LP Leptospirosis Fix [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT LEPTOSPIROSIS



Oleh: BAHRI MAHROJI NIM: 070117A011



PROGRAM STUDY PROFESI NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS NGUDI WALUYO 2018



BAB I TINJAUN PUSTAKA



A. Pengertian Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang di sebabkan oleh mikroorganisme,



yaitu



lestospira



tanpa



memandang bentuk



spesifik



serotipnya, penyakit ini dapat terjangkit pada laki-laki atau perempuan semua umur. Banyak ditemukan didaerah tropis, dan biasanya penyakit ini juga dikenal dengan berbagai nama seperti mudfever, slimefever, Swampfever, autumnal fever, filedfever, Infectiousjaundle, cane cutre fever dan lain-lain (Mansjoer dkk, 2007). Leptospirosis adalah penyakit hewan yang dapat menjangkiti manusia, termasuk penyakit zoonosis yang paling sering di dunia. Leptospirosis juga dikenal dengan nama flood fever atau demam banjir karena memang muncul karena banjir. Di beberapa negara leptospirosis dikenal dengan nama demam icterohemorrhagic, demam lumpur, penyakit Stuttgart, penyakit Weil, demam canicola, penyakit swineherd, demam rawa atau demam lumpur (Judarwanto, 2009) Menurut NSW Multicultural Health Communication Service (2003), Leptospirosis adalah penyakit manusia dan hewan dari kuman dan disebabkan kuman Leptospira yang ditemukan dalam air seni dan sel-sel hewan yang terkena. B. Etiologi Leptospirosis



disebabkan



bakteri



pathogen



berbentuk



spiral



genus Leptospira family leptospiraceae dan ordo spirochaetales. Spiroseta berbentuk bergulung-gulung tipis, motil, obligat, dan berkembang pelan anaerob. Genus Leptospira terdiri dari 2 spesies yaitu L interrogans yang pathogen dan L biflexa bersifat saprofitik (Judarwanto, 2009).



1. Patogen L Interrogans Terdapat pada hewan dan manusia. Mempunyai sub group yang masingmasing terbagi lagi atas berbagai serotip yang banyak, diantaranya; L. javanica, L. cellodonie, L. australlis, L. Panama dan lain-lain. 2. Non Patogen L. Biflexa Menurut beberapa penelitian, yang paling tersering menginfeksi manusia adalah: L. icterohaemorrhagiae dengan resorvoir tikus, L. canicola dengan resorvoir anjing, L.pomona dengan reservoir sapi dan babi. Leptospira dapat menginfeksi sekurangnya 160 spesies mamalia di antaranya tikus, babi, anjing, kucing, rakun, lembu, dan mamalia lainnya. Hewan peliharaan yang paling berisiko adalah kambing dan sapi. Resevoar utamanya di seluruh dunia adalah binatang pengerat dan tikus.



C. Distribusi Penyakit Leptospirosis terjadi di seluruh dunia, baik didaerah maupun perkotaan, didaerah tropis maupun subtropis. Penyakit ini terutama beresiko terhadap orang yang bekerja di luar ruangan bersama hewan, misalnya peternak, petani, penjahit, dokter hewan, dan personel militer. Selainitu, Leptospirosis juga beresiko terhadap individu yang terpapar air yang terkontaminasi .Di daerah endemis,puncak kejadian Leptospirosis terutama terjadi pada saat musim hujan dan banjir. Iklim yang sesuai untuk perkembangan Leptospira adalah udara yang hangat, tanah yang basah dan pH alkalis, kondisi ini banyak ditemukan di negara beriklim tropis. Oleh sebab itu, kasus Leptospirosis 1000 kali lebih banyak ditemukan di negara beriklim tropis dibandingkan dengan negara subtropis dengan risiko penyakit yang lebih berat. Angka kejadian Leptospirosis



di



negara tropis basah



5-20/100.000



penduduk



per



tahun. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Oraganization/WHO) mencatat, kasus Leptospirosis di daerah beriklim subtropis diperkirakan berjumlah 0.1-1 per 100.000 orang setiap tahun, sedangkan di daerah beriklim



tropis kasus ini meningkat menjadi lebih dari 10 per 100.000 orang setiap tahun. Pada



saat wabah,



sebanyak



lebih



dari



100



orang



dari



kelompokberisikotinggi di antara 100.000 orang dapat terinfeksi. Di Indonesia, Leptospirosis tersebar antara lain di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah



Istimewa



Yogyakarta,



Lampung,



Sumatera



Selatan,



Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Angka kematian Leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, mencapai 2,516,45 persen . Pada usia lebih dari 50 tahun kematian mencapai 56 persen. Di beberapa publikasi angka kematian dilaporkan antara 3 persen - 54 persen tergantung sistem organ yang terinfeksi.



D. Cara Penularan Leptospirosis



merupakan



penyakit



yang



dapat



ditularkan



melalui air (water borne disease). Urin dari individu yang terserang penyakit ini merupakan sumber utama penularan, baikpada manusia maupun pada hewan



.



Kemampuan



Leptospira



untuk



bergerak



dengan



cepat



dalam air menjadi salah satu factor penentu utama ia dapat menginfeksi induk semang (host) yang baru. Hujan deras akan membantu penyebaran penyakit ini, terutama di daerah banjir . Gerakan bakteri memang tidak memengaruhi kemampuannya untuk memasuki jaringan tubuh namun mendukung proses invasi dan penyebaran di dalam aliran darah induk semang. Di Indonesia, penularan paling sering terjadi melalui tikus pada kondisi banjir. Keadaan banjir dapat menyebabkan adanya perubahan lingkungan seperti banyaknya genengan air, lingkungan menjadi becek, berlumpur serta banyak timbunan sampah yang menyebabkan mudahnya bakteri Leptospira berkembang biak. Air kencing tikus terbawa banjir kemudian masuk ketubuh manusia melalui permukaan kulit yang terluka, selaput lendir mata dan hidung. Sejauh ini



tikus



merupakan



reservoir



dan



sekaligus



penyebar



utama



Leptospirosis karena bertindak sebagai inang alami dan memiliki daya reproduksi tinggi.



Beberapa



hewan



seperti sapi, kambing, domba, kuda, babi, anjing dapat



lain terserang



Leptospirosis, tetapi potensi menularkan kemanusia tidak sebesar tikus. Bentuk penularan Leptospira dapat terjadi secara langsung dari penderita kependerita dan tidak langsung melalui suatu media. Penularan langsung



terjadi



melalui



kontak



dengan



selaput



lender



(mukosa) mata (konjungtiva), kontak luka di kulit, mulut, cairan urin, kontak seksual dan cairana bortus( gugur kandungan)



Penularan dari manusia



kemanusia jarang terjadi.



Urin tikus merupakan sumber penularan Leptospirosis



E. Manifestasi Klinis



Pada Manusia kulit dan mukosa menjadi kuning



Masa inkubasi Leptospirosis pada manusia yaitu 2 - 26 hari .Infeksi Leptospirosis mempunyai manifestasi yang sangat bervariasi dan kadang tanpa



gejala,



sehingga



sering



terjadi



kesalahan



diagnosa .Infeksi L.



interrogans dapat berupa infeksi subklinis yang ditandai dengan flu ringan sampai berat. penyakit leptospira terdiri dari 2 fase, yaitu fase septisemia dan fase imun. Pada periode peralihan fase selama 1-3 hari kondisi penderita membaik (Judarwanto, 2009). 1. Fase awal dikenal sebagai fase septisemik atau fase leptospiremik karena



bakteri dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar jaringan tubuh. Fase awal sekitar 4-7 hari, ditandai gejala nonspesifik seperti flu dengan beberapa variasinya. Manifestasi klinisnya demam, menggigil, lemah dan nyeri terutama tulang rusuk, punggung dan perut. Gejala lain adalah sakit tenggorokan, batuk, nyeri dada, muntah darah, ruam, nyeri kepala frontal, fotofobia, gangguan mental, dan meningitis. Pemeriksaan fisik sering mendapatkan demam sekitar 400C disertai takikardi. Subconjunctival suffusion, injeksi faring, splenomegali, hepatomegali, ikterus ringan,mild jaundice, kelemahan otot, limfadenopati dan manifestasi kulit berbentuk makular, makulopapular, eritematus, urticari, atau rash juga didapatkan pada fase awal penyakit. 2. Fase kedua sering disebut fase imun atau leptospirurik karena sirkulasi antibody dapat dideteksi dengan isolasi kuman dari urine, mungkin tidak dapat didapatkan lagi dari darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini



terjadi pada 0-30 hari akibat respon pertahanan tubuh terhadap infeksi. Gejala tergantung organ tubuh yang terganggu seperti selaput otak, hati, mata atau ginjal. Gejala nonspesifik seperti demam dan nyeri otot mungkin lebih ringan dibandingkan fase awal selama 3 hari sampai beberapa minggu. Sekitar 77% penderita mengalami nyeri kepala terus menerus yang tidak responsif dengan analgesik. Gejala ini sering dikaitkan dengan gejala awal meningitis selain delirium. Pada fase yang lebih berat didapatkan



gangguan



mental



berkepanjangan



termasuk



depresi,



kecemasan, psikosis dan demensia.



F. Patofisiologi Kuman leptospira masuk ke dalam tubuh penjamu melalui luka iris/luka abrasi pada kulit, konjungtiva atau mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, osofagus, bronkus, alveolus dan dapat masuk melalui inhalasi droplet infeksius dan minum air yang terkontaminasi. Meski jarang ditemukan, leptospirosis pernah dilaporkan penetrasi kuman leptospira melalui kulit utuh yang lama terendam air, saat banjir. Infeksi melalui selaput lendir lambung jarang terjadi, karena ada asam lambung yang mematikan kuman leptospira. Kuman leptospira yang tidak virulen gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan dari aliran darah setelah 1 atau 2 hari infeksi. Organisme virulen mengalami mengalami multiplikasi di darah dan jaringan, dan kuman leptospira dapat diisolasi dari darah dan cairan serebrospinal pada hari ke 4 sampai 10 perjalanan penyakit. Kuman leptospira merusak dinding pembuluh darah kecil; sehingga menimbulkan vaskulitis disertai kebocoran dan ekstravasasi sel. Patogenitas kuman leptospira yang paling penting adalah perlekatannya pada permukaan sel dan toksisitas selluler. Lipopolysaccharide (LPS) pada kuman leptospira mempunyai aktivitas endotoksin yang berbeda dengan endotoksin bakteri gram negatif, dan aktivitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi agregasi trombosit disertai



trombositopenia. Kuman leptospira mempunyai fosfolipase yaitu hemolisin yang mengakibatkan lisisnya eritrosit dan membran sel lain yang mengandung fosfolipid. Beberapa strain serovar Pomona dan Copenhageni mengeluarkan protein sitotoksin. In vivo, toksin in mengakibatkan perubahan histopatologik berupa infiltrasi makrofag dan sel polimorfonuklear. Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di dalam ginjal kuman leptospira bermigrasi ke interstisium, tubulus ginjal, dan lumen tubulus. Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia. Ikterik disebabkan oleh kerusakan sel-sel hati yang ringan, pelepasan bilirubin darah dari jaringan yang mengalami hemolisis intravaskular, kolestasis intrahepatik sampai berkurangnya sekresi bilirubin. Conjungtival suffusion khususnya perikorneal; terjadi karena dilatasi pembuluh darah, kelainan ini sering dijumpai pada patognomonik pada stadium dini. Komplikasi lain berupa uveitis, iritis dan iridosiklitis yang sering disertai kekeruhan vitreus dan lentikular. Keberadaan kuman leptospira di aqueous humor kadang menimbulkan uveitis kronik berulang. Kuman leptospira difagosit oleh sel-sel sistem retikuloendotelial serta mekanisme pertahanan tubuh. Jumlah organisme semakin berkurang dengan meningkatnya kadar antibodi spesifik dalam darah. Kuman leptospira akan dieleminasi dari semua organ kecuali mata, tubulus proksimal ginjal, dan mungkin otak dimana kuman leptospira dapat menetap selama beberapa minggu atau bulan.



