



kemasyarakatan, dunia usaha dan masyarakat f. Peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya g. Peningkatan fungsi pelayanan publik h. Peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat. i.



11



B. Sistem Evakuasi Medik 1. Pengertian Sistem Evakuasi Medik Istilah evakuasi dapat diartikan luas atau sempit, istilah evakuasi korban diartikan sebagai upaya memindahkan korban ke pusat pelayanan kesehatan atau tempat rujukan lainnya agar korban mendapatkan perawatan dan pengobatan lebih lanjut. Evakuasi korban merupakan kegiatan memindahkan korban dari lokasi kejadian menuju ke tempat aman, sehinggga akhirnya korban mendapatkan perawatan dan pengobatan lebih lanjut. (Ramsi,et al ,2014). Evakuasi Medik adalah serangkaian peristiwa pemindahan korban dari satu tempat ke tempat lain dengan fasilitas serta sumber daya manusia kesehatan yang lebih memadai sesuai kebutuhan korban. 2. Penilaian Lokasi Dan Korban 



Identifikasi Awal Lokasi Bencana Tugas kedua tim penilai awal adalah untuk mengidentifikasi lokasi pen anggulangan bencana. Hal ini mencakup: 1. Daerah pusat bencana 2. Lokasi pos komando 3. .Lokasi pos pelayanan medis lanjutan 4. Lokasi evakuasi 5. Lokasi VIP dan media massa 6. Akses jalan ke lokasi







Syarat Korban Untuk Dapat di Evakuasi a. Penilaian awal sudah dilakukan lengkap, dan keaadan umum korban dipantau terus. b. Denyut nadi dan napas korban stabil dan dalam batas normal. c. Perdarahan yang sudah diatasi dan dikendalikan. d.



Patah tulang yang ada sudah ditangani.



e. Mutlak tidak ada cedera. f. Rute yang dilalui memungkinkan dan tidak membahayakan penolong dan korban.



12



C. Penanganan Korban Massal Penanganan medis untuk korban cedera dalam jumlah besar diperlukansegera setelah terjadinya gempa bumi, kecelakaan transportasi atau industri yang besar, dan bencana lainnya. Kebutuhan terbesar untuk pertolongan perta ma dan pelayanan kedaruratan muncul dalam beberapa jam pertama. Banyak ji wa tidak tertolong karena sumbersumber daya lokal, termasuk transportasi tidak dimobilisasisegera. Oleh karena itu sumber daya lokal sangat menentukan dalam penanganankorban di fase darurat. Menurut Pan American Health Organization (2006), penanganan korbanmassal dikelompokkan menjadi 3 tahap, yaitu : 



.Layanan darurat pra-rumah sakit







Penerimaan dan pengobatan dirumah sakit







Redistribusi pasien antar-rumah sakit 1. Sistem Triage TriaseTriase dilakukan untuk mengidentifikasi secara cepat korban yan gmembutuhkan stabilisasi segera (perawatan di lapangan) dan mengidentifikasikorban yang hanya dapat diselamatkan dengan pembedahan



darurat



(life-saving  surgery).



Dalam



aktivitasnya,



digunakan kartu merah, hijau dan hitam sebagaikode identifikasi korban, seperti berikut:  Merah,



sebagai



penanda



korban



yang



membutuhkan



stabilisasi segera dankorban yang mengalami: a. Syok oleh berbagai kausa b. Gangguan pernapasan c. Trauma kepala dengan pupil anisokor d. Perdarahan



eksternal



massif Pemberian



perawatan lapangan intensif ditujukan bagi korban yang mempunyai kemungkinan hidup lebih besar sehingga setelah perawatan,dilapangan ini penderita lebih dapat mentole ransi proses pemindahan keRumah Sakit, dan lebih siap untuk



menerima



perawatan



yang



lebih



13



invasif.Triase ini korban dapat dikategorisasikan kemba li dari status “merah”menjadi “kuning” (misalnya korba n dengan tension pneumothorax yangtelah



