Makalah Pemanenan Hutan - Kel 4 - A [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

i



KAJIAN ANALISIS PENERAPAN SISTEM SILVIKULTUR INTENSIF/TPTII (TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF) PADA KEGIATAN PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM INDONESIA



MAKALAH



OLEH : KELOMPOK IV



Nama



NIM



Murni Tiovani Silalahi



203010404009



Astir Friski Dachi



203010404010



Reky



203010404015



Renata Pebriani Rajagukguk



203010404016



Roberto Carlos Silalahi



203020404036



Larasati Aulia Eka Putri



203020404037



Claudio Yohaim Nazario



203020404047



Valentinus Bonavito Desta



203020404048



UNIVERSITAS PALANGKA RAYA FAKULTAS PERTANIAN JURUSAN KLEHUTANAN 2022



i



ii



KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan yang maha esa atas segala bimbingan dan rahmat-nyalah sehingga makalah berjudul “Kajian Analisis Penerapan Sistem Silvikultur Intensif/TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif) Pada Kegiatan Pemanenan Kayu di Hutan Alam Indonesia” sebagai salah satu tugas dari mata kuliah Pemanenan Hutan ini dapat penulis selesaikan dengan baik dan beberapa pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini sehingga dapat tersusun dengan semestinya. Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan lanjutan. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.



Palangka Raya, Maret 2022



Penulis



ii



iii



DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii DAFTAR ISI .................................................................................................... iii DAFTAR TABEL ............................................................................................ iv DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ v DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... vi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1 1.2 Tujuan................................................................................................. 2 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Defenisi Hutan .................................................................................... 3 2.2 Hutan Hujan Tropis............................................................................. 4 2.3 Pemanenan Hutan.............................................................................. 5 2.4 Sistem Silvikultur ................................................................................ 8 2.4.1 Dasar Pertimbangan Pemilihan Sistem Silvikultur................... 9 2.4.2 Macam-macam Sistem Silvikultur ............................................ 10 2.5 Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) .................................. 14 2.5.1 Pengertian Sistem Dasar TPTII ............................................... 14 2.5.2 Tahapan Kegiatan Sistem TPTII .............................................. 15 2.5.3 Evaluasi Sistem TPTII .............................................................. 17 III. PEMBAHASAN 3.1 Keunggulan Sistem Silvikultur TPTII .................................................. 21 3.2 Konsep Sistem Silvikultur TPTII ......................................................... 21 3.3 Implementasi Sistem Silvikultur TPTII ............................................... 22 3.4 Dampak Perlakuan Sistem Silvikultur Terhadap Vegetasi Di Hutan Alam Tropika ...................................................................................... 27 3.5 Komposisi dan Struktur Tegakan Areal IUPHHK-HA PT. Erna Djuliawati Kalimantan Tengah ............................................................ 29 3.5.1 Komposisi Jenis ........................................................................ 29 3.5.2 Struktur Tegakan ....................................................................... 31 IV. PENUTUP 4.1 Kesimpulan ........................................................................................ 34 4.2 Saran ................................................................................................. 34 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN iii



iv



DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Tahapan Kegiatan Sistem TPTII ....................................................... 16 Tabel 2. Jumlah jenis yang ditemukan pada kondisi hutan primer dan LOA TPTII dua tahun berdasarkan tingkat pohon dan permudaan ........................................................................................ 30



iv



v



DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Hutan Hujan Tropis ....................................................................... 4 Gambar 2. Struktur tegakan pada kondisi Hutan Primer ................................ 32 Gambar 3. Struktur tegakan pada kondisi Hutan Bekas Tebang (LOA) dengan Teknik Silvikultur TPTII .................................................... 32



v



vi



DAFTAR LAMPIRAN Halaman Dokumentasi Pembagian Tugas Via daring.................................................... 38



vi



I. PENDAHULUAN



1.1. Latar Belakang Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan (Soerianegara & Indrawan, 1998). Sebagai salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable), hutan tetap harus dijaga dan dikelola dengan baik berdasarkan pada tiga prinsip dasar kelestarian hutan, yaitu kelestarian ekologi, kelestarian ekonomi, dan kelestarian sosial. Hutan sebagai suatu ekosistem alam memiliki fungsi dan manfaat yang berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan manusia, baik itu secara ekologis, ekonomis, maupun sosial. Namun dalam beberapa dekade belakangan ini, hutan di Indonesia telah mengalami degradasi akibat illegal logging, perladangan, illegal mining, serta kebakaran hutan. Eksploitasi yang berlebihan terhadap hasil hutan berupa kayu yang tidak diikuti dengan kegiatan penanaman kembali juga menjadi salah satu penyebab cepatnya hutan di Indonesia mengalami degradasi. Indrawan (2008) menyebutkan bahwa sejarah eksploitasi hutan alam primer di Indonesia dimulai sejak lahirnya Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan, Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, dan Undang-Undang No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Lahirnya peraturan dan undang-undang tersebut memberikan kesempatan kepada pihak pengusaha untuk mengusahakan hutan alam menjadi hutan produksi untuk dapat memenuhi permintaan akan bahan baku kayu gergajian dan kayu lapis yang cukup tinggi. Untuk tetap menjaga dan mendorong tercapainya hutan yang mampu menjalankan fungsinya secara ekonomis dan ekologis, maka diperlukan suatu sistem dalam pengelolaan hutan alam produksi. Dalam hal ini, Departemen Kehutanan mengembangkan sekaligus menerapkan suatu sistem dan teknik silvikultur yang wajib dilaksanakan oleh para perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana dari pengelolaan hutan yang meliputi penebangan, peremajaan, dan pemeliharaan tegakan hutan



2



guna menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya (Sutisna, 2001). Sedangkan teknik silvikultur adalah penggunaan teknik-teknik atau perlakuan terhadap hutan untuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitas hutan (Elias, 2009). Teknik silvikultur menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. P.11/Menhut-II/2009 antara lain berupa pemilihan jenis unggul, pemuliaan pohon, penyediaan bibit, manipulasi lingkungan, penanaman, dan pemeliharaan. Salah satu sistem silvikultur yang diterapkan di Indonesia adalah Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII). TPTII merupakan teknik silvikultur yang merupakan pengembangan dari sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dan Penanaman Pengayaan (enrichment planting) dari sistem TPTI. Penebangan dilakukan dengan limit diameter 40 cm. Pada Logged Over Area (LOA) hasil dari tebang persiapan dilakukan tebang jalur bersih selebar 3 (tiga) meter dan jalur kotor yang ditinggalkan berupa vegetasi LOA hasil tebang persiapan dengan lebar 17 m. Pada poros jalur bersih dilakukan penanaman pengayaan dengan jenis-jenis unggulan dengan jarak tanam 2,5 m sehingga jarak tanam menjadi 20 x 2,5 m2 (Indrawan, 2008).



1.2. Tujuan Mengkaji dan menganalisis Penerapan Sistem Silvikultur Intensif/TPTII (Tebang Pilih Tanaman Indonesia Intensif) Pada Kegiatan Pemanenan Kayu Di Hutan Alam Indonesia



3



II. TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Defenisi Hutan Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalamPasal 1 Ayat (1) Undang-undang



Nomor



41



Tahun



1999



tentang



Kehutanan.



Menurut



Undangundang tersebut, Hutan adalah suatu kesatuan ekosistemberupa hamparan lahan berisi sumberdaya alamhayati yang didominasi pepohonan dalampersekutuan alamlingkungan, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Dari definisi hutan yang disebutkan, terdapat unsur-unsur yang meliputi : a. Suatu kesatuan ekosistem b. Berupa hamparan lahan c. Berisi sumberdaya alamhayati beserta alamlingkungannya yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. d. Mampu memberi manfaat secara lestari. Keempat ciri pokok dimiliki suatu wilayah yang dinamakan hutan, merupakan rangkaian kesatuan komponen yang utuh dan saling ketergantungan terhadap fungsi



ekosistemdi



bumi.



Eksistensi



hutan



sebagai



subekosistemglobal



menenpatikan posisi penting sebagai paru-paru dunia (Zain, 1996). Sedangkan kawasan hutan lebih lanjut dijabarkan dalamKeputusan Menteri Kehutanan No. 70/ Kpts-I I / 2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, perubahan status dan fungsi kawasan hutan, yaitu wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Dari definisi dan penjelasan tentang kawasan hutan, terdapat unsur-unsur meliputi : a. suatu wilayah tertentu b. terdapat hutan atau tidak tidak terdapat hutan c. ditetapkan pemerintah (menteri) sebagai kawasan hutan d. didasarkan pada kebutuhan serta kepentingan masyarakat. Dari unsur pokok yang terkandung di dalamdefinisi kawasan hutan, dijadikan dasar pertimbangan ditetapkannya wilayah-wilayah tertentu sebagai kawasan hutan. Kemudian, untuk menjamin diperolehnya manfaat yang sebesar-besarnya dari hutan dan berdasarkan kebutuhan sosial ekonomi masyarakat serta berbagai faktor pertimbangan fisik, hidrologi dan ekosistem, maka luas wilayah yang minimal harus dipertahankan sebagai kawasan hutan adalah 30 % dari luas daratan.



4



Berdasarkan kriteria pertimbangan pentingnya kawasan hutan, maka sesuai dengan peruntukannya menteri menetapkan kawasan hutan menjadi : a. wilayah yang berhutan yang perlu dipertahankan sebagai hutan tetap b. wilayah tidak berhutan yang perlu dihutankan kembali dan dipertahankan sebagai hutan tetap. Pembagian kawasan hutan berdasarkan fungsi-fungsinya dengan kriteria dan pertimbangan tertentu, ditetapkan dalamPeraturan Pemerintah RI No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan Pasal 5 ayat (2), sebagai berikut : a. Kawasan Hutan Konservasi yang terdiri dari kawasan suaka alam(cagar alamdan Suaka Margasatwa), Kawasan Pelestarian Alam(Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam), dan Taman Buru. b. Hutan Lindung c. Hutan Produksi 2.2 Hutan Hujan Tropis



Gambar 1. Hutan Hujan Tropis Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang telah menutupi banyak lahan yang terletak pada 10o LU dan 10o LS (Vickery, 1984). Menurut Ewusie (1980), ekosistem hutan hujan tropis terbentuk oleh vegetasi klimaks pada daerah dengan curah hujan berlimpah, sekitar 2000-4000 mm per tahun. Temperatur rata-rata berkisar atas 25-26 oC dengan kelembaban udara ratarata sekitar 80%. Mulyana et al. (2005) mendefinisikan hutan hujan tropis sebagai hutan yang selalu hijau, tidak pernah menggugurkan daun, tinggi 30 m (biasanya jauh lebih tinggi), bersifat higrofil, serta banyak terdapat liana berbatang tebal dan epifit berkayu maupun bersifat herba. Karakteristik umum sekaligus keunggulan yang



