Makalah Leptospirosis Kel 9 Fix 2 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH PENYAKIT TROPIS DALAM KEBIDANAN INFEKSI BAKTERI LEPTOSPIROSIS



Dosen Pengampu: Zulliati, M.Keb



Disusun Oleh Kelompok 9 : 1. Hapsari Mustika Ning Siwi



: 11194861911008



2. Mardiyah



: 11194861911009



3. SiskaPurwita Sari



: 11194861911020



PROGRAM STUDI SARJANA KEBIDANAN FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS SARI MULIA BANJARMASIN 2020



KATA PENGANTAR Puji dan Syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyusun dan menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Penyakit Tropis dalam Kebidanan Infeksi Bakteri Leptospirosis”. Shalawat dan salam tidak lupa penulis kirimkan kepada Rasulullah Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju zaman terang benderang seperti ini. Makalah ini dimaksudkan sebagai tuntutan belajar bagi mahasiswa di institusi pendidikan kesehatan khususnya program studi D-III Kebidanan, Sarjana Kebidanan dan Alih Jenjang Sarjana Kebidanan. Semoga dengan adanya makalah ini bias memberi banyak pengetahuan bagi pembaca khususnya bagi penyusun sendiri, makalah ini terselesaikan oleh karena bantuan banyak pihak. Tentunya penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan serta masih jauh dari kata kesempurnaan. Untuk itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang mendukung dari para pembaca untuk perbaikan di masa yang akan datang. Akhir kata penulis mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.



Banjarmasin, 6 November 2020



Penyusun



ii



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR.........................................................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................................1 A.



Latar Belakang.......................................................................................................................1



B.



Rumusan Masalah..................................................................................................................3



C.



Tujuan....................................................................................................................................3



D.



Manfaat..................................................................................................................................4



BAB II TINJAUAN TEORI.................................................................................................................5 A.



Definisi Leptospirosis............................................................................................................5



B.



Epidemiologi Leptospirosis...................................................................................................6



C.



Etiologi Leptospirosis............................................................................................................7



D.



Faktor Risiko Leptospirosis...................................................................................................8



E.



Patofisiologi Leptospirosis....................................................................................................9



F.



Pathway Leptospirosis.........................................................................................................11



G.



Klasifikasi Leptospirosis.....................................................................................................12



H.



Identifikasi Leptospirosis.....................................................................................................12



I.



Komplikasi Leptospirosis....................................................................................................15



J.



Pencegahan Leptospirosis...................................................................................................16



K.



Penanganan Awal dan Penanganan Lanjutan Leptospirosis...............................................18



L.



Penatalaksanaan Leptospirosis.............................................................................................19



BAB III PENUTUP............................................................................................................................20 A.



Simpulan..............................................................................................................................20



B.



Saran....................................................................................................................................20



DAFTAR PUSTAKA EVALUASI



iii



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis dengan kejadian leptospirosis yang tinggi (Hasanah and Wahyuni, 2017). Leptospirosis merupakan penyakit yang dapat ditularkan dari hewan vetebrata ke manusia atau sebaliknya (zoonosis) yang disebabkan oleh infeksi bakteri berbentuk spiral dari genus Leptospira yang pathogen yang ditularkan secara langsung dan tidak langsung dari hewan kemanusia (DIRJENP2P, 2017 dalam (Fauziah, 2019a)). Leptospirosis menjadi masalah didunia karena angka kejadian yang dilaporkan rendah di sebagian besar negara, oleh karena itu dalam diagnosis klinis dan tidak tersedianya alat diagnosis, sehingga kejadian tidak dapat diketahui secara dini, walapun demikian pada daerah tropik yang basah diperkirakan terdapat kasus leptospirosis sebesar ≥ 10 kasus per 100.000 penduduk pertahun. Insiden penyakit leptospirosis tertinggi di wilayah Afrika (95,5 per 100.000 penduduk) diikuti oleh Pasifik Barat (66,4), Amerika (12,5), Asia Tenggara (4,8) dan Eropa (0,5). Sebagian besar kasus yang dilaporkan memiliki manifestasi parah, yang angka kematian lebih besar dari 10% (WHO 2010 (Cahyani, 2016)). Berdasarkan laporan yang tersedia, insiden penyakit leptospirosis pada iklim sedang berkisar 0,1-1 per 100.000 penduduk per tahun. Sedangkan pada daerah tropis lembab berkisar 10-100.000 penduduk per tahun. Pada Kejadian Luar Biasa (KLB) insiden penyakit leptospirosis mencapai lebih dari 100 per 100.000 penduduk per tahun (WHO 2010 dalam (Cahyani, 2016)). Di Negara beriklim tropik, kejadian leptospirosis lebih banyak 1000 kali dibandingkan dengan negara subtropik dengan risiko penyakit lebih berat (Bovet, 1999 dalam (Cahyani, 2016)). Angka insiden leptospirosis di Negara tropic basah 5-20/100.000 penduduk per tahun (Hatta, 2002 dalam (Cahyani, 2016)). Menurut



Internasional



Leptospirosis



Society



(ILS)



