Makalah Krisis Situasional Kel 4 Fix [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH KONSEP KRISIS SITUASIONAL; PERCERAIAN, DITINGGAL MATI PASANGAN, HIDUP SENDIRI, PHK DAN ANGGOTA KELUARGA YANG SAKIT. Disusu Sebagai Tugas Mata Kuliah Intervensi Trauma dan Krisis Dosen: Ns. Umi Setyoningrum.,M.Kep



Disusn oleh: Kelompok 4 1. Devi Ismawati



010117A016



2. Elfatria Sri Rejeki



010117A023



3. Fifih Alamwiyah



010117A030



4. Irfan Sony N



010117A041



5. Laeli Maghfiroh



010117A044



PRODI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS NGUDI WALUYO 2019



KATA PENGANTAR



Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Intervensi Trauma dan Krisis. Makalah berisikan tentang laporan pendahuluan dan asuhan keperawatan krisis situasional, ini merupakan bentuk pertanggungjawaban atas tugas yang diberikan Dosen dalam mata kuliah Intervensi Krisis dan Trauma, sekaligus salah satu syarat untuk memenuhi nilai kami. Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca, kami menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih mempunyai kekurangan,oleh sebab itu dengan dada lapang serta tangan dan hati terbuka kami mengharapkan saran dan kritiknya yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini. Juli 2019



DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL KATA PENGANTAR ....................................................................................................................2 DAFTAR ISI.................................................................................................................…………...3 BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang ............................................................................................................................5 b. Tujuan .........................................................................................................……………………5 c. Rumusan Masalah .......................................................................................................................6 BAB II KRISIS SITUASIONAL a. Definisi ....................................................................................................................................... 7 b. Jenis Krisis ................................................................................................................................. 8 c. Tahapan Krisis ........................................................................................................................... 9 d. Mengatasi Krisis ...................................................................................................................... 10 BAB III PERCERAIAN a. Definsi ...................................................................................................................................... 14 b. Faktor-faktor Penyebab Perceraian .......................................................................................... 14 c. Jenis-Jenis dan tahapan perceraian............................................................................................ 17 d. Kondisi Menjelang Perceraian ................................................................................................. 19 e. Dampak Perceraian .................................................................................................................. 20 f. Mencegah Perceraian ................................................................................................................ 24 BAB IV DITINGGAL MATI PASANGAN DAN HIDUP SENDIRI a. Ditinggal Mati Pasangan .......................................................................................................... 29 b. Hidup Sendiri ........................................................................................................................... 34 BAB V PENUTUP a. Kesimpulan............................................................................................................................... 43 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 44



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan pernah lepas dari



hubungannya



dengan orang lain.Sebagai makhluk sosial kita memerlukan hubungan interpersonal secara mendalam dengan seseorang sehingga dapat memiliki arti tersendiri di dalam hidupnya. Hubungan yang demikian akan meningkat terus sehingga sampai pada suatu perkawinan. Perkawinan merupakan salah satu bentuk perkembangan ketika kita meningkat dewasa.



Menurut Husein (2006) perkawinan merupakan ikatan



diantara dua insan yang mempunyai banyak perbedaan baik dari segi fisik, asuhan keluarga, pergaulan, cara berpikir (mental), pendidikan dan lain hal. Kehilangan pasangan, terutama karena kematian, lebih sering dialami oleh perempuan. Hal ini dapat dilihat dari data Dinas Kependudukan Medan pada tahun 2005 dimana jumlah janda karena kematian suaminya sebesar 6,17%. sedangkan jumlah duda karena kematian istrinya sebanyak 1,01%. Ada beberapa hal yang menyebabkan jumlah janda lebih banyak dibanding jumlah duda, yaitu karena perempuan hidup lebih lama daripada laki-laki,



perempuan umumnya menikahi laki-laki yang lebih tua dari



mereka sendiri, adanya norma-norma sosial yang kuat yang menentang perempuan menikahi



laki-laki yang lebih muda, adanya norma-norma yang menentang



perempuan yang telah menjanda menikah lagi (Ollenburger & Moore, 1996. B. Rumusan Masalah 1. Untuk mengetahui definisi krisis situasional 2. Untuk mengetahui jenis krisis situasional 3. Untuk mengetahui tahapan krisis situasional 4. Untuk mengetahui cara mengatasi krisis situasional 5. Untuk mengetahui definisi perceraian 6. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab perceraian 7. Untuk mengetahui kondisi menjelang perceraian 8. Untuk mengetahui dampak perceraian 9. Untuk mengetahui mencegah perceraian 10. Untuk mengetahui ditinggal mati pasangan



11. Untuk mengetahui hidup sendiri 12. Umntuk menetahui pengertian PHK 13. Untuk mengetahui faktor-faktor pemicu PHK



C. Tujuan 1. Apakah definisi krisis situasional? 2. Apa saja jenis krisis situasional? 3. Apa tahapan krisis situasional? 4. Bagaimana cara mengatasi krisis situasional? 5. Apakah definsi perceraian? 6. Apa saja faktor-faktor penyebab perceraian? 7. Apa saja kondisi menjelang perceraian? 8. Apa dampak perceraian? 9. Bagaimana cara mencegah perceraian? 10. Bagaimana dampak ditinggal mati pasangan? 11. Apa arti hidup sendiri? 12. Apa itu PHK ? 13. Apa faktor-faktor yang memicu PHK ?



BAB II KRISIS SITUASIONAL A. Pengertian Krisis merupakan suatu keadaan yang berbahaya / parah sekali / genting / suram menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 2008. Webster’s New World (1996) mendefinisikan krisis sebagai “a turning point in the course of anything” artinya “suatu titik balik dalam sesuatu”. Para dokter membicarakan krisis yang mereka maksud ialah saat-saat terjadi perubahan dalam suatu penyakit baik perubahan menjadi baik atau perubahan menjadi lebih parah. Dalam bahasa Yunani, Krisis berati keputusan (Nova, 2009), krisis tidak dianggap sebagaipetaka yang menghentikan atau mematikan momentum untuk perbaikan dan mencari peluang dibaliknya. Krisis merupakan suatu reaksi dari dalam diri seseorang terhadap suatu bahaya dari luar. Suatu krisis biasanya meliputi hilangnya kemampuan untuk mengatasi masalah selama sementara waktu, kehilangan orang terdekat dan masalah-masalah lainnya. Jika seseorang mengalami masalah secara efektif maka ia dapat kembali berfungsi sebagai keadaan sebelum krisis. Dengan kata lain, krisis dapat menjadi titik balik bisa menuju ke arah perbaikan atau kehancuran tanpa penyelesaian, karena keadaan tidak seimbang menghadapi peristiwa yang terjadi, seseorang akan mengalami krisis. Suatu krisis dapat bermula dari empat sumber yaitu: diri sendiri, orang lain, iblis dan Tuhan (Seng, 2008). Adapun penjelasan dari empat hal tersebut antara lain: 1. Diri sendiri, lebih disebabkan karena keegoisan manusia sehingga ditindas oleh keinginan implusif. 2. Orang lain, dapat menjadi sumber terbesar dalam mendorong timbulnya krisis, baik itu istri, anak, teman, orangtua atau sanak saudara.



3. Iblis, merupakan sumber yang terhebat dalam mempenagruhi manusia untuk mengikuti godaannya sehingga menimbulkan peperangan rohani yang akan berdampak pada krisis.



4. Tuhan, Tuhan memberikan krisis kepada manusia yang tidak taat padanya agar lebih dekat dan taat padanya.



B. Jenis krisis Collins (2000) menyebutkan ada tiga jenis krisis antara lain:



1. Krisis Situasional Krisis ini tiba-tiba dan tak terduga, misalnya : kematian orang yang dicintainya, diketahuinya sutau penyakit yang kronis, pengalaman akan pemerkosaan atau penganiayaan, kehamilan diluar nikah, gangguan sosial seperti perang atau depresi ekonomi, kehilangan pekerjaan atau penghasilan, kehilangan kehormatan dan status, semua itu adalah tekanan situasional yang dapat mempengaruhi baik individu yang bersangkutan maupun keluarga. Dampak krisis yang datang dari luar keluarga berupa panganiayaan, bencana alam, kebakaran, sering kali dapat lebih meyakinkan keluarga sehingga anggotaanggota keluarga lainnya saling bekerjasama memecahkan krisis. Jika berasal dari dalam keluarga itu sendiri seperti usaha-usaha bunuh diri, ketidaksetiaan, penganiayaan anak, kecanduan alkohol, krisis akan terasa lebih menganggu dan cenderung membuat keluarga yang mengalaminya menjadi terpecah belah. Akan tetapi krisis akan lebih berbahaya jika krisis situasional itu datang silih berganti secara kontinue. 2. Krisis development Krisis ini merupakan krisis yang terjadi seiring dengan perkembangan normal seseorang dalam kehidupannya. Waktu seseorang mulai bersekolah, masuk ke perguruan tinggi, menyesuaikan diri dengan perkawinan dan peran sebagai oarang tua baru, menghadapi kritikan, menghadapi pensiun atau kesehatan yang menurun, atau menerima kematian sahabat-sahabatnya. Semua krisis ini adalah krisis yang menuntut pendekatan-pendekatan baru supaya orang dapat menghadapi dan memecahkan masalah. 3. Krisis Eksistensial. Krisis ini merupakan perpaduan krisis situasional dan development. Ada saatnya dalam hidup yang ada didalamnya manusia dihadapkan dengan kenyataan yang mengganggu, terutama tentang diri kita sendiri. Untuk membuat seseorang sadar akan kenyataan hidupnya itu butuh waktu yang cukup dan usaha pribadi untuk



menerimanya. Manusia dapat menyangkalnya untuk sementara waktu, namun pada suatu saat juga harus menghadapinya secara realistis. Krisis ini dapat memberikan pengalaman-pengalaman untuk membentuk karakter, memberikan pengetahuan, menambah pengalaman hidup, dan menstimulasi pertumbahan iman. Alasan dari suatu krisis.



