Makalah Muskuloskeletal [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Resti
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH “ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL”



Dosen Pembimbing :



Disusun oleh: Kelompok 2



Widya Destriani N (1611110770)



Lisa Monica (1611110896)



Nursyamsi Setiap Ningsih (1611110808)



Ria Astuti (1611110908)



Resti Ananda Putri (1611110818)



Ressy Herlia (1611110934)



Nurul Aina Ibni Kalzan (1611110824)



Era (1611110950)



Rika Elvia (1611110834)



Seniwan Agustini G (1611110963)



Saferatul Khair (1611110852)



Syarifah Nurul F (1611111003)



Rajali (1611110856)



Sakiah Pitriana Nst (1611111032)



Shintia Ramadhani Fitri (1611110858)



Siti Sarwanti (1611111043)



Mellysa Rosalina (1611110863) Dian Permata Ningtyas (1611110866



PROGRAM STUDI KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS RIAU 2019



KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrohim, Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, daninayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL “ ini dengan baik. Kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang dada dan tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin memberi saran dan kritik kepada kami sehingga kami dapat memperbaiki makalah kami di kemudian hari.



Pekanbaru,9 Oktober 2019



Penulis



BAB I PENDAHULUAN



A. LATAR BELAKANG Sistem muskuloskeletal meliputi tulang, persendian, otot, tendon, dan bursa. Struktur tulang dan jaringan ikat



menyususn kurang lebih 25 % berat badan. Struktur tulang



memberikan perlindungan terhadap organ-organ penting dalam tubuh seperti jantung, paru, otak. Tulang berfungsi juga memberikan bentuk serta tempat melekatnya otot sehingga tubuh kita dapat bergerak, disamping itu tulang berfungsi sebagai penghasil sel darah merah dan sel darah putih (tepatnya di sumsum tulang) dalam proses yang disebut hamatopoesis. Tubuh kita tersusun dari kurang lebih 206 macam tulang, dalam tubuh kita ada 4 kategori yaitu tulang panjang, tulang pipih, tulang pendek, dan tulang tidak baraturan. Masingmasing tulang dihubungkan oleh jaringan yang disebut sendi. Menurut pergerakan yang ditimbulkan sendi dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu : 1. Sendi fibrous/sinatrosis/sendi tidak bergerak 2. Sendi tulang rawan / amfiartrose/sendi gerak 3. Sendi sinovial/diartrose. Bentuk sendi diartrose ada beberapa macam : sendi putar, sendi engsel, sendi kondiloid, sendi berporos serta sendi pelana. Bentuk-bentuk sendi beserta contohnya : 1. Sendi putar : sendi bahu dan sendi panggul 2. Sendi engsel : sendi siku, sendi antara ruas-ruas jari 3. Sendi kondiloid : hampir sama dengan sendi engsel tapi dapat bergerak dalam 2 bidang seperti pada pergelangan tangan. 4. Sendi berporos: sendi antara kepala dengan tulang leher pertama 5. Sendi pelana : sendi metacarpal pertama, yang memungkinkan ibu jari ergerak bebas.



SKENARIO 1 KEPERAWATAN GERONTIK Ns. Herlina, M.Kep., Sp.Kep.Kom SKENARIO SENDIKU SNUT-SNUT Bapak R (70 Tahun) saat dikaji oleh ners muda terlihat Bpk R mengalami gangguan muskuloskeletal denga mengeluhkan nyeri sendi tajam secara neurofisiologis pada lutut akibat faktor degenerasi dan sakit untuk dibawa berjalan, beberapa kali melakukan aktifitas ibadah dari duduk ke berdiri ataupun sebaliknya. Dalam 1 bulan terakhir sudah 5 kali terjatuh yang akibatnya terjadinya skiatika dalam 1 minggu. Pergerakan sendi kaku pada kaki, bengaka, dan hangat dipersendian dan nyeri yang dirasakan persisten terutama nyeri polimialgia pagi hari, kekuatan otot ekstremitas 3, dan imobilisasi. Sudah 5 tahun ini didiagnosa rheumatoid artritisgout dengan kadar urin acid 10mg/dl, dan terdapat benjolan pada jempol kaki. Bapak R mendapatkan obat NSAID (Non-Steroid Anti Imflammatory Drugs) dan dianjurkan kompres dengan air hangat dan ramuan jahe serta melakukan tekhnik relaksasi sebagai mediator kimia untuk mengatasi nyeri secara non farmakologis. Saat dilakukan ASKEP kepada bapak R diangkatlah diagnosa keperawatan gangguan rasa nyaman nyeri (berat), data indeks KATZ skore F karena bapak R sulit untuk berpindah dengan beberapa intervensi sesuai kondisi dan kemampuan klien yang berada di PSTW Khusnul Khotimah.



B. RUMUSAN MASALAH Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah: 1. Apa defenisi dari muskuloskeletal dan gangguan muskuloskeletal? 2. Apa etiologi dari gangguan muskuloskeletal? 3. Apa saja manifestasi dari gangguan muskuloskeletal? 4. Apa patofisiologi dari gangguan muskuloskeletal? 5. Apa saja perubahan gangguan muskuloskeletal?



6. Apa saja masalah gangguan muskuloskeletal? 7. Apa saja pemeriksaan penunjang gangguan muskuloskeletal? 9. Apa saja penatalaksanaan gangguan muskuloskeletal? 10. bagaimana proses penuaan? 11. Apa saja fungsi muskuloskeletal? 12. Apa itu indeks KATZ skore? 13.Bagaimana Asuhan keperawatan gangguan muskuloskeletal?



C. TUJUAN PENULIS 1. Mengetahui defenisi dari muskuloskeletal dan gangguan muskuloskeletal? 2. Mengetahui etiologi dari gangguan muskuloskeletal? 3. Mengetahui manifestasi dari gangguan muskuloskeletal? 4. Mengetahui patofisiologi dari gangguan muskuloskeletal? 5. Mengetahui perubahan gangguan muskuloskeletal? 6. Mengetahui masalah gangguan muskuloskeletal? 7. Mengetahui pemeriksaan penunjang gangguan muskuloskeletal? 8. Mengetahui penatalaksanaan gangguan muskuloskeletal? 9. Memahami proses penuaan? 10. Mengetahui fungsi muskuloskeletal? 11. indeks KATZ skore? 12. Bagaimana Asuhan keperawatan gangguan muskuloskeletal?



D. MANFAAT PENULIS 1. Memberikan wawasan lebih mendalam mengenai penyakit gastrointestinal baik dalam hal definisi, etiologi, patofisiologi terkini, manifestasi klinis, klasifikasi, pemeriksaan penunjang, pemeriksaan fisik, penatalaksaan, pengkajian, dan lain-lain. 2. Sebagai landasan teori terkini mengenai penyakit gastrointestinal yang dapat dimanfaatkan sebagai landasan teori bagi pembaca mengenai penyakit.



BAB II PEMBAHASAN STEP 1 : 1. Skiatika 2. Faktor Degenerasi 3. Polimialgia 4. Muskuloskeletal 5. Rheumatoid Arhtritis 6. Sendi Tajam 7. Neurofisiologis 8. Indeks KATZ 9. Obat NSAID 10. PSTW 11. Urin Acid STEP 2 : 1. Skiatika adalah rasa nyeri yang terjadi di saraf panggul 2. Faktor Degenerasi adalah faktor yang biasanya terjadi ketika usia berlanjut (faktor menua) 3. Polimialgia adalah suatu keadaan yang terjadi pada lansia nyeri akut pada sikut, leher, dan bagian lainnya 4. Gangguan Muskuloskeletal adalah suatu keadaan yang menganggu fungsi sendi 5. Rheumatoid Arhtritis adalah suatu peradangan sendi yang terjadi pada kaki dan tangan 6. Sendi Tajam adalah nyeri yang sakit sekali 7. Neurofisiologis adalah ilmu fisisologis yang mempelajari studi fungsi saraf 8. Indeks KATZ adalah suatu alat ukur yang digunakan untuk menilai tingkat kemampuan lansia dalam melakukan aktivitas sehari-hari 9. Obat NSAID adalah obat untuk anti inflamasi yang biasanya digunakan untuk mengobati penyakit gangguan muskuloskeletal, mengurangi suhu tubuh, meredakan peradangan dalam 10. PSTW adalah suatu institusi pelayanan dan perawatan pada lansia 11. Urin Acid adalah produk sisa dari pemecahan katabolisme Kadar normalnya P : 2-7,5 mg/dl dan L : 2-6,5 mg/dl STEP 3 : 1. Apa saja tanda dan gejala yang terlihat pada kondisi pasien sehingga terjadi sendi tajam? 2. Apa saja penyebab nyeri sendi tajam? 3. Apa saja penyebab faktor degenerasi? 4. Apa tindakan perawat pada pasien dengan gejala pasien tersebut? 5. Apa penyebab sendi bengkak dan hangat? 6. Apakah penyebab benjolan pada jempol kaki? 7. Bagaimana kareakteristik benjolan kaki? 8. Apa data pendukung sehingga didiagnosa rheumatoid artritis? 9. Apasih tujuan kompres dengan air hangat dan ramuan jahe? 10. Apa kontra indikasinya ? 11. Apa perbedaan obat NSAID, dengan air hangat dan ramuan jahe? 12. Berapa normal indeks KATZ dan tingkat kemandirian apa saja yang dinilai? 13. Apa intervensi yang bisa dilakukan perawat?