Gambar. Conjungtiva suffision dan ikterik pada sklera



G. Pathways Etiologi : - L. interrograns - L. icterohaemorhagiae - L. canicola



Organisme



Kontak pada kulit. Selaput lendir, Luka erosi dengan air, tanah, lumpur) air kemih binatang yang terinfeksi leptospira endoktoksin



Masuk darah dan alirannya



Infeksi



Leukositosi, nuetro-filia (proses fagosi-tosis)



Vaskulitits difus di kapiler



Gastrointestinal



Leukosit CSS



Hepatomeg ali, splenomegali



Meningismus



Trombositopen ia Demam sampai meng-gigil



Pretibial fever



Eritematosa



Rekasi kimia kinin, bradikin, prostaglanding



ensepalitis Pertaharan Epitaksis Hemoptisis Hemetem-isis melena Perdarahan adrenal, gagal ginjal, perdarahan paru



Miokar-ditis



Hipertermi



Kekurangan volume cairan Kurang pengetahuan Cemas



Mialgia, Mual Muntah



Kebutuhan nutrisi



Panas nyeri kepala (frontal, oksipital) fotofobia,



kurang dari kebutuhan tubuh



Nyeri akut



ruam, makular, makulopa pula



Kerusakan integritas kulit



H. Komplikasi Pada leptospira, komplikasi yang sering terjadi adalah iridosiklitis, gagal ginjal, miokarditis, meningitis aseptik dan hepatitis. Perdarahan masif jarang ditemui dan bila terjadi selalu menyebabkan kematian. I. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk konfirmasi diagnosis dan mengetahui gangguan organ tubuh dan komplikasi yang terjadi. 1. Urine yang paling baik diperiksa karena kuman leptospira terdapat dalam urine sejak awal penyakit dan akan menetap hingga minggu ke tiga. Cairan tubuh lainnya yang mengandung leptospira adalah darah, cerebrospinal fluid (CSF) tetapi rentang peluang untuk isolasi kuman sangat pendek Isolasi kuman leptospira dari jaringan lunak atau cairan tubuh penderita adalah standar kriteria baku. Jaringan hati, otot, kulit dan mata adalah sumber identifikasi kuman tetapi isolasi leptospira lebih sulit dan membutuhkan beberapa bulan. 2. Spesimen serum akut dan serum konvalesen dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis tetapi lambat karena serum akut diambil 1-2 minggu setelah timbul gejala awal dan serum konvalesen diambil 2 minggu setelah itu.



Antibodi



antileptospira



diperiksa



menggunakan



microscopic



agglutination test (MAT). 3. Titer MAT tunggal 1:800 pada sera atau identifikasi spiroseta pada mikroskopi lapang gelap dikaitkan dengan manifestasi klinis yang khas akan cukup bermakna. 4. Pemeriksaan complete blood count (CBC) sangat penting. Penurunan hemoglobin dapat terjadi pada perdarahan paru dan gastrointestinal. Hitung



trombosit



untuk



mengetahui



komponen



DIC. Blood urea



nitrogen dan kreatinin serum dapat meningkat pada anuri atau oliguri tubulointerstitial nefritis pada penyakit Weil. 5. Peningkatan bilirubin serum dapat terjadi pada obstruksi kapiler di hati. Peningkatan transaminase jarang dan kurang bermakna, biasanya obat ini efektif pada pemberian 1-3 hari namun kurang bermanfaat bila diberikan setelah fase imun dan tidak efektif jika terdapat ikterus, gagal ginjal dan meningitis. Tindakan suporatif diberikan sesuai denan keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul. L. Prognosis Tergantung keadaan umum klien, umur, virulensi leptospira, dan ada tidaknya kekebalan yang didapat. Kematian juga biasanya terjadi akibat sekunder dari faktor pemberat seperti gagal ginjal atau perdarahan dan terlambatnya klien mendapat pengobatan.