C. Tahapan Krisis Menurut Nova (2009 : 110) ada lima tahapan dalam siklus hidup yang perlu dikenali. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Pre-crisis (sebelum krisis), merupakan kondisi yang terjadi sebelum sebuah krisis muncul atau dengan kata lain benih krisis. 2. Warning (peringatan), yaitu tahap yang perlu dikenali sekaligus jalan keluar pemecahannya dan jika dibiarkan akan sangat merusak. Krisis dapat dengan mudah muncul pada tahap ini, dapat disebabkan ketakutan ataupun menganggap sepele. Reaksi yang terjadi pada tahap ini adalah kaget, meyangkal dan pura-pura merasa aman. 3. Acute crisis (krisis parah), yaitu krisis mulai terbentuk dan tidak dapat berdiam diri karena sudah menimbulkan kerugian. Pada tahap ini segala kemampuan dan kekuatan yang dimiliki akan diuji baik pengetahuan, logika berfikir, pengalaman mengatasi krisis, maupun hubungan sosial dengan sesama untuk dapat memberikan masukanmasukan jalan keluarnya. 4. Tahap clean up (pembersihan). Saat melewati tahap warning jika tidak diselesaikan sesegera kerusakan pasti timbul dan pada tahap ini adalah tahap untuk memulihkan atas kerusakan dari tahap warning. Saat pemulihan ini akan banyak tekanan yang akan dialaminya. Namun akan timbul hikmah dibalik itu semua, bagaimana menghadapi krisis serta dampaknya masalah yang sama tidak akan pernah terulang lagi. 5. Tahap Post Crisis (sesudah krisis). Jika sejak tahap warning tidak segera diatasi maka akan menimbulkan krisis yang sesungguhnya yang pada akhirnya akan menimbulkan trauma, kekalahan, kehancuran dan sulit bangkit. Namun jika berhasil ditangani saat



pada tahap warning krisis tidak akan terjadi secara berkelanjutan dan dari krisis tersebut kita bisa bangkit kembali karena mengambil hikmah yang terjadi. D. Mengatasi Krisis 1. Krisis pada kehidupan orang lain Menurut Wright (2009), ada beberapa langkah yang diterapkan untuk menolong seseorang yang sedang menghadapi krisis, antara lain : a. Intervensi langsung dengan konselor (orang yang memberi konseling). Krisis sering dianggap oleh konselir sebagai hal yang sangat menakutkan.Sehingga mereka harus segera ditolong/diintervensi oleh konselor agar mereka tidak menghancurkan diri mereka sendiri dan dapat segera meringankan krisis yang dialaminya. Apalagi jika orang yang sedang mengalami krisis tersebut dikenal. Hubungi dan temuilah orang tersebut karena perhatian yang diberikan dapat memberikan kelegaan dan penghiburan bagi konselir. Intervensi langsung ini sering digunakan dalam konseling krisis dengan tahap permulaan menompang atau memberi dorongan semangat untuk mengurangi kegelisahan, rasa bersalah, dan ketegangan serta untuk mengatasi perasaan tak berdaya dan keputusannya. Jika terlambat, akibat paling hebat akan terjadi, misalnya: bunuh diri, pembunuhan, melarikan diri, menyakiti diri sendiri ataupun kehancuran keluarga. b. Mengambil tindakan. Dengan segera konselor perlu mengingatkan konseli untuk menyikapi krisis secara positif. Pertemuan pertama konseling merupakan awal penting bagi konselor. Arahkan konseli agar partisipasi aktif untuk keberhasilan konseling. Dalam interaksi, konselor diharapkan mendengarkan dengan seksama semua respon konseli. Ketahuilah apa yang sebenarnya terjadi dengan diri konseli, orang-orang yang terlibat, waktu yang terjadi. Kumpulkan semua informasi dan masalah untuk menentukan masalah-masalah penting untuk diselesaikan dengan segera dan masalah-masalah yang dapat ditunda. Konselor harus menjadi pendengar yang baik, sabar dan tidak terburu-buru. Dalam mengambil tindakan seorang konselor harus memperhatikan etika dan normanorma yang berlaku agar tidak menyimpang.



c. Mencegah resiko kehancuran. Sasaran utama dalam konseling krisis yaitu mencegah kehancuran atau memulihkan orang tersebut pada keadaan yang seimbang. Konselor harus menolong orang tersebut untuk mencapai sasaran walau ada sedikit tantangan untk mencapainya. Seseorang yang baru saja kehilangan pekerjaan perlu bantuan konselor dengan harapan konseli mampu menyusun suatu daftar tentang kualifikasi, kemampuan dan pengalaman kerjanya untuk memulai mencari pekerjaan baru. Jika terlaksana dengan baik, konseli akan memberikan perasaan lega dan mendorong semangat positif. d. Membangun harapan positif akan masa depan. Orang yang sedang mengalami krisis pasti mengalami perasaan putus asa sehingga perlu untuk membangun harapan dan kemungkinan masa depan yang positif. Memberikan dorongan untuk menyelesaikan masalah mereka, untuk menolong seseorang mencapai ke seimbangannya adalah dengan interaksi dan mengumpulkan informasi mengenai apa yang dia butuhkan. e. Memberi dukungan. Dukungan sosial, dukungan dari saudara, teman, atau orang terdekatnya yang bersedia mendengarkan keluhannya, membicarakan masalah bersama. f. Pemecahan masalah yang terfokus. Mencari jalan keluar untuk memecahkan maasalah krisis. Konselor akan mengarahkan konseli untuk memilih salah satu cara bertindak dan dorongan dia untuk melakukannya. Lakukan tahapan proses untuk mengantisipasi hal-hal yang menimbulkan salah mengambil langkah sehingga akan merusak dirinya sendiri. g. Membangun harga diri. Melindungi dan meningkatkan citra diri konseli untuk mengurangi rasa gelisah karena harga diri yang rendah. Menguatkan konseli bahwa mereka memiliki kekuatan dan kemampuan untuk menghadapi krisis. Konseli harus optimis terhadap kemampuannya menyelesaikan masalahnya sendiri. Ciptakan kerjasama dan kebersamaan memikirkan, merencanakan dan mendoakan semua langkah yang mau diambil bersama untuk memecahkan masalah bersama.



h. Menanamkan rasa percaya diri. Memberikan dorongan agar konseli melakukan sesuatu dengan berhasil walau mungkin hanya langkah-langkah kecil. Percaya diri akan terbangun dalam diri konseli ketika ia mau terlibat dalam perencanaan dan usaha menyelesaikan permasalahannya sendiri. 2. Krisis pada diri sendiri a. Tetapkan kebutuhan b. Bedakan antara keinginan dan kebutuhan c. Mendapatkan hal yang kita butuhkan d. Tidak hidup melampaui kemampuan. Hidup sesuai kemampaun dan bertanggung jawab untuk melakukan yang telah kita putuskan. Jauhkan kesombongan dari pada menjadi miskin. e. Menarik diri dari hal-hal yang tidak penting. f. Menunda proyek-proyek besar. g. Menghargai barang-barang milik pribadi. h. Selalu bersyukur atas pemberian Tuhan.



BAB III PERCERAIAN A. Pengertian Perceraian (divorce) merupakan suatu peristiwa perpisahan secara resmi antara pasangan suami-istri dan mereka berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Mereka tidak lagi hidup dan tinggal serumah bersama, karena tidak ada ikatan yang resmi. Mereka yang telah bercerai tetapi belum memiliki anak, maka perpisahan tidak menimbulkan dampak traumatis psikologis bagi anak-anak. Namun mereka yang telah memiliki keturunan, tentu saja perceraian menimbulkan masalah psiko-emosional bagi anak-anak (Amato, 2000; Olson &DeFrain, 2003). Di sisi lain, mungkin saja anak-anak yang dilahirkan selama mereka hidup sebagai suami-istri, akan diikut sertakan kepada salah satu orang tuanya apakah mengikuti ayah atau ibunya (Olson & DeFrain, 2003).