dipasang



drain thoraks (WSD).  Kuning,



sebagai



penanda



korban



yang



memerlukan



pengawasan ketat, tetapi perawatan dapat ditunda sementara. Termasuk dalam kategori ini: a. Korban dengan risiko syok (korban dengan gangguan jantung traumaabdomen) b. Fraktur multipel c. Fraktur femur / pelvis d. Luka bakar luar e. Gangguan kesadaran / trauma kepala f. Korban dengan status yang tidak jelasSemua korban dalam



kategori



ini



harus



diberikan



infus,



pengawasanketat terhadap kemungkinan timbulnya komplikasi,



dan



diberikan



perawatansesegera



mungkin.  Hijau, sebagai penanda kelompok korban yang tidak memerl ukan pengobatan atau pemberian pengobatan dapat ditunda,  mencakup korbanyang mengalami: a. Fraktur minor  b. Luka minor, luka bakar minor  c. Korban dalam kategori ini, setelah pembalutan luka dan atau pemasangan bidai dapat dipindahkan pada akhir operasi lapangan. d. Korban dengan prognosis infaust, jika masih hidup pada akhir operasilapangan, juga akan dipindahkan ke fasilitas kesehatan.  Hitam, sebagai penanda korban yang telah meninggal dunia. Triase lapangan dilakukan pada tiga kondisi: 1) Triase di tempat (triase satu)



14



2) Triase medik (triase dua) 3) Triase evakuasi (triase tiga)  Triase



di TempatTriase di



tempat dilakukan



di“tempat



korban ditemukan” atau pada tempat penampungan yang dilakukan



oleh



tim



Pertolongan



Pertama



atauTenaga Medis gawat Darurat. Triase di tempat mencakup  pemeriksaan,klasifikasi, pemberian tanda dan pemindahan korban ke pos medis lanjutan.  Triase Medik Triase ini dilakukan saat korban memasuki pos medis



lanjutan



oleh



tenaga medis yang berpengalaman (sebaiknya dipilih dari do kter yang bekerja di Unit Gawat Darurat, kemudian ahli anest esi dan terakhir olehdokter bedah). Tujuan triase medik adalah menentukan tingkat perawatanyang dibutuhkan oleh korban.  Triase Evakuasi Triase ini ditujukan pada korban yang dapat dipindahkan ke RumahSakit yang telah siap menerima korban



bencana



dapat berfungsi



massal.



Jika



efektif, jumlah



pos



medis



korban dalam



lanjutan status



“merah” akan berkurang, dan akan diperlukan pengelompoka n korban kembali sebelumevakuasi dilaksanakan.Tenaga med is di pos medis lanjutan dengan berkonsultasi dengan Pos Ko mando dan Rumah Sakit tujuan berdasarkan kondisi korban akan membuat keputusan korban mana yang  harus dipindahkan terlebih dahulu, Rumah Sakit tujuan, jenis kenda raan dan pengawalan yang akan dipergunakan. 2. PRIMARY DAN SECONDARY SUREY  Primary Survei Langkah-langkahnya sebagai ABCDE (Airway and C-spine control, Breathing, Circulation and hemorrhage control, Disability, Exposure/Environment). Jalan nafas merupakan



15



prioritas pertama. Pastikan udara menuju paru-paru tidak terhambat. Temuan kritis seperti obstruksi karena cedera langsung, edema, benda asing dan akibat



penurunan



kesadaran. Tindakan bisa hanya membersihkan jalan nafas hingga intubasi atau krikotiroidotomi atau trakheostomi. Nilai pernafasan atas kemampuan pasien akan ventilasi dan oksigenasi. Temuan kritis bisa tiadanya ventilasi spontan, tiadanya atau asimetriknya bunyi nafas, dispnea, perkusi dada yang hipperresonans atau pekak, dan tampaknya instabilitas dinding