14. Pada skenario ada skor F, maksudnya skor F tersebut apa? 15. Apa tindakan perawat pada masalah skiatika? STEP 4 : 1. Imobilisasi, rasa sakit (mengeluh), membalikkan badan pun tersa sakit 2. Faktor penuaan ( nyeri sendi karena usia, terjadi penurunan sistem, dan penurunan fungsi sistem) 3. Makanan, kadar purin yang menumpuk, kadar asam urat yang meningkat 4. Membatasi pergerakan dan menggunakan alat bantu untuk bergerak 5. Karena jahe mengurangi hormon stress pada tubuh 6. Karena adanya aliran darah yang terhambat, dikarenkan pergerakan yang terbatas 7. Biasanya seperti adanya yang menumpuk bisa lunak ataupun keras 8. Tanda dan gejalanya hampir mirip dengan yang diskenario namun sesuai lagi dengan tingkatannya 9. Untuk menghilangkan hormon stress pada tubuh, agar darah dapat mengalir keseluruh tubuh 10. Merelaksasikan rasa nyeri, dan juga jahe menurunkan rasa nyeri dan jika diberikan obat maka akan meningkatkan kerja hati, ginjal, dll 11. Jika obat alami, mudah didapatkan dan harga terjangkau sedangkan obat farmakologis cepat reaksinya namun dapat memperberat kerja hati dan ginjal 12. Normalnya nilainya A : 6 dan yang dinilai bathing, dressing, toileting, transfering, continence, feeding 13. Monitor pasien, memberikan obat baik farma/non farma, memperhatikan kondisi pasien 14. Pasien memilki kelemahan harus dibantu dalam melakukan aktivitas sehari-hari 15. Menganjurkan pasien menggunakan alat bantu, monitor dan lain-lain STEP 5 : MIND MAPPING Bapak R (70 Tahun) Ners Muda melakukan DX DS -



Sendi kaku pada kaki, bengkak dan hangat dan nyeri yang dirasakan persisten terutama nyeri polimialgia pagi hari, kekuatan ekstremitas 3, dan imobilisasi



-



-



-



Mengeluhkan nyeri tajam Sakit saat berjalan dan sulit beraktiviatas Dalam 1 bulan terakhir sudah 5 kali jatuh Menyebabakan skiatika selama seminggu Nyeri pada pagi hari



Riwayat klien -



Sudah 5 tahun di DX RA asam urat 10 mg/dh



Data indeks KATZskore



mengangkat



DX kep gangguan rasa nyaman nyeri berat Farmakologi : NSAID



Non farmakologis Kompres air hangat dan ramuan jahe



Askep Lansia Dengan Gangguan Muskuloskeletal



A. Pengertian Gangguan Sistem Muskuloskeletal pada Lansia Sistem muskuloskeletal merupakan penunjang bentuk tubuh dan mengurus pergerakan. Komponen utama dari sistem muskuloskeletal adalah tulang dan jaringan ikat yang menyusun kurang lebih 25 % berat badan dan otot menyusunkurang lebih 50%. Sistem ini terdiri dari tulang, sendi, otot rangka, tendon,ligament, dan jaringan-jaringan khusus yang menghubungkan strukturstruktur



ini.(Price,S.A,1995:175).



Sistem



Muskuloskeletal



ini



memiliki



komponen utama nya yaitu tulang dan jaringan ikat dimana didalamnya seba gai penyusun tubuh yang terdiri dari kurang lebih 25 % berat badan dan 50 % terdiri dari otot. dari system ini juga difungsikan sebagai penopang bentuk badan serta pergerakan tubuh manusia system ini terdiri dari tulang, sendi, otot rangka, tendon, ligament, dan jaringan-jaringan khusus yang menghubungkan strukturstruktur ini. Gangguan muskuloskeletal adalah suatu kondisi yang mengganggu fungsi sendi, ligamen, otot, saraf dan tendon, serta tulang belakang. Sistem muskuloskeletal Anda melibatkan struktur yang mendukung anggota badan, leher dan punggung. Gangguan muskuloskeletal seringnya merupakan penyakit degeneratif, penyakit yang menyebabkan jaringan tubuh Anda rusak secara



lambat laun. Hal ini dapat mengakibatkan rasa sakit dan mengurangi kemam puan Anda untuk bergerak, yang dapat mencegah Anda dalam melakukan kegiatan sehari-hari.



B. Etiologi Gangguan Sistem Muskuloskeletal pada Lansia Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan sistem muskuloskeletal yakni, antara lain: 1.



Faktor biologis (umur, jenis kelamin, dan lain-lain)



2.



Peregangan Otot yang Berlebihan



3.



Aktivitas Berulang



4.



Sikap Kerja Tidak Alamiah (Tidak Ergonomis)



5.



Faktor Penyebab Sekunder : • Tekanan • Getaran • Mikroklimat (Suhu)



6.



Penyebab Kombinasi • Umur • Jenis kelamin • Kebiasaan merokok



• Kesegaran jasmani • Kekuatan fisik • Ukuran tubuh (antropometri) (Suratum, 2008)



C. Manifestasi Gangguan Sistem Muskuloskeletal



1.



Penurunan waktu reaksi menyebabkan lansia akan mengalami perlambatan dalam merespon sesuatu



2.



Kesulitan membolak-balik posisi sehingga jika lansia telah berada pada posisi tertentu pada kursi roda maka akan terus dalam keadaan seperti itu



3.



Melakukan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan (misal dengan meningkatkan perhatian pada aktivitas orang lain)



4.



Dipsnea setelah beraktivitas sehingga lansia cepat capek, perubahan cara berjalan



5.



Gerakan bergetar



6.



Keterbatasan kemampuan melakukan keterampilan motorik halus



7.



Keterbatasan rentang pergerakan sendi



8.



Tremor akibat pergerakan



9.



Ketidakstabilan postur yang mempengaruhi cara berjalan



10. Pergerakan lambat 11. Pergerakan tidak terkoordinasi 12. Penurunan ketahanan dengan adanya penurunan kendali otot 13. Penurunan massa otot 14. Penurunan kekuatan otot 15. Kaku sendi dan nyeri Dislokasi gejalanya seperti nyeri, perubahan pada kontur sendi, perubahan panjang ekstremitas, mobilitas terganggu, kekakuan, perubahan sumbu tulang yang mengalami dislokasi, perubahan ukuran ekstremitas dan deformitas.



D. Patofisiologi Gangguan Sistem Muskuloskeletal Osteoporosis merupakan penyakit skeletal istemik yang ditandai dengan berkurangnya kepadatan tulang dan kerusakan jaringan tulang yang berakibat pada menurunnya kekuatan tulang (Tabloski, 2014). Kekuatan tulang mencerminkan kepadatan dan kualitas tulang. Kepadatan dan kualitas tulang merupakan kedua hal yang berbeda. Kepadatan tulang dipengaruhi oleh gram mineral yang terdapat di dalam tulang. Sementara, kualitas tulang dipengaruhi oleh mikroarsitektur tulang, bone turnover, dan akumulasi kerusakan pada tulang (Tabloski, 2014). Sehingga, apabila individu menderita osteoporosis dimana hal tersebut dapat menurunkan kekuatan tulangnya, maka individu tersebut akan memiliki risiko tinggi terjadinya fraktur atau patah tulang (Amelio & Isaia, 2015). Individu yang mengalami osteoporosis umumnya tidak menimbulkan tanda dan gejala apapun selain adanya patah tulang (Tabloski, 2014). Faktor risiko utama terjadinya osteoporosis adalah usia yang sering terjadi pada lansia, jenis kelamin yang sering terjadi pada wanita, ras kulit putih atau asia, riwayat keluarga yang memiliki osteoporosis, dan gaya hidup seperti aktivitas fisik yang kurang dan atau kurangnya konsumsi vitamin D (Tabloski, 2014). Osteoporosis dapat juga diakibatkan karna konsumsi alkohol berlebih, rokok, stress, dan penggunaan kortikosteroid jangka panjang. Wanita memiliki risiko tinggi terjadi osteoporosis. Hal ini diakibatkan oleh tulang pada wanita memiliki lebih sedikit massa tulang dibanding laki-laki, penurunan kadar estrogen saat menopause secara cepat mengakibatkan kerapuhan tulang secara cepat pula, dan wanita mungkin juga kehilangan massa tulang saat masa reproduksi atau laktasi (Tabloski, 2014). Selain itu, risiko tinggi osteoporosis terjadi pula pada lansia. Menurut Amelio & Isaia (2015), lansia memiliki risiko tinggi terjadinya osteoporosis diakibatkan oleh penuaan yang membuat berkurangnya massa tulang melalui perubahan hormon dan disfungsi osteoblast terkait usia. Pada lansia perempuan, perubahan hormon terjadi saat setelah menopause yang mengakibatkan menurunnya kadar estrogen (Sihombing et al, 2012). Padahal, estrogen memiliki peran penting untuk remodelling tulang dan menghambat terjadinya resorpsi tulang oleh osteoblast sehingga, menghambat kerapuhan tulang (Sihombing et al, 2012). Sementara itu, pada lansia laki-laki terjadi juga perubahan hormon yaitu menurunnya kadar steroid seksual yang mengakibatkan peningkatan pada kortisol oleh kelenjar adrenal. Efek yang terjadi apabila terdapat peningkatan sekresi kortisol ialah akan terjadinya kelebihan hormon glukokortikoid. Hal ini akan memicu kerusakan tulang, karena hormon



