Laporan Operasi Pemanenan Hutan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

M.K. Operasi Pemanfaatan Hutan



Hari/tanggal : Rabu, 18 November 2015



Perencanaan Produksi Tebangan Kelompok 5 Khilma Sufiana



E14120049



Iman Tochid



E14120054



Alifia Y S



E14120069



Dian Purnama



E14120086



Muhammad Jufri Idris



E14120114



Asisten Imam Syafi’i S.Hut Sarah Andini E151140191



Dosen Dr. Ujang Suwarna, S.Hut, M.Sc, F.Trop



DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanenan hasil hutan adalah serangakaian kegiatan kehutanan yang mengubah pohon atau biomassa lainnya. Sehinggga bermanfaat bagi kehidupan ekonomis dan kebudayaan masyarakat. Selama ini pengelolaan hutan alam terutama pemanenan kayunya masih tidak dilakukan secara profesional, shingga keseluruhan sistem silvikultur yang diterapkan mengalami kegagalan. Hal ini antara lain dikarenakan dalam penerapan silvikultur, belum mengintegrasikan sistem pemanenan kayu dengan sistem silvikultur. Selain itu teknik perencanaan serta pelaksanaan pemanenan kayu yang baik dan benar belum dipergunakan dalam pemanenan kayu di hutan alam Indonesia. Untuk menjamin kelestarian hutan, harus ditentukan sistem sislvikultur yang tepat untuk setiap areal berdasarkan pertimbangan ekonomis dan ekologis yang seimbang. Pertimbangan pokok sistem tersebut untuk aspek ekologi adalah perubahan sekosistem alamai yang serendah mungkin. Dari aspek ekonomi diharapkan hasil hutan yang sebesar-besarnya dengan masukan yang memadai. Dengan memperhatikan pertimbangan pokok kedua aspek tersebut di atas, maka sampai saat ini sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dipandang sebagai suatu sistem silvikultur yang sesuai untuk diterapkan dalam pengusahaan hutan alam produksi tropika basah. Tujuan TPTI adalah untuk mengatur pemanfatan hutan alam produksi serta peningkatan kualitas maupun kuantitas pada areal bekas tebangan untuk siklus tebang berikutnya, agar terbentuk tegakan hutan campuran yang diharapkan dapat berfungsi sebagai penghasil kayu penghara industri secara lestari. Dalam pengusahaan hutan produksi perlu ditetapkan kesatuan tempat diberlakukannya pengaturan hasil tertentu guna menjamin terselenggaranya prinsip kelestarian hasil. Kesatuan areal hutan yang diusahakan dengan fungsi ini dinamakan kesatuan kelestarian. Dari kesatuan ini diharapkan diperoleh besarnya hasil yang relatif sama setiap tahunnya. Komponen pengaturan kegiatan harus didasarkan pada spesifikasi dan dinamika sumberdaya hutan yang ada pada unit yang bersangkutan. Pengaturan hasil misalnya harus didasarkan pada informasi mengenai pertumbuhan dan perkembangan hutan, dan dinyatakan dalam bentuk harvest scheduling, tidak hanya sekedar Annual Allowable Cut (AAC) dan jatah produksi tebangan (JPT). Pusatpusat tebang harus ditentukan dengan mengingat karakteristik ekosistem dan penguasaan teritorial. Hasil yang diharapkan adalah jaminan atas kelestarian sumberdaya, disamping kelestarian hasil. 1.2 Tujuan 1. Menentukan sistem silvikultur yang tepat untuk diterapkan di areal hutan alam produksi 2. Merencanakan taksiran produksi tebangan berdasarkan hasil analisis data survey potensi lahan