dada



atau



adanya



defek



yang



mengganggu



pernafasan. Tindakan bisa mulai pemberian oksigen hingga pemasangan torakostomi pipa dan ventilasi mekanik. Nilai sirkulasi dengan mencari hipovolemia, tamponade kardiak, sumber perdarahan eksternal Cedera spinal bisa diperiksa dengan mengamati gerak ekstremitas spontan dan usaha bernafas spontan. Pupil yang tidak simetris dengan refleks cahaya terganggu atau hilang serta adanya hemiparesis memerlukan tindakan atas herniasi otak dan hipertensi intrakranial yang memerlukan konsultasi bedah saraf segera. Tidak adanya gangguan kesadaran, adanya paraplegia atau kuadriplegia memerlukan



menunjukkan



cedera



kewaspadaan



metilprednisolon



bila



masih



spinal 8



kord



spinal



dan jam



hingga



pemberian



sejak



cedera



(kontroversial). Bila usaha inspirasi terganggu atau diduga lesi tinggi kord leher, lakukan intubasi endotrakheal. Tahap akhir survei primer adalah eksposur pasien dan mengontrol lingkungan segera. Buka seluruh pakaian untuk pemeriksaan lengkap. Pada saat yang sama mulai tindakan pencegahan hipotermia yang iatrogenik biasa terjadi diruang ber AC, dengan memberikan infus hangat, selimut, lampu pemanas, bila perlu selimut



16



dengan pemanas. Prosedur lain adalah tindakan monitoring dan diagnostik yang dilakukan bersama survei primer. Pasang lead EGC dan monitor ventilator, segera pasang oksimeter denyut. Monitor memberi data penuntun resusitasi. Setelah jalan nafas aman, pasang pipa nasogastrik untuk dekompresi lambung serta mengurangi kemungkinan aspirasi cairan lambung. Katater Foley kontraindikasi bila urethra cedera (darah pada meatus, ekimosis skrotum / labia major, prostat terdorong



keatas).



Lakukan



urethrogram



untuk



menyingkirkan cedera urethral sebelum kateterisasi. Sepanjang survei primer, saat menegakkan diagnosis dan melakukan intervensi, lanjutkan sampai kondisi pasien stabil, tindakan diagnosis sudah lengkap, dan prosedur resusitatif serta tindakan bedah sudah selesai. Usaha ini termasuk kedalamnya monitoring tanda vital, merawat jalan nafas serta bantuan



pernafasan



dan



oksigenasi



bila



perlu,



serta



memberikan resusitasi cairan atau produk darah. Pasien dengan cedera multipel perlu beberapa liter kristaloid dalam 24 jam untuk mempertahankan volume intravaskuler, perfusi jaringan dan organ vital, serta keluaran urin. Berikan darah bila hipovolemia tidak terkontrol oleh cairan. Perdarahan yang tidak terkontrol dengan penekanan dan pemberian produk darah, operasi. Titik capai resusitasi adalah tanda vital normal, tidak ada lagi kehilangan darah, keluaran urin normal 0,5-1 cc/kg/jam, dan tidak ada bukti disfungsi end-organ. Parameter (kadar laktat darah, defisit basa pada gas darah arteri) bisa membantu.  Secondary Survei Formalnya dimulai setelah melengkapi survei primer dan setelah memulai fase resusitasi. Pada saat ini kenali semua cedera dengan memeriksa dari kepala hingga jari kaki. Nilai