glukokortiokoid yang berlebih dapat mengganggu fungsi dari osteoblast (Amelio & Isaiya, 2015). Namun, walaupun begitu pada lansia dapat terjadi pula disfungsi dari osteoblast. Amelio dan Isaiya (2015) menjelaskan bahwa disfungsi osteoblast diakibatkan oleh menurunnya kemampuan sel mesenchymal stem untuk berdiferensiasi menjadi osteoblast. Kemampuan sel mesenchymal stem yang menurun merupakan efek dari penuaan yang terjadi pada lansia. Pengkajian untuk osteoporosis dapat diukur melalui kepadatan mineral tulang. Hal ini dikarenakan kekuatan tulang tidak dapat diukur secara langsung. Menurut Tabloski (2014) pengukuran kepadatan mineral tulang dapat memberikan informasi sebanyak 70% mengenai kekuatan tulang. Pengkajian ini dinamakan pengkajian densinometri tulang dengan menggunakan energi x-ray absorptiometry (DXA, DEXA) yang perhitungan scorenya dinamakan T-score (Miller, 2012). Jika nilai T-score berada di rentang -1 sampai -2,5 Standar Deviasi (SD) hal ini menandakan osteopenia. Namun, jika T-score lebih rendah dari -2,5 SD maka kondisi tersebut dinamakan osteoporosis (Miller, 2012). Pengkajian lain yang dapat perawat lakukan ialah assessment faktor risiko osteoporosis seperti gaya hidup, diet, dan aktivitas fisik (Miller, 2012). 1. Arthritis Arthritis secara harfiah berarti peradangan sendi. Arthritis merupakan sekelompok kondisi yang mempengaruhi sendi. Kondisi ini menyebabkan kerusakan sendi, biasanya mengakibatkan rasa sakit dan kekakuan. Arthritis dapat mempengaruhi banyak bagian yang berbeda dari sendi dan hampir setiap sendi di dalam tubuh (Arthritis Care, 2016). Secara umum, arthritis dikenal dengan rematik. 2. Osteoarthritis Osteoarthritis merupakan penyakit radang degenerative yang menyerang sendi dan otot, tendon dan ligament yang melekat, hal ini ditandai dengan rasa sakit, bengkak dan gerakan terbatas di persendian (Touhy & Jett, 2014). Faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya osteoarthritis yaitu penambahan usia, obesitas, riwayat keluarga, dan memiliki trauma sendi. Osteoarthritis terjadi dimana lapisan kartilago normal yang lembut dan ulet menjadi tipis dan rusak, berlubang, kasar dan rapuh. Hal ini menyebabkan ruang sendi menyempit dan akhirnya tulang-tulang sendi bergesekan, menyebabkan kerusakan, rasa sakit, bengkak dan kesulitan bergerak. Tulang dibawah kartilago menebal dan melebar keluar. Dalam beberapa kasus, osteofit dapat terbentuk di tepi luar sendi, dan menyebabkan sendi terlihat menonjol. Membran sinoval dan kapsul sendi menebal, dan ruang sendi menyempit yang dapat menyebabkan peningkatakan jumlah cairan dalam



sendi dan dapat membengkak (Arthritis Care, 2016). Untuk lebih jelas, perhatikan gambar perbandingan antara sendi normal dan sendi dengan gangguan. Gambar 3 Perbandingan antara sendi normal dengan sendi yang mengalami gangguan



Sumber: Arthritis Research UK (2011)



Osteoarthritis biasanya terjadi secara bertahap selama beberapa tahun dan mempengaruhi beberapa sendi. Sendi-sendi yang sering terkena osteoarthritis yaitu tangan, lutut, pinggul, kaki dan tulang belakang. Kekakuan yang terjadi pada masalah ini biasanya akan hilang dengan aktivitas, dan pada saat yang sama aktivitas dapat menyebabkan rasa sakit yang hilang dengan istirahat. Kekakuan yang paling tinggi terjadi pada pagi hari, karena tidak digunakan selama tidur dan bisa diselesaikan selama 30 menit. Ketika gangguan ini sedang berkembang, maka akan muncul sakit saat istirahat dan melibatkan banyak sendi atau mungkin akan terjadi ketidakstabilan dan krepitasi yang dapat dirasakan dan merupakan indikasi kerusakan sendi (Touhy & Jett, 2014). Osteoarthritis tidak bisa disembuhkan, kecuali dengan penggantian sambungan (artroplasi). Kebanyakan perawatan yang dilakukan hanya paliatif yang ditujukan untuk kenyamanan. Beberapa intervensi pengobatan yang dilakukan yaitu bertujuan untuk meminimalkan efek dari radang sendi dan untuk mengurangi gejala, terutama rasa sakit. Banyak obat yang digunakan untuk membantu mengelola nyeri sendi seperti analgesic, obat anti-inflamasi non-steroid, steroid. Selain menggunakan obat-obatan, ada beberapa cara yang sering digunakan untuk mengurangi rasa sakit yaitu dengan teknik relaksasi, memijat, olahraga juga dapat membantu meredakan rasa tidak nyaman dan rasa sakit



bagi banyak orang (Touhy & Jett, 2014). Mencapai dan memepertahankan berat badan ideal juga dapat meringankan ketegangan pada sendi yang menahan berat badan. 3. Rheumatoid Arthritis Rheumatoid arthritis yaitu penyakit autoimun yang disebabkan karena inflamasi sendi pada sendi (Arthritis Research UK, 2014). Ganguan ini merupakan gangguan sistemik dan kronis. Diperkirakan gangguan ini terjadi ketika tubuh menciptakan peradangan pada persendiannya sendiri yang tidak di perlukan dan bersifat merusak dirinya sendiri. Hal ini terjadi pada selaput synovial tipis yang melapisi kapsul sendi, selubung tendon dan bursae menjadi meradang. Sendi yang meradang kemudian menjadi kaku, nyeri dan bengkak. Pasien biasanya akan merasa lelah atau mengalami kekakuan di pagi hari melebihi osteoarthritis. Menurut Arthritis Research UK (2014) rasa sakit yang diderita oleh pasien rheumatoid arthritis karena dua hal yaitu ujung saraf yang teriritasi oleh bahan kimia yang dihasilkan oleh peradangan dan kapsul sendi meregang karena pembengkakan. Ketika inflamasi berkurang, kapsul sendi tetap meregang dan tidak bisa kembali ke posisi awal, hal ini disebabkan karena sendi menjadi tidak stabil dan dapat menyebabkan posisi yang salah. Faktor resiko yang dapat menyebabkan rheumatoid arthritis yaitu faktor genetik, lingkungan dan gaya hidup. Karena gangguan ini merupakan gangguan autoimun, sesuatu yang bermasalah yaitu sistem imun. Penurunan sistem imun juga dapat menjadi faktor risiko terjadinya rheumatoid arthritis, gaya hidup seperti merokok, banyak konsumsi daging merah dan kopi juga menjadi salah satu faktor risiko (Arthritis Research UK, 2014). Gejala yang sering muncul pada pasien ini yaitu kekakuan sendi dan nyeri, lelah, depresi, anemia, merasa panas dan berkeringat, malaise dan demam yang sesekali tidak di rasakan. Gangguan ini dapat terjadi secara bertahap selama beberapa bulan, tahun atau bisa menjadi kondisi kronis dengan kerusakan progresif pada sendi. Pengobatan yang diberikan kepada pasien rheumatoid arthritis yaitu menggunakan obat modifikasi antirheumatic (DMARDs), obat ini harus diberikan dengan hati-hati karena berpotensi beracun. Perawatan yang dilakukan juga bersifat paliatif untuk kenyamanan pasien serta diberikan dukungan khusus kepada pasien dan merubah gaya hidup pasien (Touhy & Jett, 2014) 4. Gout Gout merupakan bagian dari penyakit radang sendi yang ditandai dengan adanya inflamasi pada sendi akibat akumulasi kristal asam urat (Touhy & Jett, 2014). Kadar asam urat dalam tubuh ditentukan dari keseimbangan antara produksinya baik melalui