Indonesia



merupakan Negara dengan insiden leptospirosis berada pada peringkat 3 di 1



bawah Negara Cina dan India. Angka kematian leptospirosis mencapai (CFR) 2,5% - 16,45% atau rata- rata 7,1%. Pada penderita usia 50 tahun ke atas dapat mencapai 56%. Berdasarkan data kasus leptospirosis, Indonesia pada tahun 2013 hingga 10 Februari 2014 sudah terjadi 630 kasus yang menyebabkan 57 orang meninggal dunia. Dengan distribusi kasus leptospirosis di lima provinsi endemis antara tahun 2004-2013 yaitu Jawa Tengah, Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, dan awa Timur (Depkes RI 2014 dalam (Cahyani, 2016)). Jumlah



kasus



infeksi



leptospira



pada



manusia



meningkat



secara nasional sejak tahun 2006/2007. Dari 667 kasus di tahun 2007 sebanyak 93 persen dikonfirmasi terinfeksi leptospira. Kejadian luar biasa (KLB) Leptospirosis pernah diumumkan di Kabupaten Kota baru Kalimantan Selatan pada tahun 2014. Kementerian Kesehatan mencatat, selama 2014 terdapat



435



kasus



dengan



62



kematian



akibat



penyakit



leptospirosis[ CITATION Put20 \l 1033 ]. Leptospirosis berbahaya bagi ibu hamil. Bagi ibu hamil penting sekali untuk



mengetahui



karakteristik



infeksi



leptospirosis



karena



nfeksi



leptospirosis beresiko terhadap kehamilan karena dapat menyebabkan keguguran, bayi lahir cacat dan meninggal, atau lahir premature (Hasanah and Wahyuni, 2017). Penting bagi ibu hamil untuk mengetahui perilaku yang tepat dengan tujuan supaya dapat terhindar dari infeksi leptospirosis dan melakukanupayaupaya pencegahan terutama ibu hamil yang tinggal di wilayah banjir, genangan air / air selokan tidak mengalir, memiliki suami perokok, dan terdapat tikus di dalam maupun luar tempat tinggalnya (Hasanah and Wahyuni, 2017). Selain itu untuk mendokumentasikan secara jelas Berbagai cara penularan dan paparan infeksi bakteri ini, sebagai akibatnya kami menyajikan gambaran umum tentang pengetahuan terkini tentang sumbersumber



paparan



manusia



terhadappenyakit



leptospirosis.



Ini



akan



memberikan bahan referensi yang cepat, ringkas namun tepat secara keseluruhan.



2



B. Rumusan Masalah 1.



Apa itu definisi leptospirosis ?



2.



Bagaimana epidemiologi leptospirosis ?



3.



Apa saja etiologi leptospirosis ?



4.



Apa saja faktor risiko leptospirosis ?



5.



Bagaimana patofisiologi leptospirosis ?



6.



Bagaimana alur pathway leptospirosis ?



7.



Apa saja klasifikasi leptospirosis ?



8.



Apa saja identifikasi leptospirosis ?



9.



Apa saja komplikasi leptospirosis ?



10. Bagaimana pencegahan leptospirosis ? 11. Bagaimana penanganan awal dan penanganan lanjutan leptospirosis ? 12. Bagaimana penatalaksanaan leptospirosis ? C. Tujuan 1.



Tujuan Umum Tujuan pembuatan makalah ini adalah agar mahasiswa mampu memahami dan mengenal tentangpenyakit tropis dalam kebidanan khususnya tentang infeksi bakteri pada penyakit leptospirosis yang telah di bahas di makalah ini.



2.



Tujuan Khusus a.



Untuk mengetahui definisi leptospirosis.



b.



Untuk mengetahui epidemiologi leptospirosis.



c.



Untuk mengetahui etiologi leptospirosis.



d.



Untuk mengetahui faktor risiko leptospirosis.



e.



Untuk mengetahui patofisiologi leptospirosis.



f.



Untuk mengetahui klasifikasi leptospirosis.



g.



Untuk mengetahui identifikasi leptospirosis.



h.



Untuk mengetahui komplikasi leptospirosis.



i.



Untuk mengetahui pencegahan leptospirosis.



j.



Untuk mengetahui penanganan awal dan penanganan lanjutan leptospirosis.



3



k.



Untuk mengetahui pathway leptospirosis.



l.



Untuk mengetahui penatalaksanaan leptospirosis.



D. Manfaat Penyusunan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis makalah ini berguna sebagai pengembangan pengetahuan mengenai penyakit tropis dalam kebidanan. Secara praktis makalah ini berguna bagi: 1. Penulis, sebagai wahana penambah pengetahuan dan keilmuan di bidang penyakit tropis dalam kebidanan khususnya infeksi bakteri pada penyakit leptospirosis. 2. Pembaca, sebagai media informasi dalam pembuatan makalah.