17



lagi tanda vital, lakukan survei primer ulangan secara cepat untuk menilai respons atas resusitasi dan untuk mengetahui perburukan. Selanjutnya cari riwayat,termasuk laporan petugas pra RS, keluarga, atau korban lain. Bila pasien sadar, kumpulkan data penting termasuk masalah medis sebelumnya, alergi dan medikasi sebelumnya, status immunisasi tetanus, saat makan terakhir, kejadian sekitar kecelakaan.Data ini membantu mengarahkan survei sekunder mengetahui mekanisme cedera, kemungkinan luka bakar atau cedera karena suhu dingin (cold injury), dan kondisi fisiologis pasien secara umum. a. Pemeriksaan Fisik Berurutan. Diktum “jari atau pipa dalam setiap lubang“ mengarahkan pemeriksaan. Periksa setiap bagian tubuh atas adanya cedera, instabilitas tulang, dan nyeri pada palpasi. Periksa lengkap dari kepala hingga jari kaki termasuk status neurologisnya. b. Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan radiologis memberikan data diagnostik penting yang menuntun penilaian awal. Saat serta urutan pemeriksaan adalah penting namun tidak boleh mengganggu survei primer dan resusitasi. Pastikan hemodinamik cukup stabil saat membawa



pasien



keruang radiologi. c. Pemeriksaan Laboratorium saat penilaian awal Paling penting adalah jenis dan x-match darah yang harus selesai dalam 20 menit. Gas darah arterial juga penting namun kegunaannya dalam pemeriksaan serial digantikan oleh oksimeter denyut. Pemeriksaan Hb dan Ht berguna saat kedatangan, dengan pengertian bahwa dalam perdarahan akut, turunnya Ht mungkin tidak



18



tampak hingga mobilisasi otogen cairan ekstravaskuler atau pemberian cairan resusitasi IV dimulai. Urinalisis dipstick untuk menyingkirkan hematuria tersembunyi. Skrining urin untuk penyalah guna obat dan alkohol, serta glukosa, untuk mengetahui penyebab penurunan kesadaran yang dapat diperbaiki. Pada kebanyakan trauma, elektrolit serum, koagulasi,



hitung



jenis



darah,



dan



parameter pemeriksaan



laboratorium umum lainnya kurang berguna saat 1-2 jam



pertama



dibanding



setelah



stabilisasi



dan



resusitasi. D. Tahapan Penanganan Pada Penanganan Bencana Masal 1. Rafid Assessment Korban massal. Korban relatif banyak akibat penyebab yang sama dan perlu pertolongan segera dengan kebutuhan sarana, fasilitas dan tenaga yang lebih dari yang tersedia. Tanpa kerusakan infra struktur.  Pengertian Penilaian kesehatan cepat melalui pengumpulan informasi cepat dengan analisis besaran masalah sebagai dasar mengambil keputusan akan kebutuhan untuk tindakan penanggulangan segera.  Tujuan Penilaian cepat sesaat setelah kejadian untuk mengukur besaran masalah Hasilnya berbentuk rekomendasi untuk keputusan penanggulangan selanjutnya. Khususnya menilai : jenis bencana, lokasi, penduduk terkena, dampak yang telah / akan terjadi, kerusakan sarana, sumber daya, kemampuan respons setempat.  Penyusunan instrumen



19



Berbeda untuk tiap jenis kejadian, namun harus jelas tujuan, metode, variabel data, kerangka analisis, waktu pelaksanaan dan instrumen harus hanya variabel yang dibu- tuhkan.  Ruang lingkup Medis, epidemiologis, lingkungan.  Variabel Lokasi,



waktu,



jumlah



korban



dan



penyebaran,



lokasi



pengungsian, masalah kese- hatan dan dampaknya (jumlah tewas-luka, kerusakan sarana, endemisitas setempat, potensi air bersih, kesiapan sarana, ketersediaan logistik, upaya yang telah dilakukan, fasilitas evakuasi, kesiapan tenaga, geografis, bantuan



diperlukan,



kemampuan



re-



spons



setempat,



hambatan) 2. Evakuasi “Teknik Evakuasi Cedera Kepala Pasca Bencana” Evakuasi merupakan upaya untuk memindahkan korban dari lokasi yang tertimpa