5



dimiliki hutan hujan tropis adalah (1) keanekaragaman jenis yang tinggi, (2) lingkungan yang konstan atau sedikitnya perubahan musim, dan (3) siklus hara tertutup. Hutan hujan tropis terdapat di wilayah yang memiliki tipe iklim A dan B (menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson) dan dapat dikatakan bahwa tipe ekosistem tersebut berada pada daerah yang selalu basah. Pada daerah tersebut biasanya memiliki jenis tanah Podsol, Latosol, Aluvial, dan Regosol, dengan drainase yang baik dan terletak jauh dari pantai (Santoso 1996 dalam Indriyanto 2006). Menurut ketinggian tempat dari permukaan laut, hutan hujan tropis dibedakan menjadi 3 (tiga) zone, yaitu hutan hujan bawah (2-1000 m dpl), hutan hujan tengah (1000-3000 m dpl), dan hutan hujan atas (3000-4000 m dpl). Pada hutan hujan bawah, jenis kayu penting yang biasanya mendominasi di hutan ini berasal dari suku Dipterocarpaceae dengan genus seperti Shorea, Hopea, Dipterocarpus, Vatica, dan Dryobalanops. Selain itu, terdapat juga genus-genus lainnya seperti Agathis, Altingia, Dialium, Duabanga, Dyera, Koompasia, Octomeles, dan lain-lain (Soerianegara & Indrawan, 1998). Sedangkan pada hutan hujan tengah, jenis kayu umum yang sering dijumpai terdiri dari suku Lauraceae, Fagaceae, Castanea, Nothofagus, Cunoniaceae, Magnoliaceae, Hamamelidaceae, dan lain-lain. Sementara pada hutan hujan atas, jenis kayu utamanya terdiri dari Coniferae (Araucaria, Dacrydium, Podocarpus), Ericaceae, Loptospermum, Clearia, Quercus, dan lain-lain (Soerianegara & Indrawan, 1998). Komponen penyusun hutan hujan tropis terdiri dari 2 (dua) macam komponen, yaitu abiotik dan biotik. Menurut Ewusie (1980), komponen penyusun abiotik terdiri dari suhu, curah hujan, kelembaban atmosfer, angin, cahaya, dan karbondioksida. Sedangkan komponen biotik yang menyusun hutan hujan tropis antara lain adalah pepohonan yang tergabung dalam tumbuhan herba, perambat, epifit, pencekik, saprofit, dan parasit. 2.3 Pemanenan Hutan Pemanenan hutan merupakan suatu rangkaian kegiatan pemanfaatan hutan produksi dengan tujuan menghasilkan hasil hutan berupa kayu dan bukan kayu dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat (Junaidi, 2019). Kebutuhan masyarakat yang dimaksud yaitu terdiri dari kebutuhan papan, sandang, maupun kebutuhan pangan.



6



Pengenalan tujuan tersebut diharapkan mampu menjadi tolak ukur pola perilaku masyarakat dalam memanfaatkan hutan terutama yang berada di sekitar kawasan hutan. Tujuan pemanenan hutan secara jelas terdiri dari enam bagian seperti yang terlihat pada uraian berikut ini : 1. Meningkatkan Nilai Tambah dari Hutan Nilai tambah dari hutan merupakan meningkatnya nilai jual dari setiap pengelolaan dan pengolahan hasil hutan baik itu hasil hutan berupa kayu maupun hasil hutan bukan kayu Nilai tambah ini terbentuk apabila konsumen mengakui adanya kenaikan harga pada setiap kegiatan. Secara singkatnya, meningkatnya nilai tambah dari hutan terjadi apabila konsumen menyetujui kenaikan harga suatu produk hasil dari hutan karena produk yang dimaksud memiliki nilai yang penting. Nilai tambah dari hutan yang umumnya diakui oleh masyarakat/konsumen terdiri dari suatu produk yang bercirikan kualitas yang diperoleh memiliki peningkatan karena adanya penambahan energi, peningkatan fungsi bahan pembuatan produk sehingga menghasilkan produk yang fungsinya lebih meningkat atau multifungsi, dan produk yang digunakan memiliki efek yang rendah dalam pencemaran lingkungan 2. Mendapatkan Produk dari Hutan yang Dibutuhkan Masyarakat Kebutuhan masyarakat dalam menjalani kehidupannya pada saat ini sangat bergantung di berbagai produk yang telah siap dan diolah menggunakan teknologi yang modern. Salah satu produk yang sangat berpengaruh penting adalah produk dari hutan. Kebutuhan masyarakat dengan memanfaatkan produk dari hutan dalam skala kecil salah satunya adalah kayu yang dijadikan sebagai kayu bakar. Selanjutnya, produk dari hutan yang dimanfaatkan masyarakat dalam skala besar salah satunya adalah kertas yang berasal dari kayu hutan yang telah diolah. Selain itu, sejalan dengan perkembangan saat ini, produk yang dibutuhkan masyarakat adalah seperti papan partikel yang dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan perabotan rumah tangga Produk ini berasal dari hasil hutan berupa kayu. Selain



produk



hasil



hutan



berupa



kayu,



masyarakat



juga



mendapatkan produk hutan berupa hasil hutan bukan kayu. Produk yang dimaksud seperti resin, minyak atsiri, buah-buahan, rotan, hewan dan lain sebagainya. Dengan adanya produk dari hutan, kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi.



7



3. Memberikan kesempatan Kerja Bagi Masyarakat Sekitar Hutan Pemanenan hutan pada dasarnya dilakukan pada kawasan hutan dengan memerlukan tenaga manusia dengan berbagai kegiatan. Sebelum melakukan pemanenan tentunya suatu kawasan hutan yang telah ditebang (dipanen) perlu dilakukan penanaman kembali Tidak hanya itu, kegiatan ini akan berlanjut sampai dalam kurun waktu tertentu dipanen kembali. Biasanya, kegiatan ini dilakukan pada kawasan hutan produksi. Kawasan hutan yang diproduksi akan membutuhkan tenaga dalam melakukan pengelolaan sampai kegiatan pemanenan sehingga secara otomatis akan terbuka lowongan pekerjaan terutama terhadap masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan produksi. Pemanfaatan sumber daya manusia (masyarakat) yang berada di sekitar kawasan hutan produksi akan memberikan peningkatan kualitas hidup bagi masyarakat tersebut. 4. Memberikan kontribusi Bagi Devisa Negara Pemanenan hutan juga akan memberikan kontribusi bagi devisa negara. Kontribusi ini berasal dari pajak perusahaan yang melakukan pengelolaan pada kawasan hutan produksi. Perusahaan yang telah memegang ijin untuk melakukan pemanfaatan di dalam kawasan hutan akan dikenakan iuran seperti yang telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan tepatnya pada pasal ke 35. 5. Membuka Akses Wilayah Pemanenan hutan yang dilakukan pada kawasan hutan produksi juga bertujuan untuk membuka akses wilayah antara wilayah yang satu dengan yang lainnya. Pembukaan akses wilayah ini dilakukan untuk mempermudah dalam pengelolaan kawasan hutan. Selain itu, pengelola juga wajib memberikan akses jalan dan melakukan pembangunan pada masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan. 6. Pemenuhan Bahan Baku Industri Pemanenan hutan juga bertujuan untuk memenuhi bahan baku industri yang digunakan. Bahan baku industri yang dimaksud tergantung pada kegiatan industri. Namun, secara umum bahan baku yang dibutuhkan dalam kegiatan industri dengan memanfaatkan produk dari hutan adalah kayu. Kayu ini kemudian diolah menjadi berbagai macam produk siap pakai seperti meja, kayu lapis, dan lain sebagainya. Seiring



dengan



berkembangnya



teknologi



pemanenan



hutan



maka



diharapkan kegiatan pemanenan hutan dilakukan secara ramah lingkungan. Hal ini



8



harus menjadi perhatian penting bagi setiap generasi penerus sehingga pemanfaatan produk dari hutan dapat dilakukan tanpa adanya kerusakan pada Kawasan. 2.4 Sistem Silvikultur Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan (1390) dalam Pedoman dan Petunjuk Teknis



Pelaksanaan



Sistem



Silvikultur



Tebang



Pilih



Tanam



Indonesia



mendefenisikan sistem silvikultur sebagal rangkalan kegiatan berencana mengenai pengelolaan hutan yang meliputi penebangan, peremajaan, dan pemeliharaan tegakan hutan untuk menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya. Sedangkan



menurut



Matthews



(1992)



sistem



silvikultur



adalah



proses



pemeliharaan, pemanenan dan penggantian dengan tanaman baru sehingga menghasilkan tegakan dengan bentuk yang berbeda (dapat dibedakan dari tegakan di sekitarnya). Dalam definisi ini yang dimaksud dengan pemeliharaan adalah penjarangan pada tegakan muda. Dari kedua difinisi ini dapat dipahami bahwa difinisi sistem silvikultur yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan didasarkan pada latar belakang hutan alam, sehingga dimulai dengan menebang. Sedangkan defenisi sistem silvikultur oleh Matthews dilatarbelakangi oleh hutan tanaman yang ada. Penggantian tanaman baru yang berbeda dengan tegakan di sekelilingnya hanya terjadi pada hutan tanaman. Namun kedua difinisi sistem silvikultur tersebut memiliki komponen yang sama yaitu adanya komponen pemudaan (regeneration), pemeliharaan (tending), dan pemanenan (harvesting/removing) (Nyland, 2002). Dengan demikian jelaslah bahwa sistem silvikultur berkaitan dengan pengelolaan hutan secara keseluruhan yang didasarkan kepada tipe ekosistem hutan. Teknik silvikultur atau juga sering disebut praktek silvikultur berkaitan dengan berbagai metode untuk membangun (raising) dan memelihara (caring) hutan (Toumey dan Korstian, 1959). Teknik silvikultur menjelaskan lebih lanjut mengenai operasional dan aplikasi dari sistem silvikultur. Teknik silvikultur diterapkan untuk memperbaiki kuantitas (misal produksi mº kayu) dan kualitas (mendapatkan kayu yang lurus, bulat, panjang bebas cabang, bebas hama penyakit dll.) dari hutan yang ada. Teknik silvikultur juga mencakup pengumpulan benih, persemaian, dan penanaman. Menurut Toumey dan Korstian (1959) terdapat empat kata kunci berkaitan dengan Teknik silvikultur ini, yaitu tanah, permudaan, pemangkasan, dan penjarangan. Dengan mengkombinasikan keempat komponen tersebut dalam



9



penerapan Teknik silvikultur akan dicapai produksi kayu dengan kualitas dan kuantitas yang tinggi, sehingga akan diperoleh keuntungan finansial yang tinggi dengan tetap memelihara kesuburan tanah sesuai dengan kapasitas produksinya. Jika sistem silvikultur memerlukan pengetahuan mengenai ekositem hutan, maka Teknik silvikultur memerlukan pengetahuan mengenai pengaruh faktor-faktor lingkungan terhadap pertumbuhan pohon. 2.4.1



Dasar Pertimbangan Pemilihan Sistem Silvikultur Hutan memiliki tiga fungsi utama, yaitu fungsi produksi (ekonomi),



perlindungan, dan sosial (Matthews, 1992). Fungsi produksi hutan telah lama dipahami karena hutan menghasilkan berbagai jenis kayu dan produk-produk nonkayu yang bernilai ekonomi tinggi, seperti getah, minyak atsir, buah, tanaman obat, madu, hewan buruan dll. Sementara itu fungsi lindung dari hutan tentunya tidak kalah



pentingnya



dari



fungsi



produksi,



walaupun



banyak



orang



belum



menyadarinya. Untuk memenuhi fungsi lindung dari hutan, maka hutan harus dikelola sedemikian rupa untuk membantu pengendalian erosi dan longsor, penyediaan air, menyediakan habitat bagi tumbuhan dan satwa liar. Dengan mengabaikan fungsi lindung hutan ini, berpotensi menimbulkan kerugian yang mungkin jauh lebih tinggi dari nilai hutan (khususnya kayu) itu sendiri. Sebagai contoh dengan rusaknya hutan sampai tingkat tertentu, pada musim kemarau pasokan air ke bendungan-bendungan pembangkit listri akan berkurang. Pasokan listrik tidak stabil atau bahkan tidak mampu memenuhi kebutuhan tinggi, sehingga merugikan dunia usaha. Sebaliknya pada musim hujan terjadi banjir dan longsor yang menghancurkan Infrastruktur dan seringkali membawa korban jiwa. Fungsi sosial dari hutan juga tidak kalah pentingnya dari fungsi-fungsi lainnya karena masyarakat, khususnya mereka yang hidup di sekitar atau di dalam hutan, menjadikan hutan sebagai bagian dari kehidupan mereka, untuk berburu, mencari kayu, dan memenuhi bahan-bahan untuk upacara-upacara adat mereka. Secara ekologis, ekosistem hutan bermacam-macam mulai dari mangrove sampai hutan pegunungan, perbedaan geografi juga dapat membedakan kharakteristik ekosistem hutan. Di Indonesia, misalnya, dikenal adanya hutan hujan tropis, hutan musim, hutan mangrove, hutan rawa, hutan rawa gambut, hutan kerangas, hutan pantal dll. Masing-masing ekosistem hutan ini memiliki karakteristik tegakan hutan yang berbeda-beda.