B. Faktor-Faktor Penyebab Perceraian Perceraian sebagai sebuah cara yang harus ditempuh oleh pasangan suamiistri ketika ada masalah-masalah dalam huhungan perkawinan mereka takdapat diselesaikan dengan baik. Perceraian bukanlah tujuan akhir dari suatu perkawinan, akan tetapi sebuah bencana yang melanda mahligai perkawinan antara pasangan suami-istri. Menurut para ahli, seperti Nakamura(1989), Turner & Helms (1995), LusianaSudarto & Henny E. Wirawan (2001), ada beberapa faktor penyebab perceraian yaitu : 1. Kekerasan Verbal



Kekerasan verbal (verbal violence) merupakan sebuah penganiayaan yang dilakukan oleh seorang pasangan terhadap pasangan lainnya, dengan menggunakan kata-kata, ungkapan kalimat yang kasar, tidak menghargai, mengejek, mencaci-maki, menghina, menyakiti perasaan dan merendahkan harkat-martabat. Akibat mendengarkan danmenghadapi perilaku pasangan



hidup yang demikian, membuat seseorang merasa terhina, kecewa, terluka batinnya dan tidak betah untuk hidup berdampingan dalam perkawinan. 2. Masalah atau Kekerasan Ekonomi



Salah satu faktor keberlangsungan dan kebahagiaan sebuah perkawinan sangat dipengaruhi oleh kehidupan ekonomi-finansialnya. Kebutuhankebutuhan hidup akan dapat tercukupi dengan baik bila pasangan suami-istri memiliki sumber finansial yang memadai. Dalam masyarakat tradisional maupun modern, seorang suami tetap memegang peran besar untuk menopang ekonomi keluarga, sehingga mau tidak mau seorang suami harus bekerja agar dapat memiliki penghasilan. Oleh karena itu, dengan keuangan tersebut akan dapat menegakkan kebutuhan ekonomi keluarganya. Sebaliknya dengan adanya kondisi masalah keuangan atau ekonomi akan berakibat buruk seperti kebutuhan-kebutuhan keluarga tidak dapat terpenuhi dengan baik, anak-anak mengalami



kelaparan,



mudah



sakit,



mudah



menimbulkan



konfliks



pertengkaran suami-istri, akhirnya berdampak buruk dengan munculnya perceraian (Nakamura, 1990). Di sisi lain, ada keluarga yang berkecukupan secara finansial, namun suami memiliki perilaku buruk yaitu berupaya membatasi sumber keuangan kepada istrinya. Hal ini dinamakan kekerasan ekonomi. Yang dimaksud dengan kekerasan ekonomi yaitu suatu kondisi kehidupan finansial yang sulit dalam melangsungkan kegiatan rumah tangga, akibat perlakuan sengaja dari pasangan hidupnya, terutama suami. Walaupun seorang suami berpenghasilan secara memadai, akan tetapi ia membatasi pemberian uang untuk kegiatan ekonomi rumah tangga, sehingga keluarga merasa kekurangan dan menderita secara finansial. 3. Perselingkuhan



Perzinaan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain yang bukan menjadi pasangan hidup yang syah, padahal ia telah terikat dalam perkawinan secara resmi dengan pasangan hidupnya. Jadi perselingkuhan sebagai aktivitas hubungan sexual di luar perkawinan (extra-marital sexual relationship) (Soesmaliyah Soewondo, 2001) dan mungkin semula tidak diketahui oleh



pasangan hidupnya, akan tetapi lama kelamaan diketahui secara pasti (Satiadarma, 2001). Oleh karena itu, seseorang akan merasa sangat kecewa, sakit hati, sedih, stress dan depresi setelah mengetahui bahwa pasangan hidupnya melakukan parselingkuhan, sebab dirinya telah dikianati secara diam-diam. Akibat semua itu, kemungkinan seseorang memilih untuk bercerai dari pasangan hidupnya (Lusiana Sudarto & Henny E. Wirawan, 2001). Perselingkuhan dapat dilakukan oleh siapa saja yaitu tergantung siapa yang melakukannya apakah dilakukan oleh seorang suami atauseorang istri (Satiadarma, 2001).



C. Dampak Perceraian 1. Traumatic Setiap perubahan akan mengakibatkan stres pada orang yang mengalami perubahan tersebut. Sebuah keluarga melakukan penyesuaian diri terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, seperti pindah rumah atau lahirnya seorang bayi dan kekacauan kecil lainnya, namun keretakan yang terjadi pada keluarga dapat menyebabkan luka-luka emosional yang mendalam dan butuh waktu bertahun-tahun untuk penyembuhan (Tomlinson & Keasey, 1985). Hurlock (1996) dampak traumatik dari perceraian biasanya lebih besar dari pada dampak kematian, karena sebelum dan sesudah perceraian sudah timbul rasa sakit dan tekanan emosional, serta mengakibatkan cela sosial. Stres akibat perpisahan dan perceraian yang terjadi menempatkan laki-laki maupun perempuan dalam risiko kesulitan fisik maupun psikis. (Coombs & Guttman, dalam Santrock. 2002). Laki-laki dan perempuan yang bercerai memiliki tingkat kemungkinan yang lebih tinggi mengalami gangguan psikiatris, masuk rumah sakit jiwa, depresi klinis, alkoholisme, dan masalah psikosomatis, seperti gangguan tidur,dari pada orang dewasa yang sudah menikah. Hurlock (1996) Dampak perceraian sangat berpengaruh pada anak-anak. Pada umumnya anak yang orang tuanya bercerai merasa sangat luka karena loyalitas yang harus dibagi dan mereka sangat menderita kecemasan karena faktor ketidakpastian



mengakibatkan terjadi perceraian dalam keluarganya. Ketidakpastian ini khususnya akan lebih serius apabila masalah keselamatan dan pemeliharaan anak menjadi bahan rebutan anatara ayah dan ibu, sehingga anak akan mondar mandir antara rumah ayah dan ibu. 2. Perubahan peran dan status Efek yang paling jelas dari perceraian akan mengubah peranan dan status seseorang yaitu dari istri menjadi janda dan suami menjadi duda dan hidup sendiri, serta menyebabkan pengujian ulang terhadap identitas mereka (Schell & Hall, 1994). Baik pria mupun wanita yang bercerai merasa tidak menentu dan kabur setelah terjadi perceraian. terutama bagi pihak wanita yang sebelum bercerai identitasnya sangat tergantung pada suami. Hal ini karena orang-orang yang bercerai seringkali menilai kegagalan perkawinan mereka sebagai kebebalan personal. Mereka mencoba untuk mengintegrasikan kegagalan perkawinan dengan definisi personal mereka tentang maskulinitas ataupun feminitas, kemampuan mereka dalam mencintai seseorang, dan aspirasi mereka untuk menjalankan peran sebagai suami, istri, bapak, ibu dari pada anak-anak. Setelah bercerai baik pria maupun wanita akan terhenti dalam melakukan hubungan seksual secara rutin. Bagi pria biasanya dapat menyelesaikn masalahnya dengan menjalin hubungan seksual dengan wanita lain atau kumpul kebo. Sedangkan janda yang mempunyai anak sering kesulitan dalam menyelesaikan masalah seksualnya. Menurut Campbell (dalam Schell & Hall, 1994) orang-orang yang bercerai umumnya kurang merasa puas dengan kehidupan merekadibandingkan dengan orang-orang yang menikah, yang belum menikah, atau bahkan janda / duda yang ditinggal mati. Perasaan tidak puas ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu diantaranya, orang-orang yang bercerai seringkali menilai kegagalan perkawinan mereka sebagai kegagalan personal. 3. Sulit penyesuaian diri Kehilangan pasangan karena kematian maupun perceraian menimbulkan masalah bagi pasangan itu sendiri. Hal ini lebih menyulitkan khususnya bagi



wanita. Wanita yang diceraikan oleh suaminya akan mengalami kesepian yang mendalam. Bagi wanita yang bercerai, masalah sosial lebih sulit diatasi dibandingkan bagi pria yang bercerai. Karena wanita yang diceraikan cenderung dikucilkan dari kegiatan sosial, dan yang labih buruk lagi seringkali ditinggalkan oleh teman-teman lamanya. Namun jika pria yang diceraikan atau menduda akan mengalami kekacauan pola hidup (Hurlock,1996). Beberapa individu, tidak pernah dapat menyesuaikan diri dengan perceraian. Individu itu bereaksi terhadap perceraiannya dengan mengalami depresi yang sangat dan kesedihan yang mendalam, bahkan dalam beberapa kasus, sampai pada taraf bunuh diri. Bagaimanapun, tidak semua pasangan yang bercerai mengakhirinya dengan permusuhan. Beberapa diantaranya masih tetap berteman dan memelihara hubungan dengan lain pihak melalui minat yang sama terhadap anak-anaknya. Hozman dan Froiland (dalam Hurlock, 1996) menjelaskan tentang kesulitan dan kerumitan penyesuaian diri setelah terjadi perceraian. 5 tahap penyesuaian setelah terjadinya penyesuaian yaitu: a. Menyangkal bahwa ada perceraian, b. Timbul kemarahan dimana masing-masing individu tidak ingin saling terlibat, c. Dengan alasan pertimbangan anak mereka berusaha untuk tidak bercerai, Mereka mengalami depresi mental ketika mereka tahu akibat menyeluruh dari perceraian terhadap kelurga, d. Dan akhirnya mereka setuju untuk bercerai. Dampak perceraian khususnya sangat berpengaruh pada anak-anak. Kenyataan ini yang sering kali terlupakan oleh pasangan yang hendak bercerai (Papalia & Diane, 2001). Perceraian menyebabkan problem penyesuaian bagi anak-anak. Situasi perceraian ini, khususnya jika anak-anak memandang bahwa kehidupan keluarganya selama ini sangat bahagia, dapat menjadi situasi yang



mengacaukan kognitifnya. Masa ketika perceraian terjadi merupakan masa kritis buat anak, terutama menyangkut hubungan dengan orangtua yang tinggal bersama. Pada masa ini anak harus mulai beradaptasi dengan perubahan hidupnya yang baru. Proses adaptasi pada umumnya membutuhkan waktu. Pada awalnya anak akan sulit menerima kenyataan bahwa orang tuanya tidak bersama lagi. Namun banyak wanita dan pria yang merasa beruntung dengan adanya perceraian, dengan pengertian bahwa perceraian tersebut memberikan kesempatan pada mereka untuk memulai hidup yang baru (Hurlock, 1996). Hetherington dan kawan-kawan (Hurlock, 1996), menjelaskan bahwa pasangan yang bercerai pada umumnya berharap tekanan dan konflik batin berkurang dapat menikmati kebebasan lebih besar dan akan menemukan kebahagiaan diri sendiri. Studi tentang akibat perceraian pada anggota keluarga membawa dampak yang sangat besar, terutama pada tahun pertama setelah perceraian kemudian bertahap akan terjadi penyesuaian terhadap berbagai masalah yang ada dalam keluarga. D. Mencegah perceraian Ada beberapa cara yang dapat dipertimbangkan, saat rumah tangga berada diambang perceraian. Berikut adalah beberapa diantaranya: 1. Cari Sumbernya