4



BAB II TINJAUAN TEORI A. Definisi Leptospirosis Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonis yang cukup penting yang disebabkan oleh Leptospira sp. Bakteri ini berbentuk batang dan memiliki lekuk-lekuk, dan bergerak dengan gerakan yang khas. Penyakit ini tersebar diberbagai belahan dunia (Cahyani, 2016). Infeksi bakteri Leptospira sp. pada manusia merupakan kejadian yang insidental karena inang definitif leptospira atau tikus yang menular dari tikus ke manusia dan dapat melalui kontak dengan urin tikus yang mencemari lingkungan maupun kontak langsung dengan jaringan tikus yang terinfeksi bakteri Leptospira sp. Bakteri ini juga dapat memasuki tubuh melalui mata dan selaput lendir. Hewan yang menjadi sumber penularan yaitu tikus, babi, musang, kerbau, sapi, serangga, burung, kelelawar, dan landak. Penularan antarhewan dapat terjadi dengan cara kontak dengan urin (kemih) hewan yang sakit. Dapat juga terjadi lewat mulut dengan cara memakan makanan atau minuman yang tercemar (Fauziah, 2019). Penyakit ini pertama kali dikemukakan oleh Weil pada tahun 1886 sebagai penyakit yang berbeda dengan penyakit lain yang juga ditandai oleh ikterus. Leptospirosis adalah penyakit yang sifatnya musiman. Di negara beriklim sedang puncak kasus cenderung terjadi pada musim panas dan musim gugur karena temperatur. Sementara pada negara tropis insiden tertinggi terjadi selama musim hujan. Kejadian leptospirosis biasanya dihubungkan dengan bencana banjir, air pasang di aderah pantai, daerah rawa atau lahan gambut (Depkes RI, 2016). Leptospirosis tidak menular langsung dari pasien ke pasien. Masa inkubasi leptospirosis adalah dua hingga 26 hari. Sekali berada di aliran darah, bakteri ini bisa menyebar ke seluruh tubuh dan mengakibatkan gangguan khususnya hati dan ginjal (Fatimah, 2018). Penularan tidak langsung terjadi melalui genangan air, sungai, danau, selokan saluran air dan lumpur yang tercemar urin hewan seperti tikus, umumnya terjadi saat banjir. Wabah leptospirosis dapat juga terjadi pada 5



musim kemarau karena sumber air yang sama dipakai oleh manusia dan hewan. Sedangkan untuk penularan secara langsung dapat terjadi pada seorang yang senantiasa kontak dengan hewan (peternak, dokter hewan). Penularan juga dapat terjadi melalui air susu, plasenta, hubungan seksual, percikan darah manusia penderita leptospira meski kejadian ini jarang ditemukan. Manusia jarang menginfeksi manusia lain, tetapi mungkin melakukannya selama hubungan seksual atau menyusui (Fatimah, 2018).



Gambar 1. Leptospira melalui mikroskop B. Epidemiologi Leptospirosis Epidemiologi leptospirosis tersebar luas di negara-negara yang beriklim tropis termasuk Indonesia. Kondisi lingkungan di wilayah tropis sangat mendukung penyebaran bakteri Leptospira, karena bakteri ini cocok hidup pada lingkungan dengan temperatur hangat, pH air dan tanah netral, kelembaban dan curah hujan yang tinggi. Terlebih jika kondisi lingkungan dalam keadaan yang buruk yang mendukung perkembangan dan lama hidup bakteri. Di Indonesia leptospirosis ditemukan antara lain di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat. Risiko penularan leptospirosis umumnya menyerang para pekerja yang berhubungan dengan hewan liar dan hewan peliharaan seperti peternak, petani, petugas laboratorium hewan, pekerja perkebunan, dan bahkan tentara. Di samping itu



6



tidak sedikit pula para penggemar olahraga renang yang terinfeksi leptospirosis (Widjajanti, 2020). Sedangkan secara global dan di wilayah Asia Pasifik leptospirosis di kategorikan sebagai penyakit yang ditularkan melalui media air (water borne disease), terlebih air yang sudah terkontaminasi oleh bakteri Leptospira. Penyakit ini merupakan penyakit tropis dan subtropis. Kasus terbanyak terjadi pada musim hujan, karena ketahanan hidup Leptospira adalah pada lingkungan banjir, air tergenang, tanah lembab bersifat basa, vegetasi dan berlumpur suhu >22 °C (Illahi and Fibriana, 2015). International Leptospirosis Society menyatakan bahwa Indonesia sebagai Negara dengan angka kejadian Leptospirosis yang cukup tinggi dan merupakan peringkat mortalitas ketiga di dunia. Case Fatality Rate (CFR) atau angka kematian leptospirosis di Indonesia mencapai 2,5-16,45%. Laporan dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa Case Fatality Rate (CFR) tertinggi kasus leptospirosis pada tahun 2016 ada di Provinsi Banten sebesar 60%, Daerah Istimewa Yogyakarta 35,29% dan Jawa Tengah 18,29% (Widjajanti, 2020). Leptospirosis terjadi jika ada kontak antara manusia dengan hewan atau lingkungan yang sudah terinfeksi bakteri Leptospira. Manifestasi leptospirosis ini beragam mulai dari gejala demam, ikterus, pembesaran hati dan limpa, serta kerusakan ginjal. Sedangkan hewan yang terinfeksi oleh leptospira belum tentu tampak dalam kondisi sakit, karena bakteri ini bersifat komensal pada beberapa jenis hewan termasuk tikus yang dikenal sebagi reservoir leptospirosis di Indonesia (Cahyani, 2016). Secara alamiah leptospirosis terjadi karena adanya interaksi yang sangat kompleks dan beragam antara agent (pembawa penyakit), host (tuan tumah/pejamu) dan environment (lingkungan). C. Etiologi Leptospirosis Leptospirosis disebabkan oleh bakteri dari genus Leptospira dari famili Leptospiraceae, ordo Spirochaetales. Pewarnaan untuk kuman ini ialah impregnasi perak (Gambar 1) (Rampengan, 2016).