asupan purin dalam diet atau produksi endogen dan ekskresi ginjal. Menurut Ragab et al (2017), gout merupakan penyakit sistemik yang dihasilkan dari pengendapan kristal Monosodium Urat (MSU) dalam jaringan. MSU dapat disimpan disemua jaringan terutama di dalam sendi yang nantinya akan membentuk tophi. Asam urat merupakan produk sampingan dari purin yang disintesis dari makanan yang dikonsumsi (Touhy & Jett, 2014). Purin merupakan salah satu komponen utama dalam asam nukleat di DNA atau RNA bersama pirimidin. Purin akan terkonversi menjadi asam urat yang normalnya dapat difiltrasi oleh ginjal dan dikeluarkan melalui urin. Asam urat memiliki kelarutan yang terbatas dalam cairan tubuh (Ragab et al, 2017). Namun, dalam kondisi patologis yaitu ketika terjadi kenaikan asam urat diatas 6,8 mg/dL, maka akan terjadi deposisi asam urat di jaringan. Asam urat tersebut akan kehilangan proton dan akan menjadi ion urat yang kemudian mengikat natrium dan berkembang menjadi kristal MSU (Ragab et al, 2017). Walaupun demikian, terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kelarutan asam urat dalam sendi seperti pH cairan sinovial, konsentrasi air, tingkat elektrolit, dan komponen sinovial lainnya seperti proteoglikan dan kolagen (Ragab et al, 2017). Adanya pengendapan kristal MSU akan menimbulkan manifestasi klinis pada penderita gout. Pada tahap akut, pengendapan kristal MSU dapat mengakibatkan nyeri akut, pembengkakan, dan hangat apabila disentuh dibagian sendi yang nyeri (Tabloski, 2014). Hal ini diakibatkan oleh proses inflamasi dari sel darah putih yang bermigrasi ke sendi untuk membantu menghilangkan MSU. Sementara, pada tahap kronik atau yang biasa disebut dengan gout thopaceous dimulai dari paling cepat 3 tahun atau paling lambat 40 tahun setelah serangan akut. Individu akan mengalami nyeri sendi yang persisten dan kaku sendi pada pagi hari (Tabloski, 2014). Hal ini dapat mengakibatkan sulitnya individu untuk menggerakan tangan dan kakinya sehingga, Ia akan menjadi sulit untuk melakukan mobilisasi. Pada lansia umumnya jarang terjadi serangan yang akut namun, gout akan terlihat sebagai manifestasi arthritis yang kronik dengan kumpulan tophi pada jari-jari kaki, jari-jari tangan, siku, dan lutut (Tabloski, 2014). Salah satu kondisi yang mengakibatkan terjadinya gout ialah hyperuricemia. Namun, Ragab et al (2017) mengungkapkan bahwa banyak individu yang menderita hyperuricemia tidak berlanjut menjadi gout atau membentuk kristal asam urat. Hanya 5% individu yang memiliki nilai asam urat diatas 9 mg/dL yang menderita gout (Ragab et al, 2017). Faktor predisposisi lain yang mengakibatkan gout ialah kelainan genetik metabolisme purin. Hal ini memberikan dampak pada produksi purin yang berlebih.



Pada pasien dengan kondisi kelainan genetik, mengurangi asupan makanan purin pun tidak mempengaruhi tingkat produksi asam urat (Ragab et al, 2017). Faktor lain yang berkontribusi pada gout ialah konsumsi alkohol, tekanan darah tinggi, diet tinggi purin, obesitas, gagal ginjal, dan medikasi seperti thiazid diuretic, aspirin, cyclosporine, dan ledovopa (Touhy & Jett, 2014) Pengkajian yang dapat digunakan pada gout ialah identifikasi kristal MSU melalui aspirasi cairan sinovial (Ragab et al, 2017). Cairan sinovial tersebut akan dilihat menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi. Sampel dapat bertahan selama 24 jam dalam penyimpanan pada suhu 4˚C, namun hal ini dapat memungkinkan hilangnya kristal. Sehingga, pemeriksaan sampel harus dilakukan sedini mungkin dan waktu terbaik ialah 6 jam setelah sampel diambil (Ragab et al, 2017). Analisis lebih lanjut mencakup jumlah leukosit, pada penderita gout akut, leukositik cairan sinovial dapat melebihi 50.000 sel/μL. Pengkajian lain juga dapat menggunakan urin 24 jam untuk mengidentifikasi hiperurisemia (Ragab et al, 2017). Adanya asam urat melebihi 800m/24 jam, dapat mengindikasikan gout. Selain itu, pengkajian lain juga dapat melalui Ultrasound, Conventional Radiography, dan Double Countour Sign (DCT).



E. Perubahan Gangguan pada Sistem Muskuloskeletal Lansia Lansia mengalami perubahan pada anatomi dan fisiologi tubuhnya, yang menyebabkan penurunan fungsi sistem tubuh. Fungsi mobilisasi manusia dihubungkan pada tiga hal yakni tulang, otot dan persendian yang juga didukung oleh sistem saraf (Yulia, 2013). a. Perubahan Fisiologis Tulang Sistem skeletal pada manusia tersusun dari 206 tulang termasuk dengan sendi yang menghubungkan antar keduanya. Kerangka yang dibentuk dari susunan tulang tersebut sangat kuat namun relatif ringan. Fungsi utama sistem skeletal ini adalah memberikan bentuk dan dukungan pada tubuh manusia. Selain itu, sistem ini juga berperan untuk melindungi tubuh, misalnya tulang tengkorak yang melindungi otak dan mata, tulang rusuk yang melindungi jantung, serta tulang belakang yang melindungi sumsum tulang belakang. Struktur pada kerangka ini juga terdapat tendon otot yang mendukung adanya pergerakan (Mauk, 2006). Tulang mencapai kematangan pada saat waktu dewasa awal tetapi terus melakukan remodeling sepanjang kehidupan. Menurut Colón, et al. (2018) secara



umum, perubahan fisiologis pada tulang lansia adalah kehilangan kandungan mineral tulang. keadaan tersebut bedampak pada meningkatnya risiko fraktur dan kejadian terjatuh. Selain itu, terjadi juga penurunan massa tulang atau disebut dengan osteopenia. Jika tidak ditangani segara osteopenia bisa berlanjut menjadi osteoporosis yang ditandai dengan karakteristik berkurangnya kepadatan tulang dan meningkatkan laju kehilangan tulang. Perubahan-perubahan lain yang terjadi menurut Miller (2012) antara lain: 1) Meningkatnya resorbsi tulang (misalnya, pemecahan tulang diperlukan untuk remodeling) 2) Arbsorbsi kalsium berkurang 3) Meningkatnya hormon serum paratiroid; 4) Gangguan regulasi dari aktivitas osteoblast; 5) Gangguan formasi tulang sekunder untuk mengurangi produksi osteoblastik dari matriks tulang; dan Menurunnya estrogen pada wanita dan testosterone pada lakilaki.



b. Perubahan Fisiologis Otot Selain tulang, otot yang dikontrol oleh neuron motorik secara langsung berdampak pada kehidupan sehari-hari. Perubahan fisilogis pada otot yang terjadi pada lansia disajikan dalam tabel berikut (Colón, et al., 2018). Perubahan



Efek Fungsional



Peningkatan variabilitas dalam ukuran Peningkatan heterogenitas jarak kapiler, serat otot



karena kapiler dapat hanya terletak di tepi serat



berdampak



negatif



terhadap



oksigenasi jaringan Kehilangan massa otot



Penurunan kekuatan dan tenaga



Serabut otot (fiber) tipe II menurun



Terjatuh



Infiltrasi lemak



Kerapuhan atau otot melemah



Secara keseluruhan akibat dari perubahan kondisi otot yang berhubungan dengan bertambahnya usia disebut sarkopenia. Sarkopenia adalah kehilangan masa, kekuatan dan ketahanan otot (Miller, 2012). Berikut penampang mikroskoping tulang dan otot dalam keadaan normal dan dalam kondisi patologis c. Perubahan pada Sendi dan Jaringan Ikat Proses degeneratif memengaruhi tendon, ligamen, cairan synovial. Perubahanperubahan yang terjadi pada sendi meliputi : Organ/Jaringan



Perubahan Fisiologis



Efek



Sendi



Menurunnya viskositas cairan Menurunnya synovial 



Erosi



perlindungan



ketika



bergerak (Miller, 2012). tulang



(Miller, Menghambat



pertumbuhan



tulang



(Miller, 2012).