Ada asap pasti ada api. Demikian juga halnya dengan kehidupan rumah tangga. Keputusan untuk bercerai tentunya bukan tanpa sebab. Karena itu, carilah sumber dari hal ini. Jika sumber permasalahannya sudah dapat ditemukan, cobalah untuk menyelesaikan dengan baik-baik. Sebab setiap masalah tentu mempunyai jalankeluar. Apapun masalah yang menjadi sumber dari keputusan cerai yang akan diambil, sebaiknya pertimbangkan dengan matang. Sebab, jika kita sudah menemukan sumber permasalahannya, maka keputusan yang tepat akan dapat diambil, apakah akan meneruskan keputusan untuk bercerai, atau tidak. 2. Introspeksi



Bilasudah mengetahui penyebab kenapa ingin bercerai, cobalah untuk berintropeksi. Ini yang seringkali sulit dilakukan. Pasalnya, masing-masing pasangan pasti merasa dirinyalah yang benar. Mereka tak bakal bisa menerima kenyataan



bahwa



merekalah



pangkal



sebab



munculnya



niat



cerai.



Mungkinseseorang malu mengakui secara jujur kekurangannya, tapi coba menjawab dengan jujur pada diri sendiri bahwa yang dikatakan pasangan ada benarnya. 3. Jangan membesarkan masalah



Jika sudah tahu sumber keributan dan konflik dalam rumahtangga, sebaiknya jangan memperbesar masalah. Juga, jangan mencari masalah baru. Pasalnya, ini justru akan memperkeruh suasana. Cobalah untuk mencari solusi sebaik-baiknya. 4. Pisah sementara



Meski sepertinya sangat tak enak, cara ini bisa menjadi jalan terbaik untuk menghindari perceraian. Pisah untuk sementara waktu akan membantu suamiistri untuk menenteramkan diri sekaligus menilai, keputusan apa yang sebaiknya ditempuh. Kenapa harus pisah rumah? Pasalnya, dua hati yang sama-sama sedang panas, sebaiknya tak bertemu setiap hari. Jika setiap hari bertemu, yang terjadi bukan membaik, malah justru bakal semakin panas. Bisa-bisa ribut terus dan tidak ada titik temu. Yang dibahas setiap hari pasti akan balik ke masalah yang itu-itu saja. Anda bisa misalnya “mengungsi” dulu ke rumah orang tua, sementara suami pindah dulu sementara ke rumah orang tuanya. Pisah rumah akan membantu mendinginkan hati yang sedang memanas, sehingga Anda dan suami dapat berpikir jernih. 5.



Komunikasi Apapun, komunikasi merupakan fondasi sebuah hubungan, termasuk hubungan dalam perkawinan. Tanpa komunikasi, hubungan tak bakal bisa bertahan. Jadi, seberat apapun situasi yang tengah Anda hadapi, sebaiknya tetap lakukan komunikasi dengan pasangan. Bahkan setelah Anda dan suami sama-sama hidup terpisah, cobalah untuk tetap berkomunikasi. Coba diskusikan bersama, langkah terbaik apa yang bisa Anda berdua lakukan



untuk menghindari perceraian, untuk mempertahankan mahligai rumahtangga. Tak mudah memang, tapi jika Anda berdua sudah berpisah untuk sementara waktu, situasi panas barangkali sudah lewat, sehingga Anda berdua sudah siap untuk berkomunikasi. Jangan merasa malu atau gengsi untuk saling menghubungi.



6.



Libatkan keluarga Jika kenyataannya, pasangan sudah tidak dapat diajak berkomunikasi atau selalu berusaha menghindar, cobalah libatkan anggota keluarga yangmemang dekat dengannya. Orang tua, kakak atau pamannya misalnya. Pokoknya, siapa saja yang bisadiajak berbicara. Jangan pernah menutupi akar permasalahan yang ada kepada mereka, tetapi berterus teranglah. Katakan juga, apa sebetulnya kekurangan Anda maupun kekurangan suami. Siapa tahu, mediator ini dapat melunakkan hati Anda dan pasangan, sekaligus mencarikan solusi untuk kembali bersatu.



7. Cari teman curhat



Menghadapi perceraian tentu akan membuat pikiran runyam, pekerjaan terbengkalai dan bingung harus berbuat apa. Kondisi tidak nyaman ini bisa Anda atasi bila Anda bisa berbagi dengan orang terdekat, sahabat misalnya. Dengan berbagi, beban pikiran Anda akan terasa lebih ringan. Yang harus dicermati, jangan mencari teman curhat yang lawan jenis. Carilah teman curhat sesama jenis. Pasalnya, bila Anda bercerita, mengungkapkan uneguneg Anda pada teman pria, belum tentu sepenuhnya ia akan mendukung Anda untuk kembali bersatu dengan suami. Bisa jadi ia malah menggoda Anda, dan jika Anda akhirnya benar-benar tergoda, yang muncul akhirnya malah masalah baru. 8. Ingat anak



Anak biasanya menjadi senjata terampuh untuk meredam konflik antara suami-istri. Jadi, bila ternyata antara Anda dan suami sama¬sama menginginkan perceraian, cobalah ingat anak-anak Anda, buah cinta kasih Anda dan suami. Ingatlah bahwa mereka masih sangat membutuhkan Anda



dan suami. Apakah mereka harus menjadi korban perceraian karena keegoisan orang tuanya? Lantas, setelah bercerai, kemana dan kepada siapa mereka harus ikut, istri atau suami? 9. Kesampingkan ego pribadi



Jika memang masih menginginkan keutuhan rumahtangga, segera buang jauh-jauh ego yang ada dalam diri. Jangan merasa diri selalu benar dan selalu menyudutkan pasangan, begitu pula sebaiknya. Sadarilah bahwa apa yang terjadi sekarang adalah kesalahan Anda dan suami. Kalaupun selama ini ada sakit hati yang terselip, cobalah untuk saling memberi maaf. 10. Jujur pada diri sendiri



Jujurlah pada diri sendiri, apakah sudah siap mental untuk berpisah selamanya? Perceraian tidaklah semudah yang dibayangkan. Berpisah lalu hidup tenang. Tidak selamanya perceraian membuat kehidupan menjadi bahagia. Bisa jadi justru sebaliknya, lebih hancur. Banyak masalah-masalah di kemudian hari yang berbuntut panjang. Mulai anak, harta gono-gini sampai hubungan antar-keluarga yang ikut tidak harmonis. Pertimbangkan benar, apa dampaknya bagi Anda dan keluarga jika perceraian itu benar-benar terjadi. 11. Banyak berdoa



Banyak berdoa dan mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa dapat membantu permasalahan Anda. Mintalah petunjuk dari-Nya. Dengan semakin bertekun dan mendekat kan diri, insya Allah doa Anda akan terjawab 12. Buka lembaran baru



Jika Anda dan suami akhirnya bisa kembali rukun, maka Anda harus siap membuka lembaran baru bersama suami. Jangan pernah mengungkit-ungkit persoalan dan penyebab Anda berdua pernah berniat untuk bercerai. Sekali Anda mengungkit-ungkit, bisa jadi Anda akhirnya akan benar-benar bercerai. Yang paling penting adalah saling mengingatkan dan memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada.



BAB IV DITINGGAL MATI PASANGAN DAN HIDUP SENDIRI



A. Ditinggal Mati Pasangan Setelah menikah, orang-orang yang penting bagi seorang suami ataupun istri adalah pasangannya, setelah itu anak, teman dan saudara (Johnson & Catalono dalam Lemme, 1995). Seorang suami ataupun istri ini dapat kehilangan orang yang terpenting dalam hidupnya ini (pasangannya) pada awal pernikahan, pertengahan pernikahan, maupun ketika usia mereka telah tua. Salah satu hal yang dapat menyebabkan seorang suami atau istri kehilangan pasangannya adalah kematian.