7



Leptospira tumbuh baik pada kondisi aerobik di suhu 28°C-30°C.6 Genus Leptospira terdiri dari dua spesies yaitu L. interrogans (bersifat patogen) dan L. biflexa (bersifat saprofit/non-patogen). Leptospira patogen terpelihara dalam tubulus ginjal hewan tertentu. Leptospira saprofit ditemukan di lingkungan basah atau lembab mulai dari air permukaan, tanah lembab, serta air keran (Rampengan, 2016). Spesies L. interrogans dibagi dalam beberapa serogrup yang terbagi lagi menjadi lebih 250 serovar berdasarkan komposisi antigennya. Beberapa serovar L. interrogans yang patogen pada manusia antara lain L. icterohaemorrhagiae, L. canicola, L. pomona, L. grippothyphosa, L. javanica, L. celledoni, L. ballum, L. pyrogenes, L. bataviae, dan L. Hardjo (Fauziah, 2019). Berbagai spesies hewan, terutama mamalia, dapat bertindak sebagai sumber infeksi manusia, diantaranya ialah: 1. Spesies mamalia kecil, seperti tikus liar (termasuk mencit), bajing, landak Hewan domestik (sapi, babi, anjing, domba, kambing, kuda, kerbau) 2. Hewan penghasil bulu (rubah perak) di penangkaran 3. Reptil dan amfibi mungkin juga membawa leptospira (Fauziah, 2019) D. Faktor Risiko Leptospirosis Orang yang berisiko ialah orang yang sering menyentuh binatang atau air, lumpur, tanah, dan tanaman yang telah dicemari air kencing binatang yang terkontaminasi leptospirosis. Beberapa pekerjaan yang berisiko seperti petani sawah, pekerja pejagalan, peternak, pekerja tambang, industri perikanan, serta petani tebu dan pisang. Dokter hewan maupun staf laboratorium yang kontak dengan kultur leptospirosis juga memiliki risiko terpapar leptospirosis. Beberapa kegemaran yang bersentuhan dengan air atau tanah yang tercemar juga bisa menularkan lepto-spirosis, seperti berkemah, berkebun, berkelana di hutan, berakit di air berjeram, dan olahraga air lainnya (Rampengan, 2016).



8



Meskipun leptospirosis sering dianggap sebagai penyakit pedesaan, orang yang tinggal di kota juga dapat terkena, tergantung pada kondisi hidup dan tingkat kebersihan baik di rumah maupun lingkungan terdekatnya. Wabah leptospirosis telah dilaporkan mengikuti terjadinya bencana alam seperti banjir dan badai (Rampengan, 2016).



Gambar 2. Faktor risiko penyebaran Leptospira E. Patofisiologi Leptospirosis Bakteri Leptospira sp. yang menginfeksi manusia masuk melalui luka iris atau luka abrasi pada kulit, kongjungtiva atau mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, esofagus, bronkus, alveolus serta melalui inhalasi droplet infeksius dan minum air yang terkontaminasi.ke sistem peredaran darah manusia dan menyebar ke berbagai organ tubuh dan berkembangbiak terutama di dalam organ hati, ginjal, kalenjar mamae, serta selaput otak. Didalam tubuh manusia, apabila bakteri Leptospira sp. yang tidak virulen gagal bermutiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan tubuh dari aliran darah setelah 1 atau 2 hari infeksi (Illahi and Fibriana, 2015). Apabila Leptospira sp. termasuk virulen maka akan mengalami multiplikasi di dalam darah dan jaringan, dan bakteri dapat diisolasi dari



9



darah dan cairan serebrospinal pada hari ke-4 sampai dengan hari ke-10 perjalanan penyakit. Jika respon imunitas baik maka bakteri akan menurun jumlahnya atau bahkan menghilang, namun apabila respon imunitas buruk maka bakteri Leptospira sp. dapat hidup menetap di dalam organ ginjal, otak, hati, uterus, serta mata, dan menimbulkan nefritis. Keparahan penderita leptospirosis bermavariasi tergantung pada umur penderita serta sevorar leptospira yang menginfeksi, selain itu panjangnya masa pendarahan dan reaksi imunologik yang timbul pada penderita dapat memperburuk keadaan sehingga kerusakan jaringan tubuh semakin parah dan menimbulkan kematian (Cahyani, 2016).



10



F. Pathway Leptospirosis



11



G. Klasifikasi Leptospirosis 1. Leptospirosis anikretik Di daerah endemik, kasus leptospirosis anikretik biasanya tidak diobati karena keluhannya ringan. Gejala yang biasanya muncul pada leptospirosis anikretik yaitu gejala akut dengan atau tanpa sakit kepala disertai nyeri otot, menggigil dan mialgia, mual, muntah, dan anoreksia, nyeri otot pada betis, punggung dan paha, mata merah tanpa eksudat atau congjungtival suffusion, ada riwayat kontak dengan lingkungan ynag terkontaminasi leptospira. Gambaran klinik leptospirosis anikretik yaitu meningitis aseptik yang tidak spesifik sehingga sering terlewatkan diagnosisnya. Leptospira dalam cairan serebrospinal dapat ditemukan pada fase leptospiremi dan minggu kedua dapat hilang setelah muncul antibodi, keluhan sakit kepala pada fase imun memberikan petunjuk adanya meningitis aseptik (Fauziah, 2019). 2. Leptospirosis ikretik Gejala pada nyeri betis ikterus atau kuning, manifestasi pendarahan, sesak nafas yang berisiko terjadi komplikasi paru, aritmia,, miokarditis, gagal jantung kongestif batuk dengan atau tanpa keluar darah, dan ruam kulit, demam dapat persisten sehingga fase imun tidak jelas(Fauziah, 2019). H. Identifikasi Leptospirosis 1. Tanda dan gejala Leptospirosis a. Fase leptospiremi Gejala klinis pada fase ini yaitu demam tinggi, menggigil secara mendadak disertai sakit kepala, rasa sakit dan nyeri pada otot terutama otot paha, betis, dan pinggang disertai nyeri tekan. Selain gejala klinis tersebut, disertai rasa mual atau muntah, penurunan kesadaran, dan mata menjadi merah. Gejala klinis yang muncul pada kulit yaitu rash berbentuk makular, makulopopular atau urtikaria. Fase leptospiremi berlangsung selama empat hingga