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Kelestarian Hasil Salah satu elemen yang paling penting dalam pengelolaan hutan adalah konsep kelestarian hasil hutan (sustained yield forestry). Definisi kelestarian hasil hutan telah mengalami perkembangan dan bervariasi dari negara yang satu ke negara lain. Pada mulanya suatu hutan dianggap dimanfaatkan secara lestari bila tebangan tahunan atau periodik tidak mengurangi kapasitas hasil dan bila setelah penebangan dilakukan di seluruh kawasan hutan, potensi tegakan di lapangan tidak berkurang dibanding dengan sebelum dilakukan penebangan (Simon 2000). Perlu dipahami konsep kelestarian hasil tidaklah bersifat mutlak, terdapat unsur kenisbian di dalamnya. Salah satu sumber kenisbian ini adalah ukuran yang dipakai untuk menyatakan hasilnya, apakah luas, volume kayu, nilai uang, atau jumlah batang pohon. Tidak ada jaminan pemakaian salah satu ukuran hasil akan memberikan tingkat kelestarian yang sama apabila diukur oleh ukuran yang lain. Perbedaan metode pengukuran hasil akan memberikan tingkat kelestarian hasil yang berbeda-beda. Oleh karenanya, pemilihan ukuran dan metode pengaturan hasil yang akan dipakai merupakan hal yang sangat mendasar dalam upaya pengusahaan hutan produksi dengan prinsip kelestarian hasil agar diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya (Suhendang 1993). Dengan demikian maka perhitungan besarnya AAC, yaitu jatah tebangan tahunan yang dapat memberikan jaminan kelestarian hasil haruslah berdasarkan kepada keadaan potensi hutan yang ada. Proinsip kelestarian hasil dalm pengusahaan hutan mensyaratkan diperolehnya hasil yang sediktinya sama besar untuk setiap satuan waktu dari kesatuan tertentu yang diusahakan, sehingga secara operasional prisnsip ini dapat diartikan sebagai diperolehnya hasil yang sama setiap tahun dari setiap kesatuan yang diusahakan. 2.2 Hutan Normal Meyer et al (1961) mendefinisikan hutan normal sebagai hutan yang memiliki distribusi normal dari kelas umur, volume normal, dan pertumbuhan normal. Hutan normal merupakan bentuk kesempurnaan dari hutan, dimana kelestarian hasil dapat diperoleh, dalam kuantitas tahunan yang sama dan tebangan tahunan ini akan tergantikan dengan pertumbuhan riap tahunan (Chapman 1950). Simon (1993) menyatakan bahwa untuk mencapai hutan normal, diperlukan adanya pemulihan yang tepat tentang sistem pengaturan hasil dan teknik silvikultur untuk memelihara tegakan harus direncanakan pada waktu yang tepat dan dengan cara yang memadai, sehingga setiap tempat tumbuh atau kelompok hutan akan dalam keadaan penuh oleh jenis yang cocok dengan kondisi tempat tumbuha tersebut. 2.3 Metode Pengaturan Hasil Pengaturan hasil hutan diperlukan untuk menghitung volume kayu yang diperoleh dari hasil tebangan setiap tahun, agar kelestarian hutan dan pengelolaannya dapat terjamin (Simon 1993). Menurut Davis (1987) dalam Simon (1993) banyak sekali metode pengaturan hasil yang bersifat spesifik, namun semuanya dapat