2012). 



Mengecilnya kartilago







Degenerasi gen dan sel Penurunan



elastisitas,



fleksibilitas,



elastin.



stabilitas, dan imobilitas (Kurnianto,







Ligamen memendek



2015).







Fragmentasi



struktur



fibrosa di jaringan ikat. 



Pembentukan



jaringan



parut di kapsul sendi dan



jaringan



ikat



(Miller,



2012). Penurunan kapasitas gerakan, Gangguan fleksi dan ekstensi sehingga seperti: penurunan rentang kegiatan



sehari-hari



menjadi



gerak pada lengan atas, fleksi terhambat. punggung



bawah,



rotasi



eksternal pinggul, fleksi lutut, dan dorsofleksi kaki (Miller, 2012). Lansia yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi purin yang terlalu banyak juga akan menyebabkan hasil metabolisme asam urat menumpuk di persendian hingga bengkak dan terasa nyeri. Asam urat ini seharusnya dikeluarkan bersama urin dan feses namun ketika ginjal sudah mengalami penurunan fungsi, maka penumpukan asam urat akan bertambah parah (Mujahidullah, 2012). Komponen-komponen kapsul sendi pecah dan kolagen pada jaringan penyambung meningkat secara progresif (Stanley, et. al., 2007). Efek perubahan pada sendi ini adalah gangguan fleksi dan ekstensi, penurunan fleksibilitas struktur berserat, berkurang perlindungan dari kekuatan gerakan, erosi tulang, berkurangnya kemampuan jaringan ikat (Miller, 2012), inflamasi, nyeri, penurunan mobilitas sendi, dan deformitas (Stanley, et. al., 2007). d. Perubahan pada Saraf Proses degeneratif memengaruhi gerak refleks, sensasi, dan posisi sendi. Perubahan-perubahan yang terjadi pada saraf meliputi: Organ/Jaringan



Perubahan Fisiologis



Saraf







Penurunan



Efek gerakan  Berjalan lebih lambat.  Berkurangnya



refleks.  



respon



terhadap



Gangguan proprioception



rangsangan lingkungan (Miller,



terutama pada wanita.



2012).



Berkurangnya rasa sensasi getaran dan posisi sendi pada



ektremitas



bagian



bawah (Miller, 2012).



Perubahan kemampuan visual Perubahan pemeliharaan dalam posisi tegak Perubahan kontrol postural



Peningkatan goyangan tubuh yang merupakan tolak ukur dari gerakan tubuh saat berdiri (Miller, 2012).



F. Masalah Gangguan Muskuloskeletal pada Lansia 1. Osteoporosis Osteoporosis



merupakan



penyakit



skeletal



istemik



yang



ditandai



dengan berkurangnya kepadatan tulang dan kerusakan jaringan tulang yang berakibat pada menurunnya kekuatan tulang (Tabloski, 2014). Kekuatan tulang mencerminkan kepadatan dan kualitas tulang. Kepadatan tulang dipengaruhi oleh gram mineral yang terdapat di dalam tulang. Sementara, kualitas tulang dipengaruhi oleh mikroarsitektur tulang, bone turnover, dan akumulasi kerusakan pada tulang (Tabloski, 2014). Sehingga, apabila individu menderita osteoporosis dimana hal tersebut dapat menurunkan kekuatan tulangnya, maka individu tersebut akan memiliki risiko tinggi terjadinya fraktur atau patah tulang (Amelio & Isaia, 2015). Individu yang mengalami osteoporosis umumnya tidak menimbulkan tanda dan gejala apapun selain adanya patah tulang (Tabloski, 2014). Faktor risiko utama terjadinya osteoporosis adalah usia yang sering terjadi pada lansia, jenis kelamin yang sering terjadi pada wanita, ras kulit putih atau asia, riwayat keluarga yang memiliki osteoporosis, dan gaya hidup seperti aktivitas fisik yang kurang dan atau kurangnya konsumsi vitamin D (Tabloski, 2014). Osteoporosis dapat juga diakibatkan karna konsumsi alkohol berlebih, rokok, stress, dan penggunaan kortikosteroid jangka panjang. Wanita memiliki risiko tinggi terjadi osteoporosis. Hal ini diakibatkan oleh tulang pada wanita memiliki lebih sedikit massa tulang dibanding laki-laki, penurunan kadar estrogen saat menopause secara cepat mengakibatkan kerapuhan tulang secara cepat pula, dan wanita mungkin juga kehilangan massa tulang saat masa reproduksi atau laktasi (Tabloski, 2014). Selain itu, risiko tinggi osteoporosis terjadi pula pada lansia. Menurut Amelio & Isaia (2015), lansia memiliki risiko tinggi terjadinya osteoporosis diakibatkan oleh penuaan yang membuat berkurangnya massa tulang



melalui perubahan hormon dan disfungsi osteoblast terkait usia. Pada lansia perempuan, perubahan hormon terjadi saat setelah menopause yang mengakibatkan menurunnya kadar estrogen (Sihombing et al, 2012). Padahal, estrogen memiliki peran penting untuk remodelling tulang dan menghambat terjadinya resorpsi tulang oleh osteoblast sehingga, menghambat kerapuhan tulang (Sihombing et al, 2012). Sementara itu, pada lansia laki-laki terjadi juga perubahan hormon yaitu menurunnya kadar steroid seksual yang mengakibatkan peningkatan pada kortisol oleh kelenjar adrenal. Efek yang terjadi apabila terdapat peningkatan sekresi kortisol ialah akan terjadinya kelebihan hormon glukokortikoid. Hal ini akan memicu kerusakan tulang, karena hormon glukokortiokoid yang berlebih dapat mengganggu fungsi dari osteoblast (Amelio & Isaiya, 2015). Namun, walaupun begitu pada lansia dapat terjadi pula disfungsi dari osteoblast. Amelio dan Isaiya (2015) menjelaskan bahwa disfungsi osteoblast diakibatkan oleh menurunnya kemampuan sel mesenchymal stem untuk berdiferensiasi menjadi osteoblast. Kemampuan sel mesenchymal stem yang menurun merupakan efek dari penuaan yang terjadi pada lansia. Pengkajian untuk osteoporosis dapat diukur melalui kepadatan mineral tulang. Hal ini dikarenakan kekuatan tulang tidak dapat diukur secara langsung. Menurut Tabloski (2014) pengukuran kepadatan mineral tulang dapat memberikan informasi sebanyak 70% mengenai kekuatan tulang. Pengkajian ini dinamakan pengkajian densinometri tulang dengan menggunakan energi x-ray absorptiometry (DXA, DEXA) yang perhitungan scorenya dinamakan T-score (Miller, 2012). Jika nilai T-score berada di rentang -1 sampai -2,5 Standar Deviasi (SD) hal ini menandakan osteopenia. Namun, jika T-score lebih rendah dari -2,5 SD maka kondisi tersebut dinamakan osteoporosis (Miller, 2012). Pengkajian lain yang dapat perawat lakukan ialah assessment faktor risiko osteoporosis seperti gaya hidup, diet, dan aktivitas fisik (Miller, 2012). Penatalaksanaan pada lansia dengan osteoporosis dapat melalui terapi farmakologi dan non farmakologi. Pada terapi farmakologi dapat diberikan suplemen vitamin D untuk membantu menambahkan asupan kalsium. Namun, suplemen kalsium dapat memperburuk kondisi konstipasi pada lansia (Touhy & Jett, 2014). Oleh karena itu, perawat perlu memberikan cairan tambahan jika tidak ada kontraindikasi, atau pelunak feses. Terapi lain yang dapat diberikan ialah terapi Selective Estrogen Receptor Modulators (SERMs) yang merupakan pengganti terapi estrogen (Touhy & Jett, 2014). Hal ini dikarenakan terapi estrogen walaupun dapat meingkatkan massa tulang namun juga dapat meningkatkan risiko kanker payudara, kanker usus besar, dan