12



sembilan hari namun seluruh gejala tersebut dapat hilang secara sementara(Fauziah, 2019). b. Fase imun Fase imun berhubungan dengan peningkatan antibodi IgM, relative asimptomatik satu sampai tiga hari, gejala pada fase leptospiremi dapat muncul kembali pada fase ini disertai dengan nyeri pada leher, perut, otot kaki, pendarahan pada kulit, kerusakan ginjal dan hati, uremia, ikterik. Pada fase ini juga dapat terjadi meningitis aseptik, gangguan mental, halusinasi, dan prikosis (Fauziah, 2019). c. Fase penyembuhan Biasanya terjadi pada minggu kedua sampai minggu keempat, gejala klinis yang dialami penderita yaitu demam serta nyeri tekan pada otot namun berangsur hilang (Illahi and Fibriana, 2015). 2. Penularan Leptospirosis Leptospirosis dapat menular karena kontak langsung maupun kontak tidak langsung dengan urin hewan yang terinfeksi Leptospira. Penularan langsung dapat terjadi melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman Leptospira., masuk kedalam tubuh pejamu, dari hewan ke manusia karena penyakit akibat pekerjaan misalnya pada pekerja



pemotong



hewan



atau



seseorang



tertular



dari



hewan



peliharaannya, dan dari manusia ke manusia namun penularan ini jarang terjadi. Penularan tidak langsung terjadi melalui genangan air, sungai, danau, selokan saluran air dan lumpur yang tercemar urin hewan yang mengandung kuman Leptospira (Fauziah, 2019). 3. Diagnosis Leptospirosis Diagnosis



klinis



leptospirosis



tidak



selalu



sama



karena



berhubungan dengan jenis bakteri leptospirosis, kekebalan penderita, kondisi lingkungan, dan lainnya. Diagnosis leptospirosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis yang meliputi riwayat pekerjaan penderita, pemeriksaan fisik dan gambaran klinis yang didukung pemeriksaan



13



laboratorium, ditemukannya leptospirosis pada darah, urin atau cairan serebrospinal melalui pemeriksaan langsung atau kultur (Cahyani, 2016). Salah satu kendala penanganan leptospirosis ialah kesulitan dalam menegakkan diagnosis awal. Biasanya pasien datang dengan berbagai macam keluhan dari berbagai sistem organ sehingga sering didiagnosis dengan meningitis, hepatitis, nefritis, fever of unknown origin (FUO), influenza, sindrom Kawasaki, sindrom syok toksik, dan penyakit Legionela (Widjajanti, 2020). Pada anamnesis, penting untuk menanyakan identitas pasien, misalnya pekerjaan dan tempat tinggal untuk menunjukkan apakah pasien termasuk orang berisiko tinggi atau tidak kontak dengan binatang atau tanah/air yang terkontaminasi urin hewan. Gejala demam, nyeri kepala frontal, nyeri otot, mual, muntah, dan fotofobia dapat dicurigai ke arah leptospirosis. Pada pemeriksaan fisik dijumpai demam, bradikardia, nyeri tekan otot, hepatomegali, dan lain-lain (Rampengan, 2016). 4. Diagnosis banding Leptospirosis Terdapat beberapa diagnosis banding untuk leptospirosis, yaitu: influenza, demam dengue dan demam berdarah dengue, yellow fever, rickettsiosis, malaria, pielonefritis, meningitis aseptik, demam tifoid, hepatitis virus, serta toksoplasmosis (Rampengan, 2016). 5. Pemeriksaan penunjang Leptospirosis Diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik, juga dengan pembiakan leptospira. Sampel klinis yang harus dikumpulkan untuk pemeriksaan tergantung pada fase infeksi. Spesimen berasal dari darah dan cairan serebrospinal (minggu pertama masa sakit) dan urin (sesudah minggu pertama sampai hari ke-40). Spesimen tersebut ditanam pada media Fletcher’s atau media EMJH dikombinasi-kan dengan neomisin atau 5-fluorouracil. Pada media ini, pertumbuhan akan terlihat dalam beberapa hari sampai 4 minggu. Adanya leptospira pada media ini dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop lapangan gelap atau menggunakan mikroskop fluoresen (fluorerescent antibody stain) (Rampengan, 2016).