BAB III



ASUHAN KEPERAWATAN



A. Pengkajian keperawatan 1. Primer Survey Pengkajian cepat untuk mengidentifikasi dengan segera masalah aktual/potensial



dari



kondisilife



threatening



(berdampak



terhadap



kemampuan pasien untuk mempertahankan hidup). Pengkajian tetap berpedoman pada inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi jika hal tersebut memungkinkan. Prioritas penilaian dilakukan berdasarkan : a. Airway Dengan kontrol servikal 1) Bersihan jalan nafas 2) Adanya/tidaknya sumbatan jalan nafas3) Distress pernafasan 4) Tanda-tanda perdarahan di jalan nafas, muntahan, edema laring. b. Breathing dan ventilasi 1) Frekuensi nafas, usaha dan pergerakan dinding dada 2) Suara pernafasan melalui hidung atau mulut 3) Udara yang dikeluarkan dari jalan nafas c. Circulation 1) Denyut nadi karotis 2) Tekanan darah 3) Warna kulit, kelembaban kulit 4) Tanda-tanda perdarahan eksternal dan internal d. Disability 1) Tingkat kesadaran 2) Gerakan ekstremitas 3) GCS atau pada anak tentukan respon : A = Alert V = Verbal,



P = Pain/respon nyeri U = Unresponsive 4) Ukuran pupil dan respon pupil terhadap cahaya. e. Eksposure Tanda-tanda trauma yang ada, suhu



2. Secondary Survey Pengkajian sekunder dilakukan setelah masalah ABC yang ditemukanpada pengkajian primer diatasi. Pengkajian sekunder meliputi pengkajianobyektif dan subyektif dari riwayat keperawatan (riwayat penyakit sekarang,riwayat penyakit terdahulu, riwayat pengobatan, riwayat keluarga) danpengkajian dari kepala sampai kaki. 1) Pengkajian Riwayat Penyakit : a) Keluhan utama dan alasan pasien datang ke rumah sakit b) Lamanya waktu kejadian samapai dengan dibawa ke rumah sakit c) Tipe cedera, posisi saat cedera dan lokasi cedera d) Gambaran mekanisme cedera dan penyakit yang ada (nyeri) e) Waktu makan terakhir 2) Riwayat



pengobatan



yang



dilakukan



untuk



mengatasi



sakit



sekarang,imunisasi tetanus yang dilakukan dan riwayat alergi klien. Metode pengkajian yang sering dipakai untuk mengkaji riwayat klien : S (Signs and Symptoms) Tanda dan gejala yang di observasi dan dirasakan klien A (Allergis) Alergi yang dimiliki klien M (Medications) Tanyakan obat yang telah diminum klien untuk mengatasi keluhan P (Pertinent Last Medical Hystori) Riwayat penyakit yang di derita klien L (Last Oral Intakesolid or Liquid)



Makan/minum terakhir, jenis makanan E (Event Leading Toinjury or Illnes) Pencetus/kejadian penyebab keluhan Metode yang sering dipakai untuk mengkaji nyeri : P



(Provoked) : Pencetus nyeri, tanyakan hal yang menimbulkan dan mengurang nyeri



Q



(Quality) Kualitas nyeri



R



(Region) Arah perjalan nyeri



S



 (Skala) Skala nyeri 1-10



T



 (Time) Lamanya nyeri sudah dialami klien



3) Pemeriksaan Fisik a) Kepala



: Edema muka terutama daerah orbita, mulut bau khas urine



b) Dada



: Pernafasan cepat dan dalam, nyeri dada



c) Perut



: Adanya edema anasarka (ascites)



d) Ekstremitas



: Edema pada tungkai, spatisitas otot



e) Kulit



: Sianosis, akral dingin, turgor kulit menurun



3. Tertiery Survey a. Echocardiogram Pergerakan dinding jantung dan struktur jantung b. Rontgen Adanya penumpukan cairan pada paru c. Lab 1) Hematologi: Terjadi peningkatan leukosit 2) Urine: Adanya kuman lepstopira



B. Diagnosa Keperawatan 1. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme tubuh, proses penyakit 2. Nyeri akut berhubungan dengan agen biologis (proses penyakit) 3. Ketidakseimbangan



nutrisi



kurang



dari



kebutuhan



tubuh



b.d



ketidakmampuan untuk mengabsorbsi zat-zat bergizi karena faktor bilogis, proses penyakit.