penyakit jantung. Pada terapi SERMs dinilai memiliki risiko kanker yang kecil. Terapi medis lain ialah kalsitonin yang berfungsi untuk memperlambat pengeroposan tulang dan meningkatkan mineral tulang pada wanita setelah menopause (Touhy & Jett, 2014). Terapi selanjutnya ialah nonfarmakologi diantaranya mengurangi konsumsi alkohol, kurangi konsumsi rokok, dan melakukan aktivitas fisik minimal 30 menit seperti berjalan, aerobik, menari (Touhy & Jett, 2014). Selain itu, lansia juga disarankan untuk diet tinggi kalsium dengan mengonsumsi dairy product, tofu, jus jeruk, roti, dan sayuran hijau. Bagi wanita yang di atas 50 tahun dan pria yang di atas 70 tahun, asupan kalsium yang disarankan setiap harinya ialah 1200 mg/day (Touhy & Jett, 2014). Perawat juga perlu melakukan edukasi kepada lansia terkait medikasi osteoporosis dan risiko jatuh. Perawat dapat memberikan informasi tentang penggunaan sepatu yang ukurannya sesuai, penggunaan handrails, menghindari berjalan di tempat yang kurang terang, dan menghindari mengangkat beban berat. Pada keluarga pun perawat dapat memberikan edukasi terkait home safety, pastikan karpet tidak longgar dan tidak ada kabel listrik (Touhy & Jett, 2014). 2. Arthritis Arthritis secara harfiah berarti peradangan sendi. Arthritis merupakan sekelompok kondisi yang mempengaruhi sendi. Kondisi ini menyebabkan kerusakan sendi, biasanya mengakibatkan rasa sakit dan kekakuan. Arthritis dapat mempengaruhi banyak bagian yang berbeda dari sendi dan hampir setiap sendi di dalam tubuh (Arthritis Care, 2016). Secara umum, arthritis dikenal dengan rematik. a. Osteoarthritis Osteoarthritis merupakan penyakit radang degenerative yang menyerang sendi dan otot, tendon dan ligament yang melekat, hal ini ditandai dengan rasa sakit, bengkak dan gerakan terbatas di persendian (Touhy & Jett, 2014). Faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya osteoarthritis yaitu penambahan usia, obesitas, riwayat keluarga, dan memiliki trauma sendi. Osteoarthritis terjadi dimana lapisan kartilago normal yang lembut dan ulet menjadi tipis dan rusak, berlubang, kasar dan rapuh. Hal ini menyebabkan ruang sendi menyempit dan akhirnya tulang-tulang sendi bergesekan, menyebabkan kerusakan, rasa sakit, bengkak dan kesulitan bergerak. Tulang dibawah kartilago menebal dan melebar keluar. Dalam beberapa kasus, osteofit dapat terbentuk di tepi luar sendi, dan menyebabkan sendi terlihat menonjol. Membran sinoval dan kapsul sendi menebal, dan ruang sendi menyempit



yang dapat menyebabkan peningkatakan jumlah cairan dalam sendi dan dapat membengkak (Arthritis Care, 2016). Sendi-sendi yang sering terkena osteoarthritis yaitu tangan, lutut, pinggul, kaki dan tulang belakang. Kekakuan yang terjadi pada masalah ini biasanya akan hilang dengan aktivitas, dan pada saat yang sama aktivitas dapat menyebabkan rasa sakit yang hilang dengan istirahat. Kekakuan yang paling tinggi terjadi pada pagi hari, karena tidak digunakan selama tidur dan bisa diselesaikan selama 30 menit. Ketika gangguan ini sedang berkembang, maka akan muncul sakit saat istirahat dan melibatkan banyak sendi atau mungkin akan terjadi ketidakstabilan dan krepitasi yang dapat dirasakan dan merupakan indikasi kerusakan sendi (Touhy & Jett, 2014). Osteoarthritis tidak bisa disembuhkan, kecuali dengan penggantian sambungan (artroplasi). Kebanyakan perawatan yang dilakukan hanya paliatif yang ditujukan untuk kenyamanan. Beberapa intervensi pengobatan yang dilakukan yaitu bertujuan untuk meminimalkan efek dari radang sendi dan untuk mengurangi gejala, terutama rasa sakit. Banyak obat yang digunakan untuk membantu mengelola nyeri sendi seperti analgesic, obat anti-inflamasi non-steroid, steroid. Selain menggunakan obat-obatan, ada beberapa cara yang sering digunakan untuk mengurangi rasa sakit yaitu dengan teknik relaksasi, memijat, olahraga juga dapat membantu meredakan rasa tidak nyaman dan rasa sakit bagibanyak orang (Touhy & Jett, 2014). b. Rheumatoid Arthritis Rheumatoid arthritis yaitu penyakit autoimun yang disebabkan karena inflamasi sendi pada sendi (Arthritis Research UK, 2014). Ganguan ini merupakan gangguan sistemik dan kronis. Diperkirakan gangguan ini terjadi ketika tubuh menciptakan peradangan pada persendiannya sendiri yang tidak di perlukan dan bersifat merusak dirinya sendiri. Hal ini terjadi pada selaput synovial tipis yang melapisi kapsul sendi, selubung tendon dan bursae menjadi meradang. Sendi yang meradang kemudian menjadi kaku, nyeri dan bengkak. Pasien biasanya akan merasa lelah atau mengalami kekakuan di pagi hari melebihi osteoarthritis. Rasa sakit yang diderita oleh pasien rheumatoid arthritis karena dua hal yaitu ujung saraf yang teriritasi oleh bahan kimia yang dihasilkan oleh peradangan dan kapsul sendi meregang karena pembengkakan. Ketika inflamasi berkurang, kapsul sendi tetap meregang dan tidak bisa kembali ke posisi awal, hal ini disebabkan karena sendi menjadi tidak stabil dan dapat menyebabkan posisi yang salah. Faktor resiko yang



dapat menyebabkan rheumatoid arthritis yaitu faktor genetik, lingkungan dan gaya hidup. Karena gangguan ini merupakan gangguan autoimun, sesuatu yang bermasalah yaitu sistem imun. Penurunan sistem imun juga dapat menjadi faktor risiko terjadinya rheumatoid arthritis, gaya hidup seperti merokok, banyak konsumsi daging merah dan kopi juga menjadi salah satu faktor risiko (Arthritis Research UK, 2014). Gejala yang sering muncul pada pasien ini yaitu kekakuan sendi dan nyeri, lelah, depresi, anemia, merasa panas dan berkeringat, malaise dan demam yang sesekali tidak di rasakan. Gangguan ini dapat terjadi secara bertahap selama beberapa bulan, tahun atau bisa menjadi kondisi kronis dengan kerusakan progresif pada sendi. Pengobatan yang diberikan kepada pasien rheumatoid arthritis yaitu menggunakan obat modifikasi antirheumatic (DMARDs), obat ini harus diberikan dengan hati-hati karena berpotensi beracun. Perawatan yang dilakukan juga bersifat paliatif untuk kenyamanan pasien serta diberikan dukungan khusus kepada pasien dan merubah gaya hidup pasien (Touhy & Jett, 2014). c. Gout Gout merupakan bagian dari penyakit radang sendi yang ditandai dengan adanya inflamasi pada sendi akibat akumulasi kristal asam urat (Touhy & Jett, 2014).



Kadar



asam



urat



dalam



tubuh



ditentukan



dari



keseimbangan



antara produksinya baik melalui asupan purin dalam diet atau produksi endogen dan ekskresi ginjal. Menurut Ragab et al (2017), gout merupakan penyakit sistemik yang



dihasilkan



dari



pengendapan



kristal



Monosodium



Urat



(MSU)



dalam jaringan. Asam urat merupakan produk sampingan dari purin yang disintesis dari makanan yang dikonsumsi (Touhy & Jett, 2014). Purin merupakan salah satu komponen utama dalam asam nukleat di DNA atau RNA bersama pirimidin. Purin akan terkonversi menjadi asam urat yang normalnya dapat difiltrasi oleh ginjal dan dikeluarkan melalui urin. Asam urat memiliki kelarutan yang terbatas dalam cairan tubuh (Ragab et al, 2017). Namun, dalam kondisi patologis yaitu ketika terjadi kenaikan asam urat diatas 6,8 mg/dL, maka akan terjadi deposisi asam urat di jaringan. Asam urat tersebut akan kehilangan proton dan akan menjadi ion urat yang kemudian mengikat natrium dan berkembang menjadi kristal MSU (Ragab et al, 2017). Walaupun demikian, terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kelarutan asam urat dalam sendi seperti pH cairan sinovial, konsentrasi air, tingkat elektrolit, dan komponen sinovial lainnya seperti proteoglikan dan kolagen (Ragab et al, 2017). Adanya pengendapan kristal MSU akan menimbulkan manifestasi