14



Pemeriksaan uji imunoserologik juga penting untuk diagnosis leptospirosis. Pada umumnya antibodi baru ditemukan setelah hari ke-7 atau ke-10. Titernya akan meningkat dan akan mencapai puncaknya pada minggu ke-3 atau ke-4 masa sakit. Uji imunoserologi yang biasa digunakan



ialah:



Microscopic



Agglutination



Test,



Enzyme-linked



immunosorbent assay (ELISA), polymerase chain reaction (PCR) dan dipstick assays, serta Antigen spesifik leptospira, yaitu lipoprotein rLipl32 yang dapat menjadi gold standard diagnosis (Widjajanti, 2020). Sampel yang bermanfaat dan yang paling sering dikumpulkan yaitu: a. Darah dengan heparin untuk kultur 10 hari pertama b. Darah atau serum beku untuk pemeriksaan serologi diambil pada fase septikemia. Diagnosis ditegakkan berdasarkan serokonversi antibodi 4 kali lipat antara akut dan konvalesens. Hasil serologi negatif pada fase awal penyakit tidak menyingkirkan diagnosis lepto-spirosis. c. Urine untuk kultur diambil pada fase imun. d. Sampel post mortem. Penting untuk mengumpulkan spesimen dari sebanyak mungkin organ untuk serologi. Sampel post mortem harus dikumpulkan aseptik dan diinokulasi ke dalam media kultur sesegera mungkin setelah kematian. Sampel harus disimpan dan diangkut pada suhu 4°C. Selain itu, pewarnaan



perak,



immunostaining, dan imunohisto-kimia mungkin membantu. e. CSS dan dialisat untuk kultur diambil pada fase septikemia. Pada kasus leptospirosis an-ikterik dapat dijumpai jumlah leukosit normal dengan neutrofilia, peningkatan laju endap darah (LED) dan protein dalam CSS (Rampengan, 2016). I.



Komplikasi Leptospirosis Organ hati menguning pada hari keempat sampai dengan hari keenam, terjadi gagal ginjal akut dan berisiko menyebabkan kematian, detak jantung tidak teratur karena jantung membengkak dan berisiko gagal jantung sampai kematian,pada paru-paru terjadi batuk darah, nyeri dada dan sesak



15



nafas, pendarahan yang terjadi pada penderita terjadi karena pembuluh darah pada pernafasan, pencernaan, ginjal, dan saluran genetalia mengalami kerusakan, bila penderita adalah ibu hamil maka berisiko mengalami keguguran, bayi lahir prematur, bayi lahir cacat atau bayi lahir mati. Sebuah penelitian menyatakan bahwa Penting bagi ibu hamil untuk mengetahui perilaku yang tepat dengan tujuan supaya dapat terhindar dari infeksi leptospirosis dan melakukan upaya-upaya pencegahan terutama ibu hamil yang tinggal di wilayah banjir, genangan air / air selokan tidak mengalir, memiliki suami perokok, dan terdapat tikus di dalam maupun luar tempat tinggalnya (Hasanah and Wahyuni, 2017) Meningitis aseptik merupakan kompli-kasi yang paling sering ditemukan, namun dapat pula terjadi ensefalitis, mielitis, radikulitis, neuritis perifer (tidak biasa) pada minggu kedua karena terjadinya reaksi hipersensitivitas. Komplikasi berat pada penderita leptospirosis berat dapat berupa syok, perdarahan masif dan ARDS yang merupakan penyebab utama kematian leptospirosis berat. Syok terjadi akibat perubahan homeostasis tubuh yang berperan pada timbulnya kerusakan jaringan. Gagal ginjal, kerusakan hati, perdarahan paru, vaskulitis dan ganguan jantung berupa miokarditis, perikarditis dan aritmia jarang ditemukan walaupun umumnya sebagai penyebab kematian. Meskipun jarang dapat ditemukan uveitis setelah 2 tahun timbul gejala leptospira (Rampengan, 2016). J.



Pencegahan Leptospirosis Pencegahan sulit dilakukan sebab mikro-organisme ini tidak dapat dieradikasi dari hewan liar yang secara konstan menginfeksi hewan peliharaan. Bertolak dari paparan di depan maka usaha yang harus dikerjakan untuk mengurangi semaksimal mungkin peluang terinfeksi leptospira adalah dengan melakukan kontrol terhadap sumber infeksi melalui pemeliharaan kebersihan, imunisasi dan perawatan hewan secara baik. 1. Pemeliharaan Kebersihan Pemeliharaan kebersihan dapat dilakukan misalnya dengan menjaga agar air yang dipakai untuk berbagai kebutuhan manusia tidak



16



terkontaminasi dengan urin hewan yang terinfeksi leptospira, melakukan pembersihan daerah kerja yang terkontaminasi, melakukan pendidikan kesehatan dan kebersihan bagi para pekerja baik personal maupun kelompok, menggunakan PPE (personal protective equipment – termasuk sarung tangan dan tutup wajah bagi dokter hewan atau sepatu boot dari bahan karet bagi pekerja pertanian atau pembersih selokan), apabila sedang menangani hewan atau jaringan yang terinfeksi. Selain itu, perlu juga dilakukan investigasi terhadap sumber kejadian luar biasa dan keberhasilan upaya kontrol termasuk identifikasi contaminated water supplies, larangan untuk berenang dalam air yang beresiko tinggi tertular, memberitahukan kepada mereka yang beresiko tertular apabila mereka mengikuti aktivitas rekreasi (Cahyani, 2016). 2. Vaksinasi Laporan penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa vaksinasi kepada hewan berdampak menurunkan resiko transmisi leptospira dari hewan ke manusia, namun laporan penelitian di Australia menunjukkan bahwa tidak ditemukan perbedaan signifikan dalam hal peluang terinfeksi leptospira antara petani yang kontak dengan kuda yang divaksinasi dengan yang kontak dengan kuda yang tidak divaksinasi (Cahyani, 2016). Bagaimanapun juga temuan penelitian menunjukkan bahwa infeksi ginjal dengan leptospira yang menetap dapat terjadi pada anjing yang diimunisasi