digolongkan menjadi dua kelompok saja yaitu metode berdasarkan luas dan metode berdasarkan volume. Pengaturan hasil harus didasarkan paa informasi mengenai pertumbuhan dan perkembangan hutan, dan dinyatakan dalam harvest sceduling tidak hanya sekedar AAC. 2.4 Perencanaaan Pemanenan Perencanaan pemanenan kayu dapat diartikan sebagai perencanaan keterlibatan hutan beserta isinya, manusia/organisasi, peralatan dan dana untuk memproduksi kayu secara lestari bagi masyarakat yang membutuhkannya dan mendapatkan nilai tambah baik bagi perusahaan maupun bagi masyarakat local (sekitar hutan), regional dan nasional, pada suatu kurun waktu tertentu. Salah satu fungsi perencanaan pemanenan kayu adalah menentukan tingkat produksi kayu yang lestari, baik lestari sumberdaya hutannya maupun lestari pengusahaannya. Untuk kelestarian sumberdaya hutnnya, maka kayu yang dipungut harus tidak melebihi produktivitas (riap hutan yang dipanen. Sedangkan untuk menjamin agar pengusahaan hutan dapat lestari, maka perlu diupayakan agar jumlah kayu yang dihasilkan minimal sama dengan jumlah biaya yang dikeluarkan. Untuk itu perlu ditatapkan jumlah produksi kayu yang maksimal dapat dihasilkan dengan mempertimbangkan kelestarian usahanya. Pada hutan tanaman yang menganut system silvikultur tebang habis dengan permudaan buatan (THPB), maka seluruh kayu pada areal/petak yang direncanakan untuk dipanen merupakan kayu yang potensial untuk dipungut. Sedangkan pada hutan alam yang menganut system silvikultur tebang pilih tanam Indonesia (TPTI), banyaknya kayu komersial (yang dapat dimanfaatkan) dengan diamete tertentu merupakan kayu yang potensial untuk dipungut. Selain itu berdasarkan ketentuan yang ada, perlu ditinggalkan pohon-pohon induk. Mengingat di Indonesia ini masih mengandalkan tebangan dari hutan alam, maka dalam makalah ini hanya akan menjelaskan metode perhitungan tingkat produksi pada hutan alam dengan menggunakan system silvikultur TPTI. Sehubungan dengan ketentuan pada tebang pilih tanam Indonesia (TPTI), tingkat produksi (etat tebangan) yang diperbolehkan dibedakan berdasarkan luas dan volume ( USU 2015).



BAB III METODE 3.1 Waktu dan Tempat Praktikum Operasi Pemanfaatan Hutan (OPH) yang berjudul Perencanaan Produksi Tebangan yang dilaksanakan pada hari Rabu, 18 November 2015 di Ruang Praktikum GPHH, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. 3.2 Alat dan Bahan Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum yaitu : 1. Tabel rekapitulasi N/Ha dan Vol/Ha per Kelompok Jenis untuk Tingkat Pohon Kecil (klas diameter 20 cm ≤ Ф < 35 cm) Hasil Survei IHMB 2. Tabel rekapitulasi N/Ha dan Vol/Ha per Kelompok Jenis untuk Tingkat Pohon Besar (klas diameter ≥ 35 cm) Hasil Survei IHMB 3. Tabel rekapitulasi N/Ha dan Vol/Ha per Kelompok Jenis untuk Tingkat Pohon Besar (klas diameter 35 cm ≤ Ф < 50 cm) Hasil Survei IHMB 4. Tabel rekapitulasi N/Ha dan Vol/Ha per Kelompok Jenis untuk Tingkat Pohon Besar Klas diameter ≥ 40 cm) Hasil Survei IHMB 5. Tabel rekapitulasi N/Ha dan Vol/Ha per Kelompok Jenis untuk Tingkat Pohon Besar Klas diameter ≥ 50 cm Hasil Survei IHMB 6. Ms.Excel 7. Alat Tulis 3.3 Langkah Kerja 1. Mengumpulkan data lapangan berupa data hasil crusing IHMB, 2. Melakukan pengolahan data dengan tujuan untuk menetapkan AAC, 3. Menetapkan banyaknya pohon yang akan ditebang dan membuat taksiran volume produksi tebangan, 4. Menetapkan ukuran sortimen optimal dari tiap pohon, 5. Menetapkan kapasitas alat sarad optimal, 6. Menyusun laporan potensi hutan, rencana jumlah pohon inti, pohon induk, pohon yang akan ditebang, rencana kebijakan pembagian batang, rencana target produksi penebangan tiap pohon, rencana jangka waktu pelaksanaan penebangan dan pembagian batang, rencana jangka waktu penyaradan dan rencana tenaga dan alat yang diperlukan. 7. Selanjutnya menentukan areal efektif produksi untuk penerapan sistem TPTI, 8. Kemudian melakukan perhitungan etat luas untuk sistem TPTI, pada Hutan Produksi Biasa (HP) dan Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK), lalu menghitung etat volume pada Hutan Produksi Biasa (HPT), 9. Menentukan areal efektif produksi untuk penerapan sistem TPTJ dan etat luas TPTJ dan etat volume TPTJ.



BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil No. 1.



Sistem Silvikultur TPTI



2.



Total TPTI



3.



Total TPTJ



Total



Tabel 1. Rencana produksi tebangan Jenis Jenis Kayu Jenis Produksi Tahunan Hutan N/th m3/th HP+HPK KI 1465,99 4815,44 M 16009,40 65095,84 RC 815,22 2465,97 18290,61 63377,25 HPT KI 878,36 4025,83 M 11230,51 59896,04 RC 512,38 2039,06 12621,25 65960,93 KI 637,78 2095 M 6965,05 28320,58 RC 354,80 1072,85 7957,64 31488,43



4.2 Pembahasan Perencanaan produksi tebangan dimulai dengan melakukan pengumpulan data lapangan berupa data hasil crusing IHMB, kemudian melakukan pengolahan data dengan tujuan untuk menetapkan AAC, menetapkan banyaknya pohon yang akan ditebang, menetapkan taksiran volume produksi tebangan, menetapkan ukuran sortimen optimal dari tiap pohon dan menetapkan kapasitas alat sarad optimal. Sesuai dengan ketentuan pada Permenhut nomor P.11/Menhut-II/2009 Tentang Sistem Silvikultur dalam Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi Bab III Pasal 8 Ayat (2) maka siklus tebang tegakan hutan alam ditetapkan berdasarkan diameter tebangan. Selanjutnya pada ayat (3) ditetapkan bahwa siklus tebang pada hutan alam daratan tanah kering adalah 30 (tiga puluh) tahun untuk diameter ≥ 40 cm (empat puluh centimeter) pada hutan produksi biasa dan atau hutan produksi yang dapat dikonversi dan ≥ 50 cm (lima puluh centimeter) pada hutan produksi terbatas dengan sistem silvikultur TPTI. Perhitungan etat luas untuk sistem TPTI merupakan etat luas rata-rata yang didapatkan dari rasio luas areal efektif untuk TPTI terhadap siklus tebang. Sedangkan perhitungan etat volume untuk sistem TPTI dibagi menjadi Hutan Produksi biasa (HP) dan Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK). Untuk etat volume pada Hutan Produksi biasa (HP) didapatkan dari hasil rasio luas HP + HPK dikali dengan volume kelompok jenis kayu komersial pada diameter ≥ 40 cm/ha dengan kualitas pohon yang sehat dikali faktor eksploitasi dikali faktor koreksi terhadap siklus tebang. Sedangakn etat volume pada Hutan Produksi biasa (HPT) didapatkan dari hasil rasio luas HPT dikali dengan volume kelompok jenis kayu komersial pada diameter ≥ 50 cm/ha dengan kualitas pohon yang sehat dikali faktor eksploitasi dikali faktor koreksi terhadap siklus