Sebagai



contoh,



hutan



hujan



tropis



dikenal



memiliki



keanekaragaman jenis yang tinggi dan juga kelas diameter yang beragam dengan pohon-pohon yang dapat tumbuh hingga ukuran raksasa, dan hutan mangrove



10



merupakan hutan yang sejenis dengan kelas diameter yang seragam. Di Aceh juga terdapat hutan murni Pinus merkusii dengan kelas diameter relatif seragam. Dari segi kondisi fisik hutan atau tingkat kerusakan hutan di Indonesia saat ini, hutan dapat dikelompokkan menjadi hutan primer yang relatif belum terganggu dan hutan sekunder yang telah terganggu dengan tingkat kerusakan sedang dan kerusakan berat. Hutan sekunder dengan tingkat kerusakan sedang misalnya hutan-hutan yang ditinggalkan setelah dilakukan penebangan dengan sistem tebang pilih. Di hutan-hutan ini masih banyak ditemui jenis-jenis pohon komersial dengan diameter kurang dari 50 cm dan juga pohon-pohon bukan komersial yang berdiameter besar. Semai, pancang dan tiang dari jenis-jenis pohon komersial masih banyak tersebar di hutan tersebut. Untuk hutan sekunder dengan tingkat kerusakan berat dapat digambarkan kawasan hutan yang tinggal ditumbuhi semak belukar bahkan telah menjadi padang alang-alang. Tiga hal di atas, yaitu fungsi hutan, ekosistem hutan (kondisi ekologis hutan), dan kondisi fisik hutan harus menjadi bagian dalam pemilihan sistem silvikultur yang tepat untuk kawasan hutan tersebut. Sebagai contoh hutan hujan tropis yang memiliki kharakteristik multijenis dan multi kelas diameter tidak mungkin diterapkan tebang habis, karena justru akan merugikan baik secara ekonomis (produksi), ekologis (perlindungan), maupun sosial. Tidak semua jenis dan kelas diameter bernilai komersial, sementara menebangnya tetap dikeluarkan blaya. Secara ekologis banyak anakan pohon komersial yang pada umumnya membutuhkan naungan diwaktu kecil akan mati karena kondisi lahan yang tiba-tiba terbuka. Dengan curah hujan yang membuka hutan sekaligus juga akan menyebabkan erosi dan terkikisnya tanah pucuk yang tipis. Hal ini akan menyebabkan menurunnya kesuburan tanah untuk rotasi berikutnya. Secara sosial dengan hilangnya hutan, masyarakat tidak dapat menjalankan aktivitasnya di hutan seperti biasanya. Oleh karena itu, sistem silvikultur tebang pilih akan menjadi pilihan yang tepat untuk ekosistem hutan seperti ini. 2.4.2 Macam-macam Sistem Silvikultur Menurut Matthews (1992), beberapa sistem silvikultur yang saat ini telah dikenal adalah sistem tebang habis, sistem peneduh/penaung (the shelterwood systems), sistem merata (the uniform system), sistem kelompok (the group system), sistem peneduh/penaung tidak merata (the irregular shelterwood system), sistem jalur (the strip systems), sistem peneduh/penaung tropis (the tropical shelterwood system), sistem tebang pilih (the selection system), sistem tebang pillh kelompok



11



(the group selection system), sistem pelengkap (the accessory systems), sistem trubusan (the coppice system), sistem tebang pilih dengan terubusan (the coppice selection system), sistem coppice dengan standar (coppice with standard), konversi (conversion), dan sistem agro-forestry (Agro- forestry systems). Dalam sistem silvikultur tebang habis, kawasan hutan dibagi kedalam petakpetak yang secara berurutan akan ditebang habis, dimana seluruh pohon yang ada di dalamnya ditebang. Setelah penebangan kemudian dilanjutkan dengan penanaman baik secara alami atau secara buatan. Yang dimaksud dengan sistem peneduh/penaung (the shelterwood systems) adalah suatu sistem silvikultur dimana permudaan dilakukan di bawah naungan tegakan yang tua atau di samping tegakan yang tua. Termasuk dalam sistem silvikultur ini adalah sistem merata (the uniform system), dimana naungan pada satu petak ditebang habis sehingga diperoleh tegakan seumur; sistem kelompok (the group system) dimaksudkan untuk sistem silvikultur dimana fasilitasi pertumbuhan kelompok-kelompok yang potensial untuk dikembangkan



dilakukan



dengan



cara



memperluas



areal



bukaan;



sistem



peneduh/penaung tidak merata (the irregular shelterwood system), jika tebang pembebasan dilakukan secara terus menerus sepanjang waktu untuk memfasilitasi permudaan sehingga terbentuk tegakan tidak seumur; sistem jalur (the strip systems) jika jalur yang sempit dibuat untuk tujuan perlindungan dan permudaan; serta sistem peneduh/penaung tropis (the tropical shelterwood system), yaitu sistem silvikultur diterapkan dengan cara menebang atau mematikan tanaman-tanaman pengganggu, seperti liana dan pencekik, serta pohon-pohon dengan tajuk pada lapisan tengah untuk memberikan lingkungan yang lebih baik untuk permudaan alami. Sistem tebang pilih (the selection system) berbeda dengan sistem sistem yang lain yang telah disebutkan di atas. Dalam sistem ini penebangan dilakukan pada pohon-pohon secara individu yang berada tersebar di seluruh areal hutan. Penebangan ini akan memberikan kondisi yang mendukung permudaan alam untuk tumbuh dengan baik. Hasil dari sistem tebang pilih ini adalah tegakan yang tidak seumur, karena permudaan yang ditinggalkan adalah berbagai ukuran. Sistem tebang pilih kelompok (the group selection system) diterapkan untuk memfasilitasi permudaan jenis-jenis yang memerlukan cahaya. Dalam sistem tebang pilih, karena yang ditebang hanya satu pohon maka bukaan (gap) yang dihasilkan tidak luas sehingga hanya cocok untuk permudaan-permudaan yang membutuhkan naungan. Untuk sistem silvikultur tebang pilih kelompok, penebangan dilakukan pada kelompok pohon sehingga bukaan yang ditimbulkan cukup luas



12



untuk memfasilitasi pertumbuhan permudaan jenis-jenis pohon yang membutuhkan cahaya. Sistem pelengkap (the accessory systems) dilakukan untuk membangun hutan dengan dua tingkat yang berasal dari biji (two-storied high forest). Hutan ini biasanya dibangun dengan dua jenis pohon. Lapisan tajuk atas didominasi oleh pohon-pohon yang memerlukan cahaya, yang pada mulanya dibangun sebagai tegakan yang seumur dan sejenis, dibangun melalui permudaan alam ataupun buatan. Setelah melalui beberapa penjarangan, maka mulai ditanam jenis kedua yang memerlukan naungan untuk mengisi tajuk lapisan di bawahnya. Sistem trubusan (the coppice system) adalah sistem silvikultur yang menggunakan terubusan dari tunggak-tunggak pohon yang telah ditebang sebagai permudaan untuk membangun hutan pada rotasi selanjutnya. Tentu saja sistem silvikultur ini hanya bisa diterapkan di hutan-hutan dengan jenis-jenis pohon yang memiliki kemampuan untuk memproduksi terubusan setelah ditebang. Sistem tebang pilih dengan terubusan (the coppice selection system) hampir sama dengan sistem tebang pilih pada hutan-hutan yang dibangun dengan biji. Tebangan didasarkan atas kelas diameter yang telah mencapai nilai ekonomi tertentu. Dalam satu tunggak dapat dijumpai beberapa terubusan, sehingga dalam tebang pilih hanya diambil diameter terbesar. Waktu yang diperlukan untuk mencapai diamater komersial disebut rotasi. Sistem coppice dengan standar (coppice with standard) adalah sistem silvikultur yang menggunakan kombinasi permudaan dengan terubusan dan dengan biji dalam areal yang sama. Lapisan tajuk atas didominasi oleh pohon-pohon yang ditanam dengan biji, sedangkan lapisan tajuk di bawahnya merupakan tajuk pohonpohon yang dibangun dengan terubusan. Yang dimaksud dengan konversi (conversion) dalam sistem silvikultur adalah perubahan dari satu sistem silvikultur ke sistem silvikultur lainnya, misalnya yang semula permudaan dengan biji diganti dengan dari terubusan, atau yang semula digunakan sistem sllvikultur tebang pilih menjadi tebang habis. Beberapa hal yang menyebabkan perlunya diterapkan konversi adalah: penebangan yang tidak terkendali sehingga menyebabkan hutan rusak menyisakan pohon-pohon non komersial atau berkualitas rendah, perubahan pasar sehingga nilal hutan yang ada turun, kerusakan hutan yang parah aklbat bencana alam, misalnya kebakaran hutan,



penggembalaan



liar



yang



tidak



terkendali



sehingga



menyebabkan



permudaan hutan rusak, dan praktek-praktek pertanian yang merusak hutan.