C. Rencana Keperawatan No



Diagnosa Keperawatan



1



Hipertermia berhubungan denganpeningkatan metabolisme tubuh, proses penyakit



Tujuan dan Criteria Hasil (NOC) NOC :  Thermoregulation Kriteria Hasil : 1. Suhu tubuh dalam rentang normal 2. Nadi dan RR dalam rentang normal 3. Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing, merasa nyaman



Intervensi (NIC) NIC : Fever treatment 1. Monitor suhu sesering mungkin 2. Monitor IWL 3. Monitor warna dan suhu kulit 4. Monitor tekanan darah, nadi dan RR 5. Monitor penurunan tingkat kesadaran 6. Monitor WBC, Hb, dan Hct 7. Monitor intake dan output 8. Berikan anti piretik 9. Berikan pengobatan untuk mengatasi penyebab demam 10. Selimuti pasien 11. Lakukan tapid sponge 12. Berikan cairan intravena 13. Kompres pasien pada lipat paha dan aksila 14. Tingkatkan sirkulasi udara 15. Berikan pengobatan untuk mencegah terjadinya menggigil Temperature regulation 1. Monitor suhu minimal tiap 2 jam 2. Rencanakan monitoring suhu secara kontinyu 3. Monitor TD, nadi, dan RR 4. Monitor warna dan suhu kulit 5. Monitor tanda-tanda hipertermi dan hipotermi 6. Tingkatkan intake cairan dan nutrisi 7. Selimuti pasien untuk mencegah hilangnya kehangatan tubuh 8. Ajarkan pada pasien cara mencegah keletihan akibat panas



9.



Diskusikan tentang pentingnya pengaturan suhu dan kemungkinan efek negatif dari kedinginan 10. Beritahukan tentang indikasi terjadinya keletihan dan penanganan emergency yang diperlukan 11. Ajarkan indikasi dari hipotermi dan penanganan yang diperlukan 12. Berikan anti piretik jika perlu 2



Nyeri akut berhubungan dengan agen biologis (proses penyakit)



NOC :  Pain Level,  Pain control,  Comfort level Kriteria Hasil : 1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan) 2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri 3. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) 4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang 5. Tanda vital dalam rentang normal



NIC : Pain Management 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi 2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan 3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien 4. Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri 5. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau 6. Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau 7. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan 8. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan 9. Kurangi faktor presipitasi nyeri 10. Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan inter personal) 11. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi 12. Ajarkan tentang teknik non farmakologi 13. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri 14. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri 15. Tingkatkan istirahat 16. Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil 17. Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri



3



Kekurang volume cairan b.d kehilangan cairan aktif



NOC  Fluid balance  Hydration  Nutritional Status: Food and Fluid  Intake Kriteria Hasil : 1. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine normal, HT normal 2. Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal 3. Tidak ada tanda tanda dehidrasi, Elastisitas turgor kulit baik, membran mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan



Analgesic Administration 1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat 2. Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi 3. Cek riwayat alergi 4. Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika pemberian lebih dari satu 5. Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri 6. Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal 7. Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur 8. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali 9. Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat 10. Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala (efek samping) NIC Fluid management 1. Timbang popok/pembalut jika di perlukan 2. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat 3. Monitor status hidrasi (kelembaban membran mukosa, nadi adekuat, tekanan darah ortostatik), jika diperlukan 4. Monitor vital sign 5. Monitor masu kan makanan / cairan dan hitung intake kalori harian 6. Kolaborasikan pemberian cairan IV 7. Monitor status nutrisi 8. Berikan cairan IV pada suhu ruangan 9. Dorong masukan oral 10. Berikan penggantian nesogatrik sesuai output 11. Dorong keluarga untuk membantu pasien makan 12. Tawarkan snack (jus buah, buah segar) 13. Kolaborasi dengan dokter 14. Atur kemungkinan tranfusi 15. Persiapan untuk tranfusi



4



Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan untuk mengabsorbsi zat-zat bergizi karena faktor bilogis, proses penyakit.