bencana



ke wilayah



yang



lebih



aman



untuk



mendapatkan pertolongan. Korban cedera khususnya pasca bencana memerlukan teknik evakuasi, penilaian dan pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita. Evakuasi medik mempunyai ruang lingkup meliputi: evakuasi di lapangan (dari lokasi kejadian ke fasilitas kesehatan), evakuasi pelayanan (puskesmas ke rumah sakit, antar RS), evakuasi medik di dalam RS (antar unit kerja terlibat). Teknik evakuasi medik untuk korban



gawat



darurat



harus



selalu



disertai



petugas



medis



menggunakan sarana transportasi yang memenuhi persyaratan pelayanan gawat darurat dengan memperhatikan tujuan evakuasi berdasarkan hasil triage (seleksi korban berdasarkan tingkat kegawat daruratanya untuk memberikan prioritas pelayanan.



20



Penanganan yang dilakukan saat terjadi cedera kepala adalah menjaga jalan nafas penderita, mengontrol pendarahan dan mencegah syok, imobilisasi penderita, mencegah terjadinya komplikasi dan cedera sekunder. Setiap keadaan yang tidak normal dan membahayakan harus segera diberikan tindakan resusitasi pada saat itu juga. Berkaitan dengan cedera kepala, maka sangat penting sekali dalam melakukan penanganan yang cepat dan tepat. Pertimbangan paling penting dari cedera kepala adalah apakah otak telah mengalami cedera atau tidak dimana otak merupakan organ vital pengendali. Alur evakusi korban cedera kepala dimulai dari persiapan di area bencana



dengan



prinsip



DRCAB,



dan



pemindahan



korban



menggunakan tandu keras serta menjaga stabilisasi cervical. Penanganannya berdasarkan identifikasi triase dengan memperhatikan ABCDE menggunakan metode START. Pada evakuasi korban dengan cedera kepala tetap memperhatikan dan menjaga patensi airway, serta memonitor breathing dan sirkulasi. Dengan demikian cedera otak sekunder dapat dicegah selama proses evakuasi. 3. Stabilisasi Di Field Hospital a. Penanganan korban proses penanganan yang diberikan kepada korban dilakukan secepatnya untuk mencegah resiko kecacatan dan atau kematian, dimulai sejak di lokasi kejadian (triase satu), area



berkumpul



(collecting



area)



untuk



proses



evakuasi/transportasi ke igd (triase dua) dan area teras igd (triase tiga).



21



b. Pengelolaan barang milik korban barang milik korban hidup baik berupa pakaian, perhiasan, dokumen, dll ditempatkan secara khusus untuk mencegah barang tersebut hilang maupun tertukar. Sedangkan barang milik korban meninggal, setelah di dokumentasi oleh koordinator tim forensik, selanjutnya diserahkan ke pihak kepolisian yang bertugas di forensik. c. Pengosongan ruangan dan pemindahan pasien pada situasi bencana maka ruangan perawatan tertentu harus dikosongkan untuk menampung sejumlah korban dan pasien-pasien diruangan tersebut harus dipindahkan ke ruangan yang sudah ditentukan (lihat bahasan pengosongan ruangan) d. Pengelolaan makanan korban dan petugas makanan untuk pasien dan petugas, persiapan dan distribusinya dikoordinir oleh instalasi gizi sesuai dengan permintaan tertulis yang disampaikan oleh kepala ruangan maupun penanggungjawab pos. Makanan yang dipersiapkan