13



Konversi juga berarti restorasi dari hutan yang rusak menjadi lebih produktif dan lestari menggunakan satu sistem silvikultur tertentu. Sistem agro-forestry Agro-forestry systems) juga termasuk dalam sistem silvikultur menurut Matthews (1992), yaitu sebagai varian dari tebang habis dengan permudaan buatan yang dibantu oleh tanaman pertanian/pakan ternak yang sengaja di tanam. Di Indonesia sistem ini telah dilaksanakan sejak jaman penjajahan Belanda, dimana tanaman pertanian ditanam pada saat penanaman jati untuk menekan pertumbuhan gulma sekaligus memberikan penghasilan bagi para penggarap. Pada waktu penulis mendapat kesempatan untuk mengambil program Master di Selandia Baru, sistem ini juga diterapkan untuk membangun hutan Pinus radiata. Setelah tebang habis, kemudian tanah diolah dengan traktor. Selanjutnya pada tanah yang sudah diolah tadi disebar benih campuran rumput dan legum untuk menekan pertumbuhan gulma. Hasil penelitian Mansur (1994), sistem ini memberikan pertumbuhan kepada bibit yang ditanam lebih baik dibandingkan membiarkan tanah terbuka atau ditumbuhi dengan gulma. Lamprecht (1986) menambahkan adanya system silvikultur di hutan-hutan tropis yaitu perubahan hutan secara bertahap (gradual transformation system), dan sistem konversi. Perubahan hutan secara bertahap berarti dalam tahap permudaan, penanaman atau anakan alam jenis tertentu saja yang biasanya dari jenis-jenis komersial yang difasilitasi pertumbuhannya. Jika sistem ini diterapkan di hutan alam tropis, maka hutan yang semula kaya akan jenis akan secara bertahap didominasi oleh jenis-jenis komersial tertentu. Sedangkan yang dimaksud sistem konversi menurut Lamprect (1986) adalah mengganti secara total suatu areal hutan dengan hutan buatan dalam areal yang cukup luas. Sistem konversi di Indonesia barangkali dapat diidentikkan dengan pembangunan hutan tanaman industri (HTI) yang menggantikan hutan alam. Nyland (2002) menambahkan adanya sistem tebang pohon induk (seed-tree system), yaitu sistem silvikultur yang menghasilkan tegakan seumur dimana untuk memfasilitasi permudaan dilakukan penebangan sebagian besar dari pohon-pohon yang telah dewasa dan hanya meninggalkan beberapa pohon penghasil biji yang tumbuh tersebar di areal tersebut. Sistem silvikultur ini dapat diterapkan untuk pohon-pohon penghasil biji yang melimpah dan penyebarannya dengan angin. Pinus merkusil di Takengon-Aceh Tengah menunjukkan potensi untuk dikelola menggunakan sistem silvikultur ini karena permudaan yang demikian intensif di tanah-tanah terbuka di sekitar hutan pinus ini.



14



Untuk sistem sllvikultur di Indonesia, Indriyanto (2008) menjelaskan bahwa sistem silvikultur yang dikenal di Indonesia, yaitu sistem tebang habis dengan penanaman (permudaan buatan, THPB), sistem tebang habis dengan permudaan alam (THPA), sistem tebang pilih (TPI) yang kemudian disempurnakan menjadi tebang pilih tanam Indonesia (TPTI), sistem tebang Jalur tanam Indonesia (TJTI) yang baru sampai pada tahap uji coba tetapi tidak dilanjutkan. Saat ini di Indonesia juga dikenal tebang pilih tanam jalur (TPT) yang kemudian disempurkan dengan pemilihan bahan tanaman dengan mutu genetik tinggi serta manipulasi lingkungan yang merupakan bagian dari teknik silvikultur untuk meningkatkan produktivitas hutan, menjadi Silvikultur Intensif atau lebih dikenal sebagai SILIN. Demikian banyak sistem silvikultur yang telah dikenal di dunia belum termasuk variasi-variasinya. Hutan Indonesia yang demikian bervariasi kondisi tegakan (struktur dan komposisinya, saat ini termasuk di dalamnya tingkat kerusakan hutannya) serta kondisi lingkungannya memerlukan lebih dari satu sistem silvikultur (multisistem silvikultur) untuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitasnya. Penelitian-penelitian untuk mendapatkan sistem silvikultur yang tepat untuk suatu kondisi hutan memerlukan waktu yang panjang, namun ini merupakan tugas pemerintah untuk menyelamatkan hutan alam tropis yang masih tersisa di Indonesia. Kerjasama antara pemerintah sebagai pemangku kebijakan, pengusaha sebagai praktisi lapangan, dan perguruan tinggi sebagai sumber ilmu dan teknologi sangat diperlukan untuk membangun sistem silvikultur yang tepat untuk hutan tropis Indonesia. 2.5 Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) 2.5.1 Pengertian Dasar Sistem TPTII Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) pada prinsipnya sama dengan sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ), yang dapat menjawab kelemahan sistem sebelumnya (TPTI) terutama dalam penanaman dan aspek pengawasan hasil penanaman. Perbedaan hanya terletak pada pembuatan lebar jalur bersih selebar 3 meter dan jalur antara 17 meter dan tidak ada alternatif lain sebagaimana sistem TPTJ sebelum tahun 2009. Sistem ini dijalankan dengan berpedoman pada Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor 77/VI-BPHA/2005 tanggal 13 Mei 2005 dan Nomor SK.226/VI-BPHA/2005 tanggal 1 September 2005 tentang pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII). Sistem TPTII dinyatakan tidak berlaku semenjak dikeluarkannya Peraturan Dirjen



15



BPK No. P.9/VI/BPHA/2009. Namun dasar dan landasan pemikiran sistem ini masih perlu diabadikan untuk pembelajaran generasi mendatang. Pengelolaan hutan pada hutan perawan (virgin forest) maupun hutan bekas tebangan (log over area) secara Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dengan jumlah bibit 200 batang per hektar seluas minimal 1.000 hektar per tahun selama 30 tahun akan dihasilkan luasan 30.000 hektar, dijamin dapat menjadi areal pengelolaan hutan yang lestari. Dengan asumsi diameter pohon tebang rata-rata 50 cm per 30 tahun sebanyak 160 pohon per hektar, akan dihasilkan standing stock sebanyak 400 m3 per hektar, belum termasuk tegakan sisa yang masih dapat diman Mengingat keseragaman individu penyusun tegakan pada akhir rotasi tebang diperkirakan memiliki keseragaman yang tinggi, maka model ini akan berfungsi sebagai transisi perubahan sistem silvikultur tebang pilih dengan permudaan buatan menjadi sistem silvikultur intensif. Dengan meningkatnya potensi hutan, maka luas areal hutan alami fungsi produksi yang digunakan untuk menghasilkan kayu pertukangan akan semakin kecil sehingga alokasi areal untuk konservasi genetik akan bertambah luas. Dengan demikian komponen keanekaragaman yang ada sebagai sumber plasma nutfah dan keanekaragaman jenis akan dapat dipertahankan. Areal konservasi yang terjaga dapat dipergunakan untuk penelitian hasil hutan lainnya, misalnya penghasil lemak, minyak, senyawa kimia dan bioaktif. Dengan meningkatnya produktifitas, maka lokasi tanaman dapat lelbih leluasa diterapkan terutama dengan mempertimbangkan aspek asesibilitas, jarak angkut dan sarad serta topografi yang mendukung. Akibatnya akan semakin banyak areal hutan yang dimanfaatkan sesuai fungsinya, yaitu sebagai kawasan perlindungan dan pengatur tata air, sumber plasma nutfah, suaka alam, hutan lindung, taman wisata, pendidikan dan lain-lain. Tujuan umum sistem TPTII adalah membangun hutan tropis lestari dinamis, yang dicirikan dengan selalu meningkatnya potensi dan fungsi hutan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas dari satu rotasi tebang ke rotasi tebang berikutnya. Sedangkan tujuan khusus silin TPTII adalah membangun hutan sebagai transisi menuju hutan tanaman meranti dan untuk menjamin fungsi hutan yang optimal. 2.5.2 Tahapan Kegiatan Sistem TPTII Adapun tahapan-tahapan dalam kegiatan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTII). Apabila sistem TPTII mengacu kepada sistem TPTJ,



16



maka tata urutan pelaksanaan kegiatan sistem silvikultur TPTII adalah sebagai berikut : Tabel 1.Tahap Kegiatan Sistem TPTII



Menurut Sutisna (2005) sistem silvikutur TPTII memiliki beberapa ciri yang mendasar, diantaranya yaitu : 1. Diterapkan sistem Reduce Impact Logging (RIL) 2. Ruang tumbuh tegakan dibuka mendekati tingkat optimal dengan fleksibilitas dalam menetapkan batas limit diameter pohon yang ditebang sedemikian rupa sehingga kepentingan pertumbuhan, produksi dan lingkungan dapat cukup terakomodasi secara seimbang. 3. Dilakukan penanaman sistem jalur secara intensif dengan masukan teknologi yang memadai, dengan jarak antar jalur tanam 20 m. 4. Dilakukan kegiatan bina pilih pada pohon-pohon inti tertentu pada tegakan alam yang terletak diantara jalur-jalur tanaman. Pemanenan kayu sistem TPTII meliputi penebangan pohon, pembagian batang, penyaradan, operasi TPn dan pengangkutan kayu. Pada tahap awal kegiatan penyiapan lahan sistem TPTII, dapat dimanfaatkan sejumlah kayu yang berasal dari tebang penyiapan lahan (40 cm up) dan tebang pembuatan jalur tanam (20 cm up). Pengelolaan hutan menggunakan sistem silvikultur intensif Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) bertujuan membangun hutan tropis lestari dinamis, yang dicirikan dengan selalu meningkatnya potensi dan fungsi hutan baik dari segi kuantitas maupun kualitas dari satu rotasi tebang ke rotasi tebang berikutnya. Secara khusus, silin TPTI bertujuan untuk membangun hutan sebagai transisi menuju hutan tanaman meranti dan menjamin fungsi hutan yang optimal.



17



2.5.3 Evaluasi Sistem TPTII Prinsip dasar sistem Tebang Pilih Tanam Konservasi, Tebang Pilih Tanam Jalur dan Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif adalah pembuatan celah (gap) dalam bentuk jalur memanjang. Gap yang dibuat melingkar pernah diperkenalkan oleh Balai Teknologi Reboisasi (BTR) Banjarbaru dan telah diakomodir dalam Peraturan Dirjen BPK No. P.9/VI/BPHA/2009 dengan nama Tebang Rumpang. Pada awalnya sistem Tebang Rumpang kurang mendapat sambutan karena belum mencantumkan analisis ekonomi, kelayakan, arah pemanfaatan kayu berdiameter kecil serta kesulitan dalam operasional di lapangan karena gap yang disarankan terletak secara acak berdasarkan potensi pohon, bukan secara sistematis sebagaimana sistem jalur. Sistem gap berbentuk jalur telah banyak diperkenalkan diberbagai negara maju untuk mengurangi eksploitasi hutan alam yang dilakukan menggunakan THPB. Secara ekologi, sistem jalur dapat menjawab permasalahan yang ada sebelumnya dan pemulihan keanekaragaman jenis juga dapat diandalkan (Coates dan Philip, 1997). Sistem silvikultur dengan teknik gap perlu diterapkan pada pengelolaan hutan alam secara lebih luas dan mengurangi sistem tebang habis. Sistem silvikultur dengan teknik gap menyerupai suksesi alam pada kejadian pohon mati dan roboh atau jatuhnya cabang besar sehingga membentuk gap (celah) dan ruang terbuka sebagai tempat tumbuh yang baru. Sistem silvikultur dengan teknik gap dirancang dengan melakukan penebangan pohon atau kelompok pohon besar dengan ukuran, bentuk dan distribusi tertentu. Studi tentang dinamika gap, yang dianggap sebagai perubahan kecil pada ekosistem hutan, sangat penting diperhatikan karena dapat digunakan untuk memprediksi respon pertumbuhan dan dinamika ekosistem pada gap (ruang tumbuh). Banyak literatur tentang dinamika gap menekankan pada ukuran gap atau posisi vegetasi dalam gap tersebut dalam rangka meningkatkan pertumbuhan dan menjamin dinamika ekosistem hutan. Fenomena dan pengelolaan dalam gap menurut Coates dan Philip (1997) adalah: -



Gap diperlukan untuk merangsang regenerasi dan suksesi alami.



-



Gap menghasilkan keadaan tapak dan umur anakan yang relatif seragam.



-



Pengelolaan gap diarahkan pada kerapatan, ukuran (luas),bentuk, frekwensi, distribusi, dinamika komunitas, orientasi, umur, struktur lapisan bawah dan yang paling penting adalah tingkat keterbukaan ruang tumbuh.



-



Jenis yang dibina diutamakan jenis asli



18



-



Di Selandia Baru ditemukan hubungan antara pola regenerasi dan pertumbuhannya dengan ukuran gap.



-



Perlakuan silvikultur dapat membuat sistem gap dengan beberapa variasi.



Hubungan gap dengan spesies yang terdapat didalamnya (Lertzman, 1992): -



Ukuran gap dapat menyebabkan perbedaan tingkat pertumbuhan dan dominasi spesies



-



Gap sering dikuasai jenis-jenis dominan



-



Terdapat spesies yang sesuai di tengah gap atau di tepi gap. Pengetahuan tentang teknik gap meliputi pola suksesi, dinamika populasi



dan komunitas hutan. Teknik ini dapat dipakai dalam sistem silvikultur. Pemodelan gap juga dapat dipergunakan untuk memprediksi dan menguji tingkat efektifitas sistem penebangan secara parsial. Intensitas cahaya, keseimbangan air dan siklus hara berhubungan dengan ukuran gap dan posisi dalam gap yang berpengaruh pada proses perkecambahan, kematian, pertumbuhan dan perkembangan serta aktifitas biologi (Coates et al, 1997). Sistem silvikultur dengan teknik gap perlu diterapkan pada pengelolaan hutan alam secara lebih luas dan mengurangi sistem tebang habis. Kasus Date creek membuktikan adanya hubungan antara kehadiran, kelimpahan dan pertumbuhan spesies dengan gap dalam berbagai ukuran. Pendekatan gap pada sistem silvikultur dilakukan dengan memperhatikan sistem penebangan secara parsial dengan menyisakan sebagian hutan, memperhatikan struktur biologi, organisme dan proses ekosistem melalui variasi ukuran gap dan pengembangan sistem silvikultur untuk memproduksi kayu secara lebih bijaksana. Menurut Coates dan Philip (1997) variasi lebar jalur bersih masih diperlukan untuk merangsang kehadiran dan pertumbuhan anakan pada tipe tegakan tertentu. Sistem TPTJ yang masih memberi peluang penggunaan beberapa variasi lebar jalur kiranya masih baik digunakan, sehingga kita dapat menemukan pola penentuan lebar jalur bersih yang lebih optimal sesuai dengan tipe hutannya. Rehabilitasi hutan bekas tebangan dengan metode line enrichment planting telah banyak diterapkan di Indonesia, seperti sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dan Tebang Pilh Tanam Indonesia Intensif (TPTII). Sistem ini menggunakan kombinasi antara polycyclic system dengan monocyclic system dengan rangkaian (tahapan) kegiatan tertentu yang mengarah pada tercipta kondisi tapak dan iklim mikro yang optimal untuk mendukung keberhasilan pengelolaan hutan lestari dan produktif. Salah satu kelebihan metode ini (yang tidak dimiliki sistem TPTI) adalah



19



relatih mudah melakukan kegiatan perawatan serta pengawasan, monitoring dan evaluasi, khususnya terhadap tanaman dalam jalur, baik yang dilakukan instansi terkait, LSM maupun pihak perusahaan sendiri. Pertumbuhan (riap) tanaman dalam jalur lebih cepat karena ditunjang oleh intensitas sinar dan ruang tumbuh yang lebih baik (mematahkan sinar sebagai limiting factor dalam pertumbuhan anakan di hutan tropis). Metode line enrichment planting mempunyai dua daerah konsentrasi pengelolaan yang saling berkaitan erat, yaitu pada jalur antara dan jalur bersih (jalur tanam). Pada jalur antara kualitas tapak relatif tidak mengalami perubahan yang menyolok dan berfungsi sebagai konservasi hutan dan biodiversity, memberi kondisi tapak yang masih sesuai untuk mempertahankan ekosistem serta menciptakan ruang tumbuh yang optimal bagi tanaman yang berada dalam jalur bersih seperti berbagai jenis Shorea yang berifat toleran dan semi toleran. Sementara itu pada jalur bersih yang mempunyai ruang tumbuh lebih lebar dan intensitas cahaya yang lebih tinggi, kegiatan diarahkan untuk penanaman dan pengayaan (enrichment planting) jenis terpilih yang bernilai komersil tinggi dan cepat tumbuh (seperti 10 jenis unggulan yang diusulkan pakar TPTII, yaitu Shorea leprosula, s. parvifolia, s. smithiana, s. johorensis, s. macrophylla, s.ovalis, s. platyclados, s. selanica, s. javanica, Dryobalanops spp). Jalur antara tidak bergantung pada jalur bersih namun tanaman dalam jalur bersih sangat bergantung pada jalur antara yang memberikan ruang tumbuh (tapak) dan iklim mikro yang optimal, terutama intensitas cahaya dan suhu serta memberi perlindungan terhadap kondisi tanah. Serasah dan humus dari jalur antara dapat digunakan tanaman dalam jalur bersih, demikian pula suplai air, mikroba (mikorisa, rhizobium, dekomposer dll) sampai pada penyerbukan. Jalur antara ibarat induk yang melindungi dan membesarkan anaknya, jalur bersih. Sistem line enrichment planting juga mampu mengatasi salah satu permasalahan yang muncul dari sistem TPTI, yaitu kemudahan dalam perawatan dan pengawasan hasil penanaman/pengayaan yang terletak dalam jalur tanam. Metode line enrichment pada awalnya dikembangkan oleh Aubreville di Afrika Barat dan Afrika Tengah, dengan ketentuan: a. Jarak antar jalur tanam, 10-25 m, arah Timur-Barat b. Lebar jalur tanam 2 m, dibuka bersih c. Dari batas kiri dan kanan jalur, masing-masing selebar 4 m, seluruh pohon yang tingginya > 4 m ditebang d. Jarak tanam dalam jalur 5-10 m



20



e. Lebar jalur antara/jalur tegakan tinggal 10 m f.



Jarak antar jalur tanam 20 m (100 bibit/ha) Metode tersebut dimodifikasi oleh Catinot dengan ketentuan:



a. Lebar jalur tanam 5 m b. Jarak antar jalur tanam 10-20 m c. Semua pohon pada jalur tanam yang berdiameter < 15 cm ditebang d. Pohon berdiameter > 15 cm diteres e. Jarak tanam dalam jalur 3 m Menurut Apanah (1994), jenis-jenis komersial mempunyai kemudahan dalam regenerasi dan perlakuan silkultur sehingga memberi peluang yang baik dalam menciptakan pengelolaan hutan lestari. Keuntungan sistem line enrichment adalah: a. Meningkatkan produksi kayu b. Membuka lapangan pekerjaan c. Dapat membuat tanaman yang bersifat toleran dan semi toleran, seperti dari jenis Dipterocarpaceae d. Menjamin dan menciptakan pengelolaan hutan lestari (natural forest management) e. Kualitas tanah dan kondisi vegetasi tidak berubah nyata. Ekosistem relatif masih terjaga dibanding bila menerapkan clear cutting. Kelemahan sistem ini antara lain: a. Memerlukan biaya perawatan tinggi b. Memerlukan perawatan intensif c. Mengarah pada perampingan jenis (penyusutan keanekaragaman jenis) Sistem silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalur (TPTJ) yang merupakan salah satu bentuk line enrichment planting, pernah diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 435/Kpts-II/1997 dan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 625/Kpts-II/1998 tentang Sistem Silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalur (TPTJ) dalam Pengelolaan Hutan Produksi Alam. Penerapan TPTJ lebih sesuai pada a. Log over forest dimana permudaan jenis komersial sedikit b. Log over area tidak produktif c. Areal bekas perladangan berpindah d. Areal hutan dengan nilai ekonomi rendah (bushes and crub)



21



III. PEMBAHASAN



3.1 Keunggulan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) Dalam pelaksanaan TPTII, menurut Soekotjo (2009) khususnya dalam persiapan penanaman dan tebangan dilakukan persis sama dengan apa yang dilakukan pada Tebang Pilih Indonesia (TPI) dan Tebang Pilih Tanam Indonesia. Limit diameter pada beberapa lokasi menyesuaikan TPTJ, yakni diameter diatas 40 cm. Perbedaannya dengan TPTJ adalah pada TPTII jarak antar jalur tanamnya adalah 20 m, dan jarak tanam dalam jalur tanamnya adalah 2,5 cm. Pada sistem silvikutur TPTII dalam hal ini memiliki keunggulan, diantaranya : a. Kontrol pengelolaan lebih efisien, murah, dan mudah. b. Sedari awal pembangunannya telah menggunakan bibit dengan jenis terpilih sehingga pada rotasi berikutnya telah menggunakan bibit dari hasil pemuliaan. Hal ini dapat diprediksi meningkatkan nilai produktivitas sehingga kualitas produk dapat lebih baik. c. Target produksi bisa flexibel tergantung pada inestasi pada tanaman (kayu sebagai produk metabolisme sekunder). d. Keanekaragaman hayati atau kondisi lingkungan menjadi lebih baik. e. Kemampuan produksi perusahaan semakin meningkat. 3.2 Konsep Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) Konsep sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) merupakan penyempurnaan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) yang menekankan aplikasi manipulasi silvikultur yang intensif dalam membangun hutan dengan alasan utama peningkatan produksi tegakan pada rotasi berikutnya khususnya pada areal bekas tebangan (Log Over Area) Diperlukan sistem silvikultur yang memiliki kesederhanaan kegiatan dalam arti hanya berisi tahapan kegiatan yang sesuai dengan realistis lapangan yang sifatnya site spesifik (kondisi setempat). Sistem silvikultur TPTII menjanjikan keuntungan ekologis, ekonomis dan sosial secara seimbang. Keuntungan ekologis yang dijanjikan sistem ini adalah komposisi hutan yang dibangun tetap seperti hutan asli (dominasi jenis-jenis dari famili Dipterocarpaceae). Keuntungan ekonomis adalah adanya jaminan produksi pada



rotasi



berikutnya



tanpa



harus



mengalokasikan



dana



khusus



untuk



pembangunannya karena bisa ditutupi dari tebang penyiapan lahan. Keuntungan sosial yang didapatkan dari sistim TPTII adalah bisa menyerap jumlah tenaga kerja



22



yang lebih besar jumlahnya tanpa harus memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Smith (1986) dalam Maman, S. (2003) mengemukakan bahwa perumusan sistem silvikultur yang baik diawali dengan analisa faktor-faktor alami (biogeofisik) dan sosial ekonomi. Sistem yang dibuat harus memenuhi hal-hal sebagai berikut: a. Memiliki kesesuaian dengan tujuan pengelolaan dan karakteristik kepemilikan hutan. b. Memiliki kesesuaian dengan peremajaan hutan. c. Memiliki sistem yang efisiensi dalam penggunaan lahan hutan. d. Memiliki sistem yang mampu menjamin kelestarian hasil. e. Memiliki sistem yang mampu menggunakan modal dan potensi tegakan seoptimal mungkin. f. Memiliki kemampuan mengatur lokasi kegiatan sedemikian sehingga terpusat dan efisien. Maman, S. (2006) sistem silvikultur TPTII yang diterapkan harus memenuhi beberapa prinsip yang utuh yaitu adanya kesesuaian sistem silvikultur dengan karakteristik



sumber



daya



hutan



dan



lingkungannya,



pertimbangan



yang



menyeluruh tentang nilai-nilai sumber daya hutan, pertimbangan biaya/manfaat ekonomi dan kesesuaian sistem silvikultur dengan tujuan pengelolaan. Menilai konsep sistem silvikultur hendaknya memperhatikan secara konprehensif aspek rasionalitas di lapangan. Sistem silvikultur yang baik haruslah berdasarkan



data



perspektif



hutan.