klinis pada penderita gout. Pada tahap akut, pengendapan kristal MSU dapat mengakibatkan nyeri akut, pembengkakan, dan hangat apabila disentuh dibagian sendi yang nyeri (Tabloski, 2014). Hal ini diakibatkan oleh proses inflamasi dari sel darah putih yang bermigrasi ke sendi untuk membantu menghilangkan MSU. Sementara, pada tahap kronik atau yang biasa disebut dengan gout thopaceous dimulai dari paling cepat 3 tahun atau paling lambat 40 tahun setelah serangan akut. Individu akan mengalami nyeri sendi yang persisten dan kaku sendi pada pagi hari (Tabloski, 2014). Hal ini dapat mengakibatkan sulitnya individu untuk menggerakan tangan dan kakinya sehingga, Ia akan menjadi sulit untuk melakukan mobilisasi. Faktor predisposisi lain yang mengakibatkan gout ialah kelainan genetik metabolisme purin. Hal ini memberikan dampak pada produksi purin yang berlebih. Pada pasien dengan kondisi kelainan genetik, mengurangi asupan makanan purin pun tidak mempengaruhi tingkat produksi asam urat (Ragab et al, 2017). Faktor lain yang berkontribusi pada gout ialah konsumsi alkohol, tekanan darah tinggi, diet tinggi purin, obesitas, gagal ginjal, dan medikasi seperti thiazid diuretic, aspirin, cyclosporine, dan ledovopa (Touhy & Jett, 2014). Pengkajian yang dapat digunakan pada gout ialah identifikasi kristal MSU melalui aspirasi cairan sinovial (Ragab et al, 2017). Cairan sinovial tersebut akan dilihat menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi. Sampel dapat bertahan selama 24 jam dalam penyimpanan pada suhu 4˚C, namun hal ini dapat memungkinkan hilangnya kristal. Sehingga, pemeriksaan sampel harus dilakukan sedini mungkin dan waktu terbaik ialah 6 jam setelah sampel diambil (Ragab et al, 2017). Analisis lebih lanjut mencakup jumlah leukosit, pada penderita gout akut, leukositik cairan sinovial dapat melebihi 50.000 sel/μL. Pengkajian lain juga dapat menggunakan urin 24 jam untuk mengidentifikasi hiperurisemia (Ragab et al, 2017). Adanya asam urat melebihi 800m/24 jam, dapat mengindikasikan gout. Selain itu, pengkajian lain juga dapat melalui Ultrasound, Conventional Radiography, dan Double Countour Sign (DCT). Penatalaksanaan medis untuk gout bertujuan untuk mencegah serangan, mencegah penyebaran penyakit, dan mencegah perkembangan gout menjadi kronis. Obat-obatan yang diberikan untuk menurunkan produksi asam urat misalnya allopurinol, colchicine (Touhy & Jett, 2014). Dapat juga diberikan obat untuk meningkatkan ekskresi asam urat itu sendiri misalnya probenecid. Peran perawat untuk pengobatan individu dengan gout ialah memastikan intake cairan adekuat yaitu 2L/hari (jika tidak ada kontraindikasi) agar



asam urat dapat di ekskresi melalui ginjal (Touhy & Jett, 2014). Perawat juga perlu memberikan 15 edukasi terkait efek samping obat, tidak terjadi serangan berulang dengan edukasi untuk menghindari makanan yang dapat meningkatkan asam urat seperti jeroan, daging merah, sarden, jamur, kacang-kacangan, dan kerang (Touhy & Jett, 2014).



G. Pemeriksaan Penunjang pada Gangguan Muskuloskeletal 1. Sinar – X Menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, erosi dan perubahan hubungan tulang. Sinar-X multipel diperlukan untuk pengkajian paripurna struktur yang sedang diperiksa. Sinar-X korteks tulang dapat menunjukkan adanya pelebaran, penyempitan dan tanda iregularitas. Sinar – X sendi dapat menunjukkan adanya cairan, iregularitas, penyempitan, dan perubahan struktur sendi 2. CT Scan (Computed Tomografi Scan) Menunjukkan rincian bidang tertentu dan dapat memperlihatkan tumor jaringan lunak atau cedera ligamen atau tendon. CT Scan digunakan untuk mengindentifikasi lokasi dan panjangnya patah tulang di daerah yang sulit dievaluasi, seperti asetabulum. Pemeriksaan dilakukan bisa dengan atau tanpa kontras dan berlangsung sekitar satu jam. 3. MRI (Magnetic Resonance Imaging) Teknik pencitraan khusus, non invasif yang menggunakan medan magnet, gelombang radio, dan komputer untuk memperlihatkan abnormalitas, misal tumor atau penyempitan jaringan lunak. Klien yang mengenakan implant logam atau pacemaker tidak bisa menjalani pemeriksaan ini. Perhiasaan harus dilepas, klien yang klaustrofobia biasanya tidak mampu menghadapi ruangan tertutup tanpa penenang. 4. Angiografi Pemeriksaan sisitem arteri. Suatu bahan kontras radiopaque diinjeksikan ke dalam arteri tertentu, dan diambil foto sinar-X serial sistem arteri yang dipasok oleh arteri tersebut. Pemeriksaan ini sangat baik untuk mengkaji perfusi arteri dan bisa digunakan untuk indikasi tindakan amputasi yang akan dilaksanakan. Perawatan setelah dilakukan prosedur yaitu klien dibiarkan berbaring selama 12-24 jam untuk mencegah perdarahan pada tempat penusukan untuk melihat adanya pembengkakan, perdarahan dan



hematoma serta nya pantau ekstremitas bagian distalnya untuk menilai apakah sirkulasinya adekuat. 5. Digital Substraction Angiography (DSA) Menggunakan teknologi komputer untuk menggambarkan sistem arteri melalui kateter vena. Sedangkan, venogram adalah pemeriksaan sistem vena yang sering digunakan untuk mendeteksi adanya trombosis vena dalam 6. Mielografi Suatu pemeriksaan dengan menyuntikkan bahan kontras ke dalam rongga subarakhnoid spinalis lumbal, dilakukan untuk melihat adanya herniasi diskus, stenosis spinal (penyempitan kanalis spinalis) atau adanya tumor. Sementara, diskografi adalah pemeriksaan diskus vertebralis dengan menyuntikkan bahan kontras ke dalam diskus dan dilihat distribusinya 7. Arthrografi Penyuntikkan bahan radiopaque atau udara ke dalam rongga sendi untuk melihat struktur jaringan lunak dan kontur sendi. Sendi diletakkan dalam kisaran pergerakannya sementara diambil gambar sinar-X serial. Pemeriksaan ini sangat berguna untukmengidentifikasi adanya robekan akut atau kronik kapsul sendi atau ligamen penyangga lutut, bahu, tumit, pinggul dan pergelangan tangan. Bila terdapat robekan bahan kontras akan mengalami kebocoran keluar sendi dan akan terlihat dengan sinar-X.



H. Penatalaksanaan Muskuloskeletal pada Lansia 1. Farmakologi a. Penderita



lanjut



usia



dengan



fraktur



osteoporosis



terutama



bila



akibat



jatuh,memerlukan asesmen bertingkat,antara lain: 1) Asesmen mengenai sebab jatuh ,apa yang menyebabkannya apakah akibat factor lingkungan,gangguan intra-atau ekstra serebral dan lain sebagainya. 2) Asesmen mengenai osteoporosisnya ,primer atu sekunder,manisfestasi di tempat lain. 3) Asesmen mengenai frakturnya .Operabel atau tidak ,kalau operable harus dilakukan dengan pendekatan pada dokter bedah .Setelah dilakukan operasi,tindakan



rehabilitasi yang baik disertai pemberian obat untuk upaya perbaikan osteoporosis bisa dikerjakan. Obat-obatan. Yang membantu pembentukan tulang (steroid anabolic, flourida). Yang mengurangi perusakan tulang (estrogen, kalsium, dofosfonat, kalsitonin). b. Osteomalasia adalah suatu penyakit tulang metabolic yang ditandai dengan terjadinya kekurangan kalsifikasi matriks tulang yang normal. Terapi osteomalasia adalah pemberian vitamin D yang dapat diberikan peroral 3atau perenteral atau dengan meningkatkan produksi vitamin D dengan penyinaran UV. Panderita usia lamjtu sering kali mengkonsumsi diet yang kandungan kalsiumnya rendah, oleh karena itu pada penderita inin pada penderita ini sebaiknya diberikan terapai berupa tablet kalsium yang mengandung vitamin D atau kalsiferol oral atau perenterla 1000-1500 unit perhari. Untuk menghilangkan nyeri dengan menggunakan agens anti inflamasi, obat yang dapat dipilih adalah aspirin. Namun, efek antiinflamasi dari aspirin tidak terlihat pada dosis kurang dari 12 tablet per hari, yang dapat menyebabkan gejala siste,mgastrointestinal dan system saraf pusat. Obat anti inflamasi non-steroid sangat bermanfaat, tetapi dianjurkan untuk menggunakan dosis yang direkomendasikan oleh pasbrik dan pemantauan efek samping secara hati- hati perlu dilakukan. Terrapin kortikosteroid yang diinjeksikan melalui sendi mungkin digunakan untuk infeksi di dalam satu atau dua sendi. Injeksi secara cepat dihubungkan dengan nekrosisi dan penurunan kekuatan tulang. Biasanya injeksi yang diberikan ke dalam sendi apapun tidak boleh diulangi lebih dari tiga kali. Rasa nyeri dan pembengkakan umumnya hilang untuk waktu 1 sampai 6 minggu. c. Banyak faktor yang dipertimbangkan dalam memberi obat untuk pasien OA (Osteoarthritis) • Intensitas rasa sakit • Efek samping yang potensial dari obat. • Penyakit penyerta Pasien harus memakai obat secara hati-hati dan menceriterakan semua perubahan yang terjadi pada dokter. Obat-obat dibawah ini yang sering dipakai 1) Parasetamol







ACR (American College of Rheumatology) merekomendasikan parasetamol sebagai obat pertama dalam penatalaksanaan nyeri, karena relatif aman, efikasi, dan harga murah dibanding NSAID.