NOC :  Nutritional Status : food and Fluid Intake  Nutritional Status : nutrient Intake  Weight control Kriteria Hasil : 1. Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan 2. Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan 3. Mampumengidentifikasi kebutuhan nutrisi 4. Tidak ada tanda tanda malnutrisi 5. Menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan 6. Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti



Hypovolemia Management 1. Monitor status cairan termasuk intake dan output cairan 2. Pelihara IV line 3. Monitor tingkat Hb dan hematokrit 4. Monitor tanda vital 5. Monitor respon pasien terhadap penambahan cairan 6. Monitor berat badan 7. Dorong pasien untuk menambah intake oral 8. Pemberian cairan IV monitor adanya tanda dan gejala kelebihan volume cairan 9. Monitor adanya tanda gagal ginjal NIC : Nutrition Management 1. Kaji adanya alergi makanan 2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien. 3. Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe 4. Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C 5. Berikan substansi gula 6. Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi 7. Berikan makanan yang terpilih (sudah dikonsultasikan dengan ahli gizi) 8. Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian. 9. Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori 10. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi 11. Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan Nutrition Monitoring 1. BB pasien dalam batas normal 2. Monitor adanya penurunan berat badan 3. Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang biasa dilakukan 4. Monitor interaksi anak atau orangtua selama makan 5. Monitor lingkungan selama makan 6. Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan



7.



5



Resiko Infeksi terpajan pada wabah



b.d



NOC  Immune Status  Knowledge : Infection control  Risk control Kriteria Hasil: 1. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi 2. Mendeskripsikan proses penularan penyakit, faktor yang mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya 3. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi 4. Jumlah leukosit dalam batas normal 5. Menunjukkan perilaku hidup sehat



Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi 8. Monitor turgor kulit 9. Monitor kekeringan, rambut kusam, dan mudah patah 10. Monitor mual dan muntah 11. Monitor kadar albumin, total protein, Hb, dan kadar Ht 12. Monitor makanan kesukaan 13. Monitor pertumbuhan dan perkembangan 14. Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva 15. Monitor kalori dan intake nuntrisi 16. Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila lidah dan cavitas oral. 17. Catat jika lidah berwarna magenta, scarlet NIC Infection Control (Kontrol infeksi) 1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain 2. Pertahankan teknik isolasi 3. Batasi pengunjung bila perlu 4. Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung meninggalkan pasien 5. Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tanga 6. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan 7. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung 8. Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat 9. Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai dengan petunjuk umum 10. Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing 11. Tingktkan intake nutrisi 12. Berikan terapi antibiotik bila perlu 13. Infection Protection (proteksi terhadap infeksi) 14. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal 15. Monitor hitung granulosit, WBC 16. Monitor kerentangan terhadap infeksi 17. Batasi pengunjung 18. Sering pengunjung terhadap penyakit menular



19. Pertahankan teknik aspesis pada pasien yang beresiko 20. Pertahankan teknik isolasi k/p 21. Berikan perawatan kulit pada area epidema 22. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase 23. Inspeksi kondisi luka / insisi bedah 24. Dorong masukkan nutrisi yang cukup 25. Dorong masukan cairan 26. Dorong istirahat 27. Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep 28. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi 29. Ajarkan cara menghindari infeksi 30. Laporkan kecurigaan infeksi 31. Laporkan kultur positif



DAFTAR PUSTAKA Carpenito, L.J. (2009). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. EGC. Jakarta Dochterman, J. M., & Bulechek, G. M. (2009). Nursing Interventions Clasification (NIC) (5th ed.). America: Mosby Elsevier. https://id.wikipedia.org/wiki/Leptospirosis (Diakses 28 Februari 2018) Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River Judarwanto, W. 2009. Cermin Dunia Kedokteran; Leptospirosis pada Manusia. Jakarta: Allergy Behaviour Clinic, Picky Eaters Clinic Rumah Sakit Bunda Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid Kedua. Jakarta: Media Aesculapius FKUI Moorhead, S., Jhonson, M., Maas, M., & Swanson, L. (2015). Nursing Outcomes Nanda Internasional. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 20152017. Jakarta : EGC NSW Multicultural Health Communication Service. 2003. Leptospirosis. Dimuat dalam http://mhcs.health.nsw.gov.au (Diakses 28 Februari 2018)