Menurut Dayakisni (2003), diantara orang-orang yang tidak menikah (yang belum menikah, ditinggal pasangan karena bercerai dan juga karena kematian), yang paling kesepian adalah seseorang yang menjadi sendiri karena kematian pasangannya. Selain itu, dari hasil penelitian Holmes dan Rahe (dalam Calhoun & Acocella, 1990) terlihat bahwa tingkat kesulitan penyesuaian diri yang paling besar adalah penyesuaian diri terhadap kematian suami atau istri. Hal ini berarti kehilangan pasangan karena kematian merupakan hal yang paling menyebabkan seseorang mengalami stres. Kematian suami menyebabkan seorang istri menjadi janda sedangkan kematian istri menyebabkan suami menjadi duda. Setelah pasangannya meninggal, seorang janda akan menghadapi beberapa dimensi masalah. Bagi beberapa perempuan, penyesuaian mereka terhadap kehilangan suami meliputi: 1. Perubahan konsep diri Peran penting perempuan sebagai seorang istri tidak akan ada lagi dalam kehidupan mereka setelah suaminya meninggal dunia. Perempuan yang telah mendefinisikan dirinya sebagai seorang istri, setelah kematian suaminya mengalami kesulitan untuk mendefinisikan dirinya sebagai seorang janda. Oleh



karena itu, bagi seorang perempuan, meninggalnya suami berartikehilangan orang yang mendukung definisi diri yang dimilikinya (Nock, 1987). 2. Kesulitan Ekonomi Secara finansial kematian pasangan selalu menyebabkan kesulitan ekonomi walaupun dalam beberapa kasus istri merupakan ahli waris dari suaminya, namun selalu ada biaya yang harus dikeluarkan misalnya untuk biaya dokter dan pembuatan makam (Kephart & Jedlicka, 1991). Bagi seorang janda, kesulitan ekonomi, dalam hal ini pendapatan dan keuangan yang terbatas, merupakan permasalahan utama yang mereka hadapi (Glasser Navarne, 1999). Ketidakhadiran suami sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah bagi keluarga menyebabkan seorang janda harus mampu mengambil keputusan dan bertanggung jawab sendiri, termasuk mencari nafkah bagi dirinya dan juga anak-anaknya (Suardiman, 2001). 3. Perubahan Fisik Dari segi fisik, kematian pasangan menyebabkan peningkatan konsultasi medis, kasus rawat inap di rumah sakit, meningkatnya perilaku yang merusak kesehatan, seperti merokok dan minum-minum, dan meningkatnya resiko kematian pasangan yang ditinggalkan (Santrock, 1995). Rosenbloom & Whitington (dalam Scannell-Desch, 2003) menemukan bahwa gizi buruk berhubungan dengan perubahan kebiasaan makan pada janda. Selain kehilangan teman saat makan, dia juga tidak merasakan lagi suasana yang menyenangkan saat makan bersama suami, dia menjadi tidak peduli terhadap pemilihan makanan dan kualitas nutrisi. Mereka juga dilaporkan tidak makan sebanyak tiga kali sehari dan makanan mereka adalah makanan yang tinggi kalori dan rendah lemak. 4. Perubahan Kehidupan Sosial Kehidupan sosial mereka juga mengalami perubahan. Keluarga dan teman-teman biasanya selalu berada di dekat janda pada masa-masa awal setelah kematian, namun setelah itu mereka akan kembali ke kehidupan mereka masing-masing (Brubaker dalam Papalia, Old & Feldman, 2001).



Masalah yang sering muncul adalah tentang hubungannya dengan teman dan kenalannya. Seorang janda sering tidak diikutsertakan dalam suatu kegiatan sosial oleh pasangan menikah lain karena dia dianggap sebagai ancaman oleh para istri (Freeman, 1984). Perempuan yang menjanda juga mengatakan bahwa mereka sering merasa aneh dan kurang nyaman ketika berada dalam situasi dimana dia harus bersama-sama dengan orang yang berpasangan, yang menyebabkannya semakin terpisah dari lingkungan sosialnya (Matlin, 2004). Perempuan yang menjanda mungkin akan merasa tidak tertarik ataupun tidak nyaman dalam situasi sosial dimana dulunya dia diterima. Hubungan dengan teman mungkin akan rusak atau mengalami perubahan, terutama jika hubungan itu ada karena ada kaitannya dengan pasangan yang telah meninggal (Belsky, 1990), misalnya seorang janda mungkin tidak akan mengikuti lagi perkumpulan istri-istri di tempat suaminya bekerja dahulu. Dia harus membangun hubungan sosial yang baru dan mencari teman baru (Barrow, 1996). 5. Dukungan Emosional Secara emosional, janda yang telah kehilangan suaminya juga kehilangan dukungan dan pelayanan dari orang yang dekat secara intim dengannya (Barrow, 1996). Selain itu, ada beberapa perempuan yang seolah-olah merasakan tanda dan gejala terakhir dari penyakit suaminya, ada yang mengenakan pakaian suaminya agar merasa nyaman dan dekat dengan suaminya, dan beberapa lainnya tetap memasak dan mengatur meja untuk suaminya walaupun suaminya itu telah meninggal (Heinemann dalam Nock,1987). Beberapa janda mengatakan mereka tetap melihat dan mendengar suaminya selama setahun. Mereka merasa marah pada suaminya karena telah meninggalkannya, dan mencari-cari atau mengharapkan nasehat dari suaminya selama beberapa waktu (Caine dalam Nock, 1987). 6. Dukungan Sosial Kehilangan



pasangan



serta



banyaknya



masalah



yang



muncul



menyebabkan masa menjanda ini menjadi masa krisis. Seperti halnya masa



krisis lainnya, dalam menjalani masa menjanda ini seorang janda sangat membutuhkan dukungan social (Lemme, 1995). Kehilangan



pasangan



serta



banyaknya



masalah



yang



muncul



menyebabkan masa menjanda ini menjadi masa krisis. Seperti halnya masa krisis lainnya, dalam menjalani masa menjanda ini seorang janda sangat membutuhkan dukungan social (Lemme, 1995). Dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, penghargaan, maupun bantuan dalam bentuk lainnya yang diterimanya individu dari orang lain ataupun dari kelompok (Sarafino, 2002). Dukungan sosial yang dibutuhkan seseorang dapat berasal dari keluarga, teman, perkumpulan di tempat kerja, dan dari anggota kegiatan-kegiatan yang diikutinya (Lopata dalam Craig, 1996). Ada lima bentuk dukungan sosial yang dapat diterima oleh individu (Sarafino, 2002) yaitu: a.



Dukungan emosional



b.



Penghargaan



c.



Instrumental



d.



Informasi



e.



Dukungan kelompok Kelima bentuk dukungan social inilah yang nanti digunakan untuk



mengukur dukungan sosial yang diterima individu. Hal yang paling penting dari suatu dukungan sosial adalah individu memiliki teman berbicara, memiliki seseorang untuk memberikan nasehat, memiliki seseorang untuk menghibur dan membangkitkan semangat. Kematian pasangan yang dialami seorang janda menyebabkannya harus mengatasi masalah seorang diri. Penyesuaian kehilangan pasangan merupakan tugas berkembangan yang paling membuat trauma. Wanita lansia lebih menderita akibatkehilangan pasangannya jika dibandingkan pria. Dalam perbandingan dengan kelompok usia muda, lansia menyadari bahwa kematian adalah bagian dari proses kehidupan yang normal. Sebagian lansia lebih sedikit takut akan kematian dibandingkan individu yang



lebih muda dan lebih khawatir akan kematian individu yang dicintainya dari pada diri mereka sendiri. Akan tetapi kesadaran akan kematian tidak berarti bahwa pasangan yang telah ditinggal pasangannya menemukan kemudahan dalam menyesuaikan diri terhadap kehilangan. Kehilangan pasangan menimbulkan efek yang merugikan wanita meninggal lebih awal dari pada pasangan barunya, dan kehidupan lebih cenderung memiliki masalah kesehatan yang serius seperti : isolasi social, bunuh diri atau gangguan jiwa). Selain itu kehilangan pasangan menuntut reorganisasi total fungsi keluarga. Hal ini terutama sulit untuk mencapai kepuasan ,karena kehilangan telah menghilangkan sumber emosional dan ekonomiyang dibutuhkan untuk beradaptasi terhadap perubahan. Bagi wanita, hal ini berrati perpindahan dari saling ketergantungan dan aktivitas kehidupan keluarga bersama-sama menjadi sendiri-sendiri atau berhubungan dengan sekelompok lansia yang tidak terikat. Sementara bagi pria, kehilangan pasangan berarti kehilangan pendamping, secara umum seperti kehilangan penghubung ke keraba, keluarga, dan dunia social. Adapaun akibat dari pria yang ditinggalkan pasangan antara lain: a. Bunuh diri b. Kehilangan kemandirian mobilitas c. Kesepian d. Isolasi social e. Kehilangan kontrol f. Depresi g. Bingung h. Perasaan hampa