Penghilang rasa sakit setara dengan aspirin, naproksen, ibuprofen, dan beberapa NSAID bagi beberapa pasien dengan OA. Walau demikian ada beberapa pasien mempunyai respons lebih baik dengan NSAID2







Tidak mengurangi peradangan







Tidak mengiritasi lambung, relatif lebih aman, harga lebih murah







Peringatan: pasien dengan penyakit hati, peminum berat alkohol, dan yang minum antikoagulan atau NSAID harus hati-hati minum parasetamol3







Drug of choice bagi pasien dengan masalah ginjal



Farmakologi dan mekanisme kerja parasetamol, yaitu bekerja pada susunan saraf pusat (SSP) untuk menghambat sintesa prostaglandin, (yang berfungsi meningkatkan sensasi rasa nyeri). Dengan cara memblok kerja siklooksigenase pusat. Parasetamol oral diabsorpsi, mencapai konsentrasi puncak 1-2 jam, diaktivasi di hati dengan cara konjugasi dengan sulfat atau glukoronid, dan metabolitnya diekskresi lewat ginjal. Efikasi Parasetamol, penurun rasa sakit ringan sampai sedang, 2,6-4g/hari setara dengan aspirin 650mg empat kali sehari, ibuprofen 1200-2400mg/hari, naproksen 750mg/hari, seperti halnya NSAID lain. Efek yang merugikan (Adverse Effect) Parasetamol walaupun aman, tetap ada risiko, terutama bagi individu yang mempunyai risiko sakit hati atau pemakaian overdosis atau konsumsi alkohol, akan menimbulkan hepatoksisitas, kemungkinan dapat terjadi sampai fatal. Kemungkinan juga pada pemakaian jangka panjang akan mengganggu ginjal. Interaksi Obat-Obat 10 Interaksi dengan obat-obat di bawah ini dapat meningkatkan risiko hepatoksisitas o Barbiturat, Hidantoin, INH, Karbamazepin, Rifampisin • Memperpanjang waktu paruh warfarin, pantau kadar waktu protrombin . Pemakaian jangka panjang dengan dosis maksimal parasetamol pada pasien dalam pengobatan warfarin dapat meningkatkan efek antikoagulan dari warfarin, sebab itu membutuhkan pengawasan melekat.



2) NSAID (Non Steroidal Anti Inflammatory Drug) Dari penelitian tidak ditemukan ranking efikasi. Dokter menyadari pasien akan memilih berdasarkan pengalaman pribadinya. NSAID adalah suatu kelas obat yang dapat menekan inflamasi melalui inhibisi enzim cyclooxygenase (COX). Efek penting dalam mengurangi rasa



sakit. NSAID memberikan rasa nyaman bagi banyak orang dengan masalah persendian kronis, tetapi juga menimbulkan masalah penyakit gastrointestinal yang serius. Contoh NSAID NSAID Nonselective 1. Aspirin Obat bebas 2. Ibuprofen Obat bebas 3. Diklofenak 4. Naproksen 5. Sulindak 6. Ketoptofen 7. Indometasin 8. Tolmetin 9. Piroksikam 10. Selective 11. Celecoxib 12. Valdecoxib Bagaimana meminimalkan resiko, yaitu hanya dipakai bila memang dibutuhkan 1) ACR (American College of Rheumatology) merekomendasikan untuk mulai dengan parasetamol 2) Bila tidak ada perbaikan, dicoba exercise (sesuai anjuran dokter), fisioterapis, kemungkinan dapat menghindarkan dari obat 3) Pilihan terakhir memakai NSAID . Waspada resiko individual 1) Secara statistik wanita, manula, yang paling beresiko minum NSAID 2) Resiko bertambah dengan lama pengobatan, dosis, dan pemakaian bersamaan steroid , adanya penyakit gastrointestinal sebelumnya. Pakai dosis efektif terendah 1) Pakai dosis terendah dan hanya selama dibutuhkan saja. 2) Menurut penelitian, ibuprofen, diklofenak, naproksen termasuk yang paling aman. Tetai masih banyak laporan yang bertentangan.



Sembuhkan atau cegah tukak. 1) Ada kecenderungan untuk memakai berbagai anti-ulcer bersama dengan NSAID terutama bagi yang beresiko a) H2 blocking drugs (ranitidine) b) Prostaglandin (misoprostol) c) Proton Pump Inhibitor / PPI (omeprazol) 2) Bila ada tukak harus disembuhkan. Hal yang harus diperhatikan pada pemakaian NSAID o Semua NSAID bekerja sebagai penghilang rasa sakit dalam dosis rendah, dan menghilangkan peradangan dalam dosis tinggi2 o Pemakaian NSAID memerlukan kewaspadaan bagi pasien yang sedang minum anti koagulan, kortikosteroid, 3 mempunyai riwayat penyakit lambung, gagal jantung, hipertensi, asma, gagal ginjal, sirosis hati, manula >=653 o Misoprostol dapat diberikan untuk mengurangi masalah saluran pencernaan o COX-2 inhibitor : Pemakaian harus mempertimbangkan adanya risiko terjadinya kardiovaskular trombotik, termasuk non-fatal miokardial infark dan non-fatal stroke terutama bila dipakai dalam dosis tinggi. Farmakologi dan Mekanisme Kerja Prinsip mekanisme NSAID sebagai analgetik adalah blokade sintesa prostaglandin melalui hambatan cyclooxcigenase (Enzim COX-1 dan COX-2), dengan mengganggu lingkaran cyclooxygenase12 Enzim COX-1 adalah enzim yang terlibat dalam produksi prostaglandin gastroprotective untuk mendorong aliran darah di gastrik dan menghasilkan bikarbonat. COX-1 berada secara terus menerus di mukosa gastrik, sel vaskular endotelial, platelets, renal collecting tubules, sehingga prostaglandin hasil dari COX-1 juga berpartisipasi dalam hemostasis dan aliran darah di ginjal. 2 Sebaliknya enzim COX-2 tidak selalu ada di dalam jaringan, tetapi akan cepat muncul bila dirangsang oleh mediator inflamasi, cedera/luka setempat, sitokin, interleukin, interferon dan tumor necrosing factor. Blokade COX-1 (terjadi dengan NSAID nonspesifik) tidak diharapkan karena mengakibatkan tukak lambung dan meningkatnya risiko pendarahan karena adanya hambatan agregasi platelet. Hambatan dari COX-2 spesifik dinilai sesuai dengan kebutuhan karena tidak memiliki sifat di atas, hanya mempunyai efek antiinflamasi dan analgesik.



2. Non Farmakologi a. Penatalaksanaan osteoporosisnya : 1) Tindakan diebetik:diet tinggi kalsium (sayur hijau,dan lain-lain). Terapi ini lebih bermanfaat sebagai tindakan pencegahan. 2) Olahraga. Yang terbaik adalah yang bersifat mendukung beban (weight bearing), misalnya jogging, berjalan cepat, dll. Lebih baik dilakukan di bawah sinar matahari pagi karena membantu pembuatan vitamin D. b. Pada osteomalasia penatalaksanaan keperawatan menekankan pemahaman klien tentang sifat AR kronis dan kelompok serta tahap-tahap yang berbeda untuk memantau perkembangan penyakit. Klien harus ingat bahwa walaupunpengobatan mungkin mengurangi radang dan nyeri sendi, mereka harus pula mempertahankan peregerakan dan kekuatan untuk mencegah deformitas sendi. Suatu origram aktivitas dan istirahat yang seimbang sangat penting untuk mencegah peningkatan tekanan pada sendi. c. Pengaruh Pemberian Kompres Serai Hangat Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri Arthritis Remathoid Di Desa Mojoranu Kecamatan Dander Kabupaten Bojonegoro , didapatkan hasil nyeri sendi sebelum dikompres serai ρ=0,048 dan nyeri sendi setelah diberikan kompres serai ρ=0,031 yang berarti lebih kecil dari tingkat kemaknaan ρ