tebang. Sehinggan untuk perhitungan etat volume TPTI adalah jumlah dari etat volume (HP + HPK) + HPT. Hasil etat volume dengan sistem silvikultur TPTI dengan jenis hutan HP + HPK hasil terbesar terdapat pada kelompok jenis kayu meranti yaitu 65.095,84 m³/ha dengan jumlah pohon terbanyak yaitu 16.009.40 N/ha. Untuk sistem silvikultur TPTI dengan jenis hutan HPT hasil terbesar terdapat pada kelompok jenis kayu meranti yaitu 59.896,04 m³/ha dengan jumlah pohon terbanyak yaitu 11230,51 N/ha. Sehingga total jumlah pohon untuk sistem silvikultur TPTI jenis hutan HP +HPK adalah 18.290,61 N/ha dan total untuk volume adlah 663.377,25 m³/ha. Sedangkan total jumlah pohon untuk sistem silvikultur TPTI jenis hutan HPT adalah 12.621,25 N/ha dan total untuk volume adlah 66.960,93 m³/ha. Untuk sistem silvikultur TPTJ hasil terbesar terdapat pada kelompok jenis kayu meranti yaitu 28.120,58 m³/ha dengan jumlah pohon terbanyak yaitu 6.965,05 N/ha. Sehingga total jumlah pohon untuk sistem silvikultur TPTJ adalah 7.957,64 N/ha dan total untuk volume adalah 33.488,43 m³/ha. Hasil terbesar untuk etat volume di sistem silvikultur TPTI ataupun TPTJ adalah jenis meranti karena jenis-jenis meranti cepat tumbuh (fast growing species) dari jenis-jenis kayu lainnya, kayu indah atau rimba campuran dan adanya rencana perlakuan silvikultur dan manipulasi lingkungan yang lebih intensif sesuai dengan prinsip-prinsip dasar pada teknik silvikultur intensif untuk tanaman meranti. Berdasarkan ketentuan pada Permenhut nomor P.11/Menhut-II/2009 Tentang Sistem Silvikultur dalam Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi Bab III Pasal 8 Ayat (2) maka siklus tebang tegakan hutan alam ditetapkan berdasarkan diameter tebangan. Selanjutnya pada ayat (3) point 2) tentang TPTJ ditetapkan bahwa siklus tebang pada hutan alam daratan tanah kering adalah 25 (dua puluh lima) tahun. Penebangan pada jalur tanam selebar 3 (tiga) meter dilakukan tebang habis dan di jalur antara ditebang pohon berdiameter ≥ 40 cm (empat puluh centimeter). Selain hal tersebut di atas penetapan siklus tebang 25 tahun untuk TPTJ dengan pertimbangan bahwa jenis-jenis yang akan ditanam adalah jenis-jenis meranti cepat tumbuh (fast growing species) dan adanya rencana perlakuan silvikultur dan manipulasi lingkungan yang lebih intensif sesuai dengan prinsip-prinsip dasar pada teknik silvikultur intensif untuk tanaman meranti. Perhitungan etat luas untuk sistem TPTI merupakan etat luas rata-rata yang didapatkan dari rasio luas areal efektif untuk TPTJ terhadap siklus tebang. Sedangkan perhitungan etat volume untuk sistem TPTJ merupakan etat volume yang didapatkan dari hasil rasio luas efektif TPTJ dikali dengan volume kelompok jenis kayu komersial pada diameter ≥ 40 cm/ha dengan kualitas pohon yang sehat dikali faktor eksploitasi dikali faktor koreksi terhadap siklus tebang. Perencanaan zonasi areal hutan layak tebang merupakan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu- Hutan Alam yang luasnya ±255.530 Hektar yang penggunaannya dibagi menjadi empat, yaitu lahan penggunaan pihak iii dengan luas ±11.783 Hektar, lahan penggunaan masyarakat dengan luas ±4.025 Hektar, penutupan lahan efektif dengan luas ±238.882 Hektar, dan sarana prasarana umum dengan luas ±840 Hektar. Penggunaan lahan efektif dibagi menjadi tiga., yaitu kawasan lindung dengan luas ±26.405 Hektar, areal tidak untuk produksi dengan luas ±2.187 Hektar, dan areal efektif produksi dengan luas ±210.290 Hektar. Dan penggunaan lahan



sebagai areal efektif produksi dibagi menjadi , yaitu TPTI dengan luas ±108.028 Hektar dan dibagi menjadi dua, yaitu HPT dengan luas ±56.028 Hektar, HP dan HPK dengan luas ±52.010 Hektar, TPTII dengan luas ±18.856 Hektar, dan THPB dengan luas ±83.406 Hektar dan dibagi menjadi dua, yaitu pola swakelola (produktivitas lahan) dengan luas ±47.884 Hektar dan pola kolaboratif dengan luas ±35.522 Hektar. Tetapi dalam praktikum untuk materi perencanaan produksi tebangan THPB tidak digunakan.