B. Hidup sendiri



Seseorang yang hidup sendiri dalam waktu yang lama tentu akan merasakan kesepian. Kesepian merupakan suatu pengalaman subyektif dan tergantung pada interpretasi individu terhadap hubungan sosial yang dimilikinya. Menurut Bruno (dalam Dayakisni, 2003) kesepian dapat berarti suatu keadaan mental dan emosional yang terutama dicirikan oleh adanya perasaan-perasaan terasing dan kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain. Kesepian timbul ketika seseorang memiliki hubungan interpersonal yang lebih sedikit dibanding yang diinginkannya atau ketika hubungan interpersonalnya tidak memuaskan keinginannya (Weiten & Llyod, 2006). Orang yang merasa kesepian akan merasa ditiadakan dari kelompok, tidak dicintai oleh orang-orang yang ada disekitarnya, tidak dapat berbagi tentang masalah-masalah pribadi, ataupun berbeda serta terasing dari orang-orang di sekelilingnya (Beck & Young; Davis & Fanzoi dalam Myers, 1996). Selain itu, individu yang mengalami kesepian memiliki pandangan negatif terhadap depresi yang mereka rasakan, menyalahkan diri sendiri atas hubungan sosial yang buruk, dan berbagai hal yang berada di luar kendali (Anderson & Snoggrass, dalam Myers, 1999). Barg et al. (2006) menemukan bahwa orang-orang yang mengatakan dirinya kesepian umumnya lebih tertekan, ketakutan dan putus asa serta memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk merasakan kesedihan dan sulit untuk bersenang-senang dibandingkan dengan orang yang tidak kesepian. Kesepian yang terjadi akibat berpisah dengan orang yang kita cintai dapat membangun suatu reaksi emosional seperti kesedihan, kekecewaan, bahkan rasa geram yang membuat seseorang marah pada lingkungan dan juga pada dirinya sendiri (Sears dkk., 1999). Menurut Rubeinstein, Shaver & Peplau (1979 dalam Brehm, 2002), ada 4 jenis perasaan yang dirasakan ketika seseorang kesepian yaitu putus asa, depresi, impatient boredom, meyalahkan diri. Keempat perasaan inilah yang akan digunakan untuk mengukur kesepian pada janda. Menurut Brehm (2002), kesepian yang dialami oleh janda disebabkan oleh keinginan-keinginan seperti keinginan untuk bersama dengan suaminya,



keinginan untuk dicintai oleh seseorang, keinginan untuk berbagi pengalaman sehari-hari dengan seseorang, membutuhkan seseorang untuk berbagi beban dan pekerjaan, keinginan untuk mencintai dan merawat seseorang, kerinduan terhadap masa lalu ketika bersama suami, merasa kehilangan status, ketakutan akan ketidakmampuannya untuk membangun hubungan pertemanan yang baru. Perasaan-perasaan ini akan menyebabkan janda mengalami kesepian (Brehm, 2002).



1. Dampak dari Kelamaan Hidup Sendiri Manusia tak bisa hidup sendiri, itu sudah sering kita baca di buku pelajaran ilmu sosial. Iya, manusia memang makhluk sosial yang membutuhkan orang lain sebagai teman di kehidupannya. Jika kebutuhan itu tidak dipenuhi, atau Seseorang hidup sendirian dalam jangka waktu lama, maka kesehatan fisik dan mental Seseorang bisa terganggu. Sebuah studi yang dilakukan



oleh



Psychological



Science



dan



dilansir



oleh



laman



news.health.com, terungkap bahwa manusia yang dalam kehidupannya lama menghabiskan waktu sendiri, tak bersosialisasi, maka akan memseseorangng wajah boneka seperti layaknya manusia. Jika seseorang sering merasa kesepian sebaiknya jangan dianggap sepele. Sebab, efek buruk dari kesepian, menurut ahli fisiologi Amerika, setara dengan kerugian akibat kebiasaan merokok atau mengonsumsi minuman beralkohol. Ikatan emosional dari keluarga dan para sahabat yang kuat dapat meningkatkan kualitas kesehatan manusia. Bahkan, ikatan emosional semacam ini lebih efektif memberikan kesehatan ketimbang latihan fisik dan menghindari kebiasaan yang berbahaya. Serangkaian penelitian itu dilakukan dalam kurun waktu tujuh tahun. Mereka meriset hampir 400 orang yang ikut berpartisipasi dalam proyek ini. Hasilnya, orang yang sering berinteraksi sosial (dengan tetangga, teman, keluarga) ternyata lebih kecil risiko terserang berbagai penyakitdibandingkan dengan mereka yang jarang berhubungan dengan orang lain. Hasil penelitian itu kemudian meyakinkan para ahli bahwa pengaruh kesepian sama dengan dampak rokok dan alkohol. Jadi, dalam hal dampak negatif terhadap kesehatan,



kesepian itu identik dengan merokok 15 batang sehari. Orang-orang yang merasa kesepian cenderung mengalami lebih banyak problem kesehatan fisik maupun mental daripada mereka yang jarang kesepian dan sering berinteraksi dengan orang lain. Hal ini dikemukakan oleh Bruce Rabin, seorang direktur Program Lifestyle di University of Pittsburgh Medical Center. Mereka juga rentan mengalami masalah lain, yang tak dialami oleh orang yang terhubung dengan orang lain setiap harinya, seperti misalnya yang tercatat di bawah ini. Berikut dampak bahaya terlalu lama sendirian:



a.



Sering sedih dan stress Berdasarkan penelitian dari University of Chicago, semakin Seseorang merasa kesepian dan sendiri maka kemungkinan Seseorang mengalami sedih dan stres akan makin besar. Resiko depresi juga makin terbuka lebar. Hormon kortisol pada seseorang yang kesepian cenderung makin meningkat dan aktif. Ini adalah hormon pemicu stres dan depresi. Yang mengejutkan, ternyata interaksi dengan banyak orang ternyata bisa lebih efektif mengurangi gejala depresi daripada obat antidepresan.



b.



Malas mengurus diri Sebuah studi menyebutkan jika resiko kematian disebabkan oleh penyakit jantung dapat meningkat apabila seseorang hidup sebatang kara. Ini disebabkan karena ia enggan mengurus diri dan kesehatannya. Namun jika ia memiliki orang lain atau mempunyai kegiatan interaksi dengan orang lain, maka kemungkinan kematian akan berkurang. Ini karena dukungan sosial akibat interaksi yang ia lakukan. Ia juga lebih mengurus kesehatannya jika berada dalam lingkungan sosial yang baik.



c.



Daya tahan tubuh lemah Daya tahan orang yang hidup menyendiri lebih lemah dari pada orang yang rajin bersosialisasi. Ini bahkan berlaku jika Seseorang rajin mengonsumsi berbagai vitamin dan vitamin C. Bagaimana bisa terjadi? Rahasianya ada di hormon endorfin atau dopamin yang keluar saat seseorang merasa bahagia saat berkumpul dengan keluarga dan sahabat.



Lucunya, meskipun seseorang makan banyak makanan bernutrisi dan vitamin C, namun jika Seseorang tidak mengimbanginya dengan bersosialisasi dengan orang di sekitar seseorang, seseorang mungkin sekali memiliki sistem imun yang lemah. Ini karena tubuh tidak mengeluarkan hormon endorfin atau dopamin sehingga seseorang tidak bahagia. Hal inilah yang melemahkan tubuh seseorang dari serangan penyakit. Penelitian tahun 2013 oleh Ohio State University memperlihatkan bahwa seseorang yang kesepian cenderung memiliki sistem imunitas tubuh yang lebih lemah. Mereka jadi lebih rentan mengalami peradangan yang terkait dengan penyakit kronis seperti penyakit jantung, artritis, diabetes tipe 2, serta penyakit alzheimer. Kesepian bisa bikin cepat meninggal. Rasa kesepian yang berlarut-larut memang berdampak buruk bagi kesehatan Seseorang. Bahkan hal itu dapat mempercepat kematian Seseorang! Berbagai riset menunjukkan bahwa orang-orang yang sendirian dan merasa kesepian memiliki peningkatan risiko kematian dini sebesar 30 persen. d.



Cendrung malas mengatasi diri sendiri Sebuah penelitian menunjukkan bahwa risiko kematian akibat penyakit jantung bisa meningkat jika seseorang hidup sendirian dalam usia paruh baya, dan risiko akan meningkat jika seseorang tidak pernah menjalin interaksi dengan orang di sekitar seseorang hingga seseorang merasa kesepian sendiri. Hal ini dikarenakan seseorang tidak memiliki teman untuk berbagi dan mendapatdukungan sosial dari sekitar. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang makan sendirian, makan lebih sedikit sayuran tiap harinya dibandingkan orang-orang yang hidup bersama orang lain. Berbeda dengan orang yang hidup bersama keluarga, menurut Rabin, apa yang dimasak akan cenderung disiapkan makanan sehat.



e.



Mudah terserang penyakit Ilustrasi: Perasaan kesepian bisa menurunkan produksi leukosit alias sel darah putih. Kalau leukosit menurun, tubuh akan mudah terserang virus maupun bakteri yang menyebabkan kita akan mudah terserang



penyakit, karena fungsi leukosit sebagai benteng yang melawan penyakit. Kesepian menjadi kondisi emosi yang kompleks karena berpengaruh pada kepribadian, kesehatan, dan kehidupan sosial. Sebuah riset di Harvard pada tahun 2012 memperlihatkan bahwa orang dewasa yang hidup sendirian dan merasa kesepian memiliki risiko kematian akibat penyakit jantung sebanyak 24 persen. Rabin mengatakan bahwa orang yang tidak mendapatkan dukungan sosial seringkali gampang stres dan hal tersebut meningkatkan risikonya untuk terserang penyakit jantung. Penumpukan hormon stres di dalam tubuh juga dapat turut menaikkan penumpukan endapan kolesterol pada organ hati. Orang-orang yang kesepian juga cenderung kurang minat untuk berolahraga dan biasanya tidak aktif bergerak. f.



Menyebabkan masalah social Ilustrasi: bagi anak-anak, perasaan kesepian bisa menimbulkan masalah-masalah lain seperti perasaan nggak betah di sekolah karena tidak bisa bersosialisasi dengan baik. Orang dewasa yang merasa kesepian bisa mengalami stres, depresi, hingga terjerumus pada hal-hal negatif. Bahkan orang dewasa maupun anak muda yang tidak bisa mengatasi dan tidak tahan dengan rasa kesepiannya bisa berujung pada bunuh diri.



g.



Mengganggu kualitas tidur Kesepian bisa menganggu kualitas waktu tidur. Orang yang kesepian akan susah tidur, sering terbangun di malam hari, dan kekurangan waktu tidur.



h.