dengan



memperhitungkan



sejumlah



makanan



cadangan untuk antisipasi kedatangan korban baru maupun petugas baru/ relawan. e. Pengelolaan tenaga rumah sakit pengaturan jumlah dan kualifikasi tenaga yang diperlukan saat penanganan bencana. Tenaga yang dimaksud adalah sdm rumah sakit yang harus disiagakan serta pengelolaannya saat situasi bencana. f. Pengendalian korban bencana dan pengunjung pada situasi bencana internal maka pengunjung yang saat itu berada di rs ditertibkan dan diarahkan pada tempat berkumpul yang ditentukan. Demikian pula korban diarahkan untuk dikumpulkan pada ruangan/ area tempat berkumpul yang ditentukan. g. Koordinasi dengan instansi lain diperlukannya bantuan dari instansi lain untuk menanggulangi bencana maupun efek dari bencana yang ada. Bantuan ini diperlukan sesuai dengan jenis bencana yang terjadi. Instansi terkait yang dimaksud adalah bpbd (badan penenggulangan bencana daerah jawa tengah), dinas



22



kesehatan propinsi, kepolisian, dinas pemadam kebakaran, sar, pdam, pln, telkom, pmi, dan rs mitra, intitusi pendidikan kesehatan, perhotelan dan phri. h. Pengelolaan obat dan bahan/ alat habis pakai penyediaan obat dan bahan/ alat habis pakai dalam situasi bencana merupakan salah satu unsur penunjang yang sangat penting dalam pelayanan kesehatan, oleh karena itu diperlukan adanya persediaan obat dan bahan/ alat habis pakai sebagai penunjang pelayanan korban. i. Pengelolaan volunteer (relawan) keberadaan relawan sangat diperlukan pada situasi bencana. Individu/ kelompok organisasi yang berniat turut memberikan bantuan sebaiknya dicatat dan diregistrasi secara baik oleh bagian sdm, untuk selanjutnya diikutsertakan dalam membantu proses pelayanan sesuai dengan jenis ketenagaan yang dibutuhkan j. . Pengelolaan kesehatan lingkungan kesehatan lingkungan tetap dijaga pada situasi apapun termasuk situasi bencana untuk mencegah terjadinya pencemaran maupun dampak dari bencana. k. Pengelolaan



donasi



pada



keadaan



bencana



rumah



sakit



membutuhkan bantuan tambahan baik berupa obat, bahan/ alat habis pakai, makanan, alat medis/ non medis, makanan, maupun financial l. Pengelolaan listrik, telpon dan air meningkatnya kebutuhan power listrik, instalasi air dan tambahan sambungan telpon saat disaster membutuhkan kesiapsiagaan dari tenaga yang melaksanakannya. Persiapan pengadaan maupun sambungannya mulai dilaksanakan saat aktifasi situasi bencana di rumah sakit m. Penanganan



keamanan



keamanan



diupayakan



semaksimal



mungkin pada area-area transportasi korban dari lokasi ke ird, pengamanan sekitar triage dan ird pada umumnya serta pengamanan pada unit perawatan dan pos-pos yang didirikan n. Pengelolaan informasi informasi, baik berupa data maupun laporan dibuat sesuai dengan form yang ditentukan sehingga tidak terjadi



23



kesimpangsiuran mengenai jumlah korban baik korban hidup, korban meninggal, asal negara, tempat perawatan korban dan status evakuasi ke luar rumah sakit. Informasi ini meliputi identitas korban, sdm dan fasilitas yang diperlukan untuk penanganan korban. o. Jumpa pers informasi dari posko data merupakan sumber informasi yang akan digunakan pihak rumah sakit pada saat jumpa pers. Pihak rs yang menghadiri press release adalah direktur sebagai komandan rs, komandan bencana, ketua medikal support, dan ketua manajement support. p. Pengelolaan media wartawan dari media cetak dan elektronik akan berada hampir 24 jam disekitar rumah sakit untuk meliput proses pelayanan dan kunjungan tamu ke unit pelayanan, bukan hanya berasal dari media regional, nasional tetapi juga internasional sehingga perlu dikelola dengan baik. q. Pengelolaan



rekam



medis



semua



korban



bencana



yang



memerlukan perawatan dibuatkan rekam medis sesuai dengan prosedur yang berlaku di rs. Pada rekam medis diberikan tanda khusus untuk mengidentifikasi data korban dengan segera. r. Identifikasi