BAB V KESIMPULAN Terdapat beberapa tahapan dalam perencanaan produksi tebangan dimulai dengan pengumpulan data hasil IHMB, kemudian melakukan pengolahan data dengan tujuan untuk menetapkan AAC, menetapkan banyaknya pohon yang akan ditebang, menetapkan taksiran volume produksi tebangan, menetapkan ukuran sortimen optimal dari tiap pohon dan menetapkan kapasitas alat sarad optimal, serta tahap akhir dilakukan penyusunan laporan potensi hutan. Sistem silvikultur yang diterapkan di Indonesia antara lain Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB) dan Tebang Pilih Tanam dalam Jalur (TPTJ). Sistem silvikultur TPTI dugunakan untuk jenis hutan produksi (HP) dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) serta untuk jenis hutan produksi terbatas (HPT). Jenis kayu yang digunakan yaitu Kayu Indah (KI), Meranti (M) dan Rimba Campuran (RC). Hasil etat volume dengan sistem silvikultur TPTI dengan jenis hutan HP + HPK hasil terbesar terdapat pada kelompok jenis kayu meranti yaitu 65.095,84 m³/ha dengan jumlah pohon terbanyak yaitu 16.009.40 N/ha. Untuk sistem silvikultur TPTI dengan jenis hutan HPT hasil terbesar terdapat pada kelompok jenis kayu meranti yaitu 59.896,04 m³/ha dengan jumlah pohon terbanyak yaitu 11230,51 N/ha. Sehingga total jumlah pohon untuk sistem silvikultur TPTI jenis hutan HP +HPK adalah 18.290,61 N/ha dan total untuk volume adlah 663.377,25 m³/ha. Sedangkan total jumlah pohon untuk sistem silvikultur TPTI jenis hutan HPT adalah 12.621,25 N/ha dan total untuk volume adlah 66.960,93 m³/ha. Untuk sistem silvikultur TPTJ hasil terbesar terdapat pada kelompok jenis kayu meranti yaitu 28.120,58 m³/ha dengan jumlah pohon terbanyak yaitu 6.965,05 N/ha. Sehingga total jumlah pohon untuk sistem silvikultur TPTJ adalah 7.957,64 N/ha dan total untuk volume adalah 33.488,43 m³/ha. Hasil terbesar untuk etat volume di sistem silvikultur TPTI ataupun TPTJ adalah jenis meranti karena jenisjenis meranti cepat tumbuh (fast growing species) dari jenis-jenis kayu lainnya, kayu indah atau rimba campuran dan adanya rencana perlakuan silvikultur dan manipulasi lingkungan yang lebih intensif sesuai dengan prinsip-prinsip dasar pada teknik silvikultur intensif untuk tanaman meranti.



DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2015. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/984/3/hutan-muhdi9 .pdf.txt (diunduh tanggal 20 November 2015). Davis L Sand K N John. 1987. Forest Management Third Edition. New York (US) : McGraw-Hill Book Company. Mayer et al. 1961. Forest Management. New York (US) : The Ronald Press Company. Simon. 1993. Hutan Jati dan Kemakmuran, Problematika dan Strategi Pemecahannya. Yogyakarta (ID) : Aditya Media Cetakan Pertama. Simon H. 2000. Hutan Jati dan Kemakmuran, Problematika dan Strategi Pemecahannya. Yogyakarta (ID) : BIGRAF Publishing. Suhedang H. 1993. Prinsip Kelestarian Hasil dalam Pengusahaan Hutan alam Produksi. Menguak Permasalahan Pengelolaan Hutan alam Tropis di Indonesia. Hal 53 s.d 95. Forum Pengkajian Pengelolaan Hutan Tropis : Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan Bogor.