Depresi Rasa kesepian rentan membuat seseorang merasa pedih hati. Semakin ia larut dalam keadaan bersedih, semakin besar juga kemungkinannya mengalami depresi. Bruce Rabin mengungkapkan bahwa keadaan kesepian memicu pengaktifan hormon otak yang berkaitan dengan stres, misalnya kortisol, sehingga sanggup menimbulkan depresi. Salah satu cara mengatasi depresi ialah dengan aktif berinteraksi sosial dengan orang lain.



2. Beberapa cara menghadapi kesepian



Memang ada waktunya seseorang merasa butuh waktu untuk sendirian di tempat yang sunyi, entah itu untuk menyalurkan hobi seperti membaca buku, atau supaya bisa berpikir dengan jernih. Tetapi menghabiskan terlalu banyak waktu sendiri dapat menimbulkan rasa kesepian. Dan rasa kesepian bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental maupun fisik Seseorang. Kabar baiknya, Seseorang bisa menghindarinya dengan cara mengatasi kesepian berikut ini: a. Dibalik penyebab kesepian 1) Kesendirian dan kesepian bukanlah dua hal yang sama. Dari segi pengertian menurut kamus, kesendirian memaksudkan situasi saat seseorang tidak berinteraksi dengan orang lain atas keinginannya sendiri. Sedangkan kata kesepian seringkali menyiratkan rasa keterasingan yang dibarengi dengan keinginan yang besar untuk memiliki teman. Bisa disimpulkan, kesendirian bisa jadi situasi yang menyenangkan dan bermanfaat. Misalnya ketika Seseorang memang butuh waktu untuk menenangkan diri atau merenung. Namun sebaliknya, kesepian merupakan bentuk perasaan yang menyakitkan. Apa yang jadi penyebab kesepian? 2) Hubungan tanpa emosi. Teknologi seakan sudah menggantikan keinginan orang-orang untuk saling bertemu dan bercakap-cakap. Banyak orang merasa sudah cukup berkomunikasi hanya dengan mengirim SMS atau chatting dan malas untuk bertemu langsung. Namun, hubungan komunikasi yang tanpa emosi tersebut justru bisa membuat Seseorang semakin kesepian. 3) Berpindah-pindah rumah. Krisis ekonomi telah memaksa banyak orang untuk pindah tempat tinggal akibat pindah pekerjaan. Karena pindah pekerjaan, mereka terpaksa harus meninggalkan sekolah, tetangga, sahabat, dan bahkan keluarga mereka. Keadaan lebih parah harus dirasakan mereka yang pindah ke tempat yang berbeda bahasa, budaya, dan iklim. Seringkali mereka sulit menyesuaikan diri dan tidak punya teman akrab.



4) Kematian orang yang dicintai. Kematian seorang teman hidup meninggalkan luka dan perasaan hampa yang mendalam bagi pasangan hidupnya, terlebih apabila mereka sudah hidup bersama untuk waktu yang lama. Perasaan kesepian yang kuat akan sering muncul. 5) Kelajangan yang terpaksa. Rasa kesepian kadang kala dialami oleh mereka yang belum menikah karena belum menemukan pasangan yang cocok. Perasaaan kesepian bisa semakin kuat ketika ada yang mengajukan pertanyaan yang kedengarannya menyakitkan, misalnya “kenapa kamu belum menikah juga?” 6) Usia muda. Tak sedikit anak remaja yang mengaku merasa kesepian. Banyak dari mereka yang ketagihan hiburan yang bisa dilakukan sendirian, misalnya bermain game elektronik, menghabiskan berjam-jam untuk surfing di internet, atau menonton TV. Karena keseringan.



BAB V Putus Hubungan Kerja



A. Pengertian



PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha. Apabila kita mendengar istilah PHK, yang biasa terlintas adalah pemecatan sepihak oleh pihak pengusaha karena kesalahan pekerja. Menurut undang-undang No. 13 Tahun 2003 mengartikan bahwa pemberhentian atau pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antar pekerja dan pengusaha. Pemutusan hubungan kerja yang terjadi karena perusahaan pailit merupakan hal yang unik untuk dapat ditelaah lebih lanjut, bukan semata-mata karena PHK jenis ini memberi kontribusi terbesar atas jumlah pengangguran yang ada di Indonesia, tapi juga karena dampak psikologis yang dialami oleh para pekerja yang mengalaminya. Tidak seperti para pekerja yang mengalami PHK karena habis kontrak kerja dan mengundurkan diri, para pekerja yang mengalami PHK karena pailit tidak pernah memperhitungkan kemungkinan akan terjadinya pemutusan hubungan kerja. Manulang (dalam Zulhartati, 2010) mengemukakan bahwa istilah pemutusan hubungan kerja dapat memberikan beberapa pengertian, yaitu : 1. Termination : yaitu putusnya hubungan kerja karena selesainya atau berakhirnya kontrak kerja yang telah disepakati. Berakhirnya kontrak, bilamana tidak terdapat kesepakatan antara karyawan dengan manajemen, maka karyawan harus meninggalkan pekerjaannya. 2. Dismissal : yaitu putusnya hubungan kerja karena karyawan melakukan tindakan pelanggaran disiplin yang telah ditetapkan. Misalnya : karyawan melakukan kesalahan-kesalahan, seperti mengkonsumsi alkohol atau obat-obat psikotropika, madat, melakukan tindakan kejahatan, merusak perlengkapan kerja miliki pabrik. 3. Redundancy : yaitu pemutusan hubungan kerja karena perusahaan melakukan pengembangan dengan menggunakan mesin-mesin berteknologi baru, seperti : penggunaan robot-robot industri dalam proses produksi, penggunaan alat-alat berat yang cukup dioperasikan oleh satu atau dua orang untuk menggantikan sejumlah tenaga kerja. Hal ini berdampak pada pengurangan tenaga kerja. 4. Retrenchment : yaitu pemutusan hubungan kerja yang dikaitkan dengan masalahmasalah



ekonomi, seperti resesi ekonomi, masalah pemasaran, sehingga perusahaan tidak mampu untuk memberikan upah kepada karyawannya. Flippo (dalam Zulhartati, 2010) membedakan pemutusan hubungan kerja di luar konteks pensiun menjadi 3 kategori, yaitu : 1. Lay Off : keputusan ini akan menjadi kenyataan ketika seorang karyawan yang benarbenar memiliki kualifikasi yang membanggakan harus diputustugaskan karena perusahaan tidak lagi membutuhkan sumbangan jasanya. 2. Out placement : ialah kegiatan pemutusan hubungan kerja disebabkan perusahaan ingin mengurangi banyak tenaga kerja baik tenaga kerja professional, manajerial, maupun tenaga pelaksana biasa. Pada umumnya perusahaan melakukan kebijakan ini untuk mengurangi karyawan yang performansinya tidak memuaskan, orang-orang yang dianggap kurang memiliki kompetensi kerja serta orang-orang yang kurang memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan untuk posisi di masa mendatang. 3. Discharge : kegiatan ini merupakan kegiatan yang menimbulkan perasaan paling tidak nyaman di antara beberapa metode pemutusan hubungan kerja yang ada. Kegiatan ini dilakukan berdasar pada kenyataan bahwa karyawan kurang mempunyai sikap dan perilaku kerja yang memuaskan. Karyawan yang mengalami jenis PHK ini kemungkinan besar akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan baru di tempat atau perusahaan lain.



B. Dampak Dari Akibat PHK Dalam praktiknya, pemutusan hubungan kerja yang terjadi karena berakhirnya waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerja,tidak menimbulkan permasalahan terhadap kedua belah pihak (pekerja maupun pengusaha) karena pihak-pihak yang bersangkutan sama-sama telah menyadari atau mengetahui saat berakhirnya hubungan kerja tersebut sehingga masing-masing telah berupaya mempersiapkan diri dalam menghadapi kenyataan itu. Berbeda halnya dengan pemutusan yang terjadi karena adanya perselisihan, keadaan ini akan membawa dampak terhadap kedua belah pihak, lebih-lebih pekerja yang dipandang dari sudut pandang ekonomis mempunyai kedudukan yang lemah jika dibandingkan dengan pihak pengusaha, karena pemutusan



hubungan



kerja



bagi



psikologis,ekonomis,financial,sebab :



pihak



pekerja



akan



memberikan



pengaruh



1. Dengan adanya pemutusan hubungan kerja,bagi pekerja / buruh telah kehilangan mata pencahariannya. 2. Untuk mencari pekerjaan yang baru sebagai penggantinya, harus banyak mengeluarkan biaya (biaya keluar masuk perusahaan,disamping biaya-biaya lain seperti surat-surat untuk keperluan lamaran dan fotocopy surat-surat lain) 3. Kehilangan biaya hidup untuk diri dan keluarganya sebelum mendapat pekerjaan yang baru sebagai penggantinya.