korban



semua



korban



bencana



yang



dirawat



menggunakan label identitas bencana. Label identitas bencana yang dipasangkan pada pasien berisi identitas dan hasil triage. Setelah dilakukan tindakan life saving, label identitas bencana akan dilepas dan disimpan pada rekam medik yang bersangkutan. s. Pengelolaan tamu/ kunjungan tamu dan kunjungan ke rumah sakit untuk meninjau pelaksanaan pelayanan terhadap korban dilakukan berupa kunjungan formal/ non formal kenegaraan ataupun oleh institusi, lsm, partai politik maupun perseorangan. Pengelolaannya diatur untuk mencegah terganggunya proses pelayanan dan mengupayakan privacy korban. Tamu kenegaraan dari negara lain maupun tamu kenegaraan ri dan tamu gubernur akan didampingi oleh direktur dan para wakil direktur.



24



t. Pengelolaan jenazah untuk kejadian bencana, jenazah akan langsung dikirim ke ruang jenazah. Pengelolaan jenazah seperti identifikasi, menentukan sebab kematian dan menentukan jenis musibah yang terjadi, penyimpanan dan pengeluaran jenazah dilakukan di kamar jenazah. u. Evakuasi korban ke luar rs atas indikasi medis, sosial, politik dan hukum, maupun permintaan negara yang bersangkutan atau atas permintaan keluarga seringkali pasien/ korban pindah ataupun keluar dari rsud kelet untuk dilakukan perawatan di rumah sakit tertentu di luar rsud kelet. Perpindahan/ evakuasi korban ini dilakukan atas persetujuan tim medis dengan keluarga maupun negara yang bersangkutan bila korban adalah warga negara asing. Kelengkapan dokumen medik serta persetujuan keluarga/ negara ybs diperlukan untuk pelaksanaan proses evakuasi. 4. Transportasi Ke Rumah Sakit Tugas penanggung jawab unit transportasi, antara lain: 1. Mengatur dan merencanakan kebutuhan transportasi RS lapangan (mis., ambulans evakuasi pasien, mobilisasi, operasional) untuk keberangkatan



dan



pemulangan



tim



serta



perlengkapan



RS



lapangan. 2. Merencanakan dan mengatur kebutuhan bahan bakar kendaraan operasional RS lapangan. 3. Mengatur jadwal transportasi untuk rujukan pasien, belanja, dsb. 4. Melakukan pemeliharaan alat transportasi (mobile clinic, ambulans, mobil operasional). 5. Melakukan



pencatatan



dan



pelaporan



pelaksanaan



kegiatan



transportasi.



25



BAB 3 PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan prosedur tindakan benxana dalam keperawatan, perawat harus Kesiapsiagaan (preparedness) adalah aktivitas-aktivitas dan langkahlangkah kesiapsiagaan dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda dan berubahnya tata kehidupan masyarakat. B. Saran Hendaknya Mahasiswa keperawatan dapat



menerapkan



prosedur



tindakan bencana dalam kehidupan sehari- hari untuk mengebangkan ilmu keperawatan.



26



DAFTAR PUSTAKA Reja sanova. Malang 2019. Manajemen Korban Massal. Diakses pada tanggal April 13, 2021 https://www.academia.edu/43209693/Makalah_Manajemen_Korban_Massa l Tina lestari. Surabaya 2018. Konsep Evakuasi dan Transport Klien Gawat Darurat. Diakses pada tanggal April 13, 2021 http://eprints.umbjm.ac.id/ Panduan_Menghadapi_Bencana. Diakses pada tanggal April 13, 2021 https://rsud-kelet.jatengprov.go.id/ Ns.Erita. S.Kep., M.Kep. Jakarta 2019. Buku Materi Pembelajaran Manajemen Gawatdarurat. Diakses pada tanggal April 13, 2021 http://repository.uki.ac.id/



27