dan



infeksi



kepada



manusia



dapat



terjadi



melalui



asymptomatic immunized dogs yang urinnya mengandung leptospira. Vaksin hewan juga mengandung serovars khusus dan bermanfaat apabila satu atau beberapa serovars yang terkandung di dalamnya sesuai dengan serovars yang cenderung menyebabkan penyakit di daerah tersebut (Cahyani, 2016). Pemberian



doksisiklin



200



mg/minggu



dapat



memberikan



pencegahan sekitar 95% pada orang dewasa yang berisiko tinggi, namun profilaksis pada anak belum ditemukan. Pengontrolan lingkungan rumah dan penggunaan alat pelindung diri terutama di daerah endemik dapat



17



memberikan pencegahan pada penduduk berisiko tinggi walaupun hanya sedikit manfaatnya. Imunisasi hanya memberikan sedikit perlindungan karena terdapat serotipe kuman yang berbeda (Rampengan, 2016). K. Penanganan Awal dan Penanganan Lanjutan Leptospirosis 1. Terapi untuk khusus Leptospirosis ringan : a. Pilihan : Doksisiklin 2X100 mg selama 7 (tujuh) hari kecuali pada anak, ibu hamil, atau bila ada kontraindikasi Doksisiklin. b. Alternatif ( Bila tidak dapat diberikan doksisiklin) 1) Amoksisilin 3X500mg/hari pada orang dewasa; 2) Atau 10-20mg/kgBB per8 jam pada anak selama 7 hari; 3) Bila alergi Amoksisilin dapat diberikan Makrolid. 2. Terapi Kasus Leptospirosis berat : a. Ceftriaxon 1-2 gram iv selama 7 (tujuh) hari ; b. Penisilin Prokalin 1.5 juta unit im per 6 jam selama 7 (tujuh) hari; c. Ampisilin 4 X 1 gram iv per hari selama 7 (tujuh) hari; d. Terapi suportif dibutuhkan bila ada komplikasi seperti gagal ginjal, pendarahan organ (paru, saluran cerna, saluran kemih, serebral) syok dan gangguan neorologi. 3. Sistem Rujukan Apabila menunjukan gejala Leptospirosis berat yaitu kasus suspek dan kasus probable yang di Sertai gejala/tanda klinis ikterus, manifestasi pendarahan,



anuria/oliguria,



sesak



nafas



atau



aritmia



jantung.



Leptospirosis berat harus dirawat/dirujuk di Rumah sakit terutama Rumah Sakit Dati II atau Rumah Sakit Provinsi yang memiliki fasilitas ruang perawatan intensif, dialisis dll Untuk menangani komplikasi gagal ginjal, ARDS, dan pendarahan paru. 4. Profilaksis Saat ini belum ada kebijakan dari Kemenkes perihal tata cara profilaksis, mengingat Leptospirosis apabila cepat dalam diagnosis relatif mudah disembuhkan dengan antibiotik (Kemenkes RI, 2017).



18



L. Penatalaksanaan Leptospirosis 1. Medikamentosa Pengobatan dengan antibiotik yang efektif harus dimulai segera setelah diduga diagnosis leptospirosis, sebaiknya sebelum hari ke-5 setelah onset penyakit. Umumnya dokter mengobati dengan antibiotik tanpa menunggu timbulnya penyakit. Uji serologik tidak menjadi positif sampai sekitar seminggu setelah onset penyakit, dan kultur tidak dapat menjadi positif selama beberapa minggu. Kesulitan melihat hasil pengobatan ialah bahwa umumnya leptospira merupakan penyakit self limiting dengan prognosis yang cukup baik. Kasus leptospirosis berat harus diberikan penisilin dosis tinggi IV (benzylpenicillin IV 30 mg/kg, maksimal 1,2 g, per 6 jam selama 5-7 hari). Kasus yang lebih ringan dapat diobati dengan antibiotik oral seperti amoksisilin, ampisilin, doksisiklin (2 mg/kg, maksimal 100 mg, setiap 12 jam selama 5-7 hari), atau eritromisin. Sefalosporin generasi ketiga, seperti ceftriaxone dan cefotaxime, dan kuinolon juga efektif. Reaksi JarischHerxheimer dapat terjadi setelah pengobatan penisilin. Kularatne et al.15 di Sri Langka melaporkan bahwa pemberian metil-prednisolon 500 mg IV selama 3 hari pada pasien leptospirosis berat dengan angka kematian 16 orang dari total 149 orang (10,7%) dibandingkan tanpa pemberian metil prednisolon dengan angka kematian 17/78 (21,8%) dengan P < 0,025 2. Terapi suportif dan dianalisis Kasus berat perlu dirawat di rumah sakit dengan perawatan suportif agresif dan pengawasan ketat pada keseimbangan cairan dan elektrolit. Peritoneal dialisis atau hemodialisis diindikasikan pada gagal ginjal. Perawatan suportif yang baik dan dialisis telah mengurangi mortalitas penyakit ini dalam beberapa tahun terakhir. Bila protrombin terganggu dapat diberikan vitamin K (Rampengan, 2016)



19



BAB III PENUTUP A. Simpulan Leptospirosis merupakan penyakit yang ditularkan oleh bakteri Leptospira baik kepada manusia maupun hewan. Penyakit ini terjadi karena adanya



interaksi



yang



kompleks



antara



pembawa



penyakit,



tuan



rumah/pejamu dan lingkungan. Bakteri Leptospira bersifat komensal pada ginjal mamalia, termasuk tikus. Manusia dapat terkena leptospirosis jika ada bakteri Leptospira yang masuk ke dalam tubuhnya melalui luka pada kulit maupun mukosa tubuh. Lingkungan dengan sanitasi yang buruk mendukung terjadinya



leptospirosis.