BAB VI ANGGOTA KELUARGA YANG SAKIT



A. Pengertian Kelentingan Keluarga Kelentingan adalah proses dinamis untuk bertahan dari krisis serta kemampuan beradaptasi secara positif (Walsh 2002). Kelentingan merupakan karakteristik keluarga dalam beradaptasi terhadap situasi krisis, misalnya tingkat kerentanan, tipe keluarga, sumber daya, tingkat stres, pemecahan masalah, kemampuan koping, serta pandangan hidup (McCubbin & McCubbin 1988) diacu dalam Lazarus A (2004). Situasi krisis dapat terjadi akibat akumulasi permasalahan dalam keluarga yang salah satunya adalah keluarga dengan penyakit TB paru. Situasi ini dinilai keluarga tidak mampu mengatasi stresor yang timbul. Dalam mewujudkan kelentingan keluarga yang baik yaitu dengan meningkatkan keberfungsian dan kesejahteraan keluarga serta mencegah anggota keluarga terinfeksi penyakit. Kelentingan keluarga tidak hanya mencakup manajemen stres tetapi juga bertahan dari cobaan yang berat. Adanya krisis dan tekanan yang berlangsung lama dapat mengganggu keberfungsian keluarga dan akan berdampak pada seluruh anggotanya. Kemampuan keluarga dalam menghadapi ancaman, menahan stres, dan mengorganisir ulang masalah secara efektif akan mempengaruhi seluruh anggota keluarga (Walsh 2002). Menurut Mackay (2003) kelentingan keluarga terdiri dari tiga aspek, yaitu family cohesion, family belief system, dan komunikasi. Family Cohesion Hubungan emosional antar anggota keluarga sangat penting bagi keberfungsian keluarga. Keluarga yang memiliki ikatan emosional yang baik mampu menghadapi tantangan dan mengatasi stres dengan baik. Mackay (2003) mengemukakan kunci hubungan emosional antar anggota keluarga terdiri dari 3 aspek, yaitu: family cohesion, connectedness, affective involvement. Rendahnya family cohesion merupakan salah satu indikasi disfungsi keluarga namun family cohesion yang sangat tinggi juga dapat mengakibatkan disfungsi keluarga karena hubungan emosional antar anggota keluarga harus seimbang untuk memenuhi kebutuhan otonomi individu. a. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara family cohesion dan fungsi keluarga. Olson et al (1988) diacu dalam Mackay (2003) menunjukkan bahwa keluarga dengan family cohesion yang tinggi tetapi seimbang, sedikit mengalami tekanan dan tingkat kesejahteraan keluarga tinggi. Family Belief System Family belief system merupakan inti dari



fungsi keluarga yang mencakup nilai, sikap, keyakinan, bias, dan asumsi. Family belief system merupakan asumsi dasar yang memicu respon emosional serta menginformasikan keputusan dan tindakan. Family belief system yang dominan dapat membentuk keluarga dalam upaya menghadapi krisis dan kesulitan (Walsh 1998) diacu dalam Mackay (2003). Terdapat tiga dimensi penting family belief system, yaitu: capacity to make meaning out of adversity (kemampuan dalam memaknai kesulitan), a positive outlook (pandangan positif) and spirituality or transcendence (spiritual atau transedensi). Keluarga yang berfungsi dengan baik memiliki kemampuan untuk memahami yang telah terjadi dan memperkirakan masa mendatang. Kelentingan keluarga juga dicirikan oleh ketekunan, kegigihan, dan optimisme dalam mengatasi rintangan. Family belief system sebagai kunci kelentingan keluarga karena pentingnya agama dan budaya sebagai sumber utama spirituality or transcendence (Walsh 1998) diacu dalam Mackay (2003). Komunikasi Komunikasi merupakan aspek kunci dari fungsi keluarga. Komunikasi adalah proses pemaknaan diri, hubungan interpersonal, dan adaptasi masalah. Komunikasi efektif sangat penting dalam pengambilan keputusan bersama yang dicapai melalui negosiasi, kompromi, dan umpan balik (Mackay 2003). Komunikasi efektif dalam keluarga merupakan proses saling menginformasikan pesan kepada anggota keluarga. Walsh mengidentifikasi tiga komponen penting komunikasi yang efektif, yaitu: clarity of expression (kejelasan pesan), open emotional expression (keterbukaan penyampaian emosi) dan collaborative problem solving (kolaboratif dalam pemecahan masalah). Clarity of expression mengacu pada pengiriman pesan yang jelas dan konsisten, baik dalam kata-kata atau tindakan. Open emotional expression mengacu pada berbagi perasaan dan emosi dalam hubungan, ditandai dengan saling empati b. Penyakit lainnya, penyakit kronis melibatkan penyesuaian diri selama kurun waktu tertentu. Bentuk Stres Terdapat dua bentuk stress yaitu eustress dan distress. Eustress adalah kondisi stres yang membawa efek positif dikarenakan pengelolaan stres yang baik. Sebaliknya, distress adalah kondisi negatif stres diakibatkan ketidakmampuan pengelolaan stres karena tingginya tingkat stres yang diderita. Distress merupakan suatu kondisi subjektif yang tidak menyenangkan. Dua bentuk utama distress adalah depresi dan kecemasan. Kecemasan merupakan keadaan diri yang ditandai dengan tegang, tidak dapat istirahat, khawatir, lekas marah, dan takut. Sedangkan depresi merupakan keadaan diri yang ditandai dengan perasaan sedih, kesepian, demoralisasi, putus asa, sulit tidur, dan menginginkan kematian (Mirrowsky & Ross 1989) diacu dalam Sunarti



(2008). Kecemasan Kecemasan adalah kondisi membingungkan yang muncul tanpa alasan dari kejadian yang akan datang. Kecemasan akan muncul pada keluarga yang salah satu anggota keluarganya sedang sakit. Bila salah satu anggota keluarga sakit maka hal tersebut akan menyebabkan terjadinya krisis pada keluarga. Post (1978) diacu dalam Trismiati (2004) mengemukakan bahwa kecemasan adalah kondisi emosional yang tidak menyenangkan, yang ditandai oleh perasaan subjektif seperti ketegangan, ketakutan, dan kekhawatiran. Menurut Bucklew (1980) diacu dalam Trismiati (2004), para ahli membagi bentuk kecemasan terbagi menjadi dua, yaitu: (1) psikologis yaitu kecemasan yang terlihat sebagai gejala kejiwaan, seperti tegang, bingung, khawatir, sukar berkonsentrasi, dan perasaan tidak menentu; (2) fisiologis yaitu kecemasan yang terlihat sebagai gejala fisik, misalnya tidak dapat tidur, jantung berdebar-debar, gemetar, dan perut mual. Dukungan Sosial Dukungan sosial adalah informasi dari orang lain bahwa ia dicintai dan diperhatikan, dihargai, serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi (Taylor 1999). Smet (1994) mengatakan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu fungsi dari ikatan sosial yang menggambarkan kualitas hubungan interpersonal.



BAB VII PENUTUP



A. Kesimpulan



Krisis merupakan suatu keadaan yang berbahaya / parah sekali / genting / suram menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 2008. Webster’s New World (1996) mendefinisikan krisis sebagai “a turning point in the course of anything” artinya “suatu titik balik dalam sesuatu”. Dalam bahasa Yunani, Krisis berati keputusan (Nova, 2009), krisis tidak dianggap sebagai petaka yang menghentikan atau mematikan momentum untuk perbaikan dan mencari peluang dibaliknya. Selain krisis situasional adapun kehilangan pasangan, terutama karena kematian, lebih sering dialami oleh perempuan. Hal ini dapat dilihat dari data dinas Kependudukan Medan pada tahun 2005 dimana jumlah janda karena kematian suaminya sebesar 6,17%. sedangkan jumlah duda karena kematian istrinya sebanyak 1,01%. Oleh karena itu kehilangan pasanga akan menyebabkan mereka merasa kesepian dimana akan merasa ditiadakan dari kelompok, tidak dicintai oleh orang-orang yang ada disekitarnya, tidak dapat berbagi tentang masalah-masalah pribadi, ataupun berbeda serta terasing dari orang-orang di sekelilingnya



DAFTAR PUSTAKA



Dariyo, Agoes. 2004. “Memahami Psikologi Perceraian Dalam Kehidupan Keluarga” DalamJurnal Psikologi Vol. 2 No. 2, Desember 2004 hal 94-100. Universitas Esa Unggul: Jakarta. Bell, R. R. (1979). Marriage and Family Interaction. 5th edition. Illinois : The Dorsey Press. Emery, E. R. (1999). Marriage, divorce, and children adjustment. 2nd edition . New York: Prentice Hall International. friedman, M Marylin, Bowden dan Jones. 2014 Buku Ajar Keperawatan Keluarga : EGC Gunarsa, S. D. (1999). Psikologi untuk Keluarga. Cetakan ke-13. Jakarta : Gunung Agung Mulia. Hurlock, E. B. (1994). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga. Newman, B. M. & Newman, P. R. (1984). Development through Life : A Psychological Approach. 3rd edition. Chicago : The Dorsey Press. Nova, Firsan. 2009. Crisis Public Relations (Bagaimana PR Menangani Krisis Perusahaan). Jakarta: Grasido Papalia, Diane E. (2001). Human Development. 8th edition. New York : Mc Graw Hill. Turner, J. S. & Helms, D. B. (1983). Lifespan Development. 2nd edition. New York : CBS College Publishing. Lemme, B.H. 1995. Development In Adulthood. USA : Allyn & Baccon Brehm, S.S. 2002. Intimate Relationship 2nd .New York : McGrawl-Hill Di Matteo, M. R. 1991. The Psycology Of Health, Illness, and Medical care. Pasific Grove, California : Brooks/Cole Publishing Company 45



Plotnik, Rod. 2005. Introduction to psychology, 7thedition (dalam Bahasa Indonesia). Belmont: Wadsworth Thompson Learning Ramot Peter.2013. Memahami Dan M nengatasi Krisis Menjadi Peluang.Vol 4.No2.Jakarta