Sistem



silvikultur



yang



baik



harus



memperhatikan dampak aplikasi terhadap sasaran dasar silvikultur itu sendiri yaitu struktur hutan yang terjadi, komposisi jenis paska aplikasi, kerapatan dan lingkungan edafik ekosistem hutannya. 3.3 Implementasi Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTII) Ada beberapa aspek yang menjadi titik perhatian utama yang belum mendapatkan porsi yang sebenarnya untuk dikritisi dan menjadi dasar dalam mengevaluasi implementasi sistem silvikultur TPTII agar mengenai sasaran dan tujuan aplikasi sistem silvikultur secara tepat. Aspek-aspek tersebut meliputi: 1. Kesesuaian Sistem Silvikultur Kesesuaian dalam sistem silvikultur dapat dibedakan menjadi 2 yaitu : a. Data perspektif hutan Data yang digunakan untuk aplikasi sistem silvikultur TPTII, sampai saat ini berasal dari data lapangan oleh HPH yang ditunjuk untuk melaksanakan pilot project (proyek uji coba). Validitas data akan ditentukan oleh akurasi pengukuran



23



lapangan yang dilakukan oleh perusahaan contoh. Kondisi data yang diidealkan akan menyebabkan penafsiran dan pengambilan keputusan yang keliru. Ini sering dilakukan oleh HPH (paska TPTI, contoh pada pengukuran riap petak ukur permanent) dan bahkan HPH tidak mau mengirimkan laporan hasil pengukurannya kepada Departemen Kehutanan. Menejemen hutan tidak dapat diterapkan dengan benar jika tidak mengetahui dan mengerti aspek ekologi hutan yang akan dikelola. Data dasar seperti identifikasi jenis, struktur hutan, komposisi hutan, kerapatan, permudaan dan riap pertumbuhan harus dengan benar diketahui agar tidak mengalami kesalahan pengelolaan hutan (Efendi, R. 1997). Data yang benar adalah data yang berasal dari pengukuran lapangan. Aspek apa saja yang akan dikaji hendaknya diukur secara benar dan dilaporkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Sampai saat ini, laporan dari HPH pencoba masih sekitar data dalam tahap pengukuran awal. Namun dapat dikatakan bahwa bila formulasi sistem silvikultur yang berdasarkan data perspektif hutan dilaksanakan maka sistem silvikultur yang diterapakan akan berbeda pada setiap kondisi dan tempat. TPTII yang sedang digalakkan inipun kalau bukan berdasarkan data perspektif hutan tidak akan dapat memenuhi harapan kelestarian hutan yang diidam-idamkan. Sistem silvikultur apa saja yang diterapkan akan gagal (menambah kehancuran ekosistem hutan) bila tidak dilaksanakan atas dasar data yang benar. Hal ini mendukung pegetahuan yang benar dengan karakter produktivitas hutan yang sedang dikelola sehingga kita mampu memprediksi hasil yang didapatkan dari setiap kegiatan silvikultur yang dilakukan. Melihat kondisi hutan bekas tebangan dewasa ini yang cukup banyak variasi kehancurannya, mulai dari hutan bekas tebangan, belukar tua, belukar dan alangalang maka tidak semua lagi areal hutan bekas tebangan bisa menerima aplikasi sistem silvikultur TPTII ini. Untuk hutan bekas tebangan yang memiliki potensi diatas 20 m³/ ha maka sistem ini mungkin masih memungkinkan diterapkan. Namun menurut pengalaman lapangan jika pengusaha tak perduli dengan aturan dan pihak yang berwenang mengurus hutan dengan tidak benar maka pelaksanaan lapangan akan bisa hanya sebatas asal ada bukti. Sistem silvikultur TPTII ini tidak mengcover seluruh tipe-tipe hutan bekas tebangan termasuk hutan yang sudah menjadi belukar. Sementara masih banyak yang dilakukan untuk hutan bekas tebangan yang sudah ditumbuhi oleh alangalang. Peluang untuk kembali ke keadaan semula (pemulihan) bahkan sampai ke



24



keadaan klimaks masih sangat memungkinkan bila benar-benar diadakan kegiatan silvikultur (penanaman, perawatan dan pengamanan). Riskan, E. 2000. Melaporkan berdasarkan hasil penelitiannya bahwa jenis Shorea parvifolia adalah satu diantara jenis dari famili Dipterocarpaceae yang dapat tumbuh di areal terbuka dan memiliki kecepatan pertumbuhan yang tinggi. Kalau memang ada jenis meranti yang bisa tumbuh ditempat terbuka dengan sukses, kenapa kita tidak mengarahkan sasaran silvikultur itu terhadap areal hutan yang sudah terbuka secara serius khususnya di areal hutan alang-alang, belukar muda dan belukar Sistem silvikultur harus tepat sasaran. Jangan sampai sistem silvikultur yang diterapkan ini merupakan sistem silvikultur terakhir yang bisa dipaksakan sebelum hutan tersebut menjadi hamparan belukar atau alang-alang. Kalau demikian halnya maka sistem silvikultur ini justru tidak lebih baik dari sistem silvikultur sebelumnya. b. Sistem silvikultur site spesifik Sistem silvikultur TPTII dibenarkan oleh Permenhut no.35/ 2002 yang memungkinkan penerapan lebih dari satu sistem silvikultur karena dihendaki adanya terapan sistem silvikultur yang berdasarkan data perspektif hutan sehingga sifatnya site spesifik (sesuai keadaan tapak). Artinya sistem silvikultur TPTII ini mendukung adanya perubahan sistem silvikultur yang selama ini berlaku general menjadi site spesifik. Disadari bahwa generalisasi sistem silvikultur yang diberlakukan selama ini telah membuat aplikasi yang kacau dan tidak tepat pengelolaan. Sistem silvikultur yang diperlukan tidaklah serumit yang dibeberkan oleh aturan yang ditetapkan oleh Pemerintah melalui Departemen Kehutanan. Sistem silvikultur sebenarnya memiliki kesederhanaan acuan dan karena datanya berasal dari sitenya maka dapat dipastikan akan lebih sederhana dan lebih mudah dilaksanakan. Namun janganlah memformulasikan sistem silvikultur yang mudah tetapi berakibat fatal dengan kehilangan jenis-jenis asli. Artinya karena pemahaman terhadap sifat-sifat beberapa jenis sudah diketahui secara baik maka sistem silvikultur diarahkan hanya kepada pengembangan sekelompok jenis itu saja. 2. Kelayakan sistem silvikultur Kelayakan dalam sistem silvikultur dapat dibedakan menjadi 4 bagian, yaitu : a. Kelayakan Secara Ekologis Sistem silvikultur TPTII secara ekologis layak dilaksanakan hanya bila pada pemanenan pada periode akhir daur penebangan dilakukan atas sejumlah 50 batang/ ha atau dengan volume produksi dibawah 150 m³/ ha. Sebenarnya di



25



Kalimantan Timur khususnya pada Hutan Dipterocarpaceae hanya menebang sekitar 14 batang/ hektar kayu produksi. HPH PT. ITCI sekitar 8 – 12 batang/ hektar (Mackinnon, 1994). Bagaiman sekalipun bila penebangan masih menganut metode mekanisasi maka kerusakan tegakan dan lahan hutan akibat pemanenan tida bisa dihindari. Disarankan bila menerapkan sistem silvikultur TPTII maka kegiatan logging hendaknya menerapakan konsep dan metode pemanenan yang ramah lingkungan seperti Reduced Impact logging (RIL) yang memungkinkan terjaminnya keamanan ekologis hutan bekas tebangan. Hutan bekas tebangan yang dibangun dengan sistem silvikultur TPTII hanya dapat dijamin keamanan ekologisnya jika tidak ada kegiatan lapangan selain memberikan efek yang positif terhadap pertumbuhan dan pemaksimalan produksi hutan. Bila ada kegiatan lainnya maka hutan tidak akan dapat dijamin akan memberikan hasil yang sesuai dengan harapan. b. Kelayakan Secara Ekonomis Dengan semakin berkurangnya pasokan kayu dari hutan alam maka pada masa yang akan datang akan lebih sulit mendapatkan kayu jenis Meranti yang berharga murah dengan kualitas terbaik. Namun bila kayu tersebut berasal dari budidaya yang jelas-jelas dibangun dengan investasi dana yang jelas maka prospek nilai kayu akan layak secara ekonomis. Bahkan bukan tidak mungkin kalau kalau hasil dari budidaya ini merupakan kayu bernilai tertinggi dari semua jenis yang dikeluarkan dari hutan yang dikelola dengan sistem TPTII. Tetapi jenis-jenis bagur (bongsor) bukanlah jenis meranti terbaik sepanjang masa terutama apabila dikaitkan dengan fungsi penghara kayu konstruksi. Sehingga penggunaan kayu hasil penanaman ini tidak memenuhi sepenuhnya peruntukan kebutuhan manusia. Lagi pula tidak ada jaminan kalau perawatan yang diberikan di lapangan akan memberikan efek positif terhadap kualitas kayu. Sifat-sifat tanah juga bervariasi dalam menopang vegetasi hutan untuk tumbuh dan menghasilkan kayu melalui riapnya. Tipe tanah di Kalimantan bisa saja berbeda dengan tipe tanah hutan di Sumatera atau Sulawesi. Dengan perbedaan sifat-sifat tanah hutan yang ada ini maka karakter produksi setiap tempat yang berbeda bisa menghasilkan produk yang berbeda. Kecepatan pertumbuhan bisa berbeda walaupun secara geografis berada dalam garis lintang yang sama. Tanah hutan yang mampu memberikan daya dukung potensi pertumbuhan yang tinggi jangan disamakan kewajibannya dengan hutan yang mengandung daya dukung potensi pertumbuahan rendah. Alangkah baiknya kejelasan tentang tipe hutan menurut karakter produksinya. Pemegang IUPHHA (Izin Usaha Pemanfaatan



26



Hasil Hutan Alam) dibedakan mana yang bertipe A, B dan seterusnya yang menggambarkan potensi pertumbuhan hutan yang dipengaruhi oleh tipe tanahnya. Adanya reward sistem atas penghargaan kepada pengusaha yang melaksanakan aturan dengan baik akan memberikan rangsangan khusus bagi pemegang IUPHHA agar lebih berprestasi lagi dengan baik. c. Kelayakan Sosial/ Kemasyarakatan Alasan akan adanya status hukum yang jelas dengan adanya kegiatan penanaman dalam hutan bekas tebangan oleh pemegang IUPHHK mungkin dapat merubah pandangan sosial/ masyarakat tentang besarnya nilai investasi yang dilakukan oleh perusahaan sehingga tidak begitu mudah lagi untuk tidak perduli dengan hutan. Sedikit tidaknya masyarakat sudah mengerti bahwa akan ada sanksi yang jelas bila masyarakat mengganggu hutan yang sedang diusahakan. Ada beban psikologis sosial yang diperbesar oleh pengetahuan masyarakat yang minim tentang manfaat dari hutan secara menyeluruh baik sebagai penyangga kehidupan, sumber air, jaminan keragaman binatang dan tumbuhan. Semuanya ini mempengaruhi bahkan menentukan lingkungan hidup masyarakat di sekitar hutan dan dalam hutan. Masyarakat tidak boleh dianggap terpisah dari pengelolaan hutan. Masyarakat harus dilibatkan sedemikian agar penghargaan terhadap keberadaan status hutan dan pengusahaan hutan bisa mendapat pengakuan. Pengelolaan hutan hendaknya memberikan kontribusi yang nyata bagi anggota masyarakat sehingga menimbulkan rasa penghargaan atas keberadaan perusahaan pengelola hutan dengan cara menghargai aset berupa tanaman hutan yang dikelola. Sehingga tidak ada illegal occupation oleh anggota masayarakat dan terjalin keharmonisan sesama tanpa adanya konflik lahan maupun hasil hutan. d. Kelayakan Keamanan Berusaha Keamanan berusaha bisa didukung oleh pemahaman oleh masyarakat tentang status dan keberadaan hutan yang benar. Sosialisasi akan memegang peranan penting dalam usaha mengubah persepsi psikologis-sosial tentang hutan sehingga mengakui status hukum dan tidak mengganggu hutan yang sedang dibangun dan diusahakan. Dengan jaminan politik dan kebijakan pemerintah hal ini akan menjamin keamanan berusaha. Syarat inilah yang menjadi syarat fundamental untuk menciptakan iklim berusaha yang segar bagi setiap investor yang mau mengelola hutan bekas tebangan ini dengan sistim silvikultur TPTII.



27



Keterlibatan



lembaga



Internasional



yang



bertujuan



untuk



menjaga



kelestarian hutan tropis kita sebagai paru-paru dunia hendaknya kita respons dengan betul-betul. Adalah benar jika hutan tropis kita sudah menjadi sumber Oksigen bagi dunia sehingga tekanan politik akan tetap menerpa kita. Namun secara sadar karena hanya tinggal kita yang memiliki hutan tropis penghasil oksigen maka kita boleh memikul tanggungjawab itu dengan meminta kepada dunia untuk membayar royalti kepada kita sebagai penghasil Oksigen dunia. Kalaupun kita tidak mengelola hutan dalam arti memanen hutan setidaknya kita punya sumber pendapatan royalti ini untuk menopang kehidupan kita. Hutan kita boleh arahkan sebagai hutan konservasi, hutan lindung, dan bentuk hutan lainnya yang bertujuan sebagai sumber oksigen asal kita bisa hidup dari royalti penghasil oksigen tersebut. Maman, S (2006) Mengemukakan bahwa yang menjadi penyebab utama mengapa pengusahaan Hutan alami produksi tidak bisa mencapai keadaan lestari adalah : a. Sebagian besar pemegang IUPHHK tidak memiliki motivasi dan kepercayaan untuk mempertahankan kesinambungan usahanya karena tidak adanya kepastian kebijakan politik yang menjamin kelangsungan usaha tersebut. b. Adanya konflik kepemilikan hasil hutan dan lahan antar perusahaan dengan masyarakat atau dengan pemerintah pusat/ provinsi/ kabupaten. c. Adanya perambahan oleh sebagian besar oknum anggota masyarakat yang tidak terkendali. d. Sebagian areal yang dibebani Hak IUPHHK diubah menjadi areal penggunaan lain (APL/ KBNK). e. Instansi Kehutanan tidak mampu melaksanakan penegakan hukum. f. Perusahaan dan sebagian besar masyarakat mengganggap hasil hutan kayu sebagai barang tambang yang tidak tumbuh kembali setelah dipanen. 3.4 Dampak Perlakuan Sistem Silvikultur Terhadap Vegetasi di Hutan Alam Tropika Dampak dari kegiatan pemanenan kayu di hutan alam tropika salah satunya adalah dapat dapat mengakibatkan kerusakan terhadap vegetasi yang ditinggalkan seperti vegetasi tegakan tinggal. Kerusakan tersebut dapat berupa tumang atau roboh, luka-luka pada batang, kerusakan tajuk, kerusakan terhadap anakan alam (vegetasi tingkat semai). Menurut Elias (1998) tingkat kerusakan vegetasi tegakan tinggi ditetapkan berdasarkan perbandingan antara jumlah pohon yang rusak akibat kegiatan



28



pemanenan kayu dengan jumlah pohon yang rusak akibat kegiatan pemanenan kayu dengan jumlah pohon yang terdapat di dalam areal tersebut sebelum pemanenan kayu dikurangi jumlah pohon yang dipanen. Tingkat kerusakan tegakan tunggal di hutan alam tropika dapat dipengaruhi oleh Teknik pemanenan kayu yang digunakan. Kegiatan pemanenan kayu dengan system Conversional Logging mengakibatkan kerusakan yang besar pada tegakan tinggal dan tanah. (Pinard et al. 1995; Hendrison 1990; Elias 1995). Sistem pemanenan dengan Teknik Reduced Impact Logging dapat menekankan tingkat kerusakan tegakan tinggal sampai 48% dan kerusakan yang besar pada tegakan tinggal sampai 50%, areal yang terbuka akibat perbuatan jalan hutan dapat ditekan sebesar 68% (Sukanda 2002). Kerusakan tegakan tinggal dihutan alam tropika akibat kegiatan pemanenan dengan system Convensional Loggig (CL) disebabkan oleh kegiatan penyaradan, yaitu pohin rebah 88,32%, condong 4,47%, luka batang/kulit 4,47%, rusak tajuk, banir dan batang 2,74% (Elias1993). Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa dampak pemanenan hutan alam di Indonesia diakibatkan oleh kegiatan penebangan dan penyaradan yang menyebabkan kerusakan tegakan tinggal sebesar 25-45% dan keterbukaan areal sebesar 20-35% (Bertault dan Sist 1997; Elias 1998). Menurut hasil penelitian FAO (1998) di hutan hujan tropika Afrika dan Amerika Selatan menunjukkan bahwa kegiatan pemanenan hutan dengan menggunakan Teknik pemanenan konvensional ( Convensional Logging) dapat merusak tegakan tinggal dan kerusakan tanah yang cukup besar berkisar yaitu antara 5-50%. Di hutan hujan tropis amazon di Brazil menurut hasil penelitian Johns et al. (1996) menunjukkan bahwa system pemanenan kayu dengan teknik Reduced lmpact Logging dapat menekan tingkat kerusakan tegakan tinggal dan secara ekonomi volumr kayu per Ha yang dihasilkan sangat menguntungkan dibandingkan dengan menggunakan Teknik Conversional Logging. Hasil penelitian CIFOR (1998) dibeberapa negara di dunia seperti Malaysia, Brazil, Indonesia, Cameroon, Bolivia, Tanzania, dan Zambia menunjukkan bahwa kerusakan tegakan tinggal dan tanah akibat kegiatan pemanenan hutan di hutan hujan tropika dapat ditekan sampai 25% dengan menggunakan teknik Reduced lmpact Logging.



29



3.5 Komposisi dan Struktur Tegakan areal IUPHHK-HA PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah Menurut



Muller-Dombois



dan



Ellenberg



(1974),



istilah



komposisi



dinyatakan sebagai kekayaan floristik hutan. Kekayaan floristik hutan tropika erat kaitannya dengan kondisi lingkungan seperti iklim, tanah dan cahaya, dimana faktor-faktor tersebut membentuk suatu tegakan klimak. Sedangkan struktur vegetasi menyangkut susunan bentuk dari suatu vegetasi yang merupakan karakteristik vegetasi komplek yang dapat digunakan dalam penentuan stratifikasi vertical dan horizontal (Richard 1966, diacu dalam Kongse 1995). 3.5.1 Komposisi Jenis Komposisi jenis merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan untuk mengetahui proses suksesi yang sedang berlangsung pada suatu komunitas atau tegakan yang telah terganggu. Menurut Gopal dan Bhardwaj (1979) menyebutkan bahwa suksesi adalah perubahan langsung secara keseluruhan pada selang waktu lama, bersifat kumulatif, di dalam komunitas tertentu, dan terjadi pada tempat yang sama. Suksesi secara keseluruhan berkembang sebagai akibat dari interaksi organisme-organisme dengan lingkungannya. Perubahan selama suksesi terjadi akibat pengaruh faktorfaktor eksternal seperti input unsur hara. Suksesi terjadi sebagai proses perkembangan komunitas yang sesuai dengan hukum alam. Dengan mengetahui komposisi jenis tersebut, maka dapat diketahui juga perkembangan tegakan yang telah berlangsung pada komunitas yang terganggu tersebut. Apabila komposisi jenis pada tegakan tersebut sudah mendekati kondisi awal, dalam hal ini mendekati kondisi pada hutan primer, maka dapat dikatakan bahwa kondisi tegakan tersebut telah pulih. Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang dilakukan di petak GG-39 pada areal IUPHHK-HA PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah, pada kondisi hutan primer dan bekas tebangan/logged over area (LOA) setelah 2 (dua) tahun dengan teknik silvikultur TPTII yang diukur pada 3 (tiga) kelas kelerengan yang berbeda, maka diperoleh komposisi jenis yang berbeda-beda untuk tiap tingkatan permudaannya. Hasil dari analisis vegetasi untuk komposisi jenis yang terdapat di petak GG-39 dapat dilihat di Tabel 2.



30



Tabel 2.Jumlah jenis yang ditemukan pada kondisi hutan primer dan LOA TPTII dua tahun berdasarkan tingkat pohon dan permudaan



Berdasarkan Tabel 2, dapat dilihat bahwa komposisi jenis untuk tiap tingkatan permudaan berbeda. Jumlah jenis terbesar terdapat pada tingkat pohon, baik itu di hutan primer maupun di LOA TPTII 2 (dua) tahun. Pada hutan primer, jumlah jenis terbesar untuk tingkat semai ditemukan pada kelerengan curam yaitu sekitar 38 jenis per hektar, kemudian kelas kelerengan sedang yaitu sekitar 36 jenis per hektar dan kelas kelerengan datar yaitu sekitar 25 jenis per hektar. Berbeda dengan jumlah jenis yang ditemukan pada tingkat pohon. Untuk tingkat pohon, jumlah jenis terbesar dapat ditemukan pada kelerengan sedang yaitu sekitar 51 jenis per hektar, kemudian pada kelerengan datar dan curam terdapat jumlah jenis yang sama yaitu sekitar 47 jenis per hektar. Pada tingkat pohon, jumlah jenis yang ditemukan jauh lebih besar dibandingkan pada tingkat permudaan lainnya. Pelaksanaan teknik silvikultur TPTII ternyata menyebabkan terjadinya perubahan dalam komposisi jenis. Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa pada LOA TPTII 2 tahun terjadi penurunan jumlah jenis untuk tingkat semai dan pancang pada semua kelas kelerengan. Penurunan jumlah jenis terbesar terjadi pada tingkat pancang di kelerengan datar, yaitu sekitar 17 jenis. Hal ini dapat terjadi karena ketika proses suksesi berlangsung, terjadi persaingan tumbuh diantara jenis-jenis yang toleran dan intoleran. Sehingga jenis yang lambat tumbuh akan ternaungi dan tertekan. Kondisi berbeda ditemukan pada tingkatan tiang dan pohon. Pada LOA TPTII 2 (dua) tahun terjadi peningkatan jumlah jenis pada kelerengan datar dan curam. Jika diperhatikan jumlah jenis yang terdapat di LOA TPTII 2 (dua) tahun hampir mendekati pada kondisi hutan primer. Namun kondisi LOA TPTII 2 (dua) tahun belum dapat dikatakan sudah kembali seperti pada kondisi hutan primer,



31



karena proses suksesi masih terus berlangsung sehingga. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai jumlah jenis yang masih fluktuatif pada tiap tingkatan permudaannya. Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang dilakukan baik di hutan primer maupun LOA TPTII setelah 2 (dua) tahun, menunjukkan bahwa komposisi jenis yang ditemukan di areal penelitian sangat bervariasi pada semua tingkat pertumbuhan. Komposisi jenis yang ditemukan di hutan primer cenderung lebih banyak karena dianggap pada hutan primer tersebut telah terjadi kestabilan sehingga jenis-jenis yang ada merupakan jenis-jenis yang telah beradaptasi dan merupakan jenis puncak dalam proses suksesi. Terjadinya perbedaan komposisi jenis antara hutan primer dengan LOA TPTII disebabkan karena terjadinya pemungutan hasil hutan melalui kegiatan pemanenan. Kegiatan pemanenan dapat menyebabkan kerusakan pada tegakan tinggal, sehingga hal inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan komposisi jenis pada LOA TPTII tersebut. Perubahan komposisi jenis yang sedang terjadi di LOA TPTII 2 (dua) tahun dapat disebabkan karena proses suksesi yang sedang berlangsung. Kecenderungan jumlah jenis yang menurun pada LOA TPTII 2 (dua) tahun dapat disebabkan oleh faktor lingkungan yang kurang cocok untuk mendukung kelangsungan hidup permudaan jenis-jenis tertentu. 3.5.2 Struktur Tegakan Struktur tegakan hutan disebabkan oleh sebaran pohon dalam suatu tegakan baik secara vertikal maupun horizontal. Davis dan Jhonson (1987) menyatakan bahwa struktur tagakan vertikal didefenisikan sebagai sebaran individu pohon pada berbagai lapis tajuk. Sedangkan struktur tegakan horizontal adalah banyaknya pohon per satuan luas pada setiap kelas diameternya. Gambar 2 dan 3 berikut merupakan histogram struktur tegakan horizontal yang menunjukkan hubungan antara jumlah pohon per hektar dengan kelas diameter yang terdapat duhutan primer dan LOA TPTII 2 (dua) tahun.



32



Gambar 2. Struktur tegakan pada kondisi Hutan Primer



Gambar 3. Struktur tegakan pada kondisi Hutan Bekas Tebang (LOA) Dengan Teknik Silvikultur TPTII Berdasakan histogram yang ditunjukkan pada gambar 2 dan 3, dapat dilihat bahwa perbandingan jumlah pohon per hektar antara jutan primer dengan LOA TPTII 2 tahun jauh berbeda. Kegiatan pemanenan yang dilaksanakan sebelumnya sudah pasti akan mengakibatkan penurunan kerapatan hamper pada semua diameter di derbagai kelerengan. Namun menurut Wyatt-Smith (1963) dalam Indrawan (2000) jumlah pohon per hektar yang terdapat di LOA TPTII 2 tahun masih tergolong cukup karena jumlahnya >25 batang/hektar pada masing masing kelerengannya. Begitu juga menurut Kepmenhut No. 200/Kpts-II/1994 tanggal 26 april 1994 tentang kriteria hutan produksi alam tidak produktif. Dalam Kepmenhut tersebut, hutan produksi alam yang tida produktif adalah areal hutan produksi dengan salah satu kriteria, yaitu : 1. Pohon inti yang berdiameter minimum 20 cm kurang dari 25 batang/ha 2. Pohon induk kurang dari 10 batang/ha.



33



Berdasaran kriteria tersebut, jumlah pohon dengan diameter 2o cm up yang terdapat pada LOA TPTII 2 (dua) tahun adalah lebih dari 25 batang/ha. Sehingga dapat dikatakan areal penelitian ini masih tergolong hutan alam produksi yang masih produktif. Struktur tegakan baik pada hutan primer maupun LOA TPTII 2 (dua) tahun menunjukkan jumlah pohon yang semakin berkurang dari kelas diameter kecil ke kelas diameter besar, sehingga jurva yang dihasilkan menyerupai “J” terbalik. Secara umum, struktur tegakan pada plot pengamatan menunjukkan karakteristik yang demikian, sehingga dapat dikatakan kondisi kedua hutan tersebut masih normal meskipun terjadi penurunan jumlah pohon antara hutan primer dengan LOA TPTII 2 (dua) tahun akibat kegiatan penebangan.



34



IV. KESIMPULAN DAN SARAN



4.1



KESIMPULAN Adapun yang menjadi kesimpulan dari makalah ini yaitu: 1. Pada sistem silvikultur TPTII memiliki keunggulan yaitu: -



Kontrol pengelolaan lebih efisien, murah, dan mudah.



-



Sedari awal pembangunannya telah menggunakan bibit dengan jenis terpilih sehingga pada rotasi berikutnya telah menggunakan bibit dari hasil pemuliaan. Hal ini dapat diprediksi meningkatkan nilai produktivitas sehingga kualitas produk dapat lebih baik.



-



Target produksi bisa flexibel tergantung pada inestasi pada tanaman (kayu sebagai produk metabolisme sekunder).



-



Keanekaragaman hayati atau kondisi lingkungan menjadi lebih baik.



-



Kemampuan produksi perusahaan semakin meningkat.



2. Perumusan sistem silvikultur yang baik diawali dengan analisa faktor-faktor alami (biogeofisik) dan sosial ekonomi. 3. Dampak dari kegiatan pemanenan kayu di hutan alam tropika salah satunya adalah dapat dapat mengakibatkan kerusakan terhadap vegetasi yang ditinggalkan seperti vegetasi tegakan tinggal. 4.2



SARAN Sistem



TPTII



di



Indonesia



bisa



dilaksanakan



dengan



meminimalisir dampak kerusakan yang ada hingga ke titik terendah.



cara



35



DAFTAR PUSTAKA [Balitbanghutbun]



Badan



Penelitian



dan



Pengembangan



Kehutanan



dan



Perkebunan. 1998. Buku Panduan Kehutanan Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan, Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta. [Dephut] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 1997a. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 435/Kpts-II/1997 tentang Sistem Silvikultur dalam Pengelolaan Hutan Tanaman Industri. Departemen Kehutanan RI, Jakarta. [Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2005. Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor SK.226/VI-BPHA/2005 Tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (Silin). Departemen Kehutanan, Jakarta. [Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2007. Surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. 41/VI- BPHA/2007 tentang Penunjukan Pemegang IUPHHK pada Hutan Alam sebagai Pelaksana Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII). Ditjen Bina Produksi Kehutanan, Jakarta. [Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2009a. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P .9/VI/BPHH/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Sistem Silvikultur dalam IUPHHK Hutan Produksi. Ditjen Bina Produksi Kehutanan, Jakarta. [Ditjen BPK] Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2009b. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.11/VI-BPHH/2009 tentang Pedoman Teknik Silvikultur Intensif. Ditjen Bina Produksi Kehutanan, Jakarta. Budiansyah B. 2006. Komposisi dan Struktur Tegakan Areal Bekas Tebangan dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) di Areal IUPHHK PT. Erna Djuliawati, Kalimantan Tengah [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Coates KD, Philip JB. 1997. A gap-based approach for development of silvicultural system to address ecosystem management objectives. Journal Forest Ecology and Management 99 (1997) 337-35. Departemen Kehutanan. 2001. Keputusan Menteri Kehutanan No. 70/ KptsI I / 2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, perubahan status dan fungsi kawasan hutan. Jakarta.



36



Departemen Kehutanan. 2002. Peraturan Pemerintah RI No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. Jakarta. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. 1990. Pedoman dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia. Jakarta. Elias. 2009. Sistem Dan Teknik Silvikultur Pengelolaan Hutan Produksi Di Indonesia. Diklat Was-Ganis Pemanenan Hutan Produksi. Handadari T. 2005. Ekonomi Sumber Daya Hutan. Program Pascasarjana Unlam, Banjarbaru. Indrawan A. 2000. Perkembangan Suksesi Tegakan Hutan Alam Setelah Penebangan dalam Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Indriyanto. 2008. Pengantar Budidaya Hutan. Bumi Aksara. Jakarta Junaidi, A. 2019. Materi Perkuliahan Pemanenan Hutan Semester Genap Tahun Akademik 2019/2020. (Tidak Dipublikasikan)Universitas Palangka Raya. Palangka Raya Junaidi, A. 2019. Materi Perkuliahan Pemanenan Hutan Semester Genap Tahun Akademik 2019/2020. (Tidak Dipublikasikan)Universitas Palangka Raya. Palangka Raya Kongse MA. Pengaruh Penebangan Terhadap Komposisi Jenis dan Struktur Hutan Rawa Gambut : Studi Kasus di HPH PT Komsar Timur Raya, Propinsi Riau [tesis]. Bogor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Lamprecht, H. 1989. Silviculture in the Tropics: Tropical Forest Ecosystem and Their Species-Possibilities and Methods for Their Long-Term Utilization. Dutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmBH, Technical Cooperation-Federal Republic of Germany. Eschborn. Mansur, 1. 1994. Nitrogen Uptake Dynamics and Biological Nitrogen Fixation in a Silvopastoral System. Thesis Master's of Forestry Science, School of Forestry, University of Canterbury, New Zealand. Christcurch. Martawijaya, A., I. Kartasujana, K.Kadir & S.A. Prawira. 1981. Atlas Kayu Indonesia. Balai Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Matthews, J.D. 1992. Silvicultural Systems. Clarendon Press. Oxford. Nyland, R.D. 2002. Silvicultural Concepts and Application. The McGraw-Hill Companies, Inc. New York Sukotjo, 2004. Regime Silvikultur Upaya Merehab Dan Meningkatkan Potensi Hutan Indonesia. Pidato Purna Tugas.



37



Toumey, J.W., C.F. Korstian. 1959. Foundations of Silviculture upon An Ecological Basis. John Wiley & Sons, Inc. New York. Wahyudi. 2013. Sistem Silvikultur Indonesia Teori dan Implementasi. Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Palangkaraya. Zain, AS. 1996. Hukumlingkungan Konservasi Hutan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.



38



LAMPIRAN



Dokumentasi Pembagian tugas via Daring