Pencegahan



leptospirosis



dilakukan



dengan



meminimalisir masuknya bakteri ini ke tubuh manusia dengan memiliki perilaku hidup bersih dan sehat dan juga menjaga kesehatan lingkungan sekitar. Pengobatannya dapat dilakukan dengan pemberian terapi suportif dan antibiotik pada kasus yang ringan, namun jika keadaan semakin parah dapat langsung dirujuk ke fasilitas kesehatan yang memiliki penanganan lanjutan, B. Saran Leptospirosis adalah penyakit yang terjadi karena bakteri, oleh karena itu sebagai masyarakat perlu untuk selalu menjaga kebersihan baik terhadap diri sendiri dan lingkungan. Petugas kesehatan juga dapat selalu memantau dan memberikan penyuluhan tentang pentingnya kebersihan dan dapat bekerjasama dengan pihak terkait khususnya di daerah tropis yang sering mengalami kejadian seperti banjir.



20



DAFTAR PUSTAKA Cahyani, N. P. D. (2016) Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perbedaan Angka Kesakitan Leptospirosis. Fatimah, H. R. (2018) ‘Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Pencegahan Penyakit Leptospirosis’, 13(1), pp. 39–56. Fauziah, T. H. (2019a) Evaluasi Program Pengendalian Leptospirosis Di Kota Semarang. Fauziah, T. H. (2019b) ‘Evaluasi Program Pengendalian Leptospirosis Di Kota Semarang Tahun 2018’. Hasanah, I. N. and Wahyuni, S. (2017) ‘Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Dengan Perilaku Pencegahan Infeksi Leptospirosis Pada Ibu Hamil’, Jurnal Kebidanan, 6(14), p. 46. doi: 10.31983/jkb.v6i14.2891. Illahi, A. N. and Fibriana, A. I. (2015) ‘Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Pencegahan Penyakit Leptospirosis (Studi Kasus Di Kelurahan Tandang Kecamatan Tembalang Kota Semarang)’, Unnes Journal of Public Health, 4(4), pp. 126–135. doi: 10.15294/ujph.v4i4.9688. Kemenkes RI (2017) ‘Petunjuk Teknis Pengendalian Leptospirosis Tahun 2017’, Scientific Journals, 11, pp. 160–162. Rampengan, N. H. (2016) ‘Leptospirosis’. Widjajanti, W. (2020) ‘Epidemiologi, diagnosis, dan pencegahan Leptospirosis’, Journal of Health Epidemiology and Communicable Diseases, 5(2), pp. 62– 68. doi: 10.22435/jhecds.v5i2.174.



EVALUASI SOAL Seorang anak umur 10 tahun datang dengan keluhan demam tinggi sudah 12 hari, disertai mata kuning, sakit pada punggung dan otot betis, air kencing berwarna seperti air teh 1.



Apa yang harus segera dilakukan untuk menilai keadaan anak tersebut ? a.



Melakukan pemeriksaan fisik, laboratorium, membuat diagnosis dan memberikan



tatalaksana



awal.



Bila



ada



kegawatan



tatalaksana



kegawatannya. b.



Melakukan pemeriksaan fisik, laboratorium, membuat diagnosis Periksa laboratorium



2.



c.



Beri obat demam



d.



Membuat diagnosis



e.



Melakukan rujukan



Apakah diagnosis anak tersebut? a. Filariasis b. Diare c. Leptospirosis d. Malaria e. SARS



3.



Berdasarkan diagnosis yang dilakukan, tatalaksana apa yang sesuai ? a. Memberikan terapi suportif seperti cairan dan nutrisi, serta antibiotik seperti ampisilin b. Kompres air hangat c. Memasang kelambu d. Melakukan rujukan e. Memberi antibiotic saja



Seorang anak laki-laki umur 12 tahun dengan keluhan demam tinggi sudah 8 hari, mata tampak kuning dan tepinya merah, mengeluh sakit otot betis dan punggung, kencing berkurang, warna kencing tampak merah, pusing. Satu minggu yang lalu desanya terkena banjir.



4.



Apa diagnosis penyakit tersebut ? a. Leptospirosis dengan komplikasi glomerulonefritis b. Meningitis c. HIV/AIDS d. Polio e. Malaria



5.



Pemeriksaan apa yang tepat dilakukan pada anak tersebut ? a. Istirahat cukup b. Laboratorium : darah rutin, urin, ureum/kreatinin, transaminase hati, bilirubin total/direk, protein. c. Kompres hangat, makan teratur, tidur cukup d. Segera dirujuk e. Memasang kelambu



KUNCI JAWABAN 1. A 2. C 3. A 4. A 5. B