LAMPIRAN Diketahui :



Luas TPTI HP+HPK = 52010 Ha Luas TPTI HPT = 56018 Ha Luas TPTJ = 18856 Ha



Rumus perhitungan : Etat Luas =



𝐿𝑢𝑎𝑠 𝐴𝑟𝑒𝑎𝑙 𝐸𝑓𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓 𝑆𝑖𝑘𝑙𝑢𝑠 𝑇𝑒𝑏𝑎𝑛𝑔



Etat Volume/N TPTI HP+HPK = Etat Volume/N TPTI HPT = Etat Volume/N TPTJ =



((𝐿𝑢𝑎𝑠 𝐻𝑃+𝐻𝑃).𝑣𝑜𝑙ɸ≥ 40𝑐𝑚.𝐹𝑒.𝐹𝑘) 𝑆𝑖𝑘𝑙𝑢𝑠 𝑡𝑒𝑏𝑎𝑛𝑔



((𝐿𝑢𝑎𝑠 𝐻𝑃+𝐻𝑃).𝑣𝑜𝑙ɸ≥ 50𝑐𝑚.𝐹𝑒.𝐹𝑘) 𝑆𝑖𝑘𝑙𝑢𝑠 𝑡𝑒𝑏𝑎𝑛𝑔



((𝐿𝑢𝑎𝑠 𝐻𝑃+𝐻𝑃).𝑣𝑜𝑙ɸ≥ 40𝑐𝑚.𝐹𝑒.𝐹𝑘) 𝑆𝑖𝑘𝑙𝑢𝑠 𝑡𝑒𝑏𝑎𝑛𝑔



Hasil : 



Etat Luas TPTI HP+HPK = Etat Luas TPTI HPT= Etat Luas TPTJ =







52010 Ha



56018 Ha 30 𝑡ℎ



18856 Ha 25 𝑡ℎ



= 1733,67 Ha/th



30 𝑡ℎ



= 1867,27 Ha/th



= 754,25 Ha/th



Etat Volume TPTI HP+HPK (KI)= (M)=



(52010.4,96.0,7.0,8) 30



(52010.67,05.0,7.0,8)



(M)=



(KI)=



(52010.2,54.0,7.0,8) 30



(56018.3,85.0,7.0,8) 30



(56018.57,28.0,7.0,8)



(RC)=



= 65095,84 m3/th



30



(RC)= Etat Volume TPTI HPT



= 4815,44 m3/th



30 (56018.1,95.0,7.0,8) 30



= 2465,97 m3/th



= 4025,83 m3/th



= 59896,04 m3/th = 2039,06 m3/th



Etat Volume TPTJ



(KI)= (M)=



(18856.4,96.0,7.0,8) 25



(18856.67,05.0,7.0,8)



Etat N TPTI HP+HPK (M)=



25



(52010.0,84.0,7.0,8) 30



(M)=



30



(56018.0,49.0,7.0,8) 30



25



= 512,38 N/th



= 637,78 m3/th



(18856.16,49.0,7.0,8) 25 (18856.0,84.0,7.0,8) 25



= 878,36 N/th



= 11230,51 N/th



30



(RC)=



= 815,52 N/th



(56018.0,84.0,7.0,8)



(18856.1,51.0,7.0,8)



= 1465,99 N/th



= 16009,40 N/th



(56018.10,74.0,7.0,8)



(RC)= (KI)=



30



30



(KI)=



= 1072,85 m3/th



(52010.1,51.0,7.0,8)



(52010.16,49.0,7.0,8)



Etat N TPTI HPT



Etat N TPTJ



(18856.2,54.0,7.0,8)



(KI)=



(RC)=



(M)=



= 28320,58 m3/th



25



(RC)= 



= 2095 m3/th



= 6965,05 m3/th = 354,